Chitin & Chitosan_Nita Silviani Arifin_13.70.0069_C2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
24 -
download
3
description
Transcript of Chitin&Chitosan_Ignatius Alfredo_AP 13.70.0191_C4_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Ignatius Alfredo Ade Prasetyo
NIM : 13.70.0191
Kelompok : C4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan ini adalah oven, blender,
ayakan, peralatan gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan adalah limbah udang, HCl
0,75 N; 1 N; 1,25 N, NaOH 40%, 50%, 60%.
1.2. Metode
Demineralisasi
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan
HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan
pengadukan.
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-
60 mesh.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
2
Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
3
Deasetilasi
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,
NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,
NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
4
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan mengenai kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43
C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 37,82 44,00 37,38
C3 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 41,67 54,55 32,16
C4 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 40,00 58,30 24,30
C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25
Dari tabel 1 diatas, dapat dilihat hasil pengamatan rendemen kitin I, rendemen kitin II,
dan rendemen kitosan dari kelompok C1 sampai C5 dengan perlakuan yang berbeda –
beda. Perlakuan yang berbeda ini meliputi normalitas HCl dan jumlah NaOH yang
ditambahkan. Pada tahap demineralisasi, kelompok C1 dan C2 menggunakan pelarut
HCl 0,75 N menghasilkan rendemen kitin sebesar 23,45% dan 37,82%. Kelompok C3
dan C4 menggunakan pelarut HCl 1 N menghasilkan rendemen kitin sebesar 41,67%
dan 40,00%. Kelompok C5 menggunakan pelarut HCl 1,25 N menghasilkan rendemen
kitin sebesar 21,19%. Pada tahap diproteinasi, semua kekompok menggunakan pelarut
NaOH 3,5% menghasilkan rendemen kitin yang berbeda-beda. Kelompok C1 sebesar
30,00%, kelompok C2 sebesar 44,00%, kelompok C3 sebesar 54,55%, kelompok C4
sebesar 58,30%, dan kelompok C5 sebesar 40,32%. Pada tahap diasetilasi, kelompok C1
dan C2 menggunakan pelarut NaOH 40% menghasilkan rendemen kitosan sebesar
27,43% dan 37,38%. Kelompok C3 dan C4 menggunakan pelarut NaOH 50%
menghasilkan rendemen kitosan sebesar 32,16% dan 24,30%. Kelompok C5
menggunakan pelarut NaOH 60% menghasilkan rendemen kitosan sebesar 11,25%.
6
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut bab kitin dan kitosan, kulit udang diolah sebagai
sumber kitin dan kitosan yang akan dihasilkan. Dalam pembuatan kitin dan kitosan dapat
digunakan bahan yaitu limbah udang (crustacea). Kulit udang sebagai sumber kitin yang
mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya
kandungan komponen-komponen tersebut juga dipengaruhi oleh jenis udang dan tempat
hidup dari udang tersebut. Kulit udang adalah salah satu limbah dari pengolahan udang yang
dapat berfungsi sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan. Marganov (2003),
mengatakan kitin dan kitosan merupakan biopolimer yang secara komersil berpotensi dalam
berbagai bidang industri. Pada crustacea, kitin berikatan dengan protein, garam anorganik
(CaCO3), dan pigmen. Kandungan kitin yang paling tinggi dihasilkan dari kulit udang
“windu” yang mengandung kitin sebesar 99,1% (Prasetiyo, 2006).
Kitin adalah polisakarida yang sangat melimpah di alam. Kitin dapat ditemukan dalam
komponen struktural eksoskeleton dari insecta dan crustacean, dalam dinding sel fungi (30-
60%), kulit kerang, paruh burung, serta tulang rawan (bagian tengah) dari cumi-cumi. Kitin
dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti papain, lactase,
kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase. Pemanfaatan kitin yang paling besar di
bidang industri banyak digunakan pada industri pangan dan industri kosmetik (Peter, 1995).
Kitin memiliki sifat yaitu sangat sulit larut dalam air, hal ini membuat pemanfaatan kitin
menjadi sangat terbatas. Hal ini dapat diatasi dengan cara memodifikasi struktur kimiawi
sehingga akan didapatkan turunan kitin yang mempunyai sifat kimia lebih baik daripada
kitin. Salah satu dari turunan kitin tersebut adalah kitosan yang mempunyai sifat larut dalam
asam dan viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi dari
polimer kitin. Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur dan apabila disimpan dalam jangka
waktu yang lama dengan suhu sekitar 100oF, sifat kelarutan dan viskositas dari kitosan ini
akan berubah. Apabila kitosan disimpan dalam waktu yang lama dengan keadaan terbuka
(mengalami kontak dengan udara), maka akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi,
perubahan warna menjadi kekuningan, dan menurunnya viskositas dari kitosan tersebut.Sifat
dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti misalnya asam
asetat, asam format, asam sitrat.Namun apabila kitosan telah disubstitusikan, hal ini akan
membuat kitosan dapat larut dengan air. Kitosan dapat mudah larut dengan asam asetat
7
karena asam asetat memiliki gugus karboksil yang akanmempermudah pelarutan kitosan yang
disebabkan karena terjadinya interaksi hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari
kitosan (Dunn et al.,1997).
Kitin dapat didapat dari berbagai macam organisme yang ada di alam. Kitin pada tubuh
organisme didapati dalam tiga bentuk kristal dan dibedakan atas susunan rantai molekul yang
menyusun kristalnya. Ketiga jenis kitin tersebut antara lain yaitu α-kitin yang berupa rantai
antipararel, β-kitin berupa rantaipararel, dan γ-kitin yang berupa rantai campuran (Abun et
al., 2007). Menurut Suhardi (1992), bahwa cangkang udang mengandung kitin sebesar 20-
50% dari berat keringnya. Kitin termasuk polisakarida dengan Berat Molekul yang tinggi,
bagian utamanya tersusun dari unit N-asetilglukosamin yang terikat dengan ikatan kovalen
glikosidik yang kuat (Mizani, 2007). Jadi, bisa dikatan bahwa kitin tersusun atas beta (1,4)
linked 2-acetamido-2-deoxy-geta-D-glucose. Sruktur kimia kitin dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur kimia kitin (Dutta, et al., 2004)]
Menurut Mizani (2007), proses utama yang dapat dilakukan untuk ekstraksi limbah udang
yaitu didasarkan pada demineralisasi (oleh perlakuan asam) dan deproteinasi (oleh perlakuan
basa). Tetapi juga ada proses lainnya yang juga dapat digunakan untuk mendapatkan kitin,
yaitu dengan melalui aktivitas proteolitik dari enzim mikrobia dan fermentasi asam laktat.
Namun, dengan menggunakan kedua metode yang terakhir tersebut jarang digunakan karena
akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Hasil isolasi dari kulit udang ini menghasilkan
senyawa kitin yang merupakan polimer dari glukosamin, dimana glukosamin adalah
polisakarida yang mengandung gugus asetatamida. Sedangkan, kitosan merupakan hasil
proses kitin dengan melalui proses hidrolisis alkali sehingga terjadi proses deasetilasi dari
gugus asetamida menjadi gugus amina. Jadi prinsipnya adalah proses transformasi kitin
8
menjadi kitosan ini dapat melalui proses hidrolisis dengan asam dan basa (Ramadhan et al,
2010).
Kitosan berbentuk serat dan lembaran tipis kopolimer, serta tidak berbau. Pemisahan dengan
deasetilasi basa kitin komersial golongan eksoskeleton crustaceae laut. Memiliki kadar pH
6,3 dan kitosan yang dilarutkan kedalam air suling, garam, atau media laboratorium
menunjukkan aktivitas antimikrobial (perlawanan pada strain berfilamen dari bakteri, yeast,
dan fungi). Kemampun kitosan yang mudah menyerap lemak akibat adanya gugus aktif yang
berikatan dengan mikroba. Oleh karena itu kitosan memiliki sifat yang mampu menghambat
pertumbuhan pada mikroba (Hardjito, 2001). Kitosan yang dihasilkan dari proses deasetilasi
kitin memiliki sifat polikationik yang menyebabkan kitosan dapat berfungsi sebagai agen
penggumpal dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang mengandung protein
(Subianto, 2001 dalam Hartati et al., 2002). Kitosan mampu berikatan secara crosslink
apabila ditambahkan crosslinked agent seperti glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+ pada
kitosan tersebut (Cahyaningrum et al., 2007). Menurut Balley et al., (1977), terdapat lebih
dari 200 pemanfaatan dari kitin dan kitosan serta turunannya terutama di industri pangan,
pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, serta lingkungan.
