Laporan Chitosan Fix

26
LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIKUM TEKNIK BIOPROSES IDENTITAS PRAKTIKAN Nama : Chega Putri Pratiwi NIM : 03111003007 Kelompok : VII / Selasa Siang I. JUDUL PERCOBAAN : Pembuatan Chitosan II. TUJUAN PERCOBAAN : 1. Membuat Chitosan dari kulit udang sebagai bahan pengawet. 2. Memanfaatkan limbah kulit udang agar menjadi bahan yang bernilai ekonomis. 3. Mengetahui proses pembuatan Chitosan dari limbah kulit udang. III. DASAR TEORI Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata misalnya udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein (21%), lemak (0,2%), vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat kapur dan fosfor. Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku, udang kering, udang kaleng, dan lain-lain (Goligo, 2009). Sebagai penghasil udang dengan nilai ekspor yang tinggi Jawa Timur memproduksi udang beku sebesar 47.807,788 ton atau setara dengan US$ 368.644.445,41 pada tahun 2005 (Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa 9

Transcript of Laporan Chitosan Fix

Page 1: Laporan Chitosan Fix

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIKUM TEKNIK BIOPROSES

IDENTITAS PRAKTIKAN

Nama : Chega Putri Pratiwi

NIM : 03111003007

Kelompok : VII / Selasa Siang

I. JUDUL PERCOBAAN : Pembuatan Chitosan

II. TUJUAN PERCOBAAN :

1. Membuat Chitosan dari kulit udang sebagai bahan pengawet.

2. Memanfaatkan limbah kulit udang agar menjadi bahan yang bernilai

ekonomis.

3. Mengetahui proses pembuatan Chitosan dari limbah kulit udang.

III. DASAR TEORI

Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata

misalnya udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein

(21%), lemak (0,2%), vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti  zat

kapur dan fosfor.  Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku,

udang kering, udang kaleng, dan lain-lain (Goligo, 2009).

Sebagai penghasil udang dengan nilai ekspor yang tinggi Jawa Timur

memproduksi udang beku sebesar 47.807,788 ton atau setara dengan US$

368.644.445,41 pada tahun 2005 (Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur,

2005). Dari proses pembekuan, 40% dari berat udang menjadi limbah (bagian

kulit dan kepala). Di Indonesia udang mengalami proses cold storage yaitu bagian

kepala, ekor, dan kulit dibuang sebagai limbah. Limbah udang ini dapat

mencemari lingkungan di sekitar pabrik sehingga perlu dimanfaatkan.

Selama ini kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan

kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak. Padahal 20-30% limbah

tersebut mengandung senyawa chittin yang dapat diubah menjadi chitosan.

Chitosan berasal dari limbah udang atau cangkang udang yang biasanya

digunakan sebagai pakan ternak.  Dahulu bahkan hingga saat ini masih ada yang

9

Page 2: Laporan Chitosan Fix

memanfaatkan limbah udang ini menjadi pakan ternak. Karena limbah ini jika

dibuang begitu saja dapat menimbulkan bau yang amat sangat tidak enak. Oleh

karena itu, biasanya limbah udang diolah menjadi pakan.

Walaupun chitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan

untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang

dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber

yang kaya akan chitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam

jumlah besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang. Limbah kulit udang

dapat diolah untuk pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut

menghasilkan chitosan yang memiliki banyak manfaat dalam bidang industri,

antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non-toxic)

pengganti formalin.

Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan untuk digunakan

sebagai pengawet makanan karena tidak beracun dan aman bagi kesehatan.

Aplikasi chitosan sudah dilakukan di berbagai bidang, mulai dari manajemen

limbah, pembuatan makanan, obat-obatan dan bioteknologi. Dan chitosan juga

dapat diaplikasikan pada industri farmasi dan kosmetika karena sifat

biodegradability dan biocompability serta kemampuan toksik atau racun rendah.

Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet

makanan, karena chitosan memiliki polikation bermuatan positif sehingga dapat

menghambat pertumbuhan mikroba dan mampu berikatan dengan senyawa-

senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat,

logam berat dan lain-lain. Selain itu, molekul chitosan memiliki gugus N yang

mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan

protein dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan chitosan

berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen.

Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu: epikutikula, eksokutikula,

endokutikula dan epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada

lokasinya, di daerah kepala tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian

pangkal kaki hanya 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7% zat anorganik yang

mengandung 98,5% kalsium. Pada waktu moulting chitin dan protein dari kulit

9

Page 3: Laporan Chitosan Fix

yang lama lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum

moulting epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula

yang lama, kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan

tertimbun ke dalam eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut

menjadi sempurna. Pertukaran kalsium antara cairan tubuh dengan air laut

berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap dan 79%.

Secara umum, cangkang kulit udang yang keras mengandung 34,9%

protein, 27,6% mineral kalsium karbonat (CaCO3), 18,1% chitin dan 19,4%

komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein. Kulit udang juga

mengandung karoten astaksantin 0,02%.

Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan

aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan

kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah

chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu produk

samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan

rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total berat udang. Kadar

chitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi

chitosan menghasilkan yield 15-20%.

Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari

polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta

(1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih

dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai

rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan

asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat

degradasi polimer. Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan

disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka

sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama

dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi

dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi

berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil

terhadap udara, panas dan sebagainya.

9

Page 4: Laporan Chitosan Fix

Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau

farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah,

industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya.

Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan

dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan

lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin dari

cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan

pemisahan mineral (demineralisasi) sedangkan untuk mendapatkan chitosan

dilanjutkan dengan proses deasetilasi.

Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu

amida oleh suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai

basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam

gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga

dihasilkan suatu amida yaitu chitosan.

Reaksi Pembentukan Chitosan dari Chitin :

90-100C

+ NaOH +

Chitin Chitosan

Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba,

karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat

menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap

bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan. Kemampuan dalam

menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation

bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang.

Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan

yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa

pada permukaan sel bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer

(lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami

kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Selain

9

Page 5: Laporan Chitosan Fix

telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga

aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer

(1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman.

3.1. Udang Galah

Populasi udang galah di Indonesia bersifat unik. Berdasarkan distribusi

geografisnya dapat diprediksikan bahwa Indonesia menjadi centre of origin dari

galah karena terdapat 19 spesies dari marga Macrobrachium (udang galah).

Apabila ditinjau dari segi social ekonomi, eksistensi udang galah saat ini

merupakan salah satu komoditas unggulan yang dapat diandalkan sebagai sumber

penghasilan.

Udang galah mempunyai pangsa pasar yang baik. Kecenderungan

masyarakat yang menggemari sea food meningkatkan pangsa pasar udang galah.

Peluang pasar udang galah tidak hanya di dalam negeri bahkan di mancanegara

terbuka luas seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Pangsa pasar

yang besar serta keunggulan komparatif yang dimiliki udang galah

menjadikannya salah satu komoditi andalan dan mampu bersaing dengan produk

dari negara lain. Untuk mencapai sasaran tersebut diadakan upaya pemulihan

udang galah dan pengembangan industri udang beku, merupakan salah satu

alternatif yang diambil.

3.1.1. Taksonomi Udang Galah

Kedudukan udang galah dalam sistematika sebagai berikut :

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Bangsa : Decapoda

Suku : Palaemonidae

Anak suku : Palaemoninae

Marga : Macrobrachium

Jenis : Macrobrachium rosenbergii

3.1.2. Morfologi Udang Galah

9

Page 6: Laporan Chitosan Fix

Badan udang terdiri atas kepala dan dada yang disebut Cephalothorax,

badan (abdomen), serta ekor (uropoda). Udang galah mempunyai ciri khusus

dibandingkan dengan udang jenis lainnya, yakni kedua kakinya tumbuh dominan.

Cephalothorax dibungkus oleh kulit yang keras disebut carapace. Pada bagian

kepala terdapat penonjolan carapace yang bergerigi dan disebut rostrum. Gigi

terdapat pada rostrum dengan jumlah gigi pada rostrum atas 11-13 dan jumlah

gigi pada rostrum bagian bawah 8-14. Udang galah mempunyai sepasang mata

yang bertangkai yang terletak pada pangkal rostrum, jenis matanya temasuk jenis

mata majemuk (facet).

Udang galah jantan dan betina mempunyai perbedaan yang mencolok

sehingga mudah untuk diketahui. Udang galah jantan mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut :

1. Dapat mencapai ukuran yang lebih besar dibandingkan udang galah betina.

2. Pasangan kaki jalan udang jantan yang kedua tumbuh sangat besar dan kuat.

3. Bagian perut lebih ramping.

4. Alat kelamin terletak pada baris pasanagan kaki jalan kelima, pada pasang

kaki ini terlihat lebih rapat dan lunak.

5. Apendix masculina (petanda jantan) terletak pada pasangan kaki renang kedua

yang merupakan cabang ketiga dari kaki renang tersebut.

Adapun udang galah betina mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Ukuran badan lebih kecil dar udang galah jantan

2. Pasangan kaki jalan kedua tetap tumbuh besar, tetapi ukurannya tidak sebesar

kaki udang jantan.

3. Bagian perut tumbuh melebar bersama-sama dengan kaki renang. Ruangan ini

merupakan tempat pengereaman telur (brood chamber) sehngga tampak

bentuk tubuhnya membesar pada bagaian perut.

4. Alat kelamin betina terletak pada pangkal pasangan kaki jalan ketiga yang

merupakan lubang thelicum.

5. Jarak antara pasang kaki jalan kiri dan kanan setiap pasangan terlihat lebih

besar yang memungkinkan terlur dapat berjalan ke kantong telur.

3.1.3. Habitat dan Penyebaran Udang Galah

9

Page 7: Laporan Chitosan Fix

Apabila diperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya, fase dewasa

udang galah sebagian besar dijalani didasar perairan air tawar dan fase larva

bersifat planktonik yang sangat memerlukan air payau. Udang galah mempunyai

habitat diperairan umum, misalnya rawa, danau, dan muara sungai yang langsung

berhubungan dengan laut. Sebagai hewan yang bersifat euryhaline mempunyai

toleransi tinggi terhadap salinitas air, yaitu antara 0-20 per mil. Hal ini

berhubungan erat dengan siklus hidupnya.

Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan bertelur di daerah air

tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur dibuahi hingga

menetas diperlukan waktu 16-20 hari. Larva baru dapat menetas memerlukan air

payau, lalu larvanya terbawa aliran sungai hingga ke laut. Larva yang menetas

dari telur paling lambat 3-5 hari harus mendapat air payau. Larva berkembang dan

memerlukan metamorfosis hingga mencapai pasca larva diperairan payau denan

kadar garam berkisar antar 5-20%, setelah 45 hari udang dapat hidup diperairan

tawar, secara alami udang akan berupaya ke perairan tawar.

Daerah penyebaran udang galah adalah daerah Indo-Pasifik, yaitu dari

bagian timur Benua Afrika sampai Semenanjung Malaka, termasuk Indonesia. Di

Indonesia, udang galah terdapaat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa

Tenggara, dan Irian.

3.2. Chitin

Chitin merupakan polisakarida struktural yang patut mendapatkan

perhatian karena berlimpah ruah di alam. Chitin sama dengan selulosa. Chitin

merupakan polisakarida hewan berkaki banyak. Diperkirakan 109 ton chitin

dibiosintesis tiap tahun. Chitin tidak larut dalam air, asam encer, alkali

encer/pekat dan pelarut organik lain, tetapi larut dalam larutan pekat asam sulfat,

asam klorida, asam fosfat. Selain itu tahan terhadap hidrolisa menjadi komponen

sakaridanya.

Chitin pada umumnya sangat tahan terhadap hidrolisa, walau enzim

kitinase dapat melakukannya dengan mudah. Chitin membentuk zat dasar yang

tahan lama dari kulit spora lumut dan eksokerangka dari serangga, udang, dan

kerang-kerangan. Chitin adalah polisakarida linier yang mengandung N-Asetil D-

9

Page 8: Laporan Chitosan Fix

Glukosamina terikat β pada hidrolisa, chitin menghasilkan 2-Amino 2-Deoksin D-

Glukosa. Dalam alam chitin terikat pada protein dan lemak.

Chitin dapat dibentuk menjadi suatu bubuk (powder) apabila sudah

dipisahkan dari zat yang tercampur dengannya. Akan tetapi tidak dapat larut

dalam air. Reaksinya dalam asam-asam mineral dan alkali akan menghasilkan

suatu zat yang menyerupai selulosa. Pelarutan chitin tergantung dari konsentrasi

asam mineral dan temperatur.

Di negara Jepang, chitin sudah lama dikomersialkan dengan cara

memintalnya menjadi benang yang berfungsi sebagai penutup luka sehabis

operasi, karena didukung oleh sifatnya yang non alergi dan juga menunjukkan

aktivitas penyembuhan luka.

Chittin pertama kali ditemukan oleh Odier pada tahun 1823 dan kemudian

dikembangkan oleh PR Austin pada tahun 1981. Akan tetapi perkembangan

chittin bergerak lamban dan kurang dimanfaatkan. Salah satu turunan chittin yang

luas pemakaiannya adalah chitosan. Senyawa ini mudah didapat dari kitin dengan

menambahkan NaOH dan pemanasan sekitar 120oC. Proses ini menyebabkan

lepasnya gugus asetil yang melekat pada gugus amino dari molekul kitin dan

selanjutnya akan membentuk chitosan.

Kelebihan lain dari chitosan yaitu padatan yang dikoagulasinya dapat

dimanfaatkan. Kekhawatiran terhadap kemungkinan chitosan mempuntai efek

beracun terhadap manusia telah dimentahkan oleh beberapa peneliti dengan

sejumlah bukti ilmiah.

3.3. Keuntungan Chitosan

Apa saja keunggulan chitosan dibandingkan dengan formalin? chitosan

memiliki fungsi ganda, yaitu tidak seperti formalin yang apabila digunakan akan

bereaksi dengan produk, chitosan lebih pada fungsi melapisi, sehingga transfer

rasa dan aroma dari produk dihalangi oleh lapisan tersebut, bahkan pengaruh dari

luarpun dapat dihambat. Hal ini membuat rasa dan penampilan roduk yang

menggunakan chitosan menjadi lebih baik, dibandingkan dengan produk yang

menggunakan formalin, atau produk kontrol (tanpa formalin atau chitosan). Selain

itu, chitosan memiliki gugus fungsi yang bermuatan, sehingga nantinya akan

9

Page 9: Laporan Chitosan Fix

berikatan dengan mikroba perusak, hingga mikroba tersebut mati. Jadi, chitosan

juga dapat berfungsi sebagai antibiotik.

Daya simpan chitosan tidak kalah dengan formalin. Ikan asin yang diberi

chitosan dapat bertahan selama tiga bulan, hampir sama dengan yang

menggunakan formalin. Dari segi harga, ternyata chitosan lebih ekonomis

dibandingkan dengan formalin, apabila menggunakan formalin, untuk 100 Kg

ikan diperlukan Rp 16.000, sedangkan dengan chitosan hanya perlu Rp 12.000,

hal ini dapat menambah keuntungan nelayan dan pengusaha kecil ikan asin. Maka,

kalau sudah ada yang ekonomis dan aman, kenapa harus memakai yang

membahayakan?

Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan

memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan

bakteri dan kapang," katanya merujuk riset (Allan dan Hadwiger, 1979 dalam El

Grauth et al., 1991).

3.4. Kerugian Chitosan

Namun, sebaik-baiknya produk buatan manusia, pasti masih ada

kekurangannya. Menurut ibu Dr. Endang Sri Heruwati yang juga seorang peneliti

dari FPIK-IPB, chitosan kurang efektif untuk mengawetkan ikan segar. Selain itu,

chitosan tidak memiliki fungsi mengenyalkan, seperti yang dimiliki oleh formalin.

Tapi tidak perlu berpikir untuk kembali pada formalin, karena masalah ini juga

ada jalan keluar yang lebih aman dan ekonomis. Untuk mengawetkan ikan segar,

sebaiknya digunakan buah picung. Dari hasil penelitian, buah picung dapat

mengawetkan ikan segar selama enam hari tanpa mengurangi mutunya.

Sedangkan untuk mengenyalkan, ada lagi produk bernama karagenan yang terbuat

dari rumput laut, yang banyak dibudidayakan di Indonesia.

Maka, dapat disimpulkan bahwa chitosan merupakan bahan pengawet

alami penolong bagi kelangsungan industri kecil di Indonesia, sekaligus

bermanfaat untuk keamanan pangan Indonesia. Munculnya fenomena penggunaan

pengawet mayat ini seharusnya membuat kita sama-sama sadar, inilah dampak

dari kebobrokan ekonomi dan mental bangsa kita. Sekarang baru penggunaan

formalin yang terkuak, padahal masih banyak penggunaan bahan berbahaya

9

Page 10: Laporan Chitosan Fix

lainnya dalam makanan yang belum terungkap, seperti penggunaan pewarna,

perasa, dan lain-lain.

IV. ALAT DAN BAHAN

Alat

1. Water bath

2. Neraca analitis

3. Corong dan kertas saring

4. Beker gelas

5. pH meter

6. Pipet tetes

7. Oven

8. Spatula

Bahan

1. Kulit udang

2. HCl

3. NaOH

4. Aquadest

V. PROSEDUR PERCOBAAN

1. Pisahkan udang dan kulitnya kemudian cuci bersih dan keringkan.

2. Gerus sampai halus kulit udang yang telah dikeringkan tadi hingga menjadi

bubuk atau powder.

3. Timbang bubuk kulit udang sebanyak 5 gr, dicampur dengan 300 ml aquadest.

4. Kemudian masukkan HCl sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit udang tadi

dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar.

5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang dimasukkan

dalam beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali.

6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 aquadest, direbus selama 2

menit, kemudian saring kembali.

9

Page 11: Laporan Chitosan Fix

7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH dengan

menggunakan pH meter.

8. Langkah terakhir larutan disaring kembali dan dikeringkan.

VI. HASIL PENGAMATAN

Pada percobaan pembuatan chitosan ini, digunakan bahan baku berupa

kulit udang yang berbentuk serbuk dan warnanya agak merah muda. Jumlah kulit

udang halus yang digunakan sebanyak 5 gram lalu ditambah aquadest hingga

jumlah totalnya 300 ml. Campuran ini dipanaskan, ditambahkan zat kimia seperti

HCl dan NaOH untuk mengatur pH, lalu disaring yang dilakukan beberapa kali.

Produk dari penyaringan terakhir dikeringkan dalam oven dan ditimbang berat

keringnya. Berat chitosan yang diperoleh pada percobaan kali ini adalah sebanyak

2,837 gram.

Berat awal sampel = 5 gram kulit udang serbuk

Berat kertas saring = 1,88 gram

Berat akhir produk = (berat chitosan + berat kertas saring) – (berat kertas

saring)

= 4,717 gram – 1,88 gram

= 2,837 gram

Warna produk = orange pucat

Bau produk = aroma udang masih terasa

pH awal = 8 (bersifat basa)

pH demineralisasi = 5 (bersifat asam)

pH deproteinasi = 10 (bersifat basa)

9

Page 12: Laporan Chitosan Fix

VII. PEMBAHASAN

Percobaan ini menggunakan bahan baku utama kulit udang. Dipilih bagian

kulit karena pada kulit udang ini terkandung chitin lebih banyak dibandingkan

bagian tubuh lainnya. Sedangkan chitosan sendiri adalah salah satu turunan chitin.

Kulit ini dipisahkan dari udangnya, lalu dicuci bersih, dan dikeringkan. Lalu kulit

udang ini dihancurkan hingga menjadi lebih halus. Tujuannya agar chitin yang

terkandung dalam kulit udang dapat cepat bereaksi dengan zat kimia (HCl dan

NaOH) dan lepas dari kandungan chitin tersebut.

Kulit udang sebanyak 5 gram ditambahkan aquadest hingga jumlah

totalnya menjadi 300 ml. Meskipun dicampurkan, kedua bahan ini tidak saling

melarut. Pelarutan chitin sebenarnya tergantung dari konsentrasi asam mineral dan

temperatur. Karena itulah, pada saat proses pemanasan temperaturnya tidak terlalu

tinggi dan campuran tidak boleh diaduk terlalu sering karena dikhawatirkan akan

membuat kandungan chitin terlarut dalam aquadest. Pemanasan pun hanya

dilakukan selama 5 menit.

Setelah dipanaskan, larutan ini disaring. Slurry kulit udang kemudian

diukur pH-nya. Dari pengukuran pH slurry didapatlah pH sebesar 7. Slurry ini

ditambah aqudest, dipanaskan lagi, dan disaring. Kemudian slurry kulit udang

diukur pH-nya agar menjadi basa dengan ditambah NaOH hingga pH-nya menjadi

10. Lalu perlakuan selanjutnya sama dengan perlakuan sebelumnya. Terakhir,

setelah disaring chitosan yang diperoleh dikeringkan dalam oven.

Chitosan dalam bentuk powder telah diperoleh, namun apakah bubuk

kering itu murni chitosan atau masih terkandung zat lainnya selain chitosan, hal

itu masih diragukan. Karena dalam percobaan pembuatan chitosan ini tidak

diketahui parameter kimia zat chitosan. Chitosan kering yang kami peroleh yaitu

sebanyak 2,837 gram. Padahal bahan baku yang kami gunakan sebanyak 5 gram.

Artinya, terdapat sebanyak 2,163 gram sampel awal yang telah hilang atau

terbuang. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor seperti:

adanya kulit udang yang larut dalam aquadest dan proses pencucian yang tidak

bersih. Bisa juga dikarenakan banyak serbuk powder kulit udang yang terbawa

pada saat pencucian maupun penyaringan menggunakan kertas saring. Hal ini bisa

9

Page 13: Laporan Chitosan Fix

dilihat pada kertas saring dimana masih begitu banyak slurry udang yang tak bisa

diambil dan masih tertinggal.

Sebagaimana kita ketahui, ada tiga rangkaian proses dalam pembuatan

Chitosa dari Chitin. Yaitu de-mineralisasi, de-proteinasi dan terakhir adalah de-

asetilasi. Pembuatan Chitosan sendiri memerlukan bahan baku dari limbah

industri pengolahan udang dan rajungan. yang diambil dapat berupa kulit, kepala,

dan ekor yang tidak terpakai.

Bahan-bahan tadi kemudian dihilangkan mineralnya (de-mineralisasi)

dengan cara dimasak pada pH asam.. Untuk itulah pada praktikum ini kita

tambahkan senyawa asam pekat berupa Asam Klorida (HCl). Karena Organisme

laut itu sangat kaya akan mineral makanya harus dihilangkan terlebih dahulu

kandungan mineralnya.

Proses selanjutnya ialah dihilangkan proteinnya (de-proteinasi) dengan

dimasak pada tempat yang sama pada pH basa (9-10). Untuk itulah pada

praktikum ini kita tambahkan senyawa basa kuat berupa Natrium Hidroksida

(NaOH). Hasilnya, diperoleh bahan yang disebut dengan chitin murni yang nanti

akan dimanfaatkan untuk proses selanjutnya.

Proses berikutnya (terakhir) adalah de-asetilasi. Proses ini diperlukan

karena Di dalam struktur chitin, terdapat gugus asetil. Gugus ini harus dibuang

dan digantikan dengan gugus NH2, juga pada proses basa, tapi jauh lebih kuat dari

basa pada proses penghilangan protein. Setelah de-asetilasi, jadilah chitosan

dalam bentuk bubur. Bubur ini tinggal dicuci dan dikeringkan, tahapan – tahapan

seperti inilah yang bisanya dilakukan dalam proses pengolahan chitosan. Chitosan

sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung

enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat

pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan terhadap bakteri

tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan.

VIII.KESIMPULAN

9

Page 14: Laporan Chitosan Fix

1. Untuk membuat chitosan, sebaiknya dipilih bahan baku yang banyak

mengandung chitin seperti kulit udang.

2. Ada tiga proses utama pembuatan Chitosan dari Chitin, yaitu demineralisasi,

deproteinasi dan terakhir deasetilasi

3. Selama proses pencampuran kulit udang dengan aquadest, perlu diperhatikan

konsentrasi asam mineral yang digunakan serta temperature pemanasan. Hal

ini penting agar kulit udang tidak larut dalam aquadest.

4. Sebaiknya pada saat pemanasan, larutan chitosan jangan terlalu lama diaduk

Karena dikhawatirkan bisa melarutkan chitosan di dalam air sehingga

mengurangi jumlah produk akhir.

5. Pada produk akhir warnanya sedikit berubah dari sampel awal. Yaitu dari

warna orange agak terang berubah menjadi orange pucat.

6. Bau udang pada sampel awal tidak hilang seratus persen, tetapi hanya sedikit

saja. Hal ini bisa dicium dari aroma udang yang masih tajam pada produk

chitosan.

7. Pembuatan chitosan selanjutnya sebaiknya memperhatikan ukuran sampel

awal (harus dalam bentuk powder), temperature pemanasan yang tidak lebih

dari 100 oC, lama pemanasan yang tidak lebih dari 2 menit, banyaknya HCl

dan NaOH yang ditambahkan, dan ketepatan dalam penyaringan dan

pengeringan produk.

9

Page 15: Laporan Chitosan Fix

IX. DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Hatta.2010.Penuntun Praktikum Teknologi Bioproses.Laboratorium

Teknologi Bioproses Universitas Sriwijaya.

Prentis, Steve.1990.Bioteknologi Suatu Revolusi Industri yang Baru.Erlangga:

Jakarta.

Prawirahartono, S.1991.Pelajaran SMA Biologi.Erlanga:Jakarta

Ratna Djuita.1990.Penuntun parktikum Mikrobiologi.1990.Labolatorium

Mikrobiologi Fakultas Teknik Unsri.

Volk dan Wheeler.1993.Mikrobiologi Dasar I.Erlangga:Jakarta.

9

Page 16: Laporan Chitosan Fix

SPATULAHOT PLATE

X. GAMBAR ALAT

9

PRODUK CHITOSAN

INKUBATOR

ERLENMEYERBEKER GELASGELAS UKUR

NERACA ANALITIK