Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
reed-jones -
Category
Documents
-
view
13 -
download
3
description
Transcript of Chitin & Chitosan_ Livia Novenia_12.70.0081_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pembuatan kitin dan kitosan dari limbah udang dengan menggunakan
larutan dengan tingkat konsentrasi yang berbeda dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Larutan Terhadap Rendemen Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
C1Kulit udang + HCl 0.75 N + NaOH 3.5 % + NaOH 40%
20 20 7,843
C2Kulit udang + HCl 0.75 N + NaOH 3.5 % + NaOH 40%
32 33,333 17,500
C3Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3.5 % + NaOH 50%
24 20 11,429
C4Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3.5 % + NaOH 50%
41 16,667 11,429
C5Kulit udang + HCl 1.25 N + NaOH 3.5 % + NaOH 60%
29 33,333 14,285
C6Kulit udang + HCl 1.25 N + NaOH 3.5 % + NaOH 60%
35 28,571 11,765
Pada tabel 1, dapat diketahui bahwa rendemen kitin I yang paling besar berasal dari
kelompok C4 dengan proses demineralisasi kulit udang menggunakan HCl 1 N. Jika
hasilnya ditrata-rata, maka penggunaan HCl 1 N memiliki prosentase rendemen kitin I
paling besar dibandingkan dengan penggunaan HCl 0.75 N dan 1.25 N. Kemudian
rendemen kitin II yang paling besar dihasilkan oleh kelompok C2 dan C5 dengan proses
deproteinasi dari rendemen kitin I dengan menggunakan NaOH 3.5%. Dapat dilihat pula
rendemen kitosan paling besar adalah kitosan yang dihasilkan oleh kelompok C2
dengan proses deasetilasi kitin (rendemen kitin II) dengan menggunakan NaOH 40%.
Jika hasilnya ditrata-rata, maka penggunaan NaOH 40% memiliki prosentase rendemen
kitosan yang paling besar dibandingkan dengan penggunaan NaOH 50% dan 60%.
1
2. PEMBAHASAN
Menurut Toan (2011), kitin dan kitosan merupakan komponen struktural pada kutikula
dari kelompok crustacea, insekta, moluska dan terdapat pula di dinding sel dari kapang
dan tanaman merugikan. Hal ini didukung oleh pernyataan Knorr (1984) yang diacu
dalam Yen et al (2009), zat kitin dapat ditemukan pada cangkang atau kulit dari
crustacea, kutikula serangga, dan dinding sel dari fungi. Islam et al (2011) juga
menambahkan bahwa kitosan dan turunannya merupakan bahan tambahan yang sangat
berguna. Kitosan terbuat dari kitin yang merupakan polimer karbohidrat alami yang
dapat ditemukan di skeleton crustacea seperti udang, lobster, dan kepiting serta
eksoskeleton dari zooplankton, koral dan ubur-ubur. Kelompok insekta, seperti kupu-
kupu dan kumbang juga memiliki kitin pada sayapnya, dinding sel yeast, jamur dan
fungi lainnya juga mengandung senyawa ini.
Menurut Toan (2009), kepala dan kulit udang merupakan material yang memiliki nilai
ekonomi rendah dan biasanya dianggap sebagai limbah atau dijadikan makanan ternak.
Limbah udang ini pada iklim tropis mengandung 30-65% protein, 10-20% kalsium dan
8-10% kitin dalam berat kering. Menurut Purwaningsih (1994), pembuatan kitin dan
kitosan ini dilakukan untuk menanggulangi masalah limbah udang, selain itu dengan
dibuatnya produk kitin dan kitosan juga dapat menambah nilai jual dari limbah udang
dari yang sebelumnya hanya dijual sebagai pakan ternak saja. Islam et al (2011)
menyatakan bahwa kitin merupakan homopolimer dari 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa
atau residu N-asetilglukosamin yang dihubungkan dengan ikatan β-(1-4). Sedangkan
kitosan merupakan polimer yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin. Kitosan
merupakan kation polisakarida dengan rantai linear yang terdiri dari β-(1,4)-2-
asetamino-2-deoksi-β-D-glukopiranosa.