Muzzarelli et al., (1997) mengemukakan bahwa kitosan bermanfaat sebagai pewarna
makanan, sebagai flokulan, membantu proses penjernihan air, sebagai pengawet hasil
perikanan, aditif bagi produk argokimia, dan pengawet benih. Hal ini dikarenakan adanya
gugus hidroksil pada atom C-3 dan C-6. Penilaian kualitas pada kitosan terlihat dari sifat
intinsik yang terdiri dari kemurnian, derajat deasetilasi, dan massa molekul. Sifat-sifat fisiko-
kimia polisakarida (reologi kitosan) mempengaruhi massa molekul kitosan dan distribusinya.
Dalam proses transformasi kitin menjadi kitosan melibatkan hidrolisis dengan asam dan basa.
Pada suasana yang basa terdiri dari dua metode yang terdiri dari homogen dan heterogen.
Pada heterogen untuk kondisi basa yang kuat adalah metode yang cukup umum dilakukan
selama proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Perlakuan tersebut menghasilkan variasi
masa molekul dan derajat deasetilasi dari kitosan. Proses deasetilasi berlangsung melalui
permukaan kitin, kemudian memasuki daerah amorf. Setelah itu secara bertahap proses
deasetilasi terjadi hingga ke wilayah kristalin kitin (Chang et al., 1997).
9
Menurut Robert (1992), kitosan memiliki bentuk padatan amorf yang berwarna putih dengan
struktul kristal yang tetap dari bentuk awal kitin murni. Rantai dari kitosan ini akan lebih
pendek daripada rantai kitin yang digunakan untuk menghasilkan kitosan tersebut. Bentuk
dari kitosan mirip dengan selulosa, hanya saja yang membedakannya adalah pada gugus
hidroksi C-2 nya, dimana gugus tersebut disubtitusi dengan gugus amino (NH2). Kitosan
banyak dimanfaatkan sebagai pengawet karena kitosan ini mengandung gugus amino yang
memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Adanya hal
tersebutlah yang menjadi ciri khas pada kitosan dimana polisakarida lainnya biasanya
memiliki muatan yang netral.
Pada praktikum Chitin dan Chitosan digunakan beberapa alat dan bahan. Alat yang
digunakan adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas. Sedangkan bahan-bahan yang
digunakan dalam praktikum ini adalah limbah kulit udang dan larutan NaOH 3,5% untuk
seluruh kelompok. Kelompok C1 dan C2 digunakan larutan HCl 0,75N dan NaOH 40%,
kelompok C3 and C4 larutan HCl 1N dan NaOH 50%, dan kelompok C5 larutan HCl 1,25N
dan NaOH 60%. Pengamatan dilakukan pada rendemen kitin I, rendemen kitin II, dan
rendemen kitosan. Praktikum ini berujuan mengetahui bagaimana pembuatan chitin dan
chitosan yang berasal dari limbah crustaceans dengan hasil value-added by product dengan
perlakuan baik asam atau basa. Selain itu, agar dapat mengamati karakteristik produk yang
dihasilkan (rendemen, kadar air, kadar abu, kadar kalsium, dan kadar protein).
Pada percobaan ini dilakukan proses demineralisasi. Proses ini bertujuan untuk
menghilangkan kadar mineral dan garam-garam anorganik yang masih berada pada kitin
(kalsium karbonat). Sebelum dilakukan proses demineralisasi, yang harus dilakukan
sebelumnya adalah proses persiapan sampel, dimana proses persiapan sampel yang pertama
adalah limbah kulit udang yang akan digunakan untuk pembuatan kitin dan kitosan ini dicuci
menggunakan air mengalir. Pencucian ini memiliki tujuan untuk menghilangkan kotoran
yang ada pada kulit udang yang akan digunakan dimana kotoran tersebut dapat mencemari
ekstrak kitin yang dihasilkan. Setelah proses pencucian dengan air mengalir, kulit udang
tersebut kemudian dicuci dengan menggunakan air panas sebanyak dua kali pencucian.
Pencucian kulit udang dengan air panas ini bertujuan untuk proses sterilisasi yang
mengakibatkan mikroorganisme-mikroorganisme kontaminan yang berada pada kulit udang
bisa dihilangkan. Setelah pencucian dengan air panas sebanyak 2 kali, lalu kulit udang
10
tersebut dikeringkan. Kemudian dilakuakan pengancuran pada limbah hingga menjadi serbuk
dan kemudian diayak dengan ayakan berukuran 40 hngga 60 mesh. Proses pengayakan
bertujuan untuk pengurangan ukuran limbah udang atau size reduction. Pengurangan ukuran
bahan perlu dilakukan hingga mencapai ukuran 16 mesh. Langkah selanjutnya adalah
pencampuran dengan larutan HCl (10:1) sebanyak 50 ml untuk masing-masing konsentrasi.
Larutan HCl yang digunakan untuk proses dekalsifikasi dalam menghilangkan kandungan
CaCO3 pada kulit udang. Proses pencampuran diikutsertakan dengan pemanasan hingga suhu
90oC selama 1 jam dan diaduk. Pengadukan bertujuan limbah udang yang dikeringkan dapat
terlarut secara homogen dalam larutan dan memberikan hasil yang optimal (Hargono &
Djaeni, 2003).
Pada proses demineralisasi dilakukan proses pemanasan yang bertujuan untuk mempercepat
proses perusakan mineral, dimana tujuan dari proses ini adalah mengilangkan kandungan
mineral, kalsium karbonat, dan kalium fosat. Setelah itu residu ducuci hingga mencapai pH
netral dengan menggunakan kertas pH. Tujuan dari pH netral agar dapat melihat pengaruh
asam yang diberikan pada hasil padatan. Proses pengukuran pH dilakukan hingga kertas pH
menunjukkan warna hijau. Hal ini untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama
pengeringan (Johnson & Peterson, 1974). Langkah selanjutnya pengeringan dilakukan
kembali dengan menggunakan oven pada suhu 80oC selama 24 jam dalam dehumidifier.
Proses pengeringan dengan dehumidifier ini bertujuan untuk membuat air panas yang masih
berada pada kulit udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air yang terletak pada kulit udang
tersebut dapat dikurangi sehingga menghasilkan produk kulit udang yang kering.
Langkah selanjutnya adalah adalah dilakukan proses deproteinasi. Proses ini bertujuan untuk
memisahkan ikatan pada kitin dan protein, serta pengurangan pada kandungan protein
(Hargono & Djaeni, 2003). Pengolahan lebih lanjut pada rendemen kitin melalui proses ini
dapat dilakukan dengan proses ini. Kandungan pada limbah ini terbilang cukup tinggi yaitu
hingga mencapai 30%. Langkah pertama hasil (tepung) dari proses demineralisasi dicampur
dengan NaOH (6:1), kemudian diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama
1 jam. Tujuan dari penggunaan larutan NaOH tersebut adalah untuk membantu
menghilangkan senyawa protein. Perlakuan pemanasan bertujuan untuk membantu
pemisahan protein dan berperan dalam mendenaturasi protein secara merata dan efisien (Das
& E. Anand, 2010). Setelah itu, bahan disaring dengan menggunakan kain saring dan
11
didinginkan. Penyaringan yang dilakukan bertujuan untuk memisahkan padatan dengan
padatan terlaut lainnya. Langkah berikutnya, residu dicuci hingga mencapai pH netral dan
pengeringan dilakukan kembali pada suhu 80oC selama 24 jam. Pencucian hingga dicapai pH
netral agar kadar alkali yang tertinggal dalam padatan dapat berkurang. Hasil akhir dari
proses ini adalah kitin (Hargono & Djaeni, 2003).
Kemudian proses yang ketiga yaitu deasetilasi dan proses ini bertujuan untuk menghasilkan
kitosan. Pertama-tama Chitin ditambahkan NaOH untuk kelompok C1 dan C2 40%,
kelompok C3 dan C4 50%, dan kelompok C5 60% (20:1) atau berat NaOH 20 kali berat kitin.
Penambahan larutan tersebut bertujuan untuk mendapatkan kitosan dan kitin. Adanya struktur
kitin yang kristal dan panjang dengan ikatan ion nitrogen yang kuat, serta gugus karboksil.
Angka & Suhartono (2000) menyatakan bahwa larutan NaOH merupakan larutan yang kuat
dalam golongan alkali dalam meningkatkan kecernaan limbah (industri dan pertanian).
Kemampuan NaOH dalam memperbesar volume substrat sehingga ikatan antar tiap
komponen menjadi renggang. NaoH mampu menghidrolisa gugus asetil pada kitin dan
mengakibatkan terjadinya deasetilasi, serta perubahan pada kitosan dimana kadar kitin
berkurang. Setalah dilakukan pencampuran, campuran tersebut diaduk selama 1 jam dan
didiamkan selama 30 menit, kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 90oC selama 60
menit dengan menggunakan Hot plate. Larutan yang didiamkan selama 30 menit bertujuan
untuk mengendapkan bahan. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan residu dicuci hingga pH
netral. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan larutan alkali yang masih tertinggal
dalam bahan dan mencegah degradasi produk selama pengeringan (Johnson dan Peterson,
1974). Lalu pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 24
jam. Proses pengeringan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam kitosan
sehingga memiliki umur simpan yang panjang. Langkah terakhir adalah penimbangan
terhadap rendeman hasil pengeringan dan hasil yang didapat setelah proses deasetilasi
tersebut dinamakan kitosan.
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini, didapatkan data yang berbeda-beda dari
masing-masing kelompok. Pada rendemen kitin I kelompok C3 dihasilkan nilai yang paling
tinggi yaitu sebesar 41,67%, sedangkan kelompok C1 dan C5 dihasilkan rendemen yang
12
paling rendah yaitu 23,45% dan 21,19%. Pada pengamatan rendemen kitin II dihasilkan nilai
terendah pada kelompok C1 sebesar 30% dan nilai tertinggi pada kelompok C4 sebesar
58,3%. Pada pengamatan rendemen kitosan, kelompok C5 dihasilkan nilai rendemen
terendah yaitu sebesar 11,25% dan rendemen tertinggi pada kelompok C2 sebesar 37,38%.
Rata-rata setelah proses deasetilasi pada setiap kelompok memiliki nilai rendemen yang lebih
rendah dibandingkan dengan kitin. Hal tersebut dikarenakan dalam pembuatan kitosan telah
melalui proses yang melibatkan penghilangan atau pengurangan kandungan bahan. Seperti
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Adanya perbedaan nilai rendemen antar
kelompok yang menggunakan bahan yang sama seperti kelompok C1 dan C2 yaitu 23,45%
dan 37,82% pada pengamatan rendemen kitin I. Ketidaksesuaian pada hasil praktium dapat
disebabkan bahwa derajat deasetilasi merupakan parameter mutu yang menampilkan gugus
asetil, serta dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Maka, seharusnya semakin tinggi
derajat deasetilasi pada kitosan maka jumlah rendemen harusnya semakin sedikit. Pada hasil
percobaan menunjukkan bahwa nilai rendeman kitosan terendah pada kelompok C5 yaitu
11,25%. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang
digunakan maka akan semakin rendah rendemennya dan memperbanyak gugus asetil yang
dihilangkan dalam rendemen (Knoor, 1982).
Menurut Angka & Suhartono (2000), pada rendemen kitin II dikatakan akan mengalami
penurunan nilai rendemen dibandingkan pada rendemen kitin I. Hasil pengamatan yang ada
belum sesuai dengan teori yang ada, nilai rendemen kitin II seharusnya lebih kecil
dibandingkan rendemen kitin I, tetapi yang dihasilkan pada percobaan ini tidak demikian.
Adapun hasil dari beberapa kelompok tidak sesuai dengan teori yang ada. Menurut Fennema
(1985), hal ini dapat dikarenakan adanya proses deproteinasi yang tidak sempurna sehingga
kitin yang dihasilkan pun kurang maksimal. Adanya proses deproteinasi yang kurang
sempurna ini, dapat diakibatkan karena adanya kitin yang terikut dengan air pada saat proses
penetralan dan penyaringan, pengeringan kitin yang kurang sempurna, atau proses
demineralisasi yang kurang optimal sehingga masih ada pelindung mineral yang terletak pada
kulit udang sehingga menghambat proses deproteinasi. Kelarutan protein dan mineral sendiri
pada suasana basa akan lebih besar jika dibandingkan kelarutannya pada suasana asam. Hal
tersebut disebabkan karena larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan larutan asam seperti HCl. Berdasarkan teori tersebut dapat
dinyatakan bahwa proses deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan
13
mengoptimalkan proses penghilangan mineral dan khususnya komponen protein yang berada
pada kitin tersebut.
Dalam jurnal Younes & Marguerite (2015), dikatakan bahwa tahap lebih baik yang dilakukan
pertama kali adalah deproteinasi kemudian dilanjutkan dengan proses demineralisasi karena
akan terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral. Krishnaveni et al., (2015)
dalam jurnalnya membahas bahwa terdapat metode yang lebih sederhana untuk mengetahui
keberadaan kitin dalam suatu bahan yaitu dengan menggunakan infrared spectroscopy, akan
tetapi dibutuhkan beberapa perlakuan penunjang. Metode tersebut dapat digunakan untuk
mengetahui karakteristik dari kitin dan kitosan.
Dalam jurnal Rumengan et al. (2014), terdapat beberapa jenis kitin yang dapat ditemukan
yaitu dalam bentuk α, β, γ. Perbedaan diantara ketiga jenis tersebut terdapat pada susunan
rantai disekitar kristalin. Perbedaan kristalin ini dapat diukur dari nilai indeks kristalin yang
bisa juga digunakan untuk memberi informasi mengenai keadaan kristal dan membedakan α-
kitin dan β-kitin. Indeks kristalin ini dapat dihitung dengan X-ray diffractograms.
Dari teknologi perkembangan kitin dan kitosan serta turunannya, banyak manfaat yang bisa
didapatkan antara lain yang disebutkan oleh Hossain & Iqbal (2014) yaitu dibidang pangan,
farmasi, kesehatan, pertanian dan industri kertas dan tekstil serta pemulihan limbah industri
dan berperan dalam proses de-acidification dari jus buah. Kitin dan kitosan dapat
dimanfaatkan dalam proses enkapsulasi bahan makanan aktif serta sebagai media yang
mengontrol pembuatan obat-obatan. Hal ini bisa terjadi karena sifat biologi dan sifat kimia
dari kitosan yaitu biodegradabilitas (dapat diuraikan dengan proses biologis oleh mikroba
penghasil enzim lisozim dan kitinase atau proses kimia), bioaktivitas, dan biokompatibilitas
(Zhao et al., 2011).
Menurut Knorr (1984) kitosan memiliki beberapa sifat seperti anti bakteri, pengkelat. Dalam
dunia pangan, aplikasi kitin dan kitosan ini dapat mengurangi kadar zat besi, logam berat
sepeti Pb dan Cd serta mikotiksin dan dapat meningkatkan keamanan dan kualitas dari
produk wine (Bornet et al., 2008). Penggunaan kitin dan kitosan dalam bidang pertanian
adalah untuk menyuburkan tanah dan berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah,
mempercepat pertumbuhan tanaman serta mengaktifkan organisme yang berperan dalam
14
penyuburan tanah. Hal ini sangat baik diaplikasikan karena selain murah juga dapat
mengurangi penggunaan bahan kimia dalam lingkup pertanian (Radwan et al., 2012).
15
4. KESIMPULAN
Kitin tidak dapat larut dalam air, akan tetapi mampu memodifikasi struktur kimia dan
diperoleh turunan kitin yang memiliki sifat kimia yang cukup baik.
Kitin merupakan kristal atau padatan amorf yang terdiri dari makromolekul, memiliki
warna putih, dan mampu terurai melalui proses kimiawi (asam dan basa kuat) atau
biologis (oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan kitinase).
Kitosan memiliki bentuk serat dan lembaran tipis kopolimer, serta tidak berbau.
Pemisahan dengan deasetilase basa kitin komersial golongan eksoskeleton crustaceae
laut.
Kemampun kitosan yang mudah menyerap lemak akibat adanya gugus aktif yang
berikatan dengan mikroba.
Pengadukan bertujuan limbah udang yang dikeringkan dapat terlarut secara homogen
dalam larutan dan member hasil yang optimal.
Transformasi kitin menjadi kitosan melibatkan hidrolisis dengan asam dan basa.
Proses pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses perusakan mineral.
Penambahan larutan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan
kandungan mineral yang dimiliki oleh kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang
dihasilkan akan semakin tinggi pula.
Penambahan NaOH 3,5% pada proses deproteinasi bertujuan untuk memaksimallkan
proses penghilangan mineral dan protein yang dimiliki oleh kitin.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan pada saat proses deasetilasi,
makarendemen kitosan yang dihasilkan akan semakin rendah.
NaOH mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul yang dimiliki oleh kitosan
sehingga mengakibatkan penurunan berat molekul kitosan.
Semarang, 22 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
- Tjan, Ivana Chandra
Ignatius Alfredo Ade Prasetyo
13.70.0191
16
5. DAFTAR PUSTAKA
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi
Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan
dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstra
ksi_kitin1.pdf.Diakses tanggal 20 Oktober 2015.
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Bogor.
Balley, J.E., and Ollis, D.F. (1977). “Biochemical Engineering Fundamental”, Mc. Graw Hill
Kogakusha, ltd., Tokyo.
Bornet, A., and P. L. Teissedre. 2008. Chitosan, Chitin-Glucan and Chitin Evects on Minerals
Iron, Lead, Cadmium and Organic Ochratoxin A Contaminants in Wines. Journal of
Europe Food Res Technology 226:681–689.
Cahyaningrum, S.E., R. Agustini, N. Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang
Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Akta Kimindo. Vol 2 : 93-
98.
Chang KLB., G.Tsai, J. Lee dan W. Fu. (1997). Heterogenous N-deacetylation of chitin in
alkaline solution. Carbohydr Res 303:327-332.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of
Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan: Chemistry,
properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol.63. pp
20-31
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hardjito, l. 2001. Chitosan Lebih Awet dan Aman. www.tabloidnova.com
Hargono&Djaeni, M. (2003). Utilization of Chitosan Prepared from Shrimp Shell as Fat
Diluent.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang
Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam
17
Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2,
NO. 1 : 68-77.
Hossain, M.S., A. Iqbal. (2014). Production and characterization of chitosan from shrimp
waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(1): 153–160.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. 1974. Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The
AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Knoor, D. (1982). Function properties of chitin and chitosan. J.Food.Sci. (47)36.
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi
Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Krisnaveni, B., R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and
Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study
of their Productive Application. J. Pharm. Sci. & Res. Vol. 7(4), 197-205.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/
marganof.htm.Diakses tanggal 19 Oktober 2015.
Mizani, Maryam dan Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of
Chitin from Shrimp Head Waste. Proceeding of European Congress of Cjemical
Engineering. Copenhagen.
Muzzarelli, RAA. (1997). Depolymerization of chitins and chitosans with hemicellulase,
lysozyme, papain, and lipases. Di Dalam RAA. Muzzarelli dan MG Peter (ed). Chitin
Handbook. European Chitin Soc, Grottamare.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.
Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Prasetyo, Kurnia Wiji.(2006).Pengolahan Limbah Cangkang Udang.
http://www.biomaterial.lipi.go.id/?p=154.
Radwan, M. A., S.A.A. Farrag, M.M.A. Elamayem, N.S. Ahmed. 2012. Extraction,
Characterization, and Nematicidal Activity of Chitin and Chitosan Derived from
Shrimp Shell Wastes. Journal of Biology Fertilization Soils 48:463–468.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.
Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap
Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
18
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rumengan, I.F.M., E. Suryanto et al., (2014). Structural Characteristics of Chitin and
Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus
rotundiformis.International Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 3(1): 12-18.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi
Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Younes, Islem, Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine
Sources.Structure, Properties and Applications.Mar. Drugs.(13), 1133-1174.
Zhao, L. M. L. E. Shi, Z. L. Zhang, J. M. Chen, D. D. Shi, J. Yang and Z. X. Tang. (2011).
Preparation and Application of Chitosan Nanoparticles and Nanofibers. Brazilian
Journal of Chemical Engineering Vol. 28, No. 03, pp. 353 – 362.
19
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ𝐼× 100%
Rendemen Chitin II = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑖𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼× 100%
Rendemen Chitosan = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝐼𝐼𝐼× 100%
Kelompok C1
Rendemen Chitin I = 3,5
14,5× 100%
= 23,45 %
Rendemen Chitin II = 1,5
5,0× 100%
= 30,00 %
Rendemen Chitosan = 0,96
3,5× 100%
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I = 4,5
11,9× 100%
= 37,82 %
Rendemen Chitin II = 2,2
5× 100%
= 44 %
Rendemen Chitosan = 1,57
4,2× 100%
= 37,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I = 4,5
10,8× 100%
= 41,67 %
20
Rendemen Chitin II = 3
5,5× 100%
= 54,55 %
Rendemen Chitosan = 1,19
3,7× 100%
= 32,16 %
Kelompok C4
Rendemen Chitin I = 4
10× 100%
=40,00 %
Rendemen Chitin II = 3,5
6× 100%
= 58,3 %
Rendemen Chitosan = 1,41
5,8× 100%
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I = 2,5
11,8× 100%
= 21,19 %
Rendemen Chitin II = 2,5
6,2× 100%
= 40,32 %
Rendemen Chitosan = 0,18
1,6× 100%
= 11,25 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal