Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

38
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Vicky Widia Yusrina NIM : 13.70.0146 Kelompok C4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

description

Chitin Chitosan

Transcript of Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

Page 1: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Vicky Widia Yusrina

NIM : 13.70.0146

Kelompok C4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain oven, blender, ayakan,

peralatan gelas, kain saring.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, NaOH 3,5%, NaOH

40%, 50%, 60%, HCl 0,75N; 1 N dan 1,25 N.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

1

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinyu dilakukan pengadukan.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

Limbahudangdicucidengan air mengalirdandikeringkan, laludicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkankembali.

Page 3: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

2

1.2.2. Deproteinasi

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Page 4: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

3

1.2.3. Deasetilasi

Lalu residu yang didapat dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Kemudian diaduk 1 jam dan didiamkan 30 menit, lalu dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

Kitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH dengan konsentrasi 40% (kelompok C1 dan C2), 50% (kelompok C3 dan C4) dan 60% (kelompok C5)

(20:1)

Page 5: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

4

Page 6: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan rendemen kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan pelarut dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rendemen Kitin I, Kitin II, dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

C1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%23,45 30,00 27,43

C2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%37,82 44,00 37,38

C3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%41,67 54,55 32,16

C4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%40,00 58,30 24,30

C5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%21,19 40,32 11,25

Dari tabel 1 diatas, dapat diketahui hasil rendemen kitin dan kitosan pada masing-

masing kelompok. Kelompok C1 dan C2 dengan perlakuan HCl 0,75 N, NaOH 40%

dan NaOH 3,5%. Kelompok C3 dan C4 dengan perlakuan HCl 1 N, NaOH 50% dan

NaOH 3,5%. Kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N, NaOH 60% dan NaOH 3,5%

Berdasarkan data tersebut, maka rendemen kitin I terbesar dihasilkan oleh kelompok

C2, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C5. Rendemen kitin II yang terbesar

dihasilkan oleh kelompok C4, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C1.

Sedangkan untuk rendemen kitin III yang terbesar dihasilkan oleh kelompok C2 dan

yang terendah dihasilkan oleh kelompok C5.

5

Page 7: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

2. PEMBAHASAN

Udang merupakan salah satu komoditi ekspor yang terbagi menjadi tiga macam, yaitu

produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh, badan tanpa kepala dan

dagingnya saja.Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk tersebut,

menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan

kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang

disebut limbah udang Marganov (2003). Tetapi sebenarnya kulit udang merupakan

sumber potensi dalam pembuatan kitin dan kitosan, yaitu biopolimer yang secara

komersil berpotensi dalam berbagai bidang industri.Menurut (Rumengan, I.F.M, 2014)

dalam jurnal“Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the

Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis” mengatakan kitin dan

chitosan sangat potensial untuk industribioteknologi dan rekayasa jaringan, karena

mempunyai karakteristik, kelompoknya reaktif, mudah di adsorbsi, dapat menjadi

bakteriostatik dan fungistatik.

Manfaat kitin di berbagai bidang industri modern cukup banyak, diantaranya dalam

industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, gizi, kertas, tekstil,

pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan.Salah satu alternatif upaya pemanfaatan

limbah cangkang udang agar memiliki nilai dan daya guna produk yang bernilai

ekonomis tinggi adalah pengolahan menjadi kitin dan kitosan.Kitin merupakan hasil

pengolahan kulit udang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka sangatlah

penting untuk mengolah kulit udang menjadi kitin. Kitin serta turunannya mempunyai

sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi.Kulit udang mengandung

protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, tetapi besarnya

kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udang dan tempat hidupnya

(Marganov, 2003).Kitin tidak larut dalam air sehingga penggunaannya terbatas. Namun

dengan modifikasi struktur kimianya maka akan diperoleh senyawa turunan kitin yang

mempunyai sifat kimia yang lebih baik (Marganov, 2003). Ekstrasi kitin dari limbah

cangkang udang menghasilkan rendemen sebesar 20%, sedangkan rendemen kitosan

dari kitin yang diperoleh adalah sekitar 80% (Prasetiyo, 2010).

6

Page 8: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

7

Kitin merupakan suatu polisakarida struktural yang mengandung nitrogen dan

bergabung dengan protein dan kalsium sebagai bahan dasar pembentuk kerangka luar

(eksoskeleton) hewan invertebrata seperti udang. Protein yang terdapat dalam limbah

udang sebagian nitrogennya adalah dari nitrogen kitin, tetapi kitin tidak bersifat toksik

atau racun (Muzzarelli, 1985). Cangkang kepala udang mengandung 20-30% senyawa

kitin, 21% protein dan 40-50% mineral. Kitin juga merupakan polisakarida terbesar

kedua setelah selulosa yang mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-

Glukosa) dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya

(Hargono et al., 2008). Kitin yang terkandung dalam Crustacea berada dalam kadar

yang cukup tinggi berkisar antara 20-60% dan tergantung dari spesiesnya. Kitin

termasuk polisakarida yang sangat sukar dilarutkan pada pH netral seperti air sehingga

pelarutan dilakukan dalam suasana asam atau basa.Kitin juga mudah mengalami

degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut air, asam anorganik encer dan asam-

asam organik tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Ornum,

1992).

Kitin yang terdapat di alam terdiri dari kristalin miofibril yang membentuk komponen

eksoskleton dari artropoda atau dinding sel fungi dan yeast. Pada hewan krustasea, kitin

ditemukan sebagai material berserat yang terikat pada 6 protein helix (Pillai et al.,

2009). Selain itu, kitin juga ditemukan pada dinding sel fungi berkisar 30 – 60%, kulit

kerang, paruh burung, dan tulang rawan (bagian tengah) cumi – cumi. Kitin berbentuk

padatan amorf atau kristal dengan panas spesifik 0,373 kal/g/oC, berwarna putih, dan

dapat terurai melalui proses kimiawi (asam kuat dan basa kuat) ataupun biologis

(biodegradable) terutama oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase

(Peter,1995). Alamsyah etal. (2007) mengatakan bahwa ekstraksi kitin dari limbah

udang dapat pula dilakukan secara biologis, yaitu melalui proses fermentasi dengan

menggunakan mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase.

Pengolahan secara kimiawi dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan sederhana.

Namun pengolahan tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu menimbulkan

kerusakan lingkungan akibat limbah kimia yang dihasilkan, terjadi korosif yang sangat

tinggi dan terjadinya depolimerisasi akibat pemotongan struktur molekul yang

Page 9: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

8

berlebihan oleh senyawa kimia yang digunakan pada protein, mineral dan

vitamin.Pengolahan secara biologis memiliki beberapa keuntungan yaitu menghasilkan

produk dengan kandungan zat makanan yang lebih baik serta ramah lingkungan.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produk limbah cair dari ekstraksi

kitin adalah cara tahapan prosesnya yaitu tahapan deproteinasi kemudian dilanjutkan

dengan demineralisasi dan kondisi proses dari setiap tahapan tersebut. Kondisi proses

bisa meliputi konsentrasi zat kimia atau mikroba, lama proses pengolahan, suhu dan pH.

Menurut Hirano (1989), kitosan merupakan suatu biopolimer dari D-glukosamin yang

dihasilkan dari proses deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Hali ini

didukung oleh teori dari Kofujiet al. (2005), bahwakitosan merupakan produk awal dari

proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat unik sehingga dapat digunakan dalam

berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan kitosan memiliki potensi industri yang cukup

besar. Kitosan juga merupakan produk alami yang tidak beracun dan polisakarida yang

tidak larut air sertamerupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi. Berat

molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi.

Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat

interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Tang et al., 2007).

Kitosan memiliki sifat polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali

dengan pH di atas 6,5. Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat,

asam asetat, dan asam sitrat dan tidak larut dalam air, larutan basa kuat serta sedikit

larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak

beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik serta mudah

berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Marganov (2003)

menambahkan, kitosan merupakan polimer alam yang dapat berikatan secara crosslink,

apabila ditambahkan crosslinked agent misalnya glutaraldehid, glioksial atau kation

Cu2+.Kitosan mempunyai sifat spesifik yaitu adanya sifat bioaktif, hidrofilik,

biokompatibel, pengkelat, antibakteri, dapat terbiodegradasi dan mempunyai afinitas

yang besar terhadap enzim (Cahyaningrum et al., 2007).

Page 10: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

9

Menurut jurnal “Production and characterization of chitosan from shrimp waste

(Hossain M.S., dan Iqbal A., 2014)” chitosan merupakan karbohidrat alami yang

berasal dari kitin dari berbagai sumber-sumber alam seperti krustasea, jamur,

serangga dan beberapa ganggang. Umumnya, cangkang darikrustacea yang dipilih

terdiri dari 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat dan kalsium fosfat, dan 20-

30% kitin. Chitosan ini berguna dalam berbagai aplikasi dalam berbagai industri

seperti obat-obatan, biokimia, bioteknologi, industri kosmetik, biomedis, kertas,

industri makanan dan tekstil dan lainnya.

Secara garis besar dalam pembuatan ekstraksi kitin tahapan yang diperlukan antara lain

adalah penggilingan, demineralisasi, deproteinase, pengeringan, dan pembubukan

(Purwaningsih, 1994). Sebelum dilakukan proses demineralisasi terlebih dahulu

dilakukan proses pembuatan serbuk kulit udang. Mula-mula diawali dengan mencuci

kulit udang dan mengeringkannya. Selanjutnya kulit udang dicuci dengan air panas

sebanyak dua kali dan dikeringkan kembali. Setelah itu kulit udang dihancurkan hingga

menjadi serbuk (40-60 mesh).Proses pembuatan serbuk ini berfungsi agar proses

deasetilasi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna, karena semakin luasnya

permukaan yang dapat diakses oleh larutan alkali (No dan Meyers, 1997). Pencucian

pertama dengan air mengalir dimaksudkan untuk menghilangkan benda-benda pengotor

yang terikut dalam limbah kulit udang. Sedangkan pencucian dengan air panas, adalah

salah satu tahap sterilisasi, agar mikoorganisme yang merugikan hilang dari limbah kulit

udang. Sedangkan pengeringan berfungsi untuk menghilangkan sisa-sisa air panas yang

masih menempel pada kulit udang sehingga kadar air pada kulit udang secara

keseluruhan akan berkurang dan menghasilkan produk kulit udang yang kering.

Menurut Tarafdar (2013) kulit dan kepala limbah udang mengandung kitin, protein dan

mineral. Sehingga dengan melakukan demineralisasi dan deproteinasi pada limbah

udang akan diperoleh kitin. Hal ini didukung oleh Arbia et al. (2012) bahwa ekstraksi

kitin melibatkan 2 langkah, demineralisasi dan deproteinasi yang dapat dilakukan

dengan dua metode yaitukimia ataubiologi. Metodekimiamemerlukan penggunaanasam

dan basa, sedangkan metodebiologimelibatkanmikroorganisme. Bahkan jikabakteri

asam laktatutama danspesies mikrobalainnyatermasuk bakteriproteolitik yang juga telah

Page 11: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

10

berhasil dikulturkan hasilnya akan sebaik kultur campuran yang melibatkan asam laktat

memproduksi bakteri dan mikroorganisme proteolitik. Asam laktat yang dihasilkan

memungkinkan kulit untuk terdemineralisasi, karena asam laktat bereaksi dengan

kalsium karbonat, komponen mineral utama, untuk membentuk kalsium laktat yang

mengendap. Beberapa bakteri asam laktat mengeluarkan enzim proteolitik dan

menyebabkan deproteinisasi dari kulit udang, kemudian mengarah kefraksi kitin yang

solid, serta minuman keras yang mengandung peptida yang larut dan asam amino bebas.

3.1. Demineralisasi

Selanjutnya limbah udang yang sudah menjadi serbuk kemudian masuk kedalam proses

demineralisasi. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan garam-garam

inorganik atau kandungan mineral yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat

(CaCO3). Terjadinya proses pemisahan mineral ini ditunjukkan dengan terbentuknya

gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel

(Laila & Hendri, 2008). Hal tersebut didukung oleh teori dari Azhar et al. (2010), pada

proses demineralisasi selain terbentuk gas CO2 juga terbentuk ion Ca+2 dan ion H2PO4-

yang terlarut dalam larutan. Reaksi yang terjadi adalah:

CaCO3(s) + 2HCl(aq) CaCl2(aq) + H2O + CO2(g)

Ca3(PO4)2(s) + 4 HCl(aq) 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2(aq)

Bagian cangkang umumnya mengandung banyak kalsium sehingga harus dihilangkan

terlebih dahulu. Pada proses demineralisasi, senyawa kalsium akan bereaksi dengan

asam klorida yang larut dalam air. Protein, lemak, posfor, magnesium dan besi juga

turut terbuang dalam proses ini (Bastaman,1989). Proses demineralisasi ini dilakukan

dengan cara melakukan serbuk yang sudah diayak kemudian ditambah HCl dengan

perbandingan pelarut dengan serbuk sebesar 10 : 1. Konsentrasi HCl yang ditambahkan

pada kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl

1,25N. Penggunaan HCl pada proses demineralisasi ini sudah sesuai dengan teori dari

Bastaman (1989) yang menyatakan bahwa ekstraksi kitin secara kimiawi dilakukan

melalui proses deproteinasi dengan menggunakan basa kuat, dan proses demineralisasi

dengan menggunakan senyawa asam, baik asam kuat atau asam lemah. Tujuan dari

Page 12: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

11

ditambahkannya asam adalah untuk memisahkan mineral dari kulit udang (30-50%) di

mana komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer

seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat. Diperkuat menurut jurnal

“Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture ofLactobacillus

plantarum (Khorrami, M, 2012)" pada esktraksi kitin dari bahan krutaceae

menggunakan asam kuat (HCl) untuk menghilangkan mineral dan protein.

Setelah itu larutan diaduk dan dipanaskan pada suhu 900C selama 1 jam diatas hotplate.

Tujuan dari proses pemanasan menurut Puspawati et al. (2010) adalah untuk

mempercepat proses perusakan mineral. Sedangkan tujuan dari pengadukan selama

pemanasan adalah untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang

dihasilkan di mana menurut Hendry (2008), terjadinya proses pemisahan mineral

ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan

HCl ditambahkan ke dalam sampel. Kemudian residu berupa padatan dicuci dengan air

mengalir sampai pH netral, lalu dikeringkan suhu 800C selama 24 jam. Tujuan

pencucian dengan air hingga pH netral adalah untuk menaikkan asam menjadi normal.

Pengujian pH perlu dilakukanuntuk mengetahui apakah larutan kitin sudah mencapai

pH netral atau belum. Pada praktikum ini, pengujian pH dilakukan dengan

menggunakan kertas pH meter.pH meter merupakan alat untuk mengukur kadar asam

dan basa dalam suatu cairan. Sedangkan pengeringan dilakukan untuk menguapkan air

yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk kitin akhir nantinya

adalah berbentuk kering.

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1. diketahui bahwa hasil rendemen kitin pada

proses demineralisasi tertinggi ada pada rendemen kitin I terbesar dihasilkan oleh

kelompok C2, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C1 dan C5. Hasil ini tidak

sesuai dengan pendapat Laila & Hendri (2008), bahwa semakin besar konsentrasi HCl

yang diberikan maka rendemen kitin yang dihasilkan semakin besar, karena senyawa-

senyawa mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan. Sedangkan menurut

Lehninger (1975) nilai rendemen yang tinggi juga disebabkan karena adanya perlakuan

pemanasan setelah penambahan HCl dan ditambah dengan proses pengadukan karena

dengan adanya pengadukan dapat membantu meratakan panas sehingga dapat

Page 13: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

12

meningkatkan jumlah rendemen kitin. Dari hasil percobaan ini diketahui bahwa pelarut

terbaik yang dapat menghasilkan rendemen tertinggi adalah HCl 0,75 N, hal ini tidak

sesuai dengan pendapat Ramadhan et al. (2010) yang menyatakan bahwa pelarut yang

baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1 N.

Menurut Laila & Hendi (2008) dan Lehninger (1975), seharusnya rendemen kitin I yang

terbesar diperoleh pada kelompok C5 (HCl 1,25 N). Salah satu faktornya yaitu karena

penggunaan asam dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Menurut Knorr (1984),

apabila digunakan konsentrasi asam terlalu tinggi dan waktu perendaman yang lebih

lama, akan menyebabkan kitin terdegradasi. Pada konsentrasi tinggi reaksi berjalan

terlalu cepat sehingga asam klorida bereaksi dengan protein sedangkan komponen

mineralnya belum terlepas secara sempurna.Selain itu, juga dapat disebabkan karena

pada saat tahap pencucian, beberapa komponen juga ikut terbuang sehingga nilai

rendemen kitin menjadi berkurang. Kesalahan lain yang muncul mungkin disebabkan

karena pada saat penimbangan berat basah masih terdapat kandungan air yang cukup

banyak, sehingga berat basah menjadi sangat tinggi dan menghasilkan berat rendemen

yang kecil. Selain itu mungkin juga dapat disebabkan karena proses pengadukan yang

kurang optimal, sehingga saat pencucian hingga pH netral perlu dilakukan hingga

berulang kali. Hal inilah yang dapat menyebabkan serbuk menyerap terlalu banyak air

dan menyebabkan berat basah menjadi sangat tinggi.

3.2. Deproteinasi

Hasil dari proses demineralisasi yang berupa tepung kemudian ditambah dengan NaOH

3,5% dengan perbandingan pelarut dan serbuk (6:1) untuk setiap kelompok. Menurut

Lehninger (1975), deproteinasi merupakan suatu proses yang bertujuan untuk

menghilangkan atau melarutkan protein semaksimal mungkin dari substrat, biasa

dilakukan dengan menggunakan larutan kimia yang bersifat basa. Menurut Suharto

(1984) penambahan NaOH 3,5% merupakan alkali paling efektif yang mampu

memperbesar volume partikel bahan, sehingga ikatan antar komponen menjadi

renggang, dan mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin, sehingga kitin akan

mengalami deasetilasi dan berubah menjadi kitosan yang menyebabkan kadar kitin

berkurang. Kemudian larutan tersebut diaduk dan dipanaskan selama 1 jam pada suhu

Page 14: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

13

70ºC diatas hotplate. Pemanasan bertujuan untuk mendenaturasi protein sehingga

protein dapat lebih mudah dipisahkan. Hal ini sesuai dengan teori Ramadhan et al.,

(2010) yang berpendapat bahwa pada proses deproteinasi juga dilakukan pemanasan

dan pengadukan di mana hal ini bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH, sehingga

hasil kitin yang didapatkan lebih optimal. Kemudian larutan tersebut disaring dan

didinginkan. Proses penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan padatan yang masih

tersisa dalam tepung tersebut. Menurut Rogers (1986), tujuan pendinginan selama 30

menit adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap dibawah, sehingga tidak terbuang

saat pencucian.

Residu yang didapat kemudian dicuci dengan air mengalir hingga pH netral. Tujuan

pencucian dengan air adalah menurunkan basa menjadi normal. Proses pencucian secara

bertahap (hingga pH-nya netral dalam praktikum ini) juga dapat mempengaruhi sifat

penggembungan kitin dengan alkali oleh karena itu efektivitas proses hidrolisis basa

terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin baik. Sehingga dapat dikatakan

bahwa proses pencucian akan menghasilkan kitin yang baik. Setelah dicuci, padatan

kitin kemudian dikeringkan kembali dalam oven 80ºC selama 24 jam yang bertujuan

untuk menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk

kitin akhir adalah berbentuk kering. Secara garis besar cara kerja yang dilakukan dalam

praktikum kitin ini sama dengan cara kerja dari Rochima E(2005) dimana dikatakan

bahwa setelah melalui proses demineralisasi dan sudah dikeringkan, maka dilakukan

proses penghilangan protein (deproteinasi) dengan penambahan larutan NaOH 3,5%

rasio 1:10, lalu dipanaskan pada 90oC selama satu jam.

Dari hasil pengamatan yang didapatkan, rendemen kitin II yang terbesar dihasilkan oleh

kelompok C4, dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C1.Menurut Rochima

E(2005), rendemen dari proses deproteinasi ini berkisar sebesar 32%. Hal ini sudah

sesuai dengan hasil percobaan pada kelompok C1 sampai C5.Menurut Winarno (1997),

pemanasan dalam waktu yang cukup lama juga dapat menyebabkan denaturasi protein

sehingga protein terlarut dapat berkurang, begitu pula sebaliknya, waktu pemanasan

yang lebih singkat menghasilkan kandungan protein terlarut yang rendah karena protein

belum terlarut secara menyeluruh. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas

Page 15: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

14

produk cair dari ekstraksi kitin adalah tahapan proses, yaitu tahapan deproteinasi-

demineralisasi atau sebaliknya, dan kondisi proses dari setiap tahapan tersebut. Kondisi

proses antara lain: lama proses pengolahan, suhu, konsentrasi zat kimia dan pH (Laila &

Hendri, 2008).

3.3. Deasetilasi

Dalam proses pembuatan kitosan, perlakuan lanjutan setelah tahap deproteinasi selesai

dilakukan, yaitu proses diasetilasi. Dalam proses diasetilasi ini, pada kitin ditambahkan

NaOH dengan konsentrasi 40% (kelompok C1 dan C2), 50% (kelompok C3 dan C4)

dan 60% (kelompok C5) dengan perbandingan 20:1 untuk NaOH : kitin. Enzim dari

kitin yang beraktivitas pada proses ini adalah enzim kitin diacetilase. Penambahan

larutan NaOH ini dilakukan pada kitin yang telah berbentuk tepung dengan tujuan agar

proses deasetilasi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna, karena semakin luasnya

permukaan yang dapat diakses oleh larutan alkali (No dan Meyers, 1997).Penggunaan

konsentrasi NaOH yang lebih besar daripada 40% ini juga memiliki tujuan sendiri, yaitu

untuk memutuskan ikatan antar gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin yang

memiliki struktur kristal tebal dan panjang. Tingginya konsentrasi NaOH menyebabkan

gugus fungsional amino (-NH3+) yang mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem

larutan semakin aktif sehingga proses deasetilasi semakin baik (Angka dan Suhartono,

2000).

Kemudian campuran dipanaskan dan diaduk selama 1 jam diatas hotplate. Menurut

Martinou et al. (1995) perendaman dalam larutan NaOH bertujuan untuk mengubah

konformasi kristalin kitin yang rapat sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk

mendeasetilasi polimer kitin.Ditambahkan menurut jurnal “Chitin and Chitosan

Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications (Younes I,

2015) dalam industri pengolahan, kitin diekstrak dengan asam menghilangkan kalsium

karbonat yang ditambah alkali untuk melarutkan protein. Selain itu, langkah

penjernihan sering ditambahkan untuk menghapus pigmen dan mendapatkan kitin

murni tidak berwarna.

Page 16: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

15

Menurut Johnson (1982), suhu dan lama perendaman NaOH berpengaruh terhadap

pemecahan rantai molekul kitin. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 150oC)

menyebabkan pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan

sehingga menurunkan berat molekul kitosan. Sedangkan pada suhu di bawah 100oC,

pemutusan gugus asetil tidak berlangsung sempurna dan membutuhkan waktu lebih

lama. Proses pemanasan ini bertujuan agar gugus asetil pada kitin hilang. Proses

pengadukan berfungsi untuk menghomogenkan antara kitin dengan larutan NaOH yang

ditambahkan sebelumnya (Fachruddin, 1997).

Setelah pemanasan selama 1 jam, kemudian didinginkan selama 30 menit. Menurut

Rogers (1986), tujuan pendinginan selama 30 menit adalah agar bubuk kitosan pada

larutan dapat mengendap di bawah, sehingga tidak terbuang saat pencucian. Lalu residu

tersebut disaring dan dicuci dengan air mengalir sampai pH netral. Penyaringan sendiri

berfungsi untuk memisahkan padatan yang masih tersisa.Kemudian pencucian hingga

pH netral ini berfungsi agar larutan NaOH yang masih terkandung dalam kitosan

tersebut dapat hilang.Karena pada saat masih dalam bentuk kitin dilakukan pelarutan

menggunakan basa agar kitin dapat larut (Bartnicki-Garcia, 1989).Selanjutnya proses

pengeringan di oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Pengeringan ini bertujuan agar air

yang masih terdapat dalam kitosan tersebut dapat teruapkan semua.Jika air dapat

teruapkan semua, maka bisa didapatkan serbuk yang kering.

Pada hasil pengamatan deasetilasi didapatkan nilai rendemen kitosan dengan

menggunakan NaOH 40%, 50% dan 60%, diketahui untuk rendemen kitosan III yang

terbesar dihasilkan oleh kelompok C2 dan yang terendah dihasilkan oleh kelompok C5.

Menurut Hong et al. (1989) yang menyatakan bahwa penggunaan NaOH yang semakin

tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan yang semakin rendah. Konsentrasi NaOH

yang tinggi akan menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan yang

akhirnya akan menyebabkan penurunan berat molekul kitosan. Hasil yang didapatkan

sesuai dengan teori tersebut, karena rendemen kitosan terkecil ada pada kelompok C5

yang menggunakan konsentrasi NaOH paling besar 60% dengan hasil rendemen yaitu

11%.Tetapi untuk kelompok C1 didapat hasil rendemen kitosan yang cukup tinggi

melebihi kelompok C5 yaitu sebesar 27,43 untuk konsentrasi NaOH 40%.

Page 17: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

16

Ketidaksesuain teori dengan hasil pengamatan mungkin dapat disebabkan karena proses

pengadukan yang kurang, sehingga tidak ada peningkatan suhu dan menyebabkan

derajat deasetilasi akan menurun meskipun konsentrasi penggunaan konsentrasi NaOH

sama pada tiap kelompok. Selain itu, juga dapat disebabkan karena pada saat tahap

pencucian, beberapa komponen juga ikut terbuang sehingga nilai rendemen kitin

menjadi berkurang atau juga karena pada proses pendinginan terjadi dalam waktu yang

singkat sehingga pengendapan kitin belum terjadi dengan maksimal yang

mengakibatkan kitin mudah mudah terbuang saat pencucian.Dengan adanya kitosan

yang ikut terbuang ini, maka nilai rendemen yang dihasilkan juga akan semakin

menurun. Suhu pemanasan yang tinggi juga akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil

(CH3CHO-) dari molekul kitin.

Adanya proses pengadukan dapat menyebabkan tingginya suhu reaksi, maka derajat

deasetalasi kitosan juga meningkat. Derajat deasetilasi kitosan ditentukan oleh beberapa

faktor, yaitu konsentrasi NaOH, suhu dan lama proses deasetilasinya. Perbedaan hasil

yang diperoleh dengan pustaka dapat disebabkan karena proses pengadukan yang

berlebih sehingga meningkatkan suhu, dan menyebabkan derajat deasetilasi akan

meningkat meskipun konsentrasi penggunaan NaOH lebih kecil daripada kelompok

lainnya (Puspawati & Simpen,2010). Berdasarkan penelitian oleh Khorrami et al.

(2012) Asam laktat dan protease yang dihasilkan ini digunakan untuk ekstraksi kitin

secara biologis dari kulit udang.L. plantarum ini ditumbuhkan dalam batch kultur yang

mengandung serbuk cangkang udang dan sirup yang diinkubasi pada suhu 30oC. Asam-

asam organik yang dihasilkan dan protease pada L. plantarum mampu dip roses secara

demineralisasi dan deproteinasi. Persentase deproteinase dan demineralisasi adalah 45

dan 54. Kitin kemudian dikonversi menjadi kitosan dengan N-deasetilasi dengan

menggunakan larutan NaOH.Persentase deasetilasi berdasarkan spectrum FTIR adalah

83%.

Kitin juga dapat dideasetilasi untuk mendapatkan kitosan yang memiliki nilai ekonomis

yang tinggi pada senyawa kimianya. Pada dasarnya kitin dapat digunakan pada berbagai

macam aplikasi, seperti yang dikatakan oleh Aranaz et al. (2009) secara umum kitin

memiliki sangat sedikit karakteristik polimer, sehingga sangat sulit untuk

Page 18: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

17

membandingkan hasilnya dan mengembangkan hubungan antara karakteristik fisiologi

dari kitin dan kitosan. Kitin dapat digunakan untuk mengurangi kandungan logam,

pengolahan limbah, agent pengemulsi, pengawet dan lain sebagainya.Dutta et al. (2004)

mengatakan bahwa dalam penggunaannya, kitin dan kitosan cukup serbaguna dan

sebagai penghasil biomaterial. Senyawa turunan dari proses deasetilasi kitin dan

kitosan sangat berguna dan dapat dijadikan senyawa bioaktif polimer. Menurut jurnal

“Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR,

Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application

(Krishnaveni B., dan Ragunathan, R. 2015)” kitosan dapat menjadi antibakteri dan

antijamur. Kitin dan kitosan juga memiliki asam amino yang memungkinkan terjadinya

modifikasi senyawa kimia.

Page 19: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

3. KESIMPULAN

Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang mempunyai

rumus kimia poli(2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) dengan ikatan β-glikosidik

(1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya.

Kulit udang mengandung protein 25- 40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin

15-20%.

Kitosan merupakan suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari

proses deasetilasi kitindengan menggunakan alkali kuat, rumus kimianya poli(2-

amino-2-dioksi-β-D-Glukosa),

Proses pembuatan kitin dan kitosan dalam praktikum ini meliputi tiga proses

penting, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.

Proses pembuatan serbuk kulit udang berfungsi agar proses deasetilasi dapat

berlangsung lebih cepat dan sempurna, karena semakin luasnya permukaan yang

dapat diakses oleh larutan alkali.

Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral

yang biasanya banyak terdapat pada bagian kulit dari udang.

HCl digunakan untuk menghilangkan kandungan mineral yang ada.

Pengadukan berfungsi agar tepung udang tersebut dapat benar-benar bercampur

dengan larutan HCl secara homogen.

Proses pemanasan yang dilakukan dalam demineralisasi berfungsi untuk

menguapkan semua gas CO2sehingga tidak terbentuk busa.

Pencucian pada demineralisasi hingga pH netral berfungsi untuk menghilang

mineral yang masih tersisa sedikit pada tepung udang.

Proses deproteinase bertujuan untuk menghilangkan kandungan protein yang

terdapat dalam kulit udang tersebut.

Perendaman dalam larutan NaOH bertujuan untuk mengubah konformasi

kristalin kitin yang rapat sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk

mendeasetilasi polimer kitin.

Proses pemanasan pada deproteinasi bertujuan untuk mendenaturasikan protein.

Pencucian hingga pH netral pada deproteinasi berfungsi untuk mencegah agar

kitin tidak ikut teruapkan pada proses pengeringan pada oven.

18

Page 20: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

19

Proses deasetilasi ini adalah proses yang dilakukan untuk membuat kitosan,

dengan bahan baku kitin.

Penggunaan NaOH bertujuan agar konformasi kristalin kitin yang rapat dapat

diubah sehingga enzim lebih mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer

kitin.

Proses pengadukan pada deaseteliasi berfungsi untuk menghomogenkan antara

kitin dengan larutan NaOH yang ditambahkan.

Proses pendiaman dimaksudkan agar padatan dapat mengendap dibagian dasar.

Derajat deasetilasi kitosan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi

NaOH, suhu dan lama proses deasetilasinya.

Semarang, 22 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Vicky Widia Yusrina Tjan, Ivana Chandra

13.70.0146

Page 21: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

4. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Kitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

Aranaz, Imaculada., Marian Mengibar, Ruth Harris, Ines Panos, Beatriz Miralles, Niuris Acosta, Gemma Galed and Angeles Heras. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology, 3, 203-230.

Arbia, Wassila., Leila Arbia, Lydia Adour and Abdeltif Amrane. (2012). Crustacean Shells by Biological Methoda- A Review.

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.

Bartnicki-Garcia, S. 1989. The biological cytology of chitin and chitosan synthesis in fungi. Di Dalam G. Skjak-Braek, T. Anthonsen, P. Sandford (ed.). Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Application. Elsevier, London.

Bastaman, S. (1989).Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast.143 p.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius.Yogyakarta.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta and V S Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific & Industrial Research Vol. 63, pp 20-31.

Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.

Hendry, Jhon, 2008, Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk

20

Page 22: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

21

Pembuatan Polimer Kitin danDeasetilasihttp://www.fmipa.unila.ac.id/prosiding2 008., 30 April 2009.

Hirano.(1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Hossain M.S., dan Iqbal A. (2014). Production and characterization of chitosan from shrimp waste. Department of Food Technology & Rural Industries, Bangladesh Agricultural University, Mymensingh-2202,Bangladesh.

Johnson EL. Dan QP. Peniston. 1982. Utilization of shellfish wastes for production of chitin and chitosan. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Product.The AVI. Connecticut.

Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi and M. N. Hosseinpour.(2012). Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217-223.

Knorr, D. (1984). Use ofChitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85.

Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. (2005). Preparation of chitosan microparticles by water-in-vegetable oil emulsion coalescence technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65: 77-83.

Krishnaveni B., dan Ragunathan, R. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application. Department of Biotechnology, Maharaja Co-education Arts and Science College, Perundurai, Erode, India.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Marganov.(2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan.Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means: Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.

Muzzarelli, R.A.A..(1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego.

No H.K dan S.P. Meyers. 1997. Preparation of chitin and chitosan. Di Dalam R.A.A.

Page 23: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

22

Ornum JV. (1992). Shrimp waste must it be wasted? Infofish (6)92.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince 34, 641-678.

Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen.(2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH.Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90. 

Prasetiyo WK. (2010). Pembuatan kitin, bisnis masa depan. http://www.biomaterial.lipi.go.id/?p=154. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.

Ramadhan, L.O.A.N.; C.L. Radiman; dan D. Wahyuningrum.(2010). Deasetilasi Kitin secara Bertaha dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1) 2010 h. 17-21.

Rochima E. 2005. Aplikasi kitin deasetilase termostabil dari Bacillus papandayan K29-14 asal Kawah Kamojang Jawa Barat pada pembuatan kitosan.Tesis.Fateta.IPB.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Rumengan, I.F.M, (2014). dalam jurnal“Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis.Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sam Ratulangi University, Manado, Indonesia.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tang ZX, Shi L, Qian J. (2007). Neutral Lipase from Aqueous Solutions on Chitosan nano particles. Journal Biochemical Engineering 34: 217-223.

Tarafdar, Abhrajyoti and Gargi Biswas.(2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. ISSN: 2319-3182, volume-2, Issue 3.

Winarno,F.G., (1997), ”Kimia Pangan dan Gizi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 24: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

23

Younes I, dan Rinaudo, M. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications. Laboratory of Enzyme Engineering and Microbiology, University of Sfax, National School of Engineering, PO Box 1173-3038

Page 25: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

24

5. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Perhitungan Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkering

beratbasa h I× 100 %

Rendemen Chitin II = beratkitin

beratbasa h II×100 %

Rendemen Chitosan = beratkitosan

beratbasa h III×100 %

Kelompok C 1

Rendemen Chitin I = 3,5

14,5×100 %

= 23,45 %

Rendemen Chitin II = 1,55,0

×100 %

= 30,00 %

Rendemen Chitosan = 0,963,5

× 100 %

= 27,43 %

Kelompok C 2

Rendemen Chitin I = 4,5

11,9× 100 %

= 37,82 %

Rendemen Chitin II = 2,25

×100 %

= 44 %

Rendemen Chitosan = 1,574,2

× 100 %

= 27,38 %

Kelompok C3

Rendemen Chitin I = 4,5

10,8×100 %

= 41,67 %

Rendemen Chitin II = 3

5,5×100 %

= 54,55 %

Page 26: Chitin Chitosan (Vicky Widia Yusrina 13.70.0146)

25

Rendemen Chitosan = 1,193,7

×100 %

= 32,16 %

Kelompok C4

Rendemen Chitin I = 4

10×100 %

=40,00 %

Rendemen Chitin II = 3,56

×100 %

= 58,3 %

Rendemen Chitosan = 1,415,8

×100 %

= 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I = 2,511,8

× 100 %

= 21,19 %

Rendemen Chitin II = 2,56,2

×100 %

= 40,32 %

Rendemen Chitosan = 0,181,6

× 100 %

= 11,25 %

5.2. Laporan Sementara

5.3. Diagram Alir

5.4. Abstrak Jurnal