Chitin Chitosan Monica Setyawan 12.70.0013 B1 UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
reed-jones -
Category
Documents
-
view
16 -
download
3
Embed Size (px)
description
Transcript of Chitin Chitosan Monica Setyawan 12.70.0013 B1 UNIKA SOEGIJAPRANATA

CHITIN DAN CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh :
Nama : Monica Setyawan
NIM :12.70.0013
Kelompok : B1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014

1. HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Hasil Pengamatan Chitin – Chitosan
Kel Perlakuan Rendemen Chitin I (%)
Rendemen Chitin II (%)
Rendemen Chitosan (%)
B1 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
54,000 28,600 20,109
B2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
29,800 29,213 20,648
B3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
12,720 14,330 13,187
B4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
24,000 18,500 10,752
B5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
23,020 15,950 10,600
B6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
32,380 41,300 27,500
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persen rendeman chitin I terbesar diperloleh
kelompok B1 yaitu 54,000% dan persen terkecil diperoleh kelompok B3 dengan
nilai 12,720 %. Kemudian untuk rendeman chitin II dan rendeman chitosan terbesar
diperoleh kelompok B6 dengan nilai sebesar masing-masing 41,300% dan
27,500%. Dan nilai rendeman chitin II terkecil diperoleh kelompok B3 dengan
persen sebesar 14,330%. Serta rendeman chitosan terkecil diperoleh kelompok B5
dengan nilai sebesar 10,600%.
1

2. PEMBAHASAN
Dalam jurnalnya yang berjudul “Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers from
Marine Crustaceans”, Kurita (2006) mengatakan bahwa chitin terkandung dalam
cangkang pada golongan crustaceae seperti kepiting dan udang. Dalam prakteknya
kulit dari golongan crustaceae ini memang mudah untuk diperoleh, karena mereka
selalu tersedia sebagai limbah dari industry pengolahan seafood. Cangkan dari
golongan ini mengandung 15-40% chitin (α-chitin), protein (20-40%) dan kalsium
karbonat (20-50%), dan komponen minor lain seperti pigmen. Menurut Alamsyah,
(2001), kitin merupakan polimer rantai panjang yang tidak bercabang, tidak larut
dalam air dan asam-asam encer serta tidak toksik. Selain itu terdapat pula definisi
lain dari kitin yaitu merupakan polimer berantai panjang yang tersusun atas 2-
asetamida 2-deoksi D-glukosa yang terangkai oleh ikatan glikosidik pada posisi β
1-4. Kitosan adalah produk dari deasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan
enzim diasetilase Kurita (2006). Perbedaan antara kitin dan kitosan adalah
kandungan nitrogen dimana kandungan nitrogen pada kitin kurang dari 7%
sedangkan kandungan nitrogen pada kitosan lebih dari 7% (Krissetiana, 2004).
Dalam jurnalnya yang berjudul “Chitin purification rom shrimp waste y microbial
deproteination and decalcification”, Xu et al. (2008) mengatakan bahwa chitin dan
chitosan dapat digunakan sebagai obat, seperti aplikasi pada anti kanker,
mengontrol pengobatan, meningkatkan penyembuhan luka, meperbaiki kulit, serta
digunakan pula untuk nutrisi makanan dan produk kosmetik maupun tekstil.
Terdapat 3 tahap utama dalam pembuatan kitin dan kitosan, yaitu demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi dilakukan dengan tujuan untuk
mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan proses
pemanasan yang cukup. Proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi
kadar mineral dengan menggunakan asam konsentrasi rendah sehingga akan
diperoleh kitin, Kemudian proses deasetilasi memiliki tujuan untuk menghilangkan
gugus asetil dari kitin melalui proses pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan
konsentrasi tinggi (Yunizal et al., 2001). No & Meyers (1997) juga berpendapat
bahwa proses demineralisasi, bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral
yang biasanya banyak terdapat pada bagian kulit dari udang.
2

3
Percobaan yang kami lakukan ini sudah sesuai dengan teori tersebut yaitu untuk
memperoleh kitin dan kitosan dilakukan melalui 3 tahapan. Mula-mula dilakukan
tahap pertama yaitu demineralisasi dengan mencuci limbah udang menggunakan air
mengalir, kemudian dikeringkan. Berikutnya, dicuci lagi dengan menggunakan air
panas sebanyak 2 kali, lalu dikeringkan lagi. Setelah kering, kulit udang
dihancurkan hingga menjadi serbuk, dan diayak dengan ayakan 40 – 60 mesh.
Tahap penghancuran menjadi serbuk ini bertujuan untuk mempermudah proses
selanjutnya sehingga dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Hal ini
dikarenakan permukaan bahan menjadi lebih luas dan dapat kontak secara
maksimal dengan larutan alkali (No & Meyers, 1997). Selanjutnya, sebanyak 5
gram bubuk ditimbang, dimasukkan dalam beker gelas, kemudian dicampur dengan
HCL dengan perbandingan 1:10. Konsentrasi HCl yang digunakan adalah 0,75 N
untuk kelompok 1 dan 2; 1 N untuk kelompok 3 dan 4 serta 1,25 N untuk kelompok
5 dan 6. Larutan HCl ini digunakan untuk menghilangkan mineral yang terkandung.
Menurut Suhardi (1993), kalsium karbonat dapat dihilangkan dengan perlakuan
dalam asam klorida (HCI) encer pada suhu kamar.
Berikutnya dilakukan pengadukan selama 1 jam di atas hotplate suhu 90oC.
Berdasarkan pendapat Fachruddin (1997), proses pengadukan berfungsi agar
tepung udang tersebut dapat benar-benar bercampur dengan larutan HCl secara
homogen. Dan menurut Muzzarelli (1977), proses pemanasan dapat menghasilkan
pyrazine yang memiliki potensi sebagai zat penambah cita rasa. Kemudian bahan
disaring dengan menggunakan kain saring dan didinginkan sejenak, lalu residu
dicuci dengan air hingga didapatkan pH netral, pH diukur dengan menggunakan
kertas lakmus (hingga berwarna hijau). Tujuan dari pencucian hingga pH netral
agar mineral yang masih terkandung dalam serbuk kulit udang hilang serta
mencegah agar kitin tidak ikut menguap pada proses pengeringan dalam oven
(Bartnicki & Garcia, 1989). Kemudian, bubuk dikeringkan dalam oven suhu 80oC
selama 24 jam.
Tahap kedua yang dilakukan adalah deproteinasi. Tepung hasil proses
demineralisasi dimasukkan dalam beker gelas dan ditambah dengan NaOH 3,5%

4
(1:6). Menurut Martinou et al. (1995), perendaman dalam larutan NaOH bertujuan
untuk mengubah konformasi dari kristalin kitin yang rapat menjadi tidak rapat
sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin.
Selanjutnya larutan dipanaskan di atas hotplate suhu 90oC selama satu jam sambil
terus diaduk. Menurut Moeljanto (1992) proses pemanasan tersebut akan
mendenaturasi protein yang ada dalam kitin. Setelah itu, bahan disaring dengan
menggunakan kain saring, lalu didinginkan sejenak. Residu dicuci dengan
menggunakan air sampai diperoleh pH netral, diukur dengan kertas lakmus.
Pencucian hingga pH netral ini berfungsi untuk menghilangkan protein yang masih
terkandung dalam kitin serta mencegah agar kitin tidak ikut menguap pada proses
pengeringan dalam oven (Bartnicki & Garcia, 1989). Kemudian, bubuk dikeringkan
lagi dalam oven suhu 80oC selama 24 jam sehingga akan diperoleh produk berupa
kitin.
Tahap ketiga merupakan tahap pembuatan kitosan, yaitu dengan deasetilasi kitin.
Pertama-tama, kitin yang sudah dihasilkan dari proses deproteinasi ditimbang,
dimasukkan beker gelas, ditambah dengan larutan NaOH 40% (kelompok 1 dan 2);
50% (kelompok 3 dan 4); dan 60% (kelompok 5 dan 6) dengan perbandingan 1:20
(kitin : NaOH). Penambahan NaOH pada tahap deasetilasi ini bertujuan untuk
mempercepat proses deasetilasi dan agar proses deasetilasi berjalan lebih sempurna
sehingga dihasilkan permukaan yang luas dan dapat kontak dengan larutan alkali
secara maksimal (No & Meyers, 1997). Kemudian, dilakukan pengadukan selama 1
jam di atas hotplate suhu 90oC. Setelah itu, didinginkan selama 30 menit. Proses
pengadukan ini berfungsi untuk menghomogenkan antara kitin dengan larutan
NaOH yang ditambahkan sebelumnya (Fachruddin, 1997). Lalu dilakukan
penyaringan dengan kain saring. Penyaringan sendiri berfungsi untuk memisahkan
padatan yang masih tersisa (Bartnicki & Garcia, 1989). Residu yang dihasilkan
dicuci dengan air hingga diperoleh pH netral. Menurut Bartnicki & Garcia (1989),
pencucian berfungsi agar larutan NaOH yang masih terkandung dalam kitosan
tersebut dapat hilang. Karena pada saat masih dalam bentuk kitin dilakukan
pelarutan menggunakan basa agar kitin dapat larut. Residu dikeringkan dalam oven

5
suhu 70oC selama 24 jam. Kemudian, setelah semua air teruapkan, dihasilkan
kitosan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, rendemen kitin I yang paling
banyak terdapat pada kelompok B1, yang menambahkan HCl 0,75 N; NaOH 3,5%;
serta NaOH 40%. Sementara rendemen kitin I yang paling sedikit didapatkan
kelompok B3 yang diberi perlakuan penambahan HCl 1 N; NaOH 3,5%; serta
NaOH 50%. Seharusnya, penambahan asam seperti HCl dengan konsentrasi yang tinggi
dengan waktu perendaman yang lama dapat melepaskan ikatan protein dan mineral dengan
kitin serta bahan organik lain sehingga semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan
maka dihasilkan rendemen kitin yang tinggi pula karena ikatan antara protein, mineral
dengan kitin lepas. Sehingga seharusnya nilai rendeman kitin I yang tertinggi
diperoleh kelompok B5 dan B6 yang menambahkan HCl dengan konsentrasi paling
tinggi, yaitu 1,25 N. (Johnson & Peterson, 1974).
Kemudian untuk hasil pada rendemen kitin II, didapatkan % rendemen kitin
tertinggi pada kelompok B6 yang menambahkan HCl 1,25 N; NaOH 3,5%; serta
NaOH 60%, yaitu 41,300 %. Sementara % rendemen terendah didapatkan
kelompok B3 yang menambahkan HCl 1 N; NaOH 3,5%; serta NaOH 50%, yaitu
14,330%. Hasil ini sesuai dengan teori dimana penambahan NaOH dengan
konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan rendeman kitin yang tinggi pula. Tetapi
pada beberapa kelompok terjadi penyimpangan, dimana seharusnya nilai tertingi
diperoleh kelompok B5 dan B6 yang memiliki perlakuan penambahan NaOH yang
sama yaitu 60%, serta nilai terendah seharusnya diperoleh kelompok B1 dan B2
yang diberi perlakuan penambahan NaOH terkecil yaitu 40%. Dan pada kelompok
B3 yang memperoleh nilai terkecil dapat disebabkan karena adanya kitin yang ikut
terbuang selama proses pencucian dan penyaringan, sehingga kitin yang didapatkan
tidak sebanyak kitin kelompok A1 dan A2 yang ditambah NaOH dengan
konsentrasi paling rendah (Puspawati & Simpen, 2010).
Pada pengamatan rendemen kitosan, nilai (peren) yang didapatkan lebih rendah
dibandingkan rendemen kitin. Hal ini disebabkan karena pada pembuatan kitosan
telah melalui beberapa proses penghilangan seperti demineralisasi, deproteinasi,
dan deasetilasi sehingga berat kitosan akhir yang dihasilkan lebih sedikit.

6
Sementara, untuk hasil rendemen kitosan, kelompok B6 memperoleh %rendemen
tertinggi, yaitu sebesar 27,500%. Hal ini sesuai dengan teori Angka & Suhartono,
(2000) yang mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan
maka proses deasetilasi dapat berjalan sempurna karena gugus fungsional amino (-
NH3+) akan mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan , sehingga pada
akhirnya akan menghasilkan rendemen kitosan yang tinggi.
Proses demineralisasi menurut Mahmoud, et al., (2007) dapat juga dilakukan
dengan menggunakan asam organik seperti asam laktat dan asam asetat. Efektivitas
dari asam organik (laktat dan asetat) ini untuk proses demineralisasi dari kulit
udang hampir sama dengan penggunaan HCl. Untuk proses demineralisasi dengan
asam organik ini, digunakan rasio kulit: asam sebesar 1:20, pada suhu 24oC (suhu
ruang), dan dalam waktu 2 jam. Di bawah kondisi ini, efisiensi demineralisasi bisa
mencapai 97,4% untuk mineral dan hingga 99,11% untuk kalsium dengan
penggunaan 86,36% untuk asam laktat serta 85,33% untuk asam asetat. Sedangkan
menurut Mizani & Mahmood (2007) tahap deproteinasi dapat juga dilakukan
dengan menggunakan sodium sulfit, Alcalase (enzim proteinase komersil), dan
Triton X-100. Sehingga diperoleh protein recovery yang tertinggi, sebanyak 64%
didapatkan dari limbah kepala udang dengan menggunakan 200mmol/L sodium
sulfit dan 0,5% Alcalase. Kemudian sisa kitin akan dimurnikan dengan
menggunakan digesti alkali sedang, yaitu 0,5% NaOH, pada suhu 60oC selama 0,5
jam. Kitin yang dihasilkan dari kedua proses ini memiliki kualitas yang baik.
Dalam jurnalnya yang berjudul “Extraction and Characterization of Chitin,
Chitosan, and Protein Hydrolysates Prepared from Shrimp Waste by Treatment
with Crude Protease from Bacillus cereus SV1”, Manni et al (2010) mengatakan
bahwa secara konvensional pembuatan kitin dari limbah laut dapat dilakukan
dengan demineralisasi dan deproteinasi dengan menggunakan asam dan basa kuat.
Tetapi kedua reagen ini dapat menyebabkan sebagian deasetilasi dari kitin dan
hidrolisis polimer yang akan menyebabkan sifat fisiologis dari hasil akhir menjadi
tidak konsisten. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan mengurangi perlakuan kimiawi
dan mengginakan proses yang leih ramah lingkungan seperti fermentasi

7
menggunakan bakteri dan perlakuan dengan menggunakan enzim proteolitik yang
telah diaplikasikan dalam proses deproteinasi dari limbah krustasea. Mereka juga
mengatakan bahwa aktivitas antimikroba dari kitosan dan senyawa derivatifnya
dapat digunakan untuk melawan beberapa spesies bakteri. Selain itu kitosan dalam
industri pangan dapat digunakan sebagai agen antimikroba, agen antibakteri serta
agen antifungal. Aktifitas menguntungkan dari kitin dan kitosan ini dibuktikan oleh
Radwan et al. (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Extraction,
characterization, and nematicidal activity of chitin and chitosan derived from
shrimp shell wastes”, mereka mengatakan bawa kitin dan kitosan dapat mengurangi
kebusukan dari tomat, dimana kitosan lebih efektif dibandingkan kitin, namun
keduanya dapat digunakan untuk mencegah kebusukan dari tomat. Hal ini karena
penggunaan kitin dan kitosan yang diperoleh dari limbah cangkang udang sebagai
tambahan tanah dapat meningkatkan struktur tanah, mempercepat pertumbuhan
tanaman, dan dapat mengaktifkan beberapa mikroorganisme yang dapat
mendukung pertumbuhan tanaman. Kitin dan kitosan ini dapat diaplikasikan
dengan mudah dan aman serta dengan harga yang murah tetapi dapat juga
mereduksi penggunaan pestisida.
Bornet dan Teissedre (2008), mengatakan dalam jurnalnya yang berjudul
“Chitosan, chitin-glucan and chitin effects on minerals (iron, lead,cadmium) and
organic (ochratoxin A) contaminants in wines” bahwa kitin dan kitosan dapat
diaplikasikan pula pada industri wine, dimana kitin ini dapat mengurangi tingkat
kontaminan seperti besi, mikotoksin, dan logam berat yang dapat merusak wine.
Selain itu dapat juga berperan sebagai bahan tambahan untuk minuman baik
alkoholic maupun non-alcoholic selama proses penyimpanan atau produksi untuk
mengurangi kontaminasi dari produk minuman tersebut. Mereka juga menyebutkan
selain pada industri wine, kitin dan kitosan yang merupakan bahan non-tosik ini
dapat menghilangkan logam dan kontaminan organik dalam produk pangan.
Kitosan telah diterima juga sebagai bahan tambahan makanan di beberapa Negara
di asia seperti Jepang dan Korea, serta beberapa penelitian menunjukkan bahwa
Kitin dan kitosan ini dapat digunakan dalam proses penjernih, filtrasi, dan flokulasi
untuk produk jus buah dan produk minuman lain.

3. KESIMPULAN
Proses deproteinasi bertujuan untuk mengurangi kadar protein dengan
menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup.
Proses demineralisasi bertujuan untuk mengurangi kadar mineral pada bahan
dengan menggunakan asam konsentrasi rendah sehingga diperoleh produk
akhir berupa kitin.
Proses deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil dari kitin pada tahap
sebelumnya melalui proses pemanasan dalam larutan alkali kuat.
Tahap pencucian hingga pH netral bertujuan agar mineral yang masih
terkandung dalam serbuk kulit udang hilang dan mencegah agar kitin tidak ikut
menguap pada proses pengeringan dalam oven.
Perendaman dalam larutan NaOH bertujuan untuk mengubah konformasi
kristalin kitin yang rapat menjadi lebih besar sehingga enzim lebih mudah
berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin.
Tahap pemanasan akan mendenaturasi protein yang ada dalam kitin.
Penambahan NaOH pada tahap deasetilasi bertujuan untuk mempercepat proses
deasetilasi dan agar proses deasetilasi berjalan lebih sempurna sehingga
dihasilkan permukaan yang luas dan dapat kontak dengan larutan alkali secara
maksimal.
Pengadukan berfungsi untuk menghomogenkan antara bahan dengan larutan
yang ditambahkan sebelumnya.
Penyaringan berfungsi untuk memisahkan padatan yang masih tersisa.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka dihasilkan rendemen
kitin I yang tinggi pula.
Penambahan NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menghasilkan rendeman
kitin yang tinggi pula.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka proses deasetilasi
dapat berjalan makin sempurna sehingga pada akhirnya akan menghasilkan
rendemen kitosan yang tinggi.
Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan asam organik
seperti asam laktat dan asam asetat.
8

9
Tahap deproteinasi dapat dilakukan dengan menggunakan sodium sulfit,
Alcalase (enzim proteinase komersil), dan Triton X-100.
Kitin dan kitosan dapat diaplikasikan pada industri pengolahan tomat, wine, jus,
serta pengolahan minuman lainnya.
Kitin dan kitosan ini dapat digunakan dalam proses penjernih, filtrasi, dan
flokulasi untuk produk jus buah dan produk minuman lain
Semarang, 1 Oktober 2014
Praktikan, Asisten Dosen,
Stella Gunawan
Monica Setyawan
13.70.0013

4. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal. (2001). Karakteristik dan Penerapan Kitin dan Kitosan. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 11(2), 61-68
Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB. AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Bartnicki-Garcia, S. 1989. The biological cytology of chitin and chitosan synthesis in fungi. Di Dalam G. Skjak-Braek, T. Anthonsen, P. Sandford (ed.). Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Application. Elsevier, London.
Bornet, A. dan Teissedre, P. (2008).Chitosan, chitin-glucan and chitin effects on minerals (iron, lead,cadmium) and organic (ochratoxin A) contaminants in wines. Eur Food Res Technol (2008) 226:681–689
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. 1974. Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The Knorr, D. 1984. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85
Krissetiana, Henny, Mei. 31, 2004, Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang, http://www.suaramerdeka.com/harian/ragam4htm.,
Kurita,Keisuke. (2006). Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers from Marine Crustaceans.Musashino-shi.Tokyo 180-8633 Japan.
Mahmoud, N. S.; A. E. Ghaly; & F. Arab. (2007). Unconventional Approach fot Demineralization for Deproteinized Crustacean Shells for Chitin Production. American Journal of Biochemistry and Biotechnology 3(1): 1-9, 2007. ISSN 1553-3468.
Manni,L. et al.(2010). Extraction and Characterization of Chitin, Chitosan, and Protein Hydrolysates Prepared from Shrimp Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1. Appl Biochem Biotechnol (2010) 162:345–357
Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. 1995. Chitin deacetylation by enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydr Res 273:235-242
10

11
Mizani, A. Maryam & B. Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 Septeber 2007.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muzzarelli, R.A.A, (1985). “Chitin”. Pergamon Press, New York.
No H.K & S.P. Meyers. 1997. Preparation of chitin and chitosan.dan Cangkang
Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
Radwan,M.A. et al.(2010). Extraction, characterization, and nematicidal activity of chitin and chitosan derived from shrimp shell wastes. Biol Fertil Soils (2012) 48:463–468
Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM, Yogyakarta.
Xu,Y.; Gallert,C.; dan Winter,J.(2008). Chitin purification rom shrimp waste y microbial deproteination and decalcification. Appl Microbiol Biotechnol (2008) 79:687-697.
Yunizal dkk, (2001), “Ekstraksi Khitosan dari Kepala Udang Putih (Penaeus merguensis)”. J. Agric. Vol. 21 (3), hal 113-117.

5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Perhitungan Chitin Chitosan
Rumus :
Rendemen Chitin I = berat kering
berat basah II×100 %
Rendemen Chitin II = berat kering IIberat basah II
×100 %
Rendemen Chitosan = berat chitosan
berat chitin× 100 %
Kelompok B1
Rendemen Chitin I = 2,700
5×100 %
= 54,000 %
Rendemen Chitin II = 0,572
2×100 %
= 28,600 %
Rendemen Chitosan = 0,3681,830
× 100 %
= 20,109 %
Kelompok B2
Rendemen Chitin I = 1,490
5×100 %
= 29,800 %
Rendemen Chitin II = 0,4691,600
×100 %
= 29,313 %
12

Rendemen Chitosan = 0,2231,080
× 100 %
= 20,648 %
13

14
Kelompok B3
Rendemen Chitin I = 0,636
5× 100 %
= 12,720 %
Rendemen Chitin II = 0,1390,970
× 100 %
= 14,330 %
Rendemen Chitosan = 0,0120,091
×100 %
= 13,187 %
Kelompok B4
Rendemen Chitin I = 1,200
5×100 %
= 24,000 %
Rendemen Chitin II = 0,370
2× 100 %
= 18,500 %
Rendemen Chitosan = 0,2001,860
× 100 %
= 10,752 %
Kelompok B5
Rendemen Chitin I = 1,151
5×100 %
= 23,020 %
Rendemen Chitin II = 0,335
2,1× 100 %
= 15,952 %

15
Rendemen Chitosan = 0,106
1× 100 %
= 10,600 %
Kelompok B6
Rendemen Chitin I = 1,619
5×100 %
= 32,380 %
Rendemen Chitin II = 0,413
1× 100 %
= 41,300 %
Rendemen Chitosan = 0,2290,830
× 100 %
= 27,590 %
5.2. Laporan Sementara
5.3. Diagram Alir
5.4. Laporan Viper