Chitin & Chitosan_Raynaldi Sugih_13.70.0051_B3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Chitin Chitosan_Aninditya Intan P_13.70.0184_C4_Unika Soegijapranata
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
description
Transcript of Chitin Chitosan_Aninditya Intan P_13.70.0184_C4_Unika Soegijapranata
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Aninditya Intan Pertiwi
13.70.0184
Kelompok C4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan
gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCL 0,75 N; 1
N; dan 1,25 N; NaOH 3,5%; NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2. Meode
Demineralisasi
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok C1 dan C2 menggunakan
HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan
pengadukan.
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-
60 mesh.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
2
Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
3
Deasetilasi
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2,
NaOH 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan NaOH 60% untuk kelompok C5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
4
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43
C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 37,82 44,00 27,38
C3 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5% 41,67 54,55 32,16
C4 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5% 40,00 58,30 24,30
C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa pada rendemen kitin I, hasil tertinggi didapatkan
oleh kelompok C3 dengan nilai sebesar 41,67%. Sedangkan nilai terendah oleh kelompok
C1 dengan nilai sebesar 23,45%. Pada rendemen kitin II, , hasil tertinggi didapatkan oleh
kelompok C4 dengan nilai sebesar 58,30%. Sedangkan nilai terendah oleh kelompok C1
dengan nilai sebesar 30,00%. Pada rendemen kitosan, , hasil tertinggi didapatkan oleh
kelompok C3 dengan nilai sebesar 32,16%. Sedangkan nilai terendah oleh kelompok C5
dengan nilai sebesar 11,25%.
6
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut ini dilakukan pengolahan kulit udang sebagai sumber
kitin dan kitosan. Kitin dan kitosan bisa diperoleh dari limbah udang. Wilayah perairan
Indonesia merupakan sumber cangkang hewan invertebrata laut berkulit keras (crustacea)
yang mengandung kitin secara berlimpah. Kulit udang mengandung protein 25-40%,
kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya kandungan komponen
tersebut tergantung dari jenis udang dan tempat hidupnya. Kulit udang merupakan sumber
potensial pembuatan kitin dan kitosan, yaitu biopolimer yang secara komersil berpotensi
dalam berbagai bidang industri (Marganov, 2003). Menurut Suhardi (1992), kitin
merupakan senyawa yang tidak berdiri sendiri di alam, tetapi akan bergabung dengan
senyawa lain. Pada crustacea, kitin bergabung dengan protein, garam anorganik (CaCO3),
dan pigmen. Kandungan kitin yang paling tinggi didapatkan dari cangkang udang “windu”
yang mengandung kitin sebesar 99,1% (Prasetiyo, 2006).
Kitin merupakan kelompok polisakarida yang paling melimpah di alam setelah selulosa.
Kitin terdapat di dalam komponen struktural eksoskeleton dari serangga dan crustacean
serta terdapat di dalam dinding sel ragi dan jamur (30-60%). Salah satu manfaat kitin antara
lain sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti papain, lactase, kimotripsin, asam
fosfatase, dan glukosa isomerase. Penggunaan kitin yang paling besar adalah pada industri
pangan dan kosmetik (Peter, 1995). Sayangnya, kitin sulit larut dengan air sehingga
penggunaannya menjadi terbatas. Sekarang masalah ini sudah dapat diatasi dengan cara
memodifikasi kimiawi sehingga didapatkan turunan kitin yang memiliki sifat kimia lebih
baik. Salah satu dari turunan tersebut adalah kitosan yang memiliki sifat larut dalam asam
serta viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Kitosan kering tidak memiliki titik lebur. Bila disimpan dalam jangka waktu yang relatif
lama (sekitar 100oF), sifat kelarutan dan viskositasnya akan berubah. Jika kitosan tersebut
disimpan lama dalam keadaan terbuka, yaitu mengalami kontak dengan udara dapat
menyebabkan terjadinya dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan, dan viskositasnya
menjadi berkurang (Wardaniati & Setyaningsih, 2003). Selain itu, menurut Dunn et al.
(1997), kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti asam asetat, asam format, asam
7
sitrat. Kitosan yang telah disubstitusikan dapat larut dengan air. Adanya gugus karboksil
pada asam asetat dapat mempermudah pelarutan kitosan, karena terjadinya interaksi
hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan.
Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling
berikatan dengan ikatan β (1,4) (Muzzarelli, 1985). Kitosan merupakan produk turunan dari
kitin. Kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi-β-D-
Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat.
Kitosan berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktul kristal tetap dari bentuk
awal kitin murni. Rantai dari kitosan lebih pendek daripada rantai kitin (Wardaniati &
Setyaningsih, 2003). Menurut Robert (1992), bentuk dari kitosan mirip dengan selulosa,
perbedaannya hanya pada gugus hidroksi C-2nya, dimana gugus tersebut digantikan dengan
gugus amino (NH2). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena mengandung gugus
amino yang memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa
lain. Sifat ini menyebabkan kitosan menjadi unik, karena polisakarida lainnya memiliki
muatan netral. Kitosan merupakan kopolimer dari N-asetil glukosamin, dimana terbentuk
secara alami dalam dinding sel beberapa fungi dan insecta. Kitosan dapat diperoleh dari
kitin yang mengalami deasetilasi dengan larutan basa 40-50% pada suhu 120-160oC.
Kitosan memiliki beberapa kelebihan sebagai biomaterial, antara lain mudah terdegradasi,
kompatibel, tidak beracun, dan antithromboganic (Radhakumary et al., 2005). Berikut
merupakan gambar dari struktur kitin dan kitosan.
8
Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)
Menurut Abun et al. (2007), kitin di dalam tubuh organisme terdapat dalam tiga bentuk
kristal dan dibedakan atas susunan rantai molekul yang membangun kristalnya, yaitu α-
kitin yang merupakan rantai antipararel, β-kitin berupa rantai pararel), dan γ-kitin yang
berupa rantai campuran. Kitosan memiliki sifat polikationik, sehingga kitosan dapat
berfungsi sebagai agen penggumpal dalam penanganan limbah, terutama yang mengandung
protein (Subianto, 2001 dalam Hartati et al., 2002). Menurut Cahyaningrum et al. (2007),
kitosan dapat berikatan secara crosslink apabila ditambahkan crosslinked agent sepertui
glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+
. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin
dan kitosan serta turunannya di industri pangan, pemrosesan makanan, bioteknologi,
pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley, et al, 1977).
Gambar 2. Struktur Kimia Kitin (Abun et al., 2007).
Gambar 3. Struktur Kimia Kitosan (Muzzarelli, 1995).
Kitin dapat digunakan untuk produksi bioplastik. Sifat unik dari kitin dan kitosan adalah
kemampuan pembentukan polyixysalt, membentuk film, berfungsi sebagai pengkelat
dengan ion logam, dan memiliki struktur optik. Parameter utama yang mempengaruhi
karakteristik kitosan adalah berat molekul dan derajat deasetilasi yang akan mempengaruhi
sifat kelarutan, reologi, dan fisik. Selain itu menurut jurnal yang dituliskan oleh Alvarenga,
et al. (2010), kelarutan kitosan dipengaruhi oleh jumlah gugus amino yang terproteinasi
dalam rantai polimer, sehingga menjadi glukosamin terasetilasi dan glukosamin non-
asetilasi.
9
Proses ekstraksi kitin pada praktikum ini dilakukan dengan bahan dasar limbah kulit udang
yang sudah dipisahkan dari kepalanya. Limbah kulit udang yang digunakan dalam
praktikum ini tidak berasal dari tempat yang sama, sehingga jenis, warna, dan ukurannya
berbeda-beda. Limbah kulit udang harus mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi
sehingga bisa didapatkan kitin yang diinginkan. Setelah itu, kitin tersebut melalui proses
deasetilasi sehingga dapat diperoleh kitosan.
1.1. Pembuatan Kitin
1.1.1. Demineralisasi
Tahap awal sebelum dilakukan proses demineralisasi adalah proses persiapan sampel.
Pertama-tama, limbah kulit udang dicuci terlebih dahulu menggunakan air mengalir.
Menurut Bastaman (1989), pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang
masih menempel dan dapat mencemari ekstraksi kitin. Setelah dicuci air mengalir, kulit
tersebut dicuci menggunakan air panas sebanyak dua kali. Pencucian dengan air panas
berfungsi sebagai tahap sterilisasi sehingga mikroorganisme merugikan yang ada pada kulit
udang dapat dihilangkan. Setelah pencucian, selanjutnya kulit udang tersebut dikeringkan
menggunakan dehumidifier pada suhu 80oC selama 24 jam. Proses ini bertujuan agar air
panas yang masih terikut pada kulit udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air pada kulit
udang tersebut dapat berkurang dan menghasilkan produk kulit udang yang kering. Kulit
udang yang sudah dikeringkan tersebut selanjutnya dihancurkan dengan food processor.
Proses penghancuran ini bertujuan untuk memperluas permukaan bahan sehingga pelarut
yang digunakan dapat melakukan kontak dengan serbuk secara maksimal. Langkah yang
dilakukan dalam praktikum ini sesuai dengan teori Prasetyo (2006) yang mengatakan jika
pada tahap demineralisasi awal dilakukan pencucian limbah cangkang udang dengan air
mengalir dan dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering, kemudian dicudi dengan
air panas sebanyak dua kali lalu direbus selama 10 menit. Kulit udang tersebut selanjutnya
ditiriskan dan dikeringkan. Bahan yang sudah dikering kemudian digiling sehingga
menghasilkan serbuk ukuran 40-60 mesh. Dalam praktikum ini, proses pengeringan hanya
dilakukan satu kali, yaitu dengan menggunakan dehumidifier. Selain itu kulit udang
tersebut juga tidak mengalami perebusan, namun hanya dicuci menggunakan air panas.
10
Setelah itu, serbuk kulit udang tersebut diambil sebanyak 10 gram dan diberikan
penambahan HCl dengan perbandingan kitin:pelarut adalah 1:10. Konsentrasi HCl yang
ditambahkan oleh setiap kelompok berbeda-beda. Pada kelompok B1 dan B2 diberikan
penambahan HCl 0,75 N; kelompok B3 dan B4 dengan HCl 1 N, dan kelompok B5 dengan
penambahan HCl 1,25 N. Proses penambahan HCl ini bertujuan untuk melarutkan
komponen mineral pada kulit udang. Menurut Bastaman (1989), kulit udang mengandung
mineral sebanyak 30-50% dari berat keringnya. Mineral utama yang ada pada kulit udang
adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Sebelum dilakukan proses ekstraksi kitin,
mineral yang ada pada kulit udang harus dipisahkan terlebih dahulu. Komponen mineral
dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti HCl, H2SO4, atau asam laktat.
Mudasir (2008) menambahkan jika Ca3(PO4)2 dan CaCO3 adalah mineral yang paling
banyak ditemukan dalam kitin yang kasar (impurities chitin). Penambahan HCl akan
menyebabkan kerusakan pada permukaan biopolimer kitin dengan reaksi berikut ini:
HCl (aq) H+(aq) + Cl
-(aq)
H+(aq) + H2O H3O
+(aq)
Ca3(PO4)2 (s) + 2 H3O+
(aq) 3 Ca2+
(aq) + 2 H3PO4 (aq) + O2 (g)
CaCO3 (s) + 2 H3O+
(aq) Ca2+
(aq) + CO2 (g) + 3 H2O(l)
Setelah penambahan HCl, selanjutnya kitin tersebut dipanaskan menggunakan suhu 90oC
sambil diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses
perusakan mineral.
Proses pengadukan yang dilakukan bertujuan untuk menghindari meluapnya gelembung-
gelembung udara yang dihasilkan karena proses pemisahan mineral selama proses
demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Hendy (2008) menambahkan jika terjadinya proses
pemisahan mineral akan ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung
udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Reaksi yang terjadi pada proses
ini adalah
11
CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).
Kitin tersebut selanjutnya dicuci dengan air sehingga pHnya menjadi netral. Pengujian pH
pada praktikum ini dilakukan menggunakan kertas pH meter. Setelah mencapai pH netral,
yaitu 7, larutan tersebut dikeringkan menggunakan dehumidifier selama 24 jam.
Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan garam-garam anorganik atau
kandungan mineral yang ada pada kitin, terutama kalsium karbonat (CaCO3) (Hargono &
Haryani, 2004). Proses demineralisasi akan menyebabkan kalsium karbonat beraksi dengan
asam klorida dan membentuk kalsium klorida, asam karbonat, dan asam fosfat yang larut
dalam air. Residu yang tidak larut air merupakan senyawa kitin (Bastaman, 1989). Mineral
yang ada pada kitin akan ikut larut dengan air, sehingga dalam proses menetralkan pH kitin
perlu dilakukan penyaringan dengan air sehingga residu yang tersisa hanya kitin saja.
Dari hasil pengamatan, rendemen kitin I, hasil tertinggi didapatkan oleh kelompok C3
dengan nilai sebesar 41,67%. Sedangkan nilai terendah oleh kelompok C1 dengan nilai
sebesar 23,45%. Menurut Johnson dan Peterson (1974), penambahan asam atau basa
dengan dosis atau konsentrasi yang lebih tinggi disertai dengan proses atau waktu yang
lebih panjang dapat melepaskan atau meregangkan ikatan protein dan mineral dengan kitin
serta bahan organik lainnya pada kulit udang. Laila & Hendri (2008) menambahkan jika
semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang dihasilkan
juga akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa mineral dalam
serbuk udang semakin mudah dilepaskan. Berdasarkan teori tersebut seharusnya
penambahan HCl dengan konsentrasi yang lebih besar akan meningkatkan rendemen kitin I
yang dihasilkan. Hasil pengamatan pada praktikum ini kurang sesuai dengan teori. Nilai
rendemen pada kelompok 5 jauh lebih besar dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini dapat
disebabkan karena adanya perlakuan pemanasan setelah penambahan HCl dan ditambah
dengan proses pengadukan. Menurut Lehninger (1975), nilai rendemen tinggi disebabkan
karena adanya perlakuan pemanasan setelah penambahan HCl disertai proses pengadukan.
Proses ini akan membantu pelepasan mineral dalam kitin dan meningkatkan jumlah
12
rendemen yang dihasilkan. Ketidaksesuaian teori dengan hasil pengamatan dapat juga
disebabkan karena pada proses penetralan, ada kitin yang terbawa dengan air sehingga nilai
rendemennya menurun. Menurut Ramadhan et al. (2010), pelarut yang paling baik
digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
1.1.2. Deproteinasi
Setelah dilakukan proses demineralisasi, selanjutnya kitin tersebut diberikan perlakuan
deproteinasi. Pertama-tama, tepung yang sudah mengalami demineralisasi dicampur dengan
NaOH 3,5% dengan perbandingan kitin:NaOH adalah 1:6. Larutan tersebut selanjutnya
diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Menurut Puspawati et
al. (2010), penambahan basa NaOH pada proses ini bertujuan untuk menghilangkan
protein. Proses pemanasan pada deproteinasi bertujuan untuk menguapkan air dan
mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang dihasilkan lebih maksimal. Proses
pengadukan akan membantu pelarutan NaOH sehingga proses deproteinasi dapat berjalan
dengan baik. Setelah itu dilakukan proses pendinginan lalu kitin dicuci dengan air hingga
pHnya netral. Proses penetralan ini dilakukan seperti pada proses demineralisasi. Proses
netralisasi akan berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin dengan alkali. Hal ini
akan menyebabkan efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai
kitin akan semakin baik (Rogers, 1986). Kitin yang sudah netral selanjutnya dikeringkan
dengan dehumidifier dengan suhu 80oC selama 24 jam. Dalam deproteinasi, larutan NaOH
akan terionisasi dalam air dan membentuk ion natrium dan ion hidroksida. Jika larutan
tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam larutan asam, maka setiap ion
hidroksida akan bereaksi dengan ion hidrogen membentuk molekul air. Saat ion hidrogen
tetap ada di dalam larutan maka larutan akan bersifat asam. Namun, jika ion hidroksida
yang ditambahkan sama dengan jumlah ion hidrogen maka larutan menjadi netral (Rogers,
1986).
Proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein dari kitin. Pada praktikum ini,
proses deproteinasi dilakukan setelah demineralisasi. Langkah ini sesuai seperti teori
13
Alamsyah et al. (2007) yang mengatakan jika isolasi kitin melalui tahap demineralisasi-
deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan tahap
isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal ini disebabkan karena mineral
akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang. Pada umumnya mineral memiliki
struktur yang lebih keras dibandingkan protein, sehingga jika mineral sudah dihilangkan
terlebih dahulu maka proses deproteinasi dapat berlangsung lebih optimal karena pelindung
dari mineral sudah dihilangkan.
Pada rendemen kitin II, , hasil tertinggi didapatkan oleh kelompok C4 dengan nilai sebesar
58,30%. Sedangkan nilai terendah oleh kelompok C1 dengan nilai sebesar 30,00%.
Menurut Fennema (1985), kelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar
dibandingkan pada suasana asam. Hal ini disebabkan karena larutan basa seperti NaOH
memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi. Berdasarkan teori tersebut dapat
disimpulkan jika proses deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan
mengoptimalkan proses penghilangan mineral dan protein. Hal ini dapat menyebakan
massa rendemen kitin mengalami penurunan. Proses deproteinasi yang kurang optimal
dapat disebabkan karena adanya kitin yang terikut dengan air saat proses penetralan,
pengeringan yang belum optimal, atau proses demineralisasi yang kurang sehingga masih
ada pelindung mineral pada kulit udang yang menghambat proses deproteinasi.
Menurut Hartati et al. (2002), hal yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kitin antara
lain jenis bahan baku, serta proses ekstraksi kitin berupa deproteinasi dan demineralisasi.
Kitin dapat diisolasi dengan metode kimia dan juga secara enzimatis. Pada praktikum ini
proses isolasi dilakukan secara kimia. Selain itu, menurut Laila & Hendri (2008), kualitas
kitin dipengaruhi oleh tahapan dan kondisi proses. Beberapa hal yang termasuk dalam
kondisi proses adalah lama proses pengolahan, suhu yang digunakan, konsentrasi zat kimia,
dan pH. Semakin lama proses pemanasan yang dilakukan akan menyebabkan denaturasi
protein, sehingga protein yang terlarut dapat berkurang. Namun, jika pemanasan dilakukan
dalam waktu yang singkat maka kandungan protein yang terlarut menjadi rendah karena
protein tersebut belum larut seluruhnya (Winarno, 1997).
14
1.2. Proses Pembuatan Kitosan (Deasetilasi)
Setelah proses pembuatan kitin, maka kitin tersebut diberikan perlakuan lagi sehingga
terbentuk kitosan. Menurut Robert (1992), proses ekstraksi kitosan terdiri dari tiga tahap,
yaitu demineralisasi, deproteinasi untuk pembuatan kitin, dan deasetilasi untuk mengubah
senyawa kitin menjadi kitosan. Ramadhan et al. (2010) menambahkan jika transformasi
kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses penghilangan gugus asetil pada kitin
menjadi amina pada kitosan yang disebut proses deasetilasi. Mutu kitosan ditunjukkan
dengan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin maupun kitosan.
Standar mutu ini disebut dengan derajat deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasi
kitosan, maka gugus asetil kitosan akan semakin rendah dan menyebabkan interaksi antar
ion dan ikatan hidrogennya menjadi semakin kuat (Knoor, 1984). Menurut Azhar et al.
(2010), kitin dapat diubah menjadi kitosan dengan cara merubah gugus asetamida (–
NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus amina (–NH2). Proses deasetilasi bertujuan untuk
memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin
sehingga berubah menjadi gugus amina (–NH2). Proses pelepasan gugus asetil pada
asetamida kitin menghasilkan gugus amina terdeasetilasi.
Gambar 4. Penghilangan gugus asetil pada gugus asetamida (Azhar et al., 2010)
Kitosan merupakan senyawa yang memiliki banyak potensi, salah satunya sebagai bahan
antimikroba. Kemampuan ini disebabkan karena kitosan mengandung enzim lysosim dan
gugus aminopolisakarida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kemampuan
daya hambat kitosan terhadap bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut kitosan. Kitosan
efektif untuk menekan pertumbuhan dari bakteri dan kapang (Cahyaningrum, 2007).
15
Pada proses deasetilasi, mula-mula kitin yang sudah di demineralisasi dan di deproteinasi
diberikan penambahan NaOH 40%, 50%, dan 60% dengan perbandingan kitin:NaOH
adalah 1:20. Konsentrasi NaOH yang ditambahkan pada setiap kelompok berbeda-beda.
Pada rendemen kitosan, , hasil tertinggi didapatkan oleh kelompok C3 dengan nilai sebesar
32,16%. Sedangkan nilai terendah oleh kelompok C5 dengan nilai sebesar 11,25%.
Langkah ini sesuai dengan teori Hirano (1989) yang mengatakan jika struktur kristal kitin
panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses
deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida dengan konsentrasi 40-50% dan suhu yang
tinggi untuk mendapatkan kitosan dari kitin. NaOH mampu merubah konformasi kitin yang
sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim mudah terekspos untuk mendeasetilasi
polimer kitin. Alkali berkonsetrasi tinggi dapat memutus ikatan antara gugus karboksil
dengan atom nitrogen (Martinou, 1995). Konsentrasi NaOH yang tinggi pada proses
deasetilasi akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi. Hal ini disebabkan
karena gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam larutan
menjadi semakin aktif, sehingga proses deasetilasi akan lebih sempurna. Penggunaan suhu
tinggi akan menyebabkan gugus asetil terlepas dari molekul kitin. Gugus amina pada kitin
akan berikatan dengan gugus hydrogen yang bermuatan positif dan membentuk gugus
amina bebas (Mekawati et al., 2000)
Setelah diberikan penambahan NaOH, selanjutnya larutan tersebut diaduk dan dipanaskan
selama 1 jam, didiamkan 30 menit, dengan suhu 90oC selama 60 menit. Menurut Puspawati
et al. (2010), suhu akan berpengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan. Semakin tinggi
suhu maka derajat deasetilasi akan meningkat. Tujuan dari pemanasan adalah untuk
meningkatkan derajat deasetilasi kitosan. Struktur sel kitin tebal serta ikatan hidrogen
antara atom hidrogen pada gugus amin dengan gugus oksigen pada gugus karbonil sangat
kuat. Proses pengadukan berfungsi untuk meratakan kitin dengan NaOH sehingga proses
deasetilasi berjalan maksimal. Setelah itu, kitin tersebut selanjutnya dididamkan selama 30
menit. Menurut Rogers (1986), proses pendinginan berfungsi agar bubuk kitosan pada
larutan dapat mengendap secara maksimal pada bagian bawah dan tidak terbuang selama
pencucian. Setelah didinginkan, kitin tersebut dicuci dengan air hingga pH netral. Proses
16
pencucian bertujuan untuk menetralkan larutan. Setelah itu, kitosan tersebut dikeringkan
menggunakan dehumidifier pada suhu 70oC selama 24 jam. Kitosan yang didapatkan pada
praktikum ini berbentuk serbuk berwarna putih kekuningan. Hal ini sesuai dengan teori
Ramadhan et al. (2010) yang mengatakan jika kitosan yang dihasilkan memiliki warna
putih kekuningan.
Pada rendemen kitosan, , hasil tertinggi didapatkan oleh kelompok C3 dengan nilai sebesar
32,16%. Sedangkan nilai terendah oleh kelompok C5 dengan nilai sebesar 11,25%. Data
yang didapatkan pada pengamatan ini sangat acak. Menurut Suhardi (1992), kualitas dari
produk kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi pada pembuatan
kitosan dipengaruhi oleh bahan dasar dan kondisi proses (konsentrasi larutan alkali, suhu,
dan waktu). Menurut Hong et al. (1989), penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi
akan menghasilkan kitosan dengan rendemen yang rendah. Hal ini disebabkan karena
penambahan NaOH dapat menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan yang
dapat menyebabkan penurunan berat molekul kitosan. Hasil pengamatan pada praktikum
ini kurang sesuai dengan teori, karena seharusnya hasil yang didapatkan oleh kelompok B5
lebih rendah dari kelompok B1 atau B2 yang menggunakan konsentrasi NaOH lebih
rendah. Kesalahan yang terjadi dalam praktikum dapat disebabkan karena jenis udang yang
digunakan oleh setiap kelompok berbeda-beda sehingga kandungan kitin dan kitosannya
juga berbeda. Selain itu juga dapat disebabkan karena proses penetralan menggunakan air
secara berulang-ulang menyebabkan sebagian kitin maupun kitosan ikut terbuang bersama
air.
Menurut Hossain dan Iqbal (2014), kitosan diproduksi oleh udang dengan metode
demineralisasi, deproteinasi, deasetilasi sama seperti pada praktikum ini.
Menurut Khorrami et al. (2012), kitin diproduksi dengan cara ekstraksi dari kulit udang,
dengan bantuan Lactobacillus plantarum yang mempunyai potensi asam laktat.
Menurut Younes dan Rinaudo (2015), kelarutan dibutuhkan untuk memproduksi
polisakarida dalam pembuatan kitin dan kitosan. Sedangkan menurut Krishnaveni dan
17
Ragunathan (2015), dalam pembuatan kitin dan kitosan, dibantu dengan fungi yang mana
fungi tersebut dari laut, dan produk yang dihasilkan dapat dijadikan antibiotik dalam medis.
Menurut Rumengan et al. (2014), kitin dan kitosan sangat berguna bago industri terutama
bagi industri pangan, dan dapat diproduksi dengan biomassa.
18
4. KESIMPULAN
Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling
berikatan dengan ikatan β (1,4).
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari kulit udang.
Kitosan merupakan produk turunan dari kitin. Kitosan merupakan senyawa dengan
rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan
proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat.
Proses pembuatan kitin meliputi demineralisasi dan deproteinasi.
Kitosan dapat diperoleh dari kitin yang mengalami deasetilasi.
Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses penghilangan gugus asetil
pada kitin menjadi amina pada kitosan yang disebut proses deasetilasi.
Kitin tidak dapat larut dengan air.
Kitosan memiliki sifat larut dalam asam serta viskositas larutannya tergantung dari
derajat diasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Penambahan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan komponen
mineral pada kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang didapatkan
akan semakin besar.
Penambahan NaOH 3,5% pada proses deproteinasi berfungsi untuk mengoptimalkan
proses penghilangan mineral dan protein.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan pada proses deasetilasi akan
menurunkan rendemen kitosan yang dihasilkan.
NaOH dapat menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan yang dapat
menyebabkan penurunan berat molekul kitosan.
Semarang, 6 November 2012 Mengetahui,
Praktikan, Asisten Dosen :
Aninditya Intan Pertiwi - Tjan, Ivana Chandra
13.70.0184
19
5. DAFTAR PUSTAKA
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi
Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan
dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_eks
traksi_kitin1.pdf. Diakses tanggal 5 November 2012.
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang
sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses tanggal 5
November 2012.
Alvarenga, E. S; Cristiane P.; amd Carlos Roberto. (2010). An Approach to Understanding
the Deacetylation Degree of Chitosan. Carbohydrate Polymers 80 1155-1160.
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina. (2010). Pengaruh
Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit
Udang. EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill
Kogakusha. Tokyo.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from
Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical
and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang
Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA,
Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-
98. Diakses tanggal 5 November 2012.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of
Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses
Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas
Indonesia, Jakarta.
20
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang
Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam
Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2,
NO. 1 : 68-77.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from
crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Hossain and Iqbal. (2014). Production and Characterization of Chitosan from Shrimp
Waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(!): 153-160
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The
AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Khorrami, Hajafpour, Younesi, and Hosseinpour. (2012). Production of Chitin and
Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum
Krishnaveni and Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and
Chitosan from F.solani. B Krishnaveni Pharm &Res, Vol. 7(14)
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi
Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/
marganof.htm. Diakses tanggal 5 November 2012.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by
enzymatic means.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000). Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi
Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.
Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
21
Mudasir. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater
Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II) Ion.
Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc.
Orlando. San Diego.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.
Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry,
Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.
Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang
dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi
Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.
Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap
Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-
21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.
Rumengan, Modaso, Limbong. (2014). Strcutural Characteristic of Chitin and Chitosan
Isolated from teh Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi
Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
22
Wardaniati, R.A. & S. Setyaningsih. (2003) Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan
Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_
penelitian_ fix.pdf.
Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Younes and Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources.
Structure, Properties adn Applocations. Mar. Drugs, 13, 1133-1174
23
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
Kelompok C1
Rendemen Chitin I =
= 23,45 %
Rendemen Chitin II =
= 30,00 %
Rendemen Chitosan =
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I =
= 37,82 %
Rendemen Chitin II =
= 44 %
Rendemen Chitosan =
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I =
= 41,67 %
Rendemen Chitin II =
= 54,55 %
Rendemen Chitosan =
24
= 32,16 %
Kelompok C4
Rendemen Chitin I =
=40,00 %
Rendemen Chitin II =
= 58,3 %
Rendemen Chitosan =
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I =
= 21,19 %
Rendemen Chitin II =
= 40,32 %
Rendemen Chitosan =
= 11,25 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal