Css Tifoid
-
Upload
indrayudha-pramono -
Category
Documents
-
view
49 -
download
7
Transcript of Css Tifoid
CLINICAL SCIENCE SESSION
DEMAM TIFOID
Disusun oleh :
Reiny Whidyawati 12100112037
Preceptor :
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN ISLAM BANDUNGRUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH BANDUNG
BANDUNG2013
DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
bersifat akut, ditandai dengan bakteriemi, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang
bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus Peyer di distal ileum, dimana
gejalanya antara lain demam berkepanjangan, nyeri perut, diare, delirium, bercak rose,
dan splenomegali serta kadang-kadang disertai komplikasi perdarahan dan perforasi usus.
EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis dan subtropik terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar kebersihan dan kesehatan yang rendah. Jumlah pasti kasus demam tifoid
di dunia ini sangat sulit ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spektrum klinis yang sangat luas. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran
demam tifoid di negara berkembang adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air
minum dan standar kebersihan industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Menurut Pang, selain karena meningkatnya urbanisasi, demam tifoid masih terus menjadi
masalah karena beberapa faktor lain yaitu, adanya strain yang resisten terhadap
antibiotik, masalah pada identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan membuat
diagnosis yang pasti, patogenesis dan faktor virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya
serta belum tersedianya vaksin yang efektif, aman dan murah.
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi yang dapat bertahan hidup lama
di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu
63OC. Organisme ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu,
sampah kering, dan pakaian, mampu bertahan di sampah mentah selama satu minggu dan
dapat bertahan selama satu minggu dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam
susu, daging, telur atau produknya tanpa mengubah warna atau bentuknya.
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi,
melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid
atau karier kronis. Sumber penularan berasal dari tinja dan urine karier, dari penderita
pada fase akut, dan penderita dalam masa penyembuhan. Epidemi demam tifoid yang
berasal dari sumber air yang tercemar merupakan masalah utama. Transmisi secara
kongenital dapat terjadi secara transplasental dari seorang ibu yang mengalami
bakteriemi kepada bayi dalam kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang
ibu yang merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral. Seseorang yang telah terinfeksi
Salmonella typhi dapat menjadi karier kronis dan mengekskresikan mikroorganisme
selama beberapa tahun.
ETIOLOGI
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Merupakan bakteri gram negatif
yang motil, bersifat aerob dan tidak membentuk spora. Salmonella typhi dapat tumbuh
dalam semua media, pada media yang selektif bakteri ini memfermentasi glukosa dan
manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa.
Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen :
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik
grup.
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella,
bersifat termolabil dan bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polikasarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses
aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses
fagosistosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas
vaksin S. typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian paling luar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan
lipid A. Ketiga antigen di atas akan membentuk antibodi aglutinin.
4. Outer Membrane Protein (OMP). Antigen OMP S. typhi merupakan bagian dari
dinding sel terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP
berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
dalam membran sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor
untuk bakteriofag dan bakteriosin. OMP sebagian besar terdiri dari protein purin,
berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang penting
dalam mekanisme respon imun pejamu. Sedangkan protein nonpurin hingga kini
fungsinya belum diketahui secara pasti.
PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi
(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman, dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja,
urine, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi. Agar dapat
menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. typhi dalam dosis tertentu. Percobaan pada
sekelompok relawan yang menelan mikroorganisme dalam susu menyimpulkan bahwa
jumlah kuman yang diperlukan untuk menimbulkan penyakit adalah berkisar antara 105-
109.
Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan gejala gangguan saluran nafas atas.
Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan
limfoid di faring. Terbukti dalam suatu penelitian bahwa S.typhi berhasil diisolasi dari
jaringan tonsil penderita demam tifoid, walaupun pada percobaan lain seseorang yang
berkumur dengan air yang mengandung S. typhi hidup ternyata tidak menjadi terinfeksi.
Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan yang disebabkan karena
kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput putih sampai kecoklatan
yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-kadang tepi lidah
tampak hiperemis dan tremor. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba
Eustachii ke telinga tengah maka dapat terjadi otitis media.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Di lambung organisme dapat melaui barier asam
lambung mikroorganisme menuju ke usus halus dan dihadapkan pada dua mekanisme
pertahanan tubuh yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas usus karena
faktor obat-obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan
timbulnya komplikasi, serta memperpanjang keadaan karier konvalesen. Flora normal
usus berada di lapisan mukosa atau menempel pada epitel saluran cerna dan akan
berkompetisi untuk mendapatkan kebutuhan metabolik untuk keperluan pertumbuhan,
memproduksi asam amino rantai pendek sehingga menurunkan suasana asam serta
memproduksi zat antibakteri seperti kolisin. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteriemia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama limpa dan hati. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus.
Sebagain kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Perubahan pada jaringan limfoid di daerah ileosaecal yang timbul selama demam
tifoid dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu : hyperplasia, nekrosis jaringan, ulserasi dan
penyembuhan. Adanya perubahan pada nodus Peyer tersebut menyebabkan penderita
mengalami gejala intestinal yaitu nyeri perut, diare, perdarahan, dan perforasi. Diare
dengan gambaran pea soup merupakan karakteristik yang khas yang dijumpai pada
kurang dari 50% kasus dan biasanya timbul pada minggu kedua.
Nyeri perut pada demam tifoid dapat bersifat menyebar atau terlokalisir di kanan
bawah daerah ileum terminalis. Nyeri ini disebabkan karena mediator yang dihasilkan
pada proses inflamasi (histamin, bradikinin, serotonin) merangsang ujung saraf sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Selain itu rasa nyeri dapat disebabkan karena peregangan kapsul
yang membungkus hati dan limpa karena organ tersebut membesar.
Perdarahan dapat timbul apabila proses nekrosis sudah mengenai lapisan mukosa
dan submukosa sehingga terjadi erosi pasa pembuluh darah. Konstipasi dapat terjadi pada
ulserasi tahap lanjut, dan merupakan tanda prognosis yang baik. Ulkus biasanya
menyembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi ulkus dapat menembus
lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Pada keadaan ini tampak adanya distensi
abdomen. Distensi abdomen ditandai dengan adanya meteorismus atau timpani yang
disebabkan konstipasi dan penumpukan tinja atau berkurangnya tonus pada lapisan otot
intestinal.
Gambaran klinis yang khas pada demam tifoid merupakan hasil interaksi antara
Salmonella typhi dan makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal, dan
mesenterika. Sejumlah besar bakteri yang berada di dalam jaringan limfoid intestinal,
hati, limpa, dan sumsum tulang menyebabkan inflamasi di tempat tersebut dan
melepaskan mediator inflamasi dari makrofag. Makrofag memproduksi sitokin,
diantaranya cachectin, IL-1 dan interferon. Makrofag juga merupakan sumber mtabolit
arakhidonat dan oksigen reaktif intermediet. Produk makrofag tersebut dapat
menyebabkan nekrosis seluler, perangsangan system imun, ketidakstabilan vaskuler,
permulaan mekanisme pembekuan, penekanan sumsusm tulang, demam, dan keadaan
lain yang berhubungan dengan demam tifoid. Tampaknya endotoksin merangsang
makrofag untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis
intestine maupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis demam tifoid.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya. Endotoksin yang dilepaskan ke dalam sistem sirkulasi berperan
sebagai zat pirogen, akan tetapi bila dilepaskan dan terkonsentrasi di suatu tempat akan
bertindak sebagai mediator pada proses inflamasi lokal. Endotoksin juga berperan
langsung pada aktivasi faktor XII dari jalur pembekuan sehingga terjadi perubahan
fibrinogen yang larut menjadi fibrin yang tidak larut dalam darah. Selanjutnya terjadi
penyebaran bekuan darah (DIC) sehingga terjadi penyumbatan pada pembuluh darah
organ vital termasuk paru-paru, ginjal, otak, dan hati menimbulkan kegagalan fungsi
organ dan gangguan mental. Selain itu melalui aktivitas faktor XII, terjadinya DIC
mungkin disebabkan hipoksia jaringan, kerusakan endotel dan trombosit sehingga terjadi
agregasi intravaskuler.
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini
sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.
MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam
hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung merah serta
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.