Gambar 1. Kitin Gambar 2. Kitosan (Islam et al, 2011) (Islam et al, 2011)
2
Gambar 3. Struktur Kitin dan Kitosan(Pillai et al, 2009)
Toan (2011) menyataan bahwa kitin dan kitosan ini memiliki banyak fungsi biologi,
seperti zat antimikroba, penyembuhan luka terutama pada formasi matrix. Menurut
Toan (2009), kitin dan turunannya kitosan merupakan suatu bahan yang memiliki
ketertarikan secara komersial yang disebabkan oleh sifatnya yang mudah terurai secara
biologis (biodegradable), tidak beracun, memiliki kemampuan menyerap dan berperan
sebagai agen pengkelat, serta memikili kemampuan biokompatibilitas yang sangat baik.
Sedangkan menurut Shahidi et al (1999) yang diacu dalam Yen el all (2009), pada
industri pangan, kitin dan kitosan serta turunannya banyak diaplikasikan sebagai
emulsifier, agen pengental, agen penstabil, dan agen antimikroba. Selain itu, kitosan
juga telah digunakan sebagai suplemen diet karena keefektifannya dalam pengikatan
lemak dan agen pembentuk film. Islam et al (2011) menambahkan bahwa, karena
kitosan merupakan polikationik alam, maka kitosan dapat digunakan sebagai bahan
penggumpal dan dapat berfungsi sebagai agen pengkelat (chelating agent) dan penjebak
logam berat. Kemampuan kitosan sebagai agen antimikroba dapat diaplikasikan dalam
bentuk gel maupun film. Islam et al (2011) juga menambahkan bahwa sifat fungsional
dari kitosan ini bergantung pada viskositas atau berat molekulnya. Semakin tinggi berat
molekulnya atau semakin tinggi nilai viskositasnya, maka kitosan tersebut semakin
efektif sebagai pengawet makanan jika dibandingkan dengan kitosan dengan berat
molekul lebih rendah.
Paul et al (2013), menyatakan bahwa kitin dan kitosan merupakan polimer alami yang
dapat diperbaharui dan jumlahnya melimpah. Berikut merupakan beberapa aplikasi kitin
dan kitosan dalam industri pangan menurut Paul et al (2013):
Edible film
Dengan sifat fungsional pembentukan filmnya, kitin dan kitosan telah berhasil
dikembangkan menjadi pembungkus makanan. Diantara kitin dan kitosan,
kitosanlah yang secara luas telah banyak digunakan dalam industri edible film, dan
dalam kemampuannya untuk membentuk film semi permeable, coating dengan
menggunakan kitosan dapat digunakan untuk memodifikasi atmosfer pada bagian
dalam coating dan juga dapat mengurangi penurunan kualitas akibat transpirasi
(transpiration loss). Pada umumnya Edible film yang dikembangkan dari kitin dan
turunannya digunakan pada industri pangan dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas makanan tersebut dan untuk memperpanjang umur simpannya. Lapisan film
ini dapat menjadi suplemen dan kadang dapat mengontrol perrubahan fisikokimia,
fisik dan morfologi pada makanan yang dibungkusnya, sedangkan pembungkus
makanan biasa, seperti polyethylene film tidak dapat mengusahakan hal-hal tersebut,
karena masih dapat menyebabkan terjadinya fermentasi pada makanan dengan
berkuragnya jumlah oksigen, kondensasi dibagian dalam kemasan akibat suhu yang
berfluktuasi, serta dapat menyebabkan tumbuhnya kapang.
Zat Antimikroba
Saat ini, aktivitas antimikroba dari kitin dan turunannya terhadap semua jenis
mikroorganisme, seperti kapang, khamir dan bakteri masih mendapatkan perhatian
khusus, karena mekanismenya masih belum diketahui secara pasti, namun
mekanisme lainnya telah diketahui, yaitu interaksi antara molekul kitosan dengan
membran sel mikroorganisme dapat memberikan efek negatif bagi mikroorganisme
tersebut, karena dapat menyebabkan kebocoran pada sel, sehingga protein dan
komponen-komponen intraselular lainnya keluar dari sel mikroorganisme tersebut.
Kitosan yang masuk ke dalam nukleus dari mikroorganisme akan terikat dengan
DNA dari mikroorganisme tersebut, dan hal tersebut dapat mengakibatkan
terganggunya sintesis mRNA dan protein.
Senyawa pengkelat (chelating agent)
Kitosan juga berperan sebagai senyawa pengkelat dimana senyawa tersebut
merupakan senyawa yang dapat mengikat logam-logam berat yang terdapat pada
suatu bahan pangan yang ditambahkan dengan kitosan ini.
Kitosan dapat menghambat produksi racun dan pertumbuhan mikroorganisme.
Kitosan juga dapat mengaktifkan beberapa proses pertahanan pada jaringan induk,
dengan cara berperan sebagai agen pengikat air dan menghambat beberapa enzim.
Menurut Hossain et al (2005) yang diacu dalam Islam et al (2011), preparasi dan
pengisolasian kitin dari limbah udang dilakukan dengan cara demineralisasi,
deproteinasi, dan decoloration, sedangkan pembuatan kitosan dilakukan dengan cara
deasetilasi basa dari kitin. Islam et al (2011) menambahkan bahwa ada 4 tahap yang
harus dilakukan untuk memproduksi kitosan dari limbah udang, yaitu demineralisasi,
deproteinasi, decoloration, dan deasetilasi, namun pada praktikum ini yang dilakukan
hanyalah 3 tahap tanpa dilakukannya tahap decoloration, dan dalam tiap tahap tersebut
dilakukan suatu pemanasan, pengadukan, penyaringan dan juga pengeringan. Menurut
Puspawati & Simpen (2010), pemanasan dapat digunakan sebagai katalis dalam suatu
reaksi kimia, sehingga dengan dilakukannya pemanasan, maka reaksi kimia tersebut
akan berjalan lebih cepat. Menurut Reynold & Richard (1996), pengadukan merupakan
suatu aktivitas pencampuran dua zat atau lebih sehingga didapatkan suatu campuran
yang homogen, dan menurut Rogers (1986), kombinasi pemanasan dan pengadukan
dapat mencegah terjadinya suatu kegosongan. Menurut Suyitno (1989), penyaringan
berfungsi untuk memisahkan suatu partikel padat yang tercampur dengan partikel cair.
Kimball (1992), menambahkan bahwa suatu penyaringan dilakukan untuk memisahkan
bahan yang tidak larut dan mengendap. Penyaringan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan kain saring, membran, kertas saring, dan sebagainya, tergantung dari
campuran yang akan disaring (Suyitno, 1989). Menurut Candra (2011), proses
pengeringan ditujukan untuk mengurangi kadar air dalam suatu bahan, sehingga
diperoleh bahan yang kering dan kaku.
Alat yang digunakan dalam pengujian pH pada praktikum ini adalah kertas lakmus.
Menurut Rogers (1986), warna dari kertas lakmus akan berubah sesuai dengan sampel
yang diujikannya. Pada umumnya kertas lakmus terdiri dari dua macam, yaitu lakmus
biru dan lakmus merah. Kertas lakmus merah akan berubah menjadi warna biru pada
larutan basa dan tetap berwarna merah pada larutan asam maupun netral, sedangkan
kertas lakmus biru akan berubah menjadi merah pada larutan asam dan akan berubah
menjadi biru pada larutan yang bersifat basa maupun netral. Namun ada pula kertas
lakmus dengan warna metil jingga dan metil merah yang akan berubah menjadi warna
merah pada larutan yang bersifat asam, dan akan berubah menjadi warna kuning pada
larutan yang bersifat basa maupun netral. Adapula fenolftalin yang menjadi tidak
berwarna pada larutan yang bersifat asam maupun netral, dan berwarna merah keunguan
pada larutan basa.
2.1. Demineralisasi
Menurut Burrows et al (2007), tujuan dilakukannya proses demineralisasi ini adalah
untuk menghilangkan kandungan mineral pada limbah kulit udang, karena menurut
Hargono et al (2008), limbah udang (kepala dan kulit) mengandung mineral sebesar 40-
50%. Pertama-tama, limbah udang kering yang sudah dihancurkan diayak dengan
menggunakan ayakan 40-60 mesh. Tujuan dilakukannya pengayakan ini adalah untuk
memperoleh limbah udang dengan ukuran yang diinginkan dan seragam (Kimball,
1992). Kemudian limbah udang tersebut ditimbang sebanyak 10 gr untuk tiap-tiap
kelompok. Kemudian limbah udang tersebut dicampur dengan HCl (HCl 0,75 N untuk
kelompok 1 dan 2, HCl 1 N untuk kelompok 3 dan 4, dan HCl 1.25 N untuk kelompok 5
dan 6) dengan perbandingan HCl : limbah udang 10 : 1.
Menurut Alamsyah et al (2007), proses demineralisasi pada ekstraksi kitin dari limbah
udang dilakukan secara kimiawi, yaitu dengan mereaksikan asam kuat dengan limbah
udang tersebut. Dalam hal ini asam kuat yang digunakan adalah HCl. Menurut Burrows
et al (2007), larutan HCl yang digunakan pada tahap ini berfungsi untuk melarutkan
mineral-mineral yag terkandung dalam limbah udang, terutama kalsium karbonat sbagai
mineral yang paling banyak terkandung di limbah udang, hal ini didukung oleh
pernyataan Winarno (1997) yang menyatakan bahwa mineral merupakan senyawa yang
dapat larut dalam asam kuat dan tidak dapat larut dalam air. Penggunaan HCl ini tidak
dapat mempengaruhi kitin yang akan diekstraksi, karena HCl merupakan asam encer
dan menurut Bastaman (1989), zat kitin tidak akan larut dalam asam encer.
Selanjutnya, sampel tersebut dipanaskan dengan suhu 90oC sambil diaduk terus menerus
selama 1 jam. Pemanasan ini dilakukan untuk mempercepat reaksi antara limbah udang
dan HCl yang ditambahkan, serta mengoptimalkan reaksi HCl dan pengadukan
dilakukan untuk mencegah terjadinya kegosongan akibat pemanasan yang dilakukan,
pengadukan ini juga dilakukan agar HCl dan limbah udang dapat tercampur merata dan
bereaksi dengan sempurna, sehingga proses penghilangan mineral dapat berlangsung
optimal. Setelah itu didinginkan agar praktikan dapat menyaring residu dengan mudah,
selain itu jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka penyaringan akan
menjadi tidak optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan residu yang
didapatkan dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral dengan pengujian pH
menggunakan kertas lakmus. Tujuan dilakukannya pencucian dengan air ini adalah
untuk menghilangkan HCl dari residu, karena menurut Bastaman (1989), HCl
merupakan senyawa yang bersifat adam dan dapat larut dalam air, dan pH yang sudah
netral tersebut mengindikasikan sudah hilangnya HCl dari residu tersebut, karena jika
kertas lakmus masih menunjukan pH asam hal tersebut dapat diartikan bahwa HCl
masih belum hilang, dan berarti mineral yang terlarut dalam HCl tersebut juga belum
hilang. Lalu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 semalaman. Selanjutnya sampel
yang sudah kering ditimbang untuk mengetahui prosentase kitin (dengan protein) yang
dihasilkan.
2.2. Deproteinasi
Menurut Reece et al (2003), tujuan dilakukannya proses demineralisasi ini adalah untuk
memisahkan komponen protein dari zat kitin. Dan menurut Hargono et al (2008),
limbah udang memiliki kandugan protein sebesar 21%. Hasil dari proses demineralisasi
yang sudah kering, dicampur dengan menggunakan NaOH dengan perbandingan NaOH
3.5 % dan sampel adalah 6 : 1. Proses deproteinasi ini dilakukan secara kimiawi dengan
menggunakan basa kuat, dan dalam hal ini basa kuat yang digunakan adalah NaOH
(Alamsyah et al, 2007). Menurut Reece et al (2003) tujuan ditambahkannya NaOH
dalam proses deproteinasi ini adalah untuk melarutkan protein yang masih terkandung
dalam kitin hasil dari proses demineralisasi, hal ini didukung oleh pernyataan Winarno
(1997) yang menyatakan bahwa protein merupakan senyawa yang dapat larut dalam
basa kuat tetapi tidak dapat larut dalam asam kuat.
Kemudian dipanaskan sambil diaduk terus menerus selama 1 jam dengan suhu 90oC.
Pemanasan ini dilakukan untuk mempercepat reaksi sampel dengan NaOH sedangkan
pengadukan dilakukan untuk mencegah terjadinya kegosongan akibat pemanasan yang
dilakukan, pengadukan ini juga dilakukan agar NaOH dan sampel dapat tercampur
merata dan bereaksi dengan sempurna, sehingga proses pemisahan protein berjalan
optimal. Setelah itu didinginkan agar praktikan dapat menyaring residu dengan mudah,
selain itu jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka penyaringan akan
menjadi tidak optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan residu yang
didapatkan dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral dengan pengujian pH
menggunakan kertas lakmus. Tujuan dilakukannya pencucian dengan air ini adalah
untuk menghilangkan NaOH dari residu, karena menurut Bastaman (1989), NaOH
merupakan senyawa basa yang dapat larut dalam air, dan pH yang sudah netral tersebut
mengindikasikan sudah hilangnya NaOH dari residu tersebut, karena jika kertas lakmus
masih menunjukan pH basa maka hal tersebut dapat menunjukan bahwa NaOH masih
belum hilang, dan berarti protein yang terlarut dalam NaOH tersebut juga belum hilang.
Selanjutnya sampel tersebut dikeringkan pada suhu 80oC selama semalaman. Pada
proses ini dihasilkanlah kitin. Selanjutnya kitin yang diperoleh ditimbang.
2.3. Deasetilasi
Proses deasetilasi ini dilakukan untuk memperoleh kitosan dari kitin, hal ini sesuai
dengan pernyataan Hossain et al (2005) yang diacu dalam Islam et al (2011), yang
menyatakan bahwa kitosan diperoleh dari proses deasetilasi basa kitin. Kitin yang
dihasilkan pada proses deproteinasi, ditambahkan dengan NaOH (NaOH 40% untuk
kelompok 1 dan 2, NaOH 50% kelompok 3 dan 4, dan NaOH 60% untuk kelompok 5
dan 6) dengan perbandingan NaOH dan kitin adalah 20 : 1. Menurut Hirano (1989),
kitosan dapat diperoleh dengan cara deasetilasi kitin dengan menggunakan basa kuat,
dimana dalam praktikum ini basa kuat tersebut adalah NaOH. Kemudian diaduk secara
terus menerus selama 1 jam, lalu didiamkan selama 30 menit, setelah itu dipanaskan
selama 30 menit pada suhu 140oC. Pengadukan ini berfungsi untuk menghomogenkan
campuran, sedangkan pemanasan dilakukan untuk mempercepat suatu reaksi, yaitu
reaksi antara kitin dengan NaOH. Manurut Reece et al (2003), penambahan NaOH
dengan kombinasi pemanasan ini dapat menyebabkan terlepasnya gugus asetil
(CH3CHO-) dari molekul kitin dan terbentuklah kitosan.
Setelah itu didinginkan agar praktikan dapat menyaring residu dengan mudah, selain itu
jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka penyaringan akan menjadi tidak
optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan residu yang didapatkan
dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral. Tujuan dilakukannya pencucian dengan
air ini adalah untuk menghilangkan NaOH dari kitosan yang diperoleh, karena
Bastaman (1989) menyatakan bahwa NaOH merupakan senyawa basa yang dapat larut
didalam air, dan pH yang sudah netral tersebut mengindikasikan sudah hilangnya NaOH
dari kitosan tersebut, karena jika kertas lakmus masih menunjukan pH basa maka hal
tersebut dapat menunjukan bahwa NaOH masih belum hilang, dan menurut Hong et al
(1989), jika kontak kitosan dengan basa kuat berkonsentrasi tinggi semakin lama, maka
akan menyebabkan terjadinya proses depolimerisasi rantai molekul kitosan, sehingga
kitosan yang didapatkan akan menjadi sedikit. Kemudian residu yang didapatkan dioven
selama semalaman pada suhu 70oC. Pada tahap ini kitosan dihasilkan, dan kitosan yang
diperoleh ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.
Dari hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa rendemen kitin I yang paling besar
berasal dari kelompok C4 dengan proses demineralisasi kulit udang menggunakan HCl
1 N. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prasetyo (2006) yang menyatakan bahwa dalam
proses demineralisasi pembuatan kitin, HCl yang paling baik digunakan adaah HCl
dengan konsenrasi 1 N. Sedangkan untuk kelompok lainnya yang menggunakan HCl
0.75 N hasil rendemennya cenderung lebih sedikit jika dirata-ratakan dibandingkan
dengan penggunaan HCl 1 N dan 1.25 N, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Laila &
Hendri (2008) yang menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi HCl yang digunakan
dalam proses demineralisasi, maka kitin yang diperoleh pun akan semakin besar, namun
Knorr (1984) juga berpendapat konsentrasi asam yang terlalu tinggi akan menyebabkan
terdegradasinya kitin, sehingga rendemen yang dihasilkan juga akan berkurang, dan
pada praktikum ini, rendemen kitin dengan penggunaan HCl 1.25 N juga cenderung
lebih sedikit (hasil rata-rata) jika dibandingkan dengan penggunaan HCl 1 N, namun
juga lebih tinggi daripada penggunaan HCl 0.75 N.
Kemudian rendemen kitin II yang paling besar dihasilkan oleh kelompok C2 dan C5
dengan proses deproteinasi dari rendemen kitin I dengan menggunakan NaOH 3.5%.
Hasil yang didapatkan antar kelompok juga berbeda-beda, ada yang mengalami
peningkatan rendemen dan ada pula yang mengalami penurunan rendemen kitin dari
rendemen kitin hasil dari proses demineralisasi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan
oleh proses pengadukan yang tidak konstan dan kekuatan mengaduk setiap kelompok
berbeda-beda, karena pengadukan yang dilakukan masih secara manual (Kaunas, 1984).
Selain itu peningkatan rendemen yang dihasilkan juga dapat disebabkan oleh
membesarnya volume partikel dari kitin akibat penambahan NaOH sehingga
merenggangnya ikatan setiap komponen (Suharto, 1984).
Dapat dilihat pula rendemen kitosan paling besar adalah kitosan yang dihasilkan oleh
kelompok C2 dengan proses deasetilasi kitin (rendemen kitin II) dengan menggunakan
NaOH 40%, hasil rendemen kitosan dengan penggunaan NaOH 40% juga cenderung
lebih besar (jika hasilnya dirata-rata) jika dibandingkan dengan penggunaan NaOH 50%
dan 60%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hong et al (1989) yang menyatakan bahwa
penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya
depolimerisasi rantai molekul kitosan, sehingga berat molekul dari kitosan akan
berkurang dan rendemen kitosan yang diperoleh pun akan menjadi sedikit.
3. KESIMPULAN
Limbah udang banyak mengandung protein dan mineral.
Komponen mineral utama yang terdapat pada limbah udang adalah kalsium
karbonat.
Kitin dapat diekstrak dari limbah udang.
Kitosan diperoleh dari proses diasetilasi kitin.
Proses demineralisasi menggunakan senyawa asam kuat.
Proses deproteinasi dan deasetilasi menggunakan senyawa basa kuat.
Proses deasetilasi berarti proses penghilangan gugus asetil pada kitin.
Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral pada limbah udang.
Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein pada kitin hasil
demineralisasi.
Mineral dapat larut dalam asam kuat.
Protein dapat larut dalam basa kuat.
Kombinasi antara basa kuat dan pemanasan dapat melepaskan gugus asetil pada
kitin.
Proses pencucian dengan air dimaksudkan untuk menghilangkan HCl maupun
NaOH, karena kedua senyawa tersebut merupakan senyawa larut air.
Penetralan pH ditujukan untuk memastikan bahwa senyawa NaOH atau HCl sudah
berhasil dihilangkan.
HCl yang paling baik digunakan dalam proses demineralisasi adalah HCl dengan
konsentrasi 1 N.
Semakin tinggi konsentrasi HCl maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin
banyak, namun jika konsentrasi HCl terlalu tinggi juga akan menyebabkan
berkurangnya rendemen kitin.
Konsentrasi NaOH pada proses deasetilasi yang paling baik digunakan adalah
NaOH 40%.
Semakin lama kitin kontak dengan NaOH pada proses deasetilasi, maka akan
menyebabkan sedikitnya rendemen kitosan yang dihasilkan.
11
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan saat proses deasetilasi, maka
akan menyebabkan sedikitnya rendemen kitosan yang dihasilkan.
Pemanasan dapat dilakukan untuk mempercepat suatu reaksi dan untuk
mengoptimalkan pereaksi.
Kitosan merupakan suatu produk tanpa protein dan mineral.
Penambahan NaOH dapat meningkatkan volume rendemen kitosan.
Semarang, 15 September 2014
Praktikan, Asisten dosen,
- Stella Gunawan
Livia Novenia D
12.70.0081
4. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses pada tanggal 14 September 2014.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and ChitosanFrom Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University. Belfast. 143 p.
Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise. (2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 2 (2): 103- 111, 2007.
Candra B.A. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi. Insitut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47184/C11bac.pdf?sequence=1. Diakses tanggal tanggal 14 September 2014.
Hargono, Abdullah.; & I. Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Hossain, Z. Asaduzzaman, M.A. Kashem, Bazlul Karim Akanda, S.K. Roy and Shahidul Islam, Bangladesh J. Sc. Ind. Res.2005, 40(3-4), 163-168.
Islam, Monarul Md.; Shah Md. Masum; M. Mahbubur Rahman; Md. Ashraful Islam Molla; A. A. Shaikh; S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01. Bangladesh.
Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.
13
Kimball, John. W. 1992. Biologi Umum. Erlangga, Jakarta.
Knorr, D. (1984). Use of chitinous polymers in food. Food Technology, 38(1), 85–97.
Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip
%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf. Diakses pada tanggal 14 September 2014.
Paul, Jiffy P; Sharmila Jesline J.W & K. Mohan. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering & Technology. Vol. 1, Issue 5, Oct 2013, 15-22. India.
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince 34, 641-678.
Prasetyo, K.W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Reynold, T.D and Richards, P.A. 1996. Unit Oprations and Processes in Environmental Engineering, 2nd edition. PWS Publishing Company. Boston.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Shahidi, F., Arachchi, J. K. V., & Jeon, Y.-J. (1999). Food applications of chitin and chitosans. Trends in Food Science and Technology, 10, 37–51.
Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suyitno.(1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.
Toan, Van Nguyen. Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. (2009). The Open Biomaterials Journal Vol 1: 21-24. ISSN 1876-5025. Vietnam.
Toan, Van Nguyen. Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment. (2011). The Open Biomaterials Journal Vol 3: 1-3. ISSN 1876-5025. Vietnam.
Winarno,F.G., (1997), ”Kimia Pangan dan Gizi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yen, Min-Tsung; Joan-Hwa Yang; Jeng-Leun Mau. (2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers 75 (2009) 15–21. Taiwan.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Kelompok C1
Rendemen Kitin I = Berat KeringBerat Basah I
×100 %= 210
×100 %=20 %
Rendemen Kitin II = Berat Kitin
Berat Basah II×100 %=0,5
2,5×100 %=20 %
Rendemen Kitosan = Berat Kitosan
Berat Basah III× 100 %=0,4
5,1× 100 %=7,843 %
Kelompok C2
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=3,210
x 100 %=32 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=1
3x100 %=33,33 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100 %=0,7
4x100 %=17,5 %
Kelompok C3
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=2,410
x 100 %=24 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=0,5
2,5x 100 %=20 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100%=0,4
3,5x100 %=11,429 %
Kelompok C4
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=4,110
x100 %=41 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=0,4
2,4x100 %=16,66 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100 %=0,2
1,7x 100 %=11,764 %
16
Kelompok C5
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=2,910
x100 %=29 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=1
3x100 %=33,333 %
17
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100%=0,5
3,5x 100 %=14,285 %
Kelompok C6
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=3,510
x100 %=35 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=0,8
2,8x 100 %=28,571%
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100 %=0,4
3,4x100 %=11,765 %
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara