Chitin Chitosan_AnantaLevinaSavitri_13.70.0003_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

download Chitin Chitosan_AnantaLevinaSavitri_13.70.0003_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

of 16

description

Praktikum chitin chitosan adalah salah satu praktikum teknologi hasil laut semester 5.

Transcript of Chitin Chitosan_AnantaLevinaSavitri_13.70.0003_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

1. MATERI DAN METODE1.1. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N ; 1 N dan 1,25 N, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1.2.2. Deproteinasi

1.2.3. Deasetilasi

2. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan dari praktikum kitin dan kitosan dengan tiga jenis perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

KelompokPerlakuanRendemen Kitin I (%)Rendemen Kitin II (%)Rendemen Kitosan (%)

C1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%23,4530,0027,43

C2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%37,8244,0027,38

C3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%41,6754,5532,16

C4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%40,0058,3024,30

C5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%21,1940,3211,25

Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa presentase rendemen kitin I tertinggi didapatkan oleh kelompok C3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 40% + NaOH 3,5% sebesar 41,67%. Sedangkan untuk presentase terendahnya diperoleh kelompok C5 perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% yaitu 21,19%. Nilai rendemen kitin II terbesar didapatkan oleh kelompok C4 perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% dengan nilai 58,30%. Sedangkan untuk nilai terkecilnya diperoleh kelompok C1 dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% yaitu 30,00%. Presentase rendemen kitosan maksimal diperoleh kelompok C3 dengan penambahan HCl 1,25N, NaOH 60%, NaOH 3,5% sebesar 32,16%.3. PEMBAHASAN

Chitin sebagai polisakarida yang melimpah di alam banyak ditemukan dalam struktur eksoskeleton dari crustacean dan insect, kulit kerang, tulang rawan dari cumi-cumi, paruh burung, dan dinding sel jamur (30-60%). Menurut Aranaz et al (2009), chitin sebagai salah satu kelompok polisakarida linier yang terdiri dari (1(4), hanya memiliki 2-amino-2-deoksi-D glucose dalam jumlah terbatas sehingga polimer chitin tidak dapat larut dalam media air asam. Chitin memiliki struktur yang keras, berwarna putih, dan tidak elastis. Selain itu penggunaan chitin lebih terbatas karena chitin tidak dapat larut dalam air (Rumengan, et al. 2014). Oleh karena itu, menurut Younes dan Rinaudo (2015), chitin akan lebih memiliki manfaat yang lebih banyak jika diubah ke dalam salah satu bentuk turunannya, yaitu chitosan. Chitosan merupakan salah satu turunan chitin yang dapat larut dalam asam encer seperti asam format, asam sitrat, dan asam asetat. Menurut Dunn et al (1997), adanya interaksi hidorgen antara gugus karboksil dari asam asetat dengan gugus amina dari kitosan akan menyebabkan kitosan mudah larut dalam asam asetat. Chitosan dapat juga diperoleh dalam jumlah banyak melalui jamur yang dikulturkan dengan bantuan teknik fermentasi (Krishnaveni dan Ragunathan, 2015). Bentuk chitosan mirip dengan selulosa, hanya saja berbeda pada gugus hidroksi C2-nya dimana gugus tersebut didistribusi dengan gugus amino (NH2). Chitosan memiliki salah satu manfaat sebagai pengawet alami karena mengandung polikation positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Marganov, 2003). Selain itu dapat juga digunakan dalam bidang kesehatan dan diaplikasikan dalam produk pangan (Krishnaveni dan Ragunathan, 2015). Oleh karena itu, nilai ekonomis chitosan lebih tinggi dibandingkan chitin. Kelebihan lain dari chitosan adalah tidak beracun, antithromboganic, mudah terdegradasi, dan kompatibel (Radhakumary et al 2005). Pada praktikum ini, limbah udang terutama bagian kulitnya digunakan sebagai bahan dasarnya. Menurut Berger et al (2004), pada umumnya cangkang dari crustacean seperti kulit udang digunakan sebagai sumber kitin dan kitosan. Maka penggunaan kulit udang dalam praktikum ini telah sesuai dengan teori diatas. Pemilihan kulit udang menjadi hal yang penting karena akan berpengaruh pada hasil akhir pembuatan chitin chitosan. Idealnya, kulit udang yang digunakan memiliki ukuran yang sama dan berasal dari spesies sejenis (Younes dan Rinaudo, 2015). Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan chitin dan chitosan dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan value-added by product dengan berbagai perlakuan kosentrasi larutan asam basa. Secara garis besar, proses pembuatan chitin dan chitosan dibedakan atas tiga tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Tahap demineralisasi dan deproteinasi digunakan untuk mengekstraksi kitin. Sedangkan untuk memperoleh chitosan dari chitin, digunakan tahap deasetilasi (Aranaz et al 2009). Berikut merupakan bagan proses pembuatan chitin dan chitosan.

Gambar 2. Proses pembuatan chitin dan chitosan2.1. Langkah Kerja

2.1.1. Demineralisasi

Pertama, limbah udang (kulit) dicuci dengan air mengalir supaya kotoran pada kulit udang dapat hilang karena jika tidak maka kotoran dapat mencemari ekstrak chitin.

Setelah itu dikeringkan agar kadar airnya menurun sehingga didapatkan produk kulit udang yang kering. Hasil yang dikeringkan kemudian dihancurkan menjadi serbuk dengan ayakan 40-60 mesh dan diambil 10 gram untuk masing-masing kelompok. Penghancuran menjadi serbuk akan memperbesar luas permukaan bahan sehingga proses pelarutan komponen-komponennya dapat dilakukan dengan maksimal (Prasetyo, 2006). Tahap selanjutnya adalah penambahan HCl dengan perbandingan 1:10 yang menggunakan HCl 0,75 N (C1 dan C2), HCl 1 N (C3 dan C4), HCl 1,25 N (C5). Penambahan HCl menurut Burrows et al (2007) berfungsi untuk melarutkan mineral-mineral pada serbuk kulit udang terutama kalsium karbonat. Selain itu, juga dapat digunakan HCl dengan tiga konsentrasi yang berbeda, yaitu HCl 4%, 3%, dan 2% (Hossain dan Iqbal, 2014). Jika HCl konsentrasi rendah tersebut ternyata tersisa dalam bahan pangan, maka dapat dihilangkan dan dinetralkan dengan NaOH (sifat basa) (Rumengan et al, 2014).

Setelah itu, campuran tersebut dipanaskan hingga mencapai suhu 90oC dan diaduk selama 60 menit. Proses perusakan terhadap mineral dipercepat dengan adanya pemanasan. Sedangkan menurut Puspawati et al (2010), proses pengadukan bertujuan untuk menghindari timbulnya gelembung udara selama pemanasan berlangsung. Gelembung udara tersebut merupakan gas CO2 yang terbentuk ketika larutan HCl ditambahkan saat proses demineralisasi. Tahap selanjutnya adalah proses pencucian hingga pHnya netral dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC. Menurut Suptijah (2004), selain untuk menghilangkan mineral, pencucian juga mencegah degradasi produk selama pengeringan karena adanya gugus amino bebas.

Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen kitin I kelompok C1-C5 berturut-turut adalah 23,45% (HCl 0,75N); 37,82% (HCl 0,75N); 41,67% (HCl 1N); 40,00% (HCl 1N); 21,19 (HCl 1,25N). Menurut Johnson dan Peterson (1974), rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin banyak jika konsentrasi HCl yang digunakan juga semakin tinggi karena senyawa mineral pada serbuk udang akan lebih mudah untuk dilepaskan. Namun hasil yang didapatkan ternyata kurang sesuai dengan teorinya, dimana rendemen kitin C5 dengan perlakuan HCl 1,25N justru menghasilkan presentase terendah sebesar 21,19%. Ketidaksesuaian tersebut terjadi karena ketika proses pemanasan berlangsung, suhu pemanasan telah jauh melebihi 90oC menyebabkan sampel tersebut mendidih dan timbul cipratan-cipratan keluar sehingga jumlah sampel yang tertinggal di dalam beaker glass menjadi sangat berkurang.

2.1.2. Deproteinasi

Setelah chitin melewati proses demineralisasi maka selanjutnya dicampur larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 1:6. Larutan basa NaOH yang ditambahkan akan melarutkan protein yang terdapat pada chitin (Reece et al, 2003). Campuran tersebut dipanaskan hingga mencapai suhu 70oC dan diaduk selama 60 menit. Menurut Rogers (1986), pengadukan yang dilakukan selama pemanasan akan mencegah terjadinya kegosongan ketika derajat deproteinasi meningkat. Setelah melewati 60 menit, campuran didinginkan dan dicuci dengan air mengalir hingga pHnya netral. Menurut Hossain dan Iqbal (2014), partikel chitin akan mengendap dengan ukuran yang lebih kecil yang akan digunakan untuk tahap deasetilasi. Rendemen chitin yang dihasilkan melalui tahapan demineralisasi-deproteinasi akan lebih banyak jumlahnya dibandingkan tahap deproteinasi-demineralisasi (Alamsyah et al, 2007). Mineral pada kulit udang ternyata memiliki pelindung dengan karakteristik yang cukup keras. Apabila pelindung tersebut dihilangkan terlebih dahulu melalui proses demineralisasi, maka tahap deproteinasi akan berjalan dengan optimal. Selain NaOH, terdapat beberapa larutan basa yang telah diuji untuk digunakan sebagai reagen deproteinasi seperti Na2CO3 dan KOH namun, penggunaan NaOH menghasilkan berat biopolimer hasil hidrolisis chitin yang paling ringan (Younes dan Rinaudo, 2015).Pada hasil pengamatan, rendemen chitin II kelompok C1-C5 berturut-turut adalah 30,00%, 44,00%, 54,55%, 58,30%, dan 40,32%. Hasil diatas telah sesuai dengan teori dari Puspawati et al (2010), dimana presentase rendemen chitin dari udang akan bernilai lebih dari 20%. Jika dibandingkan dengan rendemen chitin I, maka rendemen chitin II yang didapatkan justru menunjukkan angka presentase yang lebih banyak. Idealnya, rendemen chitin II harus lebih sedikit dibanding rendemen chitin I, karena menurut Fennema (1985), deproteinasi menggunakan larutan basa akan lebih optimal karena aktivitas hidrolisisnya lebih tinggi dibandingkan larutan asam. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena pengadukan yang tidak konstan sehingga larutan NaOH tidak bereaksi sempurna dengan chitin.

2.1.3. Deasetilasi Chitin yang telah mengalami proses pengeringan selama 24 jam akan diberi perlakuan lanjutan sehingga menghasilkan senyawa turunannya yaitu chitosan. Pertama-tama chitin hasil deproteinasi ditambah dengan NaOH (20:1) dengan perlakuan 40% (kelompok C1 dan C2), 50% (kelompok C3 dan C4), 60% (kelompok C5). Kemudian dipanaskan hingga suhu 90oC dan diaduk selama 1 jam. Tinggi rendahnya suhu yang digunakan pada tahap deasetilasi berpengaruh terhadap derajat deasetilasi chitosan yang terbentuk, dimana derajat deasetilasi chitosan akan meningkat jika suhu yang digunakan semakin tinggi. Selain itu, menurut Reece et al (2003), penambahan NaOH disertai pemanasan akan menyebabkan gugus asetil (CH3CHO-) yang terdapat pada chitin, terlepas dari molekulnya. Setelah 1 jam, dilakukan penyaringan dan pencucian hingga didapatkan pH yang netral. Pencucian juga dapat mencegah terjadinya degradasi produk saat proses pengeringan. Tahap terakhir yaitu pengovenan selama 24 jam pada suhu 70oC. Selain pada suhu 70oC, menurut Khorrami et al. (2012), pengeringan untuk mendapatkan chitosan kering juga dapat dilakukan pada suhu 55oC selama 24 jam, jika pencucian dilakukan dengan air destilasi. Berdasarkan praktikum, setelah tahap deasetilasi selesai dilakukan maka didapatkan rendemen chitosan kelompok C1-C5 berturut-turut adalah 27,43% (NaOH 40%), 27,38% (NaOH 40%), 32,16% (NaOH 50%), 24,30% (NaOH 50%), 11,25% (NaOH 60%). Penggunaan konsentrasi NaOH sudah sesuai dengan teori Khorrami et al. (2012), dimana jumlah chitosan yang optimal akan didapatkan jika digunakan NaOH dengan konsentrasi 40-55%. Penggunaan larutan basa (NaOH) dengan konsentrasi tinggi akan memutus ikatan antara gugus karboksil dengan gugus nitrogen yang terdapat pada chitin. Menurut Naznin (2005), semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka semakin rendah rendemen chitosan yang didapatkan. Jika teori tersebut dibandingkan dengan hasil yang didapatkan, maka dapat dianggap telah sesuai dimana rendemen chitosan terendah dihasilkan dari konsentrasi NaOH 60% sebesar 11,25%. Adanya penambahan NaOH akan menyebabkan rantai molekul chitosan mengalami depolimerisasi sehingga berat molekul chitosan menurun. Jika dibandingkan dari segi warna, hasil akhir chitosan memiliki warna lebih terang dibandingkan hasil rendemen chitin I dan chitin II. Menurut Rumengan et al. (2014), komposisi utama dari chitosan adalah glukosamin yang berwarna coklat kekuningan, sedangkan kadar glukosamin dalam chitin masih lebih sedikit. Oleh karena itu, chitosan memiliki warna yang lebih terang jika dibandingkan dengan chitin, karena adanya pengaruh dari tingginya kadar glukosamin. 4. KESIMPULAN

Proses pembuatan chitin dan chitosan terdiri dari demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan garam anorganik dan kandungan mineral yang terdapat pada chitin, terutama kalsium karbonat (CaCO3).

HCl yang ditambahkan saat demineralisasi bertujuan untuk melarutkan komponen-komponen mineral yang terkandung dalam kulit udang.

Deproteinasi bertujuan untuk melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan chitin. Penambahan NaOH pada tahap deproteinasi bertujuan untuk melarutkan protein chitin.

Deasetilasi bertujuan untuk mendapatkan chitosan dari chitin dengan memutus ikatan kovalen antara gugus asetil dengan gugus nitrogen untuk diubah menjadi gugus amina.

Pemanasan akan mengoptimalkan fungsi HCl dalam melarutkan mineral.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen chitin yang dihasilkan juga semakin banyak. Pencucian berfungsi untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan dan untuk menghilangkan mineral pada kulit udang.

Penambahan NaOH pada deasetilasi bertujuan untuk merubah struktur chitin yang sangat rapat menjadi lebih renggang, sehingga enzim pengurai akan lebih mudah mendeasetilasi polimer chitin. NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menghasilkan chitosan yang lebih rendah.Semarang, 10 Oktober 2015

Praktikan,

Asisten Dosen,

Tjan, Ivana Chandra

Ananta Levina Savitri

13.70.0003

Kelompok C3 5. DAFTAR PUSTAKAAlamsyah, Rizal, et al. 2007. Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses 10 Oktober 2015.Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris Acosta. 2009. Functional Characterization of Kitin and Kitosan. Current Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.Berger, J; M. Reista; J. M. Mayer; O. Felt; N. A. Peppas; R. Gurny. 2004. Structure and Interactions in Covalently and Ionically CrosslinkedKitosan Hydrogels for Biomedical Applications. European Journal Of Pharmaceutics And Biopharmaceutics 57 (2004) 1934.Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise. 2007. Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 2 (2): 103-111, 2007.Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. 1997. Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.Hossain, M. S.; A. Iqbal. 2014. Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Waste. Journal Bangladesh Agricultural University 12(1): 153-160.Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. 1974. Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.Khorrami, M.; G.D. Najafpour; H. Younesi; M.N. Hosseinpour. 2012. Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26(3) 217-223.

Krishnaveni, B.; R. Ragunathan. 2015. Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F. solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. Vol 7(4) 197-205.

Marganov. 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.Naznin, Rokshana. 2005. Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. 2009. Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.Prasetyo. 2006. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 90.Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. 2005. Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.Reece, C., dan Mitchell. 2003. Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.Rogers, E.P. 1986. Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.Rumengan, I.F.M., E. Suryanto; R. Modaso; S. Wullur; T.E. Tallei; D. Limbong. 2014. Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis. International Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 3(I): 12-18.Supitjah, Pipit. 2004. Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.Younes, Islem. Rinaudo, Marguerite. 2015. Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications. Journal of Marine Drugs 1133-1174.

6. LAMPIRAN6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I= Rendemen Chitin II= Rendemen Chitosan = Kelompok C1

Rendemen Chitin I= = 23,45 %

Rendemen Chitin II= = 30,00 %

Rendemen Chitosan = = 27,43 %

Kelompok C2

Rendemen Chitin I= = 37,82 %

Rendemen Chitin II= = 44 %

Rendemen Chitosan = = 27,38 %

Kelompok C3

Rendemen Chitin I= = 41,67 %

Rendemen Chitin II= = 54,55 %

Rendemen Chitosan = = 32,16 %

Kelompok C4

Rendemen Chitin I= =40,00 %

Rendemen Chitin II= = 58,3 %

Rendemen Chitosan = = 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I= = 21,19 %

Rendemen Chitin II= = 40,32 %

Rendemen Chitosan = = 11,25 %

6.2. Laporan Resmi6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan pengadukan.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2, NaOH 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan NaOH 60% untuk kelompok C5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

1