Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

36
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Yohana Maria Puspa Ratih NIM: 13.70.0030 Kelompok E2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

description

Limbah sisa pengolahan hasil laut, misalnya limbah udang dapat dimanfaatkan kembali untuk diekstrak zat kitin dan kitosan dari sisa-sisa kulit. Kitin dan kitosan bermanfaat dalam bidang pangan dan kesehatan.

Transcript of Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Nama: Yohana Maria Puspa Ratih

NIM: 13.70.0030Kelompok E2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, pengayak, peralatan

gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang diperlukan antara lain, limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N,

NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan

ditimbang

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan

10:1

Page 3: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

1.2.2. Deproteinasi

Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Dipanaskan pada suhu 800C selama 1 jam sambil diaduk

Larutan dituang ke kain saring dan dicuci dengan air mengalir hingga pH netral.

Dikeringkan pada suhu 800C selama 24 jam sambil diaduk.

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan

perbandingan 6:1

Page 4: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.3. Deasetilasi

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC

selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Page 5: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Page 6: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan paktikum Chitin & Chitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Rendemen Chitin dan Chitosan

Kel. PerlakuanRendemenKitin I (%)

RendemenKitin II (%)

RendemenKitosan (%)

E1HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH

40%26,32 28,57 32

E2HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH

40%37,93 27,78 17,23

E3HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH

50%23,53 30,77 28,89

E4HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH

50%35 18,18 15,33

E5HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH

60%29,17 25 42,5

Dari tabel diatas dapat diketahui, perlakuan kelompok E1 dan E2 serupa, yaitu penambahan

HCl 0,75 N, NaOH 3,5% dan NaOH 40%. Hasil rendemen kitin I kelompok E2 adalah

37,93%, lebih besar dibandingkan hasil rendemen E1, yaitu 26,32%. Hasil rendemen kitin

II kelompok E1 adalah 28,57%, lebih besar dibandingkan E2, 27,78%. Sementara hasil

rendemen kitosan E1 32%, hasil rendemen kitosan E2 lebih rendah, 17,23%. Perlakuan

untuk kelompok E3 dan E4 adalah penambahan HCl 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 50%.

Hasil rendemen kitin I kelompok E3 adalah 23,53%, lebih rendah dibandingkan rendemen

kelompok E4, yang sebesar 35%. Rendemen kitin II kelompok E3 mencapai 30,77%, lebih

tinggi dibandingkan rendemen kelompok E4 yang memiliki nilai 18,18%. Kelompok E3

juga memiliki jumlah rendemen kitosan yang lebih tinggi dibanding E4. Rendemen kitosan

E3 sebesar 28,89%, sementara rendemen kitosan E4 15,33%. Rendemen kitin I kelompok

E5 sebesar 29,17%, rendemen kitin II adalah 25% dan rendemen kitosan mencapai 42,5%.

5

Page 7: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Kitin adalah bahan pembentuk kerangka luar hewan-hewan invertebrata jika berikatan

dengan protein dan kalsium. Kitin banyak mengandung nitrogen, dan memiliki rumus

kimia poli 2-asetamida-2-dioksi-β-D-glukosa, dihubungkan dengan ikatan β-glikosidik

(1,4) (Muzzrelli, 1985). Kitin dapat diperoleh dari limbah kulit hewan laut sisa produksi,

misalnya udang. Setelah pemrosesan yang sebagian besar melibatkan bagian daging, kulit

dan kepala udahng umumnya dibuang dan menjadi limbah organik (Tarafdar & Biswas,

2013). Jumlah kitin sangat melimpah di alam. Sumber kitin adalah cangkang kepiting,

udang, lobster, tulang rawan cumi-cumi, serangga dan jamur. Jumlah kitin, protein dan

mineral penyusun cangkang hewan (crustacea) bergantung pada spesies, musim, usia, jenis

kelamin hewan dan kondisi lingkungan tempat hidup hewan. Kitin banyak digunakan untuk

bahan dasar bidang pertanian, obat-obatan, kosmetik, mikrobiologi, tekstil dan biokimia

(Moeljanto, 1992). Sifat-sifat kitin, antara lain mudah mengalami degradasi secara biologis,

tidak beracun (Ornum, 1992), tidak larut pada pH netral seperti air dan asam anorganik

encer dan asam-asam organik, larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida

(Ornum, 1992), mempunyai panas spesifik 0,373 kal/g/°C, berwarna putih, serta dapat

terurai melalui proses biologis (biodegradable) oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan

kitinase (Peter, 1995).

