Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

16
1 1. MATERI METODE 1.1. Alat dan Bahan 1.1.1. Alat Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah oven, blender, peralatan gelas, kain saring ukuran 30 x 30 sebanyak 3 potong dan ayakan. 1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, larutan HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N; serta larutan NaOH 40%, 50% dan 60% 1.2. Metode Demineralisasi HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok C1 dan C2 menggunakan HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali. Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40- 60 mesh. Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

Transcript of Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

Page 1: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

1

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan Bahan

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah oven, blender, peralatan gelas, kain

saring ukuran 30 x 30 sebanyak 3 potong dan ayakan.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, larutan HCl

0,75 N; 1 N; dan 1,25 N; serta larutan NaOH 40%, 50% dan 60%

1.2. Metode

Demineralisasi

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok C1 dan C2 menggunakan

HCl 0,75N, C3 dan C4 HCl 1N, dan C5 HCl 1,25N

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air

panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-

60 mesh.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

ayakan 40-60 mesh.

Page 2: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

2

Deproteinasi

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan

pengadukan.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Page 3: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

3

Deasetilasi

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2,

NaOH 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan NaOH 60% untuk kelompok C5

Page 4: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

4

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

Page 5: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

5

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan pembuatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Hasil Rendemen Kitin dan Kitosan

Kelompok Perlakuan Rendemen

Kitin I (%)

Rendemen

Kitin II (%)

Rendemen

Kitosan (%)

C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43

C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5% 37,82 44,00 37,38

C3 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH

3,5% 41,67 54,55 32,16

C4 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH

3,5% 40,00 58,30 24,30

C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa berbagai perlakuan yang diberikan pada setiap proses

akan menghasilkan rendemen yang berbeda-beda juga. Dari hasil pengamatan didapatkan

bahwa nilai rendemen pertama yang tertinggi didapatkan pada kelompok C3 yang diberi

perlakuan penambahan larutan HCl sebanyak 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% yaitu sebesar

41,67%. Kemudian nilai rendemen II untuk kitin yang tertinggi adalah kelompok C4 dengan

nilai sebesar 58,30% yang diberikan penambahan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%.

Setelah itu nilai rendemen untuk kitosan yang paling tertinggi yaitu pada kelompok C3. Dari

tabel 1 juga dapat dilihat ternyata dari rendemen I mengalami peningkatan pada rendemen

kitin II kemudian setelah itu nilai rendemen III untuk kitosan menurun secara signifikan.

Page 6: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

6

3. PEMBAHASAN

Di dalam praktikum ini dilakukan pembuatan kitin dan kitosan yang didapatkan dari limbah

udang hingga didapatkan produk yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi atau yang biasa

disebut sebaia value-added by product. Bahan dasar yang digunakan dalam praktikum kali ini

adalah cangkang dari udang yang menurut Indra (1994) mengatakan bahwa limbah udang

mengandung 30% - 40% protein dari berat kering nya, karbohidrat, mineral dan kadar kitin di

dalamnya mencapai 60-70% sehingga akan didapatkan hasil kitosan sekitar 15-20%. Menurut

Hossain & Iqbal (2014) di dalam jurnalnya berjudul “Production and Characterization of

Chitosan From Shrimp Waste” mengatakan bahwa kulit dan kepala udang memiliki nilai

ekonomis yang rendah. Di dalam industri udang, limbah udang biasa digunakan untuk proses

selanjutnya dan dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti

halnya kitosan. Dalam jurnal ini juga dikatakan bahwa kitosan merupakan polimer

karbohidrat yang didapatkan dari kitin yang mudah didapatkan dari golongan crustaceans,

fungi, serangga dan beberapa alga (Tolamite et al., 2000). Adapun Hudson & Smith (1998)

mengatakan bahwa kitin dan kitosan merupakan kelompok dari polisakarida linear yang

terdiri dari β (1,4) yang berikatan dengan N-asetil-2-amino-2-deoksi-D-glukosa dan 2-amino-

2-deoksi-D-glukosa. Kitin memiliki ikatan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa dalam jumlah yang

sedikit oleh karena itu polimer kitin ini tidak dapat larut di dalam media asam sedangkan

kitosan yang memiliki ikatan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa dalam jumlah cukup banyak maka

kitosan lebih larut di dalam larutan asam.

Berdasarkan jurnal “Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the

Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis” oleh Rumengan et al. (2013)

dikatakan bahwa struktur molekul dari rotifer adalah C18H26N2O10 dimana gugus hidroksil

pada rantai kedua digantikan oleh asetil amida. Kitosan yang dihasilkan dilihat tidak

memiliki ikatan amida namun hidroksil dan amino dapat dilihat pada spectra hingga 3500

cm-1

. Kitosan yang dihasilkan didapatkan isolasi kitin yang menggunakan biomassa rotifer

dan keduanya menunjukkan gugus fungsional yang berbeda. Kitin tersusun dari 2-asetamida-

2-deoksi-D-glukosa sedangkan kitosan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Menurut jurnal ini

kitosan lebih banyak digunakan untuk keperluan farmasi.

Page 7: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

7

Karakteristik umum dari kitin yaitu berwarna putih, keras, tidak elastis dan merupakan

polisakarida nitrogen yang mudah ditemukan di dalam cangkang invertebrata. Sifat kitin ini

tidak larut di dalam air sehingga penggunaan dari kitin masih terbatas. Karakteristik kimia

yang dimiliki kitin yaitu kitin merupakan poliamin linear, memiliki gugus amino dan gugus

hidroksil yang reaktif serta berguna sebagai chelating agent (Robert, 1992). Sedangkan

karakteristik biologi dari kitosan yaitu merupakan polimer alami yang aman dan tidak

menimbulkan sifat racun bagi manusia, mampu mempercepat pertumbuhan tulang, anti tumor

serta dapat menghilangkan stress dan bersifat fungistatik atau mampu menahan pertumbuhan

fungi (Uragami et al., 2001).

Kitosan memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pengawet

alami dikarenakan polikation yang bermuatan positif di dalamnya mampu menghambat

pertumbuhan bakteri dan kapang. Selain digunakan sebagai pengawet alami, kitin kitosan ini

juga dapat dimanfaatkan untuk industri pangan, gizi, biokimia, farmasi dan kesehatan

sedangkan untuk turunannya digunakan sebagai emulsifier (Marganov, 2003). Adapun

menurut Aranaz et al. (2009) kitin dan kitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang dapat

berfungsi sebagi absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga dan timbal. Fungsi kitosan

sebagai bahan antimikroba dikarenakan adanya kandungan enzim lisozim sehingga kitosan

mampu berinteraksi dengan senyawa di permukaan sel bakteri lalu kemudian akan

teradsorbsi dan membentuk lapisan yang akan menghambat saluran transportasi sel sehingga

sel akan berkembang dan pada akhirnya sel bakteri akan mati (Ratna & Sugiyani, 2006).

Younnes & Rinaudo (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Chitin and Chitosan Preparation

from Marine Sources, Structure, Properties and applications” mengatakan bahwa ekstraksi

kitin dari kelompok crustaceans dapat dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama yang

dilakukan yaitu penghilangan protein atau yang dinamakan deproteinasi yang dilanjutkan

dengan penghilangan kalsium karbonat dengan proses demineralisasi. Proses isolasi kitin

dimulai dengan pemilihan cangkang dari limbah yang digunakan. Pemilihan ini didasarkan

dari kualitas bahan yang digunakan. Idealnya cangkang yang digunakan harus yang memiliki

ukuran dan dari spesies yang sama.

Dalam praktikum kali ini juga dilakukan proses yang sama seperti yang telah disebutkan di

dalam jurnal tersebut. Pertama dilakukan tahap demineralisasi terlebih dahulu. Dalam tahap

ini limbah udang dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir kemudian dikeringkan lalu

Page 8: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

8

dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Setelah itu

dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak menggunakan ayakan ukuran 40 – 60 mesh.

Tujuan pengayakan yang dilakukan adalah untuk dapat memperluas permukaan partikel.

Langkah selanjutnya adalah serbuk yang didapatkan dicampur dengan larutan HCl dengan

perbanding 10 : 1. Untuk kelompok C1 dan C2 ditambahkan HCl dengan konsentrasi 0,75 N,

untuk kelompok C3 dan C4 ditambahan HCl dengan konsentrasi 1 N sedangkan untuk

kelompok C5 ditambahkan HCl 1,25 N. Penambahan senyawa HCl ini dimaksudkan untuk

melarutkan senyawa-senyawa mineral yang ada pada serbuk kulit udang tersebut terutama

kalsium karbonat (Sahidi & Syonowiecki, 1991). Setelah itu campuran serbuk tersebut

diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90°C selama 1 jam. Selanjutnya dicuci lagi

hingga pH mencapai netral kemudian dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam.

Pengadukan ditujukan supaya kitin yang terkandung di dalam udang dapat bereaksi sempurna

dengan pelarut yang digunakan sehingga pemanasan dalam langkah selanjutnya dapat terjadi

secara merata dan efisiensi pemanasan akan meningkat. Adapun pemanasan yang dilakukan

bertujuan untuk mengoptimalkan kerja HCl dalam melarutkan mineral agar ikatan antara

kitin dengan kalsium karbonat serta bahan organik lainnya dapat terlepas. Pemisahan yang

sempurna ini ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas CO2 ketika larutan HCl

ditambahkan ke dalam sampel (Peniston & Lohnson, 1978). Pencucian yang dilakukan

selanjutnya juga dimaksudkan untuk membantu penghilangan mineral yang masih terdapat

dalam kulit udang serta untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan

(Suptijah, 2004).

Adapun dalam jurnal “Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture

of Lactobacillus plantarum” oleh Khorrami et al. (2012) dikatakan bahwa produksi kitin dan

kitosan yang didapatkan dari bahan dasar udang tidak hanya didapatkan dengan cara batch

culture menggunakan bakteri Lactobacillus plantarum yang diinkubasi pada suhu 30°C.

Penggunaan bakteri ini juga bisa digunakan dalam proses demineralisasi dan deproteinasi

dari kulit udang. Larutan alkali yang dipakai pada penelitian ini juga sama dengan yang

digunakan di dalam praktikum kali ini yaitu larutan NaOH yang menandakan bahwa kitin dan

kitosan memang bisa di konversi menggunakan larutan tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan dapat dilihat bahwa rendemen kitin I dari

kelompok C1-C5 secara berurutan adalah 23,45% ; 37,82% ; 41,67% ; 40% ; dan 21,19%.

Menurut Truong et al. (2007) dikatakan bahwa konsentrasi perubahan penambahan asam

Page 9: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

9

yang sesuai akan mampu melarutkan mineral secara sempurna sehingga apabila semakin

tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka akan menghasilkan rendemen kitin I yang

semakin besar pula. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan. Hal ini

dilihat dari nilai rendemen kitin kelompok C1 yang menggunakan HCl 0,75 N lebih besar

dibandingkan dengan kelompok C5 yang menggunakan HCl 1,25 N. Hal ini dikarenakan

adanya kesalahan saat pemanasan berlangsung yang mengakibatkan jumlah kitin yang

diperoleh lebih sedikit dibandingkan kelompok lain. Hal tersebut terjadi karena kesalahan

praktikan dalam melakukan pemanasan sehingga saat suhu sudah terlalu tinggi terjadi

penyemburan dari dalam gelas beker yang dipanaskan di atas hot plate dan menyebabkan isi

dari gelas beker habis. Hal tersebut berdampak pada percobaan selanjutnya yaitu proses

deproteinasi dan deasetilasi.

Tahap kedua yang dilakukan adalah tahap deproteinasi. Tujuan dari proses ini adalah untuk

memisahkan ikatan antara protein dengan kitin. Tahap ini dilakukan dengan mencampurkan

tepung dari hasil proses demineralisasi sebelumnya dengan NaOH perbandingan 6 : 1 lalu

diaduk selama 1 jam setelah itu disaring dan didinginkan. Kemudian residu yang didapatkan

dicuci hingga pH mencapai netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam. Dari hasil

inilah didapatkan produk kering terakhir yaitu kitin. Penambahan NaOH pada tahap

deproteinasi ini ditujukan untuk melarutkan protein yang ada pada kitin dari proses

sebelumnya (Bustos & Healy, 1994). Pengadukan dilakukan untuk meratakan pemanasan

supaya derajat deproteinasi meningkat namun tidak terjadi kegosongan. Tujuan pendinginan

dalam proses ini adalah agar bubuk kitin yang dihasilkan dapat mengendap di bawah

sehingga tidak akan terbuang ketika dilakukan pencucian berulang kali. Kemudian pencucian

berulang kali ini dimaksudkan untuk dapat menetralkan kitin yang bersifat basa juga dapat

berperan dalam mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan

beberapa gugus amino bebas. Tujuan dari pengeringan yang dilakukan adalah untuk

menguapkan air yang masih tersisa setelah penyaringan sehingga akan didapatkan produk

yang akhir yang berbentuk kering yaitu kitin (Younes et al., 2012).

Hasil pengamatan yang dilakukan dalam tahap kedua ini dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil

pengamatan didapatkan bahwa nilai rendemen kitin II lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

rendemen I. Hal ini bertentangan dengan pendapat Angka & Suhartono (2000) yang

menyatakan bahwa seharusnya dari proses deproteinasi dan pencucian ini didapatkan hasil

yang lebih rendah dari proses demineralisasi. Sedangkan menurut Rao & Stevens (2000)

Page 10: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

10

mengatakan bahwa proses demineralisasi seharusnya dilakukan setelah proses deproteinasi

karena dalam proses demineralisasi akan memicu terjadinya kontaminasi protein terhadap

cairan esktrak mineral.

Proses terakhir disebut dengan deasetilasi yang memiliki tujuan untuk memperoleh kitosan

dari kitin dengan melepas gugus asetil pada kitin. Kitin yang dihasilkan dari proses

sebelumnya ditambahkan dengan NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2, 50% untuk

kelompok C3 dan C4 sedangkan pada kelompok C5 ditambahkan NaOH 60%. Penambahan

tersebut dilakukan sambil diaduk selama 1 jam dan kemudian didiamkan selama 30 menit.

Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90°C selama 60 menit kemudian disaring dan residu yang

dihasilkan dicuci sampai pH netral. Kemudian residu tersebut di oven pada suhu 70°C selama

24 jam dan didapatkanlah kitosan sebagai produk akhir. Pencucian hingga pH netral

dilakukan untuk menetralkan kitosan yang bersifat basa juga berperan untuk mencegah

terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan akibat pembentukan asetil yang tidak

sempurna. Proses pengeringan dilakukan untuk menguapkan air yang masih tersisa selama

penyaringan. Menurut Czechowska-Biskup et al. (2012) mengatakan bahwa kitosan

merupakan biopolimer yang dapat diperoleh dengan cara deasetilasi dari kitin menggunakan

larutan alkali. Kitosan ini dapat dimetabolisme oleh enzim tertentu dalam tubuh manusia

seperti lisozim dan dianggap sebagai biodegradable.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitosan III lebih kecil

dibandingkan dengan rendemen kitin II. Hasil ini berbeda dengan teori Prasetyo (2006) yang

mengatakan bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan

rendemen kitosan yang semakin besar karena proses ekstrak kitosan akan semakin sempurna.

Namun, hasil pengamatan dilihat bahwa konsentrasi NaOH yang besar justru mendapatkan

hasil rendemen yang paling kecil seperti pada kelompok C5 yang menggunakan larutan

NaOH 60% dan mendapatkan nilai rendemen sebesar 11,25% sedangkan pada kelompok C2

yang ditambahkan dengan NaOH 40% dan mendapatkan nilai rendemen sebesar 37,38%.

Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan kesalahan praktikan saat pengadukan sehingga

menyebabkan tidak merata selama pemanasan berlangsung. Kualitas dan penggunaan produk

kitosan terutama ditentukan dari seberapa besar derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi

pada pembuatan kitosan bervariasi tergantung pada bahan dasar dan kondisi proses seperti

konsentrasi larutan alkali, suhu dan waktu (Kurita et al., 1993).

Page 11: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

11

Berdasarkan jurnal “Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F. Solani

CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and Study of Their Productive

Application” oleh Krishnaveni & Ragunathan (2015) dikatakan banyak manfaat yang

didapatkan dari kitin dan kitosan. Begitupula dengan pemanfaatan dari kitin dan kitosan.

Kedua produk tersebut dapat digunakan sebagai antibakteri dan desinfektan. Hal ini

didasarkan bahwa kitin dan kitosan telah diketahui mampu menurunkan sistem pertahanan

dari bakteri patogen. Adapun menurut Jiffy et al. (2013) aplikasi lain yang digunakan dari

kitin dan kitosan adalah pembuatan pembungkus makanan. Hal ini dikarenakan kitosan hasil

dari proses deasetilasi ini memiliki sifat biodegradable, memiliki umur simpan yang panjang,

fleksibel, cukup keras dan sangat sulit untuk disobek serta memiliki aktivitas antimikroba.

Page 12: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

12

4. KESIMPULAN

Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah crustacea seperti udang dan mampu

dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi (value added by

product).

Limbah udang mengandung 30 – 40% protein dari berat keringnya.

Karakteristik kitin yaitu berwarna putih, keras, tidak elastis dan tidak larut dalam air.

Kitosan berfungsi sebagai bahan atimikroba

Kitin dan kitosan bisa dimanfaatkan sebagai bahan antimikroba dan desinfektan.

Penambahan larutan HCl berfungsi untuk melarutkan mineral dalam kulit udang

terutama kalsium karbonat.

Penambahan larutan NaOH berfungsi sebagai pelarut protein yang didapatkan dari proses

deproteinasi.

Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan senyawa mineral dari kulit udang

terutama kalsium karbonat.

Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan ikatan protein dengan kitin.

Deastilasi bertujuan untuk memperoleh kitin dan kitosan dengan melepas gugus asetil

yang ada pada kitin.

Semarang, 17 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen

Jessica Kezia Harel Tjan, Ivana Chandra

13.70.0098

Page 13: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

13

5. DAFTAR PUSTAKA

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya

Pesisir dan Lautan. Bogor.

Aranaz, I.; Mengíbar, M.; Harris, R.; Paños, I.; Miralles, B.; Acosta, N.; Galed, G.; Heras, A.

Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Curr. Chem. Biol. 2009, 3, 203–

230.

Bustos, R.O.; Healy, M.G. Microbial deproteinization of waste prawn shell. In Proceedings

of the Second International Symposium on Environmental Biotechnology;

Biotechnology’ 94: Brighton, UK, 1994; pp. 15–25.

Czechowska-Biskup, Renata; Diana Jarosinska; Bozena Rokita; Piotr Ulanski; Janusz M.

Rosiak. (2012). Determination of Degree of Deacetylation of Kitosan - Comparision

of Methods.Progress On Chemistry And Application Of Kitin And Its ..., Volume

XVII, 2012.

Hossain, M. S. and A. Iqbal. (2014). Production and Characterization of Chitosan From

Shrimp Waste. Journal Bangladesh Agricultural University. 12 (1) : 153-160.

Hudson S M & Smith C, Polysaccharide: Chitin and chitosan: Chemistry and technology of

their use as structural material, Structural biopolymers from renewable resources,

edited by D L Kaplan (Springer Verlag, New York) 1998, pp. 96-118.

Indra., Akhlus, S., (1994). Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai

Pendukung Padat, Jurusan Kimia FMIPA ITS , Surabaya.

Kurita, K.; Tomita, K.; Ishi, S.; Nishimura, S-I.; Shimoda, K. β-chitin as a convenient starting

material for acetolysis for efficient preparation of N-acetylchitooligosaccharides. J.

Polym. Sci. A Polym. Chem. 1993, 31, 2393–2395.

Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi, and M. N. Hosseinpour. (2012). Production of

Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum.

Chem. Biochem. 26 (3) 217-223.

Krishnaveni, B., and R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and

Chitosan from F. Solani CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and

Study of Their Productive Application. Journal of Pharmacy Science. Vol. 7 (4) : 197-

205.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,

Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702),

Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.

Peniston, Q.P.; Lohnson, E.L. Process for Demineralization of Crustacea Shells. U.S. Patent

4,066,735, 3 January 1978.

Page 14: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

14

Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya

Untuk Pengawetan Bakso.

Rao, M.S.; Muñoz, J.; Stevens, W.F. Critical factors in chitin production by fermentation of

shrimp biowaste. Appl. Microbiol. Biotechnol. 2000, 54, 808–813.

Robert GAF. , . Preparation of chitin and chitosan. The Macmillan. UK: London Press; 1992.

Uragami T, Kurita K, Fukamizo T, editors. Chitin and chitosan in lifescience. Tokyo:

Kodansha Scientific Ltd; 2001.

Rumengan, I. F. M., E. Suryanto, R. Modaso, S. Wullur, T. E. Tallei and D. Limbong.

(2013). Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of

Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis. International journal of fisheries and

aquatic sciences. 3 (1) : 12-18.

Sahidi, F.; Synowiecki, J. Isolation and characterization of nutrients and value-added

products from snow crab (Chifroeceles opilio) and shrimp (Panda- 111sb orealis)

processing discards. J. Agric. Food Chem. 1991, 39, 1527–1532.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin

Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.

Tolaimate, A., Desbrières, J., Rhazi, M., Alagui, M., Vincendon, M. and Vottero, P. 2000.

The influence of deacetylation process on the physicochemical characteristics of

chitosan from squid chitin. Polymer. 41: 2463-9.

Truong, T.; Hausler, R.; Monette, F.; Niquette, P. Fishery industrial waste valorization for the

transformation of chitosan by hydrothermo-chemical method. Rev. Sci. Eau 2007, 20,

253–262.

Younes, I.; Ghorbel-Bellaaj, O.; Nasri, R.; Chaabouni, M.; Rinaudo, M.; Nasri, M. Chitin and

chitosan preparation from shrimp shells using optimized enzymatic deproteinization.

Process Biochem. 2012, 47, 2032–2039.

Younes, I., and Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine

Sources. Structure, Properties and Applications. Journal marine drugs. 13, 1133-1174.

Page 15: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

15

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

Kelompok C1

Rendemen Chitin I =

= 23,45 %

Rendemen Chitin II =

= 30,00 %

Rendemen Chitosan =

= 27,43 %

Kelompok C2

Rendemen Chitin I =

= 37,82 %

Rendemen Chitin II =

= 44 %

Rendemen Chitosan =

= 27,38 %

Kelompok C3

Rendemen Chitin I =

= 41,67 %

Rendemen Chitin II =

= 54,55 %

Rendemen Chitosan =

= 32,16 %

Page 16: Prak Thl Jessica Kezia Harel 13.70.0098 c1 Unika Soegijapranata

16

Kelompok C4

Rendemen Chitin I =

=40,00 %

Rendemen Chitin II =

= 58,3 %

Rendemen Chitosan =

= 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I =

= 21,19 %

Rendemen Chitin II =

= 40,32 %

Rendemen Chitosan =

= 11,25 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal