Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

31
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan pembuatan kitin dan kitosan dari limbah udang dengan menggunakan larutan dengan tingkat konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Larutan Terhadap Rendemen Kitin dan Kitosan Ke l Perlakuan Rendeme n Kitin I (%) Rendemen Kitin II (%) Rendemen Kitosan (%) C1 Kulit udang + HCl 0.75 N + NaOH 3.5 % + NaOH 40% 20 20 7,843 C2 Kulit udang + HCl 0.75 N + NaOH 3.5 % + NaOH 40% 32 33,333 17,500 C3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3.5 % + NaOH 50% 24 20 11,429 C4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3.5 % + NaOH 50% 41 16,667 11,429 C5 Kulit udang + HCl 1.25 N + NaOH 3.5 % + NaOH 60% 29 33,333 14,285 C6 Kulit udang + HCl 1.25 N + NaOH 3.5 % + NaOH 60% 35 28,571 11,765 Pada tabel 1, dapat diketahui bahwa rendemen kitin I yang paling besar berasal dari kelompok C4 dengan proses demineralisasi kulit udang menggunakan HCl 1 N. Jika hasilnya ditrata-rata, maka penggunaan HCl 1 N memiliki prosentase rendemen kitin I paling besar dibandingkan dengan penggunaan HCl 0.75 N dan 1.25 N. Kemudian rendemen kitin II yang paling besar dihasilkan oleh kelompok C2 dan C5 dengan proses deproteinasi dari rendemen kitin I dengan 1

description

Salah satu sumber dari kitin dan kitosan adalah limbah udang. Pembuatan kitin dan kitosan ini merupakan salah satu cara penanggulangan limbah udang, sekaligus menaikan nilai ekonomi dari limbah udang tersebut.

Transcript of Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan pembuatan kitin dan kitosan dari limbah udang dengan menggunakan

larutan dengan tingkat konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Larutan Terhadap Rendemen Kitin dan Kitosan

Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

C1Kulit udang + HCl 0.75 N + NaOH 3.5 % + NaOH 40%

20 20 7,843

C2Kulit udang + HCl 0.75 N + NaOH 3.5 % + NaOH 40%

32 33,333 17,500

C3Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3.5 % + NaOH 50%

24 20 11,429

C4Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3.5 % + NaOH 50%

41 16,667 11,429

C5Kulit udang + HCl 1.25 N + NaOH 3.5 % + NaOH 60%

29 33,333 14,285

C6Kulit udang + HCl 1.25 N + NaOH 3.5 % + NaOH 60%

35 28,571 11,765

Pada tabel 1, dapat diketahui bahwa rendemen kitin I yang paling besar berasal dari

kelompok C4 dengan proses demineralisasi kulit udang menggunakan HCl 1 N. Jika

hasilnya ditrata-rata, maka penggunaan HCl 1 N memiliki prosentase rendemen kitin I

paling besar dibandingkan dengan penggunaan HCl 0.75 N dan 1.25 N. Kemudian

rendemen kitin II yang paling besar dihasilkan oleh kelompok C2 dan C5 dengan proses

deproteinasi dari rendemen kitin I dengan menggunakan NaOH 3.5%. Dapat dilihat pula

rendemen kitosan paling besar adalah kitosan yang dihasilkan oleh kelompok C2

dengan proses deasetilasi kitin (rendemen kitin II) dengan menggunakan NaOH 40%.

Jika hasilnya ditrata-rata, maka penggunaan NaOH 40% memiliki prosentase rendemen

kitosan yang paling besar dibandingkan dengan penggunaan NaOH 50% dan 60%.

1

Page 2: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. PEMBAHASAN

Menurut Toan (2011), kitin dan kitosan merupakan komponen struktural pada kutikula

dari kelompok crustacea, insekta, moluska dan terdapat pula di dinding sel dari kapang

dan tanaman merugikan. Hal ini didukung oleh pernyataan Knorr (1984) yang diacu

dalam Yen et al (2009), zat kitin dapat ditemukan pada cangkang atau kulit dari

crustacea, kutikula serangga, dan dinding sel dari fungi. Islam et al (2011) juga

menambahkan bahwa kitosan dan turunannya merupakan bahan tambahan yang sangat

berguna. Kitosan terbuat dari kitin yang merupakan polimer karbohidrat alami yang

dapat ditemukan di skeleton crustacea seperti udang, lobster, dan kepiting serta

eksoskeleton dari zooplankton, koral dan ubur-ubur. Kelompok insekta, seperti kupu-

kupu dan kumbang juga memiliki kitin pada sayapnya, dinding sel yeast, jamur dan

fungi lainnya juga mengandung senyawa ini.

Menurut Toan (2009), kepala dan kulit udang merupakan material yang memiliki nilai

ekonomi rendah dan biasanya dianggap sebagai limbah atau dijadikan makanan ternak.

Limbah udang ini pada iklim tropis mengandung 30-65% protein, 10-20% kalsium dan

8-10% kitin dalam berat kering. Menurut Purwaningsih (1994), pembuatan kitin dan

kitosan ini dilakukan untuk menanggulangi masalah limbah udang, selain itu dengan

dibuatnya produk kitin dan kitosan juga dapat menambah nilai jual dari limbah udang

dari yang sebelumnya hanya dijual sebagai pakan ternak saja. Islam et al (2011)

menyatakan bahwa kitin merupakan homopolimer dari 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa

atau residu N-asetilglukosamin yang dihubungkan dengan ikatan β-(1-4). Sedangkan

kitosan merupakan polimer yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin. Kitosan

merupakan kation polisakarida dengan rantai linear yang terdiri dari β-(1,4)-2-

asetamino-2-deoksi-β-D-glukopiranosa.

Gambar 1. Kitin Gambar 2. Kitosan (Islam et al, 2011) (Islam et al, 2011)

2

Page 3: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Gambar 3. Struktur Kitin dan Kitosan(Pillai et al, 2009)

Toan (2011) menyataan bahwa kitin dan kitosan ini memiliki banyak fungsi biologi,

seperti zat antimikroba, penyembuhan luka terutama pada formasi matrix. Menurut

Toan (2009), kitin dan turunannya kitosan merupakan suatu bahan yang memiliki

ketertarikan secara komersial yang disebabkan oleh sifatnya yang mudah terurai secara

biologis (biodegradable), tidak beracun, memiliki kemampuan menyerap dan berperan

sebagai agen pengkelat, serta memikili kemampuan biokompatibilitas yang sangat baik.

Sedangkan menurut Shahidi et al (1999) yang diacu dalam Yen el all (2009), pada

industri pangan, kitin dan kitosan serta turunannya banyak diaplikasikan sebagai

emulsifier, agen pengental, agen penstabil, dan agen antimikroba. Selain itu, kitosan

juga telah digunakan sebagai suplemen diet karena keefektifannya dalam pengikatan

lemak dan agen pembentuk film. Islam et al (2011) menambahkan bahwa, karena

kitosan merupakan polikationik alam, maka kitosan dapat digunakan sebagai bahan

penggumpal dan dapat berfungsi sebagai agen pengkelat (chelating agent) dan penjebak

logam berat. Kemampuan kitosan sebagai agen antimikroba dapat diaplikasikan dalam

bentuk gel maupun film. Islam et al (2011) juga menambahkan bahwa sifat fungsional

dari kitosan ini bergantung pada viskositas atau berat molekulnya. Semakin tinggi berat

molekulnya atau semakin tinggi nilai viskositasnya, maka kitosan tersebut semakin

efektif sebagai pengawet makanan jika dibandingkan dengan kitosan dengan berat

molekul lebih rendah.

Page 4: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Paul et al (2013), menyatakan bahwa kitin dan kitosan merupakan polimer alami yang

dapat diperbaharui dan jumlahnya melimpah. Berikut merupakan beberapa aplikasi kitin

dan kitosan dalam industri pangan menurut Paul et al (2013):

Edible film

Dengan sifat fungsional pembentukan filmnya, kitin dan kitosan telah berhasil

dikembangkan menjadi pembungkus makanan. Diantara kitin dan kitosan,

kitosanlah yang secara luas telah banyak digunakan dalam industri edible film, dan

dalam kemampuannya untuk membentuk film semi permeable, coating dengan

menggunakan kitosan dapat digunakan untuk memodifikasi atmosfer pada bagian

dalam coating dan juga dapat mengurangi penurunan kualitas akibat transpirasi

(transpiration loss). Pada umumnya Edible film yang dikembangkan dari kitin dan

turunannya digunakan pada industri pangan dengan tujuan untuk meningkatkan

kualitas makanan tersebut dan untuk memperpanjang umur simpannya. Lapisan film

ini dapat menjadi suplemen dan kadang dapat mengontrol perrubahan fisikokimia,

fisik dan morfologi pada makanan yang dibungkusnya, sedangkan pembungkus

makanan biasa, seperti polyethylene film tidak dapat mengusahakan hal-hal tersebut,

karena masih dapat menyebabkan terjadinya fermentasi pada makanan dengan

berkuragnya jumlah oksigen, kondensasi dibagian dalam kemasan akibat suhu yang

berfluktuasi, serta dapat menyebabkan tumbuhnya kapang.

Zat Antimikroba

Saat ini, aktivitas antimikroba dari kitin dan turunannya terhadap semua jenis

mikroorganisme, seperti kapang, khamir dan bakteri masih mendapatkan perhatian

khusus, karena mekanismenya masih belum diketahui secara pasti, namun

mekanisme lainnya telah diketahui, yaitu interaksi antara molekul kitosan dengan

membran sel mikroorganisme dapat memberikan efek negatif bagi mikroorganisme

tersebut, karena dapat menyebabkan kebocoran pada sel, sehingga protein dan

komponen-komponen intraselular lainnya keluar dari sel mikroorganisme tersebut.

Kitosan yang masuk ke dalam nukleus dari mikroorganisme akan terikat dengan

DNA dari mikroorganisme tersebut, dan hal tersebut dapat mengakibatkan

terganggunya sintesis mRNA dan protein.

Page 5: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Senyawa pengkelat (chelating agent)

Kitosan juga berperan sebagai senyawa pengkelat dimana senyawa tersebut

merupakan senyawa yang dapat mengikat logam-logam berat yang terdapat pada

suatu bahan pangan yang ditambahkan dengan kitosan ini.

Kitosan dapat menghambat produksi racun dan pertumbuhan mikroorganisme.

Kitosan juga dapat mengaktifkan beberapa proses pertahanan pada jaringan induk,

dengan cara berperan sebagai agen pengikat air dan menghambat beberapa enzim.

Menurut Hossain et al (2005) yang diacu dalam Islam et al (2011), preparasi dan

pengisolasian kitin dari limbah udang dilakukan dengan cara demineralisasi,

deproteinasi, dan decoloration, sedangkan pembuatan kitosan dilakukan dengan cara

deasetilasi basa dari kitin. Islam et al (2011) menambahkan bahwa ada 4 tahap yang

harus dilakukan untuk memproduksi kitosan dari limbah udang, yaitu demineralisasi,

deproteinasi, decoloration, dan deasetilasi, namun pada praktikum ini yang dilakukan

hanyalah 3 tahap tanpa dilakukannya tahap decoloration, dan dalam tiap tahap tersebut

dilakukan suatu pemanasan, pengadukan, penyaringan dan juga pengeringan. Menurut

Puspawati & Simpen (2010), pemanasan dapat digunakan sebagai katalis dalam suatu

reaksi kimia, sehingga dengan dilakukannya pemanasan, maka reaksi kimia tersebut

akan berjalan lebih cepat. Menurut Reynold & Richard (1996), pengadukan merupakan

suatu aktivitas pencampuran dua zat atau lebih sehingga didapatkan suatu campuran

yang homogen, dan menurut Rogers (1986), kombinasi pemanasan dan pengadukan

dapat mencegah terjadinya suatu kegosongan. Menurut Suyitno (1989), penyaringan

berfungsi untuk memisahkan suatu partikel padat yang tercampur dengan partikel cair.

Kimball (1992), menambahkan bahwa suatu penyaringan dilakukan untuk memisahkan

bahan yang tidak larut dan mengendap. Penyaringan ini dapat dilakukan dengan

menggunakan kain saring, membran, kertas saring, dan sebagainya, tergantung dari

campuran yang akan disaring (Suyitno, 1989). Menurut Candra (2011), proses

pengeringan ditujukan untuk mengurangi kadar air dalam suatu bahan, sehingga

diperoleh bahan yang kering dan kaku.

Alat yang digunakan dalam pengujian pH pada praktikum ini adalah kertas lakmus.

Menurut Rogers (1986), warna dari kertas lakmus akan berubah sesuai dengan sampel

Page 6: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

yang diujikannya. Pada umumnya kertas lakmus terdiri dari dua macam, yaitu lakmus

biru dan lakmus merah. Kertas lakmus merah akan berubah menjadi warna biru pada

larutan basa dan tetap berwarna merah pada larutan asam maupun netral, sedangkan

kertas lakmus biru akan berubah menjadi merah pada larutan asam dan akan berubah

menjadi biru pada larutan yang bersifat basa maupun netral. Namun ada pula kertas

lakmus dengan warna metil jingga dan metil merah yang akan berubah menjadi warna

merah pada larutan yang bersifat asam, dan akan berubah menjadi warna kuning pada

larutan yang bersifat basa maupun netral. Adapula fenolftalin yang menjadi tidak

berwarna pada larutan yang bersifat asam maupun netral, dan berwarna merah keunguan

pada larutan basa.

2.1. Demineralisasi

Menurut Burrows et al (2007), tujuan dilakukannya proses demineralisasi ini adalah

untuk menghilangkan kandungan mineral pada limbah kulit udang, karena menurut

Hargono et al (2008), limbah udang (kepala dan kulit) mengandung mineral sebesar 40-

50%. Pertama-tama, limbah udang kering yang sudah dihancurkan diayak dengan

menggunakan ayakan 40-60 mesh. Tujuan dilakukannya pengayakan ini adalah untuk

memperoleh limbah udang dengan ukuran yang diinginkan dan seragam (Kimball,

1992). Kemudian limbah udang tersebut ditimbang sebanyak 10 gr untuk tiap-tiap

kelompok. Kemudian limbah udang tersebut dicampur dengan HCl (HCl 0,75 N untuk

kelompok 1 dan 2, HCl 1 N untuk kelompok 3 dan 4, dan HCl 1.25 N untuk kelompok 5

dan 6) dengan perbandingan HCl : limbah udang 10 : 1.

Menurut Alamsyah et al (2007), proses demineralisasi pada ekstraksi kitin dari limbah

udang dilakukan secara kimiawi, yaitu dengan mereaksikan asam kuat dengan limbah

udang tersebut. Dalam hal ini asam kuat yang digunakan adalah HCl. Menurut Burrows

et al (2007), larutan HCl yang digunakan pada tahap ini berfungsi untuk melarutkan

mineral-mineral yag terkandung dalam limbah udang, terutama kalsium karbonat sbagai

mineral yang paling banyak terkandung di limbah udang, hal ini didukung oleh

pernyataan Winarno (1997) yang menyatakan bahwa mineral merupakan senyawa yang

dapat larut dalam asam kuat dan tidak dapat larut dalam air. Penggunaan HCl ini tidak

Page 7: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

dapat mempengaruhi kitin yang akan diekstraksi, karena HCl merupakan asam encer

dan menurut Bastaman (1989), zat kitin tidak akan larut dalam asam encer.

Selanjutnya, sampel tersebut dipanaskan dengan suhu 90oC sambil diaduk terus menerus

selama 1 jam. Pemanasan ini dilakukan untuk mempercepat reaksi antara limbah udang

dan HCl yang ditambahkan, serta mengoptimalkan reaksi HCl dan pengadukan

dilakukan untuk mencegah terjadinya kegosongan akibat pemanasan yang dilakukan,

pengadukan ini juga dilakukan agar HCl dan limbah udang dapat tercampur merata dan

bereaksi dengan sempurna, sehingga proses penghilangan mineral dapat berlangsung

optimal. Setelah itu didinginkan agar praktikan dapat menyaring residu dengan mudah,

selain itu jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka penyaringan akan

menjadi tidak optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan residu yang

didapatkan dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral dengan pengujian pH

menggunakan kertas lakmus. Tujuan dilakukannya pencucian dengan air ini adalah

untuk menghilangkan HCl dari residu, karena menurut Bastaman (1989), HCl

merupakan senyawa yang bersifat adam dan dapat larut dalam air, dan pH yang sudah

netral tersebut mengindikasikan sudah hilangnya HCl dari residu tersebut, karena jika

kertas lakmus masih menunjukan pH asam hal tersebut dapat diartikan bahwa HCl

masih belum hilang, dan berarti mineral yang terlarut dalam HCl tersebut juga belum

hilang. Lalu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 semalaman. Selanjutnya sampel

yang sudah kering ditimbang untuk mengetahui prosentase kitin (dengan protein) yang

dihasilkan.

2.2. Deproteinasi

Menurut Reece et al (2003), tujuan dilakukannya proses demineralisasi ini adalah untuk

memisahkan komponen protein dari zat kitin. Dan menurut Hargono et al (2008),

limbah udang memiliki kandugan protein sebesar 21%. Hasil dari proses demineralisasi

yang sudah kering, dicampur dengan menggunakan NaOH dengan perbandingan NaOH

3.5 % dan sampel adalah 6 : 1. Proses deproteinasi ini dilakukan secara kimiawi dengan

menggunakan basa kuat, dan dalam hal ini basa kuat yang digunakan adalah NaOH

(Alamsyah et al, 2007). Menurut Reece et al (2003) tujuan ditambahkannya NaOH

dalam proses deproteinasi ini adalah untuk melarutkan protein yang masih terkandung

Page 8: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

dalam kitin hasil dari proses demineralisasi, hal ini didukung oleh pernyataan Winarno

(1997) yang menyatakan bahwa protein merupakan senyawa yang dapat larut dalam

basa kuat tetapi tidak dapat larut dalam asam kuat.

Kemudian dipanaskan sambil diaduk terus menerus selama 1 jam dengan suhu 90oC.

Pemanasan ini dilakukan untuk mempercepat reaksi sampel dengan NaOH sedangkan

pengadukan dilakukan untuk mencegah terjadinya kegosongan akibat pemanasan yang

dilakukan, pengadukan ini juga dilakukan agar NaOH dan sampel dapat tercampur

merata dan bereaksi dengan sempurna, sehingga proses pemisahan protein berjalan

optimal. Setelah itu didinginkan agar praktikan dapat menyaring residu dengan mudah,

selain itu jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka penyaringan akan

menjadi tidak optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan residu yang

didapatkan dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral dengan pengujian pH

menggunakan kertas lakmus. Tujuan dilakukannya pencucian dengan air ini adalah

untuk menghilangkan NaOH dari residu, karena menurut Bastaman (1989), NaOH

merupakan senyawa basa yang dapat larut dalam air, dan pH yang sudah netral tersebut

mengindikasikan sudah hilangnya NaOH dari residu tersebut, karena jika kertas lakmus

masih menunjukan pH basa maka hal tersebut dapat menunjukan bahwa NaOH masih

belum hilang, dan berarti protein yang terlarut dalam NaOH tersebut juga belum hilang.

Selanjutnya sampel tersebut dikeringkan pada suhu 80oC selama semalaman. Pada

proses ini dihasilkanlah kitin. Selanjutnya kitin yang diperoleh ditimbang.

2.3. Deasetilasi

Proses deasetilasi ini dilakukan untuk memperoleh kitosan dari kitin, hal ini sesuai

dengan pernyataan Hossain et al (2005) yang diacu dalam Islam et al (2011), yang

menyatakan bahwa kitosan diperoleh dari proses deasetilasi basa kitin. Kitin yang

dihasilkan pada proses deproteinasi, ditambahkan dengan NaOH (NaOH 40% untuk

kelompok 1 dan 2, NaOH 50% kelompok 3 dan 4, dan NaOH 60% untuk kelompok 5

dan 6) dengan perbandingan NaOH dan kitin adalah 20 : 1. Menurut Hirano (1989),

kitosan dapat diperoleh dengan cara deasetilasi kitin dengan menggunakan basa kuat,

dimana dalam praktikum ini basa kuat tersebut adalah NaOH. Kemudian diaduk secara

terus menerus selama 1 jam, lalu didiamkan selama 30 menit, setelah itu dipanaskan

Page 9: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

selama 30 menit pada suhu 140oC. Pengadukan ini berfungsi untuk menghomogenkan

campuran, sedangkan pemanasan dilakukan untuk mempercepat suatu reaksi, yaitu

reaksi antara kitin dengan NaOH. Manurut Reece et al (2003), penambahan NaOH

dengan kombinasi pemanasan ini dapat menyebabkan terlepasnya gugus asetil

(CH3CHO-) dari molekul kitin dan terbentuklah kitosan.

Setelah itu didinginkan agar praktikan dapat menyaring residu dengan mudah, selain itu

jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka penyaringan akan menjadi tidak

optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan residu yang didapatkan

dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral. Tujuan dilakukannya pencucian dengan

air ini adalah untuk menghilangkan NaOH dari kitosan yang diperoleh, karena

Bastaman (1989) menyatakan bahwa NaOH merupakan senyawa basa yang dapat larut

didalam air, dan pH yang sudah netral tersebut mengindikasikan sudah hilangnya NaOH

dari kitosan tersebut, karena jika kertas lakmus masih menunjukan pH basa maka hal

tersebut dapat menunjukan bahwa NaOH masih belum hilang, dan menurut Hong et al

(1989), jika kontak kitosan dengan basa kuat berkonsentrasi tinggi semakin lama, maka

akan menyebabkan terjadinya proses depolimerisasi rantai molekul kitosan, sehingga

kitosan yang didapatkan akan menjadi sedikit. Kemudian residu yang didapatkan dioven

selama semalaman pada suhu 70oC. Pada tahap ini kitosan dihasilkan, dan kitosan yang

diperoleh ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.

Dari hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa rendemen kitin I yang paling besar

berasal dari kelompok C4 dengan proses demineralisasi kulit udang menggunakan HCl

1 N. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prasetyo (2006) yang menyatakan bahwa dalam

proses demineralisasi pembuatan kitin, HCl yang paling baik digunakan adaah HCl

dengan konsenrasi 1 N. Sedangkan untuk kelompok lainnya yang menggunakan HCl

0.75 N hasil rendemennya cenderung lebih sedikit jika dirata-ratakan dibandingkan

dengan penggunaan HCl 1 N dan 1.25 N, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Laila &

Hendri (2008) yang menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi HCl yang digunakan

dalam proses demineralisasi, maka kitin yang diperoleh pun akan semakin besar, namun

Knorr (1984) juga berpendapat konsentrasi asam yang terlalu tinggi akan menyebabkan

terdegradasinya kitin, sehingga rendemen yang dihasilkan juga akan berkurang, dan

Page 10: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

pada praktikum ini, rendemen kitin dengan penggunaan HCl 1.25 N juga cenderung

lebih sedikit (hasil rata-rata) jika dibandingkan dengan penggunaan HCl 1 N, namun

juga lebih tinggi daripada penggunaan HCl 0.75 N.

Kemudian rendemen kitin II yang paling besar dihasilkan oleh kelompok C2 dan C5

dengan proses deproteinasi dari rendemen kitin I dengan menggunakan NaOH 3.5%.

Hasil yang didapatkan antar kelompok juga berbeda-beda, ada yang mengalami

peningkatan rendemen dan ada pula yang mengalami penurunan rendemen kitin dari

rendemen kitin hasil dari proses demineralisasi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan

oleh proses pengadukan yang tidak konstan dan kekuatan mengaduk setiap kelompok

berbeda-beda, karena pengadukan yang dilakukan masih secara manual (Kaunas, 1984).

Selain itu peningkatan rendemen yang dihasilkan juga dapat disebabkan oleh

membesarnya volume partikel dari kitin akibat penambahan NaOH sehingga

merenggangnya ikatan setiap komponen (Suharto, 1984).

Dapat dilihat pula rendemen kitosan paling besar adalah kitosan yang dihasilkan oleh

kelompok C2 dengan proses deasetilasi kitin (rendemen kitin II) dengan menggunakan

NaOH 40%, hasil rendemen kitosan dengan penggunaan NaOH 40% juga cenderung

lebih besar (jika hasilnya dirata-rata) jika dibandingkan dengan penggunaan NaOH 50%

dan 60%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hong et al (1989) yang menyatakan bahwa

penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya

depolimerisasi rantai molekul kitosan, sehingga berat molekul dari kitosan akan

berkurang dan rendemen kitosan yang diperoleh pun akan menjadi sedikit.

Page 11: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. KESIMPULAN

Limbah udang banyak mengandung protein dan mineral.

Komponen mineral utama yang terdapat pada limbah udang adalah kalsium

karbonat.

Kitin dapat diekstrak dari limbah udang.

Kitosan diperoleh dari proses diasetilasi kitin.

Proses demineralisasi menggunakan senyawa asam kuat.

Proses deproteinasi dan deasetilasi menggunakan senyawa basa kuat.

Proses deasetilasi berarti proses penghilangan gugus asetil pada kitin.

Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral pada limbah udang.

Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein pada kitin hasil

demineralisasi.

Mineral dapat larut dalam asam kuat.

Protein dapat larut dalam basa kuat.

Kombinasi antara basa kuat dan pemanasan dapat melepaskan gugus asetil pada

kitin.

Proses pencucian dengan air dimaksudkan untuk menghilangkan HCl maupun

NaOH, karena kedua senyawa tersebut merupakan senyawa larut air.

Penetralan pH ditujukan untuk memastikan bahwa senyawa NaOH atau HCl sudah

berhasil dihilangkan.

HCl yang paling baik digunakan dalam proses demineralisasi adalah HCl dengan

konsentrasi 1 N.

Semakin tinggi konsentrasi HCl maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin

banyak, namun jika konsentrasi HCl terlalu tinggi juga akan menyebabkan

berkurangnya rendemen kitin.

Konsentrasi NaOH pada proses deasetilasi yang paling baik digunakan adalah

NaOH 40%.

Semakin lama kitin kontak dengan NaOH pada proses deasetilasi, maka akan

menyebabkan sedikitnya rendemen kitosan yang dihasilkan.

11

Page 12: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan saat proses deasetilasi, maka

akan menyebabkan sedikitnya rendemen kitosan yang dihasilkan.

Pemanasan dapat dilakukan untuk mempercepat suatu reaksi dan untuk

mengoptimalkan pereaksi.

Kitosan merupakan suatu produk tanpa protein dan mineral.

Penambahan NaOH dapat meningkatkan volume rendemen kitosan.

Semarang, 15 September 2014

Praktikan, Asisten dosen,

- Stella Gunawan

Livia Novenia D

12.70.0081

Page 13: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses pada tanggal 14 September 2014.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and ChitosanFrom Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University. Belfast. 143 p.

Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise. (2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 2 (2): 103- 111, 2007.

Candra B.A. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi. Insitut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47184/C11bac.pdf?sequence=1. Diakses tanggal tanggal 14 September 2014.

Hargono, Abdullah.; & I. Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Hossain, Z. Asaduzzaman, M.A. Kashem, Bazlul Karim Akanda, S.K. Roy and Shahidul Islam, Bangladesh J. Sc. Ind. Res.2005, 40(3-4), 163-168.

Islam, Monarul Md.; Shah Md. Masum; M. Mahbubur Rahman; Md. Ashraful Islam Molla; A. A. Shaikh; S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01. Bangladesh.

Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.

13

Page 14: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Kimball, John. W. 1992. Biologi Umum. Erlangga, Jakarta.

Knorr, D. (1984). Use of chitinous polymers in food. Food Technology, 38(1), 85–97.

Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip

%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf. Diakses pada tanggal 14 September 2014.

Paul, Jiffy P; Sharmila Jesline J.W & K. Mohan. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering & Technology. Vol. 1, Issue 5, Oct 2013, 15-22. India.

Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince 34, 641-678.

Prasetyo, K.W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90. 

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Reynold, T.D and Richards, P.A. 1996. Unit Oprations and Processes in Environmental Engineering, 2nd edition. PWS Publishing Company. Boston.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Shahidi, F., Arachchi, J. K. V., & Jeon, Y.-J. (1999). Food applications of chitin and chitosans. Trends in Food Science and Technology, 10, 37–51.

Page 15: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suyitno.(1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.

Toan, Van Nguyen. Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. (2009). The Open Biomaterials Journal Vol 1: 21-24. ISSN 1876-5025. Vietnam.

Toan, Van Nguyen. Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment. (2011). The Open Biomaterials Journal Vol 3: 1-3. ISSN 1876-5025. Vietnam.

Winarno,F.G., (1997), ”Kimia Pangan dan Gizi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yen, Min-Tsung; Joan-Hwa Yang; Jeng-Leun Mau. (2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers 75 (2009) 15–21. Taiwan.

Page 16: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Kelompok C1

Rendemen Kitin I = Berat KeringBerat Basah I

×100 %= 210

×100 %=20 %

Rendemen Kitin II = Berat Kitin

Berat Basah II×100 %=0,5

2,5×100 %=20 %

Rendemen Kitosan = Berat Kitosan

Berat Basah III× 100 %=0,4

5,1× 100 %=7,843 %

Kelompok C2

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=3,210

x 100 %=32 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=1

3x100 %=33,33 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100 %=0,7

4x100 %=17,5 %

Kelompok C3

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=2,410

x 100 %=24 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=0,5

2,5x 100 %=20 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100%=0,4

3,5x100 %=11,429 %

Kelompok C4

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=4,110

x100 %=41 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=0,4

2,4x100 %=16,66 %

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100 %=0,2

1,7x 100 %=11,764 %

16

Page 17: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Kelompok C5

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=2,910

x100 %=29 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=1

3x100 %=33,333 %

17

Page 18: Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100%=0,5

3,5x 100 %=14,285 %

Kelompok C6

Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I

x 100 %=3,510

x100 %=35 %

Rendemen Kitin II¿berat kitin

berat basah IIx100 %=0,8

2,8x 100 %=28,571%

Rendemen Kitosan ¿berat kitosan

berat basah IIIx100 %=0,4

3,4x100 %=11,765 %

5.2. Diagram Alir

5.3. Laporan Sementara