Kitosan adalah hasil deasetilasi dari kitin, dan merupakan polisakarida yang terdiri dari (1-

4)-2-amino-2-deoksi-b-D-glukopiranosa. Kitosan dapat larut dalam larutan asam dan netral,

namun dipengaruhi oleh pH dan derajat nilai deasetilasi (Puvvada et al., 2012). Kitosan

merupakan bahan pangan fungsional yang mengandung banyak nutrisi. Kitosan bermanfaat

sebagai senyawa antimikroba dan dapat digunakan sebagai bahan pembentuk lapisan film,

pembentuk tekstur, senyawa pengikat dan sebagai antioksidan (Abdou et al., 2012).

Kitosan mempunyai sifat tidak beracun, tidak larut air (dapat larut air dengan substitusi,

(Dunn et al., 1997), dapat didegradasi (Kofuji et al., 2005 dan Mekawati dkk, 2000),

bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat, antibakteri dan mempunyai afinitas yang

besar terhadap enzim (Cahyaningrum et al., 2007). Kitosan tersusun atas biopolimer hasil

6

Page 8: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

deasetilasi kitin. Tersusun dari unit N-asetil dan N-glukosamin (Patria, 2013). Setelah

deasetilasi, gugus asetil hilang, dan tersisa gugus amina bebas, maka gugus amina bebas

tersebut menjadikan kitosan bersifat polikationik sehingga kitosan dapat berfungsi sebagai

agen penggumpal dalam penangan limbah, terutama limbah berprotein (Subianto, 2001

dalam Hartati et al., 2002).

Pada praktikum kali ini digunakan bahan utama berupa limbah udang. Untuk mengekstrak

kitin dari limbah udang, dilakukan tahapan-tahapan seperti demineralisasi, deproteinasi dan

deasetilasi. Dalam tahap demineralisasi, limbah udang dicuci lebih dahulu menggunakan air

mengalir dan selanjutnya dikeringkan. Limbah udang dicuci untuk menghilangkan kotoran-

kotoran, sementara pengeringan bertujuan untuk mengurangi sisa-sisa kadar air pada

limbah setelah mengalami pencucian. Limbah selanjutnya diayak dengan ayakan berukuran

40-60 mesh, agar tercipta serbuk dengan ukuran partikel yang kecil, sehingga luas

permukaan limbah udang semakin besar sehingga mempermudah perlakuan selanjutnya

karena dapat terjadi kontak yang maksimal antara limbah dengan larutan yang digunakan

dalam pengujian selanjutnya (No & Meyers, 1997).

Serbuk kemudian ditimbang, dan dicampur dengan larutan HCl dengan perbandingan 10:1

dari berat serbuk. Konsentrasi larutan HCl yang digunakan adalah 0,75 N untuk kelompok

E1 dan E2, 1 N untuk kelompok E3 dan E4, serta 1,25 N untuk kelompok E5. Larutan HCl

ini digunakan untuk menghilangkan mineral yang masih terkandung pada serbuk limbah.

Kandungan mineral yang terdapat dalam serbuk adalah kalsium karbonat, dan dapat

dihilangkan dengan larutan HCl cair pada suhu kamar (Suhardi, 1992). Larutan yang

terbentuk kemudian dipanaskan menggunakan hot plate selama 1 jam dengan suhu sekitar

800C. Larutan diaduk sambil dipanaskan. Proses pemanasan diterapkan untuk mempercepat

reaksi penguraian mineral (Puspawati & Simpen, 2010), sementara pengadukan bertujuan

untuk mencampur rata HCl dengan serbuk (Fachruddin, 1997). Setelah dipanaskan,

campuran kemudian dituang ke atas kain saring dan dicuci dengan air mengalir hingga pH

netral. Setelahnya pH endapan yang tersisa setelah pencucian diukur menggunakan kertas

lakmus. Endapan kemudian ditimbang dan dipindahkan ke cawan logam untuk dikeringkan

Page 9: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

selama 24 jam dengan suhu 800C menggunakan oven. Dalam tahapan akhir preoses

demineralisasi, pengeringan dilakukan untuk menguapkan air dalam campuran sehingga

terbentuk kembali bubuk kering, dan rendemen yang didapat dihiting presentasenya.

Pencucian hinggan pH netral ditujukan untuk mencegah mineral yang masih terkandung

dalam serbuk hilang dan mencegah kitin menguap selama pengeringan menggunakan oven

(Bartnicki-Garcia, 1989).

Selanjutnya adalah tahap deproteinasi. Deproteinasi merupakan proses penghilangan atau

pelarutan protein hingga semaksimal mungkin dari substrat dengan menggunakan larutan

kimia bersifat basa, seperti alkali encer, disertai pemanasan yang cukup (Lehninger, 1975).

Hasil proses demineralisasi berupa serbuk serupa dengan tepung, ditimbang dan

selanjutnya dicampur NaOH 3,5% dengan perbandingan 6 : 1 untuk setiap kelompok.

NaOH 3,5% ditujukan untuk mengubah konformasi kristalin kitin yang rapat, sehingga

enzim mudah untuk mempenetrasi dan mendeasetilasi polimer kitim (Martinou et al, 1995).

Kemudian campuran diaduk dan dipanaskan selama 1 jam diatas hot plate dengan suhu

700C selama 1 jam. Pemanasan dilakukan umtuk mendenaturasi protein sehingga protein

lebih mudah dipisahkan (Ramadhan et al, 2010). Pemanasan dilakukan disertai dengan

pengadukan untuk meratakan pemanasan dan menghindari terjadinya peluapan gelembung-

gelembung udara (gas CO2) yang dihasilkan oleh pemisahan mineral (Laila & Hendri,

2008).

Setelah dipanaskan, didinginkan terlebih dahulu sebelum dicuci dengan air hingga pH

netral. Pendinginan ini perlu dilakukan supaya antara padatan dan cairan dapat terpisah

sempurna serta untuk mempermudah praktikan dalam pencucian. Pencucian akan

mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali, sehingga menyebabkan efektivitas

proses hidrolisis basa dengan gugus asetamida pada rantai kitin. Pencucian hingga pH

netral ini berfungsi untuk menghilangkan protein yang masih terkandung dalam kitin serta

mencegah agar kitin tidak ikut menguap pada proses pengeringan dalam oven (Bartnicki-

Garcia, 1989). Endapan dikeringkan kembali dalam oven menggunakan suhu 800C selama

24 jam. Tujuan pengeringan adalah menguapkan sisa-sisa cairan dalam endapan (Roger,

Page 10: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

1986), sehingga diperoleh kitin. Berat kering dari kitin ditimbang dan dicatat untuk dicari

persentase rendemennya.

Tahap terakhir adalah deasetilasi. Hasil deasetilasi kitin adalah ktiosan. Deasetilasi adalah

proses penghilangan gugus asetil dari kitin yang kemudian digantikan dengan gugus amino,

sehingga terbentuk kitosan. Perlakuan menggunakan NaOH (Muzzarelli & Peter 1997).

Kitin dari hasil proses tahap deproteinasi selanjutya ditambah dengan NaOH dengan

perbandingan 20 : 1. Kelompok E1 dan E2 menggunakan NaOH dengan konsentrasi 40%,

kelompok E3 dan E4 menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50%, sementara kosentrasi

NaOH kkelompok E3 dan E4 adalah 60%. NaOH digunakan untuk mempercepat deasetilasi

sehingga lebih sempurna karena luas permukaan besar dan memungkinkan seluruh partikel

tepung mengalami kontak maksimal dengan larutan alkali (No & Meyer, 1997).

Penggunaan konsentrasi NaOH yang lebih besar daripada 40% berperan untuk memutus

ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin yang memiliki struktur kristal

tebal dan panjang. Oleh karena itu semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan

maka proses deasetilasi dapat berjalan sempurna karena gugus fungsional amino (-NH3+)

mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan (Angka dan Suhartono, 2000).

Setelahnya kembali dilakukan pemanasan dengan suhu 800C menggunakan hot plate

selama 1 jam sambil diaduk. Pengadukan berperan untuk meratakan pemanasan dari derajat

deasetilasi kitosan. Semakin meningkatnya suhu dan derajat deasetilasi kitosan, maka pH

larutan semakin basa (Reece et al, 2003). Untuk menetralkan pH, endapan dicuci

menggunakan air mengalir dengan ditempatkan pada kain saring lebih dahulu. Endapan

kemudian dikeringkan kembali dalam oven untuk menghilangkan sisa-sisa air (Roger,

1986) menggunakan suhu 700C 24 jam, dan diperoleh kitosan. Berat kitosan ditimbang dan

dicatat untuk dicari persentase rendemennya.

Hasil dari praktikum yang dilakukan adalah, didapati secara berurutan, presentase

rendemen I tertinggi adalah 37,93%, hasil dari kelompok E2. Berikutnya mencapai 35,00%,

hasil dari kelompok E4, 29,17% dari kelompok E5, kemudian kelompok E1 dengan hasil

Page 11: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

26,32%, hasil terkecil adalah 23,53%, hasil dari kelompok E3. Laila dan Hendri (2008)

menyatakan, semakin tinggi konsentrasi HCl yang diberikan, maka hasil rendemen kitin

akan semakin besar karena senyawa mineral daam serbuk udang semakin mudah

dilepaskan. Dari hasil percobaan, diketahui rendemen tertinggi dihasilkan dari penambahan

HCl 0,75 N, sementara penambahan HCl sebesar 1,25 N justru menghasilkan nilai

rendemen ketiga tertinggi, sehingga hasil tidak sesuai dengan teori. Penyebab

ketidaksesuaian ini adalah kemungkinan didapati kitin ikut terbuang saat dilakukan proses

pencucian, sehingga hasil perhitungan dan perolehan nilai presentase rendemen tidak

akurat.

Hasil penghitungan rendemen II atau kitin, secara berurutan dari hasil tertinggi adalah,

30,77% (E3), 28,57% (E1), 27,47% (E2), 25,00% (E5) dan 18,18% (E4). Kembali ditemui

ketidaksesuaian antara hasil dengan teori. Berat rendemen tertinggi dihasilkan dari

penambahan HCl 1 N oleh kelompok E3, sementara penambahan HCl 1,25 N oleh

kelompok E5 hanya menghasilkan berat rendemen keempat tertinggi. Puspawati dan

Simpen (2010) menyebutkan, isolasi kitin dari limbah udang menghasilkan rendemen

diatas 20%. Dari hasil percobaan terdapat presentase rendemen sebesar 18,18%, atau

dibawah 20%. Hal ini dapat dikarenakan pengaruh nilai rendemen I dari proses

demineralisasi yang disebabkan adanya kitin yang ikut terbuang selama proses pencucian

menggunakan air mengalir. Selain itu proses pencucian dengan menggunakan air dapat

mempengaruhi jumlah rendemen yang diperoleh, air yang digunakan tersebut bisa saja

mengandung mineral bermassa molekul tinggi yang apabila dipanaskan akan menjadi

garam seperti kalsium. Proses pencucian sebaiknya dilakukan dengan menggunakan

aquades (Ramadhan et al., 2010).

Sementara untuk hasil rendemen III atau kitosan tertinggi adalah 42,50% (E5), 32,00%

(E1), 28,89% (E3), 17,23% (E2) dan 15,33% (E4). Penambahan NaOH dengan konsentrasi

tinggi akan menghasilkan nilai rendemen yang juga tinggi (Hanif, 2008). Proses perolehan

rendemen kitosan lebih dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH. Fennema (1985)

menyebutkan, kelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar dibandingkan

Page 12: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

pada suasana asam. NaOH mempunyai aksi hidrolisi tinggi, sehingga perlakuan

penambahan NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menghasilkan rendemen yang juga

tinggi. Penambahan konsentrasi NaOH sebesar 60% dilakukan oleh kelompok E5, dan

diperoleh hasil rendemen tertinggi, yaitu 42,50%, namun untuk hasil kelompok E1 hingga

E4 didapati tidak sebanding dengan besarnya konsentrasi NaOH yang ditambahkan, atau

tidak sesuai dengan teori. Kemungkinan terjadi endapan terbuang bersama air saat

pencucian berlangsung. Pengadukan yang berlebih menyebabkan kenaikan suhu dan

peningkatan derajat deasetilasi kitosan (Reece et al., 2003) sehingga meskipun konsentrasi

NaOH yang ditambahkan kecil, rendemen yang dihasilkan tinggi. Selain itu, pencucian

menggunakan air dan pemanasan akan mempengaruhi massa (Ramadhan et al, 2010).

Warna kitin dan kitosan yang dihasilkan adalah putih. Warna putih kitin dan kitosan

dihasilkan dari susunan monomernya, yang berupa glukosa dan asetamida. Rumus kinia

kitin adalah 2-asetamida-2-dioksi-β-D-glukosa, dihubungkan dengan ikatan glikosidik

(1,4). Rumus kimia kitosan adalah (1-4)-2-amino-2-deoksi-α-D-glukosa (Muzzarelli, 1985).

Selama diekstrak untuk diperoleh kitin dan kitosan murni, dilakukan proses demineralisasi,

deproteinasi dan deasetilasi. Proses-proses ini melibatkan pemurnian, seperti penghilangan

protein, penghilangan lemak, penghilangan pigmen dan asam-asam organik, sehingga

didapati produk akhir kitin berwarna putih (Naznin, 2005). Kitin dan turunannya

dimanfaatkan untuk makanan, nutrisi, kosmetik dan obat-obatan. Kitin memiliki sifat

antiviral dan antifungal, dapat digunakan untuk mengobati luka, mencegah peradangan,

mengontrol kolesterol darah, terapi penyakit periodontal dan surgical sutures (Nanzin,

2005). Kitin dan kitosan digunakan dalam industri makanan, bidang farmasi, kesehatan,

pertanian, bioteknologi dan lingkungan. Pemanfaatan kitosan telah dilakukan selama

sepuluh tahun terakhir. Kitosan dikenal bersifat biocompatibly, biodegradably, serta tidak

bersifat racun. Kitosan dapat dimanfaatkan untuk agen pengkelat dan pengabsorpsi,

sehingga cocok diterapkan dalam metode pemurnian air (Islam et al, 2011). Kitosan

memiliki fungsi antimikroba karena memiliki kandungan enzim lisosim dan gugus

aminopolisakarida, yang mempu menghambat pertumbuhan mikroba (bakteri dan kapang).

Page 13: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

Kemampuan kitosan dalam menghambat mikroorganisme ditentukan juga dengan

konsentrasinya (Cahyaningrum dkk, 2007).

Page 14: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kitin sangat melimpah di alam, dapat ditemukan pada cangkang hewan laut, tubuh

serangga dan dinding sel jamur.

Kitin banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, pertanian, kosmetik, tekstil dan

bidang sains.

Kitin dan kitosan tidak bersifat racun.

Kitosan adalah hasil deasetilasi dari kitin dan mempunyai fungsi antimikroba.

Kitin tersusun dari monomer 2-asetamida-2-dioksi-β-D-glukosa.

Kitosan tersusun atas (1-4)-2-amino-2-deoksi-b-D-glukopiranosa.

Untuk mengekstrak kitin dan kitosan dari limbah udang dilakukan demineralisasi,

deproteinasi dan deasetilasi.

Larutan HCl dalam tahap demineralisasi berfungsi untuk menghilangkan

kandungan mineral limbah udang.

NaOH dalam tahap deproteinasi bermanfaat untuk menghilangkan

kandungan protein.

NaOH dalam proses deasetilasi berfungsi memutuskan ikatan gugus karboksil

dalam atom nitrogen kitin.

Pengadukan dan pemanasan dalam setiap proses berfungsi untuk mencampur

rata bahan dengan larutan yang digunakan, serta untuk mempercepat

terjadinya reaksi.

Pencucian dengan air mengalir dapat menambah berat rendemen.

Pencucian endapan sebaiknya menggunakan aquades.

Warna kitin dan kitosan adalah putih.

Warna putih dihasilkan dari proses yang melibatkan pemurnian dan penghilangan

pigmen warna dari limbah kulit udang.

Sifat antimikroba kitosan dipengaruhi oleh konsentrasinya.

Kitosan mengandung enzim lisosim dan gugus aminopolisakarida, sehingga dapat

berfungsi menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

13

Page 15: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

Semarang, 31 Oktober 2015 Praktikan. Asisten Dosen, - Tjan, Ivana Chandra

Yohana Maria Puspa Ratih (13.70.0030)

Page 16: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Abdou, S. Entsar, Osheba A. S., M. A. Sorour. (2012). Effect of Chitosan and Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of Fish Fingers. Agriculture Research Center. Giza Egypt.

Bartnicki-Garcia, S. (1989). The Biological Cytology of Chitin and Chitosan Synthesis in Fungi. Di Dalam G. Skjak-Braek, T. Anthonsen, P. Sandford (ed.). Chitin andChitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Application. Elsevier, London.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hartati, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Islam, Md. Monarul, Shah Md. Masum, M. Mahbubur Rahman, Md. Ashraful Islam Molla, A. A. Shaikh, S. K. Roy. (2011). Preparation of Chitosam from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. University of Dhaka. Bangladesh.

Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. (2005). Preparation of Chitosan Microparticles by Water in Vegetable Oil Emulsion Coalescence Technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65: 77-83.

15

Page 17: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009 /SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.Limam, Zouhour. et al. 2011. Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean By-Products: Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647

Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydr Res 273:235-242

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D., (2000). Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal.51-54.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muzzarelli, R.A.A, (1985). “Chitin”. Pergamon Press, New York.

Naznin, R. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7): 1051-1054, 2005. ISSN 1028-8880.

No H.K dan S.P. Meyers. 1997. Preparation of Chitin and Chitosan. Di Dalam R.A.A.

Ornum JV. (1992). Shrimp Waste Must It be Wasted? Infofish (6)92.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Patria, Anshar. (2013). Production and Characterization of Chitosa from Shrimp Shell Waste. Syiah Kuala University. Indonesia.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90. 

Page 18: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Puvvada, Yateendra Shanmuka, Saikishore Vankayalapati, Sudheshnababu Sukhavasi. (2012). Extraction of Chitin from Chitosan from Exoskeleton of Shrimp for Application in the Phamaceutical Industry. Bapatia College of Pharmacy. India.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Suhardi. (1992). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM, Yogyakarta.

Tarafdar, Abhrajyoti & Gargi Biswas. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of Its Viable Commercial Applications. National Institute of Technology. Durgapur.

Page 19: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Kelompok E1

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 519

×100 %=26,32 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 27

×100 %=28,57 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 1,765,5

×100 %=32 %

Kelompok E2

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 5,514,5

×100 %=37,93 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 2,59

×100 %=27,78 %

Rendemen kitin III

18

Page 20: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 1,126,5

×100 %=17,23 %

Kelompok E3

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 417

×100 %=23,53 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 26,5

×100 %=30,77 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 1,34,5

× 100%=28,89 %

Kelompok E4

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 3,510

×100 %=35 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 211

×100 %=18,18 %

Rendemen kitin III

Page 21: Chitin & Chitosan_Yohana Maria P_13.70.0030_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

¿berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 0,231,5

×100 %=15,33 %

Kelompok E5

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 3,512

×100 %=29,17 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 28

×100 %=25 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 0,852

×100 %=42,5 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal