Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun Oleh: Nama : Ignatius Alfredo Ade Prasetyo NIM : 13.70.0191 Kelompok : C4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

description

Praktikum ini bertujuan umtuk mengetahui proses pembuatan chitin&chitosan dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan value-added by product dengan berbagai perlakuan konsentrasi larutan asam basa

Transcript of Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh:

Nama : Ignatius Alfredo Ade Prasetyo

NIM : 13.70.0191

Kelompok : C4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Page 2: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan Bahan

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan ini adalah oven, blender,

ayakan, peralatan gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan adalah limbah udang, HCl

0,75 N; 1 N; 1,25 N, NaOH 40%, 50%, 60%.

1.2. Metode

Demineralisasi

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan

HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan

pengadukan.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air

panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-

60 mesh.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

ayakan 40-60 mesh.

Page 3: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Deproteinasi

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Page 4: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Deasetilasi

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,

NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,

NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Page 5: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

Page 6: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan mengenai kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok Perlakuan Rendemen

Kitin I (%)

Rendemen

Kitin II (%)

Rendemen

Kitosan (%)

C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43

C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5% 37,82 44,00 37,38

C3 HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5% 41,67 54,55 32,16

C4 HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5% 40,00 58,30 24,30

C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25

Dari tabel 1 diatas, dapat dilihat hasil pengamatan rendemen kitin I, rendemen kitin II,

dan rendemen kitosan dari kelompok C1 sampai C5 dengan perlakuan yang berbeda –

beda. Perlakuan yang berbeda ini meliputi normalitas HCl dan jumlah NaOH yang

ditambahkan. Pada tahap demineralisasi, kelompok C1 dan C2 menggunakan pelarut

HCl 0,75 N menghasilkan rendemen kitin sebesar 23,45% dan 37,82%. Kelompok C3

dan C4 menggunakan pelarut HCl 1 N menghasilkan rendemen kitin sebesar 41,67%

dan 40,00%. Kelompok C5 menggunakan pelarut HCl 1,25 N menghasilkan rendemen

kitin sebesar 21,19%. Pada tahap diproteinasi, semua kekompok menggunakan pelarut

NaOH 3,5% menghasilkan rendemen kitin yang berbeda-beda. Kelompok C1 sebesar

30,00%, kelompok C2 sebesar 44,00%, kelompok C3 sebesar 54,55%, kelompok C4

sebesar 58,30%, dan kelompok C5 sebesar 40,32%. Pada tahap diasetilasi, kelompok C1

dan C2 menggunakan pelarut NaOH 40% menghasilkan rendemen kitosan sebesar

27,43% dan 37,38%. Kelompok C3 dan C4 menggunakan pelarut NaOH 50%

menghasilkan rendemen kitosan sebesar 32,16% dan 24,30%. Kelompok C5

menggunakan pelarut NaOH 60% menghasilkan rendemen kitosan sebesar 11,25%.

Page 7: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum Teknologi Hasil Laut bab kitin dan kitosan, kulit udang diolah sebagai

sumber kitin dan kitosan yang akan dihasilkan. Dalam pembuatan kitin dan kitosan dapat

digunakan bahan yaitu limbah udang (crustacea). Kulit udang sebagai sumber kitin yang

mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya

kandungan komponen-komponen tersebut juga dipengaruhi oleh jenis udang dan tempat

hidup dari udang tersebut. Kulit udang adalah salah satu limbah dari pengolahan udang yang

dapat berfungsi sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan. Marganov (2003),

mengatakan kitin dan kitosan merupakan biopolimer yang secara komersil berpotensi dalam

berbagai bidang industri. Pada crustacea, kitin berikatan dengan protein, garam anorganik

(CaCO3), dan pigmen. Kandungan kitin yang paling tinggi dihasilkan dari kulit udang

“windu” yang mengandung kitin sebesar 99,1% (Prasetiyo, 2006).

