Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

26
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Tillya Paramita K. NIM : 13.70.0136 Kelompok: D2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

description

Laporan resmi praktikum teknologi hasil laut 'Chitin & Chitosan'

Transcript of Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Tillya Paramita K.

NIM : 13.70.0136

Kelompok : D2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan

gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan

1,25 N, NaOH 3,5%,dan NaOH 40%; 50%; dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

Page 3: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Page 4: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.2. Deproteinasi

Page 5: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

1.2.3. Deasetilasi

Page 6: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan dari praktikum chitin dan chitosan dapat dilihat pada tabel 1 dibawah

ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Chitin dan Chitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

D1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 25 48,25

D2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 31,38 39,43

D3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%36,84 45,71 46,80

D4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%34,78 37,78 39,20

D5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%29,17 32,73 39,14

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa masing- masing kelompok memiliki

perlakuan yang berbeda. Rendemen kitin I pada kelompok D3 memiliki hasil yang

tertinggi yaitu 36,84% dan pada kelompok D5 memiliki hasil yang terendah yaitu

29,17%. Rendemen kitin II pada kelompok D3 memiliki hasil yang tertinggi yaitu

45,71% dan pada kelompok D1 memiliki hasil yang terendah yaitu 25,00%. Rendemen

kitosan pada kelompok D3 memiliki hasil yang tertinggi yaitu 46,80% dan pada

kelompok D5 memiliki hasil yang terendah yaitu 39,14%.

5

Page 7: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Kitin adalah polimer yang memiliki ikatan (1-4) 2-acetamido-2-deoxy beta-D-glucan.

Kitin dapat diekstrak dari kulit crustacean seperti udang dan kepiting serta insect

(Shahidi et al., 1999). Crustacea memiliki kandungan kitin sebesar 20% hingga 60%

bergantung pada spesiesnya (Wang et al., 2010). Kitin banyak ditemukan dalam

cangkang udang dan kepiting, kartilago cumi- cumi, pelindung luar serangga, dan pada

dinding sel yeast serta fungi (Abdulkarim et al., 2013). Sifat dari kitin adalah rentan

terhadap degradasi biologis, tidak dapat larut dalam air; asam organik; asam anorganik

encer, tidak elastis, dapat larut dalam litium klorida dan dimetil asetamida (Ormun,

1992). Kitin berwarna putih, keras, inelastic dan merupakan polisakarida yang

mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskeleton sama seperti pada

struktur internal invertebrata.

Kitosan adalah turunan dari kitin yang didapatkan melalui proses deasetilasi. Kitosan

memiliki unit- unit yang terdiri dari N-glukosamin dan N-asetilgukosamin. Kitosan

dapat diperoleh dari udang karena udang mengandung kitin yang dapat diturunkan

menjadi kitosan (Shahidi et al., 1999). Proses perubahan dari kitin menjadi kitosan

melalui beberapa tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi serta deasetilasi. Kitosan

memiliki sifat non-toksik, tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam organik, dapat

didegradasi secara biologis, dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap enzim

(Cahyaningrum et al., 2007). Kitosan banyak digunakan pada bidang farmasi untuk

obat- obatan, bidang biokimia, dan bidang kimia (Wang et al., 2010).

Pada pratikum ini dilakukan 3 tahap utama, yaitu:

Demineralisasi

Demineralisasi adalah proses untuk menghilangkan mineral pada bahan baku. Bahan

baku yang digunakan pada praktikum ini adalah limbah udang. Limbah udang

mengandung kitin 15% hingga 20%, protein 25% hingga 40% dan kalsium karbonat

45% hingga 50% (Suhardi & Sudarmanto, 1992). Proses demineralisasi disini bertujuan

untuk menghilangkan kalsium karbonat yang terkandung dalam limbah udang (Jonson

& Peterson, 1974). Tahap awal demineralisasi adalah melakukan pencucian dengan air

6

Page 8: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

panas serta pengeringan secara berulang kali. Pencucian dengan air panas berfungsi

untuk membersihkan limbah udang dari segala pengotor dan mikroba. Pengeringan

berfungsi untuk menurunkan kadar air yang ada dalam limbah tersebut (Muzzarelli et

al., 1997). Kemudian selanjutnya dilakukan penghancuran menjadi serbuk kemudian

dilakukan pengayakan (40 hingga 60 mesh). Limbah udang dihancurkan menjadi serbuk

memiliki tujuan untuk memperluas luas permukaan sehingga proses selanjutnya dapat

berjalan dengan cepat (Muzzarelli et al., 1997).

Serbuk limbah udang tersebut kemudian diambil 10 gram dan ditambahkan HCl 100 ml

dengan konsentrasi yang berbeda. Larutan HCl berfungsi sebagai agen untuk

mendegradasi kalsium karbonat pada kulit udang. Pada proses penambahan HCl ke

larutan akan terbentuk gelembung CO2 karena adanya pelepasan kalsium karbonat

(Suhardi & Sudarmanto, 1992). Setelah itu dilakukan pengadukan dan pemanasan pada

suhu 90oC dalam waktu 1 jam. Pengadukan dilakukan agar panas dapat tersebar ke

seluruh larutan serta untuk menghilangkan gelembung CO2 (Austin, 1981). Kemudian

pH dinetralkan dan dikeringkan dengan oven 80oC selama semalam. pH dinetralkan

dengan pencucian air mengalir. Air dapat menaikkan pH larutan yang asam akibat

penambahan HCl pada proses demineralisasi. Pengovenan dilakukan untuk menurunkan

kadar air yang masih tersisa (Muzzarelli et al., 1997).

Hari berikutnya dilakukan penghitungan rendemen kitin I. Rendemen kitin I dari

kelompok D1 hingga D5 berturut- turut adalah 32,14%; 32,14%; 36,84%; 34,78%; dan

29,17%. Menurut teori Johnson & Peterson (1974), penambahan asam dapat memicu

reaksi pelepasan protein dan mineral pada kitin serta kitosan. Peningkatan konsentrasi

asam serta perpanjangan waktu proses dapat meningkatkan nilai rendemen yang

diperoleh. Hasil praktikum yang didapat tidak sesuai dengan teori dimana kelompok D5

dengan penambahan HCl konsentrasi tertinggi menghasilkan nilai rendemen yang

terendah. Hal tersebut dapat terjadi karena mineral turut hilang bersama pengotor pada

saat proses pencucian (Muzzarelli et al., 1997). Nilai rendemen I tertinggi terdapat pada

kelompok D3 yaitu 36,84%. Kelompok D3 melakukan penambahan HCl dengan

konsentrasi 1 N. Penambahan HCl dengan konsentrasi 1 N hingga 2 N dapat

Page 9: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

meningkatkan nilai rendemen tetapi bila konsentrasi melewati 3 N akan terjadi

penurunan nilai rendemen kitin (Johnson & Peterson, 1974).

Deproteinasi

Deproteinasi adalah proses penghilangan protein dalam bahan. Bahan limbah udang

mengandung protein 25% hingga 40% sehingga perlu dilakukan proses deproteinasi

(Suhardi & Sudarmanto, 1992). Proses deproteinasi dilakukan dengan melakukan

pencampuran NaOH 3,5% ke dalam serbuk hasil demineralisasi. Penambahan NaOH

3,5% berfungsi sebagai agen untuk merenggangkan formasi kristalin kitin sehingga

enzim dapat dengan mudah melakukan penetrasi untuk melarutkan protein (Martinou et

al., 1995). Setelah itu dilakukan pengadukan dan pemanasan pada suhu 90oC dalam

waktu 1 jam. Pemanasan dilakukan untuk membantu proses denaturasi protein karena

protein rentan terhadap suhu tinggi (Moeljanto, 1992).

Tahap selanjutnya adalah penyaringan dan pendinginan. Penyaringan dilakukan untuk

memisahkan filtrat dan rendemen (Rogers, 1986). Kemudian pH residu dinetralkan dan

dikeringkan dengan oven 80oC selama semalam. pH dinetralkan dengan pencucian air

mengalir. Air dapat menurunkan pH larutan yang basa akibat penambahan NaOH 3,5%.

Pengovenan dilakukan untuk menurunkan kadar air yang masih tersisa sehingga produk

akhir berupa kitin kering (Muzzarelli et al., 1997).

Hari berikutnya dilakukan penghitungan rendemen kitin II. Rendemen kitin II dari

kelompok D1 hingga D5 berturut- turut adalah 25,00%; 31,38%; 45,71%; 37,78%; dan

32,73%. Pada kelompok D1 dan D2, hasil rendemen II mengalami penurunan dari hasil

rendemen I serta pada kelompok D3, D4, dan D5 hasil rendemen II mengalami

peningkatan dari hasil rendemen I. Berdasarkan pernyataan Fennema (1985), protein

lebih larut dalam pelarut basa dibandingkan dengan pelarut asam. Hal tersebut

dikarenakan larutan basa memiliki kekuatan hidrolis yang kuat. Pada kelompok D1 dan

D2 tidak sesuai dengan teori sedangkan kelompok D3, D4, dan D5 sudah sesuai dengan

teori. Ketidaksesuain dengan teori dapat terjadi karena waktu, suhu, serta pH yang tidak

sesuai pada proses. Hal tersebut didukung oleh teori Lehninger (1975) yang menyatakan

bahwa proses deproteinasi dipengaruhi oleh faktor- faktor seperti suhu, konsentrasi

Page 10: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

larutan serta waktu pemanasan. Peningkatan suhu, waktu, dan konsentrasi basa akan

meningkatkan hasil rendemen kitin.

Deasetilasi

Deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetil dengan menggunakan larutan

basa konsentrasi tinggi dan pada suhu tinggi. Larutan alkali dan suhu tinggi akan

membuat kitin terbebas dari gugus asetil karena terlepas. Gugus amida yang ada pada

kitin kemudian akan berikatan dengan gugus positif hydrogen dan membentuk gugus

amina bebas. Gugus amina bebas akan adsorbsi ion logam dan membentuk senyawa

pengkelat sehingga kitosan terbentuk (Azhar et al., 2010).

Proses deasetilasi dilakukan dengan menambahkan NaOH konsentrasi tinggi ke dalam

kitin. Penambahan NaOH konsentrasi tinggi yaitu 40-60% bertujuan untuk hidrolisis

struktur kristal pada kitin sehingga gugus asetil berubah jadi gugus amina (Hirano,

1989). Setelah itu dilakukan pemanasan pada suhu 70oC dalam waktu 1 jam. Tahap

selanjutnya adalah penyaringan dan pendinginan. Penyaringan dilakukan untuk

memisahkan filtrat dan rendemen (Rogers, 1986). Kemudian pH residu dinetralkan dan

dikeringkan dengan oven 80oC selama semalam. pH dinetralkan dengan pencucian air

mengalir. Air dapat menurunkan pH larutan yang basa akibat penambahan NaOH 3,5%.

Pengovenan dilakukan untuk menurunkan kadar air yang masih tersisa sehingga produk

akhir berupa kitin kering (Muzzarelli et al., 1997).

Hari berikutnya dilakukan penghitungan rendemen kitosan. Rendemen kitosan dari

kelompok D1 hingga D5 berturut- turut adalah 48,25%; 39,43%; 46,80%; 39,20%; dan

39,14%. Menurut teori dari Rochima (2004), semakin tinggi konsentrasi NaOH yang

digunakan pada proses deasetilasi, maka rendemen kitosan yang terbentuk akan tinggi

pula. Hal tersebut terjadi karena peningkatan konsentrasi akan meningkatkan keaktifan

substitusi gugus asetil ke gugus amina. Hasil praktikum yang didapat tidak sesuai

dengan teori dimana kelompok D5 dengan penambahan NaOH konsentrasi tertinggi

menghasilkan nilai rendemen kitosan yang terendah. Hal tersebut dapat terjadi karena

komponen asetil turut hilang bersama pengotor dan mineral pada saat proses pencucian

(Muzzarelli et al., 1997). Nilai rendemen kitosan tertinggi terdapat pada kelompok D1

Page 11: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

yaitu 48,25% padahal kelompok D1 melakukan penambahan NaOH dengan konsentrasi

terendah yaitu 40%. Ketidaksesuaian terjadi karena faktor pengadukan yang terlalu

cepat. Saat pengadukan dilakukan secara cepat maka terjadi gaya gesek yang

menghasilkan panas sehingga suhu meningkat. Peningkatan suhu dapat meningkatkan

rendemen kitosan akhir (Lehninger, 1975).

Kitin dan kitosan memiliki banyak kegunaan baik dalam bidang pangan maupun bidang

industri lainnya. Kitin banyak digunakan sebagai agen antimikroba. Kitin memiliki

muatan positif yang kemudian berinteraksi dengan muatan negatif dari membran sel

mikroba dan pada akhirnya mikroba mengalami kebocoran membran sel (Zaku et al.,

2011). Hal tersebut diperkuat dengan teori dari Ishihara et al. (2015) yang menyatakan

bahwa kitin memiliki aktivitas bakteriosidal walaupun lemah. Selain itu, kitin juga

memiliki aktivitas antifungal. Kitin memiliki potensi yang besar untuk menjadi

desinfektan untuk pakaian, plastik, kertas, masker, filter udara dan air, dan menjadi

coating pelindung. Kitin merupakan biopolimer alami yang memiliki struktur yang

mirip dengan selulosa. Selain itu kitin juga dapat digunakan untuk proses penghilangan

air pada lumpur serta menjadi agen pengkelat. Penggunaan kitin dan kitosan telah

meluas hingga ke industri kosmetik, obat- obatan, aditif untuk pakan, membran semi-

permeabel, dan farmasi (Zaku et al., 2011).

Kitin dan kitosan berperan penting dalam industri pengemasan pangan, terutama kitosan

yang sering digunakan sebagai edible film. Kemasan yang berasal dari kitosan dapat

memodifikasi atmosfer dan mengurangi transpirasi serta mencegah pematangan buah

dan sayur (Paul et al., 2013). Edible film kitosan bersifat kuat, tahan lama, fleksible, dan

sulit untuk rusak. Edible film kitosan terbukti memiliki permeabilitas terhadap air

sehingga dapat memperpanjang umur simpan produk segar yang biasanya memiliki

aktivitas air yang tinggi (Sakthivel et al., 2015). Kitosan telah diaplikasikan dalam

berbagai bidang dari mengatasi limbah hingga proses pembuatan produk pangan, obat-

obatan, dan bioteknologi. Pada bidang pertanian, kitosan dapat digunakan untuk

meningkatkan produksi padi serta anggrek (Abdulkarim et al., 2013).

Page 12: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kitin adalah polimer yang memiliki ikatan (1-4) 2-acetamido-2-deoxy beta-D-

glucan.

Sifat kitin adalah rentan terhadap degradasi biologis, tidak dapat larut dalam air;

asam organik; asam anorganik encer, tidak elastis, dapat larut dalam litium klorida

dan dimetil asetamida.

Kitosan adalah turunan dari kitin yang didapatkan melalui proses deasetilasi.

Proses perubahan dari kitin menjadi kitosan melalui beberapa tahap yaitu

demineralisasi, deproteinasi serta deasetilasi.

Kitosan memiliki sifat non-toksik, tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam

organik, dapat didegradasi secara biologis, dan memiliki afinitas yang tinggi

terhadap enzim.

Peningkatan konsentrasi HCl serta perpanjangan waktu pada proses demineralisasi

dapat meningkatkan nilai rendemen kitin I.

Peningkatan konsentrasi NaOH pada proses deproteinasi dapat meningkatkan nilai

rendemen kitin II.

Nilai rendemen II lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rendemen I.

Peningkatan konsentrasi NaOH pada proses deasetilasi dapat meningkatkan nilai

rendemen kitosan.

Kitin dan kitosan digunakan sebagai bakteriosidal dan antifungal, desinfektan,

edible film, penangan limbah, peningkat hasil pertanian, serta agen pengkelat.

Semarang, 24 Oktober 2015Praktikan,

Tillya Paramita K. (13.70.0136)

11

Mengetahui,

Asisten Dosen

Tjan, Ivan Chandra

Page 13: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, A.; M. T. Isa; S. Abdulsalam; A. J. Muhammad; & A. O. Ameh. (2013). Extraction and Charcterisation of Chitin and Chitosan From Mussel Shell. Civil and Environmental ResearchVo. 3 No. 2. IISTE.

Austin, P. R.; Brine, C. J.; Castle, J. E.; & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New Facets of Research. Journal of Science Vol. 212.

Azhar, M.; Jon Efendi; Erda S.; Rahma M. L; & Sri Novalina. (2010). Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. EKSAKTA Vol. 1 No. 11.

Cahyaningrum, S. E.; Agustini; & Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu Sebagai Matriks Pendukung Pada Imobilisasi Papain. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2. Universitas Negeri Surabaya. Surabaya.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Japan.

Ishihara, Masayuki; V. Q. Nguyen; Y. Mori; S. Nakamura; & H. Hattori. (2015). Adsorption of Silver Nanoparticles Onto Different Surface Structures of Chitin/ Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activity. International Journal of Molecular Sciences. Japan.

Johnson, A. H. & M. S. Peterson. (1974). 2nd Edition Encyclopedia of Food Technology. The AVI Publishing Co., Inc. Connecticut.

Martinou, A.; D. Kafetzopoulos; & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydrate Researches Vol. 273.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muzzarelli, R. A. A. (1997). Depolymerization of Chitins and Chitosans with Hemicellulase, Lysozyme, Papain, and Lipases. Chitin Handbook. European Chitin Soc. Grottamare.

Ornum JV. (1992). Shrimp Waste Must It Be Wasted. Infofish Vol. 6 No. 92.

Paul, Jiffy P.; Sharmila J. J. W.; & K. Mohan. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish. International

Page 14: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

Journal of Research in Engineering and Technology Vol. 1 No. 5. Impact Journal.

Rochima, Emma. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan. Cirebon.

Rogers, E. P. (1986). Fundamental of Chemistry. Cole Publishing Company. California.

Sakthivel, D.; N. Vijayakumar; & V. Amandan. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan From Mangrove Crab Sesarma plicatum From Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Research Vol. 4 No. 1. Human Journals.

Shahidi, F.; Arachchi J. K. V.; & Jeon Y. J. (1999). Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends in Food Science and Technology Vol. 10 No. 37. Slepecky, R. A. and H. E.

Suhardi, U. Santoso & Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang Untuk Produksi Kitin. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science. Article ID 369759.

Zaku, S. G.; S. A. Emmanuel O. C. A.; & S. A. Thomas. (2011). Extraction and Characterization of Chitin; a Functional Biopolymer Obtained From Scales of Common Carp Fish (Cyprinus carpio I.): A Lesser Known Source. African Journal of Food Science Vol. 5 No. 8. Academic Journal.

Page 15: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkeringberatbasahI

×100 %

Rendemen Chitin II = berat kitin

berat basah II×100 %

Rendemen Chitosan = berat kitosan

berat basah III×100 %

6.1.1. Kelompok D1

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14 %

Rendemen Chitin II = 28

× 100 %

= 25 %

Rendemen Chitosan = 1,523,15

×100 %

= 48,25 %

6.1.2. Kelompok D2

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14%

Rendemen Chitin II = 2,046,5

× 100 %

= 31,38 %

Rendemen Chitosan = 1,383,5

×100 %

= 39,43 %

6.1.3. Kelompok D3

Rendemen Chitin I = 3,59,5

× 100 %

= 36,84 %

Rendemen Chitin II = 1,63,5

×100 %

= 45,71 %

14

Page 16: Chitin & Chitosan_Tillya Paramita_13.70.0136_D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Rendemen Chitosan = 1,172,5

× 100 %

= 46,80 %

6.1.4. Kelompok D4

Rendemen Chitin I = 4

11,5× 100 %

= 34,78 %

Rendemen Chitin II = 1,74,5

× 100 %

= 37,78 %

Rendemen Chitosan = 0,982,5

× 100 %

= 39,20 %

6.1.5. Kelompok D5

Rendemen Chitin I = 3,512

×100 %

= 29,17 %

Rendemen Chitin II = 1,85,5

×100 %

= 32,73 %

Rendemen Chitosan = 1,373,5

× 100 %

= 39,14 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal