PEMBAGIAN WARISAN DALAM BUDAYA POLIGINIjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-05 PEMBAGIAN WARISAN...

14
Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih, Surabaya)”, hal.41-54. AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 41 Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih, Surabaya) Putri Kurnia Sari Abstract This paper explains, in term of Legal Anthopology, the legacy of the Maduranese polygyny at Boto Putih, Surabaya. The legal of legacy is govern the rule of the transition of wealth left by someone who died. The research problems are: (1) how to process marriage of the legally and illegally polygyny in Boto Putih, (2) How the process of legacy in polygyny system according to the Islamic law and customary law in Boto Putih, , and (3) How they divide the legacy and the solution if there is no agreement between the first and second wives. This research uses case studies where carried out to know the deeper problems that exist, but could not become the benchmark patrimonies in other areas. The technique of collecting data through observation and in-depth interviews. The technique of determining the informant i.e. there are 7 informants. 1 informer is a village govern, 1 informant is RT, and 5 informants are women from polygyny which a women is a first wive from the legally polygyny and 4 women are legalls polygyny (2 informan are the first wive and the 2 other is the second wife). The results showed no difference in the division of the estate of marriage polygyny are legally and illegally. Polygyny is done legally, i.e. the process of marriage in accordance with the provisions of the marriage is recorded in the Court and KUA. Different things with his illegally polygyny which is where marriages are only recorded at KUA and attended the guardian of marriage only and there is no force of law. If it is legal then the division of inheritance are not subjected to the dispute. Unlike the illegal marriage, the division of inheritance can not run smoothly. In the division of his legacy, there are things that need to be done, including discussion between the two sides to give a fair decision. Completion of the form if there is no agreement between the first and second wife wife then conducted mediation where the parties to the dispute as a mediator selected third parties to take a decision. The mediator is the uncle of the deceased husband's family. In deciding the results of division of inheritance, the first wife and second wife to accept it. However, be advised that the division of the estate between the first and second wives wife in Boto Putih is divided fairly equally. The problem with such apportionment was not until heritage brought to the law but only with family deliberation only. Keywords: legacy, heir, poligyny oligini merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligini ditolak dengan berbagai macam argumentasi, baik yang bersifat normatif (karena dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi), psikologis (perasaan seorang istri dimana istri menyalahkan dirinya sendiri karena merasa tindakan suaminya berpoligini adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya) bahkan dikaitkan dengan ketidakadilan jender (adanya ketidaksetaraan jender, dimana laki-laki boleh menikah lebih dari satu kali sementara perempuan tidak boleh). Istilah Poligini berasal dari bahasa Yunani terdiri dari polu yang berarti banyak dan kata gune yang P

Transcript of PEMBAGIAN WARISAN DALAM BUDAYA POLIGINIjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-05 PEMBAGIAN WARISAN...

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 41

Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini

(Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih, Surabaya)

Putri Kurnia Sari

Abstract

This paper explains, in term of Legal Anthopology, the legacy of the Maduranese polygyny at Boto Putih,

Surabaya. The legal of legacy is govern the rule of the transition of wealth left by someone who died. The

research problems are: (1) how to process marriage of the legally and illegally polygyny in Boto Putih, (2) How

the process of legacy in polygyny system according to the Islamic law and customary law in Boto Putih, , and

(3) How they divide the legacy and the solution if there is no agreement between the first and second wives. This

research uses case studies where carried out to know the deeper problems that exist, but could not become the

benchmark patrimonies in other areas. The technique of collecting data through observation and in-depth

interviews. The technique of determining the informant i.e. there are 7 informants. 1 informer is a village

govern, 1 informant is RT, and 5 informants are women from polygyny which a women is a first wive from the

legally polygyny and 4 women are legalls polygyny (2 informan are the first wive and the 2 other is the second

wife).

The results showed no difference in the division of the estate of marriage polygyny are legally and

illegally. Polygyny is done legally, i.e. the process of marriage in accordance with the provisions of the

marriage is recorded in the Court and KUA. Different things with his illegally polygyny which is where

marriages are only recorded at KUA and attended the guardian of marriage only and there is no force of law. If

it is legal then the division of inheritance are not subjected to the dispute. Unlike the illegal marriage, the

division of inheritance can not run smoothly. In the division of his legacy, there are things that need to be done,

including discussion between the two sides to give a fair decision. Completion of the form if there is no

agreement between the first and second wife wife then conducted mediation where the parties to the dispute as a

mediator selected third parties to take a decision. The mediator is the uncle of the deceased husband's family. In

deciding the results of division of inheritance, the first wife and second wife to accept it. However, be advised

that the division of the estate between the first and second wives wife in Boto Putih is divided fairly equally. The

problem with such apportionment was not until heritage brought to the law but only with family deliberation

only.

Keywords: legacy, heir, poligyny

oligini merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak

dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligini ditolak dengan berbagai

macam argumentasi, baik yang bersifat normatif (karena dipandang sebagai salah

satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi), psikologis (perasaan

seorang istri dimana istri menyalahkan dirinya sendiri karena merasa tindakan suaminya

berpoligini adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis

suaminya) bahkan dikaitkan dengan ketidakadilan jender (adanya ketidaksetaraan jender,

dimana laki-laki boleh menikah lebih dari satu kali sementara perempuan tidak boleh). Istilah

Poligini berasal dari bahasa Yunani terdiri dari polu yang berarti banyak dan kata gune yang

P

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 42

berarti perempuan. Poligini mempunyai arti suatu perkawinan antara satu orang laki-laki

dengan lebih dari seorang istri (Syahrani, 1978 : 79).

Hukum waris merupakan hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan

yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada

asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta

benda saja yang dapat diwariskan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup

kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang

dinamakan kematian (Effendi, 2003 : 30).

Pada dasarnya hukum waris yang berlaku dan diterima masyarakat Indonesia ada tiga

yaitu, hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris perdata. Menurut hukum

Islam, akibat hukum kewarisan suami menikah lebih dari satu kali (poligini) secara legal, dan

meninggal dunia, maka terdapat perhitungan pembagian harta bersama adalah separuh harta

bersama yang diperoleh dengan isteri pertama dan separuh harta bersama yang diperoleh

dengan isteri kedua dan masing-masing terpisah dan tidak ada percampuran harta.

Pembagian harta warisan tersebut yaitu sama besarnya antara isteri pertama dengan

isteri kedua, ketiga dan keempat terhadap bagian masing-masing, asal mereka mempunyai

anak, maka bagian isteri yang seharusnya 1/8. Berhubung isterinya ada dua maka 1/8 dibagi 2

menjadi 1/16, sebaliknya berbeda jika salah satu isteri tidak mempunyai anak maka bagian

isteri adalah 1/4. Apabila anak perempuan hanya seorang maka mendapat bagian 1/2 tetapi

jika ada dua atau lebih maka mendapat bagian 2/3 tetapi jika anak perempuan bersama

dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki tersebut adalah dua banding satu (2:1),

(Syarifuddin, 2006 : 61).

Hukum waris adat merupakan cerminan dari hukum adat masyarakat Indonesia.

Hukum waris adat memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris,

tentang harta warisan, pewaris dan waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan

dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat adalah hukum penerusan

harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya (Hadikusuma, 1980 : 7).

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan pokok permasalahan adalah

sebagai berikut, yakni : (1) Bagaimana proses perkawinan poligini secara legal dan ilegal di

Boto Putih ? (2) Bagaimana proses pembagian warisan dalam perkawinan poligini menurut

hukum Islam dan hukum adat di Boto Putih, Surabaya ? (3) Bagaimana pembagian warisan,

apabila tidak ada kesepakatan antara isteri pertama dan isteri kedua ? Bagaimana bentuk

penyelesaiannya ?

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 43

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan

pembagian warisan dalam poligini menurut hukum Islam dan hukum waris adat pada

komunitas Madura di Boto Putih, di kota Surabaya. Selain itu, juga untuk mengetahui

penyelesaian pembagian warisan apabila salah satu isteri tidak meyetujui adanya pembagian

warisan tersebut.

Konsep Hukum

Wujud masyarakat pluralistik adalah kenyataan bahwa para warga suatu masyarakat menjadi

anggota dalam berbagai jenis satuan sosial tersebut berlaku berbagai norma yang telah

disosialisasikan kepada para anggotanya dan dalam melakukan berbagai peran dalam

bertindak, para warga dituntut untuk mengikutinya. Kajian-kajian yang tercantum dalam

pernyataan diatas yaitu meliputi sifat-sifat dari berbagai pranata sosial serta pranata hukum,

misalnya pembahasan perkawinan dan warisan serta pranata penyelesaian konflik yang nyata

dipraktekkan dan metode untuk menemukan hukum rakyat yang berlaku (Sri Endah Kinasih,

2009 : 5).

Menurut Lawrence Friedman, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri

dari tiga komponen yaitu legal substance (aturan-aturan dan norma-norma), legal structure

(institusi atau penegak hukum), dan legal culture (budaya hukum, meliputi : ide-ide, sikap-

sikap, kepercayaan, harapan dan pandangan tentang hukum). Hukum waris menurut

Soepomo, (2007 : 3)

“...Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang

yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.

Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses ini tidak

menjadi “akut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya

bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi

sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan

pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut...”.

Sementara itu, hukum waris adat selalu didasarkan atas pertimbangan, hal ini

mengingat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan. Jadi walaupun hukum waris adat

mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan

dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang

sudah tertentu (Hadikusuma, 1980 : 105).

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 44

Dalam pembagian harta warisan menurut hukum Islam maka apabila harta warisan

akan dibagi, terlebih dahulu harus dikeluarkan dari harta warisan itu ialah : (1) zakat dan

sewa, (2) biaya mengurus jenazah, (3) hutang-hutang pewaris, (4) wasiat yang tidak lebih dari

sepertiga harta warisan (Hadikusuma, 1980 : 111).

Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum “privat materiil”,

yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan, hak dan

kewajiban di antara anggota masyarakat khususnya di wilayah keluarga. Dalam pembagian

harta warisan menurut hukum perdata yaitu tidak seorang ahli warispun dapat dipaksa untuk

membiarkan harta waris tidak terbagi, pembagian harta peninggalan dapat dituntut setiap saat

(Suparman, 2007 : 60).

Laura Nader dan Todd mengemukakan pandangan mengenai adanya tiga fase dalam

sengketa, yaitu tahap pra-konflik, tahap konflik, dan tahap sengketa. Tahap pra-konflik

mengacu kepada keadaan atau kondisi dimana seseorang atau kelompok merasakan adanya

ketidakadilan, dan mengadakan keluhan. Tahap konflik yaitu keadaan dimana para pihak

menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut dan pihak yang

merasa dirugikan memberitahukan keluhannya kepada pihak yang dianggap melanggar

haknya. Tahap sengketa adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum

atau dengan melibatkan pihak ketiga (Ihromi, 1993 : 210).

Ketika kelanjutan hubungan sosial dianggap sebagai hal yang penting bagi seseorang,

maka ia akan melakukan upaya apa saja untuk mempertahankan hubungan tersebut. Upaya

itu diantaranya adalah mencari penyelesaian melalui negoisasi atau penyelesaian dengan

perantara (musyawarah), yang pada prinsipnya akan menghasilkan penyelesaian yang

kompromistis, atau bahkan menghindari terjadinya sengketa (Sulistyowati Irianto, 2003 : 46).

Masalah waris, khususnya akses kepada tanah, rumah dan benda-benda tidak

bergerak, bahwa dalam sistem patrilineal, karena yang dianggap berharga adalah hubungan

seorang laki-laki dengan anak laki-laki dari istrinya, maka akses perempuan kepada harta

waris tergantung pada kemampuannya memelihara anak laki-lakinya tersebut bagi

kepentingan kekerabatan. Artinya, meskipun perempuan mempunyai hubungan dalam sistem

kekerabatan patrilineal, namun terdapat aturan-aturan mengenai masalah perkawinan, rumah

tinggal, keturunan dan pewarisan. Pembatasan perempuan untuk menguasai dan mengontrol

hak milik melalui legitimasi kekerabatan dan adat inilah yang telah menyebabkan terjadinya

stratifikasi sosial ekonomi menurut jender yang semakin tajam (Sulistyowati Irianto, 2003 :

80-81)

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 45

Perempuan sebagai salah satu pihak yang bersengketa dalam perkara waris karena

beberapa hal yaitu pertama, nilai-nilai dan konsep budaya mengenai perempuan dan laki-laki

yang mencerminkan hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan,

menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris. Kedua,

ketiadaan faktor teritorial dikota tidak menyebabkan berkurangnya keberlakuan nilai-nilai

budaya yang berdampak pada lemahnya kedudukan perempuan dalam hal waris (Sulistyowati

Irianto, 2003:2).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian diatas menggunakan pendekatan

kualitatif. Tujuan pendekatan kualitatif bermaksud memberikan gambaran terhadap suatu

gejala seperti yang dimaksudkan dalam permasalahan penelitian. Cara pendekatan

antropologi hukum yaitu dengan metode studi kasus, yang dimaksud ialah mempelajari

kasus-kasus peristiwa hukum yang terjadi, terutama kasus-kasus perselisihan. Lokasi

penelitian ini dilakukan secara purposive pada komunitas Madura di Boto Putih, di kota

Surabaya.

Penelitian ini yang termasuk informan adalah individu-individu yang memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang baik tentang permasalahan yang diteliti, meliputi : (1)Satu

orang perangkat kelurahan, (2) Satu orang perangkat RT, (3) Lima orang perempuan dari

perkawinan Poligini. Analisa dalam penelitian ini menggunakan analisa studi kasus untuk

mengetahui lebih dalam permasalahan yang ada, namun tidak bisa dijadikan patokan

pembagian warisan pada daerah lain serta mengetahui keadaan yang berlangsung dilapangan

pada objek kajian serta hasil transkrip wawancara mengenai pembagian warisan budaya

poligini menurut hukum Islam dan hukum adat di Boto Putih.

Lingkup Penelitian Boto Putih

Kelurahan Simolawang merupakan salah satu kelurahan yang masuk dalam Kecamatan

Simokerto yang termasuk wilayah geografis Surabaya Utara. Kelurahan Simolawang

mayoritas warganya merupakan etnis Madura yang memiliki jumlah mobilitas penduduk

yang berbeda-beda tiap tahunnya. Warga Madura yang tinggal di Kelurahan ini merupakan

warga perantauan sehingga cukup banyak yang datang dan pindah dari wilayah ini. Warga

Madura yang datang di Kelurahan Simolawang biasanya di bawa oleh keluarganya yang telah

lama merantau. Sebagai wilayah yang mayoritas warganya merupakan warga Madura maka

wajar jika masyarakat Simolawang memeluk agama Islam. Islam telah menjadi bagian yang

sering dijadikan jatidiri dan identitas etnis Madura.

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 46

Citra Madura sebagai “masyarakat santri” dan haji sangat kuat. Jarak yang dekat

merupakan faktor orang Madura bermigrasi ke Surabaya. Selain itu, migrasi orang Madura

dipengaruhi juga oleh faktor budaya. Orang Madura lebih memilih bermigrasi kedaerah yang

dekat dengan tempat asalnya. Hal ini karena orang Madura memiliki ikatan kekeluargaan

yang sangat kuat dengan sanak saudaranya dan kampung halamannya.

Hubungan antara sesama orang Madura yang tinggal dalam satu lingkungan yang

sama terjalin sangat kuat. Namun hubungan kekerabatan diantara orang Madura itu sendiri

dapat terpecah disebabkan karena harta warisan keluarga, sehingga hubungan kekerabatan itu

tidak terjalin dengan baik dari sebelumnya. Orang Madura tidak menyukai orang yang hanya

pembual atau omong kosong saja perkataannya. Dalam menyampaikan informasi, mereka

terkesan memberikan data dengan cukup jelas dan tidak berbelit-belit. Keyakinan teguh dan

berlebihan pada kebenaran yang dipercayainya, hingga tidak mau mengenal kompromi,

sering memunculkan pembawaan keras kepala orang Madura. Selanjutnya, mereka akan

terkesan mencari menang sendiri meskipun mereka berada dipihak yang salah (Mien Ahmad

Rifai, 2007:222).

Praktek poligini memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun

negatif. Poligini akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki

dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan

masyarakat karena mempunyai banyak isteri. Sedangkan pihak isteri lebih sering

mendapatkan dampak negatif dari perkawinan poligini. Tidak diketahui secara pasti kapan

poligini menjadi budaya dalam komunitas Madura di Boto Putih.

Poligini hanya sebagai gambaran pihak laki-laki, apabila melakukan poligini maka ia

dianggap sebagai orang yang dapat berlaku adil baik dalam penghasilan maupun cinta dan

kasih sayang terhadap isteri pertama dan isteri kedua nya. Masyarakat Madura melakukan

poligini atas dasar kesenangan mereka untuk memperoleh isteri lebih dari satu, karena

apabila seseorang bisa melakukan poligini di dalam komunitas nya maka ia akan bangga

karena dapat melakukan hal itu.

Masyarakat Boto Putih tepatnya di RW 09, RT 06 mengakui bahwa ada warganya

yang melakukan perkawinan poligini. Poligini ini dilakukan oleh warga baik yang sebagai

warga tetap maupun warga musiman. Namun tidak semuanya warga yang melakukan poligini

secara legal. Poligini dilakukan secara legal apabila antara isteri pertama dan isteri kedua

dapat menerima ia di poligini oleh suami mereka atau dapat dikatakan bahwa salah satu isteri

tidak ada yang keberatan untuk dipoligini.

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 47

Menurut data yang diperoleh dari salah satu perangkat desa, dalam hal ini Bapak

Lurah, beliau mengatakan bahwa salah satu warga Madura Boto putih ada yang melakukan

poligini dan secara legal. Hal ini karena, ada salah satu warga yang datang ke Kelurahan

untuk meminta ijin melakukan poligini. Poligini dapat dilakukan secara legal apabila telah

memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Dapat diketahui bahwa salah satu warga yang melakukan poligini secara legal sudah

tidak menjadi warga Boto Putih karena tempat tinggal beliau telah berpindah ke lokasi lain.

Ini yang menjadi kesulitan peneliti dalam melakukan wawancara dan melakukan penelitian

untuk memperoleh data lebih lanjut, karena kelengkapan data berpindahnya orang tersebut

tidak diketahui oleh perangkat setempat maupun warga sekitarnya.

Namun setelah melakukan penelitian lebih lanjut, peneliti hanya menemukan

kediaman dari isteri pertamanya saja yaitu informan yang bernama Ibu Sriningtyas. Dari

penjelasan isteri pertama dari perkawinan poligini legal yaitu Ibu Sriningtyas, sang isteri

mengatakan apabila ia mengetahui jika sang suami saat itu menginginkan adanya perkawinan

poligini. Alasan yang digunakan suami saat itu ingin menjalankan syariat agama Islam yang

dijalankan oleh nabi yaitu boleh menikah lebih dari seorang isteri.

Beliau mengatakan sudah di poligini selama 15 tahun. Menurut beliau, surat yang

menjadi bukti kejelasan sebagai fakta pendukung beliau di poligini sudah tidak ada setelah

suami beliau meninggal dunia, sebab beliau mengatakan apabila surat tersebut hanya suami

beliau saja yang mengetahui dan menyimpannya. Untuk berlaku adil antara isteri pertama dan

isteri kedua terjadi kesepakatan diantara kedua belah pihak yaitu mereka sama-sama

membuat keputusan yang kemudian untuk dipatuhi.

Perkawinan ibu Sriningtyas, dimana pembagian untuk waktu bersama suaminya yaitu

tiga hari untuk isteri pertama dan tiga hari berikutnya untuk isteri kedua. Apabila untuk hari

libur mereka sepakat untuk saling bergantian, sebab kedua belah pihak yaitu antara isteri

pertama dan isteri kedua sama-sama tidak menginginkan apabila pergi bersama. Oleh sebab

itu dilakukan pembagian seperti itu untuk menghindari kesalahpahaman dan ketidakadilan

dalam melakukan hal tersebut.

Perkawinan Poligini Secara Ilegal (Kawin Siri)

Di RW 09 RT 06 ini, peneliti mendapatkan empat informan dari tujuh informan yang

melakukan poligini secara ilegal. Dimana diantara empat informan tersebut yaitu dua orang

yang berkedudukan sebagai isteri pertama dan dua orang yang berkedudukan sebagai isteri

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 48

kedua. Informan yang bernama Ibu Munawaroh merasa tidak nyaman dengan adanya

perkawinan poligini. Sebab menurutnya dengan adanya perkawinan tersebut maka rasa

sayang akan terbagi antara isteri pertama dan isteri kedua. Selama hidup merasa ada beban

dalam rumah tangga nya selain rasa malu juga terhadap tetangga sekitar yang mengetahui.

Beliau beranggapan bahwa sebagai isteri pertama, orang-orang mengira beliau tidak bisa

melayani suaminya baik secara lahir maupun batin.

Sama halnya dengan apa yang dialami oleh informan kedua bernama Ibu Siti. Beliau

juga merupakan isteri yang pertama. Beliau mengatakan apabila tidak mengetahui jika ia

telah di poligini. Perkawinan poligini tersebut baru dijelaskan oleh suaminya setelah

perkawinan kedua suaminya telah menginjak tiga bulan lamanya. Ketidakmauan beliau untuk

menolak tidak ada hasilnya, karena perkawinan tersebut telah dilangsungkan. Pada dasarnya

perempuan lebih ingin menolak untuk di poligami karena ketidakadilan laki-laki sebagai

suami dalam membagi serta memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.

Proses melakukan poligini secara ilegal cenderung sangat mudah sekali. Apabila

antara laki-laki dan pihak perempuan sebagaimana yang akan dijadikan isteri kedua setuju

dan mau untuk dinikahi maka perkawinan akan dapat dilakukan tanpa memperoleh ijin dari

isteri pertama. Dapat dikatakan jika melakukan perkawinan seperti itu maka disebut sebagai

kawin siri. Adapun pembagian waktu bersama, sama seperti perkawinan yang dilakukan

secara legal yaitu mereka ada kesepakatan untuk itu. Untuk informan yang bernama Ibu

Munawaroh, pembagian bersama suaminya yaitu satu minggu bersama isteri pertama dan

satu minggu bersama isteri kedua. Hal itu berlanjut terus menerus secara bergantian.

Berbeda hal dengan ibu Siti, pembagian waktu bersama yaitu tiga hari dirumah beliau

dan tiga hari berikutnya berada dirumah isteri kedua. Namun apabila untuk hari libur seperti

sabtu dan minggu, maka ada kesepakatan untuk bergantian keluar bersama suaminya,

sehingga kemungkinan untuk adanya konflik tentang masalah pembagian waktu bersama

tidak ada karena kedua belah pihak telah menyepakatinya.

Berbeda dengan informan yang berkedudukan sebagai isteri kedua namun dinikahi

secara siri atau poligini ilegal. Menurut Ibu Sholeh, beliau tidak mengetahui jika ternyata

beliau merupakan isteri kedua dari suaminya tersebut. Informan yang bernama Ibu Rukmini

sebagai isteri kedua juga merasa tidak nyaman. Karena beliau beranggapan bahwa isteri

kedua dianggap sebagai perusak rumah tangga isteri pertama. Awalnya beliau tidak

menginginkan itu, namun karena merasa kasihan terhadap calon suaminya maka ia menerima

apabila dipoligami secara ilegal.

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 49

Proses Pembagian Harta Waris di Boto Putih

Pembagian warisan yang terjadi di Boto Putih dalam perkawinan poligini yaitu mengikuti

pewarisan secara testamentair atau berdasarkan wasiat. Wasiat tersebut berisi penjelasan dari

almarhum (suami) yang memberikan keterangan agar pembagian waris dibagi sesuai dengan

yang diinginkan almarhum. Perkawinan poligini ini hanya ditemukan di RW 09, RT 06.

Wasiat yang dilakukan oleh almarhum yaitu wasiat lisan yang dihadiri para saksi untuk

memperkuat wasiat almarhum. Wasiat diucapkan sebelum almarhum meninggal dunia. Saksi-

saksi yang menghadiri yaitu ada paman (adik dari ibu atau ayah almarhum), isteri pertama

ataupun isteri kedua beserta anak-anaknya dan juga teman dekat dari almarhum.

Pembagian warisan yang terjadi di Boto Putih ini juga dilakukan ada juga yang sesuai

dengan hukum Islam. Hanya satu dari beberapa informan yang melakukan pembagian

warisan menurut hukum Islam. Sesuai dengan yang disampaikan Ibu Sriningtyas, beliau

menjalankan pembagian harta waris dari suami sesuai dengan yang di wasiatkan oleh suami

nya yaitu dibagi sesuai dengan hukum Islam yang telah ada.

Perhitungan warisan dalam keluarga yang melakukan perkawinan poligini secara

legal yaitu antara istri pertama dan juga isteri kedua sama-sama memiliki kedudukan yang

kuat, baik secara agama maupun hukum. Pembagiannya yaitu istri pertama dan kedua

masing-masing mendapatkan 1/16 bagian warisan dari suaminya, sedangkan masing-masing

anak laki-laki mendapatkan 1/4, anak perempuan masing-masing mendapat 2/3. Pembagian

warisan tersebut karena harta yang di milki suami menjadi harta bersama, baik untuk istri

pertama maupun istri kedua.

Pembagian pewarisan menurut hukum adat yang dilakukan di Boto Putih yaitu

dilakukan dengan cara pengumpulan keluarga baik pada isteri pertama beserta anak begitu

juga dengan isteri kedua beserta anak-anaknya. Contohnya pada pembagian warisan poligini

secara ilegal. Pembagian antara anak laki-laki dan anak perempuan berimbang sama yaitu

terjadi pada informan yang bernama Ibu Sholeh. Beliau merupakan isteri kedua, dimana

beliau mempunyai dua orang anak yaitu perempuan dan laki-laki sedangkan dari isteri

pertama memiliki tiga orang anak yaitu yang pertama dan yang kedua laki-laki serta yang

ketiga yaitu perempuan.

Pembagian hartanya dilakukan secara berimbang antara laki-laki dan perempuan,

yaitu: Suami yang tinggal di Boto Putih ini mempunyai dua tempat tinggal, yang tempat

tinggal pertama diperuntukkan isteri yang pertama beserta anak-anaknya dan rumah kedua

diperuntukkan isteri kedua beserta anak-anaknya. Usaha yang dimiliki pewaris yaitu usaha

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 50

industri kerajinan tangan, dan juga membuka dua kios kecil juga dibagi sama rata. Anak laki-

laki baik dari isteri pertama dan kedua mendapat kewajiban untuk mengurusnya dan

penghasilannya dibagi separo agar sama-sama berimbang.

Sama halnya dengan anak perempuan, mereka mendapat kewajiban untuk mengurus

kios-kios kecil tersebut. Satu kios untuk anak perempuan dari isteri pertama dan satu kios

untuk anak perempuan dari isteri kedua. Untuk penghasilan pewaris yang banyaknya sekitar

dua juta perbulan menjadi kewajiban sang isteri baik isteri pertama maupun kedua untuk

membaginya secara rata yaitu separo untuk isteri pertama dan separo untuk isteri kedua.

Untuk bagian kendaraan bermotor yang dimana sudah mempunyai empat kendaraan bermotor

roda dua maka pembagiannya juga disamakan. Dua kendaraan bermotor untuk keluarga dari

isteri pertama dan dua kendaraan bermotor yang lainnya untuk keluarga dari isteri kedua.

Dengan begitu pembagian warisan yang dilakukan secara adat dalam perkawinan poligini

diharapkan dapat berlaku adil. Dengan cara seperti ini dapat terhindar dari adanya konflik dan

kesalahpahaman dalam pembagian warisan tersebut.

Pembagian Warisan Apabila Tidak Ada Kesepakatan

Tidak adanya kesepakatan antara isteri pertama dan isteri kedua, menimbulkan konflik dalam

pembagian warisan yaitu isteri pertama yang sah lebih menginginkan pembagian warisannya

harus lebih banyak daripada isteri kedua. Tidak adanya kesadaran diri isteri kedua yang

dinikahi secara siri ini yang membuat pembagian mangalami kerumitan. Walaupun sesuai

dengan wasiat yaitu dimana pembagian harus dibagi secara adil. Jalan penyelesaian damai itu

dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah terbatas dalam lingkungan

anggota keluarga sendiri atau musyawarah kerabat, atau jika dipandang perlu di

musyawarahkan dalam musyawarah perdamaian adat setempat yang disaksikan sesepuh yang

menjadi orang dituakan di Boto Putih.

Bentuk penyelesaian sengketa yang terjadi di Boto Putih yaitu yang pertama mereka

lakukan yaitu mengelak dimana isteri pertama yang merasa dirugikan lebih memilih menjaga

jarak atau mengurangi hubungan dengan isteri kedua. Setelah mereka memikirkan hal

tersebut maka diperlukan adanya mediasi. Dalam mediasi ini mereka juga memerlukan pihak

ketiga dalam memutuskan permasalahan mengenai pembagian warisan. Pihak ketiga

merupakan orang terdekat dari masing-masing kedua belah pihak yaitu paman dari orang tua

masing-masing pihak. Pihak ketiga mengambil jalan tengah yaitu pembagian harta warisan

antara isteri pertama dan isteri kedua dibagi secara rata. Setiap masing-masing pihak

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 51

mendapatkan 50% harta waris dari almarhum. Sengketa warisan yang terjadi di Boto Putih

terjadi pada perkawinan poligini secara ilegal/kawin siri.

Adapun tahap sengketa yaitu baik pihak isteri pertama dan isteri kedua tidak

menyetujui hasil pembagian warisan tersebut. Hal ini mereka memerlukan pihak ketiga untuk

memberikan jalan keluar serta keputusan yang bijak dalam masalah waris ini. Pihak ketiga ini

tidak melibatkan pengadilan, namun melibatkan saudara sendiri baik dari pihak isteri pertama

dan pihak isteri kedua. Saudara dari masing-masing pihak yaitu paman dari orang tua mereka

memberikan pengarahan dalam menjaga tali persaudaraan dan tidak pilih kasih pada salah

satu pihak.

Konsep paman pada keluarga yang beretnis Madura sangatlah memegang peranan

penting. Hal ini dapat diketahui karena apabila terjadi permasalahan atau kerumitan dalam

masalah keluarga, peran seorang paman sangatlah diperlukan dan diutamakan. Paman ini

sendiri merupakan adik dari ibu atau adik dari ayah almarhum. Paman selalu dapat

memutuskan apa yang menjadi permasalahan dalam keluarganya agar dapat terselesaikan

dengan baik tidak menimbulkan konflik dan sengketa yang berkepanjangan maka paman di

tuntut adil dalam memberi keputusan tanpa memihak salah satu pihak. Paman merupakan

orang yang dianggap sebagai tetua dalam keluarga yang patut disegani karena perilaku paman

sangat mengontrol orang-orang dalam keluarganya. Pada perkawinan poligini secara legal

bentuk penyelesaian pembagian harta waris dilakukan secara hukum Islam. Hal ini berbeda

pada perkawinan poligini secara ilegal maka pembagian waris untuk ahli waris nya yaitu

berdasarkan hukum adat untuk mendapatkan persamaan hak dalam mendapatkan harta waris

dari almarhum suaminya.

Marginalisasi Perempuan

Walaupun dalam masyarakat Boto Putih ada yang melakukan poligini baik secara legal

maupun ilegal (kawin siri), tetapi tidak ditemukan adanya tindak kekerasan yang di alami

baik itu isteri pertama maupun isteri kedua dari perkawinan poligini. Hal ini karena masing-

masing kedua belah pihak baik isteri pertama maupun isteri kedua sama-sama menghargai

satu sama lain dan tidak ikut turut campur dalam masing-masing keluarga mereka.

Pembagian warisan, masing-masing isteri baik isteri pertama maupun isteri kedua dari

perkawinan poligini secara legal dan ilegal (kawin siri) mendapat pembagian harta yang sama

rata. Hal ini karena adanya surat wasiat dari almarhum suami merupakan hal yang penting

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 52

untuk ditaati dan dilakukan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik dan sengketa antara

keluarga isteri pertama dan keluarga isteri kedua terkait pambagian harta gono-gini.

Kedudukan Perempuan dalam Pluralisme Hukum Waris

Kedudukan isteri pertama dan isteri kedua dalam perkawinan poligini ini tidak ada

perbedaan. Walaupun kekuatan hukum antara isteri pertama dan isteri kedua berbeda, namun

pembagian warisan dilakukan secara hukum adat yaitu pembagian tidak berat sebelah.

Pembagian dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku pada masing-masing

keluarga yang melakukan poligini secara ilegal (kawin siri). Hal ini seperti informan-

informan yang dinikahi secara ilegal (kawin siri).

Penentuan pembagian warisan dilakukan berdasarkan hukum Islam yang berlaku

sehingga tidak menimbulkan konflik. Dalam hal ini isteri pertama dan isteri kedua juga tidak

ada perbedaan karena mereka sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang dinikahi secara

sah oleh almarhum suaminya. Pada perkawinan poligini ilegal, isteri pertama dan isteri kedua

memperoleh hak yang sama karena ketika dalam pembagian warisan terdapat masalah maka

mereka memerlukan seorang mediator (paman almarhum) untuk memutuskan pembagian

tersebut. Paman akan memutuskan berdasarkan pertimbangan wasiat yang diucapkan secara

lisan dan juga melakukan pertimbangan agar tidak terjadi konflik antara isteri pertama dan

isteri kedua.

Isteri pertama dan isteri kedua selalu menerima apa yang sudah menjadi keputusan

dari seorang mediator. Sikap menerima yang dimiliki oleh perempuan pada umumnya,

khususnya masyarakat Madura menyebabkan perempuan menjadi yang nomer dua setelah

laki-laki. Hal ini terkait dalam pembagian waris, perempuan diharuskan menerima dan tidak

boleh memutuskan sendiri pembagian waris tersebut. Sikap menerima yang dimiliki oleh

semua perempuan termasuk perempuan yang mengalami perkawinan poligini secara legal

dan ilegal ini terkait perempuan tidak menginginkan adanya perseteruan yang

berkepanjangan antara kedua belah pihak.

Kesimpulan

Perkawinan poligini tidak selamanya merugikan isteri pertama kecuali adanya persetujuan

dari isteri pertama beserta aturan-aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974. Perkawinan poligini secara legal sampai saat ini masih menjadi kendala

seseorang yang akan melakukan poligini. Hal ini karena persetujuan dari isteri pertama

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 53

sangat menentukan sah tidaknya perkawinan poligini itu dilakukan. Namun, di dalam

masyarakat saat ini banyak yang melakukan perkawinan poligini tanpa persetujuan dari isteri

pertama.

Pembagian harta waris dalam perkawinan poligini ada dua yaitu secara legal dan

ilegal. Dalam pembagian harta waris juga berbeda-beda berdasarkan apa yang telah

disepakati oleh kedua belah pihak. Pembagian harta pada perkawinan poligini secara legal

dalam pembagiannya antara isteri pertama dan isteri kedua mendapatkan harta dengan

pembagian yang sama. Berbeda halnya dengan pembagian waris pada perkawinan poligini

yang ilegal, dalam perkawinan seperti ini, isteri kedua tidak mendapat kedudukan yang kuat

karena tidak adanya bukti resmi perkawinannya. Maka dari itu dalam pembagian waris yang

sesuai dengan apa yang telah di sepakati suami sebelum meninggal, atau berdasarkan apa

yang sudah menjadi keputusan isteri pertama dan tidak boleh diganggu gugat.

Apabila ingin melakukan perkawinan poligini hendaknya benar-benar mandapat

persetujuan dari isteri pertama, sebab persetujuan isteri pertama merupakan syarat mutlak

untuk melakukan perkawinan poligami. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka

perkawinan poligini tersebut tidak mendapatkan kekuatan hukum dan isteri kedua tidak

mempunyai kedudukan yang sama seperti halnya isteri pertama, sebagai contoh isteri kedua

tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri

kedua terjadi.

Daftar Pustaka

Hadikusuma, Hilman (1980), Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti.

Ihromi, T. O. (1993), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta. Yayasan Obor

Indonesia.

Irianto, Sulistyowati (2003), Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia.

Kinasih, Sri Endah (2009), Buku Ajar Antropologi Hukum, Surabaya: PT. Revka Petra

Media.

Perangin, Effendi (2003), Hukum Waris, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada.

Rifai, Mien Ahmad (2007), Manusia Madura, Jakarta.

Suparman (2007) Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Bandung,

PT Refika Aditama.

Syahrani, Riduan (1978), Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung:

Alumni.

Putri Kurnia Sari, “Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini (Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih,

Surabaya)”, hal.41-54.

AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 54

Syarifuddin (2006), Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media.