Kitin adalah polisakarida yang sangat melimpah di alam. Kitin dapat ditemukan dalam

komponen struktural eksoskeleton dari insecta dan crustacean, dalam dinding sel fungi (30-

60%), kulit kerang, paruh burung, serta tulang rawan (bagian tengah) dari cumi-cumi. Kitin

dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti papain, lactase,

kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase. Pemanfaatan kitin yang paling besar di

bidang industri banyak digunakan pada industri pangan dan industri kosmetik (Peter, 1995).

Kitin memiliki sifat yaitu sangat sulit larut dalam air, hal ini membuat pemanfaatan kitin

menjadi sangat terbatas. Hal ini dapat diatasi dengan cara memodifikasi struktur kimiawi

sehingga akan didapatkan turunan kitin yang mempunyai sifat kimia lebih baik daripada

kitin. Salah satu dari turunan kitin tersebut adalah kitosan yang mempunyai sifat larut dalam

asam dan viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi dari

polimer kitin. Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur dan apabila disimpan dalam jangka

waktu yang lama dengan suhu sekitar 100oF, sifat kelarutan dan viskositas dari kitosan ini

akan berubah. Apabila kitosan disimpan dalam waktu yang lama dengan keadaan terbuka

(mengalami kontak dengan udara), maka akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi,

perubahan warna menjadi kekuningan, dan menurunnya viskositas dari kitosan tersebut.Sifat

dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti misalnya asam

asetat, asam format, asam sitrat.Namun apabila kitosan telah disubstitusikan, hal ini akan

membuat kitosan dapat larut dengan air. Kitosan dapat mudah larut dengan asam asetat

Page 8: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

karena asam asetat memiliki gugus karboksil yang akanmempermudah pelarutan kitosan yang

disebabkan karena terjadinya interaksi hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari

kitosan (Dunn et al.,1997).

Kitin dapat didapat dari berbagai macam organisme yang ada di alam. Kitin pada tubuh

organisme didapati dalam tiga bentuk kristal dan dibedakan atas susunan rantai molekul yang

menyusun kristalnya. Ketiga jenis kitin tersebut antara lain yaitu α-kitin yang berupa rantai

antipararel, β-kitin berupa rantaipararel, dan γ-kitin yang berupa rantai campuran (Abun et

al., 2007). Menurut Suhardi (1992), bahwa cangkang udang mengandung kitin sebesar 20-

50% dari berat keringnya. Kitin termasuk polisakarida dengan Berat Molekul yang tinggi,

bagian utamanya tersusun dari unit N-asetilglukosamin yang terikat dengan ikatan kovalen

glikosidik yang kuat (Mizani, 2007). Jadi, bisa dikatan bahwa kitin tersusun atas beta (1,4)

linked 2-acetamido-2-deoxy-geta-D-glucose. Sruktur kimia kitin dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia kitin (Dutta, et al., 2004)]

Menurut Mizani (2007), proses utama yang dapat dilakukan untuk ekstraksi limbah udang

yaitu didasarkan pada demineralisasi (oleh perlakuan asam) dan deproteinasi (oleh perlakuan

basa). Tetapi juga ada proses lainnya yang juga dapat digunakan untuk mendapatkan kitin,

yaitu dengan melalui aktivitas proteolitik dari enzim mikrobia dan fermentasi asam laktat.

Namun, dengan menggunakan kedua metode yang terakhir tersebut jarang digunakan karena

akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Hasil isolasi dari kulit udang ini menghasilkan

senyawa kitin yang merupakan polimer dari glukosamin, dimana glukosamin adalah

polisakarida yang mengandung gugus asetatamida. Sedangkan, kitosan merupakan hasil

proses kitin dengan melalui proses hidrolisis alkali sehingga terjadi proses deasetilasi dari

gugus asetamida menjadi gugus amina. Jadi prinsipnya adalah proses transformasi kitin

Page 9: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

menjadi kitosan ini dapat melalui proses hidrolisis dengan asam dan basa (Ramadhan et al,

2010).

Kitosan berbentuk serat dan lembaran tipis kopolimer, serta tidak berbau. Pemisahan dengan

deasetilasi basa kitin komersial golongan eksoskeleton crustaceae laut. Memiliki kadar pH

6,3 dan kitosan yang dilarutkan kedalam air suling, garam, atau media laboratorium

menunjukkan aktivitas antimikrobial (perlawanan pada strain berfilamen dari bakteri, yeast,

dan fungi). Kemampun kitosan yang mudah menyerap lemak akibat adanya gugus aktif yang

berikatan dengan mikroba. Oleh karena itu kitosan memiliki sifat yang mampu menghambat

pertumbuhan pada mikroba (Hardjito, 2001). Kitosan yang dihasilkan dari proses deasetilasi

kitin memiliki sifat polikationik yang menyebabkan kitosan dapat berfungsi sebagai agen

penggumpal dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang mengandung protein

(Subianto, 2001 dalam Hartati et al., 2002). Kitosan mampu berikatan secara crosslink

apabila ditambahkan crosslinked agent seperti glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+ pada

kitosan tersebut (Cahyaningrum et al., 2007). Menurut Balley et al., (1977), terdapat lebih

dari 200 pemanfaatan dari kitin dan kitosan serta turunannya terutama di industri pangan,

pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, serta lingkungan.

Muzzarelli et al., (1997) mengemukakan bahwa kitosan bermanfaat sebagai pewarna

makanan, sebagai flokulan, membantu proses penjernihan air, sebagai pengawet hasil

perikanan, aditif bagi produk argokimia, dan pengawet benih. Hal ini dikarenakan adanya

gugus hidroksil pada atom C-3 dan C-6. Penilaian kualitas pada kitosan terlihat dari sifat

intinsik yang terdiri dari kemurnian, derajat deasetilasi, dan massa molekul. Sifat-sifat fisiko-

kimia polisakarida (reologi kitosan) mempengaruhi massa molekul kitosan dan distribusinya.

Dalam proses transformasi kitin menjadi kitosan melibatkan hidrolisis dengan asam dan basa.

Pada suasana yang basa terdiri dari dua metode yang terdiri dari homogen dan heterogen.

Pada heterogen untuk kondisi basa yang kuat adalah metode yang cukup umum dilakukan

selama proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Perlakuan tersebut menghasilkan variasi

masa molekul dan derajat deasetilasi dari kitosan. Proses deasetilasi berlangsung melalui

permukaan kitin, kemudian memasuki daerah amorf. Setelah itu secara bertahap proses

deasetilasi terjadi hingga ke wilayah kristalin kitin (Chang et al., 1997).

Page 10: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

Menurut Robert (1992), kitosan memiliki bentuk padatan amorf yang berwarna putih dengan

struktul kristal yang tetap dari bentuk awal kitin murni. Rantai dari kitosan ini akan lebih

pendek daripada rantai kitin yang digunakan untuk menghasilkan kitosan tersebut. Bentuk

dari kitosan mirip dengan selulosa, hanya saja yang membedakannya adalah pada gugus

hidroksi C-2 nya, dimana gugus tersebut disubtitusi dengan gugus amino (NH2). Kitosan

banyak dimanfaatkan sebagai pengawet karena kitosan ini mengandung gugus amino yang

memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Adanya hal

tersebutlah yang menjadi ciri khas pada kitosan dimana polisakarida lainnya biasanya

memiliki muatan yang netral.

Pada praktikum Chitin dan Chitosan digunakan beberapa alat dan bahan. Alat yang

digunakan adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas. Sedangkan bahan-bahan yang

digunakan dalam praktikum ini adalah limbah kulit udang dan larutan NaOH 3,5% untuk

seluruh kelompok. Kelompok C1 dan C2 digunakan larutan HCl 0,75N dan NaOH 40%,

kelompok C3 and C4 larutan HCl 1N dan NaOH 50%, dan kelompok C5 larutan HCl 1,25N

dan NaOH 60%. Pengamatan dilakukan pada rendemen kitin I, rendemen kitin II, dan

rendemen kitosan. Praktikum ini berujuan mengetahui bagaimana pembuatan chitin dan

chitosan yang berasal dari limbah crustaceans dengan hasil value-added by product dengan

perlakuan baik asam atau basa. Selain itu, agar dapat mengamati karakteristik produk yang

dihasilkan (rendemen, kadar air, kadar abu, kadar kalsium, dan kadar protein).

Pada percobaan ini dilakukan proses demineralisasi. Proses ini bertujuan untuk

menghilangkan kadar mineral dan garam-garam anorganik yang masih berada pada kitin

(kalsium karbonat). Sebelum dilakukan proses demineralisasi, yang harus dilakukan

sebelumnya adalah proses persiapan sampel, dimana proses persiapan sampel yang pertama

adalah limbah kulit udang yang akan digunakan untuk pembuatan kitin dan kitosan ini dicuci

menggunakan air mengalir. Pencucian ini memiliki tujuan untuk menghilangkan kotoran

yang ada pada kulit udang yang akan digunakan dimana kotoran tersebut dapat mencemari

ekstrak kitin yang dihasilkan. Setelah proses pencucian dengan air mengalir, kulit udang

tersebut kemudian dicuci dengan menggunakan air panas sebanyak dua kali pencucian.

Pencucian kulit udang dengan air panas ini bertujuan untuk proses sterilisasi yang

mengakibatkan mikroorganisme-mikroorganisme kontaminan yang berada pada kulit udang

bisa dihilangkan. Setelah pencucian dengan air panas sebanyak 2 kali, lalu kulit udang

Page 11: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

tersebut dikeringkan. Kemudian dilakuakan pengancuran pada limbah hingga menjadi serbuk

dan kemudian diayak dengan ayakan berukuran 40 hngga 60 mesh. Proses pengayakan

bertujuan untuk pengurangan ukuran limbah udang atau size reduction. Pengurangan ukuran

bahan perlu dilakukan hingga mencapai ukuran 16 mesh. Langkah selanjutnya adalah

pencampuran dengan larutan HCl (10:1) sebanyak 50 ml untuk masing-masing konsentrasi.

Larutan HCl yang digunakan untuk proses dekalsifikasi dalam menghilangkan kandungan

CaCO3 pada kulit udang. Proses pencampuran diikutsertakan dengan pemanasan hingga suhu

90oC selama 1 jam dan diaduk. Pengadukan bertujuan limbah udang yang dikeringkan dapat

terlarut secara homogen dalam larutan dan memberikan hasil yang optimal (Hargono &

Djaeni, 2003).

Pada proses demineralisasi dilakukan proses pemanasan yang bertujuan untuk mempercepat

proses perusakan mineral, dimana tujuan dari proses ini adalah mengilangkan kandungan

mineral, kalsium karbonat, dan kalium fosat. Setelah itu residu ducuci hingga mencapai pH

netral dengan menggunakan kertas pH. Tujuan dari pH netral agar dapat melihat pengaruh

asam yang diberikan pada hasil padatan. Proses pengukuran pH dilakukan hingga kertas pH

menunjukkan warna hijau. Hal ini untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama

pengeringan (Johnson & Peterson, 1974). Langkah selanjutnya pengeringan dilakukan

kembali dengan menggunakan oven pada suhu 80oC selama 24 jam dalam dehumidifier.

Proses pengeringan dengan dehumidifier ini bertujuan untuk membuat air panas yang masih

berada pada kulit udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air yang terletak pada kulit udang

tersebut dapat dikurangi sehingga menghasilkan produk kulit udang yang kering.

Langkah selanjutnya adalah adalah dilakukan proses deproteinasi. Proses ini bertujuan untuk

memisahkan ikatan pada kitin dan protein, serta pengurangan pada kandungan protein

(Hargono & Djaeni, 2003). Pengolahan lebih lanjut pada rendemen kitin melalui proses ini

dapat dilakukan dengan proses ini. Kandungan pada limbah ini terbilang cukup tinggi yaitu

hingga mencapai 30%. Langkah pertama hasil (tepung) dari proses demineralisasi dicampur

dengan NaOH (6:1), kemudian diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama

1 jam. Tujuan dari penggunaan larutan NaOH tersebut adalah untuk membantu

menghilangkan senyawa protein. Perlakuan pemanasan bertujuan untuk membantu

pemisahan protein dan berperan dalam mendenaturasi protein secara merata dan efisien (Das

& E. Anand, 2010). Setelah itu, bahan disaring dengan menggunakan kain saring dan

Page 12: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

didinginkan. Penyaringan yang dilakukan bertujuan untuk memisahkan padatan dengan

padatan terlaut lainnya. Langkah berikutnya, residu dicuci hingga mencapai pH netral dan

pengeringan dilakukan kembali pada suhu 80oC selama 24 jam. Pencucian hingga dicapai pH

netral agar kadar alkali yang tertinggal dalam padatan dapat berkurang. Hasil akhir dari

proses ini adalah kitin (Hargono & Djaeni, 2003).

Kemudian proses yang ketiga yaitu deasetilasi dan proses ini bertujuan untuk menghasilkan

kitosan. Pertama-tama Chitin ditambahkan NaOH untuk kelompok C1 dan C2 40%,

kelompok C3 dan C4 50%, dan kelompok C5 60% (20:1) atau berat NaOH 20 kali berat kitin.

Penambahan larutan tersebut bertujuan untuk mendapatkan kitosan dan kitin. Adanya struktur

kitin yang kristal dan panjang dengan ikatan ion nitrogen yang kuat, serta gugus karboksil.

Angka & Suhartono (2000) menyatakan bahwa larutan NaOH merupakan larutan yang kuat

dalam golongan alkali dalam meningkatkan kecernaan limbah (industri dan pertanian).

Kemampuan NaOH dalam memperbesar volume substrat sehingga ikatan antar tiap

komponen menjadi renggang. NaoH mampu menghidrolisa gugus asetil pada kitin dan

mengakibatkan terjadinya deasetilasi, serta perubahan pada kitosan dimana kadar kitin

berkurang. Setalah dilakukan pencampuran, campuran tersebut diaduk selama 1 jam dan

didiamkan selama 30 menit, kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 90oC selama 60

menit dengan menggunakan Hot plate. Larutan yang didiamkan selama 30 menit bertujuan

untuk mengendapkan bahan. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan residu dicuci hingga pH

netral. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan larutan alkali yang masih tertinggal

dalam bahan dan mencegah degradasi produk selama pengeringan (Johnson dan Peterson,

1974). Lalu pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 24

jam. Proses pengeringan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam kitosan

sehingga memiliki umur simpan yang panjang. Langkah terakhir adalah penimbangan

terhadap rendeman hasil pengeringan dan hasil yang didapat setelah proses deasetilasi

tersebut dinamakan kitosan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini, didapatkan data yang berbeda-beda dari

masing-masing kelompok. Pada rendemen kitin I kelompok C3 dihasilkan nilai yang paling

tinggi yaitu sebesar 41,67%, sedangkan kelompok C1 dan C5 dihasilkan rendemen yang

Page 13: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

paling rendah yaitu 23,45% dan 21,19%. Pada pengamatan rendemen kitin II dihasilkan nilai

terendah pada kelompok C1 sebesar 30% dan nilai tertinggi pada kelompok C4 sebesar

58,3%. Pada pengamatan rendemen kitosan, kelompok C5 dihasilkan nilai rendemen

terendah yaitu sebesar 11,25% dan rendemen tertinggi pada kelompok C2 sebesar 37,38%.

Rata-rata setelah proses deasetilasi pada setiap kelompok memiliki nilai rendemen yang lebih

rendah dibandingkan dengan kitin. Hal tersebut dikarenakan dalam pembuatan kitosan telah

melalui proses yang melibatkan penghilangan atau pengurangan kandungan bahan. Seperti

demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Adanya perbedaan nilai rendemen antar

kelompok yang menggunakan bahan yang sama seperti kelompok C1 dan C2 yaitu 23,45%

dan 37,82% pada pengamatan rendemen kitin I. Ketidaksesuaian pada hasil praktium dapat

disebabkan bahwa derajat deasetilasi merupakan parameter mutu yang menampilkan gugus

asetil, serta dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Maka, seharusnya semakin tinggi

derajat deasetilasi pada kitosan maka jumlah rendemen harusnya semakin sedikit. Pada hasil

percobaan menunjukkan bahwa nilai rendeman kitosan terendah pada kelompok C5 yaitu

11,25%. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang

digunakan maka akan semakin rendah rendemennya dan memperbanyak gugus asetil yang

dihilangkan dalam rendemen (Knoor, 1982).

Menurut Angka & Suhartono (2000), pada rendemen kitin II dikatakan akan mengalami

penurunan nilai rendemen dibandingkan pada rendemen kitin I. Hasil pengamatan yang ada

belum sesuai dengan teori yang ada, nilai rendemen kitin II seharusnya lebih kecil

dibandingkan rendemen kitin I, tetapi yang dihasilkan pada percobaan ini tidak demikian.

Adapun hasil dari beberapa kelompok tidak sesuai dengan teori yang ada. Menurut Fennema

(1985), hal ini dapat dikarenakan adanya proses deproteinasi yang tidak sempurna sehingga

kitin yang dihasilkan pun kurang maksimal. Adanya proses deproteinasi yang kurang

sempurna ini, dapat diakibatkan karena adanya kitin yang terikut dengan air pada saat proses

penetralan dan penyaringan, pengeringan kitin yang kurang sempurna, atau proses

demineralisasi yang kurang optimal sehingga masih ada pelindung mineral yang terletak pada

kulit udang sehingga menghambat proses deproteinasi. Kelarutan protein dan mineral sendiri

pada suasana basa akan lebih besar jika dibandingkan kelarutannya pada suasana asam. Hal

tersebut disebabkan karena larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan larutan asam seperti HCl. Berdasarkan teori tersebut dapat

dinyatakan bahwa proses deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan

Page 14: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

mengoptimalkan proses penghilangan mineral dan khususnya komponen protein yang berada

pada kitin tersebut.

Dalam jurnal Younes & Marguerite (2015), dikatakan bahwa tahap lebih baik yang dilakukan

pertama kali adalah deproteinasi kemudian dilanjutkan dengan proses demineralisasi karena

akan terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral. Krishnaveni et al., (2015)

dalam jurnalnya membahas bahwa terdapat metode yang lebih sederhana untuk mengetahui

keberadaan kitin dalam suatu bahan yaitu dengan menggunakan infrared spectroscopy, akan

tetapi dibutuhkan beberapa perlakuan penunjang. Metode tersebut dapat digunakan untuk

mengetahui karakteristik dari kitin dan kitosan.

Dalam jurnal Rumengan et al. (2014), terdapat beberapa jenis kitin yang dapat ditemukan

yaitu dalam bentuk α, β, γ. Perbedaan diantara ketiga jenis tersebut terdapat pada susunan

rantai disekitar kristalin. Perbedaan kristalin ini dapat diukur dari nilai indeks kristalin yang

bisa juga digunakan untuk memberi informasi mengenai keadaan kristal dan membedakan α-

kitin dan β-kitin. Indeks kristalin ini dapat dihitung dengan X-ray diffractograms.

Dari teknologi perkembangan kitin dan kitosan serta turunannya, banyak manfaat yang bisa

didapatkan antara lain yang disebutkan oleh Hossain & Iqbal (2014) yaitu dibidang pangan,

farmasi, kesehatan, pertanian dan industri kertas dan tekstil serta pemulihan limbah industri

dan berperan dalam proses de-acidification dari jus buah. Kitin dan kitosan dapat

dimanfaatkan dalam proses enkapsulasi bahan makanan aktif serta sebagai media yang

mengontrol pembuatan obat-obatan. Hal ini bisa terjadi karena sifat biologi dan sifat kimia

dari kitosan yaitu biodegradabilitas (dapat diuraikan dengan proses biologis oleh mikroba

penghasil enzim lisozim dan kitinase atau proses kimia), bioaktivitas, dan biokompatibilitas

(Zhao et al., 2011).

Menurut Knorr (1984) kitosan memiliki beberapa sifat seperti anti bakteri, pengkelat. Dalam

dunia pangan, aplikasi kitin dan kitosan ini dapat mengurangi kadar zat besi, logam berat

sepeti Pb dan Cd serta mikotiksin dan dapat meningkatkan keamanan dan kualitas dari

produk wine (Bornet et al., 2008). Penggunaan kitin dan kitosan dalam bidang pertanian

adalah untuk menyuburkan tanah dan berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah,

mempercepat pertumbuhan tanaman serta mengaktifkan organisme yang berperan dalam

Page 15: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

penyuburan tanah. Hal ini sangat baik diaplikasikan karena selain murah juga dapat

mengurangi penggunaan bahan kimia dalam lingkup pertanian (Radwan et al., 2012).

Page 16: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

4. KESIMPULAN

Kitin tidak dapat larut dalam air, akan tetapi mampu memodifikasi struktur kimia dan

diperoleh turunan kitin yang memiliki sifat kimia yang cukup baik.

Kitin merupakan kristal atau padatan amorf yang terdiri dari makromolekul, memiliki

warna putih, dan mampu terurai melalui proses kimiawi (asam dan basa kuat) atau

biologis (oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase).

Kitosan memiliki bentuk serat dan lembaran tipis kopolimer, serta tidak berbau.

Pemisahan dengan deasetilase basa kitin komersial golongan eksoskeleton crustaceae

laut.

Kemampun kitosan yang mudah menyerap lemak akibat adanya gugus aktif yang

berikatan dengan mikroba.

Pengadukan bertujuan limbah udang yang dikeringkan dapat terlarut secara homogen

dalam larutan dan member hasil yang optimal.

Transformasi kitin menjadi kitosan melibatkan hidrolisis dengan asam dan basa.

Proses pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses perusakan mineral.

Penambahan larutan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan

kandungan mineral yang dimiliki oleh kulit udang.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang

dihasilkan akan semakin tinggi pula.

Penambahan NaOH 3,5% pada proses deproteinasi bertujuan untuk memaksimallkan

proses penghilangan mineral dan protein yang dimiliki oleh kitin.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan pada saat proses deasetilasi,

makarendemen kitosan yang dihasilkan akan semakin rendah.

NaOH mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul yang dimiliki oleh kitosan

sehingga mengakibatkan penurunan berat molekul kitosan.

Semarang, 22 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

- Tjan, Ivana Chandra

Ignatius Alfredo Ade Prasetyo

13.70.0191

Page 17: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

5. DAFTAR PUSTAKA

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi

Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan

dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstra

ksi_kitin1.pdf.Diakses tanggal 20 Oktober 2015.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya

Pesisir dan Lautan. Bogor.

Balley, J.E., and Ollis, D.F. (1977). “Biochemical Engineering Fundamental”, Mc. Graw Hill

Kogakusha, ltd., Tokyo.

Bornet, A., and P. L. Teissedre. 2008. Chitosan, Chitin-Glucan and Chitin Evects on Minerals

Iron, Lead, Cadmium and Organic Ochratoxin A Contaminants in Wines. Journal of

Europe Food Res Technology 226:681–689.

Cahyaningrum, S.E., R. Agustini, N. Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang

Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Akta Kimindo. Vol 2 : 93-

98.

Chang KLB., G.Tsai, J. Lee dan W. Fu. (1997). Heterogenous N-deacetylation of chitin in

alkaline solution. Carbohydr Res 303:327-332.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of

Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan: Chemistry,

properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol.63. pp

20-31

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hardjito, l. 2001. Chitosan Lebih Awet dan Aman. www.tabloidnova.com

Hargono&Djaeni, M. (2003). Utilization of Chitosan Prepared from Shrimp Shell as Fat

Diluent.

Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang

Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam

Page 18: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2,

NO. 1 : 68-77.

Hossain, M.S., A. Iqbal. (2014). Production and characterization of chitosan from shrimp

waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(1): 153–160.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. 1974. Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The

AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knoor, D. (1982). Function properties of chitin and chitosan. J.Food.Sci. (47)36.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi

Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan

(Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Krisnaveni, B., R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and

Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study

of their Productive Application. J. Pharm. Sci. & Res. Vol. 7(4), 197-205.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,

Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/

marganof.htm.Diakses tanggal 19 Oktober 2015.

Mizani, Maryam dan Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of

Chitin from Shrimp Head Waste. Proceeding of European Congress of Cjemical

Engineering. Copenhagen.

Muzzarelli, RAA. (1997). Depolymerization of chitins and chitosans with hemicellulase,

lysozyme, papain, and lipases. Di Dalam RAA. Muzzarelli dan MG Peter (ed). Chitin

Handbook. European Chitin Soc, Grottamare.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.

Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prasetyo, Kurnia Wiji.(2006).Pengolahan Limbah Cangkang Udang.

http://www.biomaterial.lipi.go.id/?p=154.

Radwan, M. A., S.A.A. Farrag, M.M.A. Elamayem, N.S. Ahmed. 2012. Extraction,

Characterization, and Nematicidal Activity of Chitin and Chitosan Derived from

Shrimp Shell Wastes. Journal of Biology Fertilization Soils 48:463–468.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.

Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap

Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Page 19: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rumengan, I.F.M., E. Suryanto et al., (2014). Structural Characteristics of Chitin and

Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus

rotundiformis.International Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 3(1): 12-18.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi

Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Younes, Islem, Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine

Sources.Structure, Properties and Applications.Mar. Drugs.(13), 1133-1174.

Zhao, L. M. L. E. Shi, Z. L. Zhang, J. M. Chen, D. D. Shi, J. Yang and Z. X. Tang. (2011).

Preparation and Application of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers. Brazilian

Journal of Chemical Engineering Vol. 28, No. 03, pp. 353 – 362.

Page 20: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ𝐼× 100%

Rendemen Chitin II = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑖𝑛

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼× 100%

Rendemen Chitosan = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼𝐼× 100%

Kelompok C1

Rendemen Chitin I = 3,5

14,5× 100%

= 23,45 %

Rendemen Chitin II = 1,5

5,0× 100%

= 30,00 %

Rendemen Chitosan = 0,96

3,5× 100%

= 27,43 %

Kelompok C2

Rendemen Chitin I = 4,5

11,9× 100%

= 37,82 %

Rendemen Chitin II = 2,2

5× 100%

= 44 %

Rendemen Chitosan = 1,57

4,2× 100%

= 37,38 %

Kelompok C3

Rendemen Chitin I = 4,5

10,8× 100%

= 41,67 %

Page 21: Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Rendemen Chitin II = 3

5,5× 100%

= 54,55 %

Rendemen Chitosan = 1,19

3,7× 100%

= 32,16 %

Kelompok C4

Rendemen Chitin I = 4

10× 100%

=40,00 %

Rendemen Chitin II = 3,5

6× 100%

= 58,3 %

Rendemen Chitosan = 1,41

5,8× 100%

= 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I = 2,5

11,8× 100%

= 21,19 %

Rendemen Chitin II = 2,5

6,2× 100%

= 40,32 %

Rendemen Chitosan = 0,18

1,6× 100%

= 11,25 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal