KONSENTRASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA PROGRAM STUDI...
Transcript of KONSENTRASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA PROGRAM STUDI...
BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA SIMBOLIS KASUA PAPAN SEBAGAI PELAMINAN ADAT PERKAWINAN
NAGARI TANJUANG BARULAK KABUPATEN TANAH DATAR
TESIS
OLEH
EGA NERIFALINDA NIM 51694
Tesis ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan
gelar Magister Pendidikan
KONSENTRASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
i
ABSTRACT
EGA NERIFALINDA, 2011. Forms, Functions and Symbolic Meaning of Kasua Papan as Indigenous Pelaminan Nagari Tanjung Barulak Tanah Datar. Thesis Graduate Program, State University of Padang. This study reveals the shape, function, and symbolic meaning Kasua papan as a wedding customs nagari Tanjung Barulak Tanah Datar. The problem studied is the form, function, and meaning contained in a traditional wedding ceremony in the village of Tanjung Barulak. This study used qualitative methods with an ethnographic approach. The research data was collected by direct observation of Kasua papan with several informants consisting of experts custom, the prince, bundo kanduang, and cadiak pandai. Determination of informants was based on (1) The informant has long fused and widely understood about the situation that became the focus of research, (2) People involved with the culture of Tanjung Barulak and Kasua papan in particular. To ensure the validity of the data used and Cuba Licoln technique which consists of reliability, keteralihan, accountable and can be recognized. From this study found that cultural property Kasua papan is used in the wedding, which at every level symbolizes the groom's social status in traditional ie (1) Nine levels used by the Penghulu Pucuk, (2) Seven levels used by the Penghulu Andiko, (3 ) Five levels are used by Datuk Tungganai, (4) Four levels are used by ordinary people. Use of Kasua papan is a must, because Kasua papan exist only in customary marriages in the village of Tanjung Barulak. Kasua papan that characterizes the village of Tanjung Barulak implies, any custom rules, behavior, all summarized in the motifs that exist in Kasua papan.
ii
ABSTRAK
EGA NERIFALINDA, 2011. Bentuk, Fungsi dan Makna Simbolis Kasua Papan sebagai Pelaminan Adat Nagari Tanjung Barulak Kabupaten Tanah Datar. Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang.
Penelitian ini mengungkapkan bentuk, fungsi, dan makna simbolis Kasua papan sebagai pelaminan adat nagari Tanjung Barulak Kabupaten Tanah Datar. Permasalahan yang dikaji adalah bentuk, fungsi, dan makna yang terkandung dalam upacara adat perkawinan di nagari Tanjung Barulak.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara pengamatan langsung terhadap Kasua papan dengan beberapa informan yang terdiri dari para ahli adat, penghulu, bundo kanduang, dan cadiak pandai. Penentuan informan tersebut didasarkan atas (1) Informan telah lama menyatu dan memahami secara luas tentang situasi yang menjadi fokus penelitian, (2) Orang yang terkait dengan budaya Tanjung Barulak dan Kasua papan khususnya. Untuk menjamin keabsahan data digunakan teknik Licoln dan Cuba yang terdiri dari keterpercayaan, keteralihan, dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diakui.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa Kasua papan merupakan benda budaya yang digunakan dalam pesta perkawinan, yang pada setiap tingkatan melambangkan status sosial mempelai pria dalam adat yaitu (1) Sembilan tingkat digunakan oleh Penghulu Pucuk, (2) Tujuh tingkat digunakan oleh Penghulu Andiko, (3) Lima tingkat digunakan oleh Datuk Tungganai, (4) Empat tingkat digunakan oleh orang biasa. Penggunaan Kasua papan merupakan keharusan, karena Kasua papan hanya ada dalam adat perkawinan di nagari Tanjung Barulak. Kasua papan yang menjadi ciri khas nagari Tanjung Barulak mengandung makna , setiap peraturan adat, tingkah laku, semua dirangkum dalam motif yang ada pada Kasua papan.
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya yang berjudul : “Bentuk, Fungsi, dan Makna Kasua
Papan sebagai Pelaminan Adat Nagari Tanjung Barulak, Kecamatan
Batipuh, Kabupaten Tanah Datar” adalah asli dan belum pernah diajukan
untuk mendapatkan gelar akademik, baik di Universitas Negeri Padang,
maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, penilaian, hasil penelitian dan rumusan saya
sendiri tanpa bantuan tidak sah dari pihak lain, kecuali dari arahan
pembimbing dan tim penguji karya tulis ini.
3. Dalam karya tulis saya ini tidak terdapat hasil karya, pendapat, opini yang
telah dipublikasikan, kecuali dikutip secara tertulis sebagai acuan dalam
karya tulis saya dengan menyebutkan nama pengarang, terbitannya,
sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka karya tulis saya.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila dikemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah saya peroleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan
norma dan aturan hukum yang berlaku.
Padang , Juni 2011 Yang Menyatakan
Ega Narifalinda 51694
iv
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, maha Rahman
dan maha Rahim, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
tesis yang berjudul “Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbol Kasua Papan Sebagai
Pelaminan Adat Nagari Tanjung Barulak Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah
Datar” dapat diselesaikan. Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi
sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata dua dalam
Konsentrasi Pendidikan Seni Budaya Program Studi Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang
Dengan segala keterbatasan, penulis berusaha semaksimal mungkin
menampilkan yang terbaik. tapi sebagai manusia penulis mengakui tesis ini masih
ada celah yang belum sempat terlihat. Oleh karena itu, saran dan kritik dari
berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini sangat diharapkan.
Dengan kehadiran tesis ini dengan segala keterbatasannya, dapat menjadi
salah satu informasi budaya khususnya tentang Kasua papan. Penulisan tesis ini
banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya melalui kesempatan ini
penulis menghaturkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Agusti Efi Marthala, MA, selaku pembimbing I, yang dengan
kesabarannya telah membimbing dan memberi arahan dari awal
hingga akhir penulisan tesis ini.
2. Prof. Dr. Agustina, M. Hum, selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan ini hingga akhir.
v
3. Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M. Pd, Dr. Yahya, M. Pd, Dr.
Wakhinuddin, M.Pd, selaku kontributor yang telah banyak
memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
4. Segenap staff pengajar dan staff Tata Usaha Program Pascasarjana
UNP Padang, terima kasih atas segala kerjasamanya sehingga proses
belajar mengajar berjalan dengan lancar.
5. Teristimewa untuk ibundaku tercinta, dengan segala kerendahan hati
terima kasih tak terhingga atas limpahan kasih sayang, pengertian dan
doa ikhlas yang selalu ada untukku, serta segala dukungan moril dan
materil tak dapat dihargakan dengan apapun.
7. Arfah, hari-hari denganmu penuh dengan tawa, walaupun kadang
tangis menghiasi, ketegaranmu selalu memberi semangat. Ade dan Tri
kuyakin kalian bisa lebih daripada aku. Dan teman-teman
seperjuangan di Program Pascasarjana UNP, terimakasih atas hari-hari
indah selama ini, dengan begitu penulis menyadari hari-hari tanpa
kalian sungguh sepi.
Dan akhirnya kepada segenap pihak yang telah membantu terwujudnya
tulisan ini, yang tidak dapat dituliskan satu persatu, semoga senantiasa mendapat
lindungan dan mendapat imbalan yang sepadan dari Allah SWT. Amin
Wassalamu’allaikum Wr. Wb.
Padang, ...................2011
Ega Nerifalinda
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK BAHASA INGGRIS..........................................................................i
ABSTRAK BAHASA INDONESIA....................................................................ii
SURAT PERNYATAAN......................................................................................iii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iv
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
DAFTAR TABEL.................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............……..…..............................1
B. Masalah dan Fokus Penelitian................................................5
C. Tujuan Penelitian.....................................................................6
D. Manfaat Penelitian…..................………..…...........................6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Budaya, Seni, dan Estetika......................................................9
B. Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbol.. ...……….......…........14
C. Pelaminan Minangkabau dan Kasua Papan.......................27
D. Penelitian yang Relevan………………................................31
E. Kerangka Konseptual………................................................33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian......................................................................35
B. Lokasi Penelitian………………………………………........36
C. Informan Penelitian...............................................................36
D. Tenik dan Alat Pengumpulan Data…........………..…........37
E. Teknik Penjaminan Keabsahan Data……….....…...........40
F. Teknik Analisis Data………………………………….........42
vii
BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Temuan Umum
1. Kawasan Penelitian..........................................................43
2. Letak Geografis................................................................46
3. Sosial Budaya....................................................................47
a. Pola Hidup…………………………….……………...47
b. Ekonomi………………………………..……….….…48
c. Kepemimpinan………………………….…….……...49
d. Sejarah Kasua Papan..................................................54
B. Temuan Khusus
1. Bentuk Kasua Papan........................................................57
a. Warna Kasua Papan…………………………..……63
b. Ragam Hias………………………………………….65
c. Bahan………………………………………...............66
d. Tata Letak…………………………………………...68
e. Tingkatan Kasua Papan…………….…………..….69
2. Fungsi Kasua papan........................................................75
a. Fungsi Simbol............................................................75
b. Fungsi Estetis.............................................................77
c. Fungsi Sosial...............................................................78
3. Makna Simbolis Kasua Papan.........................................79
a. Makna Kasua Papan ...................................................79
b. Makna Bantal ...............................................................82
C. Pembahasan
1. Bentuk Kasua Papan Sebagai Benda Adat…..............102
2. Fungsi Kasua Papan Sebagai Benda Adat……...........103
a. Fungsi Simbolis...........................................................103
b. Fungsi Estetis..............................................................106
viii
c. Fungsi Sosial................................................................109
3. Makna Simbol Kasua Papan Sebagai Benda Adat.....110
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan..........................................................................121
B. Implikasi...............................................................................122
C. Saran.....................................................................................122
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
1. Penanda dan Petanda...................................................................................25
2. Bentuk dan Makna Tingkatan.....................................................................59
3. Bentuk dan Fungsi........................................................................................59
4. Motif dan Simbol..........................................................................................60
5. Analisis Motif Ragam Hias Kasua Papan.................................................. 116
6. Analisis Motif Ragam Hias Bantal Kasua Papan...................................... 118
7. Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna Simbolis Kasua Papan................... 120
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Peta lokasi Kabupaten Tanah Datar........................................... 45 Gambar 2: Peta administrasi Kabupaten Tanah Datar................................ 45 Gambar 3: Peta wilayah Nagari Tanjung Barulak........................................ 46 Gambar 4: Rangka papan badan kasua papan.............................................. 58 Gambar 5: Kain kasua papan yang sudah disulam........................................59 Gambar 6: Papan yan g sudah dipasang kain................................................ 59 Gambar 7: Kasua papan yang sudah disusun.................................................60 Gambar 8: Kasua papan yang sudah disususn lengkap................................ 60 Gambar 9: Banta picak dan banta bulek........................................................ 61 Gambar 10: Warna simbol utama Minangkabau............................................ 64 Gambar 11: Denah tata letak kasua papan...................................................... 68 Gambar 12: Tingkatan kasua papan yang dipakai penghulu pucuk............. 69 Gambar 13: Tingkatan kasua papan yang dipakai penghulu andiko............ 70 Gambar 14: Tingkatan kasua papan yang dipakai datuk tungganai............ 71 Gambar 15: Tingkatan kasua papan yang dipakai orang biasa.....................71 Gambar 16: Kasua papan yang dipakai orang biasa...................................... 72 Gambar 17a: Motif basolan saluak laka............................................................72 Gambar 17b 1: Motif basolan buah palo babalah............................................72 Gambar 17b 2: Motif basolan taratai dalam aia...............................................72 Gambar 18a: Motif bakabuang..........................................................................73 Gambar 18b: Motif bakabuang......................................................................... 73 Gambar 19: Motif tabu satuntuang................................................................... 73 Gambar 20: Bungo taratai dalam aia................................................................ 80 Gambar 21: Buah palo babalah......................................................................... 82 Gambar 22: Carano kanso................................................................................. 83 Gambar 23: Saik galamai................................................................................... 86 Gambar 24: Kuciang lalok................................................................................. 88 Gambar 25: Daun puluik-puluik....................................................................... 90 Gambar 26: Saluak laka..................................................................................... 92 Gambar 27: Bungo panco matoari.................................................................... 95 Gambar 28: Bungo duo tangkai......................................................................... 96 Gambar 29: Singo Bagaluik............................................................................... 98
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaminan merupakan salah satu benda budaya dari hasil kebudayaan
masyarakat tradisional, yang merupakan kelengkapan dari benda upacara-upacara
adat di Minangkabau. Pelaminan bagi masyarakat Minangkabau disebut
palaminan yang merupakan benda yang dipakai dalam upacara perkawinan.
Pelaminan beragam bentuknya, sesuai dengan latar belakang darimana masyarakat
yang menggunakan pelaminan itu berasal. Pelaminan secara visual memiliki
keunikan sendiri. Keunikannya bukan hanya karena wujud yang tampak, namun
lebih dari pada itu. Dalam pelaminan terkandung makna simbolis yang
mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat pendukungnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tabrani (1999, 15-16) bahwa tidak ada karya seni rupa yang
dibuat hanya untuk keindahan semata, tetapi juga melebur dengan kaidah moral,
adat, agama, sehingga selain indah sekaligus juga bermakna. Sebagaimana ditulis
Fleming (1965) dan Read (1955) bahwa, seni bertujuan bukan semata melayani
tujuan estetik atau artistik, tetapi juga melayani kejiwaan manusia, yang disebut
kemanusiaan.
Pendapat tersebut jelas bahwa tidak ada karya seni yang dibuat hanya
untuk keindahan semata tetapi juga mempunyai kaidah moral, adat, agama, dan
sebagainya. Ditinjau dari palaminan di Minangkabau, yang berfungsi sebagai
benda upacara, yang digunakan ketika upacara perkawinan di Minangkabau,
2
selain secara visual terlihat indah, pelaminan sebagai benda budaya juga
mengandung nilai- nilai simbolis.
Bagi masyarakat Minangkabau palaminan ‘pelaminan’ merupakan atribut
yang dipakai pada upacara perkawinan. Pengertian dari palaminan adalah tempat
duduk kebesaran anak daro ‘mempelai perempuan’ dan marapulai ‘mempelai
laki-laki’ saat bersanding pada upacara perkawinan baralek gadang. Baralek
gadang ditandai dengan upacara kenduri adat memotong seekor kerbau sebagai
persyaratan upacara baralek atau kenduri.
Zaman dahulu, di Minangkabau palaminan juga dipakai di rumah adat
‘rumah gadang’, sebagai pelengkap interior Rumah gadang. Namun seiring
dengan perubahan sosial budaya dan perkembangan zaman, palaminan sekarang
tidak hanya dipakai di Rumah gadang saja, tetapi telah dipakai pada upacara pesta
perkawinan di gedung-gedung dan tempat pesta lainnya (yang bukan baralek
gadang).
Kenyataannya pemakaian dan pembuatan palaminan beserta
kelengkapannya, diajarkan secara lisan atau dengan cara peniruan dari generasi
tua secara turun temurun. Karena itu pengetahuan tersebut selama ini hanya
disampaikan melalui lisan, dalam arti tanpa adanya tulisan sebagai pegangan.
Karena tidak ada aturan baku secara tertulis sebagai pegangan, maka
dengan terjadinya perubahan sosial dan budaya di tengah masyarakat, palaminan
Minangkabau yang sudah menjadi tradisi mudah mengalami perubahan, dan
menerima inovasi-inovasi baru yang pada akhirnya muncul versi-versi pelaminan
baru yang tidak berpijak pada konsep tradisi.
3
Perkembangan lain yang juga terjadi adalah dari segi pemasangannya,
dahulu yang memasang pelaminan adalah rang sumando ‘ipar dengan besan’ yang
ada dalam kaum yang akan melansungkan upacara perkawinan, sekarang
pekerjaan itu sudah mulai beralih ke pihak lain. Palaminan tidak lagi dipasang
oleh rang sumando, tetapi langsung dipasang oleh usaha pelaminan, namum
masih ada di beberapa nagari yang pemasangan palaminan dilakukan oleh rang
sumando. Sistem pemasangan palaminan tersebut disesuaikan dengan ketentuan
adat yang berlaku di daerah setempat, yang dinamakan adat salingka nagari.
Secara umum, bentuk pelaminan di Minangkabau semuanya hampir sama,
namun ada di beberapa daerah yang memiliki bentuk pelaminan yang berbeda.
Salah satunya di Tanjuang Barulak di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Di
daerah tersebut, selain memakai palaminan juga menggunakan Kasua papan
‘kasur papan’ pada upacara adat perkawinan.
Jika ditinjau secara etimologi, nama Kasua papan tersebut terdiri dari
Kasua dan Papan. Kasua di Minangkabau memiliki pengertian tempat tidur yang
terbuat dari kapas yang dibungkus dengan kain, sedangkan papan memiliki
pengertian yaitu nama dari bentuk kayu dengan ukuran tertentu. Jadi Kasua
papan adalah benda budaya yang dipakai dalam upacara perkawinan.
Keberadaan Kasua papan di Tanjung Barulak, merupakan satu syarat
terpenting yang harus ada di rumah mempelai perempuan, sesuai dengan aturan
adat yang berlaku di daerah tersebut. Kasua papan dalam pesta perkawinan lahir
sebagai bentuk simbol yang berfungsi untuk menyambut kedatangan mempelai
pria.
4
Sebagai simbol, Kasua papan penting artinya bagi masyarakat Tanjung
Barulak dalam upacara perkawinan. Dari penelitian yang telah dilakukan pada
Senin tanggal 22 Februari 2011, diperoleh informasi dari Ibu Aisyah Bundo
kanduang Tanjung Barulak ‘perempuan yang dituakan didalam kaum atau nagari’,
bahwa Kasua papan sangat penting dalam acara perkawinan di Tanjung Barulak
daripada palaminan. Pentingnya Kasua papan dapat dilihat dari ungkapan
masyarakat Tanjung Barulak, bahwa tidak ada palaminan tidak jadi masalah,
asalkan ada Kasua papan. Jika tidak ada Kasua papan mempelai pria tidak akan
naik ke atas rumah mempelai perempuan.
Kasua papan dipasang hanya di rumah mempelai perempuan, dan
diletakkan disebelah kiri ataupun sebelah kanan pintu masuk rumah, agar ketika
mempelai datang Kasua papan langsung terlihat. Pemasangan Kasua papan
dilakukan secara bersama-sama oleh Bundo Kanduang dan rang sumando yang
ada di daerah setempat.
Secara visual, Kasua papan di Tanjung Barulak memiliki bentuk dan
nama yang unik. Kasua papan belum ditemukan pada daerah lain di Sumatera
Barat, bentuknya empat persegi panjang dengan susunan yang bertingkat- tingkat,
serta ditutup dengan kain yang dihias dengan ragam hias sulaman motif
Minangkabau. Menurut masyarakat setempat, tingkatan itu menunjukan strata
atau derajat dari kerabat yang melaksanakan pesta perkawinan.
Eksistensi dari Kasua papan merupakan suatu cerminan perilaku adat dari
masyarakat Tanjung Barulak, karena Kasua papan merupakan wujud budaya
visual yang masih dipakai sampai sekarang, namun tidak dimiliki oleh daerah lain
5
di Sumatera Barat. Dengan demikian, sebagai benda adat Kasua papan tidak
hanya benda terpakai tapi sebagai simbol adat dan strata sosial masyarakat di
Tanjung Barulak.
Seiring dengan perkembangan zaman, dikhawatirkan kasua papan ini bisa
hilang sebagai bagian dari budaya daerah, karena pada saat ini walaupun Kasua
papan masih dipakai namun tidak banyak masyarakat yang memahami akan
bentuk, fungsi dan maknanya. Demikian juga dengan generasi muda, hampir tidak
tahu dengan Kasua papan sebagai benda upacara perkawinan. Selain dari itu,
dilihat dari segi pewarisan hampir tidak ada, dikhawatirkan suatu saat masyarakat
tidak mengenal lagi Kasua papan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis bermaksud untuk meneliti dan
menginventarisasi Kasua papan sebagai benda adat yang dipakai dalam upacara
adat perkawinan, dengan tujuan untuk mengantisipasi kekhawatir akan
kepunahan, seiring dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya ditengah
masyarakat.
B. Masalah dan Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini akan
dirumuskan fokus penelitian:
1. Bagaimanakah bentuk Kasua papan sebagai benda adat pada upacara
perkawinan di nagari Tanjung Barulak Kabupaten Tanah Datar?
2. Apa fungsi Kasua papan sebagai benda adat dalam upacara perkawinan di
nagari Tanjung Barulak Kabupaten Tanah Datar?
6
3. Apa makna simbolis yang terdapat pada Kasua papan sebagai benda adat
pada upacara perkawinan di nagari Tanjung Barulak Kabupaten Tanah
Datar?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menjelaskan tentang Kasua papan dalam konteks simbol kebudayaan nagari
Tanjung Barulak Kabupaten Tanah Datar. Secara khusus penelitian ini bertujuan
seperti berikut ini.
1. Mendeskripsikan bentuk dan karakter Kasua papan sebagai benda adat
pada upacara perkawinan di Nagari Tanjung Barulak Kabupaten Tanah
Datar.
2. Mendeskripsikan fungsi Kasua papan sebagai benda adat pada upacara
perkawinan di Nagari Tanjung Barulak Kabupaten Tanah Datar.
3. Mendeskripsikan makna simbolis yang terkandung dalam Kasua papan
sebagai benda adat pada upacara perkawinan di Nagari Tanjung Barulak
Kabupaten Tanah Datar.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan masukan dalam bidang
teori berikut ini:
7
a. Penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan tentang bentuk
Kasua papan sebagai bagian dari benda upacara perkawinan masyarakat
Minangkabau khususnya masyarakat Tanjung Barulak, dan pemahan
terhadap fungsi dan makna simbolis yang ada pada Kasua papan, sebagai
bahasa rupa.
b. Penelitian ini bermanfaat sebagai upaya nyata dan ilmiah dalam menggali
dan mengkaji budaya dan seni rupa sebagai bagian dari kebudayaan.
Sehingga menghasilkan catatan atau dokumentasi yang menjadi bahan
informasi tertulis tentang kebudayaan Minangkabau umumnya dan Kasua
papan khususnya.
c. Penelitian ini dapat memberikan wawasan etnografi, suatu kajian
keragaman budaya yang berkaitan dengan konteks budaya masyarakat
Tanjung Barulak, Sumatera Barat sebagai bagian dari benda adat budaya
Minangkabau.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian dapat memberikan masukan bagi beberapa pihak,
berikut ini.
a. Sebagai sumbang pemikiran bagi Pengambil kebijakan formal, terutama di
bawah Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Provinsi
Sumatera Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
b. Sebagai bahan atau materi dalam bidang pendidikan, terutama dalam
pembelajaran dalam pembelajaran seni dan budaya bagi masyarakat
8
Minangkabau umumnya, dan untuk masyarakat Tanjung Barulak
khususnya.
c. Sebagai identitas bagi masyarakat daerah Tanjung Barulak dalam upaya
pelestarian budaya dan upaya pemertahanan dan pemberdayaan budaya
lokal, khususnya Kasua papan sebagai benda budaya, sehingga dapat
mewujudkan jati diri masyarakat Tanjung Barulak.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teoretis
Bagian ini dipaparkan pokok pikiran sebagai kerangka acuan di dalam
memecahkan masalah penelitian. Pemikiran dan penjelasan yang digunakan untuk
memecahkan masalah dikemas sedemikian rupa sehingga dapat digunakan
sebagai analisis dalam mengkaji masalah ini.
1. Budaya, Seni, dan Estetika
a. Budaya
Maran (Raga, 2000: 24-26) mengungkapkan bahwa kata “kebudayaan”
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayyah. Kata budahayyah adalah bentuk
jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ dan ‘akal’. Secara estimologi, kata
‘kebudayaan’ berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat,
1974:9). Disamping itu, MM. Djojodigeono (1958) seperti dikutip
Koentjatraningrat mengartikan dan melihat “kebudayaan sebagai perkembangan
dari majemuk budidaya, berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa”.
Pendapat ini ditambahkan Van Pausen (1988: 6) bahwa, kebudayaan sebagai
proses pelajaran, yang terus menerus sifatnya. Di dalam proses ini bukan saja
kreatifitas dan infentifitas merupakan faktor penting, melainkan kedua faktor ini
kait mengait dengan pertimbangan-pertimbangan etis.
Pakar Antropologi dari Amerika Serikat yang bernama Robert H. Lowie
(dalam Maran, 1937: 3) menyatakan bahwa, kebudayaan adalah segala sesuatu
yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat,
10
norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena
kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat
melalui pendidikan formal atau informal.
Selanjutnya, Spradley (1997:7) mengatakan konsep kebudayaan adalah
suatu sistem simbol yang mempunyai makna yang banyak mempunyai persamaan
dengan interaksionisme simbolik. Blumer (dalam Spradley, 1997:7),
mengidentifikasi tiga premis sebagai landasan teori dalam kebudayaan yaitu:
Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang
diberikan kepada mereka. Kedua, yang mendasari interaksionisme simbolik
adalah bahwa berbagai makna berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang
dengan orang lain. Ketiga, interaksionisme simbolik adalah makna yang
ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh
orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapinya.
Kebudayaan yang dimiliki oleh orang Minangkabau, sebelum bangsa
Hindu datang ke Indonesia pada abad ke 1 Masehi. Pada masa itu bangsa
Indonesia telah pandai mengerjakan sawah, ladang, dan irigasi serta alat
pengolahannya. Bangsa Indonesia telah mempunyai kepandaian membuat alat
perkakas dari besi, tembaga, dan loyang. Begitupun di Minangkabau, telah
terdapat kesenian gamelan, talempong dan lainnya. Selanjutnya adat
Minangkabau yang asli dan unik diantaranya adalah keturunan ibu (matrilineal).
Minangkabau dengan sistem keturunan ibu mempunyai ide kehidupan
yang diliputi oleh budi luhur, sejiwa dengan ajaran yang dikandung oleh adatnya.
Adat Minangkabau merupakan suatu sistem yang meliputi kehidupan orang dan
11
masyarakat. Masyarakat Minangkabau berazaskan organisasi hidup berkelompok,
dalam membuka wilayah tempat tinggal dan membuka wilayah pertanianpun
mereka lakukan secara berkelompok. Bahkan perkawinan dalam masyarakat
Minangkabau merupakan urusan bersama kekerabatan kaum. Perkawinan di
Minangkabau bersifat eksogami, perkawinan hanya boleh dilakukan dengan orang
yang berlainan suku. Menurut struktur masyarakat Minangkabau setiap orang
adalah warga kaum dan anggota sukunya, walaupun telah kawin. Anak yang lahir
dari hasil perkawinan menjadi anggota kaum istrinya, suami tidak memegang
kuasa atas istri dan anaknya (Hakimi,1994:39)
Dari beberapa definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan, bahwa
kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Selain itu,
perwujudan kebudayaan dapat berbentuk norma-norma dan benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola prilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Ditinjau dari Kasua papan, sebagai pelaminan adat merupakan hasil
kebudayaan masyarakat di daerah Tanjuang Barulak. Keberadaan Kasua papan
sampai saat ini masih eksis sebagai perwujudan nilai-nilai adat istiadat yang masih
berlaku di daerah Tanjuang Barulak. Kasua papan sebagai benda budaya tidak
12
hanya tampil secara fisik saja tetapi juga merupakan simbol sebagai berwujudan
nilai-nilai adat dan budaya.
b. Seni
Kasua papan sebagai bagian dari seni rupa tradisi sangat terkait dengan
seni. Gie (1996:18) menjelaskan seni, sebagai segenap kegiatan budi pikiran
seorang (seniman) yang secara mahir menciptakan sesuatu karya sebagai
pengungkapan perasaan manusia. Hasil ciptaan dari kegiatan itu ialah suatu
kebulatan organis dalam sesuatu bentuk tertentu dari unsur-unsur bersifat
ekspresif yang termuat dalam suatu medium inderawi.
Menurut Koetjaraningrat (1997:19), “ Kesenian adalah ciptaan dari
segala pikiran dan prilaku manusia yang fungsional, estetis dan indah, sehingga ia
dapat dinikmati dengan panca indranya (yaitu penglihatan, penghidu, pengecap,
perasa dan pendengar)”.
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa seni itu memang sudah tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan manusia. Seni selalu berkaitan dengan
keindahan yang diwujudkan dalam suatu karya dan seni merupakan suatu
kepuasan batin dalam menyampaikan rasa keindahan pada suatu media yang
diapresiasikan kepada orang lain. Dan seni juga merupakan hasil ungkapan cipta,
rasa dan karsa manusia untuk kebutuhan dirinya dan orang lain.
Manusia mengapresiasikan seni kedalam berbagai bentuk. Seperti yang
diungkapkan Yervan Krikorian (dalam Gie, 1996: 21-24), seseorang yang mampu
untuk perenungan semacam ini dapat mewujudkan seni praktis pada benda-benda
di sekelilingnya, yang menembus sampai ke makna arti benda-benda tersebut.
13
Plato salah seorah tokoh estetika, dalam konsep Plato pada tingkat
tertinggi ada dunia ide dan bentuk yang sempurna dan abadi. Pada tingkat
tertinggi itu juga ada keindahan yang serba sempurna, sedang benda-benda yang
indah di dunia ini adalah tiruan atau gema yang mengingatkan keindahan sejati.
Dari uraian di atas terlihat bahwa Kasua papan merupakan benda seni
yang dipakai dalam upacara adat perkawinan daerah Tanjung Barulak. Kasua
papan merupakan satu kesatuan ide yang terbentuk melalui pengabungan unsur-
unsur dan prinsip-prinsip seni menjadi benda upacara adat perkawinan di Tanjung
Barulak.
c. Estetika
Estetika adalah falsafah seni yang melihat, keindahan secara
keseluruhan. Dalam bahasa Yunani “aesthetica” artinya sesuatu yang dapat
diserap dengan panca indra. Dalam bahasa Inggris disebut “aesthetics” yang
artinya berkenaan dengan keindahan. Maka dapat disimpulkan pengertian estetik
itu “sebagai penelaahan pembahasan yang bersangkut paut dengan pengetahuan
seni, keindahan alam dan serta ilmu yang bersangkutan”. Dikatakan ilmu
bersangkutan karena estetika itu meliputi estetika ilmiah, seperti ilmu seni, sejarah
seni, psikologi seni.
Secara etimologis estetika mempunyai arti sebagai ‘teori pengetahuan
kepekaan rasa’ (the teory of sentient knowledge). Istilah estetika pertama
diperkenalkan oleh Alexander Baumgarten (dalam Spirito, 1963: 28), yang
mengartikan estetika sebagai ‘teori keindahan dan seni’ (the theory of the
beautiful and of art).
14
Hasil karya seni dalam bentuk apapun selalu berhubungan dengan bentuk
yang indah (aestetic) halus dan bernilai tinggi (bermutu). Soeharjo (2009:6)
menuliskan pengertian estetika yang dikemukakan Baumgarten sebagai perasaan
indah atas karya seni. Herbert (dalam Muharman 1992:4) menyebutkan
kemampuan untuk memahami dan menghayati sesuatu yang indah tidak hanya
melahirkan sikap menyenangkan tetapi juga menimbulkan keinginan untuk
melestarikan dan mengembnagkannya. Semuanya selalu berawal dari daya respon
indera terhadap wujud nyata dari objek yang dapat ditangkap, baik dalam bentuk
gerak, bunyi, visual ataupun bentuk lain yang merupakan perpadua ketiga dimensi
tersebut.
Sedangkan menurut Agus Sachari (2002:7) bahwa kajian-kajian estetika
mengalami reorientasi substansial, yaitu memandang seni bukan pada kecantikan
dan keindahannya, melainkan telah bergeser ke arah aksi, makna dan tanda.
Gie menambahkan (1976:35) ”Keindahan dalam arti estetik murni
menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala
sesuatu yang diserapnya, sedangkan keindahan dalam arti yang terbatas lebih
disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang diserap dengan
penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna.
Pandangan para ahli tersebut terlihat bahwa estetika mempunyai
pengertian yang bervariasi, dapat disimpulkan estetika diperoleh melalui
penginderaan ketika melihat karya seni, estetika bukan semata masalah keindahan,
tetapi respon-respon manusia terhadap sesuatu yang artistik. Kemampuan untuk
memahami dan menghayati sesuatu yang indah tidak hanya melahirkan sikap
15
menyenangkan tetapi juga menimbulkan keinginan untuk melestarikan dan
mengembangkannya. Bagaimana merespon dan melestarikan Kasua papan
sebagai benda artistik yang penuh makna dan tanda agar tidak punah seiring
dengan perkembangan zaman.
2. Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbolis
a. Bentuk
Bentuk dalam konteks ini dimaksud sebagai wujud fisik, bentuk atau
wujud yang dapat ditangkap oleh panca indera penglihatan (oleh mata) ada dua
pengertian bentuk yakni ‘form’ dan ‘shape’. Form bentuk yang menunjukkan
makhluk hidup, misalnya bentuk binatang, kucing, bentuk seorang wanita, Shape,
pengertian bentuk untuk menunjukkan benda mati, misalnya bentuk topi, bentuk
patung, dan sebagainya (Bustomi, 1981/82 :32).
Bentuk yang sederhana adalah titik, kumpulan dari beberapa titik akan
mempunyai arti dengan menempatkan titik tersebut secara tertentu dan sistematis.
Kalau titik berkumpul dekat sekali dalam suatu lintasan yang sama, maka titik
akan menjadi garis. Beberapa garis bersama dengan beberapa penempatan
bersilang atau berlawanan dan bertemu dengan satu titik lagi akan menjadi
bidang. Dan beberapa bidang bersama menjadi ruang, titik, garis, bidang, dan
ruang merupakan elemen mendasar bagian karya seni rupa (Djelantik,1999:21).
Bentuk yang dimaksud adalah bentuk form, shape yang dibangun oleh
struktur dari unsur bentuk, garis, bidang, ruang, tekstur, warna dan unsur-unsur
lain yang saling bersistem, membentuk satu wujud yang dapat ditangkap oleh
indera penglihatan. Sumber bentuk di ilhami dari makhluk hidup maupun di
16
ilhami dari benda mati. Dalam kaidahnya bentuk itu dapat digolongkan menjadi 1)
bentuk yang terdapat di alam, 2) Bentuk yang dibuat manusia, 3) Bentuk yang
terjadi karena alat.
Awal abad ke-20, Gestalt mengembangkan azas yang mengatur persepsi
manusia, prinsip psikologinya adalah adanya kesatuan dalam persepsi kita
terhadap bentuk, kesatuan ini dibentuk oleh perupa melalui hubungan antara
elemen-elemen seni, antar elemen dengan bidang, antar latar dengan objek. Couto
(2009:125) membagi bentuk menjadi dua: bentuk organis dalam seni itu lembut,
melengkung, tidak teratur, meskipun ada bentuk alami seperti struktur kristal yang
bersiku, dan bentuk geometris adalah teratur dan tepat. Bagaimanapun sebuah
rupa bukanlah bentuk yang dapat dimaknai secara langsung secara alami atau
geometris.
Teori bentuk (formalis theory) yang dikemukakan oleh Clive Bell dalam
bukunya “Art” menyatakan: segenap seni penglihatan dan musik sepanjang masa
mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk yang bermakna),
sehingga seni tersebut dihargai orang, dimana nantinya significant form akan
menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis (aesthetis emotion) dalam diri
seseorang (Gie,1976:74) formalis theori ini didukung juga oleh adanya tiga hal
yang membuat indah yakni: kesatuan (unity), kerumitan (complexity) dan
kesungguhan (intensity).
Wolfflin (dalam Feldman, 1967) menjelaskan dalam karya seni bentuk
dipahami bukan seperti sebuah gambar (dua dimensi), tetapi ia berada dalam
ruang atau volume.
17
Kasua papan dalam bentuk fisik menampilkan sebuah empat persegi
panjang yang diberi hiasan sulaman. Bentuk dalam kajian seni adalah keseluruhan
(totalitas) dari keterpaduan komponen-komponen yang telah terwujud dalam
bentuk bidang (2 dimensi) yang dibuat dengan pengaturan terkontrol unsur visual
(titik, garis, bidang, value, tekstur dan warna). Tabrani (1992:2) menambahkan
bahwa, rupa ditangkap oleh manusia melalui mata. Bentuk sebagai objek
pengamatan adalah sesuatu yang bersifat kasat mata, artinya dapat dilihat. Dengan
demikian bentuk dapat dilihat (ditangkap) melalui alat indra mata dan informasi
disampaikan ke otak, sehingga terbentuk image ‘rupa’ atau ‘kesan’, bayang-
bayang yang berbentuk.
Apabila disederhanakan pengertian bentuk di atas, maka bentuk adalah
wujud yang tampak, dapat dilihat sebagai titik, garis, dan bidang. Dalam
pengertian dua dimensi berupa gambar yang tidak bervolume, dalam pengertian
tiga dimensi adalah unsur rupa yang terbentuk karena ruang dan volume. Desain
Kasua papan yang didasari bentuk empat persegi panjang, dapat dikelompokan
dalam bentuk desain stuktral dan desain hiasan.
Hiasan Kasua papan berupa sulaman bagian tertentu dengan memakai
warna warni seperti hiasan pada pelaminan, disudut kiri dan kanan atas Kasua
papan ini diletakkan bantal, sebelah kiri diletakkan bantal kecil (banta katiak)
sebanyak 9 buah dengan bentuk persegi memanjang, pada salah satu bagian bantal
itu bermotif, salah satu diantara motifnya adalah saik kalamai, diantara sembilan
buah bantal kecil juga terdapat satu buah bantal bulat (banta bulek) yang
18
diletakkan paling atas, dan sebelah kanan Kasua papan diletakkan dua buah
bantal biasa.
Warna juga merupakan unsur yang mempengaruhi bentuk secara
keseluruhan dan motif secara khusus. Kasua papan di Minangkabau,
menggunakan warna tradisional yaitu merah, kuning, dan hitam, namun tradisi itu
berkembang dengan memunculkan warna lain seperti biru, ungu, dan lainnya.
b. Fungsi
Fungsi dalam arti yang sederhana sering dikatakan sebagai peranan, artinya
memiliki posisi yang dianggap penting oleh masyarakat. Menurut Radeliffe-
Brown (dalam Evans Pritchard, 1986 :89), fungsi didasarkan pada analogi antara
kehidupan sosial dan organik yang memberikan sumbangan terhadap kehidupan
sosial dalam fungsi seluruh sistem sosial.
Fungsi selalu menunjukkan pengaruh terhadap suatu yang lain, apa yang
dinamakan fungsional tidak berdiri sendiri tapi terbungkus dalam suatu hubungan
tertentu yang memberi arti dan makna (Peursen, 1976: 85). Couto menyatakan
seni kriya diciptakan oleh manusia bukan hanya bertujuan untuk hiasan semata,
akan tetapi yang utama adalah dipakai, digunakan, dan dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan lain yang diluar lingkup seni (Couto,1999:10).
Barang, benda atau sesuatu objek diciptakan oleh manusia memberikan
kepuasan (satisfaction), berarti ada fungsi yang menjembatani antara benda
dengan manusia sebagai subjek dalam upaya mencapai tujuan. Fieldman (dalam
Couto, 1999:52), menjelaskan ada tiga macam fungsi seni rupa dari sudut tema
19
psikologi dan sosiologi, seni secara umum menjalani fungsi individual, sosial dan
fisik. Raharjo (1986:15) lebih menukikkan lagi bahwa disamping kebutuhan untuk
memenuhi kepentingan jasmani, manusia juga mempunyai kebutuhan akan
rohani, disinilah seni memenuhi fungsinya, karena ia dapat memenuhi ekspresi
kepuasan dalam apa yang dilihat dan apa yang didengar, sesuai dengan fitrah
manusia dalam mencapai kepuasan, ia ingin mendapat intensifikasi mencapai
kepuasan sesuatu yang sempurna.
Jadi fungsi merupakan suatu yang menjembatani kemanfaatan dari suatu
benda yang digunakan oleh manusia untuk mencapai tujuan, baik itu tujuan
praktis yang bersifat konkrit jasmani maupun fungsi dan tujuan untuk mencapai
suatu kepuasan, nilai-nilai yang bersifat rohani.
Menurut (Ritzer:121) dalam teori sosiologi modern mendefinisikan fungsi
‘function’ adalah ”kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan
kebutuhan sistem” Selanjutnya, Malinowski (dalam Ihromi, 1980:59)
mengemukakan bahwa orientasi teori fungsionalisme, yang beranggapan bahwa
semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat.
Fungsi dari suatu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa
kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para
warga suatu masyarakat.
Berdasarkan beberapa uraian teori di atas maka dapat dikatakan fungsi
mempunyai kaitan erat dengan persoalan-persoalan yang diekspresikan manusia
sebagai bentuk komunikasi, dalam kehidupan sosial dan bermanfaat bagi
masyarakat. Sebagai praktik sosial Kasua papan sebagai pelaminan adat daerah
20
Tanjung Barulak mempunyai fungsi sabagai simbol yang harus dipahami oleh
masyarakat pengguna, bukan saja sebagai alat komunikasi dengan masyarakatnya,
tetapi simbol yang menjadi bagian dari sistem kehidupan sosial budaya
masyarakat dan sebagai identitas bagi daerahnya.
c. Makna
Makna berarti ‘maksud’, ‘arti’, bermakna, berarti mempunyai
(mengadung) arti yang dalam memaknakan, berarti menjelaskan arti atau maksud
(Iskandar, 1989:790). Makna dinyatakan oleh Fisher, sebagai sesuatu yang tidak
selalu berarti studi tentang komunikasi manusia, atau makna hanya ada pada
setiap komunikasi verbal. Akan tetapi, senyatanya makna berada pada atau tanpa
adanya komunikasi, pada gambar-gambar juga mempunyai makna sebagai bahasa
visual yang dapat diterjemahkan untuk berbagai komunikasi (Fisher, 1978:349).
Persoalan meaning menurut (Fisher, 1978:342) selalu dilihat dalam
konteks komunikasi ‘bahasa’ atau ‘kata’. Padahal meaning itu dapat berada
dengan tanpa atau diluar konteks komunikasi bahasa, yakni komunikasi atas
hubungan manusia dengan suatu objek fisik atau karya seni
Bakker (Couto, 1997:104) menjelaskan manusia memisahkan mana yang
penting dan mana yang kurang penting baginya, yang penting adalah bermakna,
sesuatu yang bermakna selalu melibatkan totalitas jiwa karena manusia
berhadapan dengan sesuatu yang menyentuh.
Manusia dapat membaca makna itu melalui tanda-tanda, melalui objek-
objek alam tertentu, melalui stimuli-stimuli yang memungkinkan manusia untuk
menafsirkan, artinya manusia penerima stimuli-stimuli tanda,
21
menginterprestasikan atau menafsirkan. Makna sebenarnya hasil olah pikir serta
pengalaman seperti apa yang diklasifikasikan oleh Bloom (1956) tentang aspek
mental dan fisik manusia yang dibagi atas tiga ranah yaitu, ranah kognitif
(pengetahuan), ranah afektif (perubahan sikap dan tingkah laku), dan ranah
psikomotorik (keterampilan).
Menurut Wijana dan Rohmadi (2008:13) bahwa makna adalah bentuk
kebahasaan yang memiliki konsep dalam pikiran manusia yang disebut dengan
makna (sense). Konsep ini lazim berhubungan dengan sesuatu hal yang ada di luar
bahasa yang disebut referen (referent) dan bersifat internal.
Makna adalah konvensi sosial yang diorganisasi melalui relasi antar tanda
(Baker, 2000:18). Berbicara tentang ilmu tanda yang disebut dengan semiotika
berimplikasi terhadap dimungkinannya pengetahuan tanda yang objektif, yaitu
dibangun oleh penanda (media) dan pertanda (makna). Bagaimanapun pandangan
tentang stabilitas makna, maka makna akan menjadi arah pengetahuan yang pasti,
sebagaimana kebudayaan yang dimiliki bersama. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Spradley (1997:7) bahwa “Kebudayaan sebagai suatu sistem yang dimiliki
bersama, dipelajari, diperbaiki, dan dipertahankan secara bersama.
Keraf (1990:28-29) membagi makna dalam dua bagian yaitu, makna
denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif disebut juga makna proposional
karena bertalian dengan informasi-informasi yang bersifat faktual. Makna
konotatif disebut juga makna konotasional atau makna evaluatif, memilih konotasi
adalah masalah yang jauh lebih berat dari memilih makna denotatif. Makna
denotatif disebut juga makna kiasan. Menurut Couto (1998:115) tanda dapat
22
dibagi dalam dua signifikasi, yaitu: “signifikasi berdasarkan fungsi atau denotatif
dan signifikasi konotatif”. Konsep pokok dalam semiotik adalah “tanda” ‘sign’
yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis gejala budaya serta penanda dan
petanda yang merupakan unsur mentalistik. Dalam tanda, terungkap citra ataupun
konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan (Masinambow, 2002:11-12).
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam
pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam
berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk
memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa.
Semiotika adalah ilmu tanda (Bonta 1979:26, Chandler 1994:1, Eco
1976:3, Eco dalam Broadbent 1980:11, Noth 1990:3, Sudjiman 1992:vii, Sukada
1992:8); istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”.
Winfried Noth (1993:13) menguraikan asal-usul kata semiotika; secara etimologi
semiotika dihubungkan dengan kata Yunani sign dan signal. Tanda terdapat
dimana-mana : ‘kata’ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas,
bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur)
atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi
tanda. Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir
dengan sarana tanda. Tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi. Diantara
sekian banyak pakar tentang semiotika ada dua orang yaitu Charles Sanders Peirce
(1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang dapat dianggap sebagai
pemuka-pemuka semiotika modern (Noth 1990:39, Sudjiman 1992, Chandler
1994:1). Kedua tokoh inilah yang memunculkan dua aliran utama semiotika
23
modern : yang satu menggunakan konsep Peirce dan yang lain menggunakan
konsep Saussure. Ketidaksamaan itu mungkin terutama disebabkan oleh
perbedaan yang mendasar : Peirce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan
Saussure adalah cikal-bakal linguistik umum. Pemahaman atas dua gagasan ini
merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dasar
tentang semiotika.
Menurut Peirce kata ‘semiotika’, kata yang sudah digunakan sejak abad
kedelapan belas oleh ahli filsafat Jerman Lambert, merupakan sinonim kata
logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut
hipotesis Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda
memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi
makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika bagi Pierce
adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subyek
yaitu tanda (sign), obyek (object) dan interpretan (interpretant). Di sisi lain,
Saussure mengembangkan bahasa sebagai suatu sistim tanda. Sudaryanto (1994)
menyatakan hal yang sama bahwa linguistik dikenal sebagai disiplin yang
mengkaji bahasa, proses membahasa dan proses berbahasa. Semiotik dikenal
sebagai disiplin yang mengkaji tanda, proses menanda dan proses menandai.
Bahasa adalah sebuah jenis tanda tertentu. Dengan demikian dapat
dipahami jika ada hubungan antara linguistik dan semiotik. Saussure
menggunakan kata ‘semiologi’ yang mempunyai pengertian sama dengan
semiotika pada aliran Pierce. Kata Semiotics memiliki rival utama, kata
semiology. Kedua kata ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasikan adanya
24
dua tradisi dari semiotik (Sebeok 1979:63). Tradisi linguistik menunjukkan
tradisi-tradisi yang berhubungan dengan nama-nama Saussure sampai Hjelmslev
dan Barthes yang menggunakan istilah semiologi. Sedang yang menggunakan
teori umum tentang tanda-tanda dalam tradisi yang dikaitkan dengan nama-nama
Pierce dan Morris menggunakan istilah semiotics.
Kata Semiotika kemudian diterima sebagai sinonim dari kata semiologi.
Menurut Budi Sukada (1992:8), definisi semiotika tergantung pada siapa yang
dirujuk. Apabila Saussure yang dijadikan rujukan, maka yang dimaksud adalah
semiologi; a science that studies the life of signs within society. Sedang semiotika
yang digunakan maka yang dirujuk adalah buah pikiran Peirce : the study of
patterned human behaviour in communication in all its modes. Ahli-ahli
semiotika dari aliran Saussure menggunakan istilah-istilah pinjaman dari
linguistik. Pada masa sesudah Saussure, teori linguistik yang paling banyak
menandai studi semiotik adalah teori Hjelmslev, seorang strukturalist Denmark.
Pengaruh itu tampak terutama dalam ‘semiologi komunikasi’.
Teori ini merupakan pendekatan kaum semiotika yang hanya
memperhatikan tanda-tanda yang disertai maksud (signal) yang digunakan dengan
sadar oleh mereka yang mengirimkannya (si pengirim) dan mereka yang
menerimanya (si penerima). Para ahli semiotika ini tidak berpegang pada makna
primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha untuk
mendapatkan makna sekunder (konotasi). Menurut Saussure, tanda mempunyai
dua entitas, yaitu signifier (signifiant / wahana tanda / penanda / yang
25
mengutarakan / simbol) dan signified (signifie / makna / petanda / yang diutarakan
/ thought of reference).
Menurut Peirce (dalam Hoed,1992) semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu. Tanda juga bisa berupa lambang, jika hubungan antara tanda itu dengan
yang diwakilinya didasarkan pada perjanjian (convention), misalnya lampu merah
yang mewakili “larangan (gagasan)” berdasarkan perjanjian yang ada dalam
masyarakat. Burung Dara sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian;
burung Dara tidak begitu saja bisa diganti dengan burung atau hewan yang lain.
Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu, apabila “sesuatu”
disampaikan melalui tanda dari pengirim kepada penerima, maka sesuatu tersebut
bisa disebut sebagai “pesan”. Iklan dalam konteks semiotika dapat diamati sebagai
suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam
suatu sistim. Dalam semiotika, iklan dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu
hubungan antara signifier (signifiant) atau penanda dan signified (signifie) atau
petanda, seperti halnya tanda pada umumnya, yang merupakan kesatuan yang
tidak bisa dilepaskan antara penanda dan petanda.
Tabel 1: Penanda dan Petanda
signifier signified
wahana tanda
penanda
yang mengutarakan
symbol
makna
petanda
yang diutarakan
thought of reference
26
Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa dalam setiap obyek yang
dipakai oleh seseorang untuk mengungkapkan sesuatu kepada orang lain, selalu
memiliki peran gandanya sebagai “yang menandakan sesuatu” dan sekaligus
sebagai “yang ditandakan”. Sedang Charles Sanders Peirce seperti dikutip oleh
Noth (1990:42) mengemukakan bahwa tanda merupakan keterkaitan yang disebut
sebagai tripple connection of “sign, thing signified and cognition produced in the
mind”. Pendekatan yang dilakukan oleh Saussure disebut sebagai proses “diadik”
sedang pada Sanders disebut sebagai “triadik”, karena memang mencakup tiga hal
yakni tanda, hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran
seseorang pada waktu menangkap tanda tersebut. Beberapa model lain dari
semiotika adalah:
Signified ( Makna)
relation relation signifier (Simbol) actual function
objects properties (Fungsi)
Model segitiga Ogden-Richard
Sumber: Http://www.framepoythress.org/poythress_books/ogden richard trianggle/GCBI.BGI16RefO.htm.
Dalam penelitian ini digunakan pendapat Peirce yang menyatakan tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Tanda juga bisa berupa lambang, jika
hubungan antara tanda itu dengan yang diwakilinya didasarkan pada perjanjian
(convention). Kasua papan dijadikan tanda atau lambang bagi masyarakat
27
Tanjung Barulak setelah adanya penjanjian antara masyarakat nagari tersebut
untuk menjadikan Kasua papan sebagai ciri khas nagari Tanjung Barulak.
Menurut beberapa pendapat di atas, tanda bisa juga berupa lambang, dan
apabila ‘sesuatu’ disampaikan melalui tanda dari pengirim kepada penerima,
maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai pesan, begitu juga dengan Kasua
papan. Kasua papan sebagai benda budaya yang dipakai dalam upacara adat
perkawinan masyarakat nagari Tanjung Barulak adalah sebagai simbol, dimana
dengan adanya Kasua papan dengan bentuk dan tingkatannya, melambangkan
status dan derajat mempelai pria, dengan begitu masyarakat tidak perlu lagi
bertanya, karena Kasua papan hadir sebagai pesan yang disampaikan oleh tuan
rumah kepada para tamu yang hadir dalam upacara adat perkawinan.
3. Pelaminan Minangkabau dan Kasua Papan
a. Palaminan Minangkabau
Dalam masyarakat Minangkabau pelaminan dengan segala
perlengkapannya merupakan perangkat adat dan hasil seni budaya masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut. Menurut sumber sastra, pelaminan merupakan
alat kebesaran adat, dan tidak hanya berfungsi sekedar hiasan atau dekorasi untuk
keindahan seni belaka. Namun pelaminan juga digunakan untuk melaksanakan
adat istiadat Minangkabau, dan keberadaan pelaminan tidak dapat dipisahkan
dengan aturan dan ketentuan adat, ia melekat bagai kuku dan daging (Bandaro,
1988:1).
Masyarakat Minangkabau tidak mempunyai kasta dalam komunitasnya.
Namun, adat yang dianut meyakini adanya golongan-golongan yang ditinggikan
28
seranting dan didahulukan selangkah. Raja-raja dihormati karena keadilannya
memerintah, penghulu ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah karena
kebijaksanaan dalam menyelesaikan permasalahan, mewakili kaum dalam adat,
untuk menjaga dan melindungi anak kemenakannya. Raja dan penghulu diangkat
oleh masyarakat melalui tatanan urutan kepemimpinan yang berjenjang naik
bertangga turun, kemudian diberi keistimewaan serta hak-hak yang berbeda
dengan masyarakat biasa. Penghargaan dan hak-hak istimewa inilah yang
membentuk konsep kalau raja dan penghulu merupakan tingkatan dalam sebuah
strata masyarakat di Minangkabau. Oleh sebab itu pantas diberikan tempat yang
tinggi dan terhormat.
Rasa hormat dan kemuliaan yang diberikan kaum, anak kemanakan dalam
suatu wilayah nagari kepada raja dan penghulu, menyebabkan timbulnya hak-hak
istimewa bagi golongan mereka. Salah satu wujud rasa hormat dan kemuliaan
yang diberikan rakyat terhadap raja dan anak kemenakan terhadap penghulu,
makan raja dan penghulu didudukkan lebih tinggi dari rakyat, serta anak
kemenakannya.
Dengan keistimewaan tersebut, pada zaman dahulu palaminan semula
dipergunakan untuk tempat terhormat bagi orang-orang besar atau raja-raja atau
para bangsawan Minangkabau. Akan tetapi, sekarang sudah menjadi kebiasaan
dipakai untuk keperluan upacara perkawinan yang diibaratkan sebagai raja sehari.
Adapun yang berhubungan dengan kata palaminan ini mencakup tempat duduk
kebesaran anak daro dan marapulai saat bersanding. Tirai, payung emas, serta
tikar yang terbentang sekitar tempat bersanding anak daro dan marapulai. Namun
29
sejalan dengan perkembangan waktu dan zaman, palaminan sekarang tidak hanya
dipakai di rumah gadang. Selain itu, dulu palaminan hanya dipakai di rumah anak
daro, tetapi sekarang palaminan juga dipasang di rumah marapulai.
Pelaminan berfungsi sebagai bagian yang penting dalam suatu tatanan
dalam sebuah upacara adat perkawinan. Anak daro dan marapulai harus duduk
dipersandingkan di pelaminan. Ini membuktikan pelaminan sebagai tempat
‘resmi’ anak daro dan marapulai diterima secara adat yang disaksikan oleh
seluruh kaum kerabat kedua belah pihak.
Perkembangan lain yang juga terjadi adalah, dahulu palaminan dipasang
oleh rang sumando yang ada dalam kaum yang akan melaksanakan pesta
perkawinan. Sejalan dengan perkembangan zaman dan perubahan waktu,
sekarang pekerjaan itu sudah mulai beralih ke pihak lain. Palaminan tidak lagi
dipasang oleh rang sumando, tetapi langsung dipasang oleh orang yang
menyewakan palaminan tersebut. Walaupun demikian, masih ada di beberapa
nagari yang pemasangan palaminan tersebut dilakukan oleh pihak urang
sumando. Sistem pemasangan palaminan tersebut disesuaikan dengan ketentuan
adat.
Setiap rumah orang bangsawan, datuak, dan orang basa (besar) luhak
mereka mempunyai dan memasang pelaminan dirumahnya. Bentuk rumah mereka
beratap bagonjong. Didaerah rantau juga ada rumah adat yang dikenal dengan
rumah bakolam, atau disebut juga rumah rantau. Oleh karena itu, di Minangkabau
dulunya ada strata sosial diatas, maka dikenal tingkatan perhelatan sesuai dengan
kebangsawanan mereka.
30
Nagari Tanjung Barulak adalah salah satu nagari di Kabupaten Tanah
Datar, yang memiliki adat yang tidak jauh berbeda dari nagari lain di
Minangkabau, termasuk dalam pemakaian pelaminan dalam upacara adat
perkawinan. Selain memakai pelaminan di daerah ini juga memakai Kasua papan
sebagai benda budaya yang dipakai saat upacara perkawinan, dengan kata lain
pemasangan pelaminan dan Kasua papan sejalan, dengan begitu menunjukkan
bahwa pelaminan merupakan simbol budaya Minangkabau turun menurun dan
tidak dapat dihilangkan.
b. Kasua Papan
Secara visual, Kasua papan memiliki bentuk empat persegi panjang
dengan susunan yang bertingkat-tingkat, serta ditutup dengan kain yang dihias
dengan beberapa motif ragam hias yang berbeda. Pada wawancara pra penelitian
pada tanggal Senin tanggal 22 Februari 2011 di Tanjung Barulak dengan ibu
Aisyah (Bundo Kanduang Tanjung Barulak) dikatakan bahwa tingkatan itu
menunjukan strata atau derajat dari kerabat yang melaksanakan pesta perkawinan.
Jika ditinjau secara etimologi, istilah Kasua papan terdiri dari Kasua dan
papan. Kasua di Minangkabau memiliki pengertian ‘tempat tidur’ yang terbuat
dari kapas yang dibungkus dengan kain. Sedangkan papan memiliki pengertian
lain yaitu nama dari bentuk kayu dengan ukuran tertentu. Jadi kasua dan papan
memiliki pengertian yang berlawanan dengan bentuk dan kegunaan Kasua papan
yang dipakai sebagai benda adat dalam upacara perkawinan daerah Tanjung
Barulak.
31
Berdasarkan uraian di atas, Kasua papan bukan sekedar memiliki bentuk
yang indah sebagai penghias ruangan, akan tetapi merupakan sebagai bentuk
simbol yang mengandung nilai-nilai sosial, dan budaya. Hal ini dapat dilihat dari
bentuknya yang bertingkat, fungsi, dan motif ragam hias yang memiliki bentuk
berbeda-beda, serta mengandung makna dan menunjukan karakter kedaerahan
yang melekat pada masyarakat setempat. Begitu juga dengan eksisitensi dari
Kasua papan merupakan satu bentuk cerminan adat dari masyarakat Tanjuang
Barulak, karena Kasua papan merupakan wujud budaya visual yang tidak dimiliki
oleh daerah lain di Sumatera Barat, dan masih dipakai sampai sekarang.
4. Penelitian yang Relevan
Sejauh pengamatan penulis belum ada penelitian tentang Kasua papan.
Namun, penelitian yang mempunyai tingkat relevansi dengan penelitian ini adalah
yang dilakukan oleh Jupriani (2002) dengan judul “Pergeseran Motif Hias dan
Warna Antakesuma Suji pada Pelaminan dan Busana Penganten di Naras
Kabupaten Pariaman”. Penelitian ini mengungkapkan bahwa dewasa ini
antakesuma suji tradisi yang hampir hilang pada pelaminan dan busana pengantin
merupakan suatu bukti bahwa perubahan telah bergerak pada sisi yang
mengkhawatirkan. Disamping itu keberadaan antakesuma suji tradisi sudah
dianggap tidak lagi menopang ekonomi masyarakat pengrajinnya. Para pengrajin
cenderung lebih membuat antakesuma suji dengan ragam hias, teknik dan material
praktis, ekonomis, namun tetap fungsional.
Oleh sebab itu antakesuma suji yang memperindah pelaminan dan busana
pengantin sudah berorientasi pada kebutuhan pasar dan tren saat ini. Sehingga
32
tidak heran jika pelaminan dan busana penganten dalam helat perkawinan tidak
lagi berhiaskan sulaman tradisi yang selama kurun waktu yang sangat panjang
telah menjadi identitas masyarakat di beberapa tempat di Sumatera Barat
termasuk desa Naras. Dengan kondisi yang demikian tidak menutup kemungkinan
antakesuma suji sebagai perangkat adat dan sebagai salah satu budaya masyarakat
minangkabau hanya akan menjadi catatan sejarah dan tidak lagi dikenali
keberadaannya.
Melihat kondisi antakesuma suji di atas, bagaimana pergeseran motif hias
dan warna antakesuma suji pada pelaminan dan busana penganten yang
dikerjakan dengan cara tradisi dan dikerjakan dengan cara modern atau mesin,
kemudian dilihat sebagai teknik, nilai estetis apakah yang melekat pada pelaminan
dan busana penganten masa lalu dan masa kini. Kemudian dilihat apakah ada
kesinambungan motif hias dan warna dari pelaminan masa lalu kepada pelaminan
masa kini.
Seiring dengan penelitian Jupriani, yang mempunyai tingkat relevansi
dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Novi Rahmanita
(2010) dengan judul “Ragam Hias Pelamian Nareh Pariaman (Aspek Estetika dan
Unsur Pembentuknya)”. Penelitian ini mengungkapkan bahwa seni kerajinan
sulaman pelaminan Nareh Pariaman sebagai salah satu bentuk kerajian tradisional.
Apabila dilihat ragam hias pelaminan adanya pengaruh dari Cina dan Gujarat. Hal
ini bisa dilihat dengan adanya ragam hias Cina seperti burung Pheonix dan singa
yang menghiasi unsur-unsur yang ada pada pelaminan, sedangkan pengaruh
Gujarat, dapat kita lihat pada sulama kaca yang terdapat pada unsur pelaminan.
33
Seni kerajinan sulaman pelaminan Nareh Pariaman memiliki struktur-
struktur atau unsur-unsur yang satu sama lainnya saling terkait dan tidak dapat
dipisahkan di dalam pemakaiannya. Struktur-struktur tersebut dihiasi oleh ragam
hias Minangkabau, ragam hias yang bersumber pada falsafah Minang “alam
takambang jadi guru” struktur maupun ragam hias tersebut mempunyai makna
simbolik yang didalamnya mengandung ajaran bagi masyarakat Minangkabau
pada umumnya, khususnya masyarakat Nareh Pariaman .
Keindahan sulaman pelaminan sebagai kerajinan tradisional masyarakat
Nareh Pariaman secara visual bisa dilihat dari ragam hias yang ditampilkan,
fungsi, gaya, dan struktur sulaman pelaminan yang dihasilkan. Keberadaan seni
kerajinan sulaman pelaminan ini berkembang dan mampu bertahan dalam
persaingan industri global. Hal ini tidak lepas dari beberapa faktor pengaruh
sosio-kultural, sehingga keberadaan sulaman pelaminan yang tetap bertahan
ditengah masyarakat pendukungnya.
Kedua peneliti di atas lebih mefokuskan penelitian mereka kepada
sulaman yang ada pada pelaminan di daerah Nareh Pariaman, sedangkan
penelitian ini lebih memfokuskan kepada bentuk, fungsi dan makna Kasua papan
yang digunakan dalam pesta perkawinan di nagari Tanjung Barulak Kabupaten
Tanah Datar.
5. Kerangka Konseptual
Makna simbolik Kasua papan sebagai pelaminan dapat didekati dengan
teori interaksi simbolik. Dalam falsafah, interaksi simbolik lebih memandang
kepada pengalaman yang dilakukan manusia yang dimediai oleh interpretasi-
34
interpretasi. Segala macam objek, orang, situasi, dan berbagai peristiwa dimaknai.
Tiga asumsi yang mendasari pandangan ini adalah (1) orang yang berbuat
terhadap sesuatu atas makna yang dimiliki sesuatu padanya, (2) makna tersebut
diperoleh orang melalui interaksi antar mereka sehari-hari, dan (3) makna-makna
ini dipegang (dijadikan acuan) dan diubah melalui proses interpretasi yang
digunakan orang dalam hubungan dengan sesuatu yang dihadapinya (Sanafiah,
1990:15)
Poloma (dalam Pelly, 1994: 86) mengemukakan bahwa interaksi simbolik
dapat dipelajari dari karya-karya G. H Mead. Interaksi simbolik dapat dilakukan
dengan bahasa sebagai salah satu simbol yang terpenting disamping isyarat. Akan
tetapi simbol-simbol tersebut bukan merupakan faktor-faktor yang telah terjadi
(given), dia merupakan suatu proses yang berlanjut, yaitu proses penyampaian
makna. Penyampaian simbol dan makna inilah yang menjadi subject matter dalam
interaksi simbolik.
Sparber (dalam Pelly, 1994: 85) menjelaskan interaksi simbolik bukan
hanya sekedar kode atau tanda, tetapi lebih merupakan suatu improvisasi yang
implisit (tersirat) dan mengikuti aturan yang tidak disadari. Artinya, bahwa
simbolis bukanlah hanya merupakan sebagai suatu alat (instrument) dari
komunikasi sosial, tetapi merupakan suatu kelengkapan yang lahir dalam mental
yang membuat pengalaman manusia dimungkinkan bermakna.
35
Kerangka konseptual penelitian ini sebagai berikut:
s
Kasua papan
Bentuk Fungsi Makna Simbolis
Analisis Faktual
Adat Istiadat
Budaya
Upacara Adat Perkawinan
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif,
yang bersifat deskriptif analisis. Mulyana (2004:150) secara tersirat menyatakan
“penelitian kaulitatif bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang otentik
mengenai pengalaman orang-orang, sebagimana dirasakan orang-orang yang
bersangkutan”. Metode ini sebagai prosedur untuk menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan.
Menurut Sugiyono, (2005:1) metode penelitian kualitatif sering disebut
metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting), disebut juga metode etnographi, karena pada awalnya
metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya.
Dasar pemikirannya adalah karena metode ini lebih dekat untuk melihat atau
mengkaji aktivitas-aktivitas yang erat hubungannya dengan pengamatan etnografi
suatu masyarakat, serta dapat melihat suatu realitas pada kehidupan tradisi.
Dengan metode kualitatif, akan didapatkan gambaran tentang konsep-
konsep, nilai-nilai budaya yang tersimpan dalam Kasua papan, serta gambaran
tentang adat istiadat masyarakat Minangkabau, baik yang terlihat melalui
aktivitas-aktivitas mereka dalam melaksanakan upacara adat istiadat maupun
makna simbol dan perlambangan yang terkandung pada Kasua papan tersebut.
35
36
Penelitian ini memanfaatkan pendekatan kajian budaya sebagai pendekatan yang
utama.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah Sumatera Barat, yang difokuskan pada
wilayah nagari Tanjung Barulak, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar.
Karena di wilayah inilah Kasua papan sebagai benda adat perkawinan digunakan.
C. Informan Penelitian
Pemilihan informan yang tepat merupakan satu keharusan dan menjadi
syarat mutlak dalam upaya mendapatkan data akurat yang dibutuhkan. Seperti
yang dikemukakan Agustiar (2002:3) bahwa langkah-langkah dalam pemilihan
informan yang tepat termasuk satu tindakan penelitian yang sangat krusial karena
hal ini sangat menentukan kualitas data dan informasi yang diperoleh. Calon
informan telah cukup lama menyatu dan memahami secara luas tentang situasi
sosial yang menjadi fokus penelitian. Orang yang terkait dengan budaya Tanjung
Barulak dan Kasua papan khususnya yang terdiri dari tokoh adat, Bundo
kanduang, dan lainnya, yang menjadi informan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bapak B. Angku Dt Manggadai, selaku ketua KAN nagari Tanjung
Barulak
2. Ibu Siti Aisyah, selaku ketua Bundo Kanduang nagari Tanjung Barulak.
3. Ibu Nurma, selaku penjahit Kasua papan.
4. Ibu Melyuni, selaku Bundo Kanduang nagari Tanjung Barulak
5. Ibu Hj. Zubainar, selaku penyewaan Kasua papan.
37
6. Bapak Dt. Rajo Lelo, Cadiak Pandai nagari Tanjung Barulak
7. Bapak Musra Dahrizal (Mak Katik), Budayawan/Cadiak Pandai nagari
Batipuh.
8. Erma Yeni, Masyarakat nagari Tanjung Barulak
Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap peneliti juga mengumpulkan
data dari cadiak pandai dan masyarakat sekitar nagari Tanjuang Barulak yang
berkompeten tentang Kasua papan. Wawancara ditunjang pula oleh penggunaan
sejumlah perangkap alat rekam, alat rekam dimanfaatkan untuk menyimpan data
secara elektrik dengan ciri atau karakter yang relatif sama dengan kondisi aslinya,
alat rekam tersebut yakni kamera foto.
D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan demikian
prosedur dalam pengolahan data lebih mengutamakan penggunaan teknik analisis
deskriptif. Teknik analisis deskriptif digunakan karena sasaran dalam penelitian
ini merupakan masalah-masalah yang terkait dengan proses kehidupan
masyarakat, terutama yang menyangkut tentang adat, fenomena-fenomena
berkesenian, khususnya perilaku kelompok masyarakat yang dijadikan sebagai
subyek penelitian dalam memperlakukan benda budaya. Adapun teknik
pengumpulan data, adalah sebagai berikut ini,
(1) Kajian Pustaka, mempelajari data-data tertulis yang telah ada dari beberapa
buku sumber untuk dijadikan sebagai dasar pemikiran sebelum terjun ke
lapangan. Data tertulis tersebut berkaitan dengan keadaan geografis,
keadaan sosial budaya dan latar belakang budaya masyarakat
38
Minangkabau. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara umum hal-hal
yang akan diteliti, di samping mempermudah melakukan pencarian data.
(2) Observasi, dilakukan untuk pengenalan awal daerah penelitian yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam melakukan observasi diperoleh gambaran
dari masing-masing daerah penelitian serta mengenal secara umum
upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat daerah tersebut.
Observasi dirasakan sangat bermanfaat untuk pengenalan daerah serta
budaya setempat sehingga dapat mengatur strategi untuk melaksanakan
pengambilan data. Di samping itu peneliti juga telah memperoleh
informasi tentang informan yang berkompeten yang akan dijadikan
sebagai nara sumber, sehingga peneliti mendapatkan kemudahan-
kemudahan untuk menjaring data sesuai dengan sasaran dalam penelitian
ini.
(3) Pengamatan secara langsung, data diharapkan dapat diperoleh dengan
melaksanakan pengamatan secara langsung terhadap Kasua papan yang
telah diteliti. Dari pengamatan secara langsung ini kemungkinan dapat
mendokumentasikan Kasua papan yang sebenarnya. Dengan pengamatan
ini didapatkan deskripsi-deskripsi serta catatan-catatan tentang upacara
adat perkawinan, sehingga diperoleh data tentang kebiasaan-kebiasaan dan
perilaku yang ditangkap dalam kehidupan budaya pada waktu-waktu
tertentu. Hal ini dapat dilaksanakan dengan mengamati secara langsung
upacara adat perkawinan. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan cara
berperan serta dalam kelompok masyarakat sebagai sub-subyek yang telah
39
diamati, sehingga dapat diperoleh informasi tentang data-data apa saja
yang dibutuhkan. Di samping itu, dapat diketahui sejauh manakah
spiritualitas masyarakat dalam melakukan upacara adat perkawinan
tersebut.
(4) Wawancara, dilakukan untuk menjaring data-data tentang struktur dan
bentuk Kasua papan, serta makna dan nilai-nilai yang dapat diungkap
melalui Kasua papan tersebut. Hal ini dilakukan dengan mewawancarai
beberapa orang nara sumber, seperti; pemuka adat, tokoh masyarakat,
budayawan, bundo kanduang, niniak mamak dan sebagainya. Ada
bermacam-macam cara atau jenis wawancara di antaranya yang
diterapkan dalam penelitian ini adalah wawancara pembicaraan informal
dan dengan pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara. Pada
wawancara pembicaraan informal lebih banyak bergantung pada
spontanitas dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden
atau para informan yang diwawancarai. Sementara dengan menggunakan
petunjuk umum wawancara, mengharuskan pewawancara membuat
kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses
wawancara, yang penyusunannya dibuat sebelum wawancara dilakukan.
Di samping itu, agar lebih memahami data dan kebenaran yang diperoleh
dari hasil wawancara ini, dilakukan dengan teknik dialogical
interpretation, yaitu bentuk dialog antara peneliti dengan informan untuk
menangkap makna obyektif dan makna subyektif dari para informan.
40
(5) Dokumentasi, dilakukan untuk memperoleh data berbentuk foto-foto dari
Kasua papan pada daerah penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
Hasil dokumentasi tersebut akan dapat dijadikan sebagai bukti dari obyek
penelitian. Pendokumentasian dilakukan kepada para bundo kanduang,
karena pada merekalah wewenang Kasua papan tersebut diberikan.
Informasi yang diperoleh dilapangan ditunjang dengan alat pengumpul
data, alat yang digunakan adalah kamera digital, Handpone, serta buku catatan
yang digunakan untuk mencatat data-data yang ada dilapangan.
E. Teknik Penjaminan Keabsahan Data
Licoln & Cuba (1984), menjelaskan bahwa dalam memperkuat kesahihan
data hasil temuan dapat menggunakan standar keabsahan data yang terdiri dari:
1. Keterpercayaan (cridibility)
Keterpercayaan dilakukan dengan cara: (a) keikutsertaan dalam budaya
masyarakat nagari Tanjung Barulak, hal ini dilakukan secara tidak
tergesa-gesa agar semua aspek yang dibutuhkan didapatkan secara
maksimal, (b) ketekunan pengamatan karena informasi dari para aktor
perlu ditinjau lagi demi mendapatkan data yang sahih, menerima saran
dan masukan dari pihak lain, agar dapat memperkaya penelitian ini,
yaitu: pengecekan kepercayaan data dengan memanfaatkan sumber-
sumber informasi, metode, dan teori, (c) melakukan triangulasi , yaitu
pengecekan kepercayaan data dengan memanfaatkan sumber-sumber
informasi, metode, dan teori-teori atau mengecek kebenaran dengan
membandingkan data yang diperoleh menurut sumber yang berbeda.
41
2. Keteralihan ( transferbility)
Diharapkan laporan penelitian ini mendapat gambaran yang jelas
mengenai situasi yang sebenarnya agar penelitian ini dapat
diaplikasikan atau diberlakukan kepada konteks atau situsi yang lain
sejenis, untuk memenuhi standar transfebility dengan cara
memperkaya deskripsi tentang konteks dan fokus penelitian.
3. Dapat dipertanggung jawabkan ( dependability)
Berusaha konsisten secara keseluruhan mulai dari pengumpulan data,
menginterpretasikan temuan, agar mencapai tujuan yang diinginkan ,
semua aktifitas peneliti harus ditinjau ulang terhadap data yang telah
diperoleh dengan memperhatikan konsistensi dan dapat dipertanggung
jawabkan.
4. Dapat diakui ( confirmability )
Data atau informasi yang diperoleh selama penelitian dapat diakui dan
dipertanggung jawabkan kebenarannya sesuai fokus dan latar alamiah
penelitian yang dilakukan.
Dari sisi keterkaitannya dengan sumber data, data dibedakan atas dua,
yakni data primer dan data skunder. Dalam penelitian terhadap Bentuk, Fungsi,
dan Makna Simbolis Kasua Papan sebagai Pelaminan Adat Nagari Tanjuang
Barulak Kabupaten Tanah Datar, seluruh keterangan mengenai Kasua papan
sebagai Pelaminan Adat diperoleh secara langsung, artinya diperoleh pada saat
survey mengambil data kelapangan. Data primer juga diperoleh melalui
42
keterangan narasumber yang benar-benar mengetahui bentuk, fungsi, dan makna
simbolis Kasua papan sebagai pelaminan adat nagari Tanjung Barulak.
F. Teknik Analisis Data
Pengolahan data sejalan dengan pengumpulan data dengan menggunakan
model analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Hubberman
(1992:20). Dalam analisis ini ada tiga komponen yang berkaitan (a) reduksi data
(b) sajian data (c) penarikan kesimpulan.
Reduksi data adalah proses penyelesaian data objek penelitian sesuai
dengan kebutuhan, meliputi hasil observasi, wawancara maupun data tertulis,
langkah ini penting dilakukan agar data yang terkumpul betul-betul dapat menjadi
komponen jawaban pertanyaan penelitian. Tindakan ini merupakan bagian dari
analisis data untuk disajikan dalam bentuk teks naratif, tabel dan gambar.
Selanjutnya data yang telah direduksi dan disajikan dalam bentuk teks naratif serta
tabel dan foto-foto dianalisis. Proses analisis tersebut dapat digambarkan dalam
skema berikut:
Analisis data
Adaptasi model Miles dan Huberman (1992)
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan Kesimpulan- kesimpulan/Verifikasi
43
BAB IV
DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Temuan Umum
Dalam bab ini akan dideskripsikan hasil dari penelitian yang berkenaan
dengan masyarakat nagari Tanjung Barulak dan kebudayaannya, yang
pemaparannya di awali dengan kawasan penelitian yang berisi asal usul, keadaan
geografis nagari Tanjung Barulak, sosial budaya masyarakatnya. Sementara itu
juga dipaparkan tentang bentuk, fungsi, dan makna Kasua papan.
1. Kawasan Penelitian
Kawasan penelitian ini adalah di nagari Tanjung Barulak Kecamatan
Batipuh Kabupaten Tanah Datar. Dimana asal usul nagari Tanjung Barulak terkait
dengan masa lampau sejarah masyarakat Minangkabau yang menurut tambo
diyakini turun dari Gunung Berapi menuju Pariangan, dan kemudian menyebar
nenek moyang ke daerah-daerah lain, setelah berkembang biak di Pariangan dan
masyarakatnya semakin banyak, sebagian dari mereka ada yang singgah dan
menetap disuatu tempat yang bernama nagari Tanjung Barulak. Proses terjadinya
nagari Tanjung Barulak sama dengan proses terjadinya nagari di Minangkabau
pada umumnya.
Wawancara dengan Angku Dt. Mangada’i (25 Februari 2011), tempat
awal bermukim nenek moyang masyarakat Tanjung Barulak adalah suatu tempat
di Jorong Kapalo Koto yang bernama Kampuang Balik, yang pada mulanya
adalah sebuah taratak. Menurut legenda yang berkembang pada masyarakat
43
44 Tanjung Barulak, ada dua versi yang menerangkan tentang nagari Tanjung
Barulak. Versi yang pertama dari kondisi geografis nagari Tanjuang Barulak,
berasal dari nagari yang berbentuk tanjung, karena disetiap tempat yang sekarang
bernama jorong, selalu ada tanjung. Diantara tanjung tersebut selalu dibatasi oleh
air yang biasa disebut masyarakat sekitar anak aie. Pada zaman dahulu, anak aie
tersebut oleh nenek moyang bernama ulak an. Maka dari itulah nagari ini disebut
Tanjung Ulak yang dalam perjalanan sejarah menjadi Tanjung Barulak.
Dt. Mangada’i menambahkan, ada versi kedua yang terkait dengan
kerajaan Pagaruyung yaitu setelah diangkatnya Adityawarman menjadi raja
Pagaruyung, maka pada suatu hari berangkatlah raja tersebut beserta beberapa
anak buahnya menyusuri tempat yang belum terjamah dengan menggunakan
transportasi air. Dari daerah Pagaruyung sampailah beliau dan rombongan di
Danau Singkarak. Setiba beliau di Singkarak, beliau mendapati tempat yang
sangat strategis untuk dijadikan tempat bermukim. Maka tinggallah beliau
beberapa saat di Singkarak. Setelah mengetahui bahwa tempat di nagari tersebut
telah berpenghuni, maka beliau mengirim utusan ke nagari tersebut yang bernama
Kampuang Balik sebagaimana tujuan raja tersebut mengirim utusan untuk
memerintah disana untuk mengikuti aturan raja Adityawarman. Namun setelah
nenek moyang berunding, maka dapatlah keputusan untuk menolak utusan raja
tersebut. Akhirnya nagari ini dinamai Tanjung Barulak, maksudnya penolakan
atau utusan raja. Dinamai Tanjung Barulak karena menolak utusan raja
Pagaruyung tersebut.
45
Gambar 1: Peta lokasi Kabupaten Tanah Datar Koordinat : 00' 17" LS - 00' 39" LS dan 100' 19" BT – 100' 51" BT
(Repro internet, 2011)
Gambar 2: Peta administrasi Kabupaten Tanah Datar (Repro internet, 2011)
Kecamatan Batipuh
46
Gambar 3: Peta Wilayah Nagari Tanjung Barulak Sumber: Data Kantor Wali Nagari Tanjung Barulak (2011)
2. Letak Geografis
Nagari Tanjung Barulak terletak pada 00 . 17 s/d 00 . 39 LS dan
100 . 91 s/d 100 BT. Mempunyai luas wilayah 4.581 Km, terletak pada
ketinggian 450 s/d 550 m diatas permukaan laut, dengan tingkat kesuburan tanah
yang sangat subur 35%, subur 48%, lain-lain 17%. Daerah ini mempunyai suhu
26 C dengan curah hujan 4.320 mm. Sumber air daerah ini berasal dari mata air
pute’, air tawar talago batuang, pincuran sunsang. Dengan irigasi tali banda
darek, sawah batu ampa, pamatan, dan banda singkek, nagari Tanjung Barulak
ini mempunyai lahan persawahan 2500 Ha, lahan kering 10 Ha, Ladang 753 Ha,
dan pemukiman masyarakat 1581 Ha. (Data Kantor Wali Nagari Tanjung Barulak,
2011)
47
Nagari yang berada di dataran tinggi tidak terpadu dengan dataran
rendah. Tanaman holtikultura hanya ditemukan sekitar lereng perbukitan yang
membentang sebalah utara dan timur areal persawahan. Desa-desa di dataran
rendah ditanami padi untuk kebutuhan sendiri, disamping itu ada pula daerah
tanaman ladang.
3. Sosial Budaya
a. Pola Hidup
Tata kehidupan masyarakat nagari Tanjung Barulak selalu memegang
teguh ajaran agama dan adat istiadat yang berlaku dalam nagari. Penyelenggaraan
pemerintahan dalam pelaksaan pembangunan selalu menggunakan jalan
musyawarah mufakat setiap mengambil keputusan dengan melibatkan semua
unsur masyarakat yang ada seperti ninik mamak, cadiak pandai, alim ulama,
bundo kanduang dan pemuda yang terakomodir dalam wadah lembaga Badan
Permusyawaratan Rakyat Nagari.
Zaman era globalisasi sekarang, perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi juga memberikan dampak negatif pada peraturan nilai- nilai agama
dan adat istiadat, disinilah peran penting tokoh agama dan adat untuk
mengantisipasi dampak negatif masuknya pengaruh dari luar yang dapat merusak
nilai-nilai agama dan adat istiadat tersebut dengan mendorong agar masyarakat
dengan menghayati dan mengamalkan filosofis ABS-SBK dalam kehidupan
sehari-hari.
Salah satu ciri masyarakat nagari Tanjung Barulak dan telah menjadi
kebiasaan sebagaimana budaya masyarakat Minangkabau yaitu merantau.
48 Masyarakat nagari Tanjung Barulak yang merantau lebih didominasi oleh
penduduk laki-laki yang berumur 18/25 tahun dengan kota tujuan yang beragam
dan tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia dan bahkan ada yang merantau
sampai keluar negeri yaitu Kuala Lumpur. Masyarakat Tanjung Barulak yang
merantau tersebut tergabung dalam wadah organisasi Ikatan Keluarga Tanjung
Barulak (IKTB). (Data kantor Wali Nagari Tanjung Barulak, 2011)
Penduduk nagari Tanjung Barulak pada umumnya bersifat homogen bila
dilihat dari pemeluk agama yaitu agama islam sebanyak 100% dari jumlah
penduduk nagari Tanjung Barulak. Seiring dengan kebijakan pemerintah Propinsi
Sumatera Barat “babaliak ka nagari” di era otonomi daerah, belum mampu
diterjemahkan secara konkrit ditengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga
muncul kekhawatiran makin luntur dan rendahnya pemahaman agama bagi
generasi muda. Untuk mengantisipasi hal ini telah dilakukan berbagai langkah dan
upaya bagi masyarakat nagari Tanjung Barulak untuk membangun mesjid,
mushalla dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dengan menyediakan
sarana dan prasarana ibadah serta pengembangan kegiatan keagamaan.
b. Ekonomi
Keadaan ekonomi nagari Tanjung Barulak secara umun dikelompokkan
menjadi 3 yaitu: 1) Faktor Alam (sumber daya akam), 2) Faktor Manusia (sumber
daya manusia), 3) Faktor Lingkungan Sosial Masyarakat. Dari ketiga faktor
tesebut memberikan berbagai kemungkinan atau peluang yang memiliki potensi
untuk diolah atau dikelola dan dikembangkan sehingga memberi keuntungan dari
segi ekonomi, peluang akan semakin terbuka apabila faktor kualitas sumber daya
49 manusia sudah dapat diandalkan, namun pemanfaatan sumber daya alam harus
sesuai dangan konsep pembangunan berwawasan lingkungan.
Berdasarkan hasil pendataan penduduk nagari Tanjung Barulak banyak
bekerja disektor pertanian yaitu sebanyak 1.332 jiwa dan pedagang 734 jiwa
(Data Kantor Wali Nagari Tanjung Barulak, 2011) Banyaknya penduduk nagari
Tanjung Barulak yang bekerja disektor pertanian karena didukung dengan kondisi
lahan yang subur dan iklim yang mendukung dan selanjutnya bekerja disektor
perdagangan karena sudah menjadi karakter dan watak penduduk nagari Tanjung
Barulak.
c. Kepemimpinan
Nagari Tanjung Barulak merupakan salah satu nagari yang terkait dengan
pemerintahan kerajaan Pagaruyung pada masa lampau, tempat kedudukan salah
satu pimpinan kerajaan Pagaruyung yaitu Basa Ampek Balai, Secara harfiah, Basa
Ampek Balai artinya Besar (pembesar) Empat Balai yaitu sebuah dewan mentri
yang masing-masing mentri mempunyai masing-masing sebuah balai pertemuan
(Balairuang atau Balerong) yang berfungsi sebagai kantor tempat ia menjalankan
tugasnya.
Menurut Dt Maruhun Batuah (1956) Bidang pemerintahan di laksanakan
oleh Basa Ampek Balai (mentri), yang berada disekitar Tanah Datar terletak: 1)
Suruaso, tempat kedudukan Indomo (semacam menteri pertahanan), 2) Padang
Ganting, tempat kedudukan Tuan Kadhi, 3) Sungai Tarab, kedudukan Datuk
Bandaro (semacam perdana mentri) dan Sumanik, tempat kediaman Machudum
(semacam menteri Keuangan). Raja Tigo Selo maupun Basa Ampek Balai
50 berkedudukan sebagai pemerintahan di alam Minangkabau. Salah seorang
penghulu pucuk dianggap sebagai raja sebagaimana berlaku pada kerajaan
Melayu-Sriwijaya dan Melayu Minangkabau yaitu berlaku sistim pemerintahan
Koto Piliang.
Sementara itu pemerintahan nagari-nagari di Minangkabau tetap
berlangsung unsur kepemimpinan ninik mamak (pengulu dan aparatnya), alim
ulama dan cendikiawan yag berperan memimpin anak kemenakan. Penggantian
raja-raja (Yang Dipertuan Basa) didasarkan pada prinsip Patrilineal (adat
Katumanggungan), sedangkan masyarakat nagari-nagari berlaku prinsip
Matrilineal.
Dahulunya Minangkabau ada dua partai, yaitu partai Koto Piliang dan
partai Bodi Caniago, Koto Piliang konon berasal dari perkataan ‘kata yang
pilihan’, sedang Bodi Caniago berasal dari perkataan ‘budi tak curiga’, partai
Koto Piliang dikepalai oleh Datuk Ketumanggungan, dan partai Bodi Caniago
dikepalai oleh Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Temanggung dan Patih adalah
nama pangkat kebesaran orang yang memerintah. Menurut riwayat, kedua
pemimpin ini adalah se-ibu tapi berlainan bapak, yang tua yaitu Datuk
Katumanggungan adalah anak dari Indera Jati yaitu keturunan raja-raja (nigrat)
dan adiknya Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah anak dari Catri Bilang Pandai
(Dt. Maruhun,1956:33).
Kelarasan Koto Piliang menganut Adat Berjenjang Naik Bertangga
Turun, jenjang yaitu tempat mulai naik dan tangga artinya tempat mulai turun,
dengan kata lain sembah naik dari anak buah kepada pemimpin mestilah melalui
51 jenjang, dan titah turun dari pemimpin kepada anak buah mestilah melalui tangga.
Antara anak buah dan pemimpin tidak ada hubungan langsung, melainkan mesti
melalui saluran yang telah ada, begitupun sebaliknya. Ingatlah antara jenjang dan
tangga ada beberapa anak jenjang yang mesti dilalui. Sebagaimana pepatah
Minang:
Bajanjang naiak batanggo turun Naiek dari janjang nan dibawah Turun dari tanggo nan diateh Babilang dari aso Mangaji dari alieh Kamanakan barajo kamamak Mamak barajo kapanghulu Panghulu barajo ka mufakat Mufakat barajo ka nan bana Bana badiri sandirinyo Nan manuruik aluah jo patuik
(berjenjang naik bertangga turun, naik dari jenjang yang dibawah, turun dari tangga yang diatas, berbilang dari esa, mengaji dari alif, kemenakan balajar ke mamak, mamak belajar ke penghulu, penghulu belajar ke mufakat, mufakat belajar ke kebenaran, kebenaran berdiri sendiri, menurut alur dan patut).
Kelarasan Bodi Caniago lain pula halnya, kelarasan ini tidak memakai
adat berjenjang naik bertangga turun, melainkan setiap masalah langsung dibawa
kepada kerapatan nagari, tidak diberi kesempatan membanding, karena kerapatan
inilah mahkamah tertinggi, seperti pepatah ‘Rumah sudah tukang dibunuh, tidak
boleh dituras lagi’ (tidak boleh ditiru bangunannya). (Dt. Maruhun,1956: 35).
Sebagaimana pepatah Minang dibawah ini:
52
Putuih rundiang di sakato Rancak rundiangdi pakati Dilahia alah samo nyato Di bathin samo dihati Talatak suatu di tampeknyo Di dalam cupak jo gantang Di lingkuang barih jo balabeh Nan dimakan mungkin jo patuik Dalam kanduangan adat jo pusako
(Putus rundingan di sekata Baik rundingan disepakati Di lahir sudah sama nyata Di bathin sama dapat dilihat Terletak sesuatu pada tempatnya Di dalam takaran dengan ukuran Di lingkungan baris dan aturan Yang dimakan yang mungkin dan yang patut Dalam kandungan adat dan pusaka)
Sungguhpun laras Koto Piliang dan laras Bodi Caniago berlainan corak
melakukan hukum, tetapi keduanya ini mempunyai dasar yang sama yaitu, elok
kata dalam mufakat, buruk kata diluar mufakat. Jadi, Minangkabau tidak terdapat
batas yang khas antara kedua kelarasan ini, adat yang dipakai dalam kedua
kelarasan ini sudah bercampur aduk sesuai dengan kemajuan zaman. Tanda lahir
yang dapat kita lihat sekarang tentang keadaan kedua kelarasan ini adalah balai-
balainya. Balai-balai Koto Piliang beranjung bertingkat-tingkat bertimbal balik,
karena kedudukan penghulu dalam kelarasan tidak sama, sedang lantainya
ditengah-tengah putus. Balai-balai orang Caniago adalah datar mengibaratkan
tegak sama tinggi duduk sama rendah.
Adat Koto Piliang disebut juga hujan datang dari langit, artinya segala
inisiatif datang dari pihak atasan, adat Bodi Caniago disebut juga air terbasut dari
bumi artinya segala inisiatif datang dari anak buah.
53
Pelaksanaan adat secara umum adat Minangkabau mengajak
masyarakatnya untuk bertingkah laku baik dan bermoral mulia, tata kehidupan
masyarakat Minangkabau didasarkan pada falsafah hidup “adat basandi syara’,
syara’ basandi kitabullah” yang mempunyai makna syara’ mangato adat
mamakai.
Sesuai dengan yang diuraikan Hakimi Idrus (1973:137)
mengelompokkan adat atas: ( 1) Adat Nan Sabana Adat, (2) Adat Nan Diadatkan,
(3) Adat Nan Teradat, (4) Adat Istiadat. Yang mana, 1) Adat Nan Sabana Adat
adalah suatu peraturan yang seharusnya menurut alur dan patut, seharusnya
menurut agama Islam (syarak), menurut perikemanusiaan, adil dan beradab,
sebelum masuknya agama Islam di Minangkabau, adat ini merupakan satu aturan
dalam masyarakat yang dicontoh dan dipelajari oleh nenek moyang orang
Minangkabau, yakni Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumnggungan
dari ketentuan-ketentuan alam yang nyata. 2) Adat Nan Diadatkan, peraturan
yang dibuat oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan, yang
dicontoh dari Adat Nan Sabana Adat dan dilukiskan peraturan itu dalam
peraturan itu dalam pepatah, yakni persolan yang bersangkutan dengan peraturan
hidup masyarakat dalam segala bidang. 3) Adat Nan Teradat, peraturan yang
dibuat secara bersama oleh para penghulu, ninik mamak dan pemangku nagari
untuk mencapai tujuan yang baik dalam masyarakat, merupakan peraturan
pelaksanaan dari undang-undang pokok adat, adat ini tidak sama tiap nagari,
tetapi yang menyangkut dengan undang-undang pokok adat seluruh Minangkabau
adalah sama. 4) Adat Istiadat, kebiasaaan dalam suatu nagari atau satu golongan ,
54 yang berupa kesukaan dari masyarakat itu sendiri, umpamanya bunyi-bunyian,
permainan, olah raga, dan sebagainya.
Adat Nan Sabana Adat dan Adat Nan Diadatkan oleh Dt Parpatiah Nan
Sabatang dan Dt Katumanggungan disebut dengan Adat Babuhua Mati,
sedangkan Adat Babuhua Sentak adalah Adat Teradat dan Adat Istiadat, yang
keduanya ini dapat diubah bentuknya dengan tidak mengubah dasarnya
(sendinya).
d. Sejarah Kasua Papan
Nagari Tanjung Barulak adalah adalah salah satu nagari yang terdapat di
Kecamatan Patipuh Kabupaten Tanah Datar seperti halnya nagari-nagari yang ada
di Minangkabau. Setiap nagari mempunyai Ninik Mamak yang di tua kan dan
dianggap sebagai pemimpin kaum, begitupun nagari Tanjung Barulak mempunyai
20 (dua puluh) orang Ninik Mamak.
Wawancara dengan bapak Dt. Rajo Lelo (17 Mei 2011), awal mula
Kasua papan dipakai sebagai simbol kebesaran adat nagari Tanjung Barulak,
ketika para ninik mamak (angku) berembuk untuk mencari atau menentukan ciri
khas dari nagari Tanjung Barulak, mereka berunding dengan menjadikan Kasua
papan sebagai simbol atau lebih tepatnya lambang strata sosial seorang laki-laki
yang akan dijadikan sumando dalam nagari Tanjung Barulak pada saat pesta
perkawinan dilaksanakan, setelah terjadi kesepakatan antara para Ninik Mamak
dan setelah peraturan adat disusun di Tanjung Barulak, semenjak itulah
keberadaan Kasua papan dijadikan sebagai Adat Salingka Nagari Pusako
55 Salingka Kaum, yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakat nagari Tanjung
Barulak.
Ermayeni (wawancara, 27 Februari 2011) yang diperkuat oleh Ibu
Aisyah (wawancara, 25 Maret 2011), Kasua papan dijadikan sebagai ciri khas
nagari Tanjung Barulak, karena dalam elemen-elemen pada Kasua papan terdapat
beberapa motif ukiran Minangkabau yang mempunyai arti dan makna yang sangat
luas, dengan menempatkan motif-motif tersebut akan tetap mengingatkan falsafah
hidup masyarakat Minangkabau, adat bansandi syara’, syara’ basandi kitabullah.
Karena motif-motif ukiran Minangkabau mempunyai makna-makna yang sangat
dalam dan dapat dijadikan tuntunan dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
Karena makna yang terkandung dalam motif Kasua papan tersebut dapat
mengikat seseorang untuk bertindak sebagaimana mestinya sesuai dengan tata
aturan adat yang berlaku.
Kasua papan sebagai benda budaya yang digunakan oleh masyarakat
nagari Tanjung Barulak pada pelaksanaan upacara adat perkawinan, Kasua papan
ini telah digunakan secara turun temurun dari nenek moyang masyarakat nagari
Tanjung Barulak, ini merupakan budaya yang tidak boleh ditinggalkan bagi
masyarakat nagari Tanjung Barulak, penggunaan Kasua papan adalah adat yang
harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bermukim didaerah nagari Tanjung
Barulak. Walaupun yang melaksanakan upacara adat perkawinan tersebut bukan
asli orang nagari Tanjung Barulak, tapi mereka wajib menggunakan adat tersebut,
karena mereka berada pada lingkungan daerah tersebut, dan apabila yang
mengadakan upacara adat perkawinan asli masyarakat nagari Tanjung Barulak
56 tapi ia berada diluar kawasan nagari Tanjung Barulak, mereka tidak diharuskan
menggunakan Kasua papan sebagai adat mereka, walaupun ada juga masyarakat
dengan kesadaran tinggi tetap menggunakan Kasua papan sebagai adat yang
harus mereka jalani. Penggunaannya juga hanya dirumah mempelai perempuan.
Angku Dt Mangada’i (wawancara 25 Maret 2011) memperkuat, seiring
perkembangan zaman, dengan kemajuan yang telah menjadi pengaruh besar
dalam kehidupan, dan masyarakatpun dibuat terlena dan selalu ingin
mempermudah semua pekerjaan dan meringankan segala beban dan
menginginkan segala yang instan, selain dirumah banyak diantara mereka yang
mengadakan upacara adat perkawinan digedung-gedung dengan alasan mereka
hanya ingin pekerjaan menjadi lebih mudah dan simpel, tidak susah merapikan
rumah dan berbagai macam alasan lainnya. Dengan keadaan demikian tidak akan
menjadi masalah selama mengadakan upacara adat perkawinan digedung yang
wilyahnya di nagari Tanjung Barulak, Kasua papan tetap harus digunakan kecuali
gedungnya berada diluar nagari tersebut.
Penggunaan Kasua papan ini juga harus seizin Ninik Mamak atau Angku
di nagari Tanjung Barulak, setiap kerabat yang akan mengadakan upacara adat
perkawinan harus bertanya terlebih dahulu kepada Ninik Mamaknya agar tidak
terjadi kesalahan pada pemasangan Kasua papan.
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan, Kasua papan dijadikan
sebagai simbol perkawinan nagari Tanjung Barulak, karena para Ninik Mamak
nagari tersebut ingin daerahya dikenal dengan satu ciri khas, maka mereka
menjadikan Kasua papan sebagai simbol srata sosial laki-laki yang akan jadi
57 sumando di nagari tersebut. Karena dalam Kasua papan juga mencakup seluruh
peraturan-peraturan adat, tata cara hidup bermasyarakat, Adat Basandi Syara’,
Syara’ Basandi Kaitabullah, dan mengandung pesan yang hendak disampaikan
kepada penerusnya kelak, dengan terus menjaga benda budaya mereka selalu
mengingat tujuan para pendahulu dan menjaga kebudayaan mereka.
B. Temuan Khusus
Temuan khusus dalam penelitian ini, akan dipaparkan tentang bentuk,
fungsi, dan makna simbolis Kasua papan dalam upacara adat perkawinan di
nagari Tanjung Barulak, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar.
1. Bentuk Kasua Papan
Berdasarkan wawancara dengan Bundo Kanduang Ibu Aisyah (24 Maret
2011) dan Ermayeni (wawancara, 27 Februari 2011), Kasua papan berbentuk
empat persegi panjang dengan susunan bertingkat-tingkat, dimana tiap tingkat
mempunyai ukuran 20cm x 60cm x 150cm, setelah digabung ukurannya menjadi
80cm x 60cm x 150cm, untuk ukuran Kasua papan yang dipakai orang
kebanyakan atau orang biasa, ukuran papan 20cm x 60cm x 150cm, papan yang
dipakai adalah papan yang mempunyai serat dan ketahanan yang kuat, tiap papan
yang ukurannya 20cm x 60cm x 150cm dibungkus dengan kain beludru yang telah
dihiasi motif-motif terlebih dahulu dan berbagai macam warna dengan teknik
sulaman menggunakan benang emas dan payet sebagai penghias.
58
Gambar 4: Rangka Papan Badan Kasua Papan (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
Setelah rangka papan selesai, kemudian dipasangkan kain yang sudah
disulam, pemasangan kain pada papan yang memakai kelebihan kain yang sudah
disediakan sebelumnya, kelebihan yang disediakan kira-kira 10cm disetiap sisi
kain, kemudian dipasangkan pada papan yang telah disediakan. Teknik
pemasangan kain pada papan adalah dengan menambahkan jerami pada bagian
dalam kain tujuannya agar setelah pemasangan kain motif terlihat menonjol.
Setelah itu lapisan yang disediakan untuk pemasangan kain ditarik kebelakang,
agar kain terpasang kuat dan padat, kain dipaku pada bagian dalam papan.
Seiring dengan perkemangan zaman, sekarang jerami telah diganti dengan busa,
selain busa tahan lama, juga bisa didapatkan kapan saja, lain dengan jerami yang
ada pada saat panen saja. Papan yang ditutupi dengan kain hanya pada tiga sisi
saja, sebab satu sisi lagi nantinya juga tidak akan terlihat karena letaknya
59 disandarkan kedinding, jadi yang terlihat hanya tiga sisi saja (dua sisi kiri dan
kanan dan satu sisi depan).
Gambar 5: Kain Kasua Papan yang sudah Disulam (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
Gambar 6: Papan yang sudah Dipasang Kain (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
60
Pemasangan untuk papan yang lain tetap sama dengan pemasangan
papan yang pertama. Setelah semua badan papan terpasang kain, kemudian baru
disusun berdasarkan urutan dan tingkatan yang seharusnya.
Gambar 7: Kasua Papan yang sudah Disusun
(Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
Gambar 8: Kasua Papan Selesai Disusun Lengkap (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
61
Setelah semua badan papan tersusun, pada bagian atasnya ditutup dengan
papan/ triplek dan kemudian ditutupi lagi dengan kain agar serat papan/ triplek
tidak terlihat, kemudian baru diatas sebelah kiri disusun bantal kecil (katiak) dan
bantal biasa sebelah kanan, ditengah diletakkan carano. Dan tiap motif
mempunyai nama yang berbeda ada Tabu Satuntuang, Bakabuang, dan Basolan,
sekaligus mempunyai arti dan makna.
Gambar. 9. Banta Picak dan Bantal Bulek (ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
62
Tabel 2: Bentuk dan Makna Tingkatan No. Bentuk Tingkatan Makna Simbolis 1. 2. 3. 4.
9 (sembilan) tingkat 7 (tujuh) tingkat 5 (lima) tingkat 4 (empat) tingkat
Dipakai oleh Angku atau Penghulu Pucuk Dipakai oleh Penghulu Andiko Dipakai oleh Tungganai Dipakai oleh orang Biasa
Tabel 3: Bentuk dan Fungsi
Bentuk Fungsi
1. Fungsi Simbolis:
Sebagai simbol status mempelai pria,
ketika upacara adat perkawinan.
63
2. Fungsi estetis:
Selain pelaminan Kasua papan juga
menjadi daya tarik tersendiri.
3. Fungsi sosial:
Kasua papan sebagai ciri khas
nagari Tanjung Barulak.
Tabel 4: Motif dan Simbol No Nama Motif Jenis Motif Simbol 1.
Basolan/Basulam
1. Saluak Laka 2. Taratai Dalam Aia 3. Buah Palo Babalah
Melambangkan Angku atau Penghulu Pucuk
2.
Bakabuang
Perpaduan antara motif garis-garis kecil dengan potongan bidang kain yang besar
Melambangkan Penghulu Andiko dan Tungganai
3.
Tabu Satuntuang
Motif garis kecil dengan potongan kain petak kecil-kecil
Melambangkan orang biasa atau orang kebanyakan
1. Warna
Sumatera Barat dikenal wilayah Minang, persisnya Minangkabau yang
”hanya” meliputi tiga wilayah, dan menyebutnya Luhak, yaitu Luhak Agam,
Luhak Tanah Datar, dan Luhak Limapuluh Koto, jadi tidak semua orang
64 Sumatera Barat adalah orang minang. Ketiga daerah ini dilambangkan masing-
masing oleh warna hitam, merah, dan kuning. Warna Kuning, lambang dari luhak
Tanah Datar, Merah, lambang dari luhak Agam ,Hitam, lambang dari luhak Limo
Puluah Kota. Warna hitam, melambangkan sifat dewasa, ketahananan, dan
keuletan.
Gambar 10: Warna-warna yang dipakai sebagai simbol utama di Minangkabau, Merah lambang luhak Agam, Kuning lambang luhak Tanah Datar, Hitam lambang luhak Limo Puluah Kota. (ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
Ketiga warna tersebut juga melambangkan pola kepemimpinan
Minangkabau yang disebut ”tungku tigo sajarangan” yang terdiri dari
kepemimpinan ninik mamak, kepemimpinan alim ulama dan kepemimpinan
cadiak pandai. Konon menurut keyakinan orang minang, kepemimpinan dapat
berdiri jika minimal memiliki tiga "kaki".
Warna adat Minangkabau tersebut sarat simbolik bagi masyarakat
minang. Pada setiap ritual adat, warna ini selalu ada, baik dalam ornamen ataupun
busananya. Yang lebih dikenal sebagai warna pokok Minang adalah sirah (merah
tua/coklat), kuniang (kuning kunyit) dan hitam yang banyak memberikan makna.
65 Disamping ketiga warna tersebut muncul wama hijau tua Dominasi warna pada
ukiran dan songket lama adalah sirah (merah tua), kemudian didampingi oleh
warna-warna kuniang kunyik (kuning chrom) dan hijau tuo (hijau tua) serta hitam.
Dari analisis kedua jenis produk tersebut di atas dapat dicatat beberapa hal, bahwa
ukiran dan songket adalah dua tipe produk kria khas Sumatera Barat dengan
karakter yang sangat tua.
Begitu pula halnya dengan Kasua papan, warna-warna yang dipakai
dalam pembuatan Kasua papan ini juga mengacu pada warna-warna ciri khas
Minangkabau, sedangkan wawancara dengan (Mak Katik, tanggal 20 September
2010) menyatakan, munculnya warna-warna selain warna ciri khas Minangkabau
itu disebabkan karena ingin memperkaya warna, dengan adanya warna-warna lain
itu tidak mengubah arti dan makna Kasua papan, hanya untuk menambah
semarak warna yang ada pada Kasua papan tersebut.
a. Ragam Hias
Ragam hias pada umumnya dapat dijumpai pada benda upacara atau
benda pusaka yang bersifat keagamaan atau kepercayaan , menyertai nilai estetis,
begitu juga dengan ragam hias Minangkabau, hampir setiap benda yang
berhubungan dengan adat istiadat di Minangkabau mamiliki ragam hias, misalnya
balai adat, rumah gadang, carano, keris, singgasana, pakaian dan kasua papan.
Benda tersebut mempunyai makna yang sama, meskipun berbeda dalam
penempatannya.
Ragam hias hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media
ungkap perasaan, yang diwujudkan dalam bentuk visual, yang proses
66 penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Ragam hias tersebut
berfungsi untuk memperindah benda atau barang yang dihiasi. Alam takambang
dijadikan sumber pengetahuan dan patokan dalam mengatur kehidupan di tengah
masyarakat.
Ibu Aisyah menjelaskan (wawancara, 26 Maret 2011) bahwa, ragam hias
yang dipakai umumnya diambil dari Motif ukiran Minangkabau yang
pembentukannya berangkat dari falsafah ‘Alam Takambang Jadi Guru’
diaplikasikan kedalam Kasua papan, walaupun motif ukiran yang digunakan
sudah tidak sesuai lagi dengan motif asli karena motif ukiran yang diaplikasikan
ke sulaman memang agak sulit menyerupai bentuk aslinya, namun demikian motif
yang telah dihasilkan masih memperlihatkan dasar dari motif tersebut.
Mak Katik menambahkan (wawancara, 7 Februari 2011) bahwa sumber
dari penciptakan ragam hias Minangkabau itu adalah bentuk-bentuk alam mulai
dari akar, ranting, daun, pucuk, bunga, kucing, itik, lebah dan sebagainya. Motif
lain itu adalah perpaduan-perpaduan yang diciptakan serta warna yang digunakan
bertujuan agar Kasua papan terlihat lebih menarik.
b. Bahan
Kasua papan terbuat dari bahan kayu yang dibungkus dengan kain yang
telah disulam terlebih dahulu, bahan kayu yang digunakan dalam pembuatan
rangka Kasua papan ini adalah kayu yang mempunyai tingkat ketahanan yang
tinggi, contohnya kayu surian selain mempunyai serat yang halus, juga
mempunyai tingkat ketatahanan yang tinggi, kayu surian banyak tumbuh dan
ditanam di perkampungan di Sumatera Barat. Di sumatera Barat, kayu surian
67 ditanam melalui bijinya, kayu surian juga bermacam-macam jenisnya, 1) Surian
Nasi, jenis kayu ini cepat perkembangannnya, karena sifatnya lunak kayu ini
susah diolah, berbulu, dan warnanya agak memutih, jenis kayu ini kurang baik
jika digunakan untuk membuat perabotan seperti meja kursi dan lain-lain, 2)
Surian Udang, jenis kayu ini banyak ditanam di perkampungan, yang ditanam
dengan biji, kayu ini perkembangannya mudah, warnanya merah kecoklatan,
mudah diolah karena seratnya lurus dan kelihatan, kayu ini banyak ditanam
karena sangat baik jika dipakai untuk bahan mobiler, 3) Surian Tanduak,
warnanya merah kehitaman, seratnya yang keras sehingga sangat sulit untuk
diolah, perkembangan kayu ini kurang baik, karena pertumbuhannya juga kurang
baik.
Dalam pengolahan awal kayu surian agar bisa dipakai sebagai bahan
untuk bahan perabot, pengolahan kayu menjadi balok atau papan digunakan
dengan cara manual (tradisional) dan cara masinal (mesin), metode penggergajian
memanjang banyak digunakan karena lebih musah, sederhana, dan cepat.
Pengeringan kayu ini juga sanagt diperhatikan, apabila kayu dikeringkan dengan
suhu yang sangat tinggi maka penyusutannya tidak merata sehingga kayu sangat
mudah pecah, sebaliknya jika suhu terlalu rendah sedang kadar air terlalu tinggi,
maka kayu akan terkena jamur sehingga pada permukaannya timbul noda-noda.
Kasua papan ini akan digunakan dalam kurun waktu yang lama dan
akan tetap dipakai secara turun temurun, maka membutuhkan kayu yang tahan
lama dengan pengolahan yang benar. Kayu yang dipakaipun kayu pilihan dengan
ketentuan pengolahan yang terstruktur. Kasua papan ini juga mempunyai bahan
68 lain selain kayu, untuk menutupi bagian papan pada Kasua papan ini, digunakan
kain yang sudah disulam terlebih dahulu, kain yang digunakan biasanya kain
beludru, kain beludru disulam dengan menggunakan payet dan manik-manik serta
benang emas.
Wawancara dengan ibu Nurma ( 24 maret 2011) mengatakan, bahwa
benang emas ini adalah benang impor yang konon katanya dari Cina yang sering
disebut juga dengan benang Makau, sejak benang emas ini datang dari Cina dan
menyebar diwilayah nusantara, maka masyarakatpun menggunakan benang emas
ini untuk berbagai macam kerajinan, seperti songket dan kerajinan-kerajinan
lainnya, karena dengan benang ini kerajinan yang dibuat terlihat indah dan
memiliki nilai jual yang tinggi karena warnanya yang seperti emas terlihat
mewah.
c. Tata Letak
Meletakkan Kasua papan di rumah mempelai perempuan mempunyai
aturan tata letak yang harus diperhatikan, tujuan memasang Kasua papan adalah
sebagai simbol yang untuk menyambut kedatangan mempelai pria, agar terlihat
oleh orang yang datang sebelum melangkah kedalam rumah mempelai
perempuan. Menurut Ibu Melyuni dan diperkuat oleh Ibu Aisyah (wawancara, 24
Maret 2011 ) mengatakan, Kasua papan dipasang dekat dengan kamar pengantin,
dan diusahakan terlihat dari luar rumah, agar orang yang datang (mempelai pria
dan rombongan) tidak terlalu sulit melihat Kasua papan tersebut.
69
Gambar 11: Denah Tata Letak Kasua Papan (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
d. Tingkatan Kasua Papan
Ibu Aisyah menjelaskan dan diperkuat oleh Angku Dt Mangada’i
(wawancara 24 maret 2011), tatanan Kasua papan ini bertingkat-tingkat, menurut
ketentuan adat jika yang mengadakan pesta perkawinan penghulu pucuk/angku
tingkatan kasua 9 bantal 18, penghulu andiko kasua 7 bantal 15,
panungkek/tungganai kasua 5 bantal 12, dan orang biasa kasua 4 bantal 9. Jika
penghulu pucuk yang mengadakan pesta perkawinan tingkatan kasuanya 9, karena
tingkatan kasua yang terlalu tinggi itu bisa dibagi menjadi 2 (dua) tempat. Bantal
ini disusun diatas kasur sebelah kiri dan ditambah dengan bantal biasa 2 (dua)
buah disebelah kanan.
70 1. Tingkatan Kasua Papan Penghulu Pucuk
Gambar 12: Tingkatan Kasua Papan yang dipakai oleh Penghulu Pucuk (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
71
Pemasangan Kasua papan yang digunakan pada pesta perkawinan
Penghulu Pucuk adalah sembilan tingkat, berhubung karena sembilan tingkat
terlalu tinggi, maka penyusunannya dibagi dua satu bagian dipasang lima tingkat
dan satu lagi dipasang empat tingkat. Dengan pemasangan bantalnya dibagi dua,
yaitu sembilan bantal pada tiap bagian.
2. Tingkatan Kasua Papan Penghulu Andiko
Gambar. 13. Tingkatan Kasua Papan yang dipakai oleh Penghulu Andiko (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
Pemasangan Kasua papan untuk Penghulu Andiko adalah tujuh tingkat,
dan pemasangannyapun boleh sela bersela antara motif basolan dengan motif
bakabuang, dengan bantalnya 15 buah.
72 3. Tingkatan Kasua Papan Tungganai
Gambar 14: Tingkatan Kasua Papan yang dipakai oleh Tungganai (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
Pemasangan Kasua papan untuk para Tungganai adalah sebayak lima
tingkat dengan bantalnya 12 buah
73 4. Tingkatan Kasua Papan Orang Biasa
Gambar 15: Tingkatan Kasua Papan yang dipakai oleh Orang Biasa (Ilustrasi: Ega Nerifalinda, 2011)
Pemasangan Kasua papan untuk orang kebanyakan atau orang biasa
sebanyak empat tingkat dengan bantalnya 9 buah.
Gambar 16: Kasua Papan yang dipakai oleh orang biasa (Foto: Penulis, 2011)
74
Gambar 17a: Motif basolan saluak laka
Gambar 17b: 1. Motif basolan buah palo babalah 4. Motif basolan bungo teratai dalam aia
Gambar 17a dan 17b: Motif Basulam, melambangkan ninik
mamak/penghulu pucuk/angku, letaknya harus paling atas.
(Foto: Ega Nerifalinda, 2011)
Gambar 18a: Motif Bakabuang, motif menyatukan garis-garis kecil yang berwarna dan dipadukan dengan kain songket
1
2
75
Gambar. 18b. Motif Bakabuang, perpaduan garis-garis kecil
berwarna dengan potongan bidang kain yang agak besar.
Gambar 18a dan 18b: Adalah motif bakabuang, melambangkan
tungganai, andiko, letaknya di tengah. (Foto: Ega Nerifalinda, 2011)
Gambar 19: Motif Tabu Satuntuang, motif garis berbagai macam warna yang dipadukan dengan guntingan kain petak kecil berwarna, yang melambangkan orang biasa, ketaknya paling bawah.
(Foto: Ega Nerifalinda, 2011)
2. Fungsi Kasua Papan
a. Fungsi Simbolis
Penambahan ragam hias pada benda, umumnya untuk lebih menarik
dalam arti estetis, dan menjadi lebih bernilai dan meningkatkan penghargaan
terhadap benda tersebut, baik secara spritual maupun material. Disamping itu,
76 tidak jarang ragam hias yang menghiasi suatu benda memiliki nilai simbolis atau
mengandung maksud tertentu, sesuai dengan tujuan dan gagasan penciptanya,
sehingga dapat meningkatkan status sosial bagi yang memilikinya, dengan
demikian ragam hias tidak dapat dipisahkan dari latar belakang sosial budaya
masyarakat yang membuatnya.
Fungsi simbolis ragam hias pada umumnya dapat dijumpai pada benda
upacara atau benda pusaka yang bersifat keagamaan atau kepercayaan , menyertai
nilai estetis, begitu juga dengan ragam hias Minangkabau, hampir setiap benda
yang berhubungan dengan adat istiadat di Minangkabau mamiliki ragam hias,
misalnya balai adat, rumah gadang, carano, keris, singgasana, pakaian dan
Kasua papan.
Motif ragam hias yang digunakan juga mempunyai makna tertentu,
sebagaimana dikemukakan oleh ibu Aisyah (wawancara, 24 februari 2011), Kasua
papan mempunyai tiga buah motif, dan tiap motif juga mempunyai arti dan
makna tertentu, yaitu motif basolan susunannya paling atas dan itu melambangkan
penghulu pucuk, motif bakabuang, letaknya ditengah dan ini melambangkan
tungganai, dan andiko, selanjutnya motif tabu satuntuang letaknya paling bawah
dan ini melambangkan orang biasa. Selanjutnya ibu Melyuni mengungkapkan
(wawancara, 25 februari 2011), bagi masyarakat nagari Tanjung Barulak, Kasua
papan merupakan simbol status mempelai laki-laki pada saat upacara adat
perkawinan berlangsung, yang hanya ada di rumah mempelai perempuan.
Kasua papan dimaknai oleh masyarakat pengguna adalah sebagai benda
budaya yang dipakai pada upacara pesta perkawinan, dengan adanya Kasua papan
77 dirumah mempelai perempuan itu menandakan status sosial yang disandang oleh
mempelai laki-laki, setiap tamu yang datang tidak perlu lagi bertanya siapa
mempelai laki-lakinya, apa pekerjaannya, dan sebaginya.
Ibu Aisyah dan Ibu Melyuni (wawancara, 25 februari 2011) menambahkan
Kasua papan ini wajib dipakai oleh masyarakat nagari Tanjung Barulak jika
mengadakan pesta perkawinan, dan pemasangnya hanya dirumah mempelai
perempuan, dan jika dirumah mempelai perempun tidak ada Kasua papan maka
mempelai laki-laki tidak akan naik ke rumah mempelai perempuan.
b. Fungsi Estetis
Kebudayaan dan adat Minangkabau mengandung falsafah alam
takambang jadi guru dalam penciptaan ragam hias. Masyarakat Minangkabau
dalam kehidupan budayanya selalu berangkat dari alam. Mak Katik (wawancara,
7 Maret 2011) mengatakan ragam hias Minangkabau digolongkan ke dalam tiga
macam, yaitu berasal dari tumbuh-tumbuhan, dari binatang, dan benda-benda
lainnya. Ragam hias hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media
ungkap perasaan, yang diwujudkan dalam bentuk visual, yang proses
penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Ragam hias tersebut
berfungsi untuk memperindah benda atau barang yang dihiasi. Alam takambang
dijadikan sumber pengetahuan dan patokan dalam mengatur kehidupan di tengah
masyarakat.
Selain sebagai fungsi simbolis, Kasua papan juga menjadi fungsi estetis
yaitu, Kasua papan dengan bentuknya persegi yang ditutupi dengan kain yang
penuh dengan motif dan warna-warna yang indah, selain menarik juga
78 megundang tanya, selain pelaminan yang digunakan sebagai tempat bersanding,
ada juga Kasua papan yang menarik untuk dilihat, ini juga merupakan kabiasaan
upacara adat perkawinan yang tidak ditemukan di daerah lain. (wawancara dengan
Angku Dt mangada’i, 24 maret 2011)
Sedangkan Mak Katik menyatakan (wawancara, 7 Maret 2011), seiring
dengan perkembangan zaman, pembuatan Kasua papan sekarang sudah
mengalami perubahan dengan motifnya. Hal ini bertujuan untuk mempermudah
dalam pengerjaan dan bentuknyapun lebih menarik. Semua ini dilakukan semata-
mata hanya untuk keindahan dengan tidak mengubah fungsi dari Kasua papan
tersebut. Selain itu, bahan yang digunakan dahulu tidak sama produksinya
dengan yang sekarang, yang jauh lebih bagus, sehingga hasilnyapun lebih
menarik. Namun begitu tetap pada fungsinya dengan tidak mengubah arti dan
makna Kasua papan itu sendiri.
c. Fungsi Sosial
Wawancara dengan Angku Dt. Rajo lelo ( 23 Maret 2011) mengatakan,
Kasua papan sebagai benda budaya bagi masyarakat nagari Tanjung Barulak
memiliki fungsi sosial, karena Kasua papan dijadikan ciri khas nagari Tanjung
Barulak untuk memenuhi tuntutan adat yang harus dipatuhi oleh masyarakat
pemakainya khusus untuk upacara adat perkawinan. Fungsi sosial Kasua papan
pada upacara adat, disamping mempunyai nilai estetis Kasua papan juga
memiliki corak tradisi dan unsur-unsur simbolik ragam hias yang ditampilkan.
Fungsi sosial seni cenderung mempengaruhi perilaku orang banyak, hal
tersebut dapat dilihat dari bentuk ragam hias yang terdapat pada Kasua papan.
79 Ragam hias tersebut diciptakan dan diaplikasikan kedalam Kasua papan untuk
mengingatkan masyarakat nagari Tanjung Barulak terhadap nilai-nilai budaya dan
adat istiadat yang terkandung di dalamnya, (wawancara dengan Mak Katik, 23
Maret 2011), dan dilanjutkan oleh Angku Dt. Rajo Lelo (wawancara, 23 Maret
2011) bahwa tujuan para Ninik Mamak menjadikan Kasua papan sebagai ciri
khas nagari Tanjung Barulak memang untuk mengingatkan para pewarisnya agar
tetap menjaga tradisi budaya nagari mereka agar tidak hilang seiring dengan
kemajuan zaman.
3. Makna Simbol Kasua Papan
a. Makna Kasua Papan
Untuk dapat mengetahui makna simbol yang terdapat pada Kasua papan
tidak lepas dari bentuk dan fungsi Kasua papan tersebut pada masyarakat
pemakainya. Wawancara dengan Angku Dt Rajo Lelo (7 April 2011), mengatakan
makna dan simbol dapat dilihat dari bentuk, struktur dan motif yang terdapat pada
Kasua papan, dimana setiap tingkatan yang ada pada Kasua papan mempunyai
arti dan makna tersendiri, begitu juga motif yang ada pada kasua papan tersebut,
setiap motif mempunyai makna yang tidak dapat digunakan dengan sembarangan,
makna dan simbol ini bagi masyarakat Minangkabau dituangkan dalam bentuk
pepatah-petitih yang memberikan petunjuk dan arahan sebagaimana mestinya
terhadap pemakaian Kasua papan dan ajaran-ajaran yang terdapat di
Minangkabau.
Wawancara dengan ibu Aisyah (23maret 2011), mengatakan bahwa pada
Kasua papan terdapat 3 (tiga) macam motif utama, yaitu Basolan, Tabu
80 Satuntuang dan Bakabuang, peletakkan Kasua papan yang paling atas adalah
Basolan yang menandakan Penghulu Pucuk, motif Bakabuang menandakan
Panungkek atau Tungganai (andiko), letaknya ditengah, dan motif Tabu
Satuntuang, letaknya paling bawah sekali, ini melambangkan rakyat biasa atau
orang kebanyakan.
Wawancara dengan Ibu Aisyah (25 Maret 2011) mengatakan bahwa
pemakaian Kasua papan, jika yang melakukan upacara adat perkawinan orang
biasa, dipakai 4 (empat) tingkat, boleh dipakai motif Basolan 2 (dua) atau motif
Bakabuang juga boleh 2 (dua), pilih salah satu. Peletakkan motif Basolan tetap
paling atas.
Seperti pepatah minang: Bajanjang naiak batanggo turun Naiek dari janjang nan dibawah Turun dari tanggo nan diateh Babilang dari aso Mangaji dari alieh Kamanakan barajo kamamak Mamak barajo kapanghulu Panghulu barajo ka mufakat Mufakat barajo ka nan bana Bana badiri sandirinyo Nan manuruik aluah jo patuik
(berjenjang naik bertangga turun, naik dari jenjang yang dibawah, turun dari tangga yang diatas, berbilang dari esa, mengaji dari alif, kemenakan balajar ke mamak, mamak belajar ke penghulu, penghulu belajar ke mufakat, mufakat belajar ke kebenaran, kebenaran berdiri sendiri, menurut alur dan patut).
81
Untuk masuk ke sebuah rumah banyak kemungkinan yang bisa dilalui,
dari belakang, dari lantai, dari jendela, dari atas, dan sebagainya. Yang lazim
menurut aturan adat Minangkabau ialah, naik dari jenjang, turun dari tangga, ini
mengandung arti firman allah. Artinya, “naiklah engkau kerumah dari tangganya”.
Pertama, secara lahir untuk sampai kesebuah rumah, hendaklah melalui sarana
yang telah ditentukan, yakni tangga tempat naik dan tempat turun, orang yang
naik selain dari yang telah ditentukan itu, suatu pertanda pada dirinya telah hilang
rasa malu dan sopan. Kedua, arti yang tersirat untuk mencapai suatu tujuan dalam
masyarakat, hendaklah melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku, seperti harus
dilaksanakan secra hierarkis, dan dari atas kebawah seperti tingkatan wewenang
dalam pemerintahan suatu negara, dan dari bawah keatas secara berurutan.
Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai tanggung jawab dalam
lingkungan tertentu, mengenai orang-orang dalam hubungan terdekat, tentang
kekeluargaan , tentang persekutuan hidup dan juga mengenai daerah dan batasnya.
Dengan demikian, terdapatlah suatu susunan masyarakat Minangkabau dari yang
sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya, yaitu berkeluarga, berkaum
berkorong, berkampung, berhindu, bersuku, berdusun bernagari, berkerat balai,
berluhak, beralam, dan susunan masyarakat Minangkabau ini masing-masing
mempunyai dasar falsafah yang sama, dengan susunan masyarakat yang satu yaitu
dasar kekeluargaan, satu dengan bersama, dari oleh dan untuk bersama.
Setiap mufakat yang tidak menurut alur dan patut, hasilnya tidaklah
mendapat dukungan dari masyarakat, setiap mufakat yang tidak berdasarkan alur
dan patut ini akan menghilangkan wibawa pemimpin yang menjalankannya,
82 karena alur yang telah kita ketahui adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya,
patut menurut yang wajar.
b. Makna Bantal Kasua Papan
Kasua papan mempunyai elemen kasur dan bantal, adapun bantal Kasua
papan mempunyai beberapa motif, diantaranya:
Bungo Teratai Dalam Aia
Gambar 20: Bungo Teratai Dalam Aia (Sumber: Mardjani, 1976)
Taratai, bungo taratai Talipuak di dalam tabek Usah picayo daun takampai Di dalam lunau urek takabek Ukia di aliah ateh papan Ujuang ukia talipuak layua Badannyo buliah jo nan lain Lataknyo di ateh alua patuit Condoang mato kan nan rancak Condoang salero ka nan lamak Nan tampak papan baukia Bathinnyo adat jo pusako
83
Babedo lahie jo bathin Talampau bathin kalihatan Baitu suriah barih adat
(Teratai, bunga teratai Taletak di dalam kolam Jangan percaya daun terkembang Di dalam lumpur urat terikat Ukir di pindah atas papan Ujung ukir terletak layu Badannya boleh dengan yang lain Letaknya di atas alur patut Berat mata ke yang bagus Berat selera ke yang enak Yang terlihat papan berukir Maksudnya adat dengan pusaka Berbeda lahir dengan yang bathin Terlampau bathin yang kelihatan Begitu aturan adat)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
“Cubo tagak ditapi tabek, caliak katiko aia gadang dan paratian lo katiko aia suruik ba a lo bantuaknyo?dalam keadaan aia gadang atau ketek bungo taratai tak barubah bantuaknyo do,itu melambangkan tidak boleh berprilaku sombong, sebagai manusia kita harus berprilaku netral, sarupo jo bungo taratai dalam aia, walaupun dalam keadaan apapun tidak boleh bersifat sombong, baik dalam keadaan susah apolai dalam keadaan sanang, itu mancontohkan ka anak kamanakan, apolai kalau seorang ninik mamak, harus mencontohkan ka kamanakannyo, kalau hidup harus randah hati, jan sampai berlaku sombong karano urang nan balaku sombong tu jadi kabancian urang banyak, mangko ado motif minang bungo taratai dalam aia, itu mengandung pesan yang akan disampaikan ka anak kamanakan dalam kaum”.(Coba berdiri ditepi kolam, coba lihat ketika air besar dan perhatikan pula ketika air surut, bagaimana bentuknya?dalam keadaan air besar atau kecil bunga teratai tidak berubah bentuknya, itu melambangkan tidak boleh berprilaku sombong, sebagai manusia kita harus berprilaku netral, sama dengan teratai dalam air, walau dalam keadaan apapun tidak boleh bersifat sombong, baik dalam keadaan susah apalagi dalam keadaan senang, itu mencontohkan kepada anak dan kemanakan, kalau hidup harus rendah hati, jangan sampai berlaku sombong karena orang sombong tidak disukai orang banyak, itu mangkanya ada motif
84
minang bunag teratai dala aia, itu mengandung pesan yang akan disampaikan kepada anak kemanakan didalam kaum).
Buah Palo Babalah
Gambar 21: Buah Palo Babalah (Sumber: Mardjani, 1976)
Rancak susunnyo buah palo Dibalah basusun rapek Sadang manih dipandangan mato Ukia tuturan tumpuan kasau Babaleh jo itiak pulang patang Ukia basalo jo tatandu Tantadu manyasok bungo Dama tirih bintang Tjumaro Baitu tatah latak ukia Dalam barih cupak adat
(Bagus susunnya buah pala Dibelah bersususn rapat Sedang enak dipandang mata Ukir tuturan tumpuan balok Besanding dengan itik pulang petang Ukir bersela dengan tentadu Tentadu menghisap bunga Danar tiris bintang cumaro Begitu tatah letak ukir Dalam baris cupak adat)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
“Bantuaknyo bagaluang artinyo melindungi, hakikatnyo beraktivitas, melindungi anak kamanakan jo urang kampuang,
85
melindungi jo ilmu, pitih, tanago, akal pikiran, kok dapek malindungi jo ilmu, lindungilah jo ilmu, kok dapek jo pitih, lindungi jo pitih, kok dapek jo tanago, lindungilah jo tanago, melindungi jo ilmu lebih hakikatnya ka agamo, kalau melindungi jo akal pikiran itu labiah hakiaktnyo barusaho di dunia,jiko mamak kok dak dapek manolong jo pitih tolonglah jo tanago kok dak jo pikiran, baitulah harusnyo sikap mamak ka kamanakan, itulah sifat yang harus dijago sampai kini, karano kini mamak lah bak jo mamak, kamanakan lah ba jo kamanakan, itulah melambangkan keakraban atau kedekatan antarao mamak jo kamanakan maupun jo urang kampuang. Ba a kito nan saling tolong manolong jo kaum”. (Bentuknya bergelung artinya melindungi, hakikanya beraktifitas, melindungi anak kemanakan dan orang kampung, melindungi dengan uang, tenaga, ilmu, akal pikiran, jika bisa melindungi dengan ilmu maka lindungilah dengan ilmu, jika bisa melindungi dengan uang maka lindungilah dengan uang, jika hanya bisa melindungi dengan tenaga maka lindungilah dengan tenaga, melindungi dengan ilmu pada hakekatnya ke agama, dan melindungi dengan akal pikiran hakikatnya lebih berusaha didunia. Jika mamak tidak dapat membantu dengan uang maka bantulah dengan tenaga dan pikiran, begitulah harusnya sikap mamk kepada kemanakan, itulah sikap yang harus dijaga sampai sekarang, karena sekarang mamak dengan urusannya sediri dan kemanakan sesuka hatinya, itulah sikap yang melambangkan keakraban atau kedekatan antara mamak dengan kemanakan maupun dengan orang kampung, bagaimana kita saling tolong menolong dengan orang banyak).
Carano Kanso
Gambar 22: Carano Kanso (Sumber: Mardjani, 1976)
86
Carano kanso namonyo ukia Siriah gadang lingka-balingka Balingka jo arai pinang Batutuik dulamak kaco Kuniang sacoreng di atehnyo Pananti sutan jolong pulang Sajamba makan mairiangnyo Latak diateh pintu biliak Suko rayo raso dipakai Sanang siat puti bakuruang Cupu bakaran basusun nyato Santo timbakau pakaian adat Latak di dalam carano kanso Suatu talatak di tampeknyo Ukia dikarang tampuak tangkai Pakaian balai nan saruang Pariangan jo Padang Panjang Ukia tuo ukia usali Warih dek anak Indo Jati Warih nan indak putuih Tutua nan samo kito danga
(Cerana kasnso namanya ukiran Sirih besar lingkar melingkar Melingkar dengan arai pinang Ditutup dengan kain dulamak Kuning tercoreng diatasnya Penunggu sutan baru pulang Sejamba makan mengiringnya Letak diatas pintu kamar Suka sekali rasa dipakai Senang sekali puti berkurung Cupu bakaran bersusun nyata Tembakau palaian adat Letak diddalam cerana kanso Sesuatu terletak ditempaatnya Ukir dikarang tempat tangkai Pakaian tempat yang seruang Pariangan dengan padang panjang Ikir tua ukir asli Waris oleh anak indo jati Waris yang tidak putus Tutur yang sama kita dengar)
87 Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 juni 2011), menjelaskan:
“Manga dipiliah kanso? itu karano kanso adolah sebuah bejana atau tempat, tempat meletakkan siriah, pinang, dilahia nan siriah jo pinang, Namun pado hakikatnyo disitulah tampek bakumpua sagalo ilmu. Dipiliah kanso karano inyo kekal, dak samo jo kayu yang bisa lapuak dek hujan bisa lakang dek paneh. Kanso akan tetap kekel, karano ilmu yang didapek handaknyo ilmu nan bisa dibaok mati atau dibaok ka akhirat. Ado duo falsafah carano kanso nan partamo, tahan, dalam arti apo...?iyolah kekal, ilmu yang ado tapakai mati handaknyo, bisa menyelamatkan kita dari azab dunia dan azab akhirat. Na ka duo kabau, kabau adolah binatang nan paliang maha diminang, kabau kalau panehnyo pai kakubangan, mandinginkan badannyo, mamak kalaunyo berang handaknyo nyo pai untuak mandinginkan kapalonyo, nyo pai mamikian ba a caro manyalasaikan masalah nan dihadapi jo caro nan bijak, jan angek dilawan jo angek, kalau kapalonyo lah dingin nyo datang baliak untuk manyalasaikan masalah yang ado antara kamanakannyo”. (Mengapa dipilih kanso? karena kanso adalah sebuah bejana atau tempat, tempat meletakkan siriah dan pinang, dilahir yang sirih dan pinang, namun pada hakikatnya disitulah tempat berkumpulnya segala ilmu, dipilih kanso karena ia kuat. Kekal, tidak sama dengan kayu, yang tidak akan bertahan lama dan akan lapuk dimakan usia, kanso akan tetap kekal karena ilmu yang didapat hendaknya ilmu yang bisa dibawa mati atau dibawa ke akhirat, ada dua falsafah carano kanso, yang pertama, tahan, dalam artian apa...?adalah kekal, ilmu yang ada dipakai mati hendaknya, bisa menyelamatkan kita dari azab dunia dan azab akhirat, yang kedua, kerbau, kerbau adalah binatang yang paling mahal di Minangkabau, kerbau kalau panas ia akan pergi ke kubangan, mendinginkan badannya, begitulah mamak, kalau sedang marah hendaknyadia pergi untuk mendinginkan kepalanya, berfikir bagaimana menyelesaikan masalah ini dengan bijak, jangan panas dilawan panas, kalau kepalanya sudah dingin maka ia akan kembali untuk menyelesaikan masalahnya yang ada diantara kemanakannya).
88
Saik Galamai
Gambar 23: Saik Galamai (Sumber: Mardjani, 1976)
Bakirim usah bapitaruah Bapasan usah baturuti Manyuruah usah bakahandak hati Bana lai picayo tidak Pitaruah baunyikan juo Itu nan labiah rang pantangkan Ukia ragam kuciang lalok Salo manyalo saik galamai Latak dipucuak dindiang hari Disingok di ujuang paran Parannyo ulua mangulampai Asanyo di Gudam Balai janggo Di dalam Koto Pagaruyuang Ukiran Rajo Tigo Selo
Pikia-pikia mangambang kato Kato rahasio baandokkan Simpan bakeh nan picayo Lamak usah dimakan sajo Rancak usah capek dilakekan Ingek dirantiang kamancucuak Jago di unak kamanaruang Lalok usah talalu mati Manyuruak usah talalu hilang Lamak manih raso galamai Dalam gatah minyaknyo tumbuah Ingek dibadan kabinaso
89
(Berkirim jangan berpesan Berpesan jangan dituruti Menyuruh jangan bersuka hati Benar ada percaya tidak Pesan ditemani juga Itu yang lebih orang larang Ukir ragam kucing tidur Disisip saik galamai Letak dipucuk dinding hari Asalnya di gundam balai janggo Didalam koto pagaruyuang Ukiran rajo tigo selo Pikir-pikir berbicara Kata rahasia disimpan Simpan kepada yang percaya Enak jangan langsung dimakan Bagus jangan cepat dipasangkan Ingat ranting yang kan menusuk Tidur jangan terlalu lelap Sembunyi jangan terlalu jauh Enak manis rasa gelamai Dalam getah minyaknya timbul Ingat badan yang akan binasa)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
“Ukiran ko ado setelah islam masuk ke Minangkabau, dahulu motif saik galamai ko dak ado, dahulu urang mangaji aku, adam, allah, mangkonyo dulu 3 saginyo, mangko itu pulu pucuak rabuang di anggap motif yang tertua, kini urang lah mangaji aia, api, angin tanah, labiah mangaji ka asa diri, dalam unsur lain, ada jibril, mikail, israil, israfil, setelah ada yag mengaji hakikat tersebut maka ditambah sudiuknyo ciek lai, mako jadilah saik galamai, dalam unsur lain kalau dibaokan ka adaik, nagari ado ampek suku, koto, piliang, bodi, caniago, apopun nan tajadi bungo kehidupan dinagari dilingkuang ampek nagari, dibaliakan ka hakikatnyo, nan ma hakikatnyo ado hakikat agamo dan hakikat adat”. Saik galamai ko jo melambangkan karajo kareh jo hati-hati, maknanyo tanpa karajo kareh jo kehati-hatian sagalo karajo nan dihasilkan dak kan elok. Salain itu saik galamai ko melambangkan penghormatan terhadap tamu. (Ukiran ini ada setelah masuknya islam ke Minangkabau, dahulu motif saik galamai tidak ada,
90
karena dahulu orang mengkaji tentang aku, adam dan Allah, mangkanya dahulu Cuma ada tiga segi dankarena itu pula motif pucuk rebung adalah motif yang paling tua, setelah itu baru mengkaji air, api, angin dan tanah, itulah lebih mengkaji kepada asal usul manusia, dalam unsur lain ada jibril, mikail, israil, israfil, setelah ada yang mengkaji hakikat tersebut maka ditambah sudutnya satu lagi, makanya jadilah saik galamai empat sudut, dalam unsur lain kalau dibawakan ke adat, nagari ada empat suku (koto, piliang, bodi, caniago) , apapun yang terjadi dalam masalah kehidupan di nagari dilingkungan ampek nagari, dikembalikan kepada hakikatnya, yang mana ada hakikat agama dan hakikat adat. Saik galamai ini juga melambangkan kerja keras dan kehati-hatian, maknanya tanpa kerja keras dan kehati-hatian segala kerja yang dihasilkan tidak akan baik. Selain itu saik galamai juga melambangkan penghormatan terhadap tamu ).
Kuciang Lalok
Gambar 24: Kuciang Lalok (Sumber: Mardjani, 1976)
Bakirim usah bapitaruah Bapasan usah baturuti Manyuruah usah bakahandak hati Bana lai picayo tidak Pitaruah baunyikan juo Itu nan labiah rang pantangkan Ukia ragam kuciang lalok Salo manyalo saik galamai Latak dipucuak dindiang hari Disingok di ujuang paran Parannyo ulua mangulampai Asanyo di Gudam Balai janggo Di dalam Koto Pagaruyuang Ukiran Rajo Tigo Selo
91
Pikia-pikia mangambang kato Kato rahasio baandokkan Simpan bakeh nan picayo Lamak usah dimakan sajo Rancak usah capek dilakekan Ingek dirantiang kamancucuak Jago di unak kamanaruang Lalok usah talalu mati Manyuruak usah talalu hilang Lamak manih raso galamai Dalam gatah minyaknyo tumbuah Ingek dibadan kabinaso
(Berkirim jangan berpesan Berpesan jangan dituruti Menyuruh jangan bersuka hati Benar ada percaya tidak Pesan ditemani juga Itu yang lebih orang larang Ukir ragam kucing tidur Disisip saik galamai Letak dipucuk dinding hari Asalnya di gundam balai janggo Didalam koto pagaruyuang Ukiran rajo tigo selo Pikir-pikir berbicara Kata rahasia disimpan Simpan kepada yang percaya Enak jangan langsung dimakan Bagus jangan cepat dipasangkan Ingat ranting yang kan menusuk Tidur jangan terlalu lelap Sembunyi jangan terlalu jauh Enak manis rasa gelamai Dalam getah minyaknya timbul Ingat badan yang akan binasa)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
“Kuciang lalok dianalogikan sebagai aktifitas mencari rezeki, kuciang kalau lah malatakkan kakinyo dimuko tu tandonyo kamanangkok mancik, ado lo istilah kuciang japuik api, maksudnyo kalaulah kuciang dakek api kan lah angek-angek tu,
92
nyo lalok se ditungku tu lai, lah luponyo jo mancik tadi, itu kiasannyo labiah ka urang sumando, disatu sisi ado eloknyo, tapi labiah banyak malehnyo, handaknyo sebagai urang sumando janlah wak bak kuciang lalok, karano buliah jadi mamak rumah dak sanang macaliak, dicaliaknyo sumando lalok kalalok se karajo nyo dirumah, bilo kabakarajo mancari makan. Sifat nan mode ko nan harus dihindari oleh anak bujang kini kalau lah inyo nak barumah tanggo”. (Kuciang lalok dianalogikan sebagai aktifitas mencari rezeki, kucing kalau sudah meletakkan kakinya didepan seakan menerkam itu tandanya dia bersiap-siap akan memangsa tikus, ‘ada pula istilah kuciang japuik api’, maksudnya kalau kucing sudah dekat api kan panas, kemudian dia tidur, dia sudah lupa dengan tikus tadi, itu kiasannya lebih kepada sumando, disatu sisi ada baiknya tapi lebih banyak malasnya, hendaknya sebagai urang sumandojanganlah kita saperti kucing tidur, karena boleh jadi mamak rumah tidak senag melihatnya, dilihatnya sumando kerjanya tidur-tiduan dirumah, kapan ia akan bekerja mencari makan , sifat ini yang harus dihindari oleh anak muda sekarang, jikalau hendak berumah tangga).
Daun Puluik-puluik
Gambar 25: Daun Puluik-puluik (Sumber: Mardjani, 1976)
Puluik-puluik tumbuah di parak Babuah lai, mamakan tidak Pauitan kambiang, tambang taranak Tangah padang puputan angin Kok gadang kagalang tabuah Tabuah pusako di Pariangan
93
Kok pupuih di surek, di batu tingga juo Kok habih tumbuah puluik-puluik Dalam ukia tingga juo Ukia banamo puluik-puluik Latak di ujuang bakeh sudah Ujuang rasuak ujuang paran Baitu latak tatahnyo Asa di Batipuah Pariangan Di Sumpu Batu Taba Baitu warih cupak adat
(Pulut-pulut tumbuh diladang Berbuah ada, dimakan tidak Tempat ikatan kambing, ladang ternak Tengah padang tiupan angin Kok besar ke galang beduk Beduk pusaka dipariangan Kok hilang di surat di batu tinggal juga Kok habis tumbuh pulut-pulut Dalam ukir tinggal juga Ukir bernama pulut-pulut Letah diujung bekas sudah Ujung rusuk ujung paran Begitu letak tatahnya Asal di batipuh pariangan Disumpu batu taba Begitu waris cupak adat)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
“Daun puluik-puluik adolah daun untuak obat, obat pilali (pandingin), hendaknya intelegensi yang dimiliki bisa menjadi pendingin dalam kaum, apopun nan tajadi dalam kaumnyo, sagadang apopun masalah yang melanda, jo ilmu yang ado, kironyo bisa manjadi pandingin angeknyo kapalo, bisa mamilah nan ma yang elo jo nan buruak, jikalau ado nan manjadi masalah kironyo dapek disalasaian jo kapalo dingin jo hati nan lapang”. (Daun puluik-puluik adalah daun untuk obat, obat pilali (pendingin), harusnya intelegensi yang dimiliki hendaknya menjadi pendingin dalam kaum, apapun yang terjadi dalam kaumnya, sebesar apapun masalah yang melanda, dengan ilmu yang ada, kiranya bisa menjadi pendingin panasnya kepala, bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk, jikalau ada yang menjadi masalah sekiranya dapat diselesaikan dengan kepala dingin dan hati yang lapang).
94
Saluak Laka
Gambar 26: Saluak Laka (Sumber: Mardjani, 1976)
Saluak nan jaleh bakaitan Laka basauh jo baukuran Silang bapiuah di dalamnyo Aleh piriang jo balango Panadah angek jo dingin Panatiang kuma baarang Palatak tambika nan kapacah Nan sanang talatak di tampeknyo Buliah katangah jo katapi Baiak di ateh ruang tangah Dari muko lalu ka ujuang Laka nan indak dapek tingga Basauk untuang jo bagian Lahia jo bathin di dalamnyo Lahianyo aleh tambika Bathin mangaik kaukuran Balah sapiahan jo karek kuduangan Bapantang putuih di dalam adat Bagaikan apo nan lah tumbuah Kok jauah jalang manjalang Kok hampia silau manyilau Kaik nan indak dapek sangkah Tali nan indak buliah putuih Putuihnyo antaro batenggang Dilukih di ateh papan Dibarih mako dipahek Jadi ragam bungo janggi Nan sakaki samundan panuah Jadi hiasan di rumah gadang Bagaluik galuang jo siku
95
Antah siku di ateh galuang Antah galuang manitih siku Aka manjadi pangka ragam Bungo manyumbua di nan putuih Di dalam bungo putiak marangko Ujuang jo pangka nan tak tampak Awal jo akhia nan tidak kalihatan Baitu ragamnyo saluak laka Lataknyo di dalam tingkok Nak tarang tampak dimato Nak baguru bujang jo buatan Dagang nak jan salah sangko Urang di rantau saruannyo Alam takambang jadi guru Imbau maimbau dalam bathin Japuik manjapuik dalam raso Saluak laka namonyo ukia Dilariak nan rang Balai Gurah Ukia nan turun dari aka Dilingkuang alua jo patuik Lahia jo bathin ado maknanyo Utang di kito manguasai
(Saluak yang jelas berkaitan Laka bersauh dan berukuran Silang berpilin didalamnya Alas piring dan belanga Penahan panas dan dingin Pengangkat kotor ber arang Meletakkan tembikar yang pecah Yang senang terletak ditempatnya Boleh ketengah dan ketepi Baik diatas ruang tengah Dari depan sampai ke ujung Laka yang tidak dapat tinggal Berdampingan dengan untung dan bagian Lahir dan bathin didalamnya Lahirnya alas tembikar Bathin mengait ke ukuran Belah serpihan dengan potongan Berpantangan putus dalam adat Bagaikan apa yang sudah tumbuh Jika jauh datang mendatangi Jika dekat kunjung mengunjungi Kait yang tidak dapat sangkah Tali yang tidak boleh putus
96
Putusnya antara bertenggang Dilukis diatas papan Dibaris muka dipahat Jadi ragam bunga janggi Yang sekaki semundan penuh Jadi hiasan dirumah gadang Bergelut gelung dengan siku Entah siku diatas gelung Entah gelung meniti siku Akar menjadi pangkal ragam Bunga timbul di yang putus Didalam bunga putik merekah Ujung dan pangkal yang tidak tampak Awal dan akhir yang tidak kelihatan Begitu ragamnya saluak laka Letaknya didalam tingkok Biar terang tampak dimata Biar berguru bujang dan buatan Dagang jangan salah sangka Orang dirantau seruannya Alam terkembang jadi guru Panggil memanggil dalam bathin Jemput menjemput dala rasa Saluak laka namanya ukir Dilirik anak orang balai gurah Ukir yang turun dari akar Dilingkung alur dengan patut Lahir dengan bathin ada maknanya Hutang kita manguasai)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
“Laka adolah aleh, apopun nan kadikarajoan dicari alasan yang sasuai jo apo nan kadikarajoan, jan apo nan kadikarajoan malabiahi apo nan dipikian, handaknyo apo nan dikarajoan sasuai jo apo nan dipikian. Karano dalam islam , sesuatu nan balabihan dibenci Allah. Motif saluak laka juo manganduang makna keakraban, kekerabatan, dan persaudaraan nan ikhlas, barek samo dipikua ringan samo dijinjiang, kekuatan lataknyo di kesatuan masyarakat nan tolong manolong dan saling maharagoi. (Laka adalah alas, apapun yang akan dikerjakan dicari alasannya yang sesuai dengan apa yang akan dikerjakan, jangan apa yang akan dikerjakan melebihi apa yang dipikirkan, hendaknya apa yang dikerjakan sesuai dengan apa yang dipikirkan. Karena dalam islam sesuatu yang berlebih-lebihan tidak disukai oleh Allah. Motif saluak laka mengandung makna
97
keakraban, kekerabatan dan persaudaraan yang tulus, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, kekuatan terletak pada kesatuan masyarakat yang tolong menolong dan saling menghargai.).
Bungo Panco Mato Ari
Gambar 27: Bungo Panco Mato Ari (Sumber: Mardjani, 1976)
Panco ringek di tapi jalan Mati-mati mako babuah Ingek-ingek anak bajalan Lauik sati rantau batuah Bungo matohari kapunco ukia Rantak malam lingka ba lingka Gayo mantohari nan jadi rasiah Corak bulan mancari aka Dipetak, ukia dibuek Mancari tenggang jo kalaka Maragam bungo sari manjari Baitu alam salingka laweh Alam takambang jadi guru Buliah maukia jo maragam Malukih adat jo limbago Pakaian alam saisinyo
(Panca ringek ditepi jalan Mati-mati maka berbuah Hati-hati anak berjalan Laut sakti rantau bertuah Bunga matahati kapunco ukir Rentak malam lingkar melingkar Gaya matahari yang menjadi rasiah
98
Bentuk bulan mencari akal Dipetak ukir dibuat Mencari tenggang dengan kelakar Meragambunga sari menjari Begitu alam selingkar luas Alam terkembang jadi guru Boleh mengukir dan meragam Melukis adat dengan lembaga Pakaian alam seisinya)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
Matoari adolah sumber cahayo nan ado dimuko bumi ko, dalam adat musyawarah untuak mufakaik, sagalo sesuatu keputusan nan diambiak handaknyo dimusyawarahkan dulu, ba a wak malapangan katiko sampik, jo caro nan elok, ba a pun suliknyo masalah nan tibo, walau bagaimanapun suaro nan didapek dalam musyawarah, namun awak babaliak ka nan satu, nan lah manantuan akhir dari sagalo keputusan manusia, awak manusia ko hanyo bisa berdoa namuan pada akhirnyo Allah lah nan berhak manantuan sagaloyo. (Matahari adalah sumber pencahayaan yang ada dimuka bumi ini, dalam adat musyawarah untuk mufakat segala sesuatu keputusan yang diambil hendaknya dimusyawarahkan terlebih dahulu, bagaimana kita melapangkankan dalam keadaan sempit, dengan cara yang baik, bagaimanapun sulitnya masalah yang datang, walau bagaimanapun suara yang didapat dalam musyawarah namun pada akhirnya kita kembali kepada yang satu, yang telah menentukan akhir dari segala keputusan manusia, manusia hanya bisa berdoa dan berusaha namun pada akhirnya allah lah yang berhak menentukan segalanya).
Bungo Duo Tangkai
Gambar 28: Bungo Duo Tangkai (Sumber: Mardjani, 1976)
99
Ukia tungga buah pinang Bapetak papan tampek diam Bungonyo duo tangkai sajo Sanang batenggang di nan lapang Adat limbago tampek diam Santoso alam saisinyo Kiasan adat bungo pusako Di dalam alam Minangkabau Maukia di papan laweh Elok arak di hari paneh
(Ukir tunggal buah pinang Berpetak papan tempat diam Bunganya dua tangkai saja Senang bertenggang di yang luas Adat limbaga tempat diam Sejahtera alam seisinya Kiasan adat bunga pusaka Di dalam alam minangkabau Mengukir dipapan besar Baik jalan dihari panas)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
Adam supi babungo rehen (hayalan), manaruah bungo tigo tangkai, satangkai larangan allah, itu tingga disarugo, duo tangkai lapeh kadunia pamenan anak cucu adam. Ba a kok duo tangka, karano didunia ko allah menciptakan sagalo bapasangan , ado baiak ado elok, tuo mudo, sarugo narak, makonyo apopun nan dilakuan harus dipikian jo matang, namun apopun pilihan itu tergantung ka pribadi masiang-masiang, nio babuek elok atau babuek jaek, namun kasadonyo tu bersumber dari hati atau jantuang, ba a caro manjago hati, karano dari hatilah sumbersagalo perbuatan jo pikiran, agar hati indak ternodai dengan perbuatan-perbuatan nan indak sesuai jo ketentuan nan berlaku. Gunonyo manjago hati, nan partamo supayo jalan nan awak lalui seimbang, seimbang antaro dunia jo akhirat, nan kaduo dengan manjago hat, awak lah manjago dari perbuatan nan indak elok. Melindungi diri dari sagalo nan mambuaek sansar, nan katigo handaknyo apopun diarahkan ka perbuatan nan elok dan indak manyalahi peraturan nan lah ado. (Adam supi babungo rehen (hayalan), manaruah bungo tigo tangkai, satangkai larangan allah, itu tingga disarugo, duo tangkai lapeh kadunia pamenan anak cucu adam. (adam supi berbunga rehen (hayalan) memiliki bunga tiga tangkai, setangkai larangan Allah, itu yang tinggal disurga, dua tangkai lepas kedunia mainan anak cucu adam.) Kenapa dua tangkai,
100
karena diduania ini allah menciptakan segala berpasang-pasangan ada baik buruk, tua muda, surga neraka dan lain-lain, apapun yang dilakukan manusia didunia ujungnya hanya dua surga atau neraka, makanya apapun yang dilakukan harus dipikir dengan matang, namun apapun pilihan itu tergantung pada pribadi masing-masing, mau berbuat baik atau berbuat jahat. Namun semua prilaku tersebut bersumber dari hati atau jantung bagaimana kita menjaga hati, karena dari hati lah sumber segala perbuatan dan pikiran, agar hati tidak ternodai dengan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Gunanya kita menjaga hati, yang pertama, supaya jalan yang kita lalui seimbang, seimbnag antara dunia dan akhirat, yang kedua, dengan menjaga hati, kita telah menjaga perbuatan yang tidak baik, melindungi diri dari segala yang akan membuat sengsara, yang ketiga, hendaknya apapun yang dilakukan diarahkan kepada perbuatan yang baik dan tidak menyalahi aturan-aturan yang berlaku).
Singo Bagaluik
Gambar 29: Singo Bagaluik (Sumber: Mardjani, 1976)
Singo bagaluik namonyo ukia Ukia di papan nan sakapiang Dirumah gadang sulangko gadiang Di dalam lumbuang nan bapereng Asa di Agam Balai Gurah Kiasan jago pado adaik Ingek-ingek sabalun kanai Sadio payuang sabalun hujan
101
Ingek-ingek nan di ataeh Nan di bawah kok mahimpok Baitu kieh ibaraitnyo
(Singa bergelut namanya ukir Ukir dipapan yang sekeping Dirumah gadang sulangko gadiang Dalam lumbung yang bapereng Asal di agam balai gurah Kiasan jaga pada adat Hati-hati sebelum kena Sedia payung sebelum hujan Hati-hati nan diateh Yang dibawah ke menghimpit Begitu kias ibaratnya)
Berdasarkan wawancara dengan Mak Katik (6 Juni 2011), menjelaskan:
Contoh realita nan ado, sagalo nan tajadi disekitar menurut falsafah minangkabau alam takambang jadi guru, sagalo nan dilakuan handaknyo sasuai jo falsafah hiduik, indak melenceng dari apo nan lah disyariatkan karano alam ko alah maagiah contoh ba a awak berprilkau saharusnyo, mako alam akan memberikan nan elok untuak manusia, allah manyuruah awak untuak bapikia dan berbuat tanpa harus mengorbankan apopun, dalam peraturan adat nan sasuai jo falsafah alam takambang jadi guru. Bisa diumpamoakan sarupo singo bagaluik, singo bagaluik jo anaknyo, itu ma artikan nyo maaja anaknyo jo bagaluik, nyo manggoyangkan ikuanyo agar anaknyo manangkok. Itu artinyo singo maajakan anaknyo manangkok mangsa, agar anaknyo bisa bertahan hiduik tanpa selalu mengharokkan induaknyo selalu maagiah makan, singo mendidik anaknyo supayo mandiri. (Contoh realita yang ada, segala yang terjadi di sekitar menurut falasafah Minangkabau alam takambang jadi guru, segala yang akan dilakukan hendaknya sesuai dengan falsafah hidup, tidak melenceng dari apa yang disyariatkan karena alam ini telah memberikan contoh bagaimana kita berprilaku seharusnya, kalau kita memperlakukan alam sesuai dengan yang seharusnya maka alam akan memberikan yang terbaik untuk manusia, allah menyuruh kita berpikir apa yang harus dilakukan dengan perantara alam, kita disuruh berpikir dan berbuat tanpa harus mengorbankan apapun, dalam peraturan adat harus sesuai dengan falsafah alam
102
takambang jadi guru. Bisa dianalogikan seperti singa bagaluik, singa bergelut dengan anaknya itu mengartikan dia mengajarkan anaknya, dia mendidik anaknya dengan bergelut, dia menggoyangkan ekornya agar anaknya menangkap, itu artinya singa mengajarkan anaknya menangkap mangsa agar dia bisa bertahan hidup tanpa mengaharapkan induknya selalu memberi makan, dia mendidik anaknya agar mandiri).
C. Pembahasan
Pembahasan ini di perlukan untuk menguraikan lebih rinci tentang
temuan penelitian yang di peroleh di lapangan sebagaimana yang telah di uraikan
di atas. Temuan khusus yang dibahas tentang bentuk, fungsi dan makna Kasua
papan sebagai pelaminan adat nagari Tanjung Barulak.
1. Bentuk Kasua Papan sebagai Pelaminan Adat Nagari Tanjung Barulak.
Berdasarkan wawancara dengan ibu Aisyah (24 Maret 2011) Kasua
papan berbentuk empat persegi panjang dengan susunan bertingkat dengan pola
geometris, bentuk didasarkan pada pengertian ujud, seperti yang diungkapkan
Herbert Read (”Ujud” atau form sebagai bentuk, susunan bagian-bagian, aspek
visual, dan ”ujud” suatu hasil seni tidak lain adalah bentuknya, susunan bagian-
bagiannya, tugasnya, aspeknya yang terlihat itu. Tetapi didalam membicarakan
ujud sesuatu hasil seni, tentu saja yang dimaksud adalah ”ujud yang khas”, ujud
yang dalam beberapa hal mempengaruhi kita.
Teori bentuk (formalis theory) yang dikemukakan oleh Clive Bell dalam
bukunya “Art” menyatakan : segenap seni penglihatan dan musik sepanjang masa
mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk yang bermakna),
103 sehingga seni tersebut dihargai orang, dimana nantinya significant form akan
menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis (aesthetis emotion) dalam diri
seseorang (Gie,1976:74) formalis theori ini didukung juga oleh adanya tiga hal
yang membuat indah yakni: kesatuan (unity), kerumitan (complexity) dan
kesungguhan (intensity).
Wolfflin (dalam Feldman, 1967) menjelaskan dalam karya seni bentuk
dipahami bukan seperti sebuah gambar (dua dimensi), tetapi ia berada dalam
ruang atau volume. Kasua papan dalam bentuk fisik menampilkan sebuah empat
persegi panjang yang diberi hiasan sulaman. Bentuk dalam kajian seni adalah
keseluruhan (totalitas) dari keterpaduan komponen-komponen yang telah
terwujud dalam bentuk bidang (2 dimensi) yang dibuat dengan pengaturan
terkontrol unsur visual (titik, garis, bidang, value, tekstur dan warna). Tabrani
(1992:2) menambahkan bahwa, rupa ditangkap oleh manusia melalui mata.
Bentuk sebagai objek pengamatan adalah sesuatu yang bersifat kasat mata, artinya
dapat dilihat. Dengan demikian bentuk dapat dilihat (ditangkap) melalui alat indra
mata dan informasi disampaikan ke otak, sehingga terbentuk image ‘rupa’ atau
‘kesan’, bayang-bayang yang berbentuk.
2. Fungsi Kasua Papan sebagai Pelaminan Adat Nagari Tanjung Barulak
Fungsi Kasua papan yang dibahas terdiri dari tiga fungsi yaitu, fungsi
simbolis, fungsi estetis, dan fungsi sosial:
a. Fungsi Simbolis
Penambahan ragam hias pada benda, umumnya untuk lebih menarik
dalam arti estetis, dan menjadi lebih bernilai dan meningkatkan penghargaan
104 terhadap benda tersebut, baik secara spritual maupun material. Disamping itu,
tidak jarang ragam hias yang menghiasi suatu benda memiliki nilai simbolis atau
mengandung maksud tertentu, sesuai dengan tujuan dan gagasan penciptanya,
sehingga dapat meningkatkan status sosial bagi yang memilikinya, dengan
demikian ragam hias tidak dapat dipisahkan dari latar belakang sosial budaya
masyarakat yang membuatnya.
Fungsi simbolis ragam hias pada umumnya dapat dijumpai pada benda
upacara atau benda pusaka yang bersifat keagamaan atau kepercayaan , menyertai
nilai estetis, begitu juga dengan ragam hias Minangkabau, hampir setiap benda
yang berhubungan dengan adat istiadat di Minangkabau mamiliki ragam hias,
misalnya balai adat, rumah gadang, carano, keris, singgasana, pakaian dan
Kasua papan. Benda tersebut mempunyai makna yang sama, meskipun berbeda
dalam penempatannya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ragam
hias Minangkabau, dalam pembentukannya berangkat dari falsafah alam
takambang jadi guru, yang dalam penciptannya sudah tidak menyerupai bentuk
asli dari motif hias yang diciptakan, bentuk yang ada pada alam digubah menjadi
ragam hias, alam tumbuhan mulai dari akar, ranting, daun, pucuk, bunga, dan
binatang dimulai dari, harimau, singa, ular, gajah, kuda, kucing, tetandu,
itik,kelelawar, bada, rusa, lebah, ayam, kijang, tupai, ramo-ramo, dan alam benda
lainnya seperti laka, jamba makan, kipas, salimpat, embun, ombak, pitih, banyak
digunakan sebagai sumber penciptaaan ragam hias.
Dalam hal ini Soedarso (2006:29), menjelaskan bahwa alam
menyediakan bentuk yang baik untuk dikomposisikan, dan alam juga
105 menyediakan diri untuk ditiru. Orang Yuanani menyebutnya sebagai mimesis atau
tiruan alam. Dan menurut Mak Katik (wawancara 7 Maret 2011) mengatakan
ragam hias Minangkabau digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu berasal dari
tumbuh-tumbuhan, dari binatang, dan benda-benda lainnya. Sementara itu alam
juga menyediakan diri untuk diambil menjadi motif batik dan sebagainya
melewati stilasi, baik diberi arti atau simbolisasi ataupun dibiarkan saja tanpa
makna.
Fungsi Kasua papan dimaknai oleh masyarakat pengguna adalah sebagai
benda budaya yang dipakai pada upacara pesta perkawinan sebagai lambang strata
sosial masyarakat yang menggunakan, dengan adanya Kasua papan dirumah
mempelai perempuan itu menandakan status sosial yang disandang oleh mempelai
laki-laki, setiap tamu yang datang tidak perlu lagi bertanya siapa mempelai laki-
lakinya, apa pekerjaannya, dan sebaginya.
Kasua papan sebagai benda budaya yang digunakan pada saat upacara
adat perkawinan di nagari Tanjung Barulak merupakan suatu objek yang
mempunyai makna yang ingin diungkapkan oleh masyarakat pendukungnya
kepada para tamu yang hadir, sekaligus sebagai tanda bahwa pada saat itu
terjadinya upacara adat perkawinan, sebagimana diungkapkan oleh Ferdinand de
Saussure (1913) bahwa dalam setiap obyek yang dipakai oleh seseorang untuk
mengungkapkan sesuatu kepada orang lain, selalu memiliki peran gandanya
sebagai “yang menandakan sesuatu” dan sekaligus sebagai “yang ditandakan”.
Sejalan dengan Ferdinand, Peirce (dalam Hoed,1992) menyebutkan Tanda adalah
sesuatu yang mewakili sesuatu. Tanda juga bisa berupa lambang, jika hubungan
106 antara tanda itu dengan yang diwakilinya didasarkan pada perjanjian (convention).
Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu, apabila “sesuatu” disampaikan
melalui tanda dari pengirim kepada penerima, maka sesuatu tersebut bisa disebut
sebagai “pesan”.
Berdasarkan kesepakatan para ninik mamak nagari Tanjung Barulak
dengan masyarakat pendukung, bahwa Kasua papan dijadikan simbol atau
lambang nagari dan sebagai pesan yang hendak disampaikan kepada masyarakat
Tanjung Barulak, dengan begitu masyarakatpun mengerti akan tanda tersebut.
Kasua papan yang bertingkat mempunyai makna tersendiri, sembilan
tingkat disimbolkan ketika penghulu pucuk mengadakan upacara adat
perkawinan, tujuh tingkat disimbolkan ketika penghulu andiko mengadakan
upacara adat perkawinan, lima tingkat disimbolkan ketika tungganai mengadakan
upacara adat perkawinan, dan empat tingkat disimbolkan ketika orang kebanyakan
atau orang biasa mengadakan upacara adat perkawinan.
Kasua papan ini wajib dipakai oleh masyarakat nagari Tanjung Barulak
jika mengadakan pesta perkawinan, dan dipasangnya juga hanya dirumah
mempelai perempuan, dan jika dirumah mempelai perempun tidak ada Kasua
Papan maka mempelai laki-laki tidak akan naik ke rumah mempelai perempuan.
Kasua papan ini sangat penting karena melambangkan status sosial mempelai pria
ketika adanya upacara adat perkawinan.
b. Fungsi Estetis
Kebudayaan dan adat Minangkabau mengandung falsafah alam
takambang jadi guru, dalam penciptaan ragam hias, masyarakat Minangkabau
107 dalam kehidupan budayanya selalu berangkat dari alam. Risman Marah
(1987/1988), dalam bukunya Ragam Hias Tradisional Minangkabau membahas
bentuk dan corak ragam hias yang berkembang di Minangkabau, seperti yang
terdapat pada tekstil, perabot, maupun pada benda lainnya, yang masing-masing
memiliki bentuk serta corak yang khas. Ragam hias Minangkabau digolongkan ke
dalam tiga macam, yaitu berasal dari tumbuh-tumbuhan, dari binatang, dan benda-
benda lainnya. Pernyataan ini memiliki kesamaan dengan hasil wawancara dengan
Mak Katik (wawancara 7 Maret 2011) yang menyatakan ragam hias Minangkabau
digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu berasal dari tumbuh-tumbuhan, dari
binatang, dan benda-benda lainnya
Ragam hias yang digunakan dalam Kasua papan merupakan perpaduan
antara garis, bidang dan warna yang menggunakan pola geometris, yang dimaknai
dari makhluk hidup sepeti tumbuhan dan binatang. Dalam buku Mengenal Ragam
Hias Indonesia, yang ditulis oleh M. Soegeng Toekio (1987) menjelaskan ragam
hias mulai dari pembahasan garis, bidang, dan tekstur, kemudian ragam hias
geometris, ragam hias tumbuh-tumbuhan, ragam hias makhluk hidup, ragam hias
dekoratif, serta pola ulang dalam penciptaan ragam hias.
Ragam hias hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media
ungkap perasaan, yang diwujudkan dalam bentuk visual, yang proses
penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Ragam hias tersebut
berfungsi untuk memperindah benda atau barang yang dihiasi. Alam takambang
dijadikan sumber pengetahuan dan patokan dalam mengatur kehidupan di tengah
masyarakat.
108
Gie menambahkan (1976:35) ”Keindahan dalam arti estetik murni
menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala
sesuatu yang diserapnya, sedangkan keindahan dalam arti yang terbatas lebih
disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang diserap dengan
penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna.
Sedangkan menurut Agus Sachari (2002:7) bahwa kajian-kajian estetika
mengalami reorientasi substansial, yaitu memandang seni bukan pada kecantikan
dan keindahannya, melainkan telah bergeser ke arah aksi, makna dan tanda. Selain
sebagai fungsi simbolis, kasua papan juga menjadi fungsi estetis yaitu, kasua
papan dengan bentuknya persegi yang ditutupi dengan kain yang penuh dengan
motif dan warna-warna yang indah, selain menarik juga megundang tanya, selain
pelaminan yang digunakan sebagai tempat bersanding, ada juga Kasua papan
yang menarik untuk dilihat, ini juga merupakan kabiasaan upacara adat
perkawinan yang tidak ditemukan di daerah lain.
Seiring dengan perkembangan zaman pembuatan kasua papan sekarang
sudah mengalami perubahan dengan motifnya, ini juga bertujuan agar
pengerjaannya lebih mudah dan bentuknyapun lebih menarik, semua ini dilakukan
semata-mata hanya untuk keindahan dengan tidak merobah fungsi dari kasua
papan tersebut. Dan lagi bahan yang digunakan dahulu tidak sama produksinya
dengan yang sekarang, produksi bahan sekarang itu jauh lebih bagus, makanya
dengan produksi bahan sekarang itu jauh lebih indah dan lebih mudah, sehingga
hasilnyapun lebih menarik, tapi tetap pada fungsinya dengan tidak merubah arti
dan makna Kasua papan itu sendiri.
109 c. Fungsi Sosial
Kasua papan merupakan benda budaya masyarakat nagari Tanjung
Barulak yang masih dijaga dan diwarisi sampai saat ini, dengan begitu Kasua
papan memiliki fungsi sosial. Feldman menjelaskan bahwa karya seni memiliki
fungsi sosial, yaitu:
(1) Karya seni itu mencari atau cenderungmempengaruhi perilaku kolektif orang banyak, (2) karya seni itu diciptakan untuk dilihat (diperguankan), khususnya dalam situasi-situasi umum, dan (3) karya seni itu mengekspresikan atau menjelaskan aspek-aspek tentang eksistensi sosial atau masyarakat kolektif sebagai lawan dari berbagai macam pengalaman personal maupun individu. Ragam hias tersebut diciptakan dan diaplikasikan kedalam Kasua papan
untuk mengingatkan masyarakat nagari Tanjung Barulak terhadap nilai-nilai
budaya dan adat istiadat yang terkandung di dalamnya, (wawancara dengan Mak
Katik, 23 Maret 2011), dan dilanjutkan oleh Angku Dt. Rajo Lelo (wawancara, 23
Maret 2011) bahwa tujuan para ninik mamak menjadikan Kasua papan sebagai
ciri khas nagari Tanjung Barulak memang untuk mengingatkan para pewarisnya
agar tetap menjaga tradisi budaya nagari mereka agar tidak hilang seiring dengan
kemajuan zaman.
Kasua papan sebagai benda budaya bagi masyarakat nagari Tanjung
Barulak memiliki fungsi sosial, karena Kasua papan dijadikan ciri khas nagari
Tanjung Barulak untuk memenuhi tuntutan adat yang harus dipatuhi oleh
masyarakat pemakainya khusus untuk upacara adat perkawinan. Hal ini sesuai
dengan yang dijelaskan oleh Feldman pada poin dua diatas, dimana karya seni
diciptakan untuk dilihat dan dipakai khususnya dalam situasi-situasi umum.
110 Fungsi sosial Kasua papan pada upacara adat, disamping mempunyai nilai estetis
Kasua papan juga memiliki corak tradisi dan unsur-unsur simbolik ragam hias
yang ditampilkan.
Fungsi sosial seni cenderung mempengaruhi perilaku kolektif orang
banyak, hal tersebut dapat dilihat dari bentuk ragam hias yang terdapat pada
Kasua papan. Ragam hias tersebut diciptakan dan diaplikasikan kedalam Kasua
papan untuk mengingatkan masyarakat nagari Tanjung Barulak teehadap nilai-
nilai budaya dan adat istiadat yang terkandung di dalamnya, karena tujuan para
ninik mamak menjadikan Kasua papan sebagai ciri khas nagari Tanjung Barulak
memang untuk mengingatkan para pewarisnya agar tetap menjaga tradisi budaya
nagari mereka agar tidak hilang seiring dengan kemajuan zaman. Berikut ini
skema yang mengacu pada pandangan Felmand tentang fungsi sosial.
1 2 3
The Social Function of Art
Ket: posisi fungsi sosial sebagai pertimbangan yang diutamakan
3. Makna Simbol Kasua Papan
Persoalan meaning menurut Fisher (1978:342) selalu dilihat dalam
konteks komunikasi ‘bahasa’ atau ‘kata’. Padahal meaning itu dapat berada
The social function of art: political and
ideological expression sicial satire.
Description, graphic, information
The physical function of art:arcthitecture
large scale design, the community, the crafts
& industrial design
The personal function of art: art and psychological
expression: love, sex, &marriage, death & morbidity, spritual
111 dengan tanpa atau di luar konteks komunikasi bahasa, yakni komunikasi atas
hubungan manusia dengan suatu objek fisik atau karya seni.
Wawancara dengan Angku Dt Rajo Lelo (7 April 2011), mengatakan
makna dan simbol dapat dilihat dari bentuk, struktur dan motif yang terdapat pada
Kasua papan, dimana setiap tingkatan yang ada pada Kasua papan mempunyai
arti dan makna, begitu juga motif yang ada pada Kasua papan tersebut, setiap
motif mempunyai makna yang tidak dapat digunakan dengan sembarangan,
makna dan simbol ini bagi masyarakat Minangkabau dituangkan dalam bentuk
pepatah-petitih yang memberikan petunjuk dan arahan sebagaimana mestinya
terhadap pemakaian Kasua papan dan ajaran-ajaran yang terdapat di
Minangkabau.
Untuk dapat mengetahui makna simbol yang terdapat pada kasua papan
tidak lepas dari bentuk dan fungsi Kasua papan tersebut pada masyarakat
pemakainya. Makna dan simbol dapat dilihat dari bentuk, struktur dan motif yang
terdapat pada Kasua papan, dimana setiap tingkatan yang ada pada kasua papan
mempunyai arti dan makna tersendiri, begitu juga motif yang ada pada Kasua
papan tersebut, setiap motif mempunyai makna yang tidak dapat digunakan
dengan sembarangan, makna dan simbol ini bagi masyarakat Minangkabau
dituangkan dalam bentuk pepatah-petitih yang memberikan petunjuk dan arahan
sebagaimana mestinya terhadap pemakaian Kasua papan dan ajaran-ajaran yang
terdapat di Minangkabau.
Analisis tentang ragam hias pada Kasua papan secara tekstual dan
kontekstual memakai teori Feldman yang memandang karya seni dari tiga aspek,
112 yaitu: a) struktur (structure) seni yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu unsur seni
rupa dan pengorganisasian elemen seni atau komposisi seni. Struktur bentuk
ragam hias Kasua papan merupakan salah satu bagian dalam pembahasan ini .
b)fungsi karya seni dibagi dalam tiga aspek, yaitu: 1) personal functions of art, (2)
social functions of art, (3) physical functions of art (Feldman, 1967).
Ragam hias pada umumnya dapat dijumpai pada benda upacara atau
benda pusaka yang bersifat keagamaan atau kepercayaan , menyertai nilai estetis,
begitu juga dengan ragam hias Minangkabau, hampir setiap benda yang
berhubungan dengan adat istiadat di Minangkabau mamiliki ragam hias, misalnya
balai adat, rumah gadang, carano, keris, singgasana, pakaian dan Kasua papan.
Benda tersebut mempunyai makna yang sama, meskipun berbeda dalam
penempatannya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ragam hias
Minangkabau, dalam pembentukannya berangkat dari falsafah alam takambang
jadi guru, yang dalam penciptannya sudah tidak menyerupai bentuk asli dari motif
hias yang diciptakan, bentuk yang ada pada alam digubah menjadi ragam hias,
alam tumbuahn mulai dari akar, ranting, daun, pucuk, bunga, dan binatang
dimulai dari, harimau, singa, ular, gajah, kuda, kucing, tetandu, itik, kelelawar,
bada, rusa, lebah, ayam, kijang, tupai, ramo-ramo, dan alam benda lainnya seperti
laka, jamba makan, kipas, salimpat, embun, ombak, pitih, banyak diguakan
sebagai sumber penciptaaan ragam hias.
Kebudayaan dan adat Minangkabau mengandung falsafah alam
takambang jadi guru, dalam penciptaan ragam hias, masyarakat Minangkabau
dalam kehidupan budayanya selalu berangkat dari alam. Risman Marah
113 (1987/1988), dalam bukunya Ragam Hias Tradisional Minangkabau membahas
bentuk dan corak ragam hias yang berkembang di Minangkabau, seperti yang
terdapat pada tekstil, perabot, maupun pada benda lainnya, yang masing-masing
memiliki bentuk serta corak yang khas. Ragam hias Minangkabau digolongkan ke
dalam tiga macam, yaitu berasal dari tumbuh-tumbuhan, dari binatang, dan benda-
benda lainnya.
Dalam buku Mengenal Ragam Hias Indonesia, yang ditulis oleh M.
Soegeng Toekio, dijelaskan mengenai ragam hias, mulai dari pembahasan garis,
bidang, dan tekstur, kemudian ragam hias geometris, ragam hias tumbuh-
tumbuhan, ragam hias makhluk hidup, ragam hias dekoratif, serta pola ulang
dalam penciptaan ragam hias (soegeng,1987)
Ragam hias hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media
ungkap perasaan, yang diwujudkan dalam bentuk visual, yang proses
penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Ragam hias tersebut
berfungsi untuk memperindah benda atau barang yang dihiasi. Alam takambang
dijadikan sumber pengetahuan dan patokan dalam mengatur kehidupan di tengah
masyarakat.
Makna filosofis yang terkandung dalam berbagai bentuk ragam hias yang
diterapkan sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat pendukungnya, dalam
menciptakan karya seni yang mengandung makna, akan dipengaruhi oleh zaman
dan tempat atau daerah orang yang menciptakannya. Soemardjo (200:127),
menjelaskan bahwa karya seni yang baik mampu membangkitkan atau
mempengaruhi sebahagian emosi masyarakat tertentu sesuai dengan zamannya.
114 Bahkan lebih jauh karya seni tersebut bisa melambangkan jati diri budaya bangsa,
yang mencerminkan pola pikir dan perilaku hidup masyarakat pada zamannya.
Ragam hias yang diterapkan pada Kasua papan merupakan ragam hias
tradisional yang bersifat turun temurun, jenis dan bentuk yang ditampilkan
merupakan warisan dari para pendahulunya, yang sekarang masih terus
dilestarikan agar tidak terjadinya pergeseran yang mungkin mengakibatkan
kepunahan. Kasua papan memiliki motif Basulam, Bakabuang, dan Tabu
Satuntuang, dimana penempatan motif ini harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, dan tidak boleh dibolak balik.
Seperti pepatah minang:
Bajanjang naiak batanggo turun Naiek dari janjang nan dibawah Turun dari tanggo nan diateh Babilang dari aso Mangaji dari alieh Kamanakan barajo kamamak Mamak barajo kapanghulu Panghulu barajo ka mufakat Mufakat barajo ka nan bana Bana badiri sandirinyo Nan manuruik aluah jo patuik
(berjenjang naik bertangga turun, naik dari jenjang yang dibawah, turun dari tangga yang diatas, berbilang dari esa, mengaji dari alif, kemenakan balajar ke mamak, mamak belajar ke penghulu, penghulu belajar ke mufakat, mufakat belajar ke kebenaran, kebenaran berdiri sendiri, menurut alur dan patut).
115
Untuk masuk kesebuah rumah banyak kemungkinan yang bisa dilalui,
dari belakang, dari lanatai, dari jendela, dari atas, dan sebagainya tetapi yang
lazim menurut aturan adat Minangkabau ialah, naik dari jenjang, turun dari
tangga, ini mengandung arti firman allah yang artinya, “naiklah engkau kerumah
dari tangganya”. Pertama, secara lahir untuk sampai kesebuah rumah, hendaklah
melalui sarana yang telah ditentukan, yakni tangga tempat naik dan tempat turun,
orang yang naik selain dari yang telah ditentukan itu, suatu pertanda pada dirinya
telah hilang rasa malu dan sopan. Kedua, arti yang tersirat untuk mencapai suatu
tujuan dalam masyarakat, hendaklah melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku,
seperti harus dilaksanakan secra hierarkis, dan dari atas kebawah seperti tingkatan
wewenang dalam pemerintahan suatu negara, dan dari bawah keatas secara
berurutan.
Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai tanggung jawab dalam
lingkungan tertentu, mengenai orang-orang dalam hubungan terdekat, tentang
kekeluargaan , tentang persekutuan hidup dan juga mengenai daerah dan batasnya.
Dengan demikian, terdapatlah suatu susunan masyarakat Minangkabau dari yang
sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya, yaitu berkeluarga, berkaum
berkorong, berkampung, berhindu, bersuku, berdusun bernagari, berkerat balai,
berluhak, beralam, dan susunan masyarakat Minangkabau ini masing-masing
mempunyai dasar falsafah yang sama, dengan susunan masyarakat yang satu yaitu
dasar kekeluargaan, satu dengan bersama, dari oleh dan untuk bersama.
Setiap pemufakatan yang tidak menurut alur dan patut , hasilnya tidaklah
mendapat dukungan dari masyarakat, setiap mufakat yang tidak berdasarkan alur
116 dan patut ini akan menghilangkan wibawa pemimpin yang menjalankannya,
karena alur yang telah kita ketahui adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya,
patut menurut yang wajar.
Tabel 5: Analisis Motif Ragam Hias Kasua Papan
No
Nama Motif Gambar Simbol
1. Basolan (basulam)
Saluak Laka
Buah Palo Babalah
Teratai dalam Aia
Melambangkan Penghulu Pucuk, letaknya paling atas.
117
2.
Bakabuang
Melambangkan Penghulu Andiko dan Tungganai. Letaknya ditengah
3.
Tabu Satuntuang
Melambangkan orang biasa, letaknya paling bawah.
118
Tabel 6: Analisis Motif Ragam Hias Bantal Kasua Papan
No
Nama Motif
Bantal Kasua Papan
Bentuk Motif
Gambar Motif
Makna Simbolis
1
Bungo Duo
Tangkai
Jangan berlaku sombong, apa adanya
2
Saik Galamai
Kerja Keras dan menghormati tamu
3
Carano Kanso
Tempat berkumpul segala ilmu yang kekal
4
Singo
Bagaluik
Alam takambang jadi guru
5
Saik Galamai
Kerja Keras dan menghormati tamu
119
6
Kuciang
Lalok
Sifat pemalas dan kadang memiliki kesiapan
7
Carano Kanso
Tempat berkumpul segala ilmu yang kekal
8
Daun Puluik- Puluik
Orang yang bijaksana
9
Bungi Panco
Matohari
Allah tempat keputusan terakhir
120
Tabel 7: Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna Simbolis Kasua Papan
No. Bentuk Fungsi dalam Masyarakat Tanjung Barulak
Makna Simbolis
1.
2.
3.
4.
1. Fungsi Simbolis:
Sebagai simbol status mempelai
pria, ketika upacara adat
perkawinan.
2. Fungsi estetis:
Selain pelaminan Kasua
Papan juga menjadi daya tarik
tersendiri.
3. Fungsi sosial:
Kasua papan sebagai ciri khas
Nagari Tanjung Barulak.
Dipakai oleh Penghulu Pucuk. (pimpinan)
Dipakai oleh Penghulu Andiko (pimpinan yang keberadaannya dibawah Penghulu Pucuk) Dipakai oleh Tungganai (Mamak rumah) Dipakai oleh Orang Biasa
121
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari tulisan tesis yang disajikan diatas dapat ditarik tiga simpulan:
1. Bahwa Kasua papan sebagai benda budaya yang dipakai ketika pesta
perkawinan di nagari Tanjung Barulak. Bentuk tingkatan yang
mengandung makna simbol. Sembilan tingkat digunakan oleh penghulu
pucuk, tujuh tingkat digunakan oleh penghulu andiko, digunakan oleh
datuk tungganai, dan empat tingkat digunakan oleh orang kebanyakan atau
orang biasa. Simbol yang terjadi lewat interaksi sosial dan budaya pada
masyarakat nagari Tanjung Barulak.
2. Kasua papan secara keseluruhan memiliki fungsi simbolis sebagai simbol
status mempelai pria, ketika upacara adat perkawinan, fungsi estetis selain
pelaminan Kasua papan juga menjadi daya tarik tersendiri, dan fungsi
sosial Kasua papan sebagai ciri khas Nagari Tanjung Barulak.
3. Terdapat makna motif Kasua papan, motif Basolan yang melambangkan
angku atau penghulu pucuk, motif Bakabuang yang melambangkan
penghulu Andiko dan datuk tungganai, dan motif Tabu satuntuang yang
melambangkan rakyat biasa. Makna tersebut dipedomani sebagai tata
aturan adat yang berlaku bagi masyarakat nagari Tanjung Barulak sebagai
hasil warisan budaya yang harus dipertahankan.
121
122
B. Implikasi
Kasua Papan sebagai benda budaya yang dipakai dalam upacara adat
perkawinan di nagari Tanjung Barulak adalah hasil budaya yang harus
dipertahankan, karena Kasua papan hanya dipakai di nagari tanjung Barulak.
Penelitian Kasua papan ini juga bisa menambah khasanah budaya Minangkabau,
bahwa masih banyak budaya-budaya di Minangkabau yang belum digali. Untuk
lebih lanjut penelitian ini bisa di implikasikan kedalam dunia pendidikan,
khususnya untuk mata pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau) pada daerah
dan lingkungan Kabupaten Tanah Datar khususnya dan budaya Minangkabau
umumnya.
C. Saran
Keberadaan Kasua papan sebagai benda budaya yang dipakai ketika
upacara adat perkawinan termasuk warisan budaya Minangkabau. Kasua papan
banyak mengandung nilai-nilai estetik dan simbolik yang memuat semua aturan
dan budaya bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat
pendukungnya. Oleh karena itu sebagai benda budaya yang harus dijaga dan
diwarisi sampai ke anak cucu mereka, hendaknya masyarakat nagari Tanjung
Barulak harus memahami dan mengetahui makna-makna yang tersirat dalam
Kasua papan tersebut, dan bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Dengan mempertahankan Kasua papan sebagai warisan budaya, dapat
menghindari dari kepunahan, tidak tertutup kemungkinan dengan seiring
kemajuan zaman, Kasua papan ini bisa hilang dan tidak akan dikenal lagi sebagai
123
benda budaya nagari Tanjung Barulak, untuk itu pemahaman yang baik dan rasa
kepedulian yang tinggi dapat mengatasi kecemasan ini.
Untuk warga masyarakat nagari Tanjung Barulak agar mempunyai
kepedulian untuk terus mengembangkan dan menjaga Kasua papan ini,
berhubung dengan hasil wawancara dengan pembuat Kasua papan, bahwa
penjahit Kasua papan hanya beliaulah satu-satunya, hendaknya yang mempunyai
kekuasaan di nagari Tanjung Barulak mempunyai ide atau keinginan mengelola
dan mengadakan pelatihan untuk membuat Kasua papan ini, bisa juga
dikumpulkan para generasi muda dan ibu-ibu ibu rumah tangga ututk dapat
mewarisi pembuatan Kasua papan ini, agar benda benda budaya ini tidak hilang
karena kurangnya perhatian oleh masyarakat pendukungnya.
Dengan terus mewarisi Kasua papan sebagai benda budaya nagari
Tanjung Barulak, dengan begitu masyarakatnya telah menghindari munculnya
Kasua papan versi baru, dan masyarakat harus bangga dengan hasil kebudayaan
mereka, karena nagari Tanjung Barulaklah satu-satunya yang mempunyai benda
budaya Kasua papan dan tidak dipakai di nagari-nagari dimanapun di
Minangkabau.
124
DAFTAR PUSTAKA
A. M. Djelantik. (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan.
Agus Sachari. (2002). Estetika, Makna, Simbol dan Daya. Bandung: ITB Jln Ganesa 10 Bandung.
Barker, Chiris. (2000). Cultural Studies Teori & Praktek. Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Budiman, Kris. (1999). Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKIS
DIKNAS Kota Padang Panjang. (2004). Budaya Alam Minangkabau. Padang: IAIN- IB Press
E.K.M. Masinambow, Rahayu S. Hidayat. (2002). Semiotik. Depok: LPUI
Geertz, Clifford. (1992). Tafsir Kebudayaan. Kanisius: Yogyakarta
Gorys Keraf. (1990). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.
Idrus Hakimi. (1991). Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: CV Rosda.
Jakob Soemardjo. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB Press.
J. Deang, Hans. (2000). Manusia Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Jupriani. (2002). Pergeseran Motif Hias dan Warna Antakesuma Suji pada Pelaminan dan Busana Penganten di Naras Kabupaten Pariaman. Tesis: Institut Teknologi Bandung.
Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Anthropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
_____________ (2005). Pengantar Anthropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.
_____________ (1983). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:Aksara Baru.
Licoln and Cuba. (1984). Naturalistic inquiry. Sage Pblishion Ltd. London: Beverly Hills.
Maran, Rafael Raga. (2000). Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
125
Mardajani Martamim. (1976). Ragam Ukiran Rumah Gadang Minangkabau. Padang. Jurusan Sejarah FKPS IKIP Padang.
Maruhun Batuah, Dt. (1956). Hukum Adat dan Adat Minangkabau Luhak Nan Tiga Laras Nan Dua. Jakarta: N. V. Peosaka Aseli
Miles, B. M. Dan Hubberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
M. Rasjid Manggis Dt Radjo Panghoeloe. (1971). Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang Indonesia: Sri Dharma.
Moeliono, Anton M. (Penyunting). (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Moleong, Lexy. J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muharman E danWarti Sundaryati. (1992). Pendidikan Kesenian II. Jakarta: Dikti Dirjen‐Depdikbud.
Mulyana Dedi. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nasbahry, Couto. (1998). Makna dan Unsur-unsur Visual pada Bagungan Tradisional Minang ( studi kasus Bangunan Rumah Gadang di Sehiliran Batang Bengkawas Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat). “Tesis”. Tidak diterbitkan.
________________(2009). Seni Rupa Teori dan Aplikasi. Padang: UNP Press
Nofi Rahmanita. (2010). Ragam Hias Pelaminan Nareh Pariaman Aspek estetik dan unsur Pembentuknya. Tesis. Padang Panjang: ISI Padang Panjang.
Risman Marah, (1987). Ragam Hias Minangkabau. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan
Ritzer, George. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
Sanapiah Faisal. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasinya. Malang: Y A 3 Malang
Syaiful, Sagala. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
126
Soedarso, Sp. (2006). Trilogi Seni Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni. Yogyakarta: ISI.
Spradley, James P. (1997). Metode Etnografi. Penerjemah; Misbah Zulfa Eliza. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Spirito, Ugo. (1963). “Esthetics” Encyclopedia of World Arts. New York: Mc. Grow-Hill Book Company Inc.
Tabrani, Primadi. (1995). Belajar dari Sejarah dan Lingkungan. Bandung: ITB.
The Liang Gie. (1996). Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar.
Toekio, Soegeng, M. (1987). Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandang: Angkasa
Usman Pelly, & Asih Menanti. (1994). Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Van Peursen, C. A. (1976). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
_______________ (1989). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Putra
Verbeek, S. J. (1989). Psikologi Umum Pengamatan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Http://www.framepoythress.org/poythress_books/ogden richard trianggle/GCBI.BGI16RefO.htm
127
SUSUNAN PENGHULU NAGARI TANJUNG BARULAK
Tungganai TungganaiTungganai Tungganai Tungganai Tungganai
Keterangan:
Nagari Tanjung Barulak mempunyai 20 (dua puluh) Penghulu, 6 (enam) Penghulu Pucuk dan 14(empat belas) Penghulu Andiko.
Penghulu Pucuk
Penghulu Andiko
Datuk Tungganai
Keterangan:
Nagari Tanjung Barulak mempunyai 20 (dua puluh) Penghulu, 6 (enam) Penghulu Pucuk dan 14(empat belas) Penghulu Andiko.
Penghulu Pucuk
Penghulu Andiko
Datuk Tungganai
Angku Dt. Marajo (Guci)
Angku Dt. Pangulu Nan Kuniang (Simabur)
Angku Dt. Rajo Lelo (Pisang)
Angku Dt. Panjang (Koto)
Angku Dt. Joindo (Piliang)
Angku Dt. Mangadai (Tanjung)
1. Dt. Rajo Mangkuto
2. Dt. Tan Mudo 3. Dt. Pangulu
Marajo
1. Dt. Rajo Bukik 2. Dt. Adia 3. Dt. Palimo 4. Dt. Pangulu Nan
Hitam
1. Dt. Rangkayo Hitam
2. Dt. Nan Basa 3. Dt. Banuanso 4. Dt. Tianso
Dt. Rajo Batuah Dt. Rajo Palawan Dt. Pono
Tungganai TungganaiTungganai Tungganai Tungganai Tungganai
Keterangan:
Nagari Tanjung Barulak mempunyai 20 (dua puluh) Penghulu, 6 (enam) Penghulu Pucuk dan 14 (empat belas) Penghulu Andiko.
Penghulu Pucuk
Penghulu Andiko
Tungganai
128
BIODATA INFORMAN
No
Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Foto
1 B. Angku Dt. Manggada i
49 Th
Ketua KAN Tanjung Barulak
Pulau Air, Jorong Pd Langgo
2
Siti Aisyah
67 Th
Ketua Bundo Kanduang Tanjung Barulak
Pulau Air, Jorong Koto
3
Melyuni
47 Th
Bundo Kanduang Tanjung Barulak
Ganting, Pd langgo
4
Nurma
67 Th
Penjahit Kasua papan
Jorong Koto
5
Hj. Zubainar
75 Th
Penyewa Kasua Papan
Jorong Kapalo Koto
6
Angku Dt. Rajo Lelo
76 Th
Pensiunan TU Tsanawiyah Batu Taba
Jorong Kapuah
129
7
Musra Dahrizal (Mak Katik)
62 Th
Budayawan
Jl. Bandar Dureh Ratuih, Kurao Pagang, Padang
8
Erma Yeni
28 Th
Guru
Jorong Pulai
130
HASIL WAWANCARA
Angku Dt Manggadai (Ketua KAN Nagari Tanjung Barulak)
Hari / Tanggal : Jumat/ 25 Februari 2011 Jam 10.00
Dengan melewati jalan yang berliku,mendaki dan menurun, dikiri kanan pemandangan alam yang begitu menyejukkan mata, angin yang berhembus segar seakan menghilangkan jenuh kaki melangkah, akhirnya sampailah peneliti dirumah narasumber yang begiu asri, didepan rumah terdapat aliran sungai yang jernih dengan gemericik air sesekali terdengar. Setelah berjanji via telpon akhirnya narasumber meluangkan waktunya untuk diwawancarai, berhubung narasumber juga menjabat sebagai ketua KAN nagari Tanjung Barulak, aktifitas yang begitu padat, peneliti bersyukur sekali diberi kesempatan untuk bisa bertemu langsung dengan narasumber, yang mana kesempatan ini sangat langka didapatkan peneliti. Diruangan yang berukuran 10x6 meter tersebut narasumber menerima peneliti dengan senyuman yang bersahabat, ruangan yang tertata apik sangat kental dengan nuansa perkampungan yang begitu nyaman, peneliti dipersilahkan duduk. Dan Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan barulah peneliti mengajukan pertanyaan awal...
1. Ba a sejarah kasua papan tu ngku..?
Jawab :
Kasua papan ditanjuang barulak adolah adat yang harus dipakai bilo ado pesta perkawinan, adat mamakai kasua papan adolah adat nan diadatkan, adat salingka nagari, apobilo nan baralek dari pihak padusi, kasua papan ko wajib dipakai dirumah padusi, apobilo nan baralek laki-laki bakarik kalua kasua papan ko dak wajib dipakai lai, tanjuang barulak ko mamakai adat koto piliang, kasua papan lah dipakai dek urang tuo-tuo kampuang tanjuang barulak jd kami malanjuikan adat nan lah diwariskan dek urang tuo-tuo kampuang.
2. Apo maksud kasua papan nan batingkek-tingkek tu ngku..?
Jawab :
Kasua papan tu tingkeknyo ado 9, 7, 5, 4, kalau 9 dipakai bilo nan baralek angku/ pangulu pucuak, 7 dipakai panghulu andiko, 5 dipakai dek Tungganai, 4 dipakai dek urang kebanyakan atau urang biaso. Jiko nan baralek kamanakan kontan dari panghulu pucuak atau angku, mako kasua papan dipakai 5 tingkek, samo statusnyo jo panungkek/ tungganai.
131
3. Apo ado perbedaan pemakaian kasua papan kini jo pemakaian kasua papan lamo ngku..?
Jawab :
Adaik kasua papan ko lah turun temurun dipakai di nagari Tanjuang Barulak, adat nan harus dipauhi dek masyarakat yang berdiam di nagari Tanjuang Barulak ko, jadi perubahan tu dak bitualah bana, paliangan bantuak e nan barubah, motif nan dipakai, warna, jo penyusunan kasua papan tu yang barubahnyo. Tapi sacaro adat pemakaian kasua papan masih dipertahankan.
4. Pernah dak terjadi kesalaha dalam pemakaian kasua papan ko ngku, misalnyo kasua yang harus dipakai 4 dipakia 5...?tu apo sangsi yang harus ditarimo,,?kesalahan tu terjadi karano apo..?
Jawab :
Pernah ado nan tajadi laki-laki yang kapulang karumah padusi tu harusnyo dipasang kasua papan tu 5 tingkek dipasangnyo 4, kalau itu tajadi nasi nan talatak ditangah tu dak dikaca dek urang yang datang do, diadokan lo parundiangan urang rumah tu harus mancukuik an kasua tu satingkek lai, jadi urang nan datang tadi manuntuik untuak di tambah kasua papan tadi, sabalum kasua tu cukuik urang nan datang ko dak kamakan di rumah nan padusi, masih banyak aturan yang harus dipanuahi dek urang nan mananti, kasalahan tu tajadi karano kurangnyo komunikasi antaro ninik mamak jo kamanakannyo, kini kamakan ko kan lah maraso santiang jadi mamak ko dilangkahi sajo, dak do pandai batanyo, kalau lah tajadi kasalahan mode ko, ujuang2nyo mamak juo nan malu, mamak juo nan harus manyalasaian masalah ko, mamak nan dituntuik dek mamak urang nan datang.
5. Fungsi kasua papan tu apo nan sabananyo ngku..?
Jawab :
Satau angku fungsi kasua papan tu di tanjuang barulak ko sabagai simbol adat perkawinan,dari kasua papan tu lah nampak sia urang yang pulang karumah padusi tu, apo nyo angku,/ panghulu pucuak, panghulu andiko, panungkek/ tungganai, atau urang biaso sajo, karano kasua papan tu dipakai hanyo bilo ado urang nan baralek sajo, dak do dipakai untuak upacara adatnan lain do, misal batagak panghulu, baralek nagari, dan lain- lain.
6. Jadi di Tanjuang barulak tu nampak bana status sosial urang mah dak ngku..?
132
Jawab :
Yo lah dari dulu mode tu..disinan lo dicaliak sia urang nan pulang tu, jadi dari mancaliak kasua papan tu urang dak paralu batanyo-tanyo lai...lah jaleh dari mancaliak kasua papan sajo...
7. Kini urang kan lah banyak nan baralek digedung gai ngku, apo wajib juo dipakai kasua papan ko...?
Jawab :
Kasua papan ko adat salingka nagari, jiko baralek digedung tapi masih tetap dilingkungan nagari Tanjung Barulak, kasua papan tu tetap juo dipakai, tapi kalau lah dilua nagari tanjung barulak dak ba a dak dipakai do lagian dak lo ado nan kamanuntuik do.
Ibu Siti Aisyah (Ketua Bundo Kanduang Nagari Tanjung Barulak)
Hari/ tanggal : Jumat/25 Februari 2011 Jam 14.00
Menemui narasumber kedua, beliau adalah seorang perempuan yang sangat sibuk dengan aktifitas setelah pensiun, beliau menjabat sebagai ketua Bundo Kanduang, berbekal pertanyaan yang telah dirumuskan akhirnya peneliti berkesempatan juga bertemu dengan beliau setelah hampir empat jam menunggu, dengan lingkungan rumah yang dekat dengan sekolah Madrasah Aliayah, yang agak sedikit ramai tetapi dengan keadaan udara yang sejuk menambah jernih pikiran. Dengan menyuguhkan secangkir teh hangat dan semangkuk buah yang baru saja dipetik dari kebun, peneliti dipersilahkan minum. Setelah sedikit agak santai mulailah peneliti mengajukan beberapa pertanyaan diantaranya:
Pertanyaan :
1. Ba a sejarah kasua papan tu buk..?
Jawab :
Samajak ibuk dapek i, kasua papan tu aturan adat nan harus dipakai dek urang Tanjuang Barulak katiko baralek, adat koto piliang, adat nan diadatkan, samo jo adat salingka nagari, kasua papan dipaakaidiruamah nana padusi, buliah dikatoan wajib, jiko dak do kasua papan ko marapulai dak nio naiak kateh rumah nan padusi, baitu bana lah wajibnyo kasua papan tu dipakai saat baralek.
133
2. Apo maksud kasua papan nan batingkek-tingkek tu buk..?
Jawab :
Kasua papan tu ado 5 macam, ado nan 9,7,5,4,3, nan 9 kasua 15 bantanyo dipakai dek angku/ pangulu pucuak, 7 kasua 13 banta dipakai dek pangulu andiko, 5 kasua 11 banta dipakai dek panungkek/ tungganai, 4 kasua 9 banta dipakai dek urang kabanyakan, 3 kasua 7 banta dipakai dek hamba sahaya, untuak na 3 tingkek tu dak do dipakai lai, kalau 3 kasua tu nampak bana urang dak punyo nyo, jadi manurik kasapakatn basamo kasua 3 tu dak dipakai lai, disamoan c jo urang kabanyakan yaitu 4 tingkek,
3. Kasua ppaan tu kan ado motif nyo buk, tamasuak motif kapalo bantany...?apo lo maksudnyo tu buk....?
Jawab :
Dalam badan kasua papan tu adao 3 macam motif :
1. Basolan/ basulam : lataknyo paliang ateh itu malambangkