Birokrasi Kontekstual

67
KONTEKSTUAL Gravitasi Ekologis Kearifan Lokal - Globalisasi Akbar Silo Uncen Press

description

Gravitasi EkologisKearifan Lokal-Globalisasi

Transcript of Birokrasi Kontekstual

Page 1: Birokrasi Kontekstual

KONTEKSTUAL

Gravitasi EkologisKearifan Lokal - Globalisasi

A k b a r S i l o

Uncen Press

Page 2: Birokrasi Kontekstual

PROF. DR. DRS. AKBAR SILO, MS.

Guru Besar Ekologi Administrasi padaFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Cenderawasih. Lahir padaTanggal 5 Juli 1959 di Makassar.Meraih Gelar Magister, Bidang StudiPembangunan minat utama Adminis-trasi Pembangunan pada Program Pas-casarjana, UNHAS dan Gelar Doktor

bidang ilmu-ilmu sosial, konsentrasi Ilmu AdministrasiNegara pada Program Pascasarjana UNPAD.

Memulai karier sebagai tenaga edukatif pada Program Studi

Ilmu Administrasi Negara, FISIP UNCEN Tahun 1989 Padaawal Tahun 2011 dipercaya menjabat Asisten Direktur Bidang

Kerjasama Program Pascasarjana Universitas Cenderawasih.Kini, menjabat pula sebagai Kepala PSKMPD (Pusat Studi

Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Daerah), memimpinPengelolaan JSP (Jurnal Sosial Politik) FISIP UNCEN, dan

UNCEN PRESS. Menjadi Anggota Pengurus Nasional„Indonesian Association of Public Administrastion“.

Beberapa karya publikasi penting, seperti : Penguatan Respon-

sivitas Institusi Pendidikan di Papua. Policy Brief. PSKK-UGMNo. 19/PB/2004; Pembangunan Daerah di Tanah Papua. Jurnal

Ilmu Sosial. ISSN 1693-2013. Vol.3 No.1 April 2005; Indepen-

densi Penyerlenggaraan Pilkadal dan Kalkulasi Politik. KolomOpini Harian Cenderawasih Pos. 5 April 2005; Motivasi danDisiplin Kaitannya dengan Produktivitas Kerja Aparatur Peme-rintahan Daerah : Kasus Papua. Jurnal Ilmu Sosial. ISSN 1693-

2013. Vol.36, No.1, April 2008; Ralf Dahrendorf, PerubahanSosial : Konflik dan Otoritas (Catatan Kritis Argumentatif). Jurnal

Ilmu Sosial. ISSN 1693-2013. Vol.6, No.2, Agustus 2008;Strategi Kesetaraan Realsi Komunikasi Daerah-Pusat Dalam

Kemajemukan Bangsa. Jurnal Masyarakat Informasi. Dep-kominfo RI. ISSN 1979-7028. Nomor 1, Edisi 1 Agustus 2008;Sintesa Kinerja Pemerintahan Papua : Perangkat Daerah Dan AspekKepegawaian. Jurnal Ilmu Sosial. ISSN 1693-2013. Vol.6, No.3,

Desember 2008; Educational Policy Strategy Under the Papua

Special Autonomy Framework. Journal of Administrative Sci-ence & Organization Vol. 18, Number 1, Januari 2011 (ISSN

0854-3844 Accredited by DIKTI Kemendiknas RI No. 64a/DIKTI/Kep/2010); Pokok-Pokok Pikiran Tentang FormulasiModel Sistem Pemerintahan Kampung Menuju Kemandirian.Jurnal Antropologi Papua. ISSN 1693-2099. Vol 10, No 29;

dan Faktor-Faktor Determinan Implementasi Strategi Pela-yanan Pendidikan. ISBN 978-602-9238-31-0. Unpad Press.

UNCEN PRESS

Page 3: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - i

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Akbar Silo

MODEL BIROKRASI KONTEKSTUAL :GRAVITASI EKOLOGIS

KEARIFAN LOKAL DAN GLOBALISASI

UNCEN PRESS

Page 4: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - ii

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Judul

MODEL BIROKRASI KONTEKSTUAL :

GRAVITASI EKOLOGIS

KEARIFAN LOKAL DAN GLOBALISASI

PenulisAkbar Silo

EditorWilson Nadeak

Desain CoverApner Krey

Cetak DrafApril 2003

ISBN 978-602-7905-05-4

Penerbit

Uncen PressJl. Raya Sentani Abepura

Telp. 0967-587290 Fax 0967-581257Email : [email protected]

Copyright@2013

Page 5: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - iii

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Kata Pengantar

Dari Prof. Dr. Haedar Akib, M.Si.Ketua Program Studi S-3 Ilmu Administrasi Publik PPS UNM

Saat menulis Kata Pengantar ini, saya teringat beberapa kajian tentang

birokrasi dan pembangunan. Bidang kajian keilmuan yang ‘kontekstual’

karena membahas tema mengenai esensi atau substansi dan eksistensi

penyelenggaraan kegiatan organisasi dan pembangunan di berbagai

bidang dan sektor melalui pendekatan sinergis yang saat ini dikenal

dengan nama publik, private, people, partnership, atau disingkat P-4.

Esensi birokrasi – yang mulanya hanya – didasarkan pada dimensi ideal

organisasi modern dari Max Weber, sebagai inti aliran Weberian, telah

mewarnai bidang kajian Old Public Administration (OPA). Bidang kajian

ini berkembang seiring dengan perubahan dan dinamika pembangunan

yang menuntut penguatan dan relevansi birokrasi, sehingga muncul

perspektif New Public Management (NPM). Perspektif ini dipertajam focus

dan locus analisisnya pada semua bentuk pelayanan yang disediakan

oleh birokrasi sehingga dianggap sebagai genre (gaya) terakhir dari

model NPM.

Kontekstualisasi birokrasi dan pembangunan yang memiliki kata kunci

yang sama seperti rasionalitas dan perubahan, ternyata menjadi perekat

laju perkembangan analisis birokrasi di satu sisi, ke arah penerapan Neo

Weberian State (NWS) mengiringi perspektif New Public Governance

(NPG) dan perkembangan beragam paradigma pembangunan seperti

teori pertumbuhan, teori modernisasi, teori ketergantungan, dan teori

sistem dunia, di sisi lain. Perkembangan dua konsep bagaikan dua sisi

dari satu mata uang yang menggelinding ini dengan fokus birokrasi

sebagai bidang kajian yang multi-perspektif dan pembangunan sebagai

bidang kajian yang bersifat multi-dimensional ternyata merupakan

esensi dan orientasi tulisan Saudara Akbar Silo yang bertema “model

holistik birokrasi kontekstual”. Dengan demikian, model holistik

Page 6: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - iv

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

birokrasi kontekstual ini dapat dianggap sebagai model preskriptif yang

memperkaya khazanah perkembangan konsep birokrasi pada tataran

teoritis dan praktis saat ini dan di masa akan datang.

Perkembangan konsep birokrasi ke arah model holistik birokrasi dapat

dicapai melalui ketekunan melakukan pengkajian dan pengujian secara

empiris terhadap berbagai fenomena yang terjadi dan asumsi-asumsi

yang mendasari. Di samping itu, dapat dicapai dengan melakukan

dekonstruksi dan rekonstruksi birokrasi dan pembangunan secara

berkelanjutan dengan logika berpikir rasional, sebagaimana pendekatan

yang dikenalkan oleh Saudara Akbar Silo.

Gagasan Saudara Akbar Silo tentang Birokrasi Kontekstual, sungguh

telah mengilhami saya dan mungkin banyak pihak dari para akademisi

dan praktisi birokrasi. Disadari sepenuhnya bahwa birokrasi di

Indonesia hari ini, masih memiliki banyak kelemahan yang cenderung

sudah akut karena diliputi oleh patologi birokrasi. Akan tetapi, lahirnya

gagasan inovatif berupa model holistik birokrasi sebagai wujud proses

kreasi pengetahuan melalui pendekatan model sosialisasi, eksternalisasi,

kombinasi dan internalisasi, disingkat SEKI meminjam istilah Nonaka

dan Takeuchi (1990), oleh Saudara Akbar Silo merupakan suatu wujud

kekayaan khazanah intelektual yang patut diapreasiasi.

Makassar, April 2013

Prof. Dr. Haedar Akib, M.Si.

Page 7: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - v

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Prakata

Dari Penulis

Diskursus tentang birokrasi tak kan pernah usai, selama pemerintahan

masih ada untuk mengelola kepentingan negara dan bangsa. Bahkan,

dewasa ini studi birokrasi semakin intens dilakukan bukan hanya karena

kegagalan menampilkan prinsip-prinsipnya sendiri secara efektif dan

efisien, tetapi juga karena ketidak mampuannya mengeliminasi diri dari

kepentingan elite penguasa. Semakin menarik untuk mendalaminya

ketika negara dan pemerintah dikendalikan oleh politik kekuasaan, di

mana birokrasi sangat sulit menampilkan kinerja yang akomodatif ter-

hadap kebutuhan nyata masyarakat.

Salah satu pendekatan alternatif yang digagas dalam tulisan ini adalah

pendekatan ekologis yang merepresentasikan model holistik birokrasi

kontekstual. Pendekatan model ini, didasarkan pada asumsi bahwa

semakin dekat epicentrum birokrasi kepada wilayah masyarakat yang

dilayani, birokrasi akan semakin akomodatif dan lebih bermakna bagi

peningkatan pelayanan publik. Asumsi tersebut, berangkat dari pemi-

kiran utilitarianisme yang lebih memandang aspek kegunaannya bagi

masyarakat sebagai sasaran utama pelayanan. Model ini juga berarti

lebih menonjolkan faktor ekologis terdekatnya secara eksternal serta

penguatan dimensi budaya organisasi secara internal yang terbentuk

dari kearifan lokalnya.

Diakui bahwa pendekatan model ini masih memerlukan pengkajian dan

pengujian empirik secara tematik. Tetapi dengan logika berpikir rasional

menggunakan analogi homeostatis serta berbekal pengalaman praktik

birokrasi di Indonesia selama ini, diyakini bahwa perspektif pengem-

bangannya akan mendapat support dari para cendekiawan, pemerhati,

dan praktisi yang sungguh-sungguh berkomitmen menaruh kepedulian

terhadap peningkatan kualitas bernegara dan bermasyarakat. Diperlu-

Page 8: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - vi

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

kan penggalian variabel dan indikator yang relevan untuk memastikan

adanya novelty dari konteks birokrasi model masa kini.

Sungguh, tulisan ini bermaksud untuk menggugah para pihak yang

memandang perlu menggugat kinerja birokrasi saat ini, maupun mereka

yang sedang keasikan merengguk keuntungan dari kondisi birokrasi itu.

Gugahan tersebut, diawali pada bagian pendahuluan yang menceritakan

secara singkat mengenai kondisi masa kini, di mana birokrasi tampak

lebih memihak pada kepentingan kekuasaan dari pada faktor-faktor

ekologi yang seharusnya dijustifikasi secara proporsional. Selanjutnya,

dideskripsikan pula mengenai konteks normatif ekologi birokrasi, yang

didasarkan pada konteks keterhubungannya secara dinamis dengan

lingkungan eksternal dan internal dengan menggunakan analogi

“organisme” dari konsep biologi. Dikemukakan pula tentang faktor-

faktor determinan ekologi birokrasi yang menelah berbagai faktor

seperti : lingkungan, nilai, dan sumberdaya yang berpengaruh terhadap

dinamika dan eksistensinya. Dan, dalam upaya mendekatnya pada

praksisnya, diungkapkan berbagai argumen mengenai kondisi yang

bersifat paradoks, ketika birokrasi kontekstual diperhadapkan dengan

konfigurasi sistem pemerintahan daerah di Papua yang didasarkan pada

semangat otonomi khusus. Tampak adanya saling-silang yang bersifat

asimetris antara tuntutan paradigma pemerintahan dan tampilan birok-

rasi masa kini, sehingga birokrasi kontekstual dipandang sebagai

alternatif yang cocok. Tulisan ini diakhir dengan penutup yang mene-

gaskan bahwa birokrasi kontekstual perlu dipertimbangkan dalam

penyusunan grand desain reformasi birokrasi Indonesia jangka menengah

dan panjang dalam bingkai “Bhinneka Tunggal Ika”.

Kiranya gagasan ini ada manfaatnya.

Jayapura, April 2013

Akbar Silo

Page 9: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - vii

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Sejak awal kami percaya, TUHAN menata baik dunia ini.

Lalu, kami berharap agar PASAR dapat ikut menata.

Sekarang, justru kami berharap kepada Pemerintah.

(Diilhami oleh Anthony King, 1975)

Contextuality of bureaucracy save

the life and existence of the state and the nation;

The Bureaucracy is one of the pillars of government virtue.

(Akbar Silo, 2013)

Page 10: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - viii

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

DAFTAR

I S I

Kata Pengantar, iPrakata, iiiDaftar isi, viiiDaftar Singkatan, ixIndeks, x

Pendahuluan, 1

Konteks Normatif Ekologi Birokrasi, 6

Model Birokrasi Kontekstual, 10

Faktor Determinan Birokrasi, 23

Perspektif Birokrasi Kontekstual di Papua :Paradox Otonomi Khusus, 31

Penutup, 39

Catatan Kaki, 42Kepustakaan, 47

GAMBAR

1. Model Keseimbangan Ekologi Administrasi, 112. Model Holistik Birokrasi Kontekstual, 143. Pergeseran Perspektif Birokrasi Kontekstual, 184. Type E-V-R Congruence Thompson, 245. Empat Wajah Birokrasi di India, 296. Hubungan Faktor-Faktor Determinan Ekologis

dan Derajat Adaptasi Birokrasi Kontestual, 307. Tata Pemerintahan Baru Provinsi Papua, 378. Adaptasi Ekologis Birokrasi Provinsi Papua, 38

MATRIKS

1. Identifikasi Perbedaan Implementasi Birokrasidan Perspektif Birokrasi Kontekstual, 17

2. Dimensi Indikator Faktor Dominan EkologiBirokrasi, 25

Page 11: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - ix

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

SINGKATAN

AS : Amerika Serikat

ASEAN : Association of South East Asian Nations

B3K : Bantuan Keuangan Kepada Kampung

DKI : Daerah Khusus Ibukota

EVR : Environment, Values, Resources

GERBANGKU : Gerakan Pembangunan Kampungku

KISS : Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Simplifikasi

KKN : Korupsi, Kolusi, Nepotisme

LSM : Lembaga Sosial Masyarakat

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

PEMDA : Pemerintah Daerah

PNPM : Program Nasional Pemberdayaan masyarakat

PNS : Pegawai Negeri Sipil

PPDT : Program Pembangunan Daerah Tertinggal

RESPEK : Rencana Strategi Pembangunan Kampung

UNDP : United Nations Development Programme

WCED : World Commission on Environment and

Development

3-C : concept, competence, and connectedness,

5-C : conviction, character, courade, compsure, and

competence

Page 12: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - x

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

INDEKS

3-Tungku............................................... 33Abdi Negara ........................................... 4Adaptasi Ekologis................................ 40Adaptif ........................................ 7, 22, 23Administrasi ........................................... 5Administration....................................... 5Afiliasi ..................................................... 4Afriafya ................................................. 21Akademis ................................................ 9Akomodasi Kebutuhan Publik ........ 26Akuntabilitas ........................................ 12Alternatif ............................................... 20Antropologi .......................................... 31Antropolog Uncen ............................... 37Aparat Birokrasi..................................... 5Aparatur.................................................. 4Apatis....................................................... 3Arogansi .................................................. 2Arogansi Kewenangan........................ 10AS ............................................................. 5Bangsa ASEAN .................................... 21Bebas-Aktif............................................ 15Bertipe Ideal............................................ 9Best Practices ........................................ 22Bhinneka Tunggal Ika ......................... 17Bilateral.................................................. 15Biologi...................................................... 7Birokrasi .............................................. 2, 4BK3......................................................... 36Blue Print......................................... 19, 20Bottom Up............................................. 18Budaya Kerja Birokrasi ....................... 13Bureau ..................................................... 9Character............................................... 27Civil Servant ........................................... 4Code Of Conduct ................................. 18Competence .................................... 27, 28Compsure.............................................. 27Concept ................................................. 27Connectedness...................................... 27Convergence ......................................... 13

Conviction............................................. 27Corporate Power .................................. 24Courade ................................................. 27Cracy ........................................................ 9Daya Saing Kompetitif ........................ 27Dekonsentrasi ................................. 17, 18Delivery Service ................................... 22Demonstrasi ............................................ 2Dewan Perwakilan Rakyat Papua ..... 37Dialog....................................................... 2Dikotomi.................................................. 4Dinamika ................................................. 7Dinamis.................................................... 7Diskursus................................................. 6Divergen................................................ 14Domain Daerah .................................... 18Domain Pusat ....................................... 18Duplikasi Kewenangan....................... 17Efektif....................................................... 9Efisien ...................................................... 9Eklektik Ekologi ..................................... 9Ekologi..................................................... 7Ekologi Administrasi Publik .............. 12Ekologi Birokrasi.................................. 11Ekosistem ................................................ 7Eksistensi Nasionalisme...................... 15Ekslusif .................................................. 10Eksternal................................................ 26Elit Pemerintahan................................... 6Elite Politik.......................................... 4, 6Empirisme ............................................. 17Energizing Bureacracy ........................ 41Enterpreneurship Bureaucracy .......... 41Environment ........................................... 7Epistemologis ....................................... 31Equilibrium Model .............................. 12Etimologis ............................................... 9Etos Kerja............................................... 37E-V-R...................................................... 24Exit Strategi........................................... 40Fakta......................................................... 8

Page 13: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - xi

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Faktor-Faktor Ekologis.......................... 8Fenomena................................................ 8Filofof....................................................... 8Fleksibel................................................. 18Formalistik ............................................ 17Gatra ...................................................... 17Gaya Cermin........................................... 4Gerakan Padu....................................... 36Gerbangku ............................................ 36Global in Nature .................................. 22Globalisasi............................................... 7Good Governamce............................... 41Grand Desain Roadmap ..................... 12Gunung Merah..................................... 36Habitat ..................................................... 7Hampiran Seimbang ............................. 7Handicap............................................... 10Heterogenitas ....................................... 22Homeostatis ............................................ 7Homogenitas ........................................ 22Idiografik............................................... 17Ilmuan ..................................................... 8Implikasi.................................................. 7Independent Procurement System.... 33Indologi ................................................. 31Inisiatif..................................................... 3Institusionalisasi .................................. 22Integral .................................................... 7Integratif.................................................. 9Interaksi Ekonomi................................ 15Interaksi Politik .................................... 15Interaksi Sosial-Budaya....................... 15Interest Group ........................................ 3Internal .................................................... 3Internalisasi........................................... 22Internasional........... 12, 14, 15, 18, 21, 39Introduction To Japanese Politics........ 5Investasi Asing ..................................... 15Justifikasi................................................. 8Kain-Kain Karkara Mnu ..................... 31Kaitan-Kaitan Ekologis ......................... 8Kampung .............................................. 38Kampung Membangun....................... 36Kapasitas Birokrasi .............................. 14Karaktersitik ......................................... 10

KeIndonesiaan...................................... 22Keadilan................................................. 23Kearifan Lokal .................................. 7, 21Kebijakan................................................. 5Keiretsu.................................................. 22Kekuasaan............................................... 5Kemitraan.............................................. 40Keterwakilan......................................... 23Kewenangan Otonomi ........................ 16KISS ........................................................ 35KKN ....................................................... 12Kodifikasi .............................................. 37Kohesif ..................................................... 7Komitmen................................................ 3Kompetitif ............................................. 21Komprehensif ......................................... 7Koneksitas ............................................. 14Konsep-Konsep ...................................... 8Konsepsi .................................................. 4Konteks Indonesia.................................. 6Kontekstual ........................................... 41Kontinum ................................................ 7Kooptasi................................................... 3Kreativitas ............................................... 3Kultur Normatif ................................... 26Kultur Pragmatik ................................. 26Kultur Professional .............................. 26Legalistik ............................................... 17Lembaga Legislatif................................. 6Liberalisme.............................................. 9Lingkungan Hidup ................................ 7Link And Match ..................................... 7Lintas Daerah........................................ 12Lintas Disiplin Ilmu............................... 8Lintas Negara ....................................... 12Local Wisdom....................................... 21Logos........................................................ 7Loyalitas .................................................. 3Majelis Rakyat Papua .......................... 37Makoto................................................... 20Manajerial................................................ 9Masyarakat Modern .............................. 8Medebewind ......................................... 17Membangun Papua Dengan Hati...... 36Mentalitas................................................ 2

Page 14: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - xii

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Model Birokrasi...................................... 6Model British Colonial ........................ 30Model Community Development ..... 30Model Dharmic .................................... 30Model Gandhian .................................. 30Model Holistik...................................... 14Modern.................................................... 9Modis ....................................................... 5Multi Interpretatif .................................. 3Multilateral ........................................... 15Mutual Simbiosis ................................... 8Netralitas................................................. 4New Public Management ................... 41Nilai-Nilai Dasar .................................. 18Nirlaba................................................... 28Nomotetik ............................................. 17Novelty.................................................. 40Oikos........................................................ 7Orang Tepat Pada Posisi Tepat.......... 33Organisma Hidup.................................. 7Orientasi Layanan................................ 26Otonomi Asli ........................................ 38Otonomi Khusus............................ 16, 38Otonomi Umum................................... 38Paradoks Otonomi Khusus .............. 32Parokial.................................................. 26Parsial .................................................... 32Partai........................................................ 4Partai Demokrat..................................... 5Partai Republik....................................... 5Partisipatif............................................. 23Pelayanan Publik ................................... 6Pemberdayaan...................................... 19Pemerintahan ......................................... 3Pendekatan Ekologis ............................. 7Pendekatan Utilitarian .......................... 9Penempatan Sesuai Keahliannya ...... 33Penerapan Nilai............................... 19Pengawasan Intern .............................. 12Penyadaran ........................................... 19Penyakit Birokrasi.................................. 6People Concern .................................... 24Peraturan Daerah................................. 16Peraturan Daerah Khusus .................. 32Perspektif .............................................. 19

Piramida ................................................ 33Pluralistic Strategy............................... 12PNPM Mandiri ..................................... 35PNS........................................................... 4Politisasi................................................... 4Potensi Daerah...................................... 17Power Birokrasi Jepang......................... 6Power Distance..................................... 25PPDT ...................................................... 35Preferensi Budaya ................................ 29Pressure Group....................................... 3Produktivitas ........................................ 19Professional................................... 3, 7, 14Pro-Kampung Membangun ............... 34Pro-Miskin Terentaskan...................... 34Promosi Pejabat .................................... 33Proporsi Kewenangan......................... 15Proporsional.......................................... 19Pro-Rakyat............................................. 34Pro-Rakyat Berdaya............................. 34Publik....................................................... 3Pucuk Pimpinan..................................... 5Puncak-Puncak Budaya Daerah ........ 18Reaktualisasi ........................................... 6Redefinisi............................................... 22Referensi .................................................. 8Refleksi Filosofis..................................... 9Reformasi ............................................ 4, 6Reinventing Government ................... 41Reinventing Pembangunan ................ 27Rekayasa Ekosistem............................... 8RESPEK.................................................. 35Responsif ..................................... 7, 14, 23Rigid....................................................... 18Samurai.................................................. 20Sentralistik............................................. 18Sistem Politik .......................................... 5Sistem Politik Tradisional Etnis Byak31Sistem Terbuka ..................................... 26Sistem Tertutup.................................... 26Sound Governance............................... 41Sporadis................................................. 32Statik ...................................................... 17Strategic Drift........................................ 24Strategis ................................................... 7

Page 15: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - xiii

asilo - Serie Ekologi Birokrasi

Struktural .............................................. 17Struktur-Fungsi ...................................... 7Subyektif ................................................. 3Technical Assistant .............................. 16Teori-Teori .............................................. 8Terminologi ............................................ 9Terpencar .............................................. 18The Conciously IncompetentOrganization......................................... 24The Lost Organization ........................ 24The New Of Public Admnistration ... 41The Unconciously CompetentOrganization......................................... 24Tipe Ideal .............................................. 10Tipe Koersif........................................... 29Tipe Normatif....................................... 29Tipe Utilitarian ..................................... 29

Top Down ............................................. 18Tradisi ...................................................... 8Transformasi ........................................... 6Transformasi ......................................... 23Trust ....................................................... 26Tujuan Nasional ................................... 15Tumpukan Kewenangan .................... 19Type E-V-R Congruence ..................... 25Uncertainty Avoidance ....................... 25Un-Congcuence .................................... 36UNDP..................................................... 22Urusan Pilihan...................................... 16Urusan Wajib ........................................ 16Variabel.................................................... 3Variatif ..................................................... 8Zaibatsu ................................................. 22

Page 16: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 1

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

MODEL BIROKRASI KONTEKSTUAL :GRAVITASI EKOLOGIS

KEARIFAN LOKAL DAN GLOBALISASI

PENDAHULUAN

Mengawali bahasan ini, terlebih dahulu saya ungkapkan kesan umum

terhadap desain model dan kinerja birokrasi kita, dari berbagai

kesaksian dan pengalaman saya melakukan dialog[1] interaktif secara

sambil lalu dengan para pimpinan-lower and middle manajemen peme-

rintahan pada level Departemen Dalam Negeri (sekarang kementerian),

Provinsi Papua dan beberapa Kabupaten/Kota di Papua, serta tokoh-

tokoh masyarakat sasaran layanan publik dan kolega LSM.

Kesan umum yang saya jumpai, adalah : (1) adanya arogansi kekuasaan

politik yang kian mengakar dan merambah dunia birokrasi, (2) adanya

kerawanan mentalitas aparatur yang memanfaatkan kewenangannya

untuk memihak pada dirinya sendiri, (3) adanya ketidak puasan publik

terhadap kinerja birokrasi yang melahirkan berbagai bentuk reaksi

kekesalan, dari dialog damai sampai demonstrasi dan bahkan kita

mengenal palang-memalang-melintang. Kesan yang pertama dan kedua

merupakan sebab dan kesan ketiga adalah akibat.

Ketika tiba pada simpulan diskusi, para pejabat menjadi satu irama

dalam jawaban :

Setuju aparatur bebas dari unsur politik sesuai aturan yang berlaku, agar

dapat fokus pada pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dengan baik,

tetapi sebagai pemimpin di negeri ini saya membutuhkan orang-orang yang

saya percaya 100% untuk membantu saya mewujudkan visi dan misi yang

telah saya janjikan.

Page 17: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 2

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Pernyataan itu mengandung makna subyektif yang multi interpretatif.

Menunjuk pada ketidak percayaan pemimpin terhadap aparatur, dan di

lain pihak, merupakan pengakuan tidak langsung terhadap adanya klik-

klik internal yang dapat berperan sebagai pressure group atau interest

group di kalangan internal pemerintahan. Hal tersebut dikontribusi oleh

suatu kondisi yang menjustifikasi aparatur pemerintah dalam meman-

faatkan situasi. Efek mutu komitmen birokrasi professional dan ber-

wibawa dalam memberikan layanan dan membangun, telah terkooptasi

oleh sikap mental apatis, kurang menghargai, dan rancu dalam tata pikir

terhadap pentingnya mengabdi untuk kesejahteraan masyarakat. Di-

kuatkan dengan simpulan pernyataan diskusi sebagai berikut :

Saya memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan layanan prima

kepada masyarakat, karena hal itu telah menjadi orientasi dan fokus yang

dicanangkan oleh pimpinan. Tetapi perlu diingat bahwa pemerintah

memiliki keterbatasan, di mana peningkatan kapasitas pemerintah bagai

deret tambah, sedangkan dinamika tuntutan masyarakat bagai deret ukur.

Sesungguhnya, pernyataan tersebut sama sekali tidak menunjukkan

perlambang inisiatif dan kreativitas yang seharusnya melekat pada diri

aparatur, melainkan suatu sikap apatis yang hanya menurunkan harga

dirinya, karena lebih dipengaruhi oleh tata pikir subyektif. Tidak

diperlukan komitmen dan loyalitas kepada siapa yang memimpin, tetapi

hanya kepada pencapaian tujuan pemerintahan. Dan, sangat tidak

elegan untuk menyatakan keterbatasan yang mengakibatkan tiadanya

atau menurunnya mutu layanan publik. Sekelumit cerita di atas, adalah

satu dari sekian banyak variabel berpengaruh dalam pembentukan

sistem birokrasi di Indonesia, yang dalam prakteknya, cenderung kuat

dipengaruhi oleh variabel politik-kekuasaan daripada gatra lainnya:

geografis, demografis, kekayaan alam, ideologi, ekonomi, sosial, budaya,

dan hankam.[2]

Page 18: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 3

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

DUA tahun yang lalu, Kristiadi[ 3 ] memprediksi bahwa lima sampai

sepuluh tahun lagi birokrasi di daerah akan lumpuh seiring kencangnya

politisasi birokrasi. Argumen logis yang disampaikan, bahwa :

Fakta yang tidak dapat ditutupi : praktiknya, birokrasi menjadi alat

pertarungan kekuasaan pada Pemilu dan Pemilukada, sehingga birokrasi

lumpuh dalam menjalankan fungsi sebagai instrumen pelaksana kebijakan

pembangunan dan pelayan publik. Bahkan, reformasi birokrasi tidak akan

pernah dapat dilakukan kecuali ada kekuatan yang dapat memaksa partai

politik mengakhiri petualangan politiknya diranah birokrasi.

Aturan tentang larangan PNS berpolitik atau menjadi anggota partai[4],

sebagaimana dapat dijumpai di dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 05

Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor : 37 Tahun 2004, Peraturan

Pemerintah Nomor: 23 Tahun 2010 dan aturan lain yang mendahului-

nya, hanyalah isapan jempol belaka karena praktiknya elite politik tidak

konsisten menegakkan peraturannya sendiri dan sangat mudah me-

nyeret aparatur yang abdi negara itu untuk ikut serta berpolitik.

Birokrasi, menjadi tersekat-sekat dalam afiliasi politik praktis yang

kemudian memunculkan rasa saling curiga. Maka, tidak mengherankan

jika birokrasi di negara kita hingga saat ini, sungguh telah menampilkan

wajahnya yang jelek, kusam, buruk, buram, dan sejumlah predikat

negatif lainnya.

Jauh sebelumnya, Woodrow Wilson,[5] pernah mengemukakan konsepsi

“dikotomi politik-administrasi”. Dimaksudkan untuk memilah secara

tegas batas-batas kewenangan politik dan kewenangan administrasi

dalam mewujudkan tujuan negara dan pemerintahan. Keduanya tidak

boleh sailing mencampuri, tetapi memiliki hubungan kontinum yang

langgeng. Di negara-negara yang menganut paham ini, tampak jelas

peranan “civil servant” yang netral terhadap pertarungan politik di 3

cabang utama pemerintahan (eksekutif-legislatif-yudikatif). Netralitas-

nya hanya diorientasikan pada pelayanan publik. Sebut saja misalnya,

adagium Gaya cermin bagi semua dan yang berbeda dengan Gaya

Page 19: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 4

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Cermin sendiri) [6 ] : Obama’s Administration dan SBY’s Administration.

Para birokrat pemerintahan AS tidak terpengaruh pada dari mana asal

pemimpinnya (Partai Republik atau Partai Demokrat), tidak terpengaruh

secara politik terhadap kebijakan gencatan senjata di Timur Tengah atau

kebijakan perpajakan, kecuali mengadministrasikannya dengan baik.

Sebagaimana disinyalir oleh Etzioni-Halevy (2011), bahwa prinsip

kekuasaan ibarat aliran darah dalam tubuh administrasi. Tetapi dalam

sistem politik Amerika Serikat, kekuasaan ini mengalir dari pucuk

pimpinan ke pihak-pihak lain melalui birokrasi. Kecenderungan yang

terjadi di Indonesia, justru sebaliknya. Aparat birokrasi terkondisikan

untuk mengadaptasikan diri pada kebijakan pemerintah dan menonjol-

kan pemihakan dengan berbagai macam alasan. Jajaran birokrasi, dari

kementerian hingga ke daerah-daerah seolah terpola baku melantunkan

irama koor dari kebijakan pimpinan dan partai. Hal ini terjadi karena

gaya pemerintahan kita tidak dapat menghindarkan birokrasi dari

panetrasi elit politik, sehingga politik menjadi dominan. Mengikuti

komentar Frederickson dan Smith (2003) dalam simpulan kritisnya :

It continues to be fashionable to say that there is no politics-administration

dichotomy, as if such a statement conveyed a special insight. As theories of

politicical control of bureaucracy indicate, to unbundle politics and

administration is a key to understanding how politics controls bureaucracy

and how bureaucracy influence politics and policy.

Di mana, tema-tema politik-administrasi telah diperbincangkan secara

khusus dan modis pada kurun waktu panjang. Politik berfungsi untuk

mengurai dan administrasi yang merupakan kunci dalam memahami

bagaimana politik mengontrol birokrasi dan bagaimana birokrasi

mempengaruhi politik dan kebijakan. Tema kontras diungkapkan oleh

Hayes (2009) , dalam buku berjudul “Introduction to Japanese Politics”,

mengupas kedudukan birokrasi yang kuat dan bersikap netral terhadap

percaturan politik. Hayes berpendapat bahwa :

Page 20: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 5

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Power birokrasi Jepang cukup kuat, lebih berpengaruh daripada birokrat

dalam sistem diktator sekalipun. Kekuatan birokrasi dilihat dalam proporsi

dimana terdapat kelemahan dalam partai dan lembaga legislatif. Adanya

perubahan di tingkat kementrian justru membuat birokrat dapat

membangun kekuatan organisasi. Birokrasi dapat mempertahankan

netralitasnya walau terjadi pergantian kabinet, sehingga birokrasi dapat

mendukung political stability serta tidak menimbulkan guncangan politik.

Kekuatan birokrasi merupakan produk dari tradisi yang telah berjalan lama

dan panjang.

Pada konteks Indonesia, saat ini kedudukan birokrasi sedang diposisi-

kan kembali dalam rangkaian gerakan reformasi birokrasi. Berharap

hasil akhirnya, dapat mewujudkan fungsi-fungsi efektif untuk birokrasi

pemerintahan, birokrasi pembangunan, dan birokrasi pelayanan publik.

Selanjutnya, diskursus mengenai carut marut birokrasi menjadi

perhatian Wanggai (2012), dengan menyatakan bahwa tidak ada

pemerintahan yang baik tanpa birokrasi yang baik, bahkan tidak akan

ada reformasi yang berarti dalam negara tanpa reformasi birokrasi. Oleh

karena itu, hampir seluruh negara, tengah mengarahkan sebagian

energinya untuk pembenahan birokrasi. Refromasi bukanlah semata-

mata untuk kebutuhan pemerintah, tetapi juga kebutuhan masyarakat.

Disadari bahwa tidak semua elit pemerintahan dan elit politik yang

melakonkan diri seperti cerita di atas. Masih banyak pimpinan kita dan

aparatur pemerintah yang berhati mulia, jujur, penuh perhatian, santun,

dan memiliki mentalitas tangguh sebagai abdi masyarakat, imun

terhadap kerawanan dan wabah penyakit birokrasi apapun jenis dan

modusnya. Oleh karena itu, kita masih memiliki harapan menggapai cita

terwujudnya sistem birokrasi yang professional. Masih banyak ruang

dan peluang bagi kita untuk melakukan upaya “remedies” terhadap

penyakit birokrasi dalam rangka transformasi dan reaktualisasi model

birokrasi yang tepat. Relevan dengan pandangan (Warsito, 2005;

Dwiyanto, 2009, Etzioni-Halevy, 2011; Thoha, 2012), bahwa kenyataanya

birokrasi sangat dibutuhkan untuk mengatur dan mempercepat ter-

Page 21: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 6

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

capainya tujuan pembangunan. Tetapi, kita harus dapat mensiasati

kemampuan mewujudkan birokrasi professional, adaptif, dan responsif.

Dengan demikian, reaktualisasi birokrasi untuk mencapai model birok-

rasi yang dicitakan itu, perlu mengedepankan pendekatan ekologis yang

lebih komprehensif dan integral. Kemaknaan dan manfaat model

birokrasi, hanya dapat ditoleransi oleh dinamika lingkungannya sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi dan dinamika birokrasi

senantiasa memiliki interkonkesitas link and match yang bersifat kohesif

dengan sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem sosial, dan

sistem budaya. Diperlukan langkah strategis dalam memposisikan

sistem birokrasi pada pusaran sistem-sistem tersebut secara bebas. Dan,

agar tidak terjadi benturan yang bersifat melemahkan, dibutuhkan

hampiran seimbang agar sistem birokrasi dapat dijalankan pada lintasan

kontinum antara kearifan lokal dan globalisasi.

KONTEKS NORMATIF EKOLOGI BIROKRASI

Untuk pertama kalinya Ernst Haeckel (1834 - 1914), memakai istilah

ekologi yang berasal dari kata oikos ("habitat") dan logos ("ilmu").

Dimaksudkan sebagai cabang biologi yang mempelajari interaksi orga-

nisme (makluk hidup) dan lingkungannya. Memiliki keterhubungan

kohesif dan dinamis dengan sistem kehidupan makhluk hidup, saling

mempengaruhi dan saling berkontribusi sebagai satu kesatuan

(homeostatis).[7] Keterkaitan antar sub-sub ekosistem yang dipertahan-

kan dalam kondisi stabil dan seimbang. Sementara itu, Pamuji (2004)

mengemukakan dua implikasi penting, yaitu : Pertama, ekologi sebagai

konsep “rumah tangga (oikos)”, dirujuk untuk menjelaskan struktur-

fungsi dalam suatu lembaga keluarga sebagaimana ditemukan dalam

birokrasi. Kedua, ekologi dibedakan dengan “environment” dari unsur-

unsur relevansinya. Environment dimaknai sebagai keadaan sekitar

yang melingkupi suatu organisma hidup. Dalam hubungan dengan

ekologi administrasi[ 8 ], pilihan faktor-faktor lingkungan hidup yang

relevan dengan sistem administrasi—mencakup birokrasi, dimaksudkan

sebagai faktor-faktor ekologis, sebagai produk dari keterhubungan

Page 22: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 7

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

mutual simbiosis yang mentradisi lintas disiplin ilmu. Maka, Ilmu

Administrasi – dan birokrasi, dipandang sebagai organisma hidup yang

memiliki keterkaitan dengan lingkungannya yang relevan.

Sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat modern, dewasa

ini ekologi memiliki dimensi luas dan digunakan dalam berbagai matra

kehidupan. Kita mengenal kaitan-kaitan ekologis dari berbagai disiplin

ilmu pengetahuan, sehingga tidak hanya digunakan dalam konteks

makna dasarnya. Cabang-cabang ilmu pengetahuan terus bergerak

mencapai eksistensinya dengan kontribusi faktor-faktor ekologis yang

memicu lahirnya pemikiran baru yang idealistis dan empiris. Hadirnya

beragam paradigma sesuai fase perkembangan ilmu administrasi, meru-

pakan hasil pergumulan dari para filofof, ilmuan, dan peneliti terhadap

tanda-tanda zaman sebagai fenomena atau fakta baru pada masanya

yang kemudian melahirkan konsep-konsep dan teori-teori baru.

Pemikiran ekologi diilhami oleh pandangan ilmuan yang berupaya

memahami hubungan antar komponen ekosistem, telah menjustifikasi

lahirnya referensi yang sangat variatif. Umumnya bersumber dari tradisi

filsafat dilatari tata pikir tentang alam sebagai bagian penting dari

filsafat. Oleh karena itu, hadirnya ekologi sebagai disiplin ilmu penge-

tahuan didasari komitmen rekayasa ekosistem untuk kemaslahatan

manusia, selaras dengan upaya filsafati mencari makna alam luas. Tak

dapat dipungkiri bahwa ekologi telah menjadi obyek telaah akademis

berangkat dari nilai normatif dan praksisnya terhadap dinamika kapi-

talisme, sosialisme, statisme, demokrasi, dan ilmu pengetahuan itu

sendiri, terutama terkait dengan munculnya kesadaran baru terhadap

krisis lingkungan. Seperti dinyatakan Laferriere and Stoett, (1999) [9] :

The term ecology dates back only to the late nineteenth century, when the

scientific community began to understand the relationship between the

component “parts” of “ecosystems.” Thinking on ecology was clearly

spurred by the rapidly growing excesses of industrialization, as human

intervention was now exposing the fragility of delicately balanced habitats.

Page 23: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 8

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Ecology arose as a scientific discipline committed to the understanding and

aspired “engineering” of ecosystems, but it developed simultaneously as a

philosophical endeavor, searching for the larger (metaphysical) meaning of

nature.

Dalam buku “International Relations Theory and Ecological Though”,

Eric Laferriere and Peter J Stoett (1999), mendiskusikan secara mendalam

tentang "pendekatan utilitarian" dan manajerial” dalam meninjau varian

pemikiran ekologi. Mengadopsi gagasan eklektik ekologi-sebagai bidang

ilmiah dan refleksi filosofis, yang dikaji secara deskriptif dan normatif.

Beberapa aspek ilmu pengetahuan dan aplikasinya, memiliki kon-

sekuensi sosial secara langsung berjangka panjang. Pada tingkat global,

ekspresi paling populer dari perspektif ini, dikombinasikan dengan

maraknya paham liberalisme, sebagaimana ditulis di dalam Laporan

Brundtland Our Common Future (WCED 1987).

Selanjutnya, konsep birokrasi secara etimologis berasal dari paduan kata

“bureau” dan “cracy”. Makna sederhanya adalah kekuasaan atau aturan,

yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Pada organisasi modern,

terminologi tersebut seringkali dianalogikan sebagai "mesin" yang

dijalankan untuk mengolah pekerjaan-pekerjaan dan menghasilkan

produk phisik dan non-phisik. Capaian produk membutuhkan jaminan

berfungsinya seluruh komponen mesin birokrasi secara efektif dan

efisien. Pada konteks itu, maka birokrasi hadir dalam institusi manapun,

pemerintahan, swasta, sosial-kemasyarakatan, keagamaan, peradilan,

kemiliteran, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya dengan ragam dan

sifat pekerjaan dan produk sesuai tujuan dan sasaran masing-masing.

Dalam berbagai literatur akademis, setidaknya dapat ditemukan dua

pandangan ekstrim mengenai birokrasi. Pertama, melihat birokrasi

sebagai bagian penting yang bersifat integratif dan melekat pada sistem

administrasi publik dalam rangka mewujudkan visi pemerintahan. Pada

konteks itu, dapat dirunut konsep birokrasi, yakni : (1) sebagai orga-

nisasi bertipe ideal,[ 10 ] memusatkan perhatiannya pada konsekwensi

Page 24: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 9

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

pencapaian tujuan birokrasi yang dipengaruhi oleh karaktersitik sistem

organisasi dan individu dalam organisasi. Sesuai perkembangannya,

tipe ideal telah membentuk pola anutan tersistemik dalam tubuh

organisasi yang diyakini sebagai suatu model normatif acuan mengukur

derajat keberhasilan birokrasi dalam menjalan tugas dan fungsinya

melayani publik. Para pejabat, dan bahkan ilmuan, memandang ciri

bawaan tipe ideal itu sebagai norma baku yang dijadikan referensi pikir

dan tindakan dalam memutar roda organisasi pemerintahan. (2) sebagai

tata pemerintahan oleh biro-biro, [11] di mana biro-biro itu terdiri dari

aparat yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diberi mandat

untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Keabsahan kewenangan

individu dalam organisasi didasarkan pada keputusan formal berdasar

keahlian dan profesionalitasnya, bukan semata-mata tunduk pada

kehendak pimpinan. Kedua, melihat birokrasi dari sisi negatif, sebagai

instrument untuk tujuan kepentingan ekslusif, yang tercermin dalam

bentuk perilaku pejabat dan aparatur pemerintahan bertendensi kaku,

berbelit-belit, bertele-tele, dan sejumlah handicap arogansi kewenangan.

Aspek negatif dari birokrasi disinggung pula oleh Kramer (1977), Arif

Budiman (1988), Pinchot dan Pinchot (1993), Siagian (2009). Bandingkan

pula dengan konsep bureu-pathology (Rigss, 1971), reformasi birokrasi

(Dwiyanto, 2002), pemangkasan birokrasi (Osborn dan Plastrik, 2002).

Kedua konsep itu, dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan

sistem, individu, dan budaya kerja. Dalam hal ini, sistem dipandang

sebagai konfigurasi struktur-fungsi yang ditata berdasarkan pola

tertentu. Terbentuk atas kontribusi dinamis dari berbagai aspek yang

saling terkait, di mana tiap-tiap aspek mengemban fungsi-fungsinya

sendiri. Sedangkan individu merupakan organisme manusia sebagai

anggota organisasi formal. Dalam eksistensinya mempertahankan diri,

senantiasa mencari jalan keluar terhadap berbagai masalah yang

dihadapi. Guna mengatasi masalahnya, organisme itu harus memiliki

preferensi khusus seperti akal-budi dan kemampuan adaptasi, yang

memberi warna dalam pembentukan sikap dan tindakan pemecahan

masalah.

Page 25: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 10

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

MODEL BIROKRASI KONTEKSTUAL

Dalam rangka mengaktualisasikan kembali birokrasi kita sesuai faktor

ekologisnya, perlu mempertimbangkan rujukan teori yang mendasari-

nya. Kajian-kajian ekologi birokrasi dari Nigro (1970), Riggs (1971),

Kimberly dan Rottman (1995), Pamuji (2004), Hardjito (2005), dan Thoha

(2012), mengaitkan karakteristik lingkungan dari institusi pemerintahan

yang relevan dengan struktur-fungsi birokrasi yang bersifat khas.

Faktor-faktor internal dan eksternal yang terkait dengan dimensi ling-

kungan, politik, kultur, hukum, politik, ekonomi, teknologi, struktur,

manusia, pilihan strategi, kewenangan, pembagian tugas, spesialisasi,

proses dan prosedur pengoperasian, yang harus dipertimbangkan

karena turut menentukan keberhasilan mencapai tujuan.

Dalam hubungan itu, Olsen (2004) mengutip pandangan John M. Gaus :

“the six factors are : people, place, physical technology, social technology, whises

and ideas, catastrophe, and personality”. Sementara itu, Riggs berpendapat

bahwa faktor-faktor ekologi administrasi negara: “economic foundation,

social structure, communication network, ideological/symbol patterns and

political system.” Nigro menyarankan faktor-faktor ekologi administrasi

negara adalah “population changes, advances in physyical technology,

advances in social inventions, and ideological environment”, sedangkan itu,

Pamudji (1993), menekankan pada komponen sistem lingkungan,

masukan, proses konversi, keluaran, dan umpan balik. Lahirnya Ilmu

Perbandingan Administrasi Negara[ 12 ], semakin menegaskan adanya

pengakuan akademik terhadap karakteristik ekologis yang dimiliki oleh

suatu wilayah pemerintahan. Seperti ditulis oleh Keban (2008), bahwa

beberapa kelompok pakar dari Universitas Indiana, Michigan State,

Syracusa, Southern California, dan Pittsburg, mengingatkan kita untuk

tidak memaksakan penerapan manajemen Barat ke negara sedang

berkembang karena membutuhkan banyak persyaratan khusus. Antara

lain penganjurnya adalah Rondinelli, Bryant dan White, Kiggudu, Ingle,

Uphoff, Korten, Lindenberg dan Crosby, Chambers, Brinkerhoff, dan

Esman.

Page 26: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 11

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Oleh karena kekhususan faktor-faktor itulah, maka terdapat perbedaan

ekologis dari birokrasi pemerintahan dalam konstelasi lintas negara

ataupun lintas daerah.

Gambar 1. Model Keseimbangan Ekologi Administrasi , Riggs (1987).

Faktor pengaruh tersebut pernah dianalisis oleh Riggs[13] dalam studinya

tentang ekologi administrasi publik yang menghasilkan equilibrium

model. Dengan mengikuti alur pikir itu, saya mengidealisasikan pan-

dangan bahwa model birokrasi kontekstual perlu digagas untuk tidak

menyamakan pola dan praktek birokrasi bagi suatu wilayah pemerin-

tahan, baik pada skala internasional, maupun skala nasional dan skala

daerah. Bukankah Esman (1991)[ 14 ], telah merekomendasi penerapan

pluralistic strategy yang mempertimbangkan keberagaman yang ada.

Gagasan tentang birokrasi kontekstual ditawarkan untuk diintersepsikan

sebagai bagian penting dari Grand Desain Roadmap reformasi birokrasi

Indonesia dalam jangka panjang (2010-2025). Berisi langkah-langkah

umum penataan organisasi, penataan tata laksana, penataan manajemen

sumberdaya manusia aparatur, penguatan sistem pengawasan intern,

penguatan akuntabilitas, peningkatan kualitas layanan publik, dan

pemberantasan praktek KKN. Langkah-langkahnya penerapanya meli-

puti 9 program : manajemen perubahan, penataan organisasi, penataan

Page 27: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 12

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

tatalaksana, manajemen sumberdaya aparatur, penguatan unit orga-

nisasi, penataan peraturan perundangan, penguatan penawasan intern,

penguatan akuntablitas, dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Pada konteks yang sama, Velix V. Wanggai (2012) menekankan pada

penataan : kelembagaan struktural, otonomi daerah, sumberdaya manu-

sia, regulasi, sinergi pusat-daerah, penegakan hukum, dan data kepen-

dudukan. Tetapi sangat disayangkan karena tampak belum menyentuh

faktor-faktor ekologis yang ada pada setiap strata pemerintahan hingga

ke tingkat kampung. Walaupun dimaksudkan untuk memberi arah,

acuan, dan pernyamaan persepsi mengenai langkah-langkah operasional

birokrasi setiap instansi hingga ke daerah-daerah. Akan tetapi, dalam

implementasinya tidak cukup signifikan menghasilkan perbaikan.

Padahal, Road Map tersebut dihadirkan untuk menjawab permasalahan

dalam dunia birokrasi, yang oleh, Keban (2008), dinyatakan bahwa

“penyebab utamanya adalah terabaikannya pembangunan birokrasi

selama ini sehingga mutunya berangsur-angsur alami kemorosotan”.

Reformasi birokrasi dipolakan dari pusat (convergence) dan daerah wajib

menyesuaikan. Meneropong secara terpusat dan karena itu bersifat

generalis. Sementara reformasi birokrasi di tingkat pusat tidak pernah

selesai, termasuk prioritas pencapaian tahunannya. Misalnya, sejumlah

aturan menyangkut aparatur dan kelembagaan birokrasi yang tumpang

tindih, pola pikir dan budaya kerja birokrasi belum sepenuhnya pro-

fessional, dan birokrasi menjadi kehilangan kepastian arah, luput dari

pertimbangan geografis dan karakter ekologis lainnya. Domain pusat

terlalu besar, berimplikasi pada saling tumpang tindih dan benturan

fungsi dan kewenangan antar instansi pemerintah. Akibatnya, sulit

menemukan penyelesaian tuntas dan serentak. Di lain pihak, Pemerintah

Pusat terus menerus menuntut perbaikan kinerja birokrasi di daerah

untuk peningkatan pelayanan publik dan mereduksi praktek KKN.

Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh

hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan

situasi dan kondisi variabilitas antar daerah. Perbedaan kultural, geo-

Page 28: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 13

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

grafis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan berbeda dan menuntut

program pembangunan yang berbeda pula. Maka, guna mengaktualkan

model holistik birokrasi kontekstual, diperlukan penataan kembali

hubungan eksternal dan internalnya dengan kecenderungan pada sistem

terpencar (divergen), sehingga dapat dicapai keseimbangan harmonis.

Tata hubungan yang mampu mereduksi nilai-nilai lama yang sarat

dengan kekuasaan politik[15] baik di tingkat nasional dan maupun di

daerah, serta mendorong semakin menguatnya nilai-nilai sosial, budaya,

dan adat istiadat. Daerah dan faktor ekologisnya menjadi episentrum

dari gaya gravitasi lingkungan eksternal – nasional dan internasional.

Ditengah carut marutnya birokrasi kita hingga hari ini, saya ber-

keyakinan bahwa kita masih dapat berbuat sesuatu dalam mereduksi

kelemahan demi kelemahan agar dapat merekayasa peluang untuk

kepentingan publik. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan

ini, saya mengajukan model holistik birokrasi kontestual, yang didasarkan

pada pemikiran bahwa distribusi urusan negara dan kewenangan

pemerintah harus tetap menjadi jaminan kuat bagi terselenggaranya tata

pemerintahan desentralistis yang otonom dan demokratis. Oleh karena

itu, adalah tepat ketika, desain roadmap birokrasi Indonesia, ditinjau dengan

menyertakan tata alur : sistem, individu, dan budaya kerja dalam

hubungan koneksitasnya dengan faktor-faktor ekologis yang mencakup

kearifan lokal itu. Hendaknya hal ini dapat dijadikan sebagai gerakan

massal yang dipelopori oleh kaum akademisi di kampus, karena bagai-

manapun birokrasi adalah instrumen penting yang harus disediakan

bagi pemimpin dan aparatur pemerintah yang memiliki saham besar

dalam mengukir sejarah sukses pembangunan dan kejayaan masyarakat.

Model tersebut bermaksud mengakomodasi hubungan kausalitas secara

eksternal dan internal. Pada lingkup eksternal, hubungan internasional

dalam sistem dunia, memerlukan tatakerja birokrasi yang professional

dan responsif, di mana kapasitas birokrasi harus mampu mengelola

pergaulan antar bangsa dalam proses pencapaian tujuan negara.

Page 29: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 14

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Gambar 2. Model Holistik Birokrasi Kontekstual.

Oleh karena itu, bagaimanapun, selalu ada kandungan nilai universal di

dalam tubuh birokrasi. Salah satu efek globalisasi adalah makin

maraknya tuntutan layanan publik bagi masyarakat internasional,

termasuk kemampuan birokrasi dalam interaksi ekonomi (misalnya :

penanganan investasi asing maupun pengelolaan bantuan modal dari

negara-negara donor), interaksi politik dalam kerangka implementasi

politik luar negeri yang bebas-aktif, interaksi sosial-budaya (misalnya

terkait dengan layanan wisatawan mancanegara), kerjasama ekonomi,

sosial, budaya, dan pertahanan-bilateral dan multilateral.

Jika dikalkulasi proporsi kewenangan negara[16], maka sebaiknya pada

konteks global diperlukan responsivitas birokrasi maksimal 20%, dan

pada lingkup nasional dibutuhkan minimal 80%. Dengan asumsi bahwa

pada hakikatnya segala urusan internasional semata-mata dimaksudkan

untuk mencapai tujuan nasional. Hal ini diperkuat oleh pengalaman

Indonesia dalam mengelola bantuan internasional pada awal 1950an,

seperti diceritakan oleh Tjokroamidjojo (1995) [17]. Pada intinya, mengan-

dung maksud penegasan bagi eksistensi nasionalisme ke Indonesiaan

Page 30: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 15

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

yang dijunjung tinggi oleh para petinggi negara. Oleh karena itu, sejak

awal ketika dilakukan penyempurnaan tata kelola administrasi negara

(baca : Administrasi Pembangunan) di Indonesia, ditujukan untuk

kepentingan nasional sekalipun harus mendatangkan technical assistant

dari Amerika Serikat. Setidaknya, hal ini telah menjadi fokus perhatian

para penulis[ 18 ] tentang administrasi negara di Indonesia, seperti :

Prajudi Atmosudirdjo, Sondang Siagian, Awaloedin Djamin, The Liang

Gie, Kosim Adisaputra, dan Daoed Joesoef.

Selanjutnya, pada skala nasional, sebaiknya proporsi kewenangan Peme-

rintah Pusat hanya maksimal 25%, dan pada tingkat daerah, minimal

75%. Sesungguhnya hal ini dapat dirujuk dari berbagai ketentuan yang

berlaku : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 (Otonomi Khusus

NAD), Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Otonomi Khusus

Papua), Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 (Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional dan Daerah), Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 (Pemerintahah Daerah), Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

(Hubungan Keuangan Pusat-Daerah), Undang-undang Nomor 29 Tahun

2007 (Kekhususan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara), Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2012 (Keistimewaan DIY). Lebih khusus lagi

pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang telah mengatur

kewenangan pemerintahan terhadap jenis urusan masing-masing. Pada

pasal 2, mengatur 6 jenis urusan pusat, dan 31 jenis urusan daerah dan

pada Pasal 7 diterakan 27 jenis urusan wajib, menyangkut urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkat-

kan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan

potensi unggulan daerah yang bersangkutan, serta 5 jenis urusan pilihan

yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Semua aturan perundangan

tersebut memberikan konsesi dan pengakuan formal kepada daerah

untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam batas kewenangan

masing-masing di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya,

bahwa tiap-tiap wilayah pemerintahan di Indonesia yang menjalankan

kewenangan otonomi, seharusnya menampilkan wajah birokrasinya

yang berbeda satu sama lain. Dalam hubungan ini, Fauzi dan Zakaria

Page 31: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 16

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

(2000), melihat hubungan kewenangan itu dalam bentuk desentralisasi

sebagai bentuk penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah otonom dalam rangka NKRI; dekonsentrasi sebagai

pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom

sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah, dan

medebewind adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksa-

nakan urusan pemerintah pusat yang kewenangannya lebih luas dan

lebih tinggi. Sementara itu, Musaad (2002), menjelaskan bahwa kewe-

nangan perlu dirasionalisasi sesuai tuntutan kebutuhan dan potensi

daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah, dengan meng-

hindari duplikasi kewenangan antar daerah (provinsi/kabupaten/kota)

yang dianggap tidak realistis. Hal ini sejalan dengan pandangan Riggs

yang diungkapkan oleh Surie (1987), mengenai pergeseran pendekatan

dari normatif ke empirisme, dari pendekatan ideografik ke nomotetik,

dan dari pendekatan struktural ke pendekatan ekologi. Kecenderungan

dalam kehidupan administrasi negara ke arah empirisme menekankan

pada konteks apa adanya dan senyatanya. Idiografik mengutamakan

ketunggalan suatu peristiwa, dalam mencermati kasus-kasus tertentu,

berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Kecenderungan Nomotetik

memusatkan perhatian kepada usaha untuk menemukan generalisasi,

prinsip atau korelasi dari berbagai variabel untuk menghasilkan

simpulan umum dan dapat dipakai sebagai rujukan pada di berbagai

negara. pendekatan struktural yang lebih bersifat legalistik, formalistik

dan statik. Pendekatan ekologi administrasi memperhatikan keterkaitan

antara sistem administrasi dengan lingkungan, mempertimbangkan

semua faktor yang hidup dan berkembang dan diakui oleh masyarakat

Sejalan dengan itu, maka sistem birokrasi di bagian-bagian wilayah di

Indonesia mesti beradaptasi dan merespon karakteristik daerahnya

sendiri sesuai kearifan lokalnya, mencakup gatra : geografis, demografis,

kekayaan alam, politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berdasar pada pe-

mikiran itu, maka dengan kekhususan gatra di Tanah ini, mestinya kita

dapat menyaksikan birokrasi berwajah ke-Papua-an, terbingkai dalam

Bhinneka Tunggal Ika. Sama halnya dengan sistem birokrasi di Yogya-

Page 32: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 17

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

karta, Aceh, DKI Jakarta, dan wilayah provinsi lainnya. Istilah Ke-Papua-

an, dikandung maksud sebagai karakter lokal yang khas dan membeda-

kan dengan lainnya. Karakter lokal itu adalah nilai-nilai integratif yang

disarikan dari keberagaman nilai yang ada di di dalam budaya dan adat

istiadat suku bangsa yang amat beragam di Papua. Relevan dengan

istilah budaya nasional di Indonesia yang dibentuk dari puncak-puncak

budaya daerah. Maka, birokrasi berwajah ke-Papua-an adalah birokrasi

yang mencerminkan puncak-puncak budaya dari suku bangsa di Papua.

Mengandung nilai-nilai dasar yang digunakan dalam pembentukan

budaya organisasi pemerintahan sebagai landasaan code of conduct.

Matriks 1.Identifikasi Perbedaan Implementasi Birokrasi implementasi

dan Perspektif Birokrasi Kontekstual

PetunjukBirokrasi (Umum)

Dalam ImplementasiBirokrasi Kontekstual

Dalam Perspektif

Grand Desain Gagasan bersifat convergenOrientasi Top Down

Gagasan bersifat divergenOrientasi Bottom Up

Basis Domain Pusat-Sentralistik Domain Daerah-Terpencar

DominanPengaruh

Dipengaruhi oleh Sistem PolitikNasional dan tekanan politikinternasional. Politisasi Birokrasisemakin menguat

Dipengaruhi faktor dominanekologi pemda dan tekananstakeholder daerah. Memperkuatbudaya birokrasi

ArahKebijakan

Rigid, kurang fokus dan kurangrealistis

Fleksibel, lebih fokus dan lebihrealistis

SumberKewenangan

Diidentifikasi dari konten daerahdan kepentingan nasional, sertadirumuskan secara umum. Mem-butuhkan penerjemahan denganregulasi berlapis.

Diidentifikasi dari konten daerahdan dirumuskan sesuai kontenkebutuhan daerah. Didukungregulasi yang lebih fleksibel

MuatanKewenangan

6 urusan sebagai domain pusat danintervensi 31 urusan daerah(dekonsentrasi dan pembantuanhingga ke kampung)

6 urusan sebagai domain pusatdan 31 urusan daerah secarapenuh

SistemOrganisasi

Berorientasi hasil berpola umum.Kinerja dipacu dengan standarnasional.

Berorientasi proses berkarakterekologi lokal. Kinerja dipacudengan standar kepuasan publik.

Budaya Kerja Sikap dan perilaku kerja sangatdipengaruhi oleh kekuasaan elitepolitik.

Sikap dan perilaku kerja berdasarpada nilai-nilai sosio-budaya

JangkauanPublik

Lebih Terbatas dan lamban Lebih dekat aspirasi publik dancepat

Page 33: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 18

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Pada matriks 1, ditampilkan aspek-aspek penciri birokrasi kontekstual

dibandingkan dengan birokrasi yang telah diimplementasikan pada

umumnya di Indonesia hingga saat ini. Penciri tersebut menekankan

pada kedekatannya dengan sasaran pembangunan (pemberdayaan) dan

layanan publik. Menarik tumpukan kewenangan di pusat yang sarat

dengan kepentingan politik praktis untuk diposisikan kembali lebih

dekat pada masyarakat yang sarat dengan kearifannya.

Saya berpendapat bahwa untuk meningkatkan produktivitas dan

kemanfaatan birokrasi - “hasil-manfaat-dampak” bagi perbaikan mutu

pelayanan publik dan pembangunan di daerah ini, perlu digagas suatu

pengembangan model perspektif birokrasi kontekstual. Tentu model

tersebut membutuhkan proses penyadaran dalam konteks sosialisasi

guna membangun kesepahaman bersama dengan memberdayakan

seluruh potensi kekuatan yang kita miliki. Masalahnya, terletak pada

kemampuan daerah dalam mengoptimalkan kewenangan yang dimiliki

untuk mengaktualisasikan kembali sistem birokrasinya agar mampu

merespon faktor ekologisnya secara proporsional dan berimbang, dan

tidak lagi “politik” menjadikan segala-galanya.

Rendah Hasil-Manfaat-Dampak Tinggi

Nasional Lokal

Normatif Proses Kontekstual

- Form NegaraPenyadaran

Pemberdayaan

Pembudayaan

Penerapan Nilai

Form Lokal -

- Ide Puncak Ide Dataran -

- Terpusat Terpencar -

- Blue Print Kearifan Lokal -

- Pola Weberian Pola Budaya -

- Ekologi: dominan

Politisasi

Ekologi :

Proporsional

Rendah D er a ja t Pe lay a na n P u b l ik Tinggi

Birokrasi Saat ini Birokrasi Kontekstual

Gambar 3. Pergeseran Perspektif Birokrasi Kontekstual

Page 34: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 19

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Disadari bahwa proses adaptasi tersebut membutuhkan waktu yang

panjang, tetapi sebagai alternatif tersaran, perlu disikapi secara positif

oleh semua pihak di tingkat nasional maupun di daerah-daerah.

Pengalaman praktek sistem birokrasi kita hingga saat ini ditengah

maraknya otomisasi, masih memiliki kecenderungan kuat ke arah

sentralistis yang ketat pada pola weberian, dengan formula negara

dan/atau pemerintah pusat. Bahkan, tanpa disadari para pejabat dan

aparatur pemerintahan di daerah–daerah harus (jika tidak terpaksa)

berkiblat pada ide puncak dari struktur pemerintahan nasional yang

bersifat “blue print”. Walaupun dalam berbagai produk regulasi dan

momentum selalu dinyatakan perlunya menonjolkan inisiatif dan

kreativitas daerah.

Birokrasi kontekstual digagas dengan formula lokal dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang mengedepankan kearifan lokal dan

sebagai pencirinya adalah sistem budaya yang hidup dan berkembang

dinamis. Untuk itu, harus dapat didorong terciptanya kondisi yang

dapat memunculkan ragam inisiatif dan kreativitas daerah dalam

mencari keunggulannya masing-masing memasuki era kompetisi global.

Bukankah Jepang, Korea, Cina, dalam batas-batas tertentu telah berhasil

menguasai dunia dengan kearifan lokalnya masing-masing.

Dalam telaahnya bertajuk “Semangat Berprestasi China, Jepang dan

Korea Selatan”, Widyahartono, mengungkapkan bahwa Bangsa China,

Jepang dan Korea Selatan memiliki semangat tinggi dan etos berprestasi

yang menjiwai budaya produktivitas. Etos kerja yang tinggi disertai

karakter nilai-nilai khas : menjunjung tinggi nama keluarga, disiplin

kerja, menghindari terjadinya suasana tidak nyaman, orientasi

kelompok, jaringan kerja saling mendukung atas dasar saling percaya.

Masyarakat Jepang memiliki jiwa makoto (sungguh-sungguh) dan

bermental Samurai dengan menjunjung tinggi kemurnian batin dan

motivasi, serta menolak tujuan berkarya demi kepentingan diri sendiri

sebagai ekspresi keluhuran dari kearifan budaya lokal. Bangsa Korea

dengan semangat etos kerja “Hahn” sebagai suatu energi yang meng-

Page 35: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 20

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

gerakkan tekad, hasrat bekerja tak kenal menyerah, menyesuaikan diri

dengan lingkungan, berdisiplin dan rela berkorban untuk peningkatan

mutu kehidupan keluarga dan negara, serta menjaga identitas sebagai

bangsa terhormat. Sementara itu, dalam suatu seminar internasional

(April, 2010), bertemakan "Menumbuh kembangkan local wisdom sebagai

bagian dari potensi keunggulan kultur bangsa-bangsa ASEAN", Yaya M.

Abdul Aziz, mengemukakan bahwa kearifan lokal yang dimiliki setiap

negara di kawasan ASEAN dapat menjadi modal utama dalam

menghadapi persaingan pasar global yang semakin kompetitif.

Kita harus mampu tampil seperti Cina atau Jepang yang sangat kuat dan

kental bersama kearifan lokalnya. Dengan identitas yang kuat, berhasil

dimanfaatkan menjadi jejaring untuk mengembangkan perekonomian

negaranya. Sudah saatnya membangun dan meningkatkan competitive

value di forum internasional dengan menjadikan kearifan lokal sebagai

modal kekuatan di era pasar bebas. Suatu kearifan yang mengandung

pengetahuan lokal, terintegrasi dengan sistem kepercayaan, norma, dan

budaya yang mereka anut dalam jangka waktu yang lama, dan

merepresentasikan pola pikir mereka yang terbentuk oleh nilai-nilai

tersebut. Dengan tegas Caroline Nyamai-Kisia (Direktur Eksekutif

AfriAfya) menyatakan dalam kertas kerjanya (2010), sebagai sumber

pengetahuan yang diselenggarakan secara dinamis, berkembang dan

diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman

mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. Selanjutnya, dinyatakan

bahwa :

“Local wisdom is a dynamic knowledge resource held, evolved and

transmitted by a defined population and integrated with their under-

standing of surrounding nature and culture. It is the basis for local-level

decision-making in health care, agriculture, education, natural resource

management and many other activities in rural communities. Adequate

and appropriate local wisdom provides income, reduces cost/expenses,

increases efficiency of production and improves quality of life”.

Page 36: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 21

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Sementara itu, Culler Aras and David Crowther (2009), mengangkat

issu-issu “global in nature” yang bersumber dari issu-issu lokal

“(cultural diversity)” dalam upayanya menjelaskan proses perubahan

dari heterogenitas ke homogenitas, di mana nilai-nilai budaya jepang

(from Zaibatsu to Keiretsu) dan nilai-nilai Barat yang melatari dinamika

perkembangan dan kontribusi organisasi bisnis dalam hubungannya

dengan pemerintahan dan masyarakat.

Fakta menceritakan kepada kita semua bahwa fungsi birokrasi tidak

dapat dijalankan dengan baik karena tidak cukup responsif terhadap

dinamika kebutuhan masyarakat. Untuk itu, dalam rangka reaktualisasi-

birokrasi, perlu diawali dengan redefinisi misi yang diembannya. Dalam

hal itu, diperlukan adanya strategi penguatan birokrasi di daerah-daerah

dalam matra institusionalisasi tata aturan baru yang demokratis dan

mekanisme responsif yang memihak pada kebutuhan masyarakat yang

dilayani, serta internalisasi nilai-nilai baru yang lebih kontekstual

kepada setiap elite pemerintahan, pejabat dan aparatur birokrasi daerah.

Contoh best practices dapat ditemukan di dalam Annual Report 2002

Partnership for Governance Reform in Indonesia, yang mendorong

pelaksanaan studi diagnostik tentang status organisasi, sistem pengem-

bangan sumberdaya manusia, serta redefinisi visi, misi, dan prinsip-

prinsip nilai dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal yang

sama juga direkomendasikan oleh UNDP dalam laporan studinya di

Provinsi Papua pada 2005 bahwa dalam hal vitalisasi organisasi dan

manajemen PEMDA ke depan, Pemerintah daerah perlu melakukan

reorientasi tugas dan fungsi reguler, development, dan delivery service

Tentu saja, masih sangat diperlukan konten framework regulation dalam

konteks ke Indonesiaan yang dapat mengakomodasi model birokrasi

kontekstual dimaksud. Di mana, birokrasi daerah diposisikan sebagai

bagian dari struktur Pemerintahan Nasional yang bersifat plural, tetapi

memberi konsesi yang luas sehingga dapat terfragmentasi sesuai kapa-

sitas adaptif dan responsivitasnya terhadap faktor-faktor ekologi inter-

nal dan eksternal yang tumbuh dan berkembang di daerah. Kerangka

Page 37: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 22

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

kerja dimaksud, mempertimbangkan keajegan sistem, budaya, dan indi-

vidu, yang diletakkan di atas sendi-sendi : profesionalitas, keterwakilan,

keadilan, partisipatif, adaptif, responsif, bebas dari praktek KKN. Dalam

hal ini, Pemerintah Pusat perlu mendorong transformasi birokrasi di

setiap daerah yang kondusif bagi lahirnya kreativitas dan inisiatif

daerah berbasis kearifan lokalnya. Transformasi birokrasi ke arah itu,

akan dapat meningkatkan derajat kepercayaan dan respek masyarakat

terhadap pemerintahannya serta berpartisipasi aktif menjalankan ke-

wajibannya, tidak lagi merasa kehilangan hak dilayani. Bahkan,

Fukuyama (1999), menyatakan bahwa :

Jika pemerintahan tanpa trust dan tidak terjadi hubungan kemitraan

antara pemerintah, market, dan society secara praksis, maka akan terjadi

the great of distruption, sekalipun telah ditemukan model ideal

pengorganisasian masyarakat kontemporer. Karakteristik lainnya berupa

fenomena pengorganisasian yang dapat menciptakan keseimbangan baru

dalam sistem global, maka fenomena organisasi kolaboratif diharapkan

mampu memberi jawaban yang berarti.

Di lain pihak, internalisasi nilai-nilai baru ke dalam tubuh birokrasi

daerah yang kontekstual, mensyaratkan terbentuknya karakter individu

selaku aparatur pemerintahan berorientasi pelayan publik, yang memi-

liki kemampuan dalam mewujudkan keselarasan modus pelayanan

dengan kebutuhan nyata masyarakat dan kompetisi global. Berdasarkan

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun

1995, dianut prinsip kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan,

keterbukaan, efisien, ekonomis, dan keadilan yang merata. Dalam hal

ini, setidaknya para ahli seperti : Zeithaini, Parasuraman, dan Berry

(1990), Kumorotomo (1996), Siagian (2000), Dwiyanto, dkk. (2002), telah

ikut memberi perhatian intensif mengenai hal ini, yang pada intinya

menekankan pada dimensi-dimensi utama yang seharusnya melekat

pada fungsi dan peran birokrasi untuk dapat meningkatan mutu dan

jangkauan layanan publik.

Page 38: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 23

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Terkait dengan itu, saya memandang bahwa birokrasi itu, harus :

1) memiliki orientasi pemihakan yang dominan kepada masyarakat di

antara kepatuhan pada corporate power dan people concern;

2) menampilkan sifat fleksibilitas sesuai pola adaptasi terhadap

perubahan, dan keluhan publik;

3) akuntabel yang memiliki mekanisme pertanggung jawaban publik

yang jelas dan menyediakan akses informasi yang mudah,

4) kuat karena didukung oleh sikap dan perilaku pejabat dan aparatur

yang peduli dan antisipatif, berinisiatif dan kreatif, serta berwawasan

pengetahuan dan keterampilan mengelola manajemen organisasi.

FAKTOR DETERMINAN BIROKRASI

Meminjam model kongruen E-V-R dari Thompson (1997) [19], kompetensi

birokrasi dapat dirunut dari 4 faktor deteminannya. Di mana, kondisi

yang mungkin terjadi dalam desain birokrasi kontekstual, adalah :

1) Strategic Drift, ketika faktor lingkungan tidak menjadi bagian penting

dalam strategi birokrasi. Secara internal, organisasi tidak memiliki

hubungan kohesif dengan lingkungan. Tuntutan kebutuhan diubah

sehingga kompetisi justru tidak mendorong ke arah upaya mening-

katkan produksi dan pelayanan;

2) The Conciously Incompetent Organization, manakala birokrasi meng-

abaikan pentingnya faktor sumberdaya, termasuk individu, fasilitas,

waktu, dan informasi. Birokrasi menjadi lumpuh tanpa dukungan

sumberdaya berkarakter yang memadai;

3) The Unconciously Competent Organization, di mana nilai-nilai organi-

sasi menjadi terabaikan. Birokrasi enjoy saja tanpa komitmen jelas,

dan tidak berorientasi perubahan. Sangat rendah penekanan pada

kesadaran pejabat dan aparat pemerintahan dalam mengapresiasi

pentingnya kepuasan publik.

4) The Lost Organization, akan terjadi ketika 3 faktor tersebut tidak ter-

kait satu sama lain. Dalam hal ini, kombinasi terbaik dari komponen

tersebut, diyakini akan dapat memberikan format desain dan rencana

tindak yang ideal. Pada situasi seperti ini, mungkin saja suatu

Page 39: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 24

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

organisasi yang sudah harmonis pada suatu waktu, tetapi ketika

produk, pelayanan, dan pasar berada di luar tatanan nilai yang tepat.

Oleh karena itu, desain model birokrasi kontekstual harus pula

mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sumberdaya, dan nilai-

nilai yang berkembang dinamis itu.

Gambar 4. Type E-V-R Congruence Thompson (1997)

Untuk menjamin bekerjanya sistem birokrasi kontekstual, ketiga faktor

tersebut harus dapat disinerjikan dan dipadukan secara optimal dalam

keseimbangan internal dan eksternal. Dalam perspektif hubungan pusat-

daerah, Hofstede dan Peterson seperti dikutip oleh Kusdi (2011),[20] pada

intinya menekankan adanya penyesuaian nilai-nilai yang berlaku di

institusi (pusat) induk pada institusi cabang-cabangnya (daerah-daerah).

Hofstede dan Peterson, mencoba membandingkan nilai-nilai yang

diterapkan di lingkungan kerja di negara-negara yang berbeda kultur-

nya, menemukan karakter nasional (power distance, uncertainty avoidance,

individualism vs collectivism, maskulinitas vs feminitas) pada level nilai-

Page 40: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 25

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

nilai, dan kultur organisasi (symbol, pahlawan, dan ritual) yang

dibedakan terutama pada cakupan pengaruhnya. Dalam membedakan

kultur nasional dan kultur organisasi, didasarkan pada pengukuran

indikator : orientasi proses versus orientasi hasil, orientasi pekerjaan

versus orientasi kepada pekerja, kultur professional versus parokial,

kultur sistem terbuka versus sistem tertutup, kultur yang dikontrol ketat

versus kultur yang dikontrol longgar, kultur pragmatik versus kultur

normatif.

Salah satu rekomendasi penelitian yang pernah saya lakukan di Kabu-

paten Jayapura[21], dalam mengoperasionalkan Model EVR Thompson,

bahwa faktor-faktor dominan ekologi birokrasi yang dikaitkan dengan

orientasi layanan bidang pendidikan dan akomodasi kebutuhan publik,

Matriks 2.

Dimensi Indikator Faktor Dominan Ekologi Birokrasi

Faktor Dimensi Indikator

Lingkungan Internal Visi dan misi pemerintahan, Kode perilaku,Hubungan kerja, Tugas dan fungsi, dan Kondisi kerja

Eksternal Tekanan sosial dan politik, Pertambahan penduduk, ,Faktor geografis, dan Dinamika kebutuhanmasyarakat

Sumberdaya Keuangan Kemampuan organisasi untuk meminjam danKemampuan untuk menghasilkan dana internal

Organisasi Struktur organisasi, Sistem perencanaan, Kontrol dankoordinasi, dan Pelaporan

Fisik Kecanggihan perlengkapan organisasi dan lokasiorganisasi, dan Akses ke bahan baku dan pasaran

Teknologi Penguasaan teknologi, dan Jenis teknologi kerjaManusia Rasio pegawai dan Kapabilitas pegawai

Inovasi Gagasan, Kapabilitas sainstifik, dan Kapasitas inovatif

Nilai Nilai Sosial Pola interaksi kerjasama, Pola anutan norma lembagaNilai Budaya Etos Kerja, Disiplin Kerja, Orientasi sikap dan

perilaku, Proses intersepsi unsur budaya, Kontribusiunsur budaya dominan

Nilai Politik Orientasi Kekuasaan, Tipe kepemimpinan, Trust

Nilai Ekonomi Penghargaan terhadap efisiensi, Transparasi anggaran,Kemampuan pembiayaan

Page 41: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 26

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

hendaknya dapat melibatkan dimensi-dimensi variabel lingkungan

internal dan eksternal; sumberdaya organisasi, manusia, keuangan, fisik,

teknologi, inovasi; dan nilai-nilai sosial, budaya, sosial, ekonomi, disertai

indikatornya masing-masing, seperti tertera pada Matriks 2.

Dalam skema pengembangan organisasi modern, birokrasi mesti meng-

intersepsi kaitan waktu dan informasi sebagai sumberdaya utama

organisasi selain individu dan fasilitasnya. Bukankah telah didefinisikan

bahwa waktu adalah uang, dan bahwa siapa yang menguasai informasi

berarti menguasai dunia. Jadi, birokrasi kontekstual, tidak boleh ber-

sembunyi dibalik kekhususan faktor ekologisnya, melainkan dapat

dijangkau oleh pihak manapun yang membutuhkan pelayanan. Biro-

krasi kontekstual mensyaratkan kapasitas pejabat dan aparatur yang

berkarakter, mumpuni mengelola waktu dan informasi untuk tujuan

pelayanan publik; kapasitas kepemimpinan manajerial yang bersifat

situasional, dan beragam sumberdaya berwujud (modal fasilitas, ke-

uangan, teknologi, dan fisik lainnya).

Dalam hal ini, sumberdaya organisasi merupakan elemen penguat daya

saing kompetitif. Dan, dari-padanya dibentu suatu tatanan nilai budaya

birokrasi. Terkait dengan itu, dapat dirujuk pandangan Osborne dan

Plastrik (2000), yang senada dengan pandangan Moss-Kanter (1995),

Bornstein dan Sands (1996), Nugroho (2003), bahwa dimensi penting dari

budaya organisasi, mencakup : seperangkat perilaku, perasaan dan

kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki

bersama oleh anggota organisasi; keyakinan, gagasan, cita-cita, harapan

dan impian; sebagai acuan mengelola sikap dan perilaku yang tepat, apa

yang sebaiknya dilakukan, serta bagaimana berpikir dan bertindak.

Dalam bukunya Reinventing Pembangunan, Nugroho (2003), mengkaji

faktor kunci pembangunan sebagai salah satu fungsi pokok birokrasi

pemerintahan, yaitu : (1) faktor kepemimpinan, didasarkan pada konsep

karakter pemimpin dari Moss-Kanter, mengedepankan “3-C” : concept,

competence, and connectedness, serta konsep Bornstein dan Sands, tentang

kredibilitas pemimpin 5-C : conviction, character, courade, compsure, and

Page 42: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 27

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

competence; (2) faktor manajemen, yang dilihatnya sebagai suatu

kebudayaan bermuatan sistem nilai untuk berpikir dan bertindak. (3),

faktor kelembagaan, yang dibedakannya menurut jenisnya sebagai

organisasi publik, bisnis, dan nirlaba. (4) faktor sistem nilai, meliputi

variabel-variabel : profesional, sikap hidup positif, pembelajaran tanpa

henti. (5) faktor kekayaan alam, yang menekankan perpektif kapital-

ekonomi dan kapital-politiknya.

Sementara itu, unsur-unsur nilai yang menjadi karakteristik penting

dalam konteks ini, seperti ditekankan oleh Gibson, et.al (1995), bahwa

“budaya mempengaruhi semua kegiatan anggota dalam organisasi,

bagaimana mereka bekerja, cara memandang pekerjaan, bekerja dengan

kolega, dan melihat masa depan”. Pembentukan budaya kerja dapat

dikontribusi oleh nilai ideologis, nilai politik, nilai ekonomis, nilai sosial,

nilai organisasi, atau nilai pribadi. Menurutnya, pentingnya nilai-nilai

dalam kaitannya dengan budaya organisasi sebagai karakteristik yang

mencirikan kinerja suatu organisasi, di mana : Unsur-unsur nilai yang

menjadi ciri penting, meliputi : nilai politis, nilai organisasi, nilai pribadi,

nilai kebijakan dan nilai ideologi. Sistem budaya mempengaruhi semua

kegiatan dalam organisasi, bagaimana bekerja, cara memandang peke-

rjaan, bekerja dengan kolega, dan melihat masa depan. Pada konteks itu,

Koeswara (1986), memandang bahwa :

Budaya dibentuk oleh berbagai variabel penting seperti iklim organisasi,

motivasi, etos dan semangat kerja. Memiliki peran penting dalam

mendukung tercapainya visi dan tujuan, dan dapat berfungsi membantu

menciptakan rasa memiliki jati diri bagi para pegawai; mengembangkan

ikatan pribadi dengan organisasi; membantu pencapaian stabilitas

organisasi sebagai suatu sistem sosial; menyediakan pedoman perilaku

sebagai wujud dari norma-norma perilaku yang sudah terbentuk.

Dalam pada itu, Etzioni-Halevy (2011), menyinggung pembentukan

budaya organisasi ditentukan oleh tipe organisasinya apakah berpola

koersif, utilitarian, atau normative, di mana :

Page 43: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 28

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Pada tipe koersif, menekankan bahwa pada dasarnya setiap individu

dalam organisasi harus mematuhi aturan apa pun yang diberlakukan oleh

otoritas. Sedangkan, tipe utilitarian menyediakan "waktu dan upah kerja

yang adil" bagi setiap individu dan karena itu sangat penting untuk

mematuhi semua aturan yang berlaku, namun acapkali terbentuk norma

dan aturan yang berbeda untuk melindungi diri, dan tipe normatif, di

mana setiap individu berkomitmen memberi kontribusi nyata karena pada

dasarnya tujuan organisasi sama dengan tujuan individu.

Dengan demikian, menurut hemat saya, nilai-nilai budaya kerja meru-

pakan fungsi integratif dari nilai-nilai pribadi dan varian kebutuhan

organisasi, sebagai pembentuk sikap dan keyakinan berperilaku para

pejabat dan aparaturnya. Oleh karena itu, budaya birokrasi adalah nilai-

nilai, keyakinan, dan sikap yang berlaku di antara para pejabat dan

aparaturnya. Tatanan budaya birokrasi kontekstual harus tercermin

dalam matra : (1) produktif, didasarkan pada kemampuan untuk

menyesuaikan diri, keterlibatan intensif, misi yang jelas dan kemantapan

pribadi; (2) konsisten, mendorong setiap elemen birokrasi untuk mampu

dan terlibat mengatasi permasalahan yang dihadapi. Merujuk pada

pandangan itu, birokrasi kontekstual, hendaknya berorientai visi dan

misi, memiliki relevansi dan koherensi dalam menginternalisasi perilaku

pejabat dan aparatur pemerintahan ke dalam budaya organisasi,

sehingga dapat diukur konsistensi ekspessi sikap dan perilaku dalam

mengemban tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, harus

diciptakan suatu kondisi untuk memampukan individu pejabat dan

aparatur dalam menyatukan preferensi budaya individualnya menjadi

teralienasi ke dalam sistem budaya organisasi bernafaskan kebersamaan.

Thompson (1997) berpendapat bahwa :

Culture is reflected in the way in which people in an organization perform

tasks, set objectives and administer resources to achieve them. It affects

the way that they make decisions, think, feel and act in response to

opportunities and threats. Culture also influences the selection of people

for particular jobs, which in turn affects the way in which tasks are

Page 44: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 29

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

carried out and decisions are made. Culture is so fundamental that it

affects behavior unconsciously. Quite simply, culture is at the heart of all

strategy creation and implementation.

Sebab, budaya birokrasi terefleksi di dalam pelaksanaan tugas pokok

dan fungsi untuk mencapai sasaran, berpengaruh terhadap pembuatan

keputusan, serta dalam memikirkan dan merespon peluang dan

tantangan. Sebagai penegasan lebih jauh tentang hal ini, dalam

penelitiannya mengenai wajah birokrasi di India, Heginbotham (1975)[22]

menjustifikasi menguatnya unsur-unsur nilai budaya lokal. Di mana,

model dharmic, dihasilkan dari elaborasi tradisi budaya di India Selatan

yang berintikan konsekwensi dari sistem kepatuhan, pola-pola motivasi,

hubungan staf dan lini, serta norma kerja yang berlaku pada hampir

semua organisasi di India Selatan. Model British Colonial, bersumber dari

pengalaman birokrasi kolonial yang dibedakan dengan model dharmic

sebagai kekuatan penting dalam membentuk birokrasi dinamik.

Modernization

TRADITIONAL MODERN

INDIAN

Westernization

WESTERN

Dharmic Gandhian

British

Colonial

Community

Development

Gambar 5. Empat Wajah Birokrasi di India, Heginbotham (1975)

Model Community Development, kenal dengan ide-ide Barat yang diarti-

kulasikan oleh para teoritisi dan praktisi perubahan sosial di Asia dan

Afrika pada kurun waktu 1940an-1950an. Model ini sangat dipengaruhi

oleh struktur birokrasi dan berkenaan dengan sikap, nilai-nilai, dan

norma-norma kerja individu. Model Gandhian dihasilkan oleh gerakan

yang sangat dipengaruhi oleh norma kerja dalam birokrasi pertanian

Tamil. Ghandian dan Community Development, diaplikasikan untuk

memodernisasi karakteristik tradisi India. Model Dharmic dan Gandhian,

yang bercotak kearifan lokal, ternyata mendorong penguatan budaya

Page 45: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 30

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

India dalam rangka peningkatan mutu model birokrasi kolonial dan

development comunity. Sementara itu, Mansoben (2003), dalam artikelnya

tentang Sistem Politik Tradisional Etnis Byak, menggambarkan Peme-

rintahan tradisional secara lugas, didasarkan pada lembaga kain-kain

karkara mnu, yang telah berjalan seiring dengan sistem pemerintahan

modern sepanjang sejarah modern masyarakat Papua. Paralel dengan

temuan riset Heginbotham dan pandangan Mansoben tersebut, bagai-

manapun, dimensi lokalistik itu memiliki pengaruh kuat dalam

pembentukan responsivitas birokrasi modern. Atau, dengan istilah yang

digunakan oleh Aditjondro, dalam Pim Schoorl (2001), [23] kawin silang

antropologi dan ilmu pemerintahan (Indologi), untuk menjelaskan

secara epistemologis tentang penggambaran bagaimana manusia Papua

diciptakan oleh pamongpraja Belanda.

Dalam kajian saya tentang strategi implementasi kebijakan pendidikan

di Kabupaten Jayapura, menguatkan pandangan bahwa lingkungan

terdekat dari pusat birokrasi pemerintahan memberi kontribusi paling

kuat terhadap daya adaptasi birokrasi dalam menjalankan fungsinya

melayani kebutuhan publik. Kedekatan dimaksud dibaca dalam penger-

tian jarak arbitasi ke pusat layanan maupun bobot perannya. Semakin

dekat pusaran birokrasi dengan faktor ekologisnya, maka semakin tinggi

kemampuan adaptasinya dalam melayani kebutuhan masyarakat .

Gambar 6. Hubungan Faktor-Faktor Determinan Ekologis dan Derajat

Adaptasi Birokrasi Kontestual. Diadaptasi dari Silo (2012).

Page 46: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 31

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

PERSPEKTIF BIROKRASI KONTEKSTUAL DI PAPUA :

PARADOKS OTONOMI KHUSUS

Sebagai negara hukum yang demokratis, Indonesia memiliki konstitusi

yang mengakui secara eksplisit pemencaran kewenangan pusat-daerah

dan diatur lebih lanjut dalam berbagai produk perundangan yang

relevan. Pengaturan kewenangan tersebut merupakan bentuk nyata dari

pola anutan sistem pemerintahan desentralistis. Manifestasi kewenang-

an daerah, terakomodasi sebagai muatan otonomi untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya (antara lain adalah kebijakan, perencanaan,

implementasi dan evaluasi di berbagai bidang dan mencakup aspek-

aspek keuangan, asset, kepegawaian, kelembagaan), yang diselenggara-

kan oleh lembaga pemerintahan otonom di daerah – legislatif, eksekutif

dan lembaga koordinatif – dekonsentrasi. Dan, birokrasi di wilayah

eksekutif menjadi pilar penting bagi penyelenggaraan kewenangan

otonom - umum dan/atau khusus. Walaupun, diakui ada kerinduan

untuk terus memperjuangkan hak-hak atas kewenangan dimaksud

melalui regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus.[24 ] Menjadi

paradoks ketika birokrasi kurang responsif beradaptasi dalam konteks

tata pemerintahan Papua berdasarkan semangat otonomi khusus.

Reformasi birokrasi di Papua sebagai bagian integral dari agenda pem-

bangunan, [25] belum menyentuh akar masalah, masih bersifat parsial

dan sporadis, dan cenderung politis. Pada kenyataanya, birokrasi di

semua jajaran pemerintahan, masih saja berkutat pada :

Pertama, Tata Kerja Organisasi pemerintahan, melalui kebijakan pen-

ciutan dan perampingan struktur organisasi pada level atas dalam

rangka mewujudkan model piramidal, dan upaya penguatan tata peme-

rintahan kampung dan distrik. Dalam buku berjudul Kami menanam,

Kami Menyiram, Tuhan lah yang Menumbuhkan, Suebu (2007) meng-

uraikan pandangannya mengenai restrukturisasi organisasi pemerin-

tahan dan reformasi anggaran. Pada intinya : (1) birokrasi yang benar

adalah yang melayani kelompok masyarakat yang paling butuh di-

layani. Oleh sebab itu, struktur organisasi pemerintahan harus diperkuat

Page 47: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 32

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

hingga ke Distrik dan Kampung; (2) Pemerintah Provinsi Papua

mencanangkan 3 komponen reformasi anggaran, yaitu : mengubah

struktur anggaran dari piramida terbalik jadi pyramidal; menata seluruh

sistem administrasi keuangan melalui sistem informasi dan manajemen

keuangan daerah; dan menyelenggarakan independent procurement

system. Bahkan, Suebu,[26] menyatakan bahwa :

Apabila birokrasi berbentuk piramida terbalik, dipastikan tidak melayani

rakyat melainkan hanya menumpuk di ibukota provinsi/kabupaten/kota. Di

Papua, karena rakyat sebagian terbesar bermukim di kampung-kampung,

maka hampir dapat dipastikan bahwa birokrasi itu tidak melayani rakyat,

dan program yang disusun dan dilaksanakannya pun tidak terkait atau

hanya berkaitan sedikit saja dengan kebutuhan rakyat.

Tetapi, luput dari pertimbangan rasionalisasi kewenangan daerah ter-

hadap karakteristik khas muatan ekologis, termasuk potensi daerah dan

keunggulan kulturalnya. Adaptasi pola kerja birokrasi tidak sepenuhnya

selaras dengan karakter ekologinya. Akibatnya, terjadi dilemma kepa-

tuhan antara akomodasi kepentingan publik dan ketaatan pada ke-

bijakan dalam sistem kerja birokrasi Pemerintah Pusat. Birokrasi tidak

cukup responsif terhadap gerakan pembangunan di Papua yang kian

gencar dengan beragam konsep dan pendekatan, sehingga turut me-

nyumbang terhadap kian menjamurnya ketidak puasan masyarakat.

Bahkan, pendekatan “3-Tungku”[27] yang digali dari kearifan lokal, tidak

cukup kuat menembus sekat-sekat birokrasi nasional di daerahnya.

Kedua, Promosi pejabat ke dalam jabatan-jabatan baru, yang seharusnya

dilandaskan pada prinsip “penempatan orang sesuai keahliannya”,

hanya ada dalam wacana kebijakan karena belum sepenuhnya men-

cerminkan “orang yang tepat pada posisi yang tepat”. Pejabat yang tepat

dalam jabatannya, bukan hanya dilihat dari latar pendidikan dan

keterampilan melainkan mereka yang mampu membawa organisasi,

tugas dan fungsinya lebih dekat dengan kebutuhan ekologisnya, peduli

Page 48: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 33

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

pada semangat otsus, mampu merealisasikan gagasan membangun dan

memberdayakan masyarakat, tanpa dapat dikooptasi oleh kepentingan

elit politik. Sebagaimana rumusan orang tepat menurut Suebu (2010) :

Orang yang mengerti dan menguasai tugas dan tanggung jawabnya,

memiliki integritas dan karakter moral yang baik, mampu memimpin,

mampu menjadi suri teladan bagi yang dipimpinnya, memiliki jiwa yang

melayani sampai ke tingkat rakyat yang paling bawah dan paling

terpencil, dan bersedia untuk terus belajar dan mengasah kemampuannya.

Kriteria pejabat dan aparatur pemerintahan bercitra positif pro-rakyat di

atas, hanya akan dapat digunakan dalam seleksi ketat, apabila disertai

dengan rumusan indikator penilaian secara operasional serta regulasi

yang mengatur perlindungan pejabat dan aparatur dari tekanan kepen-

tingan politis. Membiarkan mereka berimprovisasi secara bebas dan ber-

tanggung jawab. Dengan membiasakan kondisi ini berlaku, maka

terbentuk budaya kerja baru yang fleksibel dalam beradaptasi untuk

peningkatan mutu dan jangkauan layanan publik.

Ketiga, perbaikan tata kelola keuangan daerah yang bermaksud untuk

pro-kampung membangun, pro-rakyat berdaya, pro-miskin terentaskan, justru

belum menghasilkan penilaian yang memuaskan. Dalam hal ini, sekali

lagi Suebu (2010) menyatakan bahwa : “apabila porsi untuk belanja

birokrasi ternyata lebih besar dari yang lain, maka jelas birokrasi itu

tidak bias mengklaim diri bahwa mereka ada untuk melayani rakyat”.

Reformasi birokrasi di Papua yang dilandaskan pada ketiga faktor di

atas, belum dapat mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat, selama

azas-azas, unsur-unsur, fungsi-fungsi, tidak diarahkan pada kebutuhan

faktor ekologinya. Itulah sebabnya, walaupun sekuat tenaga dan pikiran

reformasi tersebut diidealisasikan, diterjemahkan dalam berbagai bentuk

kebijakan pada level provinsi dan kabupaten/kota, tetapi dalam imple-

mentasinya, justru masih terkendala oleh 3 faktor itu, baik secara ter-

pisah maupun secara bersama-sama. Saya berpendapat bahwa kendala

Page 49: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 34

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

yang dihadapi, bagaimanapun, epicentrum birokrasi telah dilemahkan

oleh gravitasi “politik kepentingan atau kepentingan politik”, yang

sangat kuat dan tak berimbang, menggeser birokrasi dari posisi ekologi-

nya, sehingga tidak dapat secara optimal mengimplementasikan 3 faktor

tersebut.

Sebagai contoh :

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, birokrasi dipercaya mengemban

program dan kegiatan pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.

Betapa gencarnya dikedepankan pemberdayaan sebagai icon pemba-

ngunan. Tetapi, dalam berbagai desain dan implementasi pendekatan,

kebijakan, program, dan kegiatan pemberdayaan, nilai-nilai kepedulian

yang mencitrakan semangat Otonomi Khusus, diapresiasi lebih kepada

nilai politis daripada nilai kultural. Karena itu, program pemberdayaan

RESPEK[ 28 ]belum menemukan formula terbaiknya. Demikian halnya

dengan program dekonsentrasi (seperti : PPDT[ 29 ], PNPM Mandiri),

memiliki kemiripian dengan hal ini. Dalam hal PNPM Mandiri-Respek

dan Pemberdayaan Masyarakat oleh Kabupaten/Kota. Walaupun tidak

terlalu tampak dipermukaan, sesungguhnya telah terjadi kompetisi tidak

sehat antara pemilik kewenangan (nasional-provinsi-kabupaten). Fakta-

nya, disadari atau tidak, telah terjadi perebutan pengaruh. Masing-

masing memiliki kepentingan merealisasikan visi, misi, dan rencana

program/kegiatan pemberdayaan dengan target waktu, target fisik dan

keuangan pada komunitas dan kampung sasaran yang sama. Dalam hal

ini, birokrasi di jajaran pemerintahan Provinsi Papua dan Kabupaten/

Kota, tak cukup responsif untuk melakukan KISS (Koordinasi, Integrasi,

Sinkronisasi, dan Simplifikasi) guna mereduksi perbedaan, kecuali ter-

bawa arus tarik-menarik kewenangan yang membingungkan. Hal ini

dilatari oleh : 1). terlanjur diposisikan sebagai bagian dari politik kepen-

tingan; 2). internalisasi nilai-nilai kearifan lokal belum berhasil secara

utuh, sehingga prinsip kepedulian hanya sebatas wacana; 3). Institusio-

nalisasi program dan kegiatan tidak cukup merepresentasikan nilai

keterpaduan dalam matra kebersamaan dengan semangat otonomi

Page 50: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 35

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

khusus. Oleh karena itu, penguatan birokrasi harus mencapai titik

keseimbangan ekologis, mengeliminir tekanan politis, mengintersepsi

aspek sosio budaya, dan mensinergikan nilai-sumberdaya-lingkungan

agat terhindar dari kondisi un-congcuence (dalam model Thompson).

Bagaimanapun, dalam perspektif yang lebih positif, mulai tampak me-

representasi birokrasi kontekstual, saat ini, pada jajaran pemerintahan

dan birokrasi di Gunung Merah Kabupaten Jayapura telah menggagas

dan memulai tahapan awal implementasi “Gerakan Padu (Gebrakan

Aksi Kampung Membangun Terpadu-Jayapura Baru)” yang mencoba

mengintegrasikan pola pemberdayaan dengan titik berat pada kearifan

lokal. Pendekatan integratif dan model kampung membangun,

berkehendak untuk meniadakan paradoks pembangunan yang selama

ini menyelimuti kegerahan birokrat. Di dalamnya diintersepsi dengan

semangat PNPM (nasional) dan Respek (Provinsi). [30] Dimensi-dimensi

politik dalam pendekatan ini, direduksi seminimal mungkin dan

memberi bobot lebih pada dimensi sosio budaya lokalnya. Birokrasi

Gunung Merah dapat dengan mudah menyesuaikan arah pemberdaya-

an karena didukung ancangan regulasi “Kampung Membangun”. Dapat

dibandingkan dengan format yang hampir sama : “Gerbangku” dengan

program “BK3nya” Kabupaten Keerom. Kampung membangun sebagai

jawaban realistis, dikontraskan dengan konsep pendekatan “memba-

ngun kampung” yang popular dengan pendekatan RESPEKnya. Desa

Membangun dimaknakan oleh (Wanggai, 2012) dalam konteks

mengelola revitalisasi desentralisasi, Desa Berdering Manyatukan

Negeri. Desa membangun adalah konsepsi yang setara dengan gagasan

orisinil yang dimunculkan dari Gunung Merah, Kabupaten Jayapura,

pada Bulan Maret 2011. Menarik untuk menyimak buku Pembangunan

untuk Semua oleh Velix V. Wanggai (2012), yang mengupas topik antara

lain : “Membangun Papua Dengan Hati”. Di dalamnya disinggung

secara lugas tentang bagaimana memahami Papua, menuju otonomi

khusus yang bermakna.

Page 51: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 36

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Berangkat dari pengalaman itu, dipandang perlu mengembalikan dasar

pijakan dan sandaran kita pada sistem pemerintahan berbasiskan

otonomi khusus sebagaimana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

dan perubahannya. Sesungguhnya sangat cocok untuk menjadi pelopor

dari model birokrasi kontekstual ini. Bukankah kekhususannya justru

diletakkan pada kompetensi kultural ? Artinya, bukanlah politik yang

menjadi basis utama dalam sistem birokrasi pemerintahan, melainkan

budaya. Karenanya, mesti dikedepankan budaya politik yang ber-

nafaskan kearifan di tanah ini, sebagai faktor utama dalam mewujud-

kan sistem birokrasi, budaya dan etos kerja, serta sikap dan perilaku

pejabat dan aparaturnya. Bukan sebaliknya, politik di atas segalanya

yang mendenominasi aspek budaya - politisasi budaya untuk kekuasaan

atas birokrasi. Dengan demikian, Majelis Rakyat Papua dan Dewan

Perwakilan Rakyat Papua, mesti merekonstruksi nilai budaya lokal

sebagai basis budaya politik, dan tidak lagi membudayakan politisasi.

Mestinya dapat secara intensif memberi bobot sosio-kultural kepada

birokrasi pemda, menghindarkan birokrasi dari jangkauan permainan

politik, dan membiarkan birokrasi terfokus mengemban fungsinya

sebagai abdi masyarakat. Terkait dengan itu, menjadi tugas kita semua

menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam matra etnografi

di Papua kepada setiap insan politisi, praktisi (pejabat dan aparatur

pemerintahan). Dalam hal ini, telah lama digagas para akademisi –

antropolog Uncen [31] untuk melakukan kodifikasi muatan etnografi dari

nilai-nilai budaya yang sama atau hampir sama, bersumber dari ke-

ragaman budaya dan adat-istiadat di Papua.

Pada gambar 7, ditampilkan konfigurasi desain struktur pemerintahan

daerah a’la Papua yang dapat dijadikan landasan menyusun desain

model birokrasi kontekstual, di mana sebaiknya proporsi untuk urusan

nasional maksimal 25%, dan minimal 75% bermuatan dinamika faktor

ekologi di Papua yang dicitrakan oleh aspek budayanya. Posisi birokrasi

berada pada lingkar eksekutif pada 3-level otonomi – Otonomi khusus di

Page 52: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 37

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

tingkat Provinsi Papua, Otonomi Umum di tingkat Kabupaten/Kota,

dan otonomi asli di tingkat Kampung.

Gambar 7. Tata Pemerintahan Baru Provinsi Papua

Tanpa mengurangi makna gagasan yang membedakan 3-level itu ber-

dasarkan acuan perundangannya masing-masing, tetapi semua pihak,

termasuk Pemerintah Pusat mestinya tetap konsisten dalam memberikan

konsesi yang cukup dalam menumbuhkan dan mengembangkan inisiatif

dan kreatifitas yang dominan merujuk pada keterikatan pemerintahan

dan birokrasi daerah dengan karakter ekologisnya.

Page 53: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 38

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Dengan mengacu pada konfigurasi tata pemerintahan baru Provinsi

Papua yang disemangati oleh kekhususannya itu, dapat dipolakan

model birokrasi kontekstualnya seperti dilihat pada Gambar 8. Fokusnya

berorientasi pada penguatan dimensi internal melalui pembaharuan

sistem nilai, sumberdaya organisasi, dan lingkungan. Tampak dalam

desain model itu, cakupan wilayah kerja birokrasi memencar dari skala

kampung hingga ke skala internasional, yang bersandarkan pada filosofi

bangsa.

Gambar 8. Adaptasi Ekologis Birokrasi Provinsi Papua

Page 54: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 39

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Kandungan novelty dari model tersebut, terletak pada aspek : Pertama,

Kampung, dengan keasliannya tetap diakui, walaupun dipandang perlu

untuk difasilitasi dengan penyediaan sumberdaya aparatur dan sistem

administrasinya; Kedua, adaptasi ekologis berkenaan dengan dimensi

politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara proporsional, baik internal

maupun eksternal, dengan konsesi mengkoordinasikan dimensi ideologi

bangsa serta pertahanan dan keamanan nasional; Ketiga, birokrasi

dijalankan dengan semangat otonomi khusus, mencapai keseimbangan

antara daya saing global dan nilai-nilai kearifan lokal, serta melibatkan

kemitraan unsur-unsur adat dan agama.

PENUTUP

Sebagai penutup, saya ingin mengajak kepada kita semua para cende-

kiawan, elite politik dan pemerintahan, praktisi birokrasi dan seluruh

komponen bangsa, khususnya di Tanah Papua, membiasakan konsisten

bersikap dan berperilaku jujur dalam menegakkan prinsip-prinsip

pembangunan yang sungguh-sungguh konsisten berorientasi kepada

masyarakat. Dengan menarik garis pijakan birokrasi dari pusat ke

daerah, intervensi faktor politik dapat di kurangi, dan mengisinya lebih

dominan pada faktor sosio-budaya. Dalam kaitan itu, reaktualisasi

birokrasi perlu di desain secermat mungkin ke dalam roadmap jangka

menengah dan jangka pendek yang disertai dengan exit strategi jangka

pendeknya. Saya, dan banyak pihak merindukan lahirnya “Birokrasi

berwajah kePapuaan”. Di mana elemen-elemen kemandirian lokal[ 32 ]

yang mengakar dari konteks budaya dan adat istiadat di daerah ini,

menginspirasi corak nasional dalam konteks “Bhinneka Tunggal Ika” [33]

sebagai filosofi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kondisi negara dan bangsa kita seperti sekarang ini, di mana

menyeruak serba ketidak jelasan dalam menempatkan posisi birokrasi

di antara status negara sebagai negara hukum dan demokratis -

normative dan peran-peran politik pengaturan pemerintahan - pragmatis,

Page 55: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 40

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

kita perlu mengembangkan inisiatif yang lebih baik dan lebih berguna

bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kode perilaku, norma etika, etos

kerja, sebagai bagian penting dari sistem birokrasi harus dibangun atas

dasar kearifan lokal untuk merealisasikan kapasitas baru yang unggul

dan kompetitif memasuki pusaran gblobal. Atas dasar itu, birokrasi

dibangun dengan pondasi dari nilai-nilai birokrasi konteksual yang

mengakomodasi dinamika faktor ekologisnya secara proporsional.

Semata-mata dimaksudkan agar birokrasi dimampukan secara sungguh-

sungguh dalam mendukung bekerjanya sistem pemerintahan daerah

yang menghasilkan progress semakin nyata, berorientasi dan memihak

pada masyarakat. Birokrasi yang kuat, tidak dimaksudkan untuk mem-

pertinggi dominasi eksekutif terhadap legislatif, tetapi justru untuk men-

jembatani kemudahan implementasi produk-produk kebijakan politik.

Walau diakui bahwa dalam konteks hubungan antar bangsa, banyak

pihak yang tidak menyukai kearifan lokal dikontraskan atau diperten-

tangkan dengan globalisasi, tetapi harus dipahami bahwa identitas

nasional, digali dari kearifan lokal, dan dibutuhkan sebagai penyanggah

yang kokoh bagi nasionalisme. Demikian halnya pada konteks

hubungan pemerintahan pusat-daerah, mestinya menyokong penguatan

identitas daerah dalam rangka pembentukan integritas daerah yang

terintegrasi sebagai bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tentu saja Reformasi birokrasi nasional hingga ke daerah ini, menjadi

bagian penting bagi modernisasi tata pemerintahan yang mencitrakan

pola birokrasi modern kontekstual dan sangat relevan dengan ungkapan

The New of Public Admnistration dari (Frederickson), Reinventing govern-

ment (dari Osborn and Gaebler), Energizing Bureacracy (Robert Behn),

Enterpreneurship Bureaucracy (dari John Burch dan Osborne), New Public

Management (dari Hood, Yamamoto, dan Barzelay), Good Governamce

(dari al. Agus Dwijanto), Sound Governance (dari Ali Farazmand), dan

berbagai konsepsi modern lainnya, sebagai upaya sistematis yang

berkehendak mencapai cara kerja birokrasi kontekstual.

Page 56: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 41

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Gagasan ini tidak berhenti di sini. Kita memerlukan kajian lebih lanjut

secara holistik dengan menelaah semua variabel dan indikator terkait :

Pertama, dimensi strategi penguatan internal birokrasi, yang mencakup

internalisasi nilai-nilai birokrasi kontekstual : bagaimana model sistem

yang relevan, bagaimana seharusnya pejabat dan aparatur bersikap dan

berperilaku, dan bagaimana menumbuhkan budaya kerja yang ber-

orientasi dan memihak pada aspek pemberdayaan dan layanan publik.

Kedua, dimensi strategi mengelola lingkungan eksternal birokrasi

melalui rekonstruksi kearifan lokal ke dalam struktur dan fungsi sistem

birokrasi, yang dapat semakin menguatkan jalinannya dengan kaitan-

kaitan nasional dan internasional secara proporsional.

Page 57: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 42

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Catatan :

1 Rangkaian dialog interaktiif dengan : (1) para pejabat di BiroKeuangan Departemen dalam Negeri RI pada Bulan Maret 2007 dalamrangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua Tahun 2002-2006 yang dise-lenggarakan oleh Depdagri; (2) Diskusi sambil lalu pada kurun waktu2010-2012 dengan beberapa pejabat tingkat menengah dan bawah diProvinsi Papua dan Kabupaten Mimika, Kabupaten Mamberamo Raya,Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Jaya-pura, Kota Jayapura, dalam berbagai kesempatan kerjasama kemitraanuntuk evaluasi kinerja pembangunan dan fasilitasi penyusunan doku-men RPJMD 5 tahunan; dan (3) Rangkaian dialog dengan masyarakatdan Tokoh-Tokoh LSM dalam berbagai forum seminar dan lokakarya,dan FGD selama 3 tahun terakhir.

2 Lihat S.Pamuji (2004) Ekologi Administrasi. Bandingkan puladengan Ibnu Kencana Syafiie (2011) Ekologi Pemerintahan.

3 Dalam suatu diskusi bertajuk “Proyeksi dan Dinamika EkonomiPolitik Tahun 2011” pada Tanggal 11 Januari 2011, J. Kristiadi, penelitiSenior CSIS, mengemukakan padangan tentang buruknya Birokrasi didaerah-daerah.

4 Peraturan Pemerintah ini berkeenaan dengan disiplin PNS.Refensi lainnya mengenai hal ini, dapat ditelusuri beberapa Undang-Undang Partai Politik yang pernah berlaku sebelumnya.

5 Pada Tahun 1947, Woodrow Wilson, seorang Ilmuan admi-nistrasi dari Amerika, mengungkapkan dikotomi politik-administrasidalam tulisannya bertajuk ”The Study of Public Administration”. Temadominan dari pemikirannya, bahwa aparat atau birokrasi netral daripolitik, di mana administrasi publik harus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentinganpolitik. Wilson berpendapat bahwa : “Administration lies outside thepropersphere of politics. Administrative questions are not political questions.Although politics sets the tasks for administration, it should not be suffered tomanipulate its offices”. Dalam hubungan itu, Frederickson dan Smith,bertajuk “The Difference Beetween Politics and Administration and Mattersof Bureacuratic Control”, mempresentasikan ragam model hubungankeduanya.

6 Istilah yang diadopsi dari Pemikiran Fred W. Riggs yang di-landasi motivasi untuk menyebut pembedaan keberlakuan konteksekologi administrasi public, seperti di publikasikan kembali oleh Eric E.Otenyo, dan Nancy S. Lind (2006), di bawah judul : Comparative PublicAdministration : The Essential Readings. Selanjutnya, dalam buku yangsama dapat dilihat karya Ferel Heady t : Comparison In The Study OfPublic Administration, yang membahas secara detail tentang perbedaan-perbedaan dimaksud.

Page 58: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 43

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

7 Homeostatis adalah kecenderungan sistem biologi untukmenahan perubahan dan selalu berada dalam keseimbangan. Pamuji(1999), menceritakan pandangan Bews tentang Human Ecology, bahwaekologi berkaitan dengan keseluruhan hubungan organisme hidupdengan lingkungannya. Dan, peninjauan ekologi birokrasi diawaliketika muncul pemikiran yang meluas tentang hubungan manusiadengan lingkungannya (human ecology).

8 Publikasi Gaus pada Tahun 1947 tentang “Introduction &Questions to The Ecology of Public Administration”, membahas bidangadministrasi publik yang selalu tertarik pada perilaku birokrasi, darisudut pandang teori organisasi atau "ekologi administrasi" sehinggamenjadi fokus pada interaksi birokrasi dengan lingkungannya,khususnya lingkungan politik.

9 Diskusi lainnya mengenai konstruksi model ekologi dapatditelusuri dalam Wimsatt (1987).

10 Max Weber menjelaskan secara lugas mengenai : “consequencesof Bureucratic organization for the achievement of bureaucratic goals :primarily the goals of a political authority” dan Selznick menekankan pada“delegation of authority” dan Crozier, mencirikan sebagai pemerintahantanpa partisipasi dari yang diperintah. Sementara itu, Merton menekan-kan pada “demand for control made on the organization by the tophierarchy”. (Rigss, 1971). Penjelasan lain yang relevan dapat dijumpai didalam Gibson, Ivanicevic dan Donnelly (1995), dan Albrow (2005).

11 Kombinasi tipe ideal dan tata pemerintahan oleh biro, disebutbercorak legal-rasional dengan sifat-sifat : fungsi dan tugas dikelolasecara resmi berdasar aturan; terbagi ke dalam bidang-bidang spe-sialisasi sesuai kompetensi, membutuhkan keterampilan untuk mema-hami dan mengelola pekerjaan sesuai aturannya; impersonality melaluipersamaan perlakukan di dalam organisasi; pengangkatan dan promosiberdasarkan prestasi, upah atas dasar kinerja dan hak pension, pem-bedaan kepentingan publik dan swasta termasuk dalam hal keuangan;disiplin yang ketat, dan kontrol harian, keputusan, tindakan, danaturan dirumuskan dan dicatat secara tertulis.

12 Lihat H.G. Surie (1987). Ilmu Administrasi Negara; SuatuBacaan Pengantar, Terjemahan Samekto. Cet. 1. Jakarta: Gramedia.

13 Studi Riggs di India dan Thailand, antara lain dipublikasikanpada Tahun 1971 dengan judul Frontiers of Development Adminis-tration. Diterjemahkan oleh Lukman Hakim Tahun 1989 dengan judulAdministrasi Pembangunan : Sistem Administrasi dan Birokrasi.

14 Lihat penjelasan lebih jauh dalam buku Esman (1991), berjudul :Management Dimensions of Development : Perspectives and Strategies. WesHartford, Connecticut : Kumarian Press.

Page 59: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 44

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

15 Laporan Studi Riggs (1985) di Thailand tentang BureaucraticPolity, menggarisbawahi bahwa posisi birokrasi berada di bawahkontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legi-timasi politik melalui sarana birokrasi. Birokrasi berkolaborasi dengankekuasaan pemerintah. Birokrasi menjadi arena pertarungan danpermainan politik yang seringkali beralaskan kepentingan pribadi.Sehingga birokrasi menjadi tidak tanggap terhadap kepentingan di luardirinya atau terjadi imunitas birokrasi terhadap tuntutan masyarakat.

16 Semata-mata bersifat prediktif berdasar pada asumsi yangmerasionalisasi kedaulatan suatu negara dalam konteks pergaulanantar bangsa, serta adanya pembedaan jenis-jenis urusan yang menjadikewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah sebagaimanadiatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 TentangPembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, PemerintahanDaerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dengandemikian, birokrasi yang kita dambakan benar-benar dapat menam-pilkan wajah kontekstual ekologisnya. Selanjutnya, kalkulasi memer-lukan riset lebih lanjut.

17 T.R.Smith dari Amerika Serikat, menyusun laporan berjudulPublic Administration Training untuk Biro Perancang Negara pada1953. Dan, setahun kemudian, Indonesia mengundang Prof. Edward H.Lichtfeld dan Prof. Alan C. Rankin untuk menyusun laporan rekomen-dasi tentang Training for Administration in Indonesia. Rekomendasitersebut mengilhami terbentuknya Lembaga Administrasi Negara padaTahun 1957.

18 Para penulis tersebut berjasa mengawal eksistensi LembagaAdministrasi Negara dan menghadirkan studi-studi Ilmu Administrasidi berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia, seperti : UniversitasIndonesia, Universitas Gadjahmada, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-LAN. Di Universitas Cenderawasih, secara resmi hadir pada Tahun1983 seiring dengan perubahan FIHES menjadi FISIP berdasarkanKepmendikbud Nomor : 0576/O/1983, yang membina Program StudiIlmu Administrasi Negara dan Program Studi Antropologi Sosial, danJurusan Ekonomi.

19 Thompson (1997), menguraikan tentang Model EVR Congruenyang dimaksudkan sebagai bagian dari strategi pengembangan mana-jemen dan organisasi. Di mana Environment, Values, dan Resources,saling terintegrasi dalam sistem organisasi agar terhindar dari kondisiThe Lost Organization.

20 Seperti diceritakan oleh Kusdi (2011) tentang penelitian yangmenggunakan pendekatan kuantitatif mengenai nilai-nilai dunia kerjadari manajer cabang IBM di lebih dari 40 negara, yang dibukukan padaTahun 2000.

Page 60: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 45

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

21 Penjelasan lebih rinci dapat dilihat dalam Silo (2012). Faktor-faktor Determinan Implementasi Strategi Pelayanan Pendidikan, yangmerekomendasikan perlunya pelibatan faktor-faktor ekologis birokrasidalam rangka peningkatan pelayanan publik, terutama di bidangpendidikan.

22 Heginbotham (1975) dalam studinya di India menyatakanbahwa : “the darmic and Gandhian traditions can be seen as reinforcingaspects of indian culture that stand in opposition to especially wetern qualitiesof the British colonial and community development traditions”.

23 Pengantar Kata dari George Junus Aditjondro dalam, buku”Belanda di Irian Jaya”.karya Pim Schoorl (2001), menjelasakan lebih jauhtentang relevansi bunga rampai pengalaman para pamongprajaBelanda di bekas jajahannya yang terakhir di Nusantara.

24 Hingga Tahun 2011, telah dihasilkan sebanyak 10 jenis Per-aturan Daerah Khusus. Bebarapa di antaranya sebagai contoh : Per-aturan Daerah Khusus Papua : Nomor 4 Tahun 2008 TentangPelaksanaan Tugas Dan Wewenang Majelis Rakyat Papua; Nomor 20Tahun 2008 Tentang Peradilan Adat Di Papua; Nomor 22 Tahun 2008tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam MasyarakatHukum Adat Papua.

25 Lihat Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 10 Tahun 2006Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ProvinsiPapua Tahun 2006-2011 yang mengemban misi : Menata KembaliPemerintaham Daerah, dalam rangka membangun pemerintahan yangbaik, bersih dan berwibawa pada semua jajaran dan tingkatan. Sejalandengan itu, dilakukan pula penataan terhadap kehidupan politik dankemasyarakatan yang demokratis, dewasa dan bermutu, berdasarkanUU Nomor 21 Tahun 2011.

26 Bas Suebu menelaah Reformasi Birokrasi, dalam bukunya ber-judul “Mencapai Tata Kelola Pemerintahan Yang baik dan Mewujud-kan Kapasitas Fiscal yang Tangguh di Papua, menjelaskan keinginan-nya untuk mewujudkan bentuk organisasi pyramidal, porsi serapanAPBD dalam belanja birokrasi dan administrasi pemerintahan, sertapenempatan dalam jabatan sesuai prinsip the right man or women on theright place.

27 Marak didengungkan dan sangat popular pada masa Peme-rintahan, Bas Suebu Periode 1992-1997. Belakangan, direvisi menjadi“3-Tungku, 1-Pilar”. Tetapi menurut hemat saya, selain konsep ituberfungsi sebagai inti, perlu pula memposisikan Cendekiawan danLSM pada lingkar luar guna berfungsi sebagai pengaman agar apikehidupan tetap menyala.

28 RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung), yangdimaksudkan sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem pemba-ngunan di Papua. Dipandang sebagai alat pemberdayaan paling jitu,bersifat komprehensif, melibatkan seluruh masyarakat dan kampungdalam memasuki era industrialisasi Papua, dan seluruh masyarakat

Page 61: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 46

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

terlibat dalam perencanaan fiscal pembangunan kampungnya. Lebihdetail mengenai hal ini dapat ditelusuri dalam buku “PembangunanKampung” Membangkitkan Kekuatan Dahsyat Rakyat Papua yangditulis oleh Bas Suebu, SH. Dan dipublikasi oleh Pemerintah ProvinsiPapua pada Tahun 2010.

29 Antara lain dapat dirujuk dari laporan hasil evaluasi paruhwaktu Program dan kegiatan PDPT yang dilakukan pada Tahun 2012oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal bekerjasamadengan LPPM Uncen, di Kabupaten Keerom, Kabupaten Mimika, danKabupaten Kaimana.

30 Pendekatan ini difasilitasi oleh PSKMPD (Pusat Studi KebijakanDan Manajemen Pembangunan Daerah), Universitas Cenderawasih danAFP-3 (Assosiasi Fasilitator Perencanaan Pembangunan Partisipatif)Papua.

31 Agapitus Ezebio Dumatubun (Dosen Antropologi Uncen),dalam buku yang disuntingnya berjudul “Perspektif Budaya Papua”,mengidentifikasi : Tipe kepemimpinan, Orientasi Nilai Budaya, danEtos Kerja Orang Papua yang dirangkum dari 30an sub-etnik di Papua.

32 Amin Mappadjantji (2005), berpendapat bahwa kemandirianLokal merupakan pendekatan yang dijabarkan dari Sains Baru.Pendekatan ini menunjukan bahwa pembangunan lebih tepat biladilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakatdaripada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu padasatu rencana yang disusun secara sistematis. Kemandirian lokal jugamenegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan lebihmengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangatpengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini.

33 Dalam buku berjudul Suara Hati yang Memberdayakan (2006),Habel Melkias Suwae, memandang perlu untuk mengemukakan pesandari Human Development Report 2004 bertajuk Cultural Liberty in Today’sDiverse World, bahwa globalisasi dapat mengancam identitas nasionaldan lokal. Penanggulangan ancaman ini bukannya dengan caramengucilkan diri ke dalam konservatisme atau nasionalisme yangsempit, melainkan merancang kebijakan-kebijakan multi-kultural untukmenunjang kebhinekaan dan pluralisme.

Page 62: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 47

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

KEPUSTAKAAN

Albrow. Martin. 2005. Birokrasi. Cetakan Ketiga. Terjemahan M. Rusli Karim danTotok Daryanto. ISBN 979-8120-00-0. Penerbit Tiara Wacana. Bandung.

Amin, A. Mappadjantji, 2005. Kemandirian Lokal: Konsep Pembangunan,Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. ISBN 9792216553.ISBN 978-97922-1655-4. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Aras, Culler and David Crowther. (Ed). 2009. Global Perspectives on CorporateGovernance and CSR. ISBN 978-0-566-09185-8. Published by Gower PublisingLimited. England

Barzelay, Michael. 1992. Breaking Through Bureaucracy. ISBN 978-0-5200-7801-7Univ. of CA Press. Berkeley.

------------------------. 2002. Origins of The New of Public Management : AnInternational View from Public Administration/Politic Science, inMcLaughlin, Kate, Steven P. Osborne, and Ewan Ferlie (Ed), New PublicManagement : Curren Trend and Future Prospect.

Blau, M. Peter dan Marshall W. Meyer. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern.Edisi Terjemahan oleh Gary M. Jusuf. ISBN 979-8034-60-0. Penerbit UI Press.Jakarta.

Bowman, James S. and Jonathan P.West. American Public Service Radical Reformand the Merit System. ISBN 978-0-8493-0534-4. CRC Press. New York.

Bryan, Coralie dan White Louise. 1989. Manajemen Pembangunan untuk NegaraBerkembang. ISBN 979-8015-27-4. LP3ES. Jakarta.

Budiman, Arif. 1988. Krisis Tersembunyi Dalam Pembangunan: Birokrasi-BirokrasiDalam Pembangunan. ISBN: 979-403-385-5. Penerbit Gramedia. Jakarta.

Clewell, Andre F. and James Aronson. 2009. Ecological Restoration: Principles,Values, and Structure of an Emerging Profession. ISBN 978-1-59726-169-2.Island Press. Washington DC.

Dumatubun, Agapitus Ezebio. (Penyunting). 2012. Perspektif Budaya Papua. ISBN978-602-98929-6-3. Penerbit. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional,Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.Jakarta.

Durant, Robert F. 2004. Toward A New Governance Paradigm For EnvironmentalAnd natural Resources Management In The 21st Century? AmericanUniversity, Young-Pyoung Chun Daegu University, Byungseob Kim, SeoulNational University, Seongjong Lee Sungkeunkwan University. Adminis-tration & Society, Vol. 35 No. 6, January 2004 643-682. DOI: 10.1177/0095399703256968. Sage Publications.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. ISBN 979-8368-83-5. Penerbit PSKK-UGM. Yogyakarta.

Page 63: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 48

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Engka, M. Rusli. 2010. Birokrasi Dalam Perilaku dan Pelayanan Publik. ISBN 978-979-3985-79-4. Unpad Press. Bandung

Esman, Milton J. 1991. Manage Dimensions Develop PB: Perspectives and Strategies.ISBN 978-09318-1664-2. Kumarian Press.

Etzioni-Halevy, Eva. 2011. Demokrasi & Birokrasi Sebuah Dilema Politik. Disaduroleh Sufiansyah, Suraji, dan Syahdi Rasyid. ISBN 979-1519-59-5. PenerbitTotalmedia. Yogyakarta.

Fauzi, Noer dan R. Yando Zakaria. 2000. Mensiasati Otonomi Daerah. Tanpa ISBN.Penerbit KPA-INSIST Press.

Farazmand, Ali. 2004. Sound Governance Policy and Adminitrative Innovations.ISBN 0-275-96514-7. Praeger Publisher. USA.

Frederickson, G. H. 1997. The Spirit of Public Administration. ISBN 978-078790-295-7Josey Bass Publisher. San Francisco.

-------------------------- 2005. The State of Social Equity in American PublicAdministration. (Essay). American Society for Public Administration Vol. 28No.3 March 2005.

Frederickson, H. George and Kevin B. Smith. 2003. The Public AdministrasionTheory Primer. ISBN 0-8133-9804-5. Westview Press. Colorado 80301-2877,Cumnor Hill, Oxford OX2 9JJ.

Fukuyama, Francis. 1995. Trust : the Social Virtues and The Creation of Prosperity.ISBN 978-06848-2525-0. Hamish Hamilton Publisher. London.

Gibson, James L., John M. Ivanicevich, dan James H. Donnely, 1999. OrganizationsBehaviour Structure and Process. 10th Revised Edition. ISBN 978-0072295870.Irwin Professional Pub. Home-wood, Illinois.

Hardjito, Dydiet. 2001. Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian. ISBN 979-421-488-4. Penerbit Rajawali. Jakarta.

Hatch, Mary Jo. 1997. Organization Theory Modern, Symbolic, and PostmodernPerspectives. ISBN 0-19-877490-7. Oxford University Press. New York.

Heady, F. 2001. Public Administration: A comparative Perspective. ISBN 978-082470-480-3. Marcel Dekker Publisher. New York

Hayes, Louis D. 2009. Introduction to Japanese Politics. ISBN 780-76562-742-1. EastGate book. M.E. Sharpe.

Heginbotham, Stanley J. 1975. Cultures in Conflict The Four Faces of IndianBureaucracy. ISBN 0-231-03888-7. Columbia University Press. New York &London

Henry, Nicholas. 1988. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan.ISBN 979-421-183-4 . Rajawali Press. Jakarta.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis.ISBN: 978-979-1078-91-7. Gava Media. Yogyakarta.

Page 64: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 49

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teoridan Issu. ISBN 978-979-1078-48-1. Penerbit Gava Media. Yogyakarta.

Kimberly and Rottman in Gibson et.al. 1999. Organizations Behaviour Structure andProcess. 10th Revised Edition. ISBN 978-0072295870. Irwin Professional Pub.Home-wood, Illinois.

Kristiadi, J. 2011. Proyeksi dan Dinamika Ekonomi Politik Tahun 2011. MakalahSeminar.

Kristiadi, J.B, Persfektif Administrassi Publik Menghadapi Tantangan Abad 21,Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Edisi, Khusus, Volume I No. 2, 1997.

Kulcsar, K. 1991. Deviant Bureaucracies. Pp. 587-98 in A. Farazmand (ed.) Handbookof comparative and development public administration. Marcel Dekker. NewYork.

Komorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa Pada MasaTransisi. ISBN 979-3721-45-6. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kramer, Fred. A. 1973. Perspectives on Public Bureaucracy: A Reader on Organi-zation. ISBN 978-08762-6665-6. Winthrop Publishers. Michigan University.

Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik. ISBN 979-3721-45-6.MAP UGM dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kusdi. 2011. Budaya Organisasi Teori, Penelitian, dan Praktik. ISBN 978-979-061-183-2. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.

Laferriere dan Stoett. 1999. International Relations Theory and Ecological Thought:Towards a Synthesis (Environmental Politics). 1st edition. ISBN 978-0-4151-6479-5. Routledge Publisher.

Levy, Brian. 2007. Governance Reform: Bridging Monitoring and Action. ISBN 978-082137-032-2. World Bank Publication.

Mansoben, J. R. 2003. Sistem Tradisional Etnis Byak, Kajian Tentang PemerintahanTradisional, dalam Jurnal Antropologi Papua, FISIP-UNCEN. Jayapura. Vol.1No.3, April 2003 ISSN : 1693-2099.

Masaharu, Hori. 2002. Japanese Public Administration and its Adap-tation to NewPublic Management. This paper was presented for the Fifteenth AnnualConference of the Public Administration Theory Network, Cleveland StateUniversity, Ohio, 29 May-1 June, 2002.

McNeill, Desmond. 2002. Social Capital, Development and Ethics. A Paper Preparedfor the Inter-American Development Bank International Seminar “The EthicalChallenges of Development”, Buenos Aires, Sept 5 – 6.

Meier Kenneth J. 2007. The Public Administration of Politics, or What PoliticalScience Could Learn from Public Administration. Article Journal: PS: PoliticalScience and Politics Texas A&M University and Cardiff University.

Musa’ad, Muhammad Abud. 2002. Penguatan Otonomi Daerah Di Balik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi. ISBN 979-9299-41-1. Penerbit ITB. Bandung.

Page 65: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 50

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Nigro, Felix A. and Lloyd G. Nigro. 1990. Modern Public Administration. 5th Edition.ISBN 0-06-044844-X. Harper & Row Publisher. New York.

Nugroho, Ryant D. 2001. Reinventing Indonesia Menata Ulang ManajemenPemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan KeunggulanGlobal. ISBN 970-2-2811-0. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.

Olsen, Johan P. 2004. Citizens, Public Administration and the Search For TheoreticalFoundations. Article. ARENA, University of Oslo. American Political ScienceAssociation, Philadelphia PA, 29 August 2003. in PS : Political Science &Politics, January 2004.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Mewirausahakan Birokrasi (ReinventingGovernment) : Mentrasformasi Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik.Terjemahan Abdul Rasyid. ISBN 979-442-043-3. Penerbit Pustaka BinamanPressindo. Jakarta.

Osborne, David dan Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi: Lima StrategiMenuju Pemerintahan Wira Usaha. Terjemahan Abdul Rosyid dan Ramelan.ISBN 979-442-107-3. Penerbit PPM, Jakarta.

Otenyo, Eric E. and Nancy S. Lind. Ed. 2006. Comparative Public Administration :The Essential Readings. ISBN-13: 978-0-7623-1359-4 ISBN-10: 0-7623-1359-5ISSN:0732-1317 (Series). JAI Press is an imprint of Elsevier. The Boulevard,Langford Lane, Kidlington, Oxford, Amsterdam.

Parasuraman, A, Leonard L. Berry and Valeri A. Zeithaml. 1990. Delivering QualityService; Balancing Customer Perceptions and Expectations. ISBN 978-00293-5701-9. Free Press.

Pamudji, S. 2004. Ekologi Administrasi Negara. Cet. ke-8, ISBN 979-526-149-5.Penerbit Bina Aksara. Jakarta.

Peter, Guy B. 1984. American Public Policy. ISBN 978-09345-4053-7. Chatham HousePublishers, New York.

Pinchot, Giffort dan Elizabeth Pinchot. 1993. The End of Bureaucracy & the Rise ofthe Intelligent Organization. ISBN 978-18810-5234-0. Berrett-KoehlerPublisher.

Preston, Noel. 2007. Understanding Ethics. 3rd Edition. ISBN 978-18628-7662-0.Publisher The Federation Press. Sidney.

Riggs, Fred W. Ed. 1989. Adminitrasi Pembangunan Sistem Administrasi danBirokrasi. ISBN 979-421-182-6. Terjemahan Luqman Hakim. Rajawali Press.Jakarta.

Schein, Edgar H. 2004. Organizational Culture and Leadership. 3rd Edition. ISBN 0-7879-6845-5. Publish by Jossey-Bass. San Fransisco

Schoorl, Pim. 2001. Belanda di Indoenesia Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962. ISBN 979-95774-2-X. Garba Budaya. Jakarta.

Siagian, Sondang P. 2009. Administrasi Pembangunan. ISBN 979-526-492-3. PenerbitBumi Aksara. Jakarta.

Page 66: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 51

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

Silo, Akbar. 2012. Faktor-Faktor Determinan Implementasi Strategi PelayananPendidikan. ISBN 978-602-9238-31-0. Penerbit Unpad Press. Bandung.

Suebu, Barnabas. 2007. Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah yangMenumbuhkan. ISBN 978-979-16788-0-3. Penerbit Pemerintah ProvinsiPapua. Jayapura.

---------------------. 2010. Mencapai Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik danMewujudkan Kapasitas Fiskal Yang Tangguh di Provinsi Papua. ISBN 978-979-16788-6-5. PemProv. Papua. Jayapura.

--------------------. 2010. Pembangunan Kampung Membangkitkan Kekuatan DahsyatRakyat Papua. ISBN 978-979-16788-7-2. PemProv. Papua. Jayapura.

Suwae, Habel Melkias. 2006. Suara Hati yang Memberdayakan. ISBN 979-3570-21-0.Penerbit Pustaka Refleksi. Makassar.

Sunoto, 1992. Aspek Manusia dalam Organisasi : Dasar Pemikiran dan ImplikasiMetode Penelitian, dalam Effendi, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia,Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pemba-ngunan. ISBN 979-420-242-8.Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Surie, H.G. 1987. Ilmu Administrasi Negara Suatu Bacaan Pengantar. TerjemahanSamekto. Cet.1. ISSBN 979-403-172-0. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.

Thoha, Miftah. 2012. Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia. ISBN 978-602-18585-2-3. Penerbit Metapena Institute. Yogyakarta.

Thompson, John L. 1997. Strategic Management-Fortth Edition. ISBN 978-18615-2587-1 Gray Publishing. Turnbridge Wells.

------------------------- 2012. Incredible Edible: Social and Environmental Entrepreneur-ship in the Era of the Big Society. Social Enterprise Journal, 3 (1). ISSN 1750-8614.

Tjokrowinoto, Moeljarto, dkk. 2001. Birokrasi dan Polemik. ISBN 979-9483-56-5Penerbit Pustaka Pelajar. Malang.

Utomo, Warsito. 2005. Administrasi Publik Indonesia Di Era Demokrasi Lokal.Bagaimana Semangat Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi. PidatoPengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Wanggai, Velix V. 2012. Pembangunan untuk Semua Mengelola Pemba-ngunanRegional a la SBY. ISBN 978-602-99998-1-5 Indomultimedia CommunicationsGroup.

Waterman, R. & Meier, K. 1998. Principal-Agent models: An expansion. Journal ofPublic Administration Research and Theory. 8(2) : 173-202.

West, Jonathan P. 2007. American Public Service Radical Reform and the MeritSystem. ISBN 978-0-8493-0534-4. CRC Press Taylor & Francis Gorup.University of Miami Coral Gables, Florida, USA.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance Telaah dari Dimensi Akuntabilitas danKontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. InsanCendekia. Surabaya.

Page 67: Birokrasi Kontekstual

Birokrasi Kontekstual - 52

asilo – Serie Ekologi Birokrasi

-------------------- 2008. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. ISBN 979-3695-23-4.Bayu-media, Malang.

Wimsatt, W.C. 1987. Re-engineering Philosophy for Limited beings: Piecewiseapproximations to reality in M. Nitecki and A. Hoffman, (ed)., NeutralModels in Biology. Oxford University Press. London. pp. 23-55.

Yamamoto, Hiromi. 2003. New Public Management-Japan’s Practice. IIPS for PolicyBrief 293E, Januari 2003. Institute for International Policy Study. Toranomon,Mianto-ku, Tokyo 105-0001, Japan.