Perjalanan Penyakit
Akhir Minggu Pertama
Pada akhir minggu pertama demam sekitar 38,8-40oC, penderita sakit kepala hebat,
tampak apatis, bingung dan lelah. Pada saat panas tinggi, mulut menjadi kering karena
saliva berkurang, lidah tampak kotor dilapisi selaput putih sampai kecoklatan, bias
disertai tepi yang hiperemis dan tremor. Pada akir minggu pertama sering didapatkan rasa
mual dan dan muntah. Penderita kadang-kadang mengalami batuk dan didapatkan
gambaran kilns bronchitis. Bronkhitis biasanya didapatkan pada kasus demam tifoid
berat. Tidak didapatkan nyeri perut yang jelas, tetapi penderita merasa tidak enak di perut
dan mungkin juga dapat disertai konstipasi. Abdomen tampak membesar sekitar 2-3 cm
dibawah lengkung iga kanan. Kulit tampak kering dan panas yang mungkin juga
didapatkan rose spots di daerah abdomen, dada, atau punggung. Rose spotr merupakan
ruam macular atau makulopapular dengan garis tengah 1-6 mm yang akan menghilang
dalam 2-3 hari.
Minggu Kedua
Pada sebagian besar penderita demam tinggi terus berlangsumg mencapai 38,3-39,4
bersifat kontinua dengan perbedaan suhu sekitar 0,5 C pada pagi dan petang. Pada
keadaan ini mungkin didapatkan bradikardi relative, gejala klasik yang sekarang hanya
dijumpai pada < 25% penderita. Keadaan penderita makin menurun, apatis, bingung,
kehilangan kontak dengan orang sekitarnya, tidak bisa istirahat atau tidur. Lidah tertutup
selaput tebal dan penderita kehilangan nafsu makan serta minum. Pemeriksaan abdomen
sulit diintrepretasikan, gambaran yang klasik menyerupai adonan (doughy) dan mudah
teraba usus yang terisi air dan udara. Didapatkan di daerah nyeri, yang merata di seluruh
kuadran bawah dan distensi abdomen.
Minggu Ketiga
Memasuki minggu ketiga, penderita memasuki tahapan tifoid state, yang ditandai dengan
disorientasi, bingung, insomnia, lesu dan tidak bersemangat. Bisa didapatkan pula
delirium, tapi jarang dijumpai stopor dan koma. Abdomen tampak lebih distensi dari
sebelumnya. Nodus Peyer mungkin mengalami neksrotik dan ulserasi, sehinga sewaktu-
waktu dapat timbul perdarahan dan perforasi. Saat ini penderita mengalami BAB lembek
dan berwarna coklat tua atau kehijauan dan berbau, hal ini dikenal dengan pea soup
diarrhea, tetapi mungkin pendeita masih mengalami konstipasi. Pada akhir minggu ketiga
suhu ulai menurun secara lisis dan mencapai normal pada minggu berikutnya.
Diagnosa Banding
Dibagi atas kemiripannya pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan
laboratorium.
Paratifoid A, B, C- walaupun S.parathyphi biasanya memiliki gejala yang lebih ringan,
membedkan etiologi dilkukan dengan pemeriksaan laboratorium yang dijadikan penentu.
Secara umum perjalanan infeksi paratyphi B lebih ringan dan pendek dari demam
tifoid dan komplikainya pun jarang bila dibandingkan dengan tifoid. Paratyphi B
bias juga muncul sebagai penyakit gastrointestinal akut.
Beratnya penyakit aratyphi A dan C adalah diantara typhoid dan paratyphoid B.
Penyakit lain :
1. Malaria –seringkali dianggap penyakit tifoid di beberapa Negara. Onset yang
lebih cepat, menggigil, dan berkeringat, demam tinggi pada awal penyakit, tanda
dan gejala abdominal yang jarang ditemukan, an SADT yang positif mengarah
kepada diagnosis malaria.
2. Influenza – terkadang sulit dibedakan dari tifoid, tetapi biasanya onsetnya lebih
cepat dengan suhu demam yang lebih tinggi, akit tenggorokan yang hebat, batuk
dan tidak didapatkan perabaan lien dan rose spots.
3. Typhus dan infeksi ricketsia lainnya—sangat penting dalam diagnosis banding.
Hal ini disebabkan karena typhus dan typhoid dapat menyebabkan demem
dengan delirium, tanda-tanda di dada, dan perasaan tidak nyaman pada abdomen.
Tetapi pada typhus, onsetnya dapat lebih akut, dan suhunya sangat tinggi pada
awal mula perjalanan penyakit. Menggigil sering ditemukan saat onset. Tanda-
tanda kelainan kulit (rash) sedikit berbeda (merah kecoklatan, dan lebih terlihat
pada typhus). Tidak menghilang bila ditekan, seperti rose spot di typhoid.
Leukositosis dan tes Weil-Felix akan memberikan hasil positif pada hari ke-10.
4. TBC paru dan abdominal TBC atipikal—paling sulit dibedakan dengan demam
typhoid terutama di Negara-negara miskin dan berkembang. Demam, dan gejala-
ejalanya sangat mirip. Foto rontgen thoraks atau hasil laboratorium yang telah
terbukti anya bakteri penyebab typhoid, terkadang hanya satu-satunya cara untuk
menegakkan diagnosis.
5. Brucellosis – juga sulit dibedakan, tetapi biasanya ditemukan adanya nyeri sendi.
6. Trypanosomiasis – pada daerah yang endemis, dapat dijadikan bahan untuk
diagnosis banding.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukosistosis. Leukosistosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan
dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. Pada uji
Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : 1)
aglutinin O (dari tubuh kuman); 2) aglutinin H (flagela kuman); 3) aglutinin Vi (simpai
kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap
tinggi selama beberapa minggu . Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian
diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu :
1. pengobatan dini dengan antibiotik
2. gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid
3. waktu pengambilan darah
4. daerah endemik atau non-endemik
5. riwayat vaksinasi
6. reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang,
dan strain Salmonella yang digunakan untuk susupensi antigen.
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal
sebagai berikut : 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif; 2) volume darah yang kurang (diperlukan kurang
lebih 5 cc darah ). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam cairan media cair
empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa
lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat
menekan bakteriemia hingga bikan darah dapat negatif; 4) Saat pengambilan darah
setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
KOMPLIKASI
1. Perforasi usus
Perforasi usus sering terjadi pada akhir minggu kedua atau minggu ketiga demam
tifoid pada ileum distal. Perforasi terjadi apabila ulkus yang terjadi apabila ulkus
yang terjadi menenbus lapisan serosa sehingga terjadi peritonitis. Tana-tanda
peritonitis adalah nyeri seluruh perut, distensi abdomen, mual dan muntah. Pada
palpasi adanya nyeri seluruh perut, distensi abdomen, mual dan muntah. Pada
palpasi adanya nyeri tekan, nyeri lepas, defense muscular, dan bisisng usus
menurun. Pada pemeriksaan raiologik abdomen ditemukan gas bebas di abdomen
atau gas pada diafragma bawah.
2. Perdarahan usus
Perdarahan dapat timbul pada akhir minggu kedua atau minggu ketiga apabila
proses nekrosis sudah mengenai lapisan mukosa dan submukosa sehingga terjadi
erosi pada pembuluh darah. Sering terjadi perdarahan yang minimal sehingga
dapat sembuh sendiri. Tanda adanya perdarahan adalah penurunan suhu badan,
penurunan tekanan darah, peningkatan nadi, dan kadang-kadang perdarahan per
anus.
3. Manifestasi pulmonal
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk yang bersifat ringan dan sesak nafas
disebabkan oleh bronchitis (15%), pneumonia (30%), efusi pleura dan mpiema.
Pneumonia sering disebabkan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit
au fase akut lanjut.
4. Manifestasi hematologis
Anemia, netropenia, granulositopenia dan trombostopenia terjadi diebabkan
karena pengaruh erbagai sitokin dan mediator sehingga terjadiny depresi sumsum
tulang. Anemia hemolitik terjadi apabila ada kerusakan langsung pada eritrosit.
Gambaran leukositosis disebabkan karena efek IL-1 dan TNF pada peningkatan
perlepasan netrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi.
5. Manifestasi neuropsikiatris
Manifestasi neuropsikiatri pada penderita demam tifoid bervariasi dari sakit
kepala, meningismus sampai gangguan kesadaran. Patogenesis terjadinya
kelainan neuropsikiatri hingga kini masih belum diketahui dengan jelas. Delirium
merupakan kelainan yang paling sering dijumpai (10-37%) dan dapat berkembang
menjadi ensefalomielitis, mielitis transverse dengan paraplegia, neuritis, dan
sindroma Guillian-Barre. Meningitis yang dibabkan oleh Salmonella kebanyakan
terjadi pada bayi (81%) dan neonates (25%) dengan angka mortalitas yang tinggi.
6. Manifestasi kardiovaskuler
Miokarditis ditemukan pada 1-5% penderita demam tifoid myoookarditis terjadi
karena adana infiltrasi lemak dan nekrosis pada miokardium. Manifestasi klinis
bervariasi mulai dari asimptomatik sampai nyeri dada, payah jantung,
aritmasioatrial block perubahan ST-T pada KG atau syok kardiogenik.
7. Manifestasi hepatobilier
Komplikasi hepatobilier yang sering pada demam tifoid adalah peningkatan
SGOT dan SGPT dan ikterik ringan dapat ditemukan pada hepatitis, kolangitis,
kolesistitis atau hemolisis. Masih belum diketahui disfungsi hepar yang terjadi
pada infeksi Salmonella disebabkan oleh invasi langsung bacteria ke dalam hepar
atau endotoxemia. Penderita dengan hepatitis tifosa dapat dibedakan dengan viral
hepatitis adalah dengan adanya demam yang khas, keadaan umum penderita yang
tampak sakkit, ikterik ringan, bradikardia relatif, peningkatan SGOT dan SGPT.
Pada hepatitis viral, demam terjadi pada fase prodormal dan demam hilang
apabila timbulnya ikterik. Pada biopsi hepar ditemukan cloudy swelling, ballon
degeneration dengan vakuolisasi hepatocytes, moderate fatty changes dan daerah
fokal dari sel kupffer agregasi yang dikenali sebagai nodul tifoid. Kolesistitis akut
atau kronik dapat terjadi beberapa bulan atau tahun setelah menderita demam
tifoid, tetapi jarang ditemukan pada anak.
8. Manifestasi urogenital
Sebanyak 25% penderita demam tifoid penah mengekspresikan Salmonella typhi
dalam kemih selama masa sakitnya. Kelainan yang paling sering ditemukan
adalah proteinuria yang bersifat sementara. Proteinuria pada sebagian kasus
disebabkan oleh imun kompleks yang mengakibatkan terjadinya glomerulo
nefritis. Manifestasi lain adalah sindroma nefrotik, sistitis, pielonefritis, dan gagal
ginjal. Pada keadaan ini sering dihubungkan dengan infeksi schistosoma
haematobium.
TERAPI
Umum
1. Tirah baring selama panas dan istirahat yang cukup. Dengan tirah baring,
diharapkan usus tidak banyak mengalami gerak, sehingga memepercepat proses
penyembuhan. Penderita harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam
atau bahkan sebaiknya sampai akhir minggu ketiga karena rsiko komplikasi
perdarahan dan perforasi usus cukup besar pada minggu ini. Mobilisasi harus
dilakukan secara bertahap. Penderita dibenarkan duduk pada hari kedua bebas
demam, berdiri pada hari ketujuh bebas demam dan berjalan hari kesepuluh bebas
demam.
2. Diet makanan lunak yang mudah dicerna. Pada keadaan penderita sakit berat, diet
dengan tinggi energi, tinggi protein dan diet yang cair direkomendasikan.
Makanan diberikan pada frekuensi interval 2-3 jam. Pada keadaan sudah
menurun, makanan yang lunak diberikan. Makanan yang harus dihindari adalah
makanan yang tinggi serat, gorengan atau makanan yang berlemak dan makanan
yang bersifat iritatif. Apabila kondisi penderita membaik, makanan dapat
diberikan dalam porsi yang lebih besar.
Diet tifoid adalah :
TD 1 : bubur susu
TD 2 : bubur tepung
TD 3 : bubur saring
TD 4 : nasi tim/nasi lunak
TD 5 : makanan biasa
Khusus
1. Eradikasi kuman.
Kloramfenikol merupakan obat utama yang saat ini sudah jarang digunakan
karena resistensi terhadap obat ini tinggi, adanya peningkatan angka relaps dan
resiko toksisitas pada sumsum tulang. Kloramfenikol merupakan antibiotika
berspektrum luas yang bersifat bakteriostatik. Cara kerja kloramfenikol adalah
dengan menghambat sintesa bakteri dengan berikatan dengan subunit 50S
ribosom bakteri. Keuntungan terapi kloramfenikol pada demam tifoid adalah
harga mudah, mudah diperoleh, jarang menimbulkan efek samping pada
pemakaian yang singkat, demam turun pada waktu yang singkat (3-4 hari terapi),
meningkatkan angka kesembuhan (90%) dan menurunkan mortalitas. Kerugian
pemakaian obat ini adalah tidak dapat menurunkan angka kekambuhan, tidak
berpengaruh pada eksketor konvalesen atau karier kronis, mengakibatkan anemia
aplastik dan tidak dapat digunakan pada Salmonella typhi yang resisten. Efek
samping yang dapat terjadi adalah gangguan pada saluran cerna yaitu mual,
muntah dan diare, depresi sumsum tulang, grey baby syndrome, anemia aplastik.
Obat antibiotik lain yang digunakan adalah ampisilin, amoksisislin, trimetroprim-
sulfamethoksasol (kotrimoksasol). Terapi diteruskan selama 2 minggu.
Penanganan pada karier kronis diberikan ampislin atau amoksisilin dosis tinggi
selama 4-6 minggu dengan probenesid atau kotrimoksasol. 80% karier kronis
dikatakan sembuh pada karier tanpa kolelitiasis atau kolesistitis. Karier denga
kolelitiasis atau kolisistitis diberi antibiotic dan juga kolesistektomi selama dalam
14 hari pengobatan antibiotik.
2. Kortikosteroid
Deksametason (3 mg/kg dosis inisial dan 1 mg/kg/6jam selama 2 hari) diberikan
pada penderita dengan syok, stupor atau koma.
3. Tindakan bedah
Tindakan bedah laparotomi dilakukan pada komplikasi peritonitis dan
kolesistektomi pada penderita kolelitiasis dan kolesistitis.
Suportif
1. Pemberian cairan dan elektrolit seimbang
Pada demam tifoid terjadi hiperhidrosis yang berlebihan sehingga terjadi
kehilangan cairan seperti Natrium, Kalium, Klorida. Untuk kompensasi
kehilangan cairan ini, cairan dan elektrolit yang cukup diperlukan, 3-4 liter air
perhari.
2. Roboransia
Pada kondisi demam tifoid akut terjadi kebutuhan nutrisi vitamin A, B, dan C.
Penggunaan antibiotika dan obat lain dapat mengganggu sintesa vitamin B di
usus. Oleh karena itu roboransia dapat diberikan pada penderita demam tifoid
sebagai obat tambahan.
3. Antipiretik
Parasetamol diberikan setiap 6 jam dengan dosis 10 mg/kgBB/dosis.
4. Transfusi darah
PENCEGAHAN
1. Menjaga kebersihan pribadi
2. Cuci tangan
3. Menjaga kebersihan dalam mempersiapkan makanan
4. Meningkatkan kebersihan sanitasi lingkungan
5. Penyediaan air mengalir yang bersih
6. Pengamanan pembuangan limbah feses dan urin
7. Eradikasi karier Salmonella typhi
8. Vaksinasi
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis demam tifoid tergantung cepatnya terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, penyebab tipe Salmonella dan adanya penyulit. Pada negara yang
maju, presentasi mortalitas < 1% sedangkan pada negara yang berkembang, presentase
mortalitas > 10% karena keterlambatan mendiagnosa, keterlambatan pengobatan di
rumah sakit dan pengobatan yang tidak mencukupi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo D. Demam Tifoid. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 4th ed. Jakarta : Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006 : 1774-9.
2. Background document : The Diagnosis, treatment and prevention of typhoid
fever. WHO : Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and
Biologicals.
3. Lesser CF, Miller SI. Typhoid Fever. In : Kasper, Braunwald, Fauci, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine vol I, 16th ed. USA : Mc Graw-Hill.
2005 : 898-902.