Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata
Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx
-
Upload
reed-jones -
Category
Documents
-
view
20 -
download
2
description
Transcript of Lap THL Chitin & Chitosan Aloysius Andreanto Rahardjo 12.70.0117 A1 UNIKA Soegijapranata.docx
Acara I
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRATIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Aloysius Andreanto Rahardjo
Nim : 12.70.0117
Kelompok : A 1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap rendemen chitin dan chitosan dengan berbagai penambahan
pelarut dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Rendemen Chitin dan Chitosan
Kel PerlakuanRendemen
Chitin I (%)
Rendemen
Chitin II
(%)
Rendemen
Chitosan
(%)
A1 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
30 10 21,765
A2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
34 28,571 24,875
A3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
20 30 16,462
A4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
4 9 45,455
A5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%
30 40 10,355
A6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%
30 20 10,4
Pada tabel diatas dapat dilihat hasil pengamatan pada kelompok A1 dengan perlakuan
penambahan HCL 0,75 N, NaOH 3,5% dan NaOH 40% hasil yang diperoleh yaitu 30%
rendemen I, 10% rendemen II dan 21.765 % rendemen chitosan. Pada kelompok A2
dengan perlakuan sama dengan A1 hasil yang diperoleh yaitu 34% rendemen I,
28.571% rendemen II dan 24.875 % rendemen chitosan. Pada kelompok A3 dengan
perlakuan penambahan HCL 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 60% hasil yang diperoleh
yaitu 20% rendemen I, 30% rendemen II dan 16.462 % rendemen chitosan. Pada
kelompok A4 dengan perlakuan sama dengan A3 hasil yang diperoleh yaitu 4%
rendemen I, 9% rendemen II dan 45.455 % rendemen chitosan. Pada kelompok A5
dengan perlakuan penambahan HCL 1.25 N, NaOH 3,5% dan NaOH 80% hasil yang
diperoleh yaitu 30% rendemen I, 40% rendemen II dan 10.355 % rendemen chitosan.
Pada kelompok A6 dengan perlakuan sama dengan A5 hasil yang diperoleh yaitu 30%
rendemen I, 20% rendemen II dan 10.4 % rendemen chitosan.
1
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, akan membahas mengenai memanfaatkan limbah kulit udang untuk
membuat chitin dan chitosan. Penggunaan kulit udang dalam praktikum ini adalah
karena menurut Anshar P(2013) dalam jurnalnya yang berjudul Production and
Characterization of Chitosan from shrimp shells waste mengatakan bahwa Udang
merupakan salah satu yang penting dunia produk perikanan yang luas termasuk
Indonesia, produk ini sebagian besar diekspor dalam kondisi beku yang telah
mengalami proses pemisahan kepala dan kulit (karapas). Proses pemisahan ini akan
menyebabkan efek samping limbah padat, akan mengakibatkan pencemaran lingkungan
berupa bau buruk dan kerusakan estetika lingkungan. Namun, limbah dari proses
pemisahan memiliki nilai ekonomis untuk chitin dan chitosan industri dan menurut
Marganov (2003), kulit udang adalah bagian dari udang yang menutupi 30-40% bagian
dari total berat udang. Udang mengandung chitin sekitar 60-70% dan bila diproses
menjadi chitosan akan menghasilkan yield sekitar 15-20%. Disamping itu Menurut
Purwaningsih (1994), limbah udang merupakan sumber yang kaya akan chitin, yaitu
kurang lebih 30% dari berat kering. Berarti limbah udang memang masih bisa
dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya
chitin sendiri, tepung ikan untuk pakan ternak, dan flavor udang (Knorr, 1982).
Menurut Suhardi (1993) dan Patil et al (2000) Dalam cangkang udang terkandung
khitin berkisar antara 20-50% dari berat keringnya dan termasuk dalam kelompok
Crustaceae sebagai komponen eksoskeleton yang biasanya terdapat pada dinding sel
insekta, kapang dan kamir. Oleh karena itu, pemanfaatan kembali limbah cair hasil
ekstraksi chitin dari limbah udang seperti cangkang, kerapas, dan kepala, dapat
dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan chitin dan chitosan (sebagai bahan
pengawet) dan juga dapat diproduksi secara komersial.
Kulit udang dan cangkang kepiting limbah seafood merupakan sumber potensial
pembuatan khitin dan khitosan, yaitu biopolymer yang secara komersil berpotensi
dalam berbagai bidang industri. Manfaat khitin dan khitosan di berbagai bidang industri
modern cukup banyak, diantaranya dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi,
biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil, pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan.
2
3
Disamping itu, chitin dan chitosan, serta turunannya, mempunyai sifat sebagai bahan
pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Mudasir et al, 2008).
Aranaz (2009) menyatakan bahwa kandungan yang terdapat dalam kulit udang adalah
25-40% protein, 45-50% kalsium karbonat, 15-20% chitin, dan pigmen alam seperti
karotenoid (astaxanthin, astathin, canthaxanthin, lutein dan & β-karoten). Jumlah
kandungan komponen antara satu udang dengan udang yang lain tidak sama, tergantung
pada jenis udang dan jenis tempat hidup. Karena hal itulah menurut Arbia et al. (2012),
kulit udang menjadi sumber potensial untuk pembuatan chitin dan chitosan, yakni
biopolimer yang berpotensi dalam berbagai bidang industri. Chitin dan turunannya juga
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi.
Menurut Muzzarelli (1985) chitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah
selulosa dengan rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang berikatan
dengan β-glikosidik (1,4) dimana setiap ikatan saling menghubungkan antar unit
ulangnya. Hargono et al. (2008) menambahkan bahwa yang membedakan chitin dengan
selulosa adalah gugus yang terikat pada atom C2, namun struktur kimia chitin mirip
dengan selulosa. Gugus yang terikat pada atom C2 pada selulosa gugus adalah OH,
sedangkan gugus yang terikat pada chitin adalah gugus asetamida. Ditambahkan lagi
oleh Muzzarelli (1985), bahwa nitrogen yang terkandung dalam protein limbah udang
sebagian besar dari nitrogen chitin, namun nitrogen chitin ini tidak bersifat toksik atau
racun. Crustacea mengandung chitin dengan kadar yang cukup tinggi yaitu sekitar 20-
60%, dan besarnya chitin tergantung spesies.
Menurut Mejía S.J.E.(2006), chitin adalah polisakarida alam terbanyak setelah selulosa.
Chitin banyak dihasilkan dari limbah hasil laut (udang dll).Chitin dan chitosan
merupakan polimer yang terdiri dari N-asetil-glukosamin dan N-glukosamin yang
secara acak terdistribusi dalam rantai biopolimer. Zhengke (2010) menambahkan bahwa
hal yang menjadi pembeda utama antara chitin dan chitosan terletak pada tingkat
deasetilasinya dimana apabila tingkat deasetilasi lebih rendah dari 50% maka disebut
chitin sedangkan bila lebih tinggi dari 50% disebut dengan chitosan. Tingkat deastilasi
ini dipengaruhi oleh sumber dari biopolimer dan metode persiapan. Parameter yang
berperan dalam mempengaruhi karakteristik fisikokimia dari chitin dan chitosan adalah
4
kelarutan, tegangan permukaan, pembentukan rantai, dan komposisi biologinya
(Zhengke et al. 2010).
Chitin merupakan produk deproteinasi dari produk demineralisasi limbah kulit udang.
Ciri-ciri dari chitin adalah berbentuk kristal amorphous yang berwarna putih, tidak
berbau, tidak berasa, dan tidak dapat larut dalam air, pelarut organik, asam-asam
anorganik dan basa encer. Peter (1995) menambahkan bahwa chitin adalah
makromolekul yang berbentuk padatan amorf atau kristal, berwarna putih, dan dapat
diurai melalui proses kimiawi (asam kuat dan basa kuat) maupun secara biologis
(biodegradable) terutama dilakukan oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan
chitinase. Selain itu, chitin memiliki sifat fleksibel, mudah larut dalam asam encer, dan
asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat dan asam formiat anhydrous,
tetapi tidak larut dalam air, asam anorganik encer, asam organik, alkali pekat dan
pelarut organik.
Menurut Zouhour Limam (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Extraction and
characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products: Biological and
physicochemical properties mengatakan bahwa Kitin adalah suatu homopolimer N-
asetil-D-glukosamin (GLC-NAC) residu dihubungkan oleh β-1-4 obligasi, adalah yang
paling luas terbarukan sumber daya alam selulosa berikut. Sumber utama kitin adalah
limbah krustasea, yang juga merupakan bahan dinding sel utama di sebagian besar
jamur. Kitin dan turunannya memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena aktivitas
biologis serbaguna dan aplikasi agrokimia. antibakteri alami dan atau karakteristik
antijamur kitosan dan turunannya telah menghasilkan penggunaannya dalam disinfektan
komersial.
Sedangkan menurut Muhammed et al (2012) dala jurnalnya yang berjudul Extraction and
Characterization of Chitin from Nigerian Sources menyatakan bahwa Istilah "kitin" digunakan
untuk menunjuk 1, 4-linked 2-Acetamido-2-deoksi-β-D-glukosa. Ikatan kimia ini adalah zat
keras yang membentuk exoskeleton serangga dan krustasea, yang juga dapat diperoleh dari
sumber lain seperti jamur, jamur, cacing, diatom, dan lain – lain. Kitin adalah polimer alam
yang paling melimpah kedua di alam setelah selulosa dan seperti selulosa kitin berfungsi
sebagai polisakarida struktural. Kitin dan turunannya memiliki beberapa aplikasi dalam
5
berbagai bidang, ini termasuk, biomedis, makanan, agen pengemulsi, pengolahan air limbah,
Biocatalysis, pertanian, tekstil dan juga industri kertas
Chitosan termasuk dalam produk deasetilasi chitin yang diproses melalui reaksi kimia
dengan menggunakan basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis yang menggunakan
enzim chitin deacetylase. Chitosan adalah biopolimer yang resisten terhadap tekanan
mekanik. Chitosan disusun oleh unsur-unsur yang hampir sama dengan unsur-unsur
yang menyusun chitin yaitu C, H, N, O dan unsur-unsur lainnya (Suhardi, 1993).
Definisi dari chitosan, Balley et al, (1977) juga mengungkapkan chitosan adalah
senyawa yang dihasilkan melalui proses hidrolisis chitin dengan menggunakan basa
kuat dan mempunyai rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa). Selain itu,
menurut Ramadhan et al. (2010), chitosan merupakan polisakarida memiliki struktur N-
amino-2 deoksi β-D-glukopiranosa atau glukosamin yang banyak terdapat di alam
setelah selulosa dan merupakan hasil dari deasetilasi chitin/poli.
Gambar 1. Struktur Chitin dan Chitosan (Pillai et al., 2009)
Menurut C. Radhakumary et al (2005) dalam jurnalnya yang berjudul Biopolymer
Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical applications menjelaskan
bahwa Chitosan merupakan kopolimer N-asetil glukosamin dan glukosamin unit dan
direpresentasikan sebagai homopolimer. Ini adalah polisakarida dasar yang unik dengan
berat molekul tinggi. Chitosan terjadi di alam pada dinding sel dari beberapa jamur,
serangga dan lai – lain. Hal ini disiapkan oleh N-deasetilasi dari "-chitin dengan 40-50%
alkali berair pada 120-1600C. Chitosanhas memiliki sifat yang sangat baik sebagai
6
biomaterial yaitu adalah sebagai biodegradable, biokompatibel, tidak beracun dan
antithromboganic. Properti ini membuat kitosan berlaku secara luas di bidang farmasi
dan biomedis untuk rilis terkontrol obat, untuk penatalaksanaan luka dan ruang mengisi
implan dll
Untuk memisahkan chitosan dipisahkan dari komponen lain ada tiga tahapan yaitu
melalui proses (1) demineralisasi atau tahap menghilangkan mineral, (2) deproteinasi
atau tahap penghilangan protein, dan (3) deasetilasi atau tahap pemutihan (Muzzarelli et
al., 1997). Proses deasetilasi chitin dapat menghasilkan chitosan dimana proses ini
menggunakan larutan basa dengan konsentrasi tinggi (Muzzarelli et al., 1997; Shahidi et
al., 1999). Angka & Suhartono (2000), mengungkapkan rendemen chitin yang
dihasilkan dipengaruhi oleh urutan proses isolasi chitin yang dilakukan. Oleh karena itu,
proses demineralisasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan
proses deproteinasi, hal ini karena bila melakukan urutan proses demineralisasi terlebih
dahulu akan menghasilkan rendemen chitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik
dibandingkan melakukan proses deproteinasi lebih dahulu kemudian proses
demineralisasi. Apabila proses deproteinasi dilakukan terlebih dahulu sebelum ekstraksi
mineral dapat mengakibatkan terjadinya kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak
mineral yang akan dihasilkan. Selain itu menurut Alamsyah et al (2007), hal ini
disebabkan karena mineral yang terkandung pada kulit udang dan cangkang kepiting
akan membentuk shield (pelindung) yang keras. Umumnya, struktur yang dimiliki
mineral lebih keras dibandingkan dengan protein, sehingga bila yang dihilangkan
terlebih dahulu adalah mineral, maka pada tahap deproteinasi, basa yang digunakan
menjadi lebih optimal dalam menghilangkan protein karena pelindung yang terbuat dari
mineral telah hilang akibat proses demineralisasi.
2.1. Demineralisasi
Pada praktikum ini pertama – tama dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan
untuk menghilangkan kandungan mineral yang terkandung dalam limbah kulit udang,
disamping itu proses demineralisasi dilakukan agar memudahkan dan mengoptimalkan
proses selanjutnya. Hargono & Haryani (2004) juga menyatakan dimana proses
demineralisasi bertujuan agar garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada
7
pada chitin terutama kalsium karbonat (CaCO3) dapat dihilangkan, sehingga
memudahkan proses selanjutnya.
Tahap awal dari proses demineralisasi yaitu limbah kulit udang dicuci dengan air
mengalir, dan dikeringkan dibawah sinar matahari. Kemudian dicuci dengan air panas
sebanyak dua kali, dan dikeringkan kembali dalam dehumidifier. Tujuan dari pencucian
dengan air mengalir adalah untuk menghilangkan benda-benda pengotor yang terikut
dalam limbah kulit udang. Hal ini didukung oleh Bastaman (1989) dimana pencucian ini
dimaksudkan agar kotoran yang masih menempel dapat dihilangkan sehingga tidak
mencemari ektraksi chitin. Pengeringan di bawah sinar matahari bertujuan agar sisa
pencucian dari air mengalir yang tidak dibutuhkan dapat teruapkan, sehingga tidak
mengganggu pengolahan chitin dan chitosan. Lalu pencucian dengan air panas
merupakan tahap sterilisasi yang memiliki tujuan untuk menghilangkan mikoorganisme
yang merugikan dari limbah kulit udang. Bahan dikeringkan dengan alat dehumidifier
pada suhu 80oC berfungsi agar sisa-sisa air panas yang masih menempel pada kulit
udang akan menghilangkan sehingga secara keseluruhan akan mengurangi kadar air
pada kulit udang dan dihasilkan produk kulit udang yang kering. Setelah itu, bahan yang
telah kering dihancurkan menjadi serbuk yang berukuran 40-60 mesh. Tujuan dari
penghancuran ini adalah agar bahan memiliki luas permukaan yang besar sehingga
senyawa-senyawa pelarut yang digunakan dapat melakukan kontak dengan serbuk
secara sempurna dan proses demineralisasi dapat berjalan semakin mudah. Kemudian
ditambah sebuk yang didapat dicampur dengan HCl dengan perbandingan pelarut
dengan serbuk sebesar 10 : 1. Setiap kelompok penambahan konsentrasi HCl-nya
berbeda-beda. HCl 0,75 N ditambahkan untuk kelompok A1 dan A2, HCl 1 N
ditambahkan untuk kelompok A3 dan A4 dan HCl 1,25 N ditambahkan untuk kelompok
A5 dan A6. Penambahan HCl bertujuan agar kotoran-kotoran atau mineral-mineral yang
masih ada dapat dihilangkan. Karena pada kulit udang terkandung mineral sekitar 30-
50% (berat kering). Oleh karena itu, mineral-mineral tersebut harus dihilangkan terlebih
dahulu sebelum ekstraksi chitin dilakukan, dan untuk melarutkan komponen mineral
tersebut dengan menggunakan asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam
laktat (Bastaman, 1989).
8
Dengan adanya penambahan HCl, mineral pada permukaan biopolimer kitin akan
mengalami kerusakan, dengan reaksi sebagai berikut:
HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)
H+(aq) + H2O H3O+(aq)
Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)
CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)
(Mudasir, et al., 2008).
Langkah selanjutnya yaitu dipanaskan sambil diaduk diatas hotplate pada suhu 90ºC
selama 1 jam. Pemanasan yang dilakukan berfungsi untuk memudahkan terjadinya
pelepasan mineral-mineral pada kulit udang, dimana pemanasan dengan menggunakan
suhu tinggi (Austin, 1988). Sedangkan menurut Puspawati & Simpen (2010) pemanasan
ditujukan agar perusakan mineral dapat berlangsung cepat, karena sesuai dengan tujuan
utama proses demineralisasi yaitu agar mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat
pada cangkang dapat dihilangkan. Menurut Angka & Suhartono (2000) pengdukan
bertujuan untuk menghomogenkan larutan sehingga pemanasan terjadi secara merata
pada seluruh bagian larutan yang dipanaskan dan juga menghindari meluapnya
gelembung-gelembung udara yang dihasilkan akibat pemisahan mineral selama proses
demineralisasi.
Setelah proses pemanasan dan pengadukan dilakukan selama 1 jam, larutan dicuci
dengan air mengalir sampai didapat pH netral. Pencucian ini berfungsi untuk mencegah
terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan terjadi. Selain itu, pencucian
juga bertujuan untuk menghilangkan HCl yang mungkin masih tersisa dalam residu. Hal
ini sesuai dengan Austin (1988), bahwa tujuan pencucian yang dilakukan adalah agar
larutan HCl yang telah digunakan sebelumnya dapat hilang. Pencucian ini sangat
penting agar terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan kitin dapat
dicegah, karena dengan adanya sisa HCl maka rantai/ cincin kitin akan terputus ketika
dipanaskan kembali. Begitu juga dengan pendapat Austin (1988), tujuan pencucian
adalah menetralkan larutan asam menjadi normal. Proses pencucian dihentikan ketika
pH sudah mencapai netral saat diukur dengan pH meter. Setelah pH larutan menjadi
netral, larutan dikeringkan kembali dalam dehumidifier suhu 80ºC selama 24 jam.
9
Tujuan dari pengeringan ini adalah menguapkan atau menghilangkan air yang masih
tersisa selama proses pencucian, sehingga produk kitin akhir nantinya adalah berbentuk
kering.
Dari hasil yang diperoleh rendemen kitin 1 kelompok A1 sebesar 30%, A2 sebesar 34%,
A3 sebesar 20%, A4 sebesar 4 %, A5 sebesar 30% dan A6 sebesar 30%, rendemen kitin
1 yang terbesar terdapat pada kelompok A2 dan yang terendah terdapat pada A4. %.
Hasil yang didapat ini kurang sesuai dengan teori yang ada. Hal ini menurut Rokshana
(2005) dalam jurnalnya yang berjudul Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp
(Metapenaeus Monoceros) Shell by Chemical Method mengatakan bahwa seharusnya
semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan, maka semakin tinggi pula rendemen
yang dihasilkan. Oleh karena itu seharusnya dengan semakin tingginya konsentrasi HCl
yang digunakan maka semakin banyak protein dan mineral yang terpisah dari kitin,
sehingga pada saat proses pemanasan hanya sedikit kitin yang ikut menguap bersama
dengan senyawa protein dan mineral. Kesalahan ini dapat diakibatkan beberapa factor
sehingga menyebabkan kitin tergradasi selama proses. Hal ini didukung dengan
pernyataan Knorr (1984), yaitu dengan penggunaaan konsentrasi asam terlalu tinggi dan
waktu perendaman yang lama, dapat menyebabkan kitin terdegradasi. Disamping itu
proses pencucian juga dapat menyebabkan beberapa komponen ikut terbuang sehingga
nilai rendemen kitin menjadi berkurang. Kesalahan juga dapat dikarenakan proses
pengeringan belum terjadi secara sempurna, sehingga tidak semua air dalam kitin
teruapkan, maka massa air juga akan terhitung sebagai berat rendemen kitin.
2.2. Deproteinasi
Setelah proses demineralisasi yaitu proses penghilangan mineral yang ada dalam kulit
udang, proses selanjutnya adalah proses deproteinasi yaitu proses penghilangan protein.
Dalam proses pembuatan kitin, tahap ini bertujuan untuk melarutkan protein-protein
yang terdapat pada bahan. Menurut Hargono & Haryani (2004) tujuan dari proses
deproteinasi adalah memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin.
Tiap-tiap kelompok menambahkan NaOH 3,5% dengan perbandingan pelarut dan
serbuk (6:1) pada serbuk yang dihasilkan dari proses demineralisasi. Pada proses
deproteinasi penambahan NaOH dilakukan agar protein yang berada pada tepung larut
10
dan meningkatkan rendeman kitin. Hal ini didukung dengan teori dari Puspawati &
Simpen (2010), penambahan basa bertujuan untuk menghilangkan protein.
Ditambahkan menurut Suharto (1984), bahwa NaOH 3,5% ditambahkan karena NaOH
adalah alkali yang paling efektif untuk meningkatkan volume partikel bahan (substrat).
Begitu juga menurut Suhardi (1993), penambahan NaOH merupakan metode yang
efisien dan dapat menghasilkan kitin dengan kandungan mineral dan residu protein
paling rendah dibanding cara lain. Dengan meningkatnya volume maka ikatan antar
komponen menjadi renggang, sehingga dapat menghidrolisis gugus asetil pada kitin.
Proses selanjutnya adalah pemanasan dan pengadukan diatas hot plate dengan suhu 90o
C. Pemanasan dilakukan agar protein terdenaturasi dan protein menjadi lebih mudah
dipisahkan. Dengan pemanasan juga akan menguapkan air dan mengkonsentrasikan
NaOH, sehingga menghasilkan kitin yang lebih optimal. Selain itu, adanya pemanasan
dapat menguraikan protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga akan
mempermudah proses deproteinasi yang dilakukan oleh NaOH. Proses pemanasan yang
dilakukan bersama dengan pengadukan bertujuan untuk menjaga gelembung udara. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Puspawati & Simpen (2010), bahwa tujuan dari
pengadukan adalah untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang
dihasilkan akibat pemisahan protein selama proses deproteinasi. Supaya protein dapat
terdenaturasi secara merata dan efisien oleh NaOH, maka diperlukan proses
pengadukan.
Setelah dipanaskan dan diaduk selama 1 jam, larutan kemudian dicuci dengan air
mengalir hingga pH netral. Tujuan pencucian dilakukan adalah agar menurunkan basa
menjadi normal. Pencucian juga dapat mempengaruhi penghasilan kitin. Menghilangkan
pengotor-pengotor yang masih menempel maupun NaOH yang mungkin masih tersisa
dalam residu juga merupakan pencucian. Kitin yang telah dicuci lalu dikeringkan
kembali dalam oven 80ºC selama 24 jam. Pengeringan ini bertujuan agar kandungan air
yang masih tersisa selama proses pencucian dapat hilang dan teruapkan, sehingga
didapatkan produk akhir berbentuk kering (Rogers, 1986).
Dari hasil pengamatan diperoleh rendemen kitin II pada kelompok A1 sebesar 10%, A2
sebesar 28.571%, A3 sebesar 30%, A4 sebesar 9%, A5 sebesar 40%, A6 sebesar 20%.
Dalam suasana basa, protein dan mineral akan lebih besar kelarutannya dibandingkan
11
dalam suasana asam karena larutan basa seperti NaOH memiliki aksi hidrolisis yang
lebih tinggi daripada larutan asam (Fennema, 1985). Semakin banyak pelarut basa maka
protein yang terikat pada basa semakin banyak dan nilai rendemen kitin yang dihasilkan
semakin kecil. Hal ini ditunjukan oleh kelompok A1, A2,dan A6 yang nilai rendemen
kitin II-nya lebih kecil dibanding nilai rendemen I. Ketidak sesuaian ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal, dimana menurut Knorr (1984), pada waktu pencucian,
ada beberapa komponen yang ikut terbuang bersama dengan air sehingga rendemen
kitin menjadi berkurang. Proses pengeringan yang tidak sempurna juga dapat
menyebabkan air tidak seluruhnya teruapkan sehingga massa air ikut terhitung sebagai
berat rendemen kitin. Atau dapat juga karena proses pemanasan yang dilakukan pada
tahap demineralisasi belum optimal sehingga masih ada mineral saat proses
deproteinasi.
2.3. Deasetilasi
Tahap selanjutnya setelah tahap demineralisasi dan deproteinasi adalah tahap
deasetilasi. Pada tahap ini dilakukan proses asetilasi kitin untuk menghasilkan kitosan.
Menurut Shahidi & Botta (1994) pengubahan kitin menjadi kitosan dilakukan dengan
proses deasetilasi menggunakan larutan sodium hidroksida atau kalium hidroksida
untuk mengganti gugus asetamida dengan gugus amino pada suhu tinggi. Ditambahkan
juga menurut Ramadhan et al. (2010), perubahan kitin menjadi kitosan dilakukan
dengan menghidrolisis gugus asetoamida oleh basa kuat yaitu NaOH 50%. Proses
deasetilasi dilakukan bertujuan agar ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen
pada gugus asetamida kitin dapat diputuskan sehingga berubah menjadi gugus amina (–
NH2). Dengan terjadinya pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin inilah yang akan
menghasilkan gugus amina terdeasetilasi.
Serbuk kitin dari hasil proses deproteinasi ditambahkan dengan NaOH yang bervariasi
konsentrasi NaOH-nya dengan perbandingan NaOH : Serbuk Chitin 20:1. NaOH 40%
ditambahkan untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 60% ditambahkan untuk kelompok
A3 dan A4, NaOH 80% ditambahkan untuk kelompok A5 dan A6. Penggunaan larutan
NaOH pada proses deasetilasi kitin menjadi kitosan bertujuan untuk memutus ikatan
antara gugus asetil dengan atom nitrogen, sehingga berubah menjadi gugus amina (-
12
NH2). Karena kitin tahan terhadap proses deasetilasi, maka larutan basa yang digunakan
adalah berkonsentrasi tinggi, hal ini menurut Karmas, E. (1982) disebabkan kitin
memiliki struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus
karboksil. Menurut Solomon, et al. (1980) transformasi kitin menjadi kitosan termasuk
reaksi hidrolisis.
Selanjutnya setelah ditambahka NaOH dengan konsntrasi tertentu, larutan diaduk
selama 1 jam kemudian didiamkan selama 30 menit lalu dipanaskan dan sambil diaduk
pada suhu 90ºC selama 1 jam. Pemanasan ini ditujukan untuk mendukung terjadinya
pemutusan ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen, sehingga dapat berubah
menjadi gugus amina (-NH2) (Karmas, E., 1982). Oleh karena itu, diperlukan
pengadukan dimana menurut Reece, et al. (2003) tujuan pengadukan adalah untuk
meratakan pemanasan, dimana dengan tingginya suhu reaksi, maka derajat deasetalasi
kitosan juga meningkat. Kemudian larutan dicuci dengan air mengalir sampai pH netral.
Pencucian ini bertujuan agar dapat menurunkan basa menjadi normal dan NaOH dapat
dihilangkan. Setelah itu dikeringkan kembali pada suhu 70ºC dengan dehumidifier
selama 24 jam. Suhu yang cukup tinggi dalam proses pengeringan dapat menyebabkan
air teruapkan dari kitosan sehingga dihasilkan produk kitosan akhir yang kering.
Dari hasil pengamatan didapat hasil rendemen kitosan kelompok A1 sebesar 21.765%,
A2 sebesar 24.875 %, A3 sebesar 16.462%, A4 sebesar 45.455 %, A5 sebesar 10.355
%, A6 sebesar 10.4%. dari hasil pengamatan tersebut sesuai dengan pendapat Hong et
al. (1989) bahwa semakin tinggi penggunaan NaOH akan semakin rendah menghasilkan
rendemen kitosan. Hal ini karena dengan semakin tingginya konsentrasi NaOH dapat
mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga terjadi penurunan
berat molekul kitosan. Derajat deasetilasi kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti konsentrasi NaOH, suhu dan lamanya proses deasetilasi (Puspawati & Simpen,
2010). Kecuali pada kelompok A4 yang menunjukan angka paling besar hasil rendemen
kitosannya meskipun kadar NaOH yang digunakan tidak setinggi yang digunakan pada
A5 dan A6. Kesalahan yang terjadi mungkin dapat disebabkan karena pengadukan yang
berlebih sehingga menaikkan suhu, dan menyebabkan derajat deasetilasi menjadi
meningkat walaupun konsentrasi NaOH yang digunakan lebih kecil. Atau kemungkinan
yang lain adalah proses pengeringan belum sempurna, sehingga kandungan air tidak
13
semua teruapkan, massa air akan terhitung sebagai berat rendemen kitosan. Juga dapat
disebabkan pada saat tahap pencucian beberapa komponen ikut terbuang sehingga nilai
rendemen kitin menjadi berkurang.
3. KESIMPULAN
Limbah kulit udang mengandung 25-40% protein, 45-50% kalsium karbonat, dan
15-20% kitin.
Kitin adalah senyawa yang dihasilkan melalui proses demineralisasi dan
deprtoteinasi limbah kulit udang.
Kitosan adalah senyawa yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kitin dengan
menggunakan basa kuat dan mempunyai rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-
Glukosa).
Tahapan untuk membuat kitin dan kitosan dalam praktikum ini yaitu demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi.
Proses demineralisasi bertujuan agar garam-garam anorganik atau kandungan
mineral yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat (CaCO3) dapat dihilangkan.
Semakin besar konsentrasi HCl semakin besar juga jumlah rendemen kitin yang
dihasilkan.
Proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan
antara protein dan kitin.
Semakin banyak pelarut basa maka protein yang terikat pada basa semakin banyak
dan nilai rendemen kitin yang dihasilkan semakin kecil.
Proses deasetilasi bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil
dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin sehingga berubah menjadi gugus amina
(–NH2).
Semakin tinggi konsentrasi NaOH akan menghasilkan rendemen kitosan yang
semakin rendah.
Semarang, 22 September 2014
Praktikan Asisten dosen:
- Stella Gunawan
Aloysius Andreanto Rahardjo
12.70.0117
14
4. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Kitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Anshar Patria. (2013). Production and characterization of Chitosan from shrimp shells waste. Department of Agricultural Product Technology, Syiah Kuala University, Indonesia.
Aranaz, Inmaculada., Marian Mengíbar, Ruth Harris, Inés Paños, Beatriz Miralles, Niuris Acosta, Gemma Galed and Ángeles Heras. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. http://benthamscience.com/ccb/openacsesarticle/ccb3-2/0009CCB.pdf
Arbia, Wassila., Leila Arbia, Lydia Adour and Abdeltif Amrane. (2012). Chitin Extraction from Crustacean Shells by Biological Methods. http://www.ftb.com.hr/25.Arbia_et_al.pdf
Austin PR (1988) Chitin Solution dan Purification of Chitin. Dalam Methods in Immonology. Vol 161. Biomass Part B. Wood WA, Kellog ST (ed).Academic Press, San Diego.
Balley, J.E., and Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast. 143 p.
C. Radhakumary, Prabha D. Nair, Suresh Mathew and C.P. Reghunadhan Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. http://www.sbaoi.org.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hargono & K. Haryani. (2004). Pengaruh Ukuran Partikel Limbah Kulit Udang Terhadap Derajat deasetilasi Kitosan. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.
Knorr, D. (1984). Use ofChitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85
15
16
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.
Mejía S.J.E. et all. (2006). The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF.Mexico
Mudasir, et al. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II) Ion. Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Muhammed Tijani ISA, Alewo Opuada AMEH, Joseph Owoicho GABRIEL, and Kenneth Kennedy ADAMA. (2012). Extraction and Characterization of Chitin from Nigerian Sources. http://lejpt.academicdirect.org
Muzzarelli, R.A.A.. (1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego.
Patil, R. S., V. Chormade, and M. V. Desphande. (2000). Chitinolytic enzymes an exploration. Enz Microb Technol 26:473-483.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince 34, 641-678.
Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.
Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Rokshana Naznim. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus Monoceros) Shell by Chemical Method. Biotechnology and Genetic Engineering Didcipline, Kulna University, Khulna 9208, Bangladesh.
17
Shahidi, F. and J. R. Botta. (1994). Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academics & Profesional. London.
Suhardi. (1993) , Khitin Dan Khitosan, buku monograf, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Zhengke, W.; Qiaoling Hu & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Scence.
Zouhour Limam, Salah Selmi, Saloua Sadok and Amor El Abed (2011). Extraction and characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. Institut National des Sciences et Technologies de la Mer, Port La Goulette 2060, Tunisie.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus:
rendemen kitin I= berat keringberat basah I
× 100 %
rendemen kitin II= berat keringberat basah II
×100 %
rendemen kitosan= berat kitosanberat kitin III
×100 %
Kelompok A1
rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
rendemen kitin II=0,55
× 100 %=10 %
rendemen kitosan=0,3701,7
×100 %=21,765 %
Kelompok A2
rendemen kitin I=1,75
×100 %=34 %
rendemen kitin II=0,62,1
×100 %=28,571 %
rendemen kitosan=0,3981,6
×100 %=24,875 %
Kelompok A3
rendemen kitin I=15
×100 %=20 %
rendemen kitin II=0,62
×100 %=30 %
rendemen kitosan=0,4022,442
× 100 %=16,462 %
18
19
Kelompok A4
rendemen kitin I=0,25
×100 %=4%
rendemen kitin II=0,0010,011
× 100 %=9 %
rendemen kitosan=0,0050,011
×100 %=45,455 %
Kelompok A5
rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
rendemen kitin II=0,82
× 100 %=40 %
rendemen kitosan=0,3213,1
× 100 %=10,355 %
Kelompok A6
rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
rendemen kitin II=0,73,5
×100 %=20 %
rendemen kitosan=0,2082
×100 %=10,4 %