Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

33
Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali Ni Made Mitha Mahastuti NIP.1985070620140922001 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2018

Transcript of Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

Page 1: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

Kontekstual Warisan Budaya DuniaDAS Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali

Ni Made Mitha Mahastuti

NIP.1985070620140922001

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2018

Page 2: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan

Yang Maha Esa) karena berkatNYAlah, tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan yang

berjudul “Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap

Kesinambungan Budaya Bali” ini disusun sebagai bagian dari tugas-tugas selaku

dosen, yang harus mencari sesuatu agar dapat menunjang kegiatan, dan untuk

menambah wawasan materi perkuliahan khususnya, dan bermanfaat sebagai

pengetahuan yang menyangkut arsitektur pada umumnya.

Untuk mengerjakan tulisan ini, materinya diperoleh dari literature, foto-foto,

surat kabar, majalah, brosur dan sebagainya, maupun diskusi, wawancara dan lainnya.

Tak kalah juga pentingnya adalah dorongan semangat, bimbingan, masukan-masukan

pemikiran dan sebagainya, dari berbagai pihak yang semuanya memberi kontribusi

positif bagi penulis.

Ucapan terima kasih disampaikan untuk semua pihak yang telah berperan

seperti tersebut di atas, terutama Ibu Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka Saraswati,

MT ( Ketua Program Studi Arsitektur FT UNUD ) yang menugaskan membuat tulisan

ini. Selain dari pada itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak

lainya yang telah membantu memperkaya materi, baik melalui literatur, informasi

maupun wawancara.

Penulis sangat menyadari bahwa, tulisan ini masih banyak kekuragan, namun

demikian harapan penulis, semoga materi sederhana ini dapat mencapai tujuannya

yaitu memperkaya materi perkuliahan khususnya, dan pengetahuan arsitektur pada

umumnya.

Denpasar, Januari, 2018

Penulis

Ni Made Mitha Mahastuti

NIP.1985070620140922001

Page 3: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

Abstrak

Warisan budaya merupakan kekayaan budaya yang bernilai penting bagi pengembangansejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Warisan budaya berupa cagar budaya dalam halini sebuah pura merupakan salah satu hasil karya arsitektur yang patut untuk dijaga dandilestarikan. The World Cultural Heritage UNESCO pernah menetapkan tiga situs di Balisebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni DAS Pakerisan (Gianyar),persawahan Jatiluwih (Tabanan), dan Pura Taman Ayun di Mengwi, Badung. Hal itumenunjukkan komitmennya terhadap situs-situs penting yang menjadi cikal bakal lahirnyaperadaban. Namun hal tersebut akan mustahil dilakukan apabila tidak didukung olehpartisipasi dari masyarakat serta pemerintah. Maksud UNESCO tersebut dapat dilihat sebagaitujuan yang baik, namun implementasinya juga harus dilihat, bagaimana kontekstualnyaterhadap kesinambungan budaya Bali ke depannya.

Tulisan ini membahas tentang DAS Pakerisan yang memiliki luas wilayah 884,88 hektar danterletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Situs ini meliputibeberapa pura peninggalan para raja Bali Kuno yang terkait dengan kawasan subak di sebelahhilirnya. Empat pura yang dilindungi dalam DAS Pakerisan sebagai Warisan Budaya Duniayang terletak di Kecamatan Tampaksiring adalah : 1. Pura Tirta Empul, 2. Pura Mengening, 3.Pura Pegulingan, dan 4. Pura Gunung Kawi. Namun mengingat ada dua situs selain yangdisebut di atas yaitu Pura Goa Gajah dan Pura Penataran Sasih (juga terletak dalam wilayahyang berdekatan) yang juga memiliki keterkaitan dengan empat pura lainnya, maka tulisan iniakan membahas pula tentang Pura Goa Gajah dan Pura Penataran Sasih.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, DAS Pakerisan merupakan salah satu bagian daribenda cagar budaya yang nilainya tidak dapat diukur dengan materi. Nilai-nilai lain yang jauhlebih penting yaitu arti dan makna yang sarat telah terkandung di dalamnya. UNESCO tentutidak asal pilih dalam menentukan suatu kawasan dinominasikan sebagai warisan budayadunia. Sebagai bagian dari Bali, tentunya segala potensi yang dimiliki dan terdapat pada DASPakerisan telah ikut memperkaya khasanah dan menjadi cikal bakal kebudayaan Balisekarang. Situs-situs di DAS Pakerisan merupakan suatu peninggalan budaya dari abad ke-10,serta memberi ciri adanya perpaduan unsur budaya prasejarah dan Bali Kuno yang terusdilestarikan/dikembangkan hingga kini. Inilah yang menjadi benang merah antara situs DASpakerisan dengan kebudayaan Bali kini.

Mengingat bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangatpenting, maka diperlukan komitmen dari semua pihak untuk turut melestarikan. Melestarikanberarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namunsesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap adaseperti aslinya, tidak rusak, tidak musnah. Pelestarian khasanah budaya bangsa memang dapatdilakukan dengan berbagai cara. Benda-benda peninggalan sejarah harus diamankan daritangan-tangan jahil. Salah satu cara yang sederhana dan bisa dilakukan adalah tidak bolehmencorat-coret, karena akan merusak peninggalan sejarah tersebut. Pemerintah juga harusbisa menyediakan anggaran yang cukup bagi kegiatan perawatan daerah cagar budaya. Jangansampai, benda-benda sejarah tersebut telantar karena kurangnya anggaran perawatan.Begitupun dalam merawatnya supaya juga diperhatikan pemakaian bahan dan materialnyaagar jangan sampai merusak wajah asli dari situs-situs tersebut.

Kata Kunci: DAS Pakerisan, Warisan Budaya, Cagar Budaya, Pelestarian

Page 4: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................i

Abstrak ............................................................................................................................ii

Daftar Isi .........................................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan .......................................................................................................1

I. 1 Latar Belakang ................................................................................................1

I. 2 Rumusan Masalah............................................................................................3

I. 3 Tujuan Penulisan .............................................................................................3

I. 4 Manfaat Penulisan ...........................................................................................3

I. 5 Metodelogi Penulisan ......................................................................................3

BAB II Landasan Teori Perubahan Kebudayaan ......................................................5

BAB III Tinjauan Umum ..............................................................................................7

III. 1 Peta Gianyar (DAS Pakerisan) .....................................................................7

III. 2 Gambaran Umum DAS Pakerisan ................................................................8

BAB IV Pembahasan .....................................................................................................11

IV. 1 Beberapa Situs di DAS Pakerisan ................................................................11

IV.1.1 Pura Goa Gajah...................................................................................11

IV.1.2 Pura Penataran Sasih...........................................................................13

IV.1.3 Pura Gunung Kawi .............................................................................15

IV.1.4 Pura Mangening..................................................................................17

IV.1.5 Pura Tirta Empul.................................................................................19

IV.1.6 Pura Pegulingan ..................................................................................20

IV. 2 Kontekstual WBD Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali ........23

BAB V Kesimpulan dan Saran .....................................................................................26

V. 1 Kesimpulan ...................................................................................................26

V. 2 Saran...............................................................................................................27

Daftar Pustaka..................................................................................................................

Page 5: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

1

Bab ini mengemukakan mengenai hal yang melatar-belakangi pengambilan judul

penelitian, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan metodelogi

yang digunakan dalam penulisan makalah ini. Sebagai salah satu daerah dengan

kekayaan budaya dan tradisi leluhur yang adiluhung, Bali mempunyai banyak situs-

situs yang menjadi cikal bakal daerah ini. Diperlukan suatu komitmen untuk menjaga

taksu Bali tersebut agar tetap lestari. Tulisan ini mencoba membahas kontekstual

Warisan Budaya Dunia Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan terhadap

kesinambungan budaya Bali.

I.1 Latar Belakang

Derasnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah meningkatkan

intensitas interaksi antar masyarakat dan antar budaya. Interaksi antar budaya

menuntut adanya ketahanan budaya sehingga intensitas interaksi mampu memperkuat

nilai-nilai luhur sekaligus memperkaya khasanah budaya bangsa. Kombinasi sinergis

antara kokohnya jati diri bangsa dan luasnya khasanah budaya bangsa berkontribusi

dalam memperkuat toleransi dan harmoni sehingga keragaman budaya yang

merupakan kondisi obyektif bangsa akan menjadi kekuatan dinamis yang bersinergi.

Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari

peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas

keberadaban. Pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan

pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas

pemeliharaan kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum dan taman

budaya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan

budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat

dialih-generasikan berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan

BAB I

PENDAHULUAN

Page 6: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

2

seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu

hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan.

Arsitektur sebagai bagian dari sebuah peradaban bukan hanya perwujudan sesuatu

dalam bentuk fisik belaka. Namun di dalamnya terkandung pula nilai-nilai luhur yang

menjiwai setiap bentuk yang ada padanya. Setiap karya arsitektur mempunyai spirit

yang mencerminkan adanya idealisme dan kreativitas yang dimiliki sang arsitek.

Setiap perubahan jaman melahirkan suatu karya arsitektur yang berkembang dari

masa ke masa. Setiap masa memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain;

masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Keterkaitannya sangatlah

erat karena berkesinambungan membentuk mata rantai peradaban.

Warisan budaya merupakan kekayaan budaya (cultural capital) yang mempunyai

nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan

kebudayaan dalam rangka memupuk kepribadian masyarakat dan bangsa. Dapat juga

diartikan sebagai harta pusaka budaya dari masa lampau yang digunakan untuk

kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian diwariskan untuk generasi mendatang

secara berkesinambungan (Wardi, 2008). Warisan budaya berupa cagar budaya dalam

hal ini sebuah pura merupakan salah satu hasil karya arsitektur yang patut untuk

dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

The World Cultural Heritage UNESCO pernah menetapkan tiga situs di Bali sebagai

nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni DAS Pakerisan (Gianyar),

persawahan Jatiluwih (Tabanan), dan Pura Taman Ayun di Mengwi, Badung. Itu

menunjukkan komitmennya terhadap situs-situs penting yang menjadi cikal bakal

lahirnya suatu peradaban. Namun hal tersebut akan mustahil untuk dilakukan apabila

tidak didukung oleh partisipasi dari masyarakat serta pemerintah dalam

perwujudannya. Maksud UNESCO tersebut dapat dilihat sebagai tujuan yang baik,

namun implementasinya juga harus dilihat, bagaimana kontekstualnya terhadap

kesinambungan budaya Bali ke depannya.

Page 7: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

3

I.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu: Bagaimana kontekstual

WBD DAS Tukad Pakerisan terhadap kesinambungan budaya Bali dan hal-hal lain

yang terkait dengan itu?

I.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui bagaimana kontekstual WBD DAS

Pakerisan terhadap kesinambungan budaya Bali dan hal-hal lain yang terkait dengan

itu.

I.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, dalam hal ini bidang kebudayaan dan pemahaman

mengenai situs-situs penting yang ada di Bali khususnya DAS Pakerisan.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Peneliti lain

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian-penelitian

lain yang akan diadakan dalam konteks yang sama, baik yang bertujuan

memperdalam maupun mengambil aspek lain dalam penelitian ini.

2. Masyarakat

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat memiliki penyamaan persepsi

mengenai keadaan situs-situs penting yang terdapat di DAS Tukad Pakerisan.

Sehingga tidak terdapat kerancuan informasi dalam masyarakat.

3. Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan mampu dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam

upaya pengembangan kepariwisataan dan pelestarian budaya, sehingga

kepariwisataan yang berwawasan budaya dapat berjalan dengan baik.

1.5 Metodelogi Penulisan

Metodelogi penulisannya adalah analisis deskriptif, tujuannya untuk membuat

deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai obyek penelitian. Pencarian

data dengan pengumpulan literatur dan internet serta mengumpulkan foto atau gambar

Page 8: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

4

yang terkait dengan daerah yang dijadikan obyek dalam penulisan makalah ini, yaitu

DAS Pakerisan.

Page 9: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

5

Landasan teori akan mengemukakan mengenai acuan-acuan yang dapat digunakan

dalam memecahkan masalah. Bagian ini menjabarkan teori perubahan kebudayaan.

Teori Perubahan Kebudayaan

Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat

dan kebudayaan. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa perubahan merupakan

suatu fenomena yang mewarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan

kebudayaannya. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi dalam fungsi

waktu, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama,

baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, meskipun dengan laju

perubahan yang bervariasi (Redfield, Bee, Eisenstadt, Haferamp dan Smelser dalam

Pitana, 1994). Selanjutnya, disebutkan bahwa perubahan yang terjadi merupakan

campuran dari pengaruh silang “cross influences”, percampuran “hybridization”,

perubahan “alteration”, dan keunikan “idiosyncrasies” (Antariksa dalam Salain,

2006).

Lingkup permasalahan budaya di negara Indonesia merupakan satu permasalahan

klasik yang senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan pertumbuhan sektor

kehidupan lainnya (Sachari, 2005). Dalam kacamata masyarakat modern, unsur

perubah tersebut adalah terjadinya;

a. Proses akulturasi, yakni proses bagaimana suatu masyarakat menghadapi

pengaruh kebudayaan baik dari luar maupun dari dalam dengan usaha mencari

bentuk penyesuaian terhadap nilai dan sikap baru.

BAB II

LANDASAN TEORI

Page 10: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

6

b. Proses seleksi dengan pembiasaan jenjang sosial yang ada, mulai dari usaha

penolakan sampai penerimaan, bahkan hingga terbentuknya konflik sosial.

c. Proses perubahan masyarakat dari heterogenitas yang inkoheren menuju

heterogenitas yang lebih koheren. Kemudian perubahan struktural dari

Gemeinschaft ke Gesselschaft (Tonies), atau perubahan dari masyarakat

bersolidaritas mekanis ke masyarakat bersolidaritas organis yang kemudian

dikenal sebagai Social Darwinism (perubahan struktural).

d. Proses transformasi struktural yang dapat mengubah sistem sosial berdasarkan

suatu revolusi berkonflik.

e. Proses integrasi dan disintegrasi yang silih berganti sehingga mempengaruhi suatu

sistem kemasyarakatan secara fundamental.

f. Proses strukturasi hubungan sosial dalam masyarakat yang semakin kompleks

sehingga membentuk suatu sistem.

g. Proses perkembangan dan pertumbuhan, baik peningkatan kapasitas untuk

mempertahankan keberadaannya, penyesuaian terhadap lingkungan, dan cara

efektif untuk mencapai tujuannya.

Kebudayaan memang akan selalu berubah mengikuti perkembangan jaman, kaitannya

dengan situs DAS Pakerisan dalam hal ini adalah agar semua komponen dan

komunitas yang ada mampu memperhatikan, merawat, dan melestarikan kebudayaan

yang adiluhung tersebut serta menyesuaikan perubahan dan memilih yang terbaik

dalam penataan situs-situs budaya yang ada di sekitarnya, sehingga tidak mengurangi

arti dan makna yang telah ditanamkan oleh leluhur di masa lampau.

Page 11: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

7

III.1 Peta Gianyar (DAS Pakerisan)

Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari delapan kabupaten yang ada di

Provinsi Bali, membawahi tujuh kecamatan yaitu Blahbatuh, Gianyar, Payangan,

Tegalalang, Sukawati, Tampaksiring, dan Ubud. Saat ini berada pada pemerintahan

Bupati Anak Agung Gde Agung Bharata, SH. Adapun luas wilayah Kabupaten

Gianyar adalah 368 km² (Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Gianyar, 2018). Gianyar

dikenal luas di mancanegara sebagai pusat seni Provinsi Bali. Beragam karya seni:

tari, ukir, lukis, patung, dan lain sebagainya bermunculan dengan subur di daerah ini.

Bahkan banyak seniman mancanegara yang pada akhirnya menetap di Bali memilih

Gianyar sebagai tempat bermukim hingga wafatnya. Misalnya Don Antonio Blanco,

Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan yang lainnya. Demikian pula situs penting

peninggalan masa lalu yang banyak mengandung nilai sejarah tinggi juga jamak

ditemukan di Gianyar, salah satunya adalah di DAS Pakerisan.

BAB III

TINJAUAN UMUM

Peta Gianyar (DAS Pakerisan)Sumber : www.baliaga.com

www.villasemana.com

Page 12: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

8

Sebagai salah satu bukti pentingnya wilayah DAS Pakerisan bagi Kabupaten Gianyar

adalah dipakainya salah satu situs di wilayah DAS Pakerisan sebagai lambang

kabupaten.

Pada lambang tersebut terdapat Bulan Pejeng (Nekara) di dalam pelinggih Pura

Penataran Sasih (warna merah), merupakan salah satu peninggalan sejarah

(purbakala) dari nenek moyang Bangsa Indonesia yang tersohor di seluruh dunia,

yang melambangkan kepahlawanan kebesaran/kemegahan, kekuatan, dan

kemakmuran. Hal ini menjadi tanda bahwa Pura Penataran Sasih sebagai salah satu

bagian dari wilayah DAS Pakerisan menjadi penanda yang utama bagi Kabupaten

Gianyar itu sendiri. Oleh karena itulah, menjadi hal yang menarik untuk sedikit

membahas tentang situs-situs penting yang ada pada daerah tersebut.

III.2 Gambaran Umum DAS Pakerisan

Kabupaten Gianyar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali dengan karakteristik

wilayah berbentuk dataran. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, di mata

dunia internasional, Kabupaten Gianyar memiliki predikat sebagai “daerah seni”.

Dengan predikat tersebut, Kabupaten Gianyar merupakan daerah tujuan wisata utama

bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Sebagai salah satu daerah tujuan

wisata dunia, Kabupaten Gianyar memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang

tidak dimiliki oleh kabupaten lainnya di Bali. Ciri khas dan keunikan yang menjadi

daya tarik wisatawan tersebut adalah kekayaan alam dan budaya berupa keindahan

Lambang Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar Sesuai Dengan PeraturanDaerah Tentang Lambang Daerah Kabupaten Gianyar No.21/PD/dprd/1972 Tanggal10 Agustus 1972.

Sumber: Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Gianyar

Lambang Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar Sesuai Dengan PeraturanDaerah Tentang Lambang Daerah Kabupaten Gianyar No.21/PD/dprd/1972 Tanggal10 Agustus 1972.

Sumber: Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Gianyar

Page 13: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

9

alam atau lansekap, tradisi, budaya, seni, dan keunikan lainnya. Salah satu warisan

budaya yang dimanfaatkan sebagai obyek wisata adalah Daerah Aliran Sungai (DAS)

Pakerisan. Menurut catatan Stutterheim (1923-1930) dan Bernet Kempers, pada DAS

Pakerisan paling banyak ditemukan peninggalan purbakala.

DAS Pakerisan memiliki luas wilayah 884,88 hektar yang terletak di Desa Manukaya,

Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Situs ini meliputi beberapa pura

peninggalan para raja jaman Bali Kuno yang terkait dengan kawasan subak di sebelah

hilirnya. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009–2029, Pasal 1, angka 63

menyatakan bahwa Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS,adalah suatu

wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang

berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat

merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang

masih terpengaruh aktivitas daratan. Empat pura yang dilindungi dalam DAS

Pakerisan sebagai Warisan Budaya Dunia yang terletak di Kecamatan Tampaksiring

adalah :

1. Pura Tirta Empul

2. Pura Mengening

3. Pura Pegulingan

4. Pura Gunung Kawi

Namun mengingat ada dua situs selain yang disebut di atas yaitu Pura Goa Gajah dan

Pura Penataran Sasih (juga terletak dalam wilayah yang berdekatan) yang juga

memiliki keterkaitan dengan empat pura lainnya, maka tulisan ini akan membahas

pula tentang Pura Goa Gajah dan Pura Penataran Sasih.

DAS Pakerisan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai nilai budaya yang

sangat tinggi. Kawasan yang memanjang dari utara hingga selatan di Kabupaten

Gianyar ini mempunyai sumber daya alam yang potensial dipilih menjadi hunian dan

komunitas. Deretan persawahan yang subur dengan aliran dari resapan Danau Batur

dan Tirta Empul menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang memiliki sumber

daya alam yang memberikan harapan bagi kehidupan. Adanya dukungan sumber daya

alam ini membuat komunitas yang ada berusaha memenuhi kebutuhan spiritualnya

Page 14: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

10

(keagamaan) dengan memanfaatkan lingkungan di sekitarnya tanpa menimbulkan

kerusakan yang tidak diharapkan. Sebagai kawasan yang religius, di sepanjang DAS

Pakerisan banyak terdapat peninggalan budaya yang saat ini sepenuhnya dilakukan

pemeliharaan oleh komunitas di sekitarnya.

Hanya saja pemeliharaan dan pengelolaan yang dilakukan oleh komunitas tersebut

terkadang dilakukan tidak sesuai dengan karakteristik dari peninggalan budaya yang

ada. Seperti perubahan arsitektur yang mengikuti perkembangan saat ini. Pada DAS

Pakerisan terdapat puluhan situs. Di antaranya, situs di Pura Pagulingan, Pura Tirta

Empul, Pura Mengening, Candi Tebing Gunung Kawi, Candi Tebing Kerobokan,

Pura Pengukur-Ukuran, Pura Gua Gajah, dan Candi Tebing Tegallinggah. Bahkan

tiga situsnya, Candi Pegulingan, Tirta Empul, dan Goa Gajah menunjukkan suatu

peninggalan budaya dari abad ke-10, serta memberi ciri adanya perpaduan unsur

budaya prasejarah dan Bali Kuno, yang mempunyai urgensi tinggi sehingga

mendapatkan perhatian dari UNESCO.

Page 15: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

11

Pura Goa GajahSumber:http://erhanana.multiply.com/photos

IV.1 Beberapa Situs di DAS Pakerisan

Berbicara menegenai DAS Pakerisan, maka tentu akan banyak hal yang bisa diangkat.

Tukad Pakerisan merupakan salah satu sungai yang memiliki kearifan lokal yang

sudah diakui dunia. Kawasan Tukad Pakerisan memiliki banyak situs bersejarah,

seperti Pura Goa Gajah, Pura Penataran Sasih, Pura Mengening, kawasan Gunung

Kawi, Pura Tirta Empul, dan Pura Pegulingan. Obyek wisata sepanjang DAS

Pakerisan merupakan satu-satunya daerah kawasan cagar budaya di Kabupaten

Gianyar yang paling padat populasi cagar budayanya. Sebagai suatu kawasan cagar

budaya, kawasan DAS Pakerisan adalah kawasan cagar budaya yang dilindungi oleh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan telah ditetapkan

sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO.

IV.1.1 Pura Goa Gajah

Pura Goa Gajah terletak di sebelah barat Desa

Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh. Pura ini

dibangun di lembah Sungai Petanu. Goa Gajah

baru ditemukan kembali pada tahun 1923.

Walaupun Lwa Gajah dan Bedahulu, yang

sekarang menjadi Goa Gajah dan Bedahulu, telah

disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama ditulis

pada tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan

kembali kolam petirtaan di depan Goa yang

kemudian disusul dengan pemugaran dan

pemasangan kembali area-area pancuran yang

BAB IV

PEMBAHASAN

Page 16: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

12

semula terletak di depan Goa dalam keadaan tidak lengkap.

Kekunoan Pura Goa Gajah dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian utara terdiri atas

sebuah Goa Alam yang dipahat berbentuk huruf "T". Goa ini dipahatkan pada batu

padas keras yang menjorok keluar sejauh 5,75 meter dari dinding batu tersebut,

berukuran tinggi 6,75 meter dan lebar 8,6 meter. Permukaan goa berhiaskan motif

daun daunan, batu karang, raksaasa, kera, dan babi. Di tengah-tengah relief tersebut

terdapat relief mulut goa dengan ukuran lebar 1 meter dan tinggi 2 meter. Di ambang

mulut goa terdapat pahatan muka raksasa yang menyeramkan dengan mata bulat besar

melirik ke arah kanan, rambut dan alis tampak kasar, hidung besar, bibir atas dengan

sederetan gigi tepat berada di atas lubang goa. Pada dinding timur goa terdapat dua

baris tulisan berbunyi 'Kumon' dan baris bawah 'Sahy(w)angsa' menilik bentuk

hurufnya berasal dari abad ke-11. Setelah memasuki goa terdapat lowongan

bercabang dua, satu ke timur dan satu ke barat sehingga denah menyerupai huruf 't'.

Lorong yang membentang dari timur-barat itu berukuran panjang 13.5 meter, lebar

2.75 meter dan tinggi 2 meter. Pada dinding utara dari lorong yang melintang kearah

barat terdapat 7 buah ceruk, salah satu dari 7 buah ceruk itu berhadapan dengan jalan

masuk goa dan merupakan ceruk yang terbesar dengan ukuran tinggi 1,26 meter,

kedalaman 1,35 meter, terletak 0.7 meter dari permukaan tanah. Di dalamnya terdapat

fragmen arca raksasa dan fragmen arca siwa. Pada kedua ujung lorong yang

melintang ke arah timur-barat juga terdapat ceruk. Ceruk di ujung timur terdapat

trilingga dan ceruk di ujung barat terdapat arca Ganesha.

Di dalam Goa ini terdapat sebuah arca Ganesha, yang dianggap sebagai Dewa Ilmu

Pengetahuan, fragmen-fragmen arca dan sebuah trilangga yang dikelilingi oleh

delapan buah lingga kecil-kecil. Pada bagian dinding Goa, terdapat ceruk-ceruk

pertapaan, dan bagian muka Goa dihiasi dengan pahatan yang menggambarkan

sebuah hutan belantara dengan isinya, juga dilengkapi dengan sebuah kepala kala

memakai subang. Di sebelah barat Goa, di dalam sebuah bangunan terdapat sebuah

arca jongkok, GanesHa dan arca Men Brayut yang di dalam mitologi Agama Buddha

dikenal sebagai Hariti, penyelamat anak-anak. Di depan Goa, kecuali arca penjaga,

terdapat juga fragmen-fragmen bangunan yang tidak diketahui asal usulnya, seperti

fragmen-fragmen bangunan yang sekarang tidak dikumpulkan di halaman pura di

sebelah barat kolam petirtaan.

Page 17: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

13

Arca-arca pancuran yang sekarang telah berfungsi kembali di dalam kolam petirtaan

yang dibagi menjadi tiga bagian, menurut gayanya diduga berasal dari abad 11 M.

Sayang sekali arca pancuran yang terletak di kolam paling tengah, belum ditemukan

hingga sekarang. Di sebelah kanan Goa, memang terdapat sebuah arca Pancuran

Ganesha, tetapi ternyata tidak cocok dengan kolam yang paling tengah tadi. Bagian

kedua dari Pura Goa Gajah ialah bagian sebelah tenggara. Di sini terdapat dua buah

arca Buddha, yang sebuah tanpa kepala dan sebuah lagi masih cukup baik dengan

gaya Jawa Tengah. Di sebelah utara arca ini, masih kelihatan melekat di tebing yaitu

bagian kaki dari candi tebing yang bagian atasnya telah lama jatuh ke dalam sungai

kecil. Di dalam sungai kecil ini terdapat relief stupa bercabang tiga, reruntuhan candi

tebing dengan pahatan-pahatan yang indah. Di sebelah barat sungai kecil ini terdapat

sebuah ceruk pertapaan. Berdasarkan temuan kepurbakalaan tersebut, dapat diketahui,

bahwa Pura Goa Gajah berasal dari abad 9 dan 11 M yang dahulu kala berfungsi

sebagai tempat pertapaan Bhiksu Buddha dan Pendeta Siwa.

IV.1.2 Pura Penataran Sasih

Pura ini terletak di Desa Pejeng di tepi jalan raya menuju obyek wisata Tampaksiring.

Tepatnya pura kahyangan jagat ini terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng,

Tampaksiring, Gianyar. Beberapa referensi dan sumber yang ada menyebutkan bahwa

Pura Penataran Sasih adalah pura tertua yang merupakan pusat kerajaan pada zaman

Bali Kuno. Bahkan seorang arkeolog R. Goris dalam buku ''Keadaan Pura-pura di

Bali'' juga menyebutkan bahwa pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno terletak di

Bedulu, Pejeng. Pura Penataran Sasih juga merupakan tempat pemujaan awal

terjadinya kehidupan di dunia. Sedangkan jika berpijak dari hasil penelitian terhadap

peninggalan benda-benda kuno di areal pura, maka diperkirakan Pura Penataran Sasih

telah ada sebelum pengaruh Hindu masuk ke Bali. Diduga hal tersebut setara dengan

jaman Dongson di negeri Cina, sekitar 300 tahun Sebelum Masehi. Sementara itu

adanya Hindu masuk ke Bali diperkirakan sekitar abad ke-8.

Pura ini terkenal karena terdapat sebuah nekara yang amat besar, dengan tinggi 186,5

cm dan berdiameter 160 cm. Nekara perunggu yang terdapat di Pura Penataran Sasih

mengandung nilai simbolis magis yang s tinggi. Pada nekara tersebut terdapat hiasan

kodok muka sebagai sarana penghormatan pada leluhur sebagai pelindung. Dalam hal

Page 18: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

14

ini simbolis magis tersebut berfungsi sebagai media untuk memohon hujan. Nekara

perunggu yang berasal dari jaman prasejarah (jaman pra Hindu) terkenal dengan nama

bulan pejeng yang berarti bulan yang jatuh ke bumi. Oleh karena itu pura ini

dinamakan Pura Penataran Sasih, “Sasih” berarti bulan. Yang menarik di sini adalah

hisan ”bulan pejeng” yang berbentuk kedok muka yang disusun sepasang dengan

matanya yang besar membelalak, telinga yang panjang, dan anting-antingnya yang

dibuat dari uang kepeng dengan hidung segitiga. Bulan Pejeng ini juga dianggap

sebagai subang Kebo Iwa. Sejumlah arca penting juga terdapat dalam Pura Penataran

Sasih.

Selain nekara perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa

pecahan prasasti yang ditulis pada batu padas. Hanya tulisan yang memakai Bahasa

Kawi dan Sansekerta itu tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari hasil

penelitian yang dilakukan, ada kemungkinan pecahan prasasti tersebut berasal dari

abad ke-9 atau permulaan abad ke-10. Di Pura Penataran Sasih juga tersimpan pula

beberapa peninggalan masa Hindu masuk ke Bali, seperti prasasti dari batu yang

berlokasi di jeroan bagian selatan. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad ke-10.

Di bagian jaba pura, di sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan memuat

prasasti beraksara kediri kwadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang

Dharma yang artinya bangunan suci.

Pura Penataran Sasih sendiri terdiri atas lima palebaan, meliputi Pura Penataran Sasih

sebagai pura induk; bagian utara terdapat Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, dan Pura

Bale Agung. Sedangkan untuk bagian selatan terdapat Pura Ibu. Untuk areal Pura

Penataran Sasih terutama di jeroan terdapat beberapa pelinggih. Dari pintu masuk,

pada sisi jaba tengah terdapat bangunan Padma Kurung sebagai tempat penyimpenan

Sang Hyang Jaran. Deretan bagian timur terdapat bangunan pengaruman yang

biasanya difungsikan sebagai tempat menstanakan simbol-simbol Ida Batara dari Pura

Kahyangan Tiga di seluruh Pejeng. Pada bagian utara bale pengaruman terdapat

pelinggih Ratu Sasih. Di samping itu, ada pula pesimpangan Ida Batara Gana dan

gedong pesimpangan Ida Batara Brahma di deret selatan. Sementara itu, pada bagian

utara terdapat gedong pesimpangan Batara Wisnu, dan di bagian barat terdapat

gedong pesimpangan Batara Mahadewa. Untuk piodalan di Pura Penataran Sasih

terbagi dalam dua bagian. Tiap 210 hari tepatnya Redite Umanis, wuku Langkir,

Page 19: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

15

berlangsung upacara yang dinamakan upacara panyelah yang berlangsung selama tiga

hari. Sedangkan untuk karya agung berlangsung pada purnama kesanga, nemu pasah.

IV.1.3 Pura Gunung Kawi

Pura ini berlokasi di Banjar Penaka, Kecamatan

Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura Gunung Kawi

Tampaksiring pertama kali ditemukan pada awal tahun

1910. Komplek kekunoan Gunung Kawi yang sangat

luas ini terbagi dua karena dipisahkan oleh Sungai

Pakerisan. Sejak ditemukan kembali pada tahun 1920,

peninggalan purbakala ini diperbaiki. Disini terdapat

dua kelompok candi tebing yang terdiri dari lima buah candi yang terdapat di sebelah

timur sungai. Diantara kelompok ini ada yang memuat prasasti yang memakai huruf

tipe Kediri yang diduga berasal dari abad XI masehi. Pada kelompok yang kedua

terdapat di sebelah barat sungai terdiri atas empat buah candi tebing dan ceruk-ceruk

pertapaan atau wihara, demikian juga halnya dengan candi yang disebelah timur

sungai. Di sudut tenggara terdapat juga ceruk-ceruk pertapaan. Di sebelah barat juga

ada dan candi tebing yang sangat terkenal dengan nama Makam X, yang pada bagian

pintunya juga memuat prasasti memakai huruf Kediri.

Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Marakata, putra Raja Udayana, yaitu

Prasasti Songan Tambahan dinyatakan: Sang Hyang Katyagan Ing Pakerisan

Mengaran Ring Ambarawati. Kemungkinan nama itu adalah nama Candi Pura

Gunung Kawi saat itu. Sedangkan nama Gunung Kawi mungkin muncul belakangan.

Pura Candi Gunung Kawi dibagi menjadi empat kelompok. Ada kelompok lima candi

dipahatkan di tebing timur Sungai Pakerisan berjejer dari utara ke selatan. Kelima

Pura Penataran SasihSumber:

http://www.voyagevirtuel.co.uk/bali/tegallalang_penataran-sasih_bali11.php

Pura Gunung KawiSumber:http://www.gianyarkab.go.id

Page 20: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

16

candi ini menghadap ke barat. Pahatan candi yang paling utara ada tulisan yang

berbunyi ''haji lumah ing jalu''. Kemungkinan candi yang paling utara untuk stana

pemujaan roh suci Raja Udayana. Sedangkan yang lain-lainnya adalah stana anak-

anak Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu serta permaisurinya. Di pintu

masuk candi sebelah selatan dari Candi Udayana ada tulisan ''rwa anakira''. Artinya,

dua anak beliau. Candi inilah yang ditujukan untuk stana putra Raja Udayana yaitu

Marakata dan Anak Wungsu. Sementara di tebing barat Sungai Pakerisan terdapat

empat kelompok candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan itu berjejer dari

utara keselatan menghadap ke timur. Menurut Dr. R. Goris, keempat candi ini adalah

sebagai padharman empat permaisuri raja. Di samping itu ada satu pahatan candi lagi

terletak di tebing barat daya Sungai Pakerisan. Di candi itu ada tulisan dengan bunyi

''rakryan''. Kemungkinan candi ini sebagai padharman dari seorang patih kepercayaan

raja. Karena itulah diletakkan di sebelah barat daya. Di sebelah selatan candi

kelompok lima terdapat wihara berjejer sebagai sarana bertapa brata. Raja Udayana

dengan permaisurinya berbeda sistem keagamaannya. Raja Udayana lebih

menekankan pada ke-Buddha-an, sedangkan Gunapriya Dharma Patni lebih

menekankan pada sistem kerohanian Siwa. Hal inilah yang menyebabkan agama

Hindu di Bali disebut Agama Siwa Buddha.

Keberadaan Pura Candi Gunung Kawi ini yang menempatkan dua sistem keagamaan

Hindu yaitu sistem Siwa dan sistem Buddha sebagai suatu hal yang sangat baik untuk

direnungkan demi kemajuan Agama Hindu ke depan. Di samping itu Raja Udayana

sangat menerima baik adanya unsur luar yang positif untuk menguatkan budaya Bali

saat itu. Seandainya Raja Udayana saat itu menolak apa yang datang dari luar Bali

tentunya umat Hindu di Bali tidak mengenal kesusastraan Hindu seperti sekarang ini.

Misalnya ada berbagai jenis karya sastra Parwa dan Kekawin dalam bahasa Jawa

Kuno dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya sastra Jawa Kuno ini

amat besar jasanya dalam memperkaya kebudayaan Hindu di Bali sehingga Bali

memiliki kebudayaan yang sangat tinggi sampai sekarang. Semua unsur itu dipadukan

dengan budaya Bali yang telah ada sebelumnya. Demikianlah bijaknya Raja Udayana

pada jaman dahulu.

Page 21: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

17

IV.1.4 Pura Mangening

Pura Mangening terletak di Banjar Saraseda, Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.

Candi ini adalah situs kuno, yaitu peninggalan pemerintahan Raja Marakata tahun

1022 Masehi. Untuk pertama kalinya, Pura Mangening ditemukan oleh WF

Sutterheim pada1925 – 1927 tapi tidak disebutkan secara rinci, kemudian pada tahun

1960 Bernet Kempers menyatakan bahwa ada sebuah kuil dengan sisa-sisa bangunan

di atas bukit kecil. Pada pura ini juga terdapat peninggalan kuno Lingga–Yoni,

sehingga parahyangan ini identik dengant pemujaan Dewa Siwa. Pura Mangening

letaknya berdekatan dengan pura lainnya di antaranya : di sebelah utara Pura Tirta

Empul, sebelah timur Pura Puncak Tegal dan Pura Merta Sari, sebelah selatan Pura

Gunung Kawi dan sebelah barat Pura Penataran Saresidi dan Pura Sakenan

Tampaksiring.

Pura Mangening sendiri, terbagi dalam tri mandala. Di antaranya, nista mandala,

madya mandala, dan utama mandala. Di areal nista mandala Pura Mangening ini

sendiri terdapat sebuah Taman dengan Pancakatirtha. Taman ini sendiri merupakan

tempat penyucian Ida Batara yang berstana di Pura Mangening. Selain itu di beberapa

tempat juga terdapat beberapa pemijilan tirtha-tirtha yang biasa diambil oleh

masyarakat untuk keperluan yadnya. Untuk pemijilan tirtha-tirtha yang ada di areal

nista mandala ini, meliputi tirtha keben, tirtha Sudamala, tirtha Melela, tirtha Soka,

tirtha Megelung, tirtha Tunggang dan tirtha Telaga Waja. Sedangkan untuk pemijilan

tirtha di areal Taman Pancakatirtha meliputi tirtha Parisuda, tirtha Pengelukatan, tirtha

Pengulapan, tirtha Keris dan tirtha Kamaning.

Konon nama Pura Mangening ini berasal dari kata ''maha-ening''. Di lain sisi, Menurut

mantan Kepala Kantor Purbakala Bali MP. Sukarto K. Atmodjo, nama Pura

Mangening berasal dari kata “Cening” yang berarti ” anak”. Dikatakan demikian

sebab dalam salah satu prasasti yang ada hubungannya dengan Raja Udayana

menyatakan bahwa “Lumahi Banyu Wka” yang artinya wafat di air; “Wka” Inilah

yang diduga berasal dari “Oka” sehingga diidentikkan dengan “anak”. Pura

Mangening merupakan salah satu tempat Raja Udayana dan keluarga kerajaan

melakukan upaya kerohanian untuk membangun diri yang ''maha-ening''. Upacara

piodalan di Pura Mangening ini jatuh pada hari Saniscara Pon Wuku Sinta.

Nampaknya nama ''Mangening'' ini lebih logis diduga berasal dari kata ''maha ening''

Page 22: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

18

yang artinya amat suci. Pura Mangening ini pada awalnya berfungsi sebagai tempat

pertapaan Raja Udayana dan keluarganya. Sedangkan candi-candi di Pura Gunung

Kawi sebagai Padharman Raja Udayana dan keluarganya.

Di Pura Mangening itulah Raja mempraktikkan ajaran Yoga Sutra sampai

memperoleh keadaan diri ''maha ening''. Dalam keadaan diri yang maha ening, Raja

mendapatkan kemampuan diri untuk ber-wiweka dalam membangun kesejahteraan

rakyatnya lahir batin. Pelinggih utama di Pura Mangening adalah Pelinggih Prasada

atau sering juga disebut Meru Prasada sebagai tempat menstanakan Raja Udayana

sebagai Dewa Pitara atau roh suci yang diyakini telah mencapai apa yang disebut

Sidha Dewata. Sidha Dewata artinya sukses mencapai alam dewata. Atman yang telah

mencapai Sidha Dewata itulah yang disebut Dewa Pitara. Prasada inilah sebagai

pelinggih yang paling utama di Pura Mangening ini. Di depan Pelinggih Prasada ini

terdapat Pelinggih Pesimpangan Pura Gunung Kawi dan Pesimpangan Pura Tirta

Empul. Di depan Pelinggih Pesimpangan tersebut terdapat dua Pelinggih Pepelik.

Dua Pelinggih Pepelik ini berfungsi sebagai tempat mempersembahkan sesaji.

Sebelah utara dari Pelinggih Prasada terdapat Pelinggih Limas Catu dan Limas

Mujung. Dua Pelinggih ini sebagai Pesimpangan ke Gunung Agung dan ke Gunung

Batur. Ini juga sebagai lambang Purusa dan Predana sebagai media memohon

keseimbangan hidup alam semesta beserta isinya termasuk semua makhluk hidup. Di

sudut paling barat daya ada Pelinggih Pegat. Ini tempat memohon Tirtha

Pengelukatan untuk memutuskan ikatan duniawi menuju perjalanan rohani.

Pura MangeningSumber: http://www.gianyarkab.go.id

Page 23: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

19

IV.1.5 Pura Tirta Empul

Pura ini terletak sebelah timur di bawah Istana Tampaksiring. Lebih tepatnya Pura

Tirta Empul terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten

Gianyar, Bali. Menurut cerita rakyat yang berkembang, Pura Tirta Empul merupakan

sebuah bangunan suci kuno yang menyimpan legenda perseteruan seorang raja yang

tamak dengan para dewa. Konon pada jaman dahulu bertahta seorang Raja Kerajaan

Bali yang sangat sakti dan tak tertandingi bernama Mayadanawa dari keturunan

Daitya atau raksasa. Raja Mayadanawa adalah anak dari seorang Dewi Danu Batur

dan Raja Jayapangus. Kesaktiannya adalah mampu mengubah wujudnya menjadi

segala bentuk yang diinginkan. Dengan kesaktian tersebut sang raja mampu

menaklukkan daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain seperti Bugis, Makasar,

Sumbawa, Lombok, dan Blambangan di Banyuwangi.

Karena keberhasilannya menundukkan kerajaan lain, Raja Mayadanawa menjadi

sombong. Kemudian ia melarang rakyatnya beribadah kepada dewa dan sebagai

gantinya memerintahkan mereka untuk menyembah dirinya yang dirasa sangat sakti.

Sejak saat itu rakyat mulai menderita hingga kemudian timbul bencana kekeringan

dan wabah penyakit. Menyadari hal tersebut, seorang Mpu bernama Mpu Kul Putih

melakukan semadi dan memohon bantuan dari para dewa. Tak lama kemudian

datanglah Dewa Indra beserta pasukannya memasuki keraton Raja Mayadanawa.

Pertempuran pun terjadi dan dimenangkan pasukan Dewa Indra. Tak mau mengakui

kekalahannya, pada tengah malam Raja Mayadanawa membuat sebuah mata air

beracun di sebuah desa di Tampaksiring, dekat tempat peristirahatan pasukan Dewa

Indra. Mengetahui kelicikan Raja Mayadanawa tersebut Dewa Indra langsung

membuat mata air suci lainnya beserta tempat peribadatan berupa pura yang kini

dinamakan sebagai mata air Pura Tirta Empul.

Setelah itu, para pasukan Dewa Indra meminum mata air suci Pura Tirta Empul dan

dengan sekejap sembuh. Pengejaran Raja Mayadanawa pun kembali dilanjutkan.

Mengetahui dirinya terdesak, raja angkuh tersebut mengubah dirinya menjadi batu

paras namun tetap diketahui oleh Dewa Indra. Kemudian dipanahlah batu paras

tersebut dan Raja Mayadanawa menemui ajalnya. Kematian Raja Mayadanawa

tersebut hingga saat ini oleh masyarakat Hindu Bali diperingati sebagai Hari Raya

Page 24: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

20

Galungan yang bermakna kemenangan dharma atau kebaikan atas adharma atau

keburukan.

Secara etimologi Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka

Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Sebuah

prasasti batu yang masih tersimpan di Desa Manukaya menyebutkan Pura ini

dibangun oleh Sang Ratu Sri Candra Bhayasingha Warmadewa. Prasasti ini memuat

angka tahun 882 caka (960 masehi). Seperti umumnya pura di Bali, pura ini dibagi

atas tiga bagian (halaman) yang merupakan Jaba Sisi (Halaman Muka), Jaba Tengah

(Halaman Tengah), dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua)

buah kolam persegi panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang

berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing-masing pancuran itu

menurut tradisi mempunyai nama tersendiri di antaranya pancuran Pengelukatan,

Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun). Kekunoan yang terdapat disini

ialah sebuah lingga-yoni dan arca lembu.

IV.1.6 Pura Pegulingan

Pura ini terletak di Desa Basangambu, sebelah timur Pura Tirta Empul dan tidak jauh

dari jurusan Kintanami. Pura ini ditemukan kembali pada awal Januari 1983 pada saat

Krama Desa Adat Basangambu bekerja menurunkan batu padas pada bangunan tepas

guna agar dapat didirikan sebuah padmasana agung, pada saat itu ditemukan

beberapa benda kekunoan seperti arca dan fragmen lainnya. Semakin ke dalam

kemudian ditemukan pondasi bersegi delapan, maka oleh bendesa adat saat itu (Jro

Mangku Wayan Periksa) pekerjaan dihentikan, lalu dilaporkan ke Kantor Suaka

Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali di Bedulu Gianyar (BP3 Bali). Atas laporan

itu maka petugas purbakala langsung mengadakan peninjauan ke Pura Pegulingan.

Pura Tirta EmpulSumber:http://www.gianyarkab.go.id

Page 25: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

21

Mengingat sangat pentingnya temuan-temuan itu, dipandang perlu untuk diadakan

penelitian lanjutan, untuk hal tersebut pihak kantor suaka mengadakan pertemuan

dengan krama desa pengemong beserta semua prajuru, untuk minta persetujuan

rencana kerja yang akan dilaksanakan di Pura Pegulingan. Setelah mendapat

persetujuan krama pengemong, maka penelitian dan penggalian dilakukan oleh

Kantor Suaka dari Juli sampai Desember 1983. Selama penggalian ditemukan antara

lain pondasi bangunan segi delapan, arca Buddha, kotak batu padas berisi material

tanah liat yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa

Sansekerta yang menguraikan mantra Agama Buddha Mahayana mengenai ajaran

Dharma.

Berdasarkan temuan tersebut dan dengan perbandingan bentuk huruf dengan Prasasti

Airtiga maka dapat diduga bahwa candi pegulingan dibangun pada akhir abad ke IX

atau awal abad ke X masehi. Prof. Dr. Soekmono (Arkeologi) mengemukakan dalam

Harian Bali Post tanggal 15 September 1983 sebagai berikut: “Penemuan

kepurbakalaan di Pura Pegulingan Tampaksiring berupa pondasi bersegi delapan dan

beberapa area Boddhi Satwa memberi petunjuk peninggalan itu bersifat ‘Buddhistik -

Siwaistik’ dan tidak mustahil menjadi penemuan monumental pertama di Indonesia.

Selain peninggalan berupa arca Buddha dan Fragmen lainnya juga ditemukan panca

datu serta arca yoni yang bersifat Siwaistik. Dengan demikian maka pada saat

berdirinya candi/ stupa pegulingan sudah terjadi pencampuran/sinkritisme paham

Siwa Buddha. Hal itu berarti pemujaan terhadap Siwa (Hindu) dan Buddha saat itu

sudah berjalan dengan baik dan damai.”

Dari hasil penelitian oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Bali, dapat ditemukan

seperti yang ditulis oleh: I Made Sutaba, I Made Sepur Separsa, I Ketut Darta, I Made

Suanta, Gusti Made Rena dalam buku, “Pura Pegulingan Temuan Baru Persebaran

Agama Buddha di Bali”, antara lain:

1. Arca Budha

Bersama dengan sisa – sisa bangunan ini terdapat fragmen – fragmen arca Buddha

setelah fragmen itu disususn ternyata mungkin dulu ada lima buah arca Buddha.

Seperti Arca Dhyani Buddha – Aksobhya dengan sikap Bhumisparca Mudra dan yang

lain Arca Dhyani Buddha Amaghasio. Arca Buddha dari emas yang berdiri. Arca

Page 26: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

22

Dhyani Budha Ratnasambhawa ini berdiri di atas lapik padmasana terbuat dari

perunggu. Arca Buddha tersebut hampir sama dengan Gaya Arca Budhda Goa Gajah.

2. Prasasti

Temuan prasasti di Pura Pegulingan berupa materai tanah liat, lempengan emas

bertulis telah dan dibaca oleh Almarhum Drs. M. Boechari, sebuah diantara materi

tanah liat itu berisi Mantra Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa

sansekerta yang merupakan mantra agama Buddha Mahayana mengenai tiga ajaran

Dharma. Pada pusat (ditengah-tengah) pondasi yang bersegi delapan ditemukan relief,

yang menggambarkan dua gajah saling membelakangi, berdiri di kiri kanan sebuah

gapura di duga bersangkala memet, gajah atau hasti angka 8 gapura 9, gajah 8 atau

tahun Caka 898 (976 M). Dalam bilik stupa ini didapatkan arca Buddha dari emas,

lempengan emas, perak dan perunggu, serta pedagingan. Ini mungkin

menggambarkan tahun pendirian Candi Pegulingan.

Dari uraian-uraian diatas dapat diasumsikan bahwa pada tahun 976 M, adalah tahun

pendirian Candi Pegulingan dan tahun 1178 M adalah selesainya Parhyangan Pura

Pegulingan pada masa pemerintahan Raja Masula – Masuli.

Pura PegulinganSumber: http://www.gianyarkab.go.id

Page 27: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

23

IV.2 Kontekstual WBD DAS Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali

UNESCO di dalam Draft Medium Term Plan 1990-1995, mendefinisikan warisan

budaya sebagai berikut:

… the entire corpus of material signs – either artistic or symbolic – handed on by the

past to each culture and, therefore, to the whole of humankind. As a constituent part

of the affirmantion and enrichment of cultural identities,as a legacy belonging to all

human kind, the culture heritage gives each particular place its recognizable features

and is the storehouse of human experience. The preservation and the presentation of

the cultural heritage are therefore a corner-stone of any cultural policy.

Hal di atas, dapat diartikan bahwa warisan budaya sebagai penanda budaya sebagai

suatu keseluruhan, baik dalam bentuk karya seni maupun symbol-simbol, yang

merupakan materi yang terkandung di dalam kebudayaan yang dialihkan oleh

generasi manusia di masa lalu kepada generasi muda berikutnya, merupakan unsur

utama yang memperkaya dan menunjukkan ikatan identitas suatu generasi dengan

generasi sebelumnya, merupakan pusaka bagi seluruh umat manusia. Warisan budaya

memberikan penanda identitas kepada setiap tempat dan ruang, dan merupakan

gudang yang menyimpan informasi tentang pengalaman manusia.

Warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu yang diwariskan dari generasi

yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap dilestarikan, dilindungi, dihargai dan

dijaga kepemilikannya (Ardika, 2007). Warisan budaya (cultural heritage) yaitu

sebagai harta pusaka budaya baik berwujud atau tidak berwujud dan bersumber dari

masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian

diwariskan kembali untuk generasi yang akan datang secara berkesinambungan atau

berkelanjutan. Heritage yaitu sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu

bangsa atau Negara selama bertahuntahun dan dianggap sebagai bagian penting dari

karakter bangsa tersebut. UNESCO memberikan definisi “heritage’ sebagai warisan

(budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena

memiliki nilai-nilai luhur. Menurut situs resmi UNESCO, warisan budaya adalah

monumen, kelompok bangunan atau situs sejarah, estetika, arkeologi, ilmu

pengetahuan, etnologis atau antropologi nilai.

Page 28: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

24

Mengingat bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang

sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu

pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi

pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Benda cagar budaya

adalah benda alam atau benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang

berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang

berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang

khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta

dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Sedangkan situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda

cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya

(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar

Budaya).

Banyak pendapat yang menyatakan cagar budaya sama dengan warisan budaya, tetapi

pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 1 angka 1

menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yaitu

berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs

cagar budaya, kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya

untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh kesadaran jati diri

bangsa, oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk melindungi benda cagar

budaya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia. Tidak semua benda peninggalan

sejarah mempunyai makna sebagai benda cagar budaya. Sejauh peninggalan sejarah

merupakan benda cagar budaya, maka demi pelestarian budaya bangsa, benda cagar

budaya harus dilindungi dan dilestarikan; untuk keperluan ini, maka benda cagar

budaya perlu dikuasai oleh negara bagi pengamanannya sebagai milik bangsa.

Sebagian besar benda cagar budaya suatu bangsa adalah hasil ciptaan bangsa itu pada

masa lalu yang dapat menjadi sumber kebanggaan bangsa yang bersangkutan. Oleh

karena itu, pelestarian benda cagar budaya Indonesia merupakan ikhtiar untuk

memupuk kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jati diri sebagai bangsa

Page 29: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

25

yang berdasarkan Pancasila. Kesadaran jati diri suatu bangsa banyak dipengaruhi oleh

pengetahuan masa lalu bangsa yang bersangkutan, sehingga keberadaan kebangsaan

itu pada masa kini dan dalam proyeksinya ke masa depan bertahan pada ciri khasnya

sebagai bangsa yang tetap berpijak pada landasan falsafah dan budayanya sendiri

(Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda

Cagar Budaya).

Beranjak dari hal dan pemikiran tersebut, dalam hal ini, DAS Pakerisan merupakan

salah satu bagian dari benda cagar budaya yang nilainya tidak dapat diukur dengan

materi. Nilai-nilai lain yang jauh lebih penting yaitu arti dan makna yang sarat telah

terkandung di dalamnya. UNESCO tentu tidak asal pilih dalam menentukan suatu

kawasan dinominasikan sebagai warisan budaya dunia. Sebagai bagian dari Bali,

tentunya segala potensi yang dimiliki dan terdapat pada DAS Pakerisan secara

langsung maupun tidak langsung telah ikut memperkaya khasanah dan juga turut serta

menjadi cikal bakal kebudayaan Bali sekarang. Kesinambungan budaya Bali di masa

depan terletak di tangan generasi penerus. Tidak hanya generasi di sekitar DAS

Pakerisan saja, namun juga generasi Bali seutuhnya. Jadi tentu saja ada keterkaitan

antara warisan budaya dunia di DAS Pakerisan terhadap kesinambungan budaya Bali.

Keterkaitan tersebut adalah, situs-situs di DAS Pakerisan merupakan suatu

peninggalan budaya dari abad ke-10, serta memberi ciri adanya perpaduan unsur

budaya prasejarah dan Bali Kuno yang terus dilestarikan/dikembangkan hingga kini.

Inilah yang menjadi benang merah antara situs DAS pakerisan dengan kebudayaan

Bali kini. Tentu saja juga tidak dapat dilepaskan dari peran Raja Udayana yang sangat

berjasa dalam membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang. Inilah yang sepatutnya

menjadi contoh dan teladan bagi generasi penerus dalam menjaga kesinambungan

budaya Bali di masa kini dan masa yang akan datang demi melindungi kebudayaan

Bali yang adiluhung tersebut dari pengaruh luar yang bersifat negatif.

Page 30: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

26

V.1 Kesimpulan

Perlindungan warisan budaya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat dunia umumnya

dan di Indonesia khususnya, keinginan untuk melindungi warisan budaya makin

berkembang, instrument hukum internasional diikutsertakan sebagai suatu hal yang

memiliki peranan penting dalam perlindungan kekayaan budaya dunia. Warisan

budaya dunia adalah suatu tempat budaya dan alam serta benda yang berarti bagi

umat manusia dan menjadi sebuah warisan bagi generasi berikutnya. Warisan budaya

dunia adalah bentuk warisan turun-temurun yang dimiliki setiap negara dalam bentuk

budaya yang berbeda-beda, memiliki ciri khas masing-masing dan hanya dimiliki oleh

satu negara tersebut dan perlu untuk dijaga dan dipertahankan kelestariannya.

Pemerintah Provinsi Bali sebagai Pemerintah Daerah yang wilayahnya hidup dari

sektor pariwisata khususnya pariwisata budaya, berdedikasi untuk melindungi warisan

budaya di dalam Peraturan Daerah (PERDA). Definisi cagar budaya dalam Peraturan

Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Bali, Pasal 1 angka 36 menyatakan bahwa kawasan cagar budaya dan ilmu

pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi dan

sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki

bentukan geologi alami yang khas. Perlindungan cagar budaya dalam Peraturan

Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Bali juga terdapat dalam Pasal 20 angka 13 yang menyatakan bahwa kriteria

penetapan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan mencakup:

a. Tempat di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi

b. Situs purbakala

c. Kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk

kepentingan sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 31: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

27

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 juga dengan tegas melindungi dan

melestarikan cagar budaya di dalam Paragraf 3 tentang Kebijakan dan Strategi

Pengembangan Kawasan Strategis dalam pasal 13 angka 6 menyatakan bahwa strategi

pelestarian dan peningkatan nilai kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan warisan

budaya mencakup:

1. Melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya

2. Meningkatkan kepariwisataan daerah yang berkualitas

3. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi

4. Melestarikan warisan budaya

5. Melestarikan lingkungan hidup

Mengingat bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang

sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu

pengetahuan, dan kebudayaan, maka dalam hal ini seutuhnya kembali diperlukan

komitmen dan niat yang kuat dari semua pihak yang terkait untuk turut serta

melestarikan dan menjaga benda cagar budaya tersebut. Kawasan DAS Pakerisan di

Gianyar sendiri meliputi beberapa situs di sekitar Sungai Pakerisan dan Petanu yang

layak disebut bagian dari cagar budaya, seperti Pura Tirta Empul, Pura Pegulingan,

Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, Candi Tebing Kerobokan, Candi Agung

Pengukur-ukuran, Candi Tebing Tegallinggah, dan Pura Goa Gajah.

Dari sekian situs-situs tersebut hampir semuanya merupakan awal atau tonggak dari

lahirnya kebudayaan Bali sekarang. Belum tentu kebudayaan Bali yang ada sekarang

bisa seperti ini, jika situs-situs tersebut tidak pernah ada. Komitmen dan

kebijaksanaan Raja Udayana sebagai pemimpin Bali pada waktu itu yang mampu

menggabungkan kebudayan Bali asli dengan pengaruh Jawa Kuna juga turut serta

membentuk lahirnya kebudayaan Hindu Bali yang dikenal serta berkembang sekarang

yang berawal dari situs-situs DAS Pakerisan.

V.2 Saran

Warisan budaya nasional atau warisan budaya bangsa adalah cermin tingginya

peradaban bangsa. Salah satu ciri bangsa besar dan maju adalah bangsa yang mampu

menghargai dan melestarikan warisan budaya nenek moyang mereka. Semakin

Page 32: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

28

banyak warisan budaya masa lampau yang bisa digali dan dilestarikan, maka sudah

semestinyalah peninggalan budaya tersebut semakin dihargai. Diharapkan kepada

pihak-pihak yang berkompeten dalam mengelola situs-situs DAS Pakerisan, dalam hal

ini sangat dibutuhkan sinergi antara Pemerintah Pusat, Daerah, dan masyarakat

setempat agar berperan serta secara aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan disana

dalam upaya menghargai peninggalan budaya. Situs-situs tersebut merupakan

peninggalan leluhur yang sedikit banyak telah memberi warna dalam kebudayaan

Hindu Bali yang dikenal sekarang ini. Sepatutnya sebagai generasi penerus yang

memiliki kepekaan rasa dan apresiasi terhadap nilai-nilai luhur, semua pihak mampu

dan bisa untuk menjaga dan melestarikan hal tersebut.

Melestarikan berarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap

begitu saja. Namun pelestarian, apa pun, sesungguhnya tidak sesederhana itu.

Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya, tidak rusak,

tidak musnah. Pelestarian khasanah budaya bangsa memang dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Benda-benda peninggalan sejarah harus diamankan dari tangan-tangan

jahil. Jangan sampai pernah terbersit niat untuk merusak situs-situs tersebut. salah

satu cara yang sederhana dan bisa dilakukan adalah tidak boleh mencorat-coret,

karena akan merusak peninggalan sejarah tersebut. Pemerintah juga harus bisa

menyediakan anggaran yang cukup bagi kegiatan perawatan daerah cagar budaya.

Jangan sampai, benda-benda sejarah tersebut telantar karena kurangnya anggaran

perawatan. Begitupun dalam merawatnya supaya juga diperhatikan pemakaian bahan

dan materialnya agar jangan sampai merusak wajah asli dari situs-situs tersebut.

Kecuali bila memang keadaan mengharuskan untuk itu. Apabila hal tersebut

dilakukan, niscaya situs-situs tersebut akan tetap ada sampai kapanpun, menjadi suatu

kebanggaan dan kebudayaan yang harganya tak ternilai oleh apapun.

Page 33: Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap ...

Daftar Pustaka

Ardana, I Gusti Gde. 1983. Penuntun ke Obyek-obyek Purbakala Sekitar Desa Pejeng, Bedulu,Gianyar. Penerbit PT. Mabhakti. Denpasar

Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan, Denpasar.

Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. BP. Denpasar.

Sachari, Agus. 2005. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa Desain, Arsitektur, SeniRupa dan Kriya. Erlangga. Jakarta.

Salain, Putu Rumawan. 2003. Buku Ajar Representasi Arsitektur Tradisional Bali. UPT.Penerbit Universitas Udayana. Denpasar.

Wardi, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Warisan Budaya Berwawasan Lingkungan: StudiKasus Pengelolaan Living Monument di Bali. Kumpulan Makalah Pertemuan IlmiahArkeologi Ke XI. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Solo.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya

Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya