Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20
CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Nita Silviani Arifin NIM: 13.70.0069 Kelompok : C2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015 Acara II

description

Praktikum Teknologi Hasil Laut kloter C mengenai Chitin & Chitosan dilakukan pada tanggal 28 September 2015 - 1 Oktober 2015 di Laboratorium Rekayasa Pangan Unika Soegijapranata, dengan diampu oleh asisten dosen Tjan, Ivana Chandra. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan chitin dan chitosan dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan value-added by product dengan berbagai perlakuan konsentrasi larutan asam basa. Pengamatan dilakukan terhadap karakteristik produk yang dihasilkan berupa rendemen.

Transcript of Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama: Nita Silviani Arifin

NIM: 13.70.0069

Kelompok : C2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Acara II

Page 2: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan Bahan

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan analitik, mangkok, blender,

ayakan, beaker glass, pengaduk, pemanas elektrik, termometer, stopwatch, kain saring,

indikator pH, cawan, dan oven.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N, HCl 1 N,

HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, NaOH 50%, dan NaOH 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

Limbah udang ditambahkan HCl 0,75 N (kelompok C1, C2); HCl 1 N (kelompok C3

dan C4); HCl 1,25 N (kelompok C5) dengan perbandingan 10:1.

Larutan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam sambil terus diaduk.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air

panas 2 kali dan dikeringkan kembali.

Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-

60 mesh.

Limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60

mesh.

Page 3: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

1.2.2. Deproteinasi

Residu dicuci sampai pH netral.

Residu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

Hasil demineralisasi ditambahkan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1.

Page 4: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.3. Deasetilasi

Larutan dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam sambil terus diaduk.

Larutan disaring dan residunya didinginkan.

Residu dicuci sampai pH netral.

Residu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

Hasil deproteinasi (kitin) ditambahkan NaOH 40% (kelompok C1, C2); NaOH 50%

(kelompok C3, C4); NaOH 60% (kelompok C5) dengan perbandingan 20:1.

Page 5: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Larutan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam sambil terus diaduk.

Residu dicuci sampai pH netral.

Residu dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam.

Page 6: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

Kel Perlakuan Rendemen

Kitin I (%)

Rendemen

Kitin II (%)

Rendemen

Kitosan (%)

C1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% 23,45 30,00 27,43

C2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% 37,82 44,00 37,38

C3 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% 41,67 54,55 32,16

C4 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% 40,00 58,30 24,30

C5 HCl 1,25N + NaOH 3,5% + NaOH 60% 21,19 40,32 11,25

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa masing-masing kelompok melakukan

perlakuan yang berbeda-beda pada saat penambahan HCl pada tahap I (0,75 N, 1 N,

1,25 N) dan NaOH pada tahap III (40%, 50%, 60%), namun perlakuan sama pada saat

penambahan NaOH pada tahap II (3,5%). Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen

kitin I tertinggi diperoleh kelompok C3 dengan perlakuan HCl 1 N yaitu sebesar

41,67%, rendemen kitin II tertinggi diperoleh kelompok C4 yaitu sebesar 58,30%,

sedangkan rendemen kitosan tertinggi diperoleh kelompok C2 dengan perlakuan NaOH

40% yaitu sebesar 37,38%.

Page 7: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

3. PEMBAHASAN

Kitin merupakan senyawa yang terdiri dari rantai linear gugus asetilglukosamin,

sedangkan kitosan didapatkan dengan cara melepaskan beberapa gugus asetil (CH3-CO)

pada kitin (Hossain & Iqbal, 2014). Berdasarkan sumbernya, kitin dapat tersedia dalam

bentuk α, β, dan γ. Perbedaan di antara ketiganya adalah pada susunan rantai

kristalinnya: α-kitin memiliki struktur rantai antiparalel, β-kitin memiliki ikatan

hidrogen dari rantai paralel, sedangkan γ-kitin merupakan kombinasi antara α-kitin dan

β-kitin, yaitu memiliki baik struktur paralel maupun antiparalel (Rumengan et al.,

2014). Kitosan adalah substansi mirip serat dan merupakan sebuah homopolimer dari

N-asetil-D-glukosamin yang berikatan β (1-4). Perbedaan yang sebenarnya antara kitin

dan kitosan adalah pada kandungan asetil dari polimernya. Kitosan yang memiliki

gugus amino bebas merupakan produk turunan kitin yang paling bermanfaat (Hossain &

Iqbal, 2014).

Salah satu sumber kitin dan kitosan yang paling melimpah berasal dari industri udang.

Industri udang menghasilkan sejumlah besar limbah udang selama proses pengolahan,

yaitu sekitar 45-55% dari berat udang mentah. Material-material pada kepala dan kulit

udang memiliki nilai ekonomi yang rendah dan dianggap sebagai biowaste atau

biasanya dijual kepada pabrik-pabrik pakan hewan. Namun demikian, limbah ini dapat

dimanfaatkan menjadi value-added product seperti misalnya kitosan yang merupakan

polimer karbohidrat alami hasil modifikasi dari kitin, di mana kitin tersebut dapat

ditemukan dari sumber-sumber alami seperti crustacea, fungi, serangga, dan beberapa

alga. Pada umumnya, cangkang crustacea terdiri dari 30-40% protein, 30-50% kalsium

karbonat dan kasium fosfat, serta 20-30% kitin (Hossain & Iqbal, 2014). Oleh karena

itu, pada praktikum kali ini, dilakukan pengolahan limbah udang menjadi value-added

by product yang berupa kitin dan kitosan. Untuk prosesnya, dilakukan tiga tahapan yang

terdiri dari proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi, dengan berbagai macam

perlakuan konsentrasi larutan asam basa.

3.1. Demineralisasi

Page 8: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

Tahapan yang pertama adalah tahap demineralisasi. Hargono & Djaeni (2008)

menyatakan bahwa cangkang dari udang mengandung sekitar 40-50% mineral.

Kandungan mineral ini terlalu tinggi pada limbah kulit udang, sehingga untuk

mengurangi kadar mineral digunakan suatu metode yang disebut demineralisasi. Proses

demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral yang biasanya

banyak terdapat pada bagian kulit dari udang.

Demineralisasi dapat dengan mudah dilakukan karena prosesnya melibatkan

dekomposisi dari kalsium karbonat menjadi garam kalsium larut air, dengan pelepasan

karbon dioksida seperti yang ditunjukkan oleh persamaan reaksi sebagai berikut:

2 HCl + CaCO3 CaCl2 + H2O + CO2.

Sebagian besar dari mineral-mineral lain yang terkandung pada cangkang juga bereaksi

sama dan menghasilkan garam-garam terlarut dengan kehadiran asam. Kemudian,

garam dapat dengan mudah dipisahkan dengan cara filtrasi dari fase solid kitin diikuti

dengan pencucian menggunakan air hasil deionisasi (Younes & Rinaudo, 2015).

Untuk melakukan demineralisasi, pertama-tama limbah udang dicuci dengan air

mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas sebanyak dua kali dan

dikeringkan kembali. Proses pencucian ini sesuai dengan pernyataan Puvvada et al.

(2012), yaitu bahwa pada tahap awal, ekstraksi kitin dan kitosan melibatkan pencucian,

di mana tahap-tahap proses pencucian dan pengeringan ini bertujuan untuk

menghilangkan komponen-komponen organik yang dapat larut, protein-protein yang

melekat, dan impuritas-impuritas lain yang terdapat pada eksoskeleton udang (Sun &

Fernandez, 2004). Setelah itu, limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk dan

diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Penghancuran bertujuan agar proses selanjutnya

yaitu deasetilasi berlangsung lebih cepat dan sempurna karena semakin luas permukaan

maka akan semikn banyak dan cepat penyerapan larutan alkali yang akan diberikan

(Muzzarelli et al., 1997).

Limbah udang kemudian ditambahkan HCl 0,75 N (kelompok C1, C2); HCl 1 N

(kelompok C3 dan C4); HCl 1,25 N (kelompok C5) dengan perbandingan 10:1. Hal ini

dilakukan sesuai dengan pernyataan Suhardi (1993) yaitu bahwa kalsium karbonat dapat

Page 9: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

dihilangkan dengan perlakuan dalam asam klorida (HCl) encer pada suhu kamar. Kulit

udang mengandung sekitar 30% hingga 50% (berat kering) mineral, di mana komposisi

yang paling utama adalah kalsium karbonat dalam jumlah besar, serta kalsium fosfat

dalam jumlah kecil. Hendri et al. (2007) telah melakukan penelitian untuk

membandingkan tiga jenis larutan asam yaitu HNO3, HCl dan H2SO4 dan mendapatkan

hasil bahwa HCl menghasilkan persentase recovery tertinggi. Menurut Austin et al.

(1981), asam klorida (HCl) ini efektif untuk melarutkan kalsium sebagai kalsium

klorida, tetapi asam klorida juga dapat menyebabkan kitin mengalami depolimerisasi.

Proses pemisahan mineral ini juga ditunjukkan oleh terbentuknya gas CO2 yang berupa

gelembung-gelembung udara ketika larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Hal ini

terjadi dikarenakan adanya pelepasan gas CO2 serta terbentuknya ion Ca2+

dan ion

H2PO4- yang terlarut menjadi CaCl2, di mana selanjutnya akan hilang ketika

penyaringan (Hendri et al., 2007).

Selanjutnya, limbah udang dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam sambil terus

diaduk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Younes & Rinaudo (2015), yaitu bahwa

proses demineralisasi menggunakan HCl biasanya dapat dicapai di bawah proses

pengadukan. Semakin lama waktu demineralisasi, bahkan hingga beberapa hari, akan

menghasilkan sedikit penurunan terhadap kadar abu, tetapi juga menyebabkan degradasi

polimer. Selain itu, penggunaan temperatur tinggi dapat mempercepat proses

demineralisasi dengan cara mendorong penetrasi pelarut ke dalam matriks kitin. Namun,

penetrasi pelarut ke dalam matriks kitin juga sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel.

Faktor yang sangat menentukan dalam proses demineralisasi berhubungan dengan area

kontak antara matriks kitin dan pelarut. Meskipun demikian, temperatur tinggi, waktu

inkubasi yang lebih lama, konsentrasi asam kuat, serta granulometri juga mempengaruhi

sifat fisikokimia akhir dari kitin yang dihasilkan. Selain itu, Hendri (2008) menyatakan

bahwa proses pemanasan dan pengadukan selama 1 jam bertujuan untuk menghilangkan

gas CO2 yang terbentuk akibat proses pemisahan mineral (demineralisasi). Kemudian,

limbah udang dicuci sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

Proses pencucian tersebut sesuai dengan metode penelitian yang dilakukan Almeida et

al. (2012), di mana pada tahap akhir proses demineralisasi, produk dicuci dengan air

distilasi hingga pH-nya menjadi netral. Proses netralisasi ini bertujuan untuk

Page 10: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

menghilangkan sisa larutan NaOH di dalam residu (Alistair et al., 2006). Kemudian,

proses pengeringan bertujuan untuk menguapkan air yang tersisa di dalam residu setelah

proses pencucian (Winarno et al., 1980).

Berdasarkan pengamatan hasil akhir demineralisasi, didapatkan bahwa rata-rata

persentase rendemen pada perlakuan HCl 1 N lebih besar dibandingkan perlakuan HCl

0,75 N, namun lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan HCl 1,25 N, di mana

persentase rendemen tertinggi diperoleh kelompok C3 dengan perlakuan HCl 1 N, yaitu

sebesar 41,67%. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena menurut Laila & Hendri

(2008), semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan maka senyawa-senyawa

mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan. Oleh karena itu, seharusnya

semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan, rendemen yang dihasilkan semakin

sedikit oleh karena semakin banyaknya mineral yang hilang selama proses

demineralisasi. Johnson dan Peterson (1974) menambahkan bahwa penambahan asam

atau basa dengan dosis atau konsentrasi tinggi dan waktu proses yang lebih lama dapat

menyebabkan terjadi pelepasan atau peregangan ikatan protein dan mineral dalam kitin

dan kitosan pada kulit udang serta bahan organik lain yang terdapat di dalamnya.

Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena ketidakseragaman penggunaan suhu,

seperti hasil penelitian dari Hendri et al. (2007), di mana didapatkan bahwa semakin

tinggi suhu yang digunakan, maka berat rendemen kitin yang dihasilkan akan lebih

sedikit oleh karena adanya degradasi pada suhu tinggi. Younes & Rinaudo (2015)

menambahkan bahwa perlakuan demineralisasi seringkali bersifat empiris dan

bervariasi tergantung dari derajat mineralisasi dari masing-masing cangkang, waktu

ekstraksi, suhu, ukuran partikel, konsentrasi asam, dan perbandingan pelarut.

3.2. Deproteinasi

Setelah dilakukan proses demineralisasi dan produk telah dikeringkan, tahap yang

kedua adalah deproteinasi. Menurut Purwaningsih (1994), dalam limbah udang terdapat

kandungan protein yang cukup tinggi yaitu sekitar 30%. Oleh karena itu, dilakukan

proses deproteinasi dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan protein yang

terdapat dalam kulit udang. Penghilangan protein secara keseluruhan bersifat penting

terutama untuk aplikasi biomedis, karena beberapa persen dari populasi manusia alergi

Page 11: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

terhadap hewan laut, di mana penyebab utamanya merupakan komponen protein

(Younes & Rinaudo, 2015). Untuk melakukan proses deproteinasi, pertama-tama

produk hasil demineralisasi ditambahkan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1.

Menurut Martinou et al. (1995), tujuan perendaman dalam larutan NaOH adalah untuk

mengubah konformasi kristalin dari kitin yang bersifat rapat, sehingga enzim dapat

lebih mudah melakukan penetrasi untuk deasetilasi polimer kitin. Selanjutnya, larutan

tersebut dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam. Moeljanto (1992) menyatakan

bahwa dengan pemanasan, protein akan terdenaturasi. Setelah dipanaskan, bahan

disaring dan didinginkan. Tujuan pendinginan tersebut adalah agar kitin pada larutan

dapat mengendap di bagian bawah, sehingga tidak terbuang ketika proses pencucian

(Rogers, 1986). Kemudian, bahan kembali dicuci sampai pH netral dan dikeringkan

pada suhu 80oC selama 24 jam, seperti pada proses demineralisasi.

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan hasil bahwa persentase rendemen kitin

berkisar antara 30% hingga 58,3%, di mana rendemen kitin tertinggi diperoleh

kelompok C4. Menurut Puspawati & Simpen (2010), persentase rendemen yang

dihasilkan dari proses deproteinasi lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil

demineralisasi karena protein yang memiliki berat molekul besar sudah dihilangkan

pada saat demineralisasi. Artinya, residu (% rendemen) yang dihasilkan dari proses

deproteinasi seharusnya lebih besar daripada residu hasil demineralisasi karena

molekul-molekul yang hilang pada saat deproteinasi lebih sedikit. Hal ini terbukti pada

hasil pengamatan, di mana rendemen kitin II yang diekstrak dengan menggunakan

NaOH lebih besar persentasenya dibandingkan dengan rendemen kitin I yang diekstrak

dengan menggunakan HCl, di mana persentase rendemen berkisar antara 21,19% hingga

41,67%. Menurut Laila & Hendri (2008), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

kualitas kitin adalah tahapan proses, yaitu tahapan deproteinasi dan demineralisasi, serta

kondisi proses dari setiap tahapan tersebut, yaitu waktu, suhu, konsentrasi zat kimia,

dan pH. Semakin besar dosis dan konsentrasi basa dan asam yang digunakan, maka

kandungan protein dan mineral yang terlepas selama proses ekstraksi kitin berlangsung

juga semakin banyak (Lehninger, 1975).

3.3. Deasetilasi

Page 12: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Setelah dilakukan proses deproteinasi dan produk selesai dikeringkan, tahap yang

terakhir yaitu ekstraksi kitosan adalah dengan proses deasetilasi. Menurut Rahayu &

Purnavita (2007), tujuan dari proses deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus

asetil dari kitin melalui proses pemanasan dalam larutan alkali kuat dan konsentrasi

tinggi. Proses deasetilasi dengan menggunakan larutan alkali pada suhu tinggi akan

menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul-molekul kitin. Gugus

amida pada molekul kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan

positif, sehingga terbentuk gugus amina bebas –NH2 . Dengan adanya gugus tersebut,

kitosan dapat mengadsorpsi ion logam dengan cara membentuk senyawa kompleks

(kelat).

Dari sudut pandang kimiawi, baik larutan asam maupun basa dapat digunakan untuk

deasetilasi kitin. Namun, ikatan glikosidik sangat rentan terhadap asam (Younes &

Rinaudo, 2015). Untuk itu, pada tahap ini pertama-tama hasil deproteinasi yang berupa

kitin ditambahkan NaOH 40% (kelompok C1, C2); NaOH 50% (kelompok C3, C4);

NaOH 60% (kelompok C5), kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Penggunaan NaOH 40% hingga 60% ini sesuai dengan pernyataan Hirano (1989), yang

mengatakan bahwa penggunaan larutan NaOH 40% hingga 60% dengan suhu yang

tinggi diperlukan untuk mendapatkan kitosan dari kitin. Hal ini perlu dilakukan karena

kitin mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan yang kuat antara ion

nitrogen dengan gugus karboksil. Selanjutnya, residu dicuci sampai pH netral dan

dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam. Proses pencucian tersebut juga sesuai

dengan metode penelitian yang dilakukan Almeida et al. (2012), di mana pada tahap

akhir proses deasetilasi, produk dicuci dengan air distilasi hingga pH-nya menjadi

netral, baru selanjutnya dikeringkan untuk dihilangkan kandungan airnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, warna akhir dari kitosan yang dihasilkan adalah coklat

oranye. Menurut Sun & Fernandez (2004), warna tersebut dihasilkan oleh karena

pigmen yang terdapat di dalam cangkang crustacea membentuk kompleks dengan kitin,

yaitu berupa senyawa turunan 4-keto dan tiga 4,4’-diketo-β-karoten. Sementara itu,

rendemen kitosan yang dihasilkan cenderung semakin menurun seiring dengan

meningkatnya konsentrasi NaOH yang digunakan, di mana persentase rendemen

Page 13: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

tertinggi diperoleh kelompok C2 dengan perlakuan NaOH 40%, yaitu sebesar 37,38%.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hossain & Iqbal (2014), di mana tingkat

deasetilasi tertinggi dicapai pada konsentrasi NaOH sebesar 60%, karena peningkatan

konsentrasi NaOH berhubungan dengan besarnya tingkat deasetilasi. Dengan demikian,

semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, maka akan semakin sedikit

persentase rendemen yang tersisa dari proses deasetilasi. Menurut Rochima (2005),

penggunaan konsentrasi NaOH yang tinggi ketika proses deasetilasi akan menghasilkan

rendemen kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena

gugus fungsional amino (-NH3+

) yang mensubtitusikan gugus asetil kitin di dalam

sistem larutan menjadi semakin aktif, sehingga semakin sempurna pula proses

deasetilasi yang terjadi. Hal ini juga didukung oleh Puspawati dan Simpen (2010) di

mana menurut hasil penelitian yang juga dilakukannya, pada penggunaan NaOH 60%,

gugus asetil dapat lebih banyak dihilangkan jika dibandingkan dengan konsentrasi yang

lebih rendah. Hal tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka

semakin banyak pula zat-zat yang bereaksi karena semakin besar kemungkinan

terjadinya tumbukan. Adapun ketidaksesuaian pada kelompok C1 di mana seharusnya

perlakuan konsentrasi NaOH terendah (40%) menghasilkan rendemen kitosan yang

paling besar dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu seperti

ketidakseragaman penggunaan suhu dan pencucian yang dilakukan. Menurut Younes &

Rinaudo (2015), proses deasetilasi sangat dipengaruhi oleh suhu dan sifat reagen basa

yang digunakan. Sementara itu, menurut Ramadhan et al. (2010), proses pencucian

secara bertahap juga dapat mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali.

Oleh karena itu, efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida rantai kitin

menjadi semakin baik. Pada akhirnya, kualitas kitosan tergantung pada kondisi-kondisi

dari proses ekstraksi kimia yang dilakukan (Hossain & Iqbal, 2014).

Kitin dan turunan-turunannya memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehubungan dengan

aktivitas biologisnya yang serbaguna serta aplikasi-aplikasinya di bidang agrokimia

(Krishnaveni & Ragunathan, 2015). Menurut Khorrami et al. (2012), kitin dan

turunannya telah diaplikasikan secara luas di bidang agrikultural oleh karena

mekanisme pertahanannya pada tanaman, pelapisan biji, dan waktu pelepasan pada

pupuk. Kitin digunakan sebagai obat karena bersifat biocompatible, biodegradable,

Page 14: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

dapat diperbaharui, dan karakteristik pembentuk filmnya. Kitin juga digunakan pada

teknik pengolahan air dalam hal penangkapan logam dan penghilangan zat pewarna,

pada industri makanan dan nutrisi sebagai zat antimikroba, pada proses koagulasi, dan

kemampuannya dalam membentuk film. Namun demikian, dalam hal sifat kimia,

kitosan lebih mudah diaplikasikan, oleh karena struktur molekulnya yang merupakan

polimer dengan berat molekul tinggi, berbentuk poliamina linear di mana gugus

aminonya siap sedia untuk reaksi kimia dan pembentukan garam dengan asam

(Rumengan et al., 2014). Kitosan dapat diaplikasikan secara luas di berbagai macam

industri seperti farmasi, biokimia, bioteknologi, kosmetik, biomedis, industri kertas,

makanan, tekstil, dan lain-lain. Biopolimer ini dapat menghasilkan aplikasi-aplikasi

yang unik dan sangat luas, termasuk biokonversi dari produksi value-added food

product, pengawetan makanan terhadap pembusukan mikroba, pembentukan lapisan

film biodegradable, pemurnian air, serta penjernihan dan penghilangan asam dari jus

buah (Hossain & Iqbal, 2014).

Page 15: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

4. KESIMPULAN

Untuk menghasilkan produk kitin dan kitosan, dapat dilakukan proses

demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi pada limbah udang.

Demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan mineral pada bahan

melalui proses pemanasan dalam larutan asam (HCl 0,75 N; 1 N; 1,25 N).

Semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan, maka kandungan mineral yang

terlepas juga semakin banyak, sehingga rendemen yang dihasilkan semakin sedikit.

Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan protein pada bahan

melalui proses pemanasan dalam larutan basa (NaOH 3,5%).

Semakin besar konsentrasi basa yang digunakan, maka kandungan protein yang

terlepas juga semakin banyak, sehingga persentase rendemen semakin sedikit.

Deasetilasi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil melalui proses pemanasan

dalam larutan alkali kuat dan konsentrasi tinggi (NaOH 40%; 50%; 60%).

Warna akhir kitosan dihasilkan oleh pigmen yang terdapat di dalam cangkang

crustacea yaitu berupa senyawa turunan 4-keto dan tiga 4,4’-diketo-β-karoten.

Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan, maka gugus asetil yang terlepas

juga semakin banyak, sehingga persentase rendemen semakin sedikit.

Kitin dapat dimanfaatkan untuk pengikatan logam, penghilangan zat pewarna, zat

antimikroba, proses koagulasi, dan pembentukan film.

Kitosan dapat diaplikasikan untuk industri farmasi, biokimia, bioteknologi,

kosmetik, biomedis, industri kertas, makanan, dan tekstil.

Semarang, 17 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen:

- Tjan, Ivana Chandra

(Nita Silviani Arifin)

13.70.0069

Kelompok C2

Page 16: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

5. DAFTAR PUSTAKA

Alistair, M Stephen; Glyn O. Phillips; Peter A. Williams. 2006. Food Polysaccharides

and their Applications. CRC Press.

Almeida, L. P.; W. da L. Rodrigues; G. A. da Silva; F. F. O. de Sousa; L. de A. da silva.

2012. Extraction of chitin, synthesis and characterization of chitosan obtained

from shrimp waste (Macrobrachium amazonicum). Macapa-AP-Amazonia.

Brazil.

Austin, P. R.; Brine C. J.; Castle J. E.; Zikakis J. P. 1981. Chitin: New facets of

research. Science, 212 (4496), 749-753.

Hargono & M. Djaeni. 2008. Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta

Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Kitosan dan

Glukosamin. LIPI kawasan PUSPITEK, Serpong.

Hendri, John. 2008. Teknik deproteinasi kulit rajungan (Portunus pelagicus) secara

enzimatik dengan menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk

Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

Hendri, John; Wardana Wardana; Irwan Ginting Suka; Aspita Laila. 2007. Penentuan

Kadar Ca dan Mg pada hasil demineralisasi optimum kulit udang windu

(Penaeus monodon) secara gravimetri dan spektroskopi serapan atom. J. Sains

MIPA Vol. 13 (2): 93-99.

Hirano. 1989. Production and Application on Chitin and Chitosan in Japan. Japan.

Hossain, M. S. & A. Iqbal. 2014. Production and characterization of chitosan from

shrimp waste. Department of Food Technology & Rural Industries, Bangladesh

Agricultural University, Mymensingh-2202. Bangladesh.

Johnson, A. H. & M. S. Peterson. 1974. Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The

AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Khorrami, M; G. D. Najafpour; H. Younesi; M. N. Hosseinpour. 2012. Production of

Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus

plantarum. Chemical & Biochemical Engineering Q 26 (3) 217-223. Iran.

Krishnaveni, B. & R. Ragunathan. 2015. Extraction and Characterization of Chitin and

Chitosan from F. solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites

and Study of their Productive Application. J. Pharm. Sci. & Res. Vol. 7(4),

2015, 197-205. Chennai, India.

Laila, A. & Hendri J. (2008). Studi Pemanfaatan Polimer Kitin sebagai Media

Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. Seminar Nasional Sains dan

Teknologi-II-2008. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Page 17: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Lehninger, A. L. 1975. Biochemistry: 2nd Edition. Worth Publisher Inc. New York.

Martinou, A.; D. Kafetzopoulos; V. Bouriotis. 1995. Chitin deacetylation by enzymatic

means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydr. Res. 273: 235-242.

Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Muzzarelli, R.; C. Jeunoax; G. W. Goody. 1986. Chitin in Nature and Technology.

Plenum Press. New York.

Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M. & I. N. Simpen. 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang

dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui

Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol. 4: 70-90.

Puvvada, Yateendra Shanmukha; Saikishore Vankayalapati; Sudheshnababu Sukhavasi.

2012. Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for

application in the pharmaceutical industry. International Current

Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263. India.

Rahayu, L. H. & Purnavita S. 2007. Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Limbah

Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam

Merkuri. Reaktor, 11 (1). pp. 45-49. ISSN 0852-0798. Universitas Diponegoro.

Semarang.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad;

S. Valiyaveetiil. 2010. Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya

terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia

Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4: 17-21.

Rochima, Emma. 2005. Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan.

Cirebon.

Rogers, E. P. 1986. Fundamental of Chemistry. Cole Publishing Company. California.

Rumengan, I. F. M.; E. Suryanto; R. Modaso; S. Wullur; T. E. Tallei; D. Limbong.

2014. Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the

Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis. International Journal

of Fisheries and Aquatic Sciences 3(1): 12-18. Maxwell Scientific Publication

Corp.

Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. PAU,

UGM. Yogyakarta.

Sun, Ok & Kim Fernandez. 2004. Physicochemical and Functional Properties of

Crawfish Chitosan as Affected by Different Processing Protocols. Department

of Food Science. Seoul National University. Seoul.

Page 18: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Winarno, F. G.; S. Fardiaz; D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia.

Jakarta.

Younes, Islem & Marguerite Rinaudo. 2015. Chitin and Chitosan Preparation from

Marine Sources: Structure, Properties, and Applications. Marine Drugs 2015,

13, 1133-1174, ISSN 1660-3397. Basel, Switzerland.

Page 19: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Kelompok C1

Kelompok C2

Kelompok C3

Page 20: Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

Kelompok C4

Kelompok C5

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal