Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

29
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Kristina Galuh Sista S. 13.70.0117 Kelompok D3

description

Praktikum mengenai Chitin dan Chitosan

Transcript of Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

Page 1: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Kristina Galuh Sista S. 13.70.0117

Kelompok D3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Page 2: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

Acara II

2015

Page 3: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan

gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N;

dan 1,25 N. NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. Metode

DEMINERALISASI

1

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang

Page 4: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

2

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 5: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

3

DEPROTEINASI

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Page 6: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

4

DEASETILASI

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Page 7: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan chitin dan chitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Chitin dan Chitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

D1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 25 48,25

D2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 31,38 39,43

D3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%36,84 45,71 46,80

D4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%34,78 37,78 39,20

D5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%29,17 32,73 39,14

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa kelompok D1 dengan perlakuan HCl 0,75N

+ NaOH 40% + NaOH 3,5% didapatkan rendemen kitin I sebanyak 32,14%, rendemen

kitin II sebanyak 25%, dan rendemen kitosan 48,25%. Pada kelompok D2 dengan

perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% didapatkan rendemen kitin I

sebanyak 32,14%, rendemen kitin II sebanyak 31,38%, dan rendemen kitosan 39,43%.

Pada kelompok D3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% didapatkan

rendemen kitin I sebanyak 36,84%, rendemen kitin II sebanyak 45,71%, dan rendemen

kitosan 46,80%. Pada kelompok D4 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH

3,5% didapatkan rendemen kitin I sebanyak 34,78%, rendemen kitin II sebanyak

37,78%, dan rendemen kitosan 39,20%. Pada kelompok D5 dengan perlakuan HCl

1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% didapatkan rendemen kitin I sebanyak 29,17%,

rendemen kitin II sebanyak 32,73%, dan rendemen kitosan 39,14%.

5

Page 8: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum Teknologi Hasil Laut kali ini membuat chitin dan chitosan dengan

berbagai perlakuan konsentrasi asam basa dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan

value-added by product. Kitin (Chitin) yaitu polisakarida yang disintesis dari sejumlah

organisme sebagai polisakarida struktural serta tersusun atas polimer yang terdiri dari

rantai linear 2-acetoamido-2-deoxy-β-D-glucopyranosa. Kitin dapat secara alami

ditemukan pada cangkang atau dinding crustacea seperti pada udang, kepiting dan

bagian tengah cumi-cumi (Manni et al.,2009). Berdasarkan teori Peter (1995) kitin

bermanfaat sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti papain, lactase,

kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase. Menurut Zaku, et. al. (2011), chitin

merupakan sumber polisakarida dan digunakan sebagai biopolimer alami. Dalam

analisis proksimat, terdapat beberapa hal yang diuji yaitu moisture content, kadar abu,

dan kadar nitrogen. Tidak hanya memproduksi chitin dan chitosan, tetapi juga

memproduksi glukosamin, serta bioplastic. Untuk mengetahui morfologi chitin

(bipolimer) di analisis dengan mikroskop elektron (SEM). Setelah dianalisis

menggunakan SEM, biopolimer chitin mempunyai struktur yang porous dan fibril.

Menurut Ishikara Masayuki, et. al. (2015), sifat chitin antara lain adalah anti virus,

bactericidal, dan aktivitas anti bakteri. Bubuk chitin dengan lapisan permukaan atau

film yang tipis, mempunyai aktivitas antimikroba serta adsorpsi Ag NP yang kecil.

Struktur permukaan chitin dan chitosan sangat mempengaruhi adsorpsi Ag NPs dan

aktivitas anti mikroba. Dapat disimpulkan bahwa struktur permukaan tersebut

mempunyai biomaterial yang memiliki aktivitas anti mikroba serta anti infeksi. Chitin

dan chitosan dengan lapisan nanoscale, dan memiliki struktur permukaan yang porous,

dapat menyerap logam berat, arsenik, dan intoksikasi lainnya.

Penggunaan kitin yang paling besar terdapat pada industri pangan dan kosmetik. Namun

kitin ini sukar larut dengan air sehingga penggunaannya menjadi terbatas. Tetapi hal ini

dapat diatasi dengan cara memodifikasi kimiawi sehingga didapatkan turunan kitin yang

memiliki sifat kimia lebih baik, salah satunya yaitu kitosan yang memiliki sifat larut

dalam asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat

degradasi polimer. Kitosan sendiri merupakan polimer non toxic dan mudah diuraikan

6

Page 9: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

7

(biodegradable) dari β-1,4-glukosamin. Kitosan dapat mempengaruhi mikroorganisme

karena dapat diaplikasikan sebagai pupuk tanaman (Radwan et al., 2012). Menurut

Robert (1992) kitosan dapat digunakan sebagai pengawet, karena mengandung gugus

amino yang memiliki muatan positif sehingga dapat mengikat muatan negatif dari

senyawa lain. Bila kitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu

sekitar 100oF, maka sifat kelarutan dan viskositasnya akan berubah.

Menurut Paul Jiffy, et. al. (2013), chitin dan chitosan banyak digunakan sebagai

pengemas pangan karena biodegradabel, umur simpan nya panjang, ramah lingkungan,

fleksibel, dan mempunyai aktivitas antimikroba. Kepiting dan udang banyak digunakan

untuk isolasi chitin dan kemudian digunakan sebagai film pengemas pangan. Chitosan

memiliki sifat larut air dan bio adhesive. Chitosan digunakan sebagai pengemas pangan

dengan penambahan agen antimikroba antara lain Listeria monocytogene dan

Pseudomonas putida. Menurut Sakthivel, et. al. (2015), chitin dan chitosan merupakan

sumber polisakarida. Chitin dan turunannya memiliki variasi secara physicochemical

dan biological properties. Chitin dan chitosan banyak diproduksi dari limbah udang,

lobster, dan kepiting. Zat antimikroba alami berasal dari chitosan dari cangkang

kepiting S. Plicatum. Hasil atau yield yang di dapat berturut-turut untuk chitin dan

chitosan adalah 18,46% dan 41,37% yang berarti, yield dari `chitosan lebih tinggi

daripada chitin. Zona aktivitas anti mikroba chitin dan chitosan ditunjukkan dengan

bakteri Micrococcus sp, dan parahaemolyticus. Untuk aktivitas anti bakteri maksimum

dan minimum ditunjukkan dengan Rhizopus sp. Cangkang dari S. Plicatum yang kaya

akan chitin dan chitosan dapat digunakan sebagai sumber alternatif untuk pertanian,

obat-obatan, proses produksi, serta industri bioteknologi. Berdasarkan teori Manjang

(1993) pembuatan kitin dan kitosan ini dapat diperoleh dari limbah udang. Biasanya,

udang di Indonesia diekspor ke luar negeri setelah dibuang limbahnya yang terdiri dari

kepala, ekor, dan kulit. Padahal kepala dan kulit udang memiliki kandungan protein

dalam jumlah yang tinggi tetapi pemanfaatannya dalam bidang pangan masih terbatas.

Menurut Moeljanto (1992) kepala udang termasuk limbah yang dapat mempercepat

pembusukan pada udang karena bagian kepala sebagai sumber bakteri pembusuk dan

enzim-enzim pencernaan. Sedangkan kulit udang menjadi sumber potensial pembuatan

kitin dan kitosan, karena kulit udang merupakan biopolimer yang secara komersil

Page 10: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

8

berpotensi dalam berbagai bidang industri. Kandungan protein pada kulit udang sebesar

25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya kandungan

komponen tersebut tergantung dari jenis udang dan tempat hidupnya (Marganov, 2003).

Muzzarelli (1985) mengungkapkan bahwa kadar kitin dalam berat udang bekisar 60%-

70% dan kitin ini tidak bersifat toksik atau racun. Bila kitin diproses menjadi kitosan

akan menghasilkan yield sebesar 15%-20%.

Menurut Abdulkarim, et. al. (2013), bahwa ektraksi dan karakterisasi chitin dan

chitosan melalui proses pre-treatment, demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Hal

tersebut sesuai dengan yang dilakukan dalam praktikum ini. Chitosan banyak digunakan

dalam proses produksi dalam industri pangan, untuk obat-obatan, dan bioteknologi.

Moisture content pada chitin lebih tinggi daripada chitosan. Kandungan karbon serta

nitrogen pada chitin juga lebih tinggi daripada chitosan. Pada praktikum ini, dalam

pembuatan kitin dan kitosan diperlukan 3 proses diantaranya demineralisasi,

deproteinasi, dan deasetilasi. Xu et al. (2008) menyatakan bahwa proses demineralisasi

dan deproteinasi memiliki dua macam metode, yang pertama secara kimia (melibatkan

asam dan basa) serta metode kedua secara biologi yang melibatkan mikroorganisme

(secara fermentasi). Berdasarkan teori Manni et al. (2010) demineralisasi adalah proses

dimana mengurangi jumlah mineral yang ada pada limbah udang supaya chitin yang

dihasilkan dapat sesuai dengan diinginkan. Mula-mula yang dilakukan limbah udang

dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan, kemudian dicuci dengan air panas

sebanyak 2 kali dan dikeringkan. Pencucian ini bertujuan menghilangkan kotoran yang

masih menempel yang nantinya dapat mencemari ekstraksi kitin (Bastaman, 1989).

Selanjutnya bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan

ditimbang. Kemudian dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan

perbandingan 10:1. Berdasarkan teori Laila dan Hendri (2008) penambahan larutan HCl

ini yang menyebabkan pemisahan mineral dengan ditunjukkan terbentuknya gas CO2

berupa gelembung udara. Tujuan ditambahkannya larutan HCl ini untuk menghilangkan

residu protein yang larut asam pada limbah udang, hal ini dikemukakan oleh Manni et

al. (2010). Lalu larutan dipanaskan hingga suhu 80oC. Menurut Xu et al. (2008) tujuan

dilakukannya pemanasan untuk mempercepat proses perusakan mineral. Setelah

mencapai suhu tersebut, berdasarkan teori Puspawati et al. (2010) larutan dipanaskan

Page 11: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

9

dan diaduk selama 1 jam untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara

yang dihasilkan karena proses pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Proses

demineralisasi ini diakhiri larutan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu

80oC selama 24 jam.

Dari proses demineralisasi maka diperoleh rendemen kitin I dengan konsentrasi HCl

0,75 N memperoleh rendemen kitin lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan HCl 1

N. Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan teori Lehninger (1975) bahwa

penambahan proses pemanasan dan pengadukan dapat membuat mineral-mineral yang

terdapat pada limbah udang akan terlepas dan meningkatkan jumlah rendemen yang

dihasilkan, sehingga semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen

chitin juga semakin besar. Tetapi pada kelompok D5 dengan perlakuan penambahan

konsentrasi HCl sebanyak 1,25 N memperoleh rendemen kitin I paling sedikit. Hal ini

dapat terjadi karena HCl dengan konsentrasi tersebut bukan pelarut yang paling baik

ditunjukkan dari teori Ramadhan et al. (2010) yang menyatakan bahwa pelarut yang

paling baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1 N.

Berdasarkan teori Xu et al. (2008) proses selanjutnya adalah deproteinasi yang

merupakan proses untuk melarutkan protein yang ada pada limbah udang. Mula-mula

hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1. Suharto

(1984) menyatakan bahwa penambahan NaOH 3,5% ini berarti penambahan alkali yang

paling efektif yang dapat memperbesar volume partikel bahan (substrat), sehingga

ikatan antar komponen menjadi renggang. Berdasarkan teori Puspawati et al. (2010)

larutan NaOH memiliki fungsi melarutkan protein yang ada pada rendemen chitin I,

sehingga dapat membentuk chitin secara maksimal. Fennema (1985) menyatakan

larutan NaOH ini juga ditambahkan karena mempunyai aksi hidrolisis yang lebih tinggi

karena kelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar. Selanjutnya larutan

dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan. Kemudian residu

disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

dan dihasilkan chitin. Sehingga diperoleh rendemen kitin II yang berkisar antara 25%

pada kelompok D1 sampai 45,71% pada kelompok D3. Hasil yang diperoleh sesuai

Page 12: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

10

dengan teori Puspawati et al. (2010) yang menyatakan bahwa kitin yang berasal dari

udang akan menghasilkan rendemen lebih dari 20%.

Kedua proses tersebut yaitu demineralisasi dan deproteinasi menurut Lehninger (1975)

dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, suhu dan lama waktu reaksi. Perlakuan

perendaman dengan asam atau basa encer yang disertai dengan pemanasan pada proses

demineralisasi dan deproteinasi bertujuan melepaskan atau meregangkan ikatan antara

protein dengan kitin dan kalsium karbonat serta bahan organik lainnya pada bahan yang

digunakan yaitu kulit udang. Alamsyah et al. (2007) menyatakan jika isolasi kitin

melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih

banyak dibandingkan dengan tahap isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-

demineralisasi.

Proses selanjutnya adalah deasetilasi yang menurut Muzzarelli (1985) merupakan

proses pembentukan kitosan dari kitin menggunakan NaOH untuk mengganti gugus

asetamida dengan gugus amino. Untuk melakuan deasetilasi maka mula-mula Hasil

deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

sesuai dengan teori Kurita (2006) bahwa proses diasetilasi ini dapat dilakukan dengan

menggunakan larutan basa secara berulang-ulang. Kemudian dilakukan pemanasan

untuk meningkatkan derajat deasetilasi kitosan (Xu et al., 2008). Pemanasan dilakukan

pada suhu 80oC karena menurut Puspawatiet al. (2010) suhu akan berpengaruh terhadap

derajat deasetilasi kitosan, sehingga semakin tinggi suhu maka derajat deasetilasi akan

meningkat. Kemudian dilakukan pengadukan selama 1 jam dengan masih dilakukan

pemanasan dengan suhu stabil tersebut. Berdasarkan teori Rogers (1986) proses

pengadukan berfungsi untuk meratakan chitin dengan NaOH supaya proses deasetilasi

dapat berjalan dengan baik. Setelah itu dilakukan pendinginan selama 30 menit agar

bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap ke bawah, agar bubuk tidak terbuang saat

pencucian. Kemudian residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada

suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan. Pengeringan ini berfungsi untuk

menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian, Prasetiyo (2006)

menyatakan sehingga produk kitosan akhir adalah berbentuk kering. Sehingga akan

Page 13: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

11

dihasilkan bubuk kitosan berwarna putih kekuningan sesuai dengan teori Ramadhan et

al. (2010).

Dari proses pembuatan kitosan tersebut maka diperoleh hasil rendemen kitosan

kelompok D1 dengan penambahan NaOH 40% sebesar 48,25% kelompok D3 dan D4

dengan penambahan NaOH 50% sebesar 46,80% dan 39,20% serta kelompok D5

dengan penambahan NaOH 60% sebesar 39,14%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan

bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka semakin sedikit

rendemen kitosan yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori Hong et al. (1989) bahwa

penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan

rendemen chitosan yang rendah. Mekawati et al (2000) menambahkan bahwa

penggunaan konsentrasi NaOH tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan

rendemen kitosan yang memiliki derajat deasetilasi tinggi. Maka berdasarkan teori

Manni et al. (2010) dapat diketahui pembentukan chitosan dapat diperoleh dengan

penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi yang tinggi atau lebih dari 50%.

Page 14: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Chitin merupakan sumber polisakarida dan digunakan sebagai biopolimer alami.

Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet, karena mengandung gugus amino yang

memiliki muatan positif sehingga dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain.

Chitin dan chitosan banyak digunakan sebagai pengemas pangan karena

biodegradabel, umur simpan nya panjang, ramah lingkungan, fleksibel, dan

mempunyai aktivitas antimikroba.

Bila kitin diproses menjadi kitosan akan menghasilkan yield sebesar 15%-20%.

Tujuan ditambahkannya larutan HCl ini untuk menghilangkan residu protein yang

larut asam pada limbah udang.

Tujuan dilakukannya pemanasan untuk mempercepat proses perusakan mineral.

Pelarut yang paling baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1 N.

Lrutan NaOH memiliki fungsi melarutkan protein yang ada pada rendemen chitin I,

sehingga dapat membentuk chitin secara maksimal.

Penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan

rendemen chitosan yang rendah.

Semarang, 28 Oktober 2015Praktikan

Kristina Galuh Sista S.13.70.0117

Asisten Dosen,- Tjan, Ivana Chandra

12

Page 15: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, et. al. (2013). Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil and Environmental Research, Vol.3, No.2.

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University. Belfast. 143 p.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Ishikara Masayuki, et. al. (2015). Adsorbtion of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structure of Chitin/ Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. International Journal Mol. Sci, 16, 13973-13988.

Kurita, Keisuke. (2006). Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers From Marine Crustaceans. Marine Biotechnology (2006) Vol 8, 203-226 DOI: 10.1007/s10126-005-0097-5.

Laila, A dan Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.

Manni, Laila; Olfa Ghorbel-Bellaaj; Kemel Jellouli; Islem Younes & Moncef Nasri. (2010). Extraction and Characterization of Chitin, Chitosan and Protein Hydrolysates Prepared From Shrimp Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1. Appl Biochem Biotechnol (2010) 162:345-357 DOI 10.1007/s12010-009-8846-y

13

Page 16: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

14

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D.(2000). Aplikasi Kitosan Hasil Tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains and Matematika FMIPA Undip, Vol. 8 (2). Semarang.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muzzarelli, R.A.A.. (1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego

Paul Jiffy, et. al. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extend The Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering & Technology, Vol.1, 15-22.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prasetiyo, K.W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Radwan, Mohamed A.; Samia A. A. Farrag; Mahmoud M. Abu-Elamayem & Nabila S. Ahmed. (2012). Extraction, Characterization and Nematicidal Activity of Chitin and Chitosan Derived From Shrimp Shell Wastes. Biol Fertil Soils (2012) 48:463-468 DOI 10.1007/s00374-011-0632-7.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Page 17: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

15

Sakthivel, et. al. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India. Human Journal, Vol. 2, Issue 1.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Xu, Y.; C. Gallert & J. Winter. (2008). Chitin Purification From Shrimp Wastes by Microbial Deproteination and Decalcification. Appl Microbiol Biotechnol (2008) 79:687-697 DOI 10.1007/s00253-008-1471-9.

Zaku, et. al. (2011). Extraction and Characterization of Chitin; A Functional Biopolymer Obtained from Scales of Common Carp Fish (Cyprinus carpio l.): A Lesser Known Source. African Journal of Food Science Vol. 5(8),pp. 478-483.

Page 18: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

Kelompok D1

Rendemen Chitin I =

= 32,14 %

Rendemen Chitin II =

= 25 %

Rendemen Chitosan =

= 48,25 %

Kelompok D2

Rendemen Chitin I =

= 32,14%

Rendemen Chitin II =

= 31,38 %

Rendemen Chitosan =

= 39,43 %

Kelompok D3

16

Page 19: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

17

Rendemen Chitin I =

= 36,84 %

Rendemen Chitin II =

= 45,71 %

Rendemen Chitosan =

= 46,80 %

Kelompok D4

Rendemen Chitin I =

= 34,78 %

Rendemen Chitin II =

= 37,78 %

Rendemen Chitosan =

= 39,20 %

Kelompok D5

Rendemen Chitin I =

= 29,17 %

Rendemen Chitin II =

= 32,73 %

Rendemen Chitosan =

= 39,14 %

Page 20: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

18

6.2. Laporan Sementara

Page 21: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

19

6.3. Diagram Alir

Page 22: Chitin & Chitosan_Kristina Galuh Sista s._13.70.0117_d3_unika Soegijapranata

20

6.4. Abstrak Jurnal