Chitin Chitosan_Theresia Gilang A_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

download Chitin Chitosan_Theresia Gilang A_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

of 18

description

praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan chitin dan chitosan dari limbah kulit udang dengan perlakuan penambahan asam dan basa. praktikum ini dilakukan di laboratorium rekayasa pangan Unika Soegijapranata Semarang

Transcript of Chitin Chitosan_Theresia Gilang A_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh :Nama : Theresia Gilang A.NIM : 13.70.0123Kelompok C5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015Acara II1.

2. MATERI METODE

2.1. Alat dan Bahan2.1.1. AlatAlat yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas. 2.1.2. BahanBahan yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; 1,25 N, NaOH 40%, 50%, 60%.

2.2. Metode DemineralisasiLimbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan pengadukan.

1Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

DeproteinasiHasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

2

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

DeasetilasiChitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2, NaOH 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan NaOH 60% untuk kelompok C5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

33. 4. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan dari praktikum kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin & KitosanKelompokPerlakuanRendemen Kitin I (%)Rendemen Kitin II (%)Rendemen Kitosan (%)

C1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%23,4530,0027,43

C2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%37,8244,0027,38

C3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%41,6754,5532,16

C4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%40,0058,3024,30

C5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%21,1940,3211,25

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari perlakuan yang berbeda nilai rendemen kitosan yang paling tinggi sebesar 32,16% (kelompok C3) dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% dan yang paling kecil nilai rendemen kitosannya adalah kelompon C5 dengan perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% sebesar 11,25%. Hasil pengamatan kelompok C1, C2 dan C4 memiliki rata-rata rendemen kitosan sebesar 26,37%.

5. 46. PEMBAHASAN

Kitin dan kitosan merupakan hasil dari salah satu upaya pemanfaatan limbah padat dalam industri. Peter (1995) mengatakan bahwa kitin dapat diperoleh dari komponen struktural eksoskeleton crustacean. Sumber kitin dan kitosan lainnya seperti yang dikatakan Khorrami et al. (2012) dalam jurnalnya didapat dari serangga, dan ekstraksi sel ragi dan jamur dimana keberadaan kitin mencapai 30%-60%. Menurut Khorrami et al. (2012) dalam jurnalnya dikatakan kitin merupakan senyawa homo biopolimer yang terdiri dari 1,4-N-asetilglukosamin. Kitosan merupakan suatu senyawa dengan rumus kimia poli (2-amino-2dioksi- -D-Glukosa. Menurut Puvvada et al. (2012) dalam jurnalnya kitosan dapat ditemukan dari limbah udang dan kepiting yang merupakan hasil dari deasetilasi kitin. Proses deasetilasi kitin menurut Hussain et al. (2013) dalam jurnalnya dapat dilakukan dengan adanya penambahan basa kuat.

Dalam praktikum ini dilakukan beberapa tahapan yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu demineralisasi, deproteinasi, deasetilasi. Langkah yang diterapkan pada praktikum ini sudah sesuai dengan pernyataan Rokhati (2006) dan Arbia et al. (2013) bahwa ekstraksi chitin dapat dilakukan melalui proses demineralisasi dan deproteinasi kemudian kitosan bisa didapatkan dari proses deasetilasi. Tujuan dari proses demineralisasi adalah untuk penghilangan kandungan mineral seperti kalsium karbonat yang terdapat didalam kulit dan cangkang udang atau kepiting (Alamsyah, 2007). Hal pertama yang dilakukan dalam proses demineralisasi adalah limbah udang dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir kemudian dikeringkan kemudian dicuci kembali dengan menggunakan air panas sebanyak 2 kali ulangan setelah itu dikeringkan. Tujuan dari pencucian adalah untuk menghilangkan sejumlah pengotor yang menempel dari limbah udang, maka dari itu lebih baik menggunakan air yang mengalir dan air panas. Proses pengeringan yang dilakukan bertujuan untuk menguapkan sisa air pencucian (Rogers, 1986). Setelah limbah udang kering maka limbah tersebut dihancurkan hingga menjadi serbuk kemudian disaring dengan ayakan 40-60 mesh. Setelah menjadi serbuk halus maka ditambah dengan HCl (perbandingan 10:1). Setiap kelompok mendapatkan perlakuan yang berbeda, pada kelompok C1 dan C2 ditambahkan HCl konsenttrasi 0,75N, kelompok C3 dan C4 konsentrasi 1N, kelompok C5 dengan konsentrasi 1,25N. Pada 5proses ini, penghancuran limbah padat udang menjadi bubuk adalah untuk memperbesar luas permukaan sehingga pada saat terjadi kontak dengan senyawa pelarut akan berjalan dengan sempurna (Lay,1994). Larutan HCl menurut Bastaman (1989) dapat mengurangi kandungan mineral yang terdapat didalam limbah udang tersebut.

Setelah penambahan HCl dilakukan maka selanjutnya diaduk sekitar 1 jam dan dipanaskan hingga suhu mencapai 90oC. Laila & Hendri (2008) mengatakan bahwa pengadukan dilakukan untuk membuat larutan menjadi homogen serta mencegah terjadinya peluapan gelembung gas CO2 yang dihasilan dari proses pemisahan mineral tersebut. Pemanasan hingga mencapai 90oC dilakukan untuk mempercepat proses pemisahan mineral dari limbah udang (Puspawati & Simpen, 2010). Setelah 1 jam berlangsung, larutan tersebut dicuci sampai pH menjadi netral dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 80oC selama 24 jam. Pencucian larutan ini bertujuan untuk menghilangkan asam pada larutan sehingga pH mencapai 7 (netral) serta proses pengeringan yang dilakukan bertujuan untuk mengupakan sisa air pencucian dan air dari produk (Rogers, 1986).

6Tahap kedua setelah demineralisasi selesai dilakukan adalah deproteinasi. Deproteinasi merupakan sebuah proses penghilangan protein dari bahan utama menggunakan larutan kimia yang bersifat basa (Lehniger, 1975). Hasil dari tahap demineralisasi kemudian dicampur dengan NaOH 3,5%, perbandingannya 6:1 kemudian diaduk selama 1 jam dan dipanaskan dengan suhu 70oC selama 1 jam. Penambahan NaOH ini bertujuan untuk melarutkan kandungan protein yang terdapat dalam bahan (Reece dan Mitchell, 2003). Menurut Rogers (1986) pengadukan dan pemanasan dilakukan untuk membuat larutan menjadi homogen serta mencegah terjadinya kegosongan saat pemanasan. Ramadhan et al. (2010) juga menambahkan bahwa proses tersebut dapat mengoptimalkan NaOH dalam memisahkan protein. Setelah dipanaskan selama 1 jam maka larutan tersebut disaring dan dikeringkan kemudian residu dicuci hingga pH menjadi netral kemudian dikeringkan kembali dengan suhu 80oC selama 24 jam. Tujuan dari pendinginan larutan adalah supaya bubuk kitin yang dihasilkan mengendap sehingga tidak terbuang ketika dilakukan pencucian berulang. Pencucian dilakukan hingga pH menjadi netral dilakukan

supaya kitin yang terbentuk tidak bersifat basa dan mencegah terjadinya degradasi kitin selama pengeringan (Rogers, 1986). Tahap selanjutnya setelah deproteinasi adalah tahap deasetilasi yang merupakan proses pembentukan kitosan dan kitin (Muzzarelli, 1997). Pada tahap ini pertama-tama kitin ditambah dengan larutan NaOH 40%, 50%, dan 60% dengan perbandingan 20:1 kemudian diaduk selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Setelah didiamkan kemudian larutan dipanaskan hingga mencapai 90oC selama 60 menit. Ramadhan et al. (2010) mengatakan bahwa larutan alkali dengan konsentrasi tinggi dapat menghidrolisis kitin secara sempurna melalui proses deasetilasi gugus asetamida menjadi gugus amina. Pengadukan yang dilakukan untuk meratakan pemanasan, Reece et al. (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu akan semakin tinggi pula derajat deasetilasi kitosan serta pH akan menjadi basa. Setelah pemanasan larutan tersebut disaring dan dicuci sampai pH menjadi netral kemudian dioven dengan suhu 70oC selama 24 jam, maka akan dihasilkan kitosan dari proses tersebut. Tujuan dari pencucian larutan sampai pH menjadi basa adalah untuk menetralkan kitin sehingga tidak bersifat basa (Rogers, 1986). Suhu yang digunakan dalam praktikum ini sudah sesuai dengan teori Saules et al. (2006) bahwa suhu pemanasan yang tepat berkisar 60oC 70oC.

7Berdasarkan hasi pengamatan, pada rendemen kitin I nilai tertinggi yang dihasilkan sebesar 41,67 % oleh kelompok C3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% kemudian diikuti kelompok C4, C2, C1, dan C5 dengan nilai masing-masing secara urut 40,00%; 37,82%; 23,45% dan 21,19%. Pada perhitungan rendemen kitin II nilai tertinggi diperoleh oleh kelompok C4 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% sebesar 58,30% diikuti kelompok C3, C2, C5, dan C1 dengan nilai secara urut sebesar 54,55%; 44,00%; 40,32%; 30,00%. Kemudian pada rendemen kitosan nilai tertinggi sebesar 32,16% oleh kelompok C3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% kemudian diikuti oleh kelompok C1, C2, C4 dan C5 dengan nilai masing-masing secara urut sebesar 27,43%; 27,38%; 24,30% dan 11,25%. Laila & Hendri (2008) mengatakan bahwa semakin banyak larutan HCl yang ditambahkan maka akan semakin kecil rendemen kitin yang dihasilkan dikarenakan kandungan mineral yang semakin mudah dilepaskan. Hasil pengamatan rendemen kitin I telah sesuai dengan pustaka tersebut yaitu pada kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% dihasilkan rendemen kitin yang paling rendah sebesar 21,19%.

Pada rendemen kitin II dikatakan akan mengalami penurunan nilai dibandingkan dengan rendemen kitin I (Angka & Suhartono,2000). Hasil pengamatan yang ada belum sesuai dengan teori tersebut, nilai rendemen I seharusnya lebih tinggi dibandingkan rendemen kitin II namun yang terjadi adalah kebalikannya, rendemen kitin I lebih kecil nilainya dibandingkan dengan rendemen kitin II. Menurut Fennema (1985), konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka nilai rendemen kitin akan semakin rendah. Hasil pengamatan ini belum sesuai dengan pustaka yang ada karena penambahan NaOH dengan konsentrasi yang paling tinggi adalah kelompok C5 namun hasil rendemen kitin yang paling kecil adalah kelompok C1 sebesar 30,00%. Ketidaksesuaian hasil praktikum dengan teori ini mungkin dapat disebabkan oleh cara pengadukan larutan yang dilakukan dengan manual sehingga memungkinkan terjadinya pengadukan yang tidak konsisten atau tidak konstan dan dapat terjadi pula ketidaksempurnaan dalam proses pengeringan sehingga didalam kitin masih terdapat air yang belum teruapkan sehingga masa air tersebut ikut terhitung pada saat penimbangan massa kitin (Kaunas, 1984). Younes & Marguerite (2015) dalam jurnalnya juga menambahkan bahwa lebih baik tahap yang dilakukan pertama adalah deproteinasi baru dilanjutkan dengan demineralisasi karena akan terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral. Krishnaveni et al. (2015) mengatakan bahwa ada metode yang lebih sederhana untuk mengetahui keberadaan kitin dalam suatu bahan yaitu dengan menggunakan infrared spectroscopy, namun tetap dibutuhkan beberapa perlakuan penunjang. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik kitin dan kitosan.

8Pada nilai rendemen kitosan tertinggi diperoleh oleh kelompok C3 sebesar 32,16%. Menurut Ramadhan et al. (2010), larutan alkali dengan konsentrasi tinggi yang ditambahkan akan menghidrolisis kitin dengan sempurna. Maka dapat disimpulkan bahwa penambahan larutan NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menghasilkan nilai kitosan yang tinggi pula. Pada hasil pengamatan seharusnya yang mendapat nilai rendemen kitosan terbesar adalah kelompok C5 karena menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi sebanyak 60% (paling tinggi). Namun terjadi ketidaksesuaian hasil praktikum dengan teori yang ada. Hal ini dapat terjadi karena pengadukan dilakukan secara manual sehingga tidak konstan kemudian pengadukan yang terlalu lama akan meningkatkan suhu serta derajat deasetilasi (Puspawati & Simpen, 2010).

Menurut Rumengan et al. (2014) dalam jurnalnya ada beberapa jenis kitin yang dapat ditemukan yaitu dalam bentuk , , . Perbedaan diantara ketiga jenis tersebut terdapat pada susunan rantai disekitar kristalin. Perbedaan kristalin ini dapat diukur dari nilai indeks kristalin yang bisa juga digunakan untuk memberi informasi mengenai keadaan kristal dan membedakan -kitin dan -kitin. Indeks kristalin ini dapat dihitung dengan X-ray diffractograms.

Banyak manfaat yang bisa didapatkan dari teknologi perkembangan kitin dan kitosan serta turunannya antara lain yang disebutkan oleh Hossain & Iqbal (2014) yaitu dibidang pangan, farmasi, kesehatan, pertanian dan industri kertas dan tekstil serta pemulihan limbah industri dan berperan dalam proses de-acidification dari jus buah. Kitin dan kitosan juga dapat dimanfaatkan dalam proses enkapsulasi bahan makanan aktif serta sebagai media yang mengontrol pembuatan obat-obatan. Hal ini bisa terjadi karena sifat biologi dan sifat kimia dari kitosan yaitu biodegradabilitas (dapat diuraikan dengan proses biologis oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase atau proses kimia), bioaktivitas, dan biokompatibilitas (Zhao et al., 2011). Menurut Knorr (1984) kitosan memiliki beberapa sifat seperti anti bakteri, pengkelat. Penggunaan kitin dan kitosan dalam bidang pertanian adalah untuk menyuburkan tanah dan berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah, mempercepat pertumbuhan tanaman serta mengaktifkan organisme yang berperan dalam penyuburan tanah (Radwan et al., 2012). Hal ini sangat baik diaplikasikan karena selain murah juga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia dalam lingkup pertanian. Dalam dunia pangan, aplikasi kitin dan kitosan ini dapat mengurangi kadar zat besi, logam berat sepeti Pb dan Cd serta mikotiksin dan dapat meningkatkan keamanan dan kualitas dari produk wine (Bornet et al., 2008).

97. 8. KESIMPULAN

Kitin dan kitosan dapat ditemukan dalam kulit udang dan cangkang kepiting serta ekstraksi jamur Proses demineralisasi bertujuan untuk penghilangan kandungan mineral seperti kalsium karbonat Proses deproteinasi bertujuan untuk melepaskan protein menggunakan larutan basa (NaOH) Proses deasetilasi dilakukan untuk menunjukan kualitas kitosan yang dihasilkan Tujuan dari pencucian menggunakan air mengalir dan penghancuran adalah untuk menghilangkan pengotor dan memperbesar luas permukaan sehingga kontak dengan senyawa menjadi lebih cepat dan sempurna Tujuan dari pengadukan adalah untuk menghindari terjadinya peluapan gelembung dan untuk membuat larutan menjadi homogen Pemanasan dilakukan supaya proses pemisahan mineral dan protein dapat dipercepat Larutan HCl berfungsi mengurangi kandungan mineral dalam limbah udang Larutan NaOH berfungsi untuk melancarkan proses deasetilasi polimer kitin Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH maka rendemen kitin yang dihasilkan semakin kecil Konsentrasi HCl dan NaOH yang tinggi menyebabkan protein dan mineral dalam limbah banyak terlarut (berkurang) Penggunaan suhu tinggi akan menyebabkan derajat deasetilasi dan pH kitosan meningkat

Semarang, 21 Oktober 2015Praktikan, Asisten Dosen,

Theresia Gilang AstutiTjan, Ivana Chandra13.70.0123

9. 1010. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, R. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Arbia, W., L. Arbia, L. Adour, A. Amrane. (2013). Chitin Extraction from Crustacean Shells Using Biological Methods. Food Technol. Biotechnol. 51 (1) 1225.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queens University.Belfast. 143 p.

Bornet, A., and P. L. Teissedre. 2008. Chitosan, Chitin-Glucan and Chitin Evects on Minerals Iron, Lead, Cadmium and Organic Ochratoxin A Contaminants in Wines. Journal of Europe Food Res Technology 226:681689.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hossain, M.S., A. Iqbal. (2014). Production and characterization of chitosan from shrimp waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(1): 153160

Hussain, M. R. M. Iman and T. K. Maji. (2013). Determination of Degree of Deacetylation of Chitosan and Their effect on the Release Behavior of Essential Oil from Chitosan and Chitosan-Gelatin Complex Microcapsules. International Journal of Advanced Engineering Applications, Vol.6, Iss.4, pp.4-12.

Kaunas. 1984. Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.

Khorrami, M., G.D. Najafpour et al. (2012). Production of Chitin andChitosan from Shrimp Shell in BatchCulture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217223

Knorr, D. 1984. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 1 : 85.

11Krisnaveni, B., R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application. J. Pharm. Sci. & Res. Vol. 7(4), 197-205

Laila, A & Hendri, J. 2008. Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lehninger, A.L. 1975. Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Muzzarelli, R. A. A. & M. G. Peter. 1997. Chitin Handbook. Eds., Atec, Grottammare, Italy. ISBN 88-86889-01-1.

Peter, Martin G. 1995. Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 90.

Puvvada, Y. S., S. Vankayalapati, S. Sukhavasi. (2012). Extraction of Chitin From Chitosan From Exoskeleton of Shrimp For Application in The Pharmaceutical Industry. International Current Pharmaceutical Journal, 1(9): 258-263.

Radwan, M. A., S.A.A. Farrag, M.M.A. Elamayem, N.S. Ahmed. 2012. Extraction, Characterization, and Nematicidal Activity of Chitin and Chitosan Derived from Shrimp Shell Wastes. Journal of Biology Fertilization Soils 48:463468.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Chitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Chitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.

Reece, C., dan Mitchell. 2003.Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Rogers, E.P. 1986. Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

12

Rokhati, N. (2006). Pengaruh Derajat Deasetilasi Khitosan Dari Kulit Udang Terhadap Aplikasinya Sebagai Pengawet Makanan. Jurnal Reaktor, Vol. 10 No. 2, Hal. : 54-58.

Rumengan, I.F.M., E. Suryanto et al., (2014). Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis. International Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 3(1): 12-18

Sauls, J. E. M., K. N. Waliszewski, M. A. Garcia and R. C. Camarillo. (2006). The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF. Food Technol. Biotechnol. 44 (1) 95100.

Younes, Islem, Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications. Mar. Drugs. (13), 1133-1174

Zhao, L. M. L. E. Shi, Z. L. Zhang, J. M. Chen, D. D. Shi, J. Yang and Z. X. Tang. (2011). Preparation and Application of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers. Brazilian Journal of Chemical Engineering Vol. 28, No. 03, pp. 353 362.

1311. 12. LAMPIRAN

12.1. Perhitungan

14Rumus :Rendemen Chitin I= Rendemen Chitin II= Rendemen Chitosan =

Kelompok C1Rendemen Chitin I= = 23,45 %Rendemen Chitin II= = 30,00 %Rendemen Chitosan = = 27,43 %

Kelompok C2Rendemen Chitin I= = 37,82 %Rendemen Chitin II= = 44 %Rendemen Chitosan = = 27,38 %

Kelompok C3Rendemen Chitin I= = 41,67 %Rendemen Chitin II= = 54,55 %Rendemen Chitosan = = 32,16 %Kelompok C4Rendemen Chitin I= =40,00 %Rendemen Chitin II= = 58,3 %Rendemen Chitosan = = 24,30 %

Kelompok C5Rendemen Chitin I= = 21,19 %Rendemen Chitin II= = 40,32 %Rendemen Chitosan = = 11,25 %

12.2. Laporan Sementara12.3. Diagram Alir12.4. Abstrak Jurnal