Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

33
1. MATERI DAN METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas. 1.1.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N ; 1 N ; dan 1,25 N ; NaOH 3,5% ; 40% ; 50% dan 60%. 1.2. Metode 1.2.1. Demineralisasi 1 Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

description

Dalam praktikum ini dilakukan pengolahan limbah kulit udang menjadi kitin dan kitosan, dimana kitin dan kitosan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi.Teknologi Pangan - Unika Soegijapranata

Transcript of Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

Page 1: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan

peralatan gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N ; 1 N ;

dan 1,25 N ; NaOH 3,5% ; 40% ; 50% dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan

ditimbang

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Page 2: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

2

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan

10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24

jam

Page 3: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

3

1.2.2. Deproteinasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan

perbandingan 6:1

Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC

selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Page 4: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

4

1.2.3. Deasetilasi

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu

90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%

dengan perbandingan 20:1

Page 5: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap karakteristik chitin dan chitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Rendemen Kitin dan Kitosan

Kel Perlakuan RendemenKitin I (%)

RendemenKitin II (%)

RendemenKitosan (%)

E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

26,35 28,57 32,00

E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

37,93 27,78 17,23

E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

23,53 30,77 28,89

E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

35,00 18,18 15,33

E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

29,17 25,00 42,5

Dari tabel 1 dapat dilihat, untuk rendemen kitin yang pertama, pada kelompok E1

adalah 26,32%, pada kelompok E2 37,93%, pada kelompok E3 23,53%, pada kelompok

E4 35,00%, dan pada kelompok E5 29,17%. Dengan demikian, maka hasil terbesar

didapatkan oleh kelompok E2 yang menggunakan HCl 0,75 N sedangkan hasil terkecil

didapatkan oleh kelompok E3 yang menggunakan HCl 1 N. Untuk rendemen kitin

kedua yang dihasilkan dari proses proteinasi, pada kelompok E1, rendemen yang

diperoleh adalah 28,57%, pada kelompok E2, rendemen yang diperoleh adalah 27,78%,

pada kelompok E3, rendemen yang diperoleh adalah 30,77%, pada kelompok E4,

rendemen yang diperoleh adalah 18,18%, dan pada kelompok E5, rendemen yang

diperoleh adalah 25,00%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada kelompok E2,

E4, dan D5 mengalami penurunan rendemen sedangkan pada kelompok E1 dan D3

mengalami peningkatan rendemen. Kemudian, untuk hasil rendemen kitosan, diketahui

bahwa pada kelompok E1, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 32,00%. Pada

kelompok E2, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 17,23%. Pada kelompok E3,

rendemen kitosan yang diperoleh adalah 28,89%. Pada kelompok E4, rendemen kitosan

yang diperoleh adalah 15,33% dan pada kelompok E5 adalah 42,50%. Dengan

demikian, diketahui bahwa rendemen terbesar diperoleh pada kelompok E5 yang

menggunakan NaOH 60% sedangkan rendemen kitosan terkecil diperoleh kelompok E4

yang menggunakan NaOH 50%.

5

Page 6: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Udang merupakan komoditi ekspor terbesar sektor perikanan di Indonesia, udang yang

diekspor hampir 90% adalah dalam bentuk beku tanpa kulit dan kepala. Selama ini,

pengolahan kulit udang hanya dikeringkan dan digunakan sebagai pupuk atau pakan

ternak yang memiliki nilai ekonomi rendah. Oleh karena itu, pengolahan limbah udang

menjadi produk dengan nilai ekonomi tinggi menjadi sangat penting. Salah satu hasil

pengolahan limbah udang yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah menjadi kitin dan

kitosan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008).

Pada praktikum kitin dan kitosan ini digunakan bahan dasar yaitu limbah kulit udang.

Hal ini sesuai dengan teori Marganov (2003) yang memaparkan bahwa kitin dan kitosan

bisa didapatkan dari limbah crustacea seperti kulit udang, kulit kerang, tulang rawan

cumi-cumi, dan paruh burung. Bagian kepala dan kulit dari crustacea mengandung

kitin, protein, dan mineral. Dengan proses demineralisasi dan deproteinasi maka akan

didapatkan kitin (Jiang et al., 2003 dalam Tarafdar & Biswas, 2013). Kitin juga dapat

diberi perlakuan deasetilasi sehingga akan menghasilkan kitosan yang merupakan

substansi kimia dengan nilai ekonomi tinggi (Kumar, 2000 dalam Tarafdar & Biswas,

2013). Kitin yang terkandung dalam kulit udang sebesar 15-20%, protein sebesar 25-

40% serta kalsium karbonat sebesar 45-50%. Namun, besarnya kandungan komponen

tersebut tergantung dari spesies udang dan tempat hidup udang. Shahidi & Abuzaytoun

(2005) dalam Islama et al. (2011) menambahkan kitin juga dapat ditemukan di

exoskeleton dari ubur-ubur dan zooplankton spp di laut.

Kitin adalah polisakarida linier yang tersusun atas (1-4)-2-asetamida-2-deoksi-β-D-

glukopiranosa (Tomihata & Ikada, 1997; Roberts, 1992 dalam Puvvada et al, 2012).

Muzzarelli (1985) menambahkan bahwa kitin (C8H13NO5)n adalah biopolimer dari unit

N-asetil-D-glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan β (1,4). Kitin dapat

diperoleh dengan 2 tahap yaitu tahap demineralisasi (menggunakan HCl) dan

deproteinasi (menggunakan NaOH) (Wang et al., 2010). Kitin di tubuh organisme

berbentuk kristal dan dibedakan berdasarkan susunan rantai molekul yang menyusun

kristalnya, yaitu α-kitin yaitu rantai anti pararel, β-kitin yaitu rantai pararel, dan γ-kitin

yaitu rantai campuran (Abun et al., 2007).

6

Page 7: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

7

Kitosan adalah polisakarida linier yang tersusun atas (1-4)-2-amino-2-deoksi-β-D-

glukopiranosa (Tomihata & Ikada, 1997; Roberts, 1992 dalam Puvvada et al, 2012).

Kitosan adalah produk turunan kitin yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kitin

dengan bantuan basa kuat 40-45% pada suhu antara 120-160oC dalam waktu tertentu

(Radhakumary et al., 2005). Bentuk dari kitosan ini adalah padatan amorf, berwarna

putih dengan struktul kristal tetap seperti bentuk awal kitin. Rantai dari kitosan lebih

pendek dibandingkan rantai kitin (Linawati, 2006). Kitosan termasuk dalam bahan

value added materials (Shahidi & Abuzaytoun, 2005 dalam Islama et al., 2011).

Kitosan bermuatan netral, inilah yang membedakan kitosan dengan polisakarida lain.

Pembuatan kitosan ini bertujuan untuk membentuk produk turunan dari kitin yang lebih

bermanfaat dan berguna. Hal ini sesuai dengan pendapat Linawati (2006) yang

memaparkan bahwa penggunaan dari kitin terbatas karena kitin sukar larut dalam air.

Oleh sebab itu, kitin diproses secara kimiawi sehingga diperoleh produk turunan kitin

yang memiliki sifat kimia lebih baik. Produk turunan kitin tersebut adalah kitosan yang

memiliki sifat kelarutan dalam asam serta viskositas yang tergantung dari derajat

diasetilasi dan derajat degradasi polimer.

Kitosan dapat larut dalam asam encer seperti asam asetat, asam format, asam sitrat.

Gugus karboksil asam asetat mampu mempermudah pelarutan kitosan, karena terjadi

interaksi hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina dari kitosan. Apabila

kitosan disimpan dalam jangka waktu yang lama dan dalam keadaan terbuka, maka

akan terjadi dekomposisi yang berakibat pada perubahan warnanya menjadi kekuningan

dan kelarutan serta viskositasnya menjadi berkurang (Linawati, 2006). Struktur kitin

dan kitosan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)

Page 8: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

8

Pada tahapan awal praktikum ini, limbah udang dicuci dengan air mengalir lalu

dikeringkan, kemudian dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak 2 kali ulangan

kemudian dikeringkan kembali. Menurut Bastaman (1989), pencucian ini berguna

untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel pada kulit udang sehingga tidak

mengganggu tahapan proses selanjutnya dan ekstraksi kitin dapat berlangsung

maksimal. Sedangkan pengeringan bertujuan untuk mengurangi moisture atau

kandungan air pada kulit udang dan mempermudah proses pengecilan ukuran (Cha dan

Chinnan, 2004). Setelah itu, kulit udang dihancurkan menjadi serbuk kemudian diayak

dengan ayakan 40-60 mesh. Hal ini sesuai dengan teori Bastaman (1989) yang

mengatakan penghancuran kulit udang menjadi serbuk bertujuan untuk memperluas

permukaan kontak bahan dengan pelarut yang digunakan sehingga ekstraksi dapat

berlangsung maksimal. Penghancuran kulit udang menjadi serbuk ini juga sesuai

dengan teori Prasetiyo (2006) yang mengatakan bahwa bahan dari limbah udang yang

sudah kering kemudian digiling sehingga menghasilkan serbuk ukuran 40-60 mesh.

Setiap kelompok dari E1 hingga E5 mengambil kulit udang yang telah berbentuk serbuk

masing-masing sebanyak 10 gram dan dilakukan penambahan HCl (10:1) di mana pada

kelompok E1 dan E2 konsentrasi HCl yang digunakan adalah 0,75 N, kelompok E3 dan

E4 1 N sedangkan pada kelompok E5 adalah 1,25 N. Penggunaan konsentrasi yang

berbeda ini bertujuan untuk mengetahui apakah konsentrasi yang berbeda berpengaruh

pada jumlah dan kualitas kitin yang dihasilkan. Semakin tinggi N HCl yang digunakan,

efektivitas pelarutan akan semakin besar sehingga jumlah rendemen yang dihasilkan

akan semakin rendah (Laila & Hendri, 2008). Tahap penambahan HCl ini merupakan

tahap demineralisasi atau penghilangan mineral. Hal tersebut sesuai dengan teori

Bastaman (1989), yang memaparkan bahwa demineralisasi adalah salah satu proses

pada pembuatan kitin yang dilakukan untuk menghilangkan mineral dari kulit udang.

Bastaman (1989) menambahkan bahwa demineralisasi menyebabkan kalsium karbonat

beraksi dengan asam klorida dan membentuk kalsium klorida, asam karbonat, dan asam

fosfat yang larut dalam air, sehingga mineral yang terdapat pada kitin akan terlarut

dalam air, sedangkan residu yang tidak terlarut air merupakan senyawa kitin. Pada saat

proses pemisahan mineral berlangsung akan terbentuk gelembung udara yang

merupakan gas CO2 dengan rekasi kimia seperti dibawah ini :

CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)

Page 9: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

9

Proses demineralisasi ini penting dilakukan karena udang mengandung mineral kalsium

karbonat sebesar 45-50% dan protein sebesar 25-40%, sedangkan pada kulit udang

terkandung mineral hingga 30-50% dari berat keringnya. Mineral utama pada kulit

udang adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) (Peter, 1995).

Proses demineralisasi bisa dilakukan dengan penambahan HCl, H2SO4, atau asam laktat

(Bastaman, 1989). Oleh karena itu, penggunaan HCl dalam praktikum ini untuk proses

demineralisasi sudah sesuai. Selain itu, proses demineralisasi dilakukan untuk

mendukung proses berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Alamsyah et al. (2007),

yang menyatakan proses deproteinasi sebaiknya dilakukan setelah proses

demineralisasi, karena proses isolasi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi

akan menghasilkan rendemen lebih banyak bila dibandingkan dengan proses isolasi

kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Apabila mineral tidak dihilangkan

terlebih dahulu, proses deproteinasi tidak akan bisa berlangsung secara optimal karena

mineral memiliki struktur yang lebih keras dibandingkan protein, sehingga mineral akan

membentuk barrier atau pelindung pada kulit udang sehingga proses tidak dapat

berlangsung secara optimal.

Setelah penambahan HCl, dilakukan pengadukan sambil dipanaskan pada suhu 80oC

selama 1 jam. Pengadukan ini berfungsi untuk menghindari meluapnya gelembung

udara hasil dari proses pemisahan mineral selama proses demineralisasi, sedangkan

pemanasan berfungsi untuk mempercepat perusakan serta penghilangan mineral

(Puspawati et al., 2010). Selanjutnya, bahan dicuci menggunakan air mengalir hingga

pH netral dengan menggunakan kain saring, pengukuran pH dilakukan dengan kertas

pH. Pada tahap pencucian ini digunakan kain saring yang berguna untuk memperoleh

residu yang tidak ikut tersaring dimana residu ini telah memiliki pH netral (Puspawati

et al., 2010). Proses demineralisasi mengakibatkan kalsium karbonat bereaksi dengan

asam klorida sehingga membentuk asam karbonat, kalsium klorida, asam fosfat.

Senyawa-senyawa tersebut larut dalam air sedangkan residu yang tidak larut dalam air

merupakan senyawa kitin. Karena mineral yang terdapat pada kitin telah terlarut dalam

air, maka diperlukan penyaringan pada saat proses penetralan pH sehingga didapatkan

residu yang merupakan kitin yang telah terekstrak (Bastaman, 1989). Lalu setelah pH

netral, bahan yang tidak lolos dari kain saring, ditimbang sebagai berat basah lalu

dikeringkan dengan oven pada suhu 90oC selama 24 jam. Pengeringan di oven bertujuan

Page 10: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

10

untuk menghilangkan atau mengurangi moisture atau kandungan air pada bahan

sehingga bahan yang diperoleh memiliki kadar air rendah atau kering (Bastaman, 1989).

Setelah pengeringan selesai dilakukan, bahan ditimbang sebagai berat kering.

Tahap selanjutnya adalah deproteinasi. Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan

protein yang masih melekat di kitin, sehingga dapat dihasilkan kitin yang murni

(Alamsyah et al., 2007). Pada tahap deproteinasi ini, tepung yang didapatkan dari

proses demineralisasi ditambahkan dengan NaOH 3,5% sebanyak 6:1. Penggunaan

NaOH 3,5% ini berfungsi untuk menghilangkan protein yang masih melekat pada kitin

(Puspawati et al., 2010). Kemudian, dilakukan pemanasan pada suhu 70oC selama 1 jam

serta dilakukan pengadukan secara terus-menerus. Pemanasan ini berfungsi untuk

menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH sehingga kitin yang dihasilkan

maksimal, sedangkan pengadukan berguna untuk membantu melarutkan NaOH

sehingga deproteinasi dapat berjalan secara optimal (Puspawati et al., 2010). Menurut

Johnson dan Peterson (1974), penambahan asam atau basa dengan konsentrasi yang

lebih tinggi dan disertai dengan proses atau waktu yang lebih panjang dapat melepaskan

atau meregangkan ikatan protein dan mineral dari kitin.

Setelah proses pemanasan dilakukan, bahan didinginkan. Setelah cukup dingin, bahan

dicuci dengan air hingga pH netral dengan kain saring. Tahapan netralisasi ini penting

dilakukan karena berpengaruh pada sifat penggembungan kitin terhadap alkali sehingga

proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin akan semakin baik.

Pada tahap pencucian ini digunakan kain saring yang bertujuan untuk memperoleh

residu yang tidak tersaring yang telah memiliki pH netral (Puspawati et al., 2010).

Setelah pH netral, bahan yang tidak lolos dari kain saring ditimbang sebagai berat basah

lalu di oven dengan suhu 90oC selama 24 jam. Fungsi pengeringan di oven ini untuk

menghilangkan atau mengurangi kadar air pada bahan sehingga bahan yang diperoleh

memiliki kadar air rendah atau kering (Bastaman, 1989). Setelah pengeringan selesai,

bahan ditimbang sebagai berat kering. Dengan demikian, kitin telah berhasil diperoleh.

Tahapan selanjutnya adalah deasetilasi untuk menghasilkan kitosan. Pada tahapan ini,

kitin yang diperoleh ditambah dengan NaOH dengan perbandingan NaOH dan kitin

sebanyak 20:1. NaOH yang ditambahkan untuk setiap kelompok berbeda

konsentrasinya. Pada kelompok E1 dan E2 menggunakan NaOH 40%, kelompok E3

Page 11: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

11

dan E4 menggunakan NaOH 50%, sedangkan kelompk E5 menggunakan NaOH 60%.

Perbedaan penggunaan konsentrasi ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kualitas dan jumlah kitosan yang dihasilkan.

Supitjah (2004) mengatakan bahwa NaOH adalah senyawa alkali yang dianggap paling

efektif untuk menghidrolisis gugus asetil pada kitin. Hal ini disebabkan protein yang

terikat pada kitin lebih sulit untuk dipisahkan dibandingkan dengan pemisahan

mineralnya, maka perlu penambahan basa NaOH. Semakin tinggi konsentrasi NaOH

dan suhu yang digunakan maka proses pemisahan kitin dari gugus protein akan menjadi

lebih maksimal. Dengan demikian, semakin tinggi konsentrasi NaOH maka jumlah

rendemen yang terbentuk akan semakin sedikit karena protein terlepas dan tidak terikat

pada kitin lagi. Jika konsentrasi yang digunakan terlalu rendah maka reduksi gugus

protein akan menjadi kurang maksimal. Penggunaan NaOH ini bertujuan untuk

mengubah kitin menjadi kitosan. Hal ini sesuai dengan teori Hirano (1989) yang

memaparkan bahwa kitin memiliki struktur kristal yang panjang dan ikatan yang kuat

antara ion nitrogen dengan gugus karboksil, sehingga diperlukan larutan alkali (NaOH)

dengan konsentrasi 40-50% dan suhu tinggi untuk mengubah kitin menjadi kitosan.

Teori ini juga didukung oleh Martinou (1995), yang menyatakan bahwa NaOH

konsentrasi tinggi dapat mengubah formasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang,

sehingga enzim dapat mendeasetilasi polimer kitin. Selain itu, alkali dengan konsetrasi

yang tinggi juga dapat memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom

nitrogen.

Setelah itu, dilakukan pemanasan pada suhu 80oC selama 1 jam serta dilakukan

pengadukan secara terus-menerus. Pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan

kitin dengan NaOH sehingga proses deasetilasi dapat berjalan secara optimal

(Puspawati et al., 2010). Sedangkan pemanasan bertujuan untuk meningkatkan derajat

deasetilasi kitosan karena suhu merupakan faktor penting yang berpengaruh pada

derajat deasetilasi kitosan. Kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi diperoleh apabila

pemanasan dilakukan pada suhu tinggi, semakin tinggi suhu pemanasan maka derajat

deasetilasinya akan semakin tinggi pula (Mekawati et al., 2000). Selanjutnya, dilakukan

proses pencucian menggunakan air hingga diperoleh pH netral. Kemudian, bahan

dikeringkan di oven pada suhu 90oC selama 24 jam. Sama seperti proses demineralisasi

dan deproteinasi, pengovenan ini bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi

Page 12: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

12

moisture bahan sehingga bahan yang diperoleh memiliki kadar air rendah atau kering

(Bastaman, 1989). Serbuk yang diperoleh setelah proses pengeringan merupakan

kitosan.

Warna dari kitin dan kitosan yang diperoleh dalah praktikum ini adalah putih

kekuningan. Hasil ini tidak sesuai dengan teori dari Wang et al. (2006) yang

menyatakan kitin memiliki karakteristik berwarna putih, tekstur yang keras dan inelastis

serta mengandung nitrogen. Hasil tersebut juga tidak sesuai dengan teori Ramadhan et

al. (2010) yang menyatakan kitosan berbentuk padatan amorf, berwarna putih, dengan

struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin. Hasil yang tidak sesuai ini dapat disebabkan

peralatan yang tidak bersih, seperti kain saring yang digunakan adalah kain saring bekas

yang hanya dicuci kemudian dikeringkan, hal ini tentu akan sangat berpengaruh warna

kitin dan kitosan yang dihasilkan.

Pada tabel hasil pengamatan dapat diketahui rendemen kitin dari proses demineralisasi

dan deproteinasi serta rendemen kitosan dari proses deasetilasi. Untuk rendemen kitin

yang pertama, pada kelompok E1 adalah 26,32%, pada kelompok E2 37,93%, pada

kelompok E3 23,53%, pada kelompok E4 35,00%, dan pada kelompok E5 29,17%.

Dengan demikian, maka hasil terbesar didapatkan oleh kelompok E2 yang

menggunakan HCl 0,75 N sedangkan hasil terkecil didapatkan oleh kelompok E3 yang

menggunakan HCl 1 N. Laila & Hendri (2008) menyatakan bahwa semakin besar

konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin

rendah. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh di mana dengan konsentrasi HCl

0,75N mendapatkan rendemen yang lebih besar daripada menggunakan HCl 1 N.

Namun, ketidaksesuaian hasil terjadi pada kelompok E5 yang seharusnya menghasilkan

rendemen kitin terendah karena menggunakan HCl dengan konsentrasi tertinggi, yaitu

1,25%. Kesalahan ini dapat terjadi karena jenis udang yang digunakan sebagai bahan

dasar semua kelompok belum tentu dari satu jenis yang sama sehingga kandungan

kitinnya juga berbeda. Selain itu, pada tahap pencucian, kitin bisa ikut mengalir terbawa

oleh air sehingga mengurangi beratnya.

Untuk rendemen kitin kedua yang dihasilkan dari proses proteinasi, pada kelompok E1,

rendemen yang diperoleh adalah 28,57%, pada kelompok E2, rendemen yang diperoleh

adalah 27,78%, pada kelompok E3, rendemen yang diperoleh adalah 30,77%, pada

Page 13: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

13

kelompok E4, rendemen yang diperoleh adalah 18,18%, dan pada kelompok E5,

rendemen yang diperoleh adalah 25,00%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada

kelompok E2, E4, dan D5 mengalami penurunan rendemen sedangkan pada kelompok

E1 dan D3 mengalami peningkatan rendemen. Hal ini tidak sesuai dengan teori

Fennema (1985) yang menyatakan bahwa penghilangan protein dan mineral akan lebih

efektif menggunakan larutan basa (pada praktikum digunakan NaOH) dibandingkan

asam karena kelarutan protein dan mineral lebih tinggi pada kondisi basa dibandingkan

pada kondisi asam, selain itu larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis

yang lebih tinggi. Hasil yang tidak sesuai ini dapat disebabkan karena pH bahan

sebelum dikeringkan belum cukup netral, proses demineralisasi yang belum sempurna

sehingga proses deproteinasi tidak dapat berjalan optimal atau karena proses pemanasan

yang terlalu lama. Hal ini sesuai dengan teori yang disebutkan oleh Laila & Hendri

(2008), yang mengatakan bahwa proses ekstraksi kitin dipengaruh lama proses

pengolahan, suhu yang digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH. Semakin lama proses

pemanasan akan terjadi denaturasi protein sehingga protein terlarut berkurang. Jika

pemanasan dilakukan dalam waktu yang singkat maka kandungan protein yang terlarut

menjadi rendah karena protein tersebut belum larut seluruhnya. Selain itu, menurut

Hartati et al. (2002), pembuatan kitin dipengaruhi oleh jenis bahan baku dan proses

ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi).

Untuk hasil rendemen kitosan, diketahui bahwa pada kelompok E1, rendemen kitosan

yang diperoleh adalah 32,00%. Pada kelompok E2, rendemen kitosan yang diperoleh

adalah 17,23%. Pada kelompok E3, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 28,89%.

Pada kelompok E4, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 15,33% dan pada

kelompok E5 adalah 42,50%. Dengan demikian, diketahui bahwa rendemen terbesar

diperoleh pada kelompok E5 yang menggunakan NaOH 60% sedangkan rendemen

kitosan terkecil diperoleh kelompok E4 yang menggunakan NaOH 50%. Namun, pada

kelompok E1 yang menggunakan NaOH 40% hanya menghasilkan 17% rendemen

dimana seharusnya rendemen yang didapatkan kelompok E1 lebih besar dibandingkan

E3 dan E5 karena konsentrasi NaOH yang digunakan kelompok E1 lebih kecil

dibandingkan NaOH yang digunakan kelompok E3 dan E5. Hasil yang didapatkan tidak

sesuai dengan teori Supitjah (2004) yang mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi

NaOH maka jumlah rendemen yang terbentuk akan semakin sedikit karena protein

Page 14: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

14

terlepas dan tidak terikat pada kitin lagi. Hal ini dapat disebabkan karena jenis udang

yang digunakan berbeda sehingga kandungan kitin dan kitosannya juga berbeda, pada

pencucian juga dapat terjadi kitosan yang ikut mengalir terbawa air. Selain hal tersebut,

hasil yang tidak sesuai ini dapat disebabkan karena pH bahan sebelum dikeringkan

belum cukup netral. Hal ini sesuai dengan teori yang disebutkan oleh Laila & Hendri

(2008), yang mengatakan bahwa proses ekstraksi kitin dipengaruh lama proses

pengolahan, suhu yang digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH.

Aplikasi kitin dan kitosan di berbagai sektor dibedakan berdasarkan karakteristik

kualitas meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul. Kualitas

dari kitosan yang paling utama ditentukan oleh derajat deasetilasi, dimana derajat

deasetilasi tergantung pada material dan kondisi selama proses pengolahan seperti

konsentrasi larutan alkali, suhu, dan waktu (Suhardi, 1993 dalam Patria, 2013). Kitin

biasanya digunakan sebagai bahan pendukung enzim seperti enzim papain, laktase,

kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase dalam industri pangan dan kosmetik

(Peter, 1995). Sedangkan kitosan digunakan sebagai bahan pengawet karena kitosan

mengandung gugus amino yang memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan

negatif dari senyawa lain (Robert, 1992). Menurut Prabu dan Natarajan (2012), kitosan

memiliki aktivitas antimikrobia, antioksidan, antikoagula, antitumor dan

hepatoprotektif, antidiabetes, penyembuh luka, dan penyerapan ion logam berat dalam

suatu larutan. Menurut Cha dan Chinnan (2004), manfaat lain dari kitosan yang banyak

terdapat pada limbah udang yaitu kitosan adalah polimer kation yang mampu melisis

dinding sel mikroba. Selain itu, kitosan mengandung enzim lisosim dan gugus

aminopolisakarida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya

hambat kitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan kitosan. Kitosan

hasil deasetilasi kitin bersifat polikationik yang menyebabkan kitosan dapat berfungsi

sebagai agen penggumpal dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang

mengandung protein (Hartati et al., 2002). Kitosan dapat berikatan crosslink bila ada

crosslinked agent seperti misalnya glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+ pada

kitosan tersebut (Cahyaningrum et al., 2007). Alishahi et al. (2011) ; Augustini &

Sedjati, (2007) ; Fan et al. (2009) ; Mohan et al. (2012) dalam Abdou et al. (2012)

menambahkan bahwa kitosan dapat digunakan untuk edible coating, dimana

Page 15: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

15

penggunaan edible coating di produk industri perikanan difungsikan untuk

meningkatkan kualitas mikrobiologi dan memperpanjang umur simpan dari produk.

Page 16: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit udang.

Proses pembuatan kitin melalui tahap demineralisasi dan deproteinasi.

Kitosan adalah produk turunan kitin yang diperoleh dengan proses deasetilasi.

Proses demineralisasi menggunakan larutan HCl dan deproteinasi dilakukan

menggunakan NaOH.

Proses deasetilasi menggunakan larutan alkali 40-45% pada temperatur tinggi dan

waktu lama.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan pada tahap demineralisasi maka

semakin banyak mineral yang hilang dan rendemen yang diperoleh semakin rendah.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH, semakin tinggi derajat deasetilasi, maka

rendemen yang dihasilkan semakin rendah.

Rendemen kitin mengalami penurunan pada tahap deproteinasi karena protein

banyak yang hilang akibat proses hidrolisis larutan alkali seperti NaOH yang

memiliki daya hidrolisis yang tinggi.

Penghancuran kulit udang untuk memperluas permukaan bahan sehingga pelarut

yang digunakan dapat melakukan kontak dengan serbuk secara maksimal.

Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air pada kulit udang.

Kitosan larut dalam asam dan viskositasnya tergantung dari derajat diasetilasi.

HCl berfungsi melarutkan kandungan mineral pada kulit udang.

NaOH 3,5% berfungsi untuk menghilangkan protein yang masih melekat pada kitin.

Kitin dapat diubah menjadi kitosan dengan cara mengubah gugus pada kitin menjadi

gugus amina.

Proses ekstraksi kitin dipengaruhi oleh lama proses pengolahan, suhu yang

digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH.

Aplikasi kitin dan kitosan berdasarkan karakteristik kualitas meliputi derajat

deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul.

Kitin biasanya digunakan sebagai bahan pendukung enzim seperti enzim papain,

laktase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase dalam industri pangan

dan kosmetik.

16

Page 17: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

17

Kitosan memiliki aktivitas antimikrobia, antioksidan, antikoagula, antitumor dan

hepatoprotektif, penyembuh luka, dan penyerapan ion logam berat dalam suatu

larutan.

Semarang, 30 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Monica Budi Rahayu Tjan, Ivana Chandra13.70.0130

Page 18: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdou, E. S., Osheba, A.S. Sorour, M. A. (2012). Effect of Chitosan and Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of Fish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology Vol. 2 No. 7.

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.

Alamsyah, Rizal. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses tanggal 5 November 2012.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98. Diakses tanggal 7 Oktober 2013.

Cha D.S. and M.S. Chinnan. 2004. BiopolymerBased Antimikrobial Packaging: A Review. Critical Rev. Food Sci.Nutr. 44:223-237

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pusat Data Statistik dan Informasi. http://www.dkp.go.id. Diakses tanggal 7 Oktober 2013.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Islama, Md. M., Masumb, S. Md., Rahmana, M., Mollab, Md. A. I., Shaikhc, A. A., Roya, S. K. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.

18

Page 19: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

19

Linawati, H. 2006. ”Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin”. Departemen Teknologi Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIK-IPB). http://www.kompas.com/kesehatan/news/0601/07/085109.htm. Diakses tanggal 7 oktober 2013.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.Diakses tanggal 7 Oktober 2013.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Patria, A. Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste. (2013). Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation International Journal of the Bioflux Society, Volume 6, Issue 4.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.

Prabu, K. and Natarajan, E. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 4, Suppl 4, 2012. India.

Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Puvvada, Y. S., Vankayalapati, S., Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chitin from Chitosan from Exoskeleton of Shrimp for Application in the Pharmaceutical Industry. International Current Pharmaceutical Journal 1(9): 258-263.

Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap

Page 20: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

20

Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Tarafdar, A., Biswas, G. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. International Journal on Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering (IJTARME) Volume-2, Issue-3.

Tarafdar, Abhrajyoti & Gargi Biswas. 2013. Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. www.irdindia.in/Journal_IJTARME/PDF/Vol2_Iss3/4.pdf. Diakses tanggal 7 Oktober 2013.

Wang, S.L, Lin, T.Y, Yen, Y.H, Liao, H.F, & J, Yu. (2006). Bioconversion of Shellfish Chitin Waste for the Production of Bacillus subtilis W-118 Chitinase. Carbhydr.res Vol 341:2501-2515.

Wang, Zhengke; Qiaoling H.; and Lei, C. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010. China.

Page 21: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Kelompok E1 Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 519

×100 %=26,32 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 27

×100 %=28,57 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 1,765,5

×100 %=32 %

Kelompok E2 Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 5,514,5

×100 %=37,93 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 2,59

×100 %=27,78 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 1,126,5

×100 %=17,23 %

Kelompok E3 Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 417

×100 %=23,53 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 26,5

×100 %=30,77 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿1,34,5

× 100%=28,89%

Kelompok E4 Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 3,510

×100 %=35 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 211

×100 %=18,18 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 0,231,5

×100 %=15,33 %

Kelompok E5 Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 3,512

×100 %=29,17 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 28

×100 %=25 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

×100 %

¿ 0,852

×100 %=42,5 %

6.2. Laporan Sementara

21

Page 22: Chitin & Chitosan_Monica Budi Rahayu_13.70.0130_E2_Unika Soegijapranata

22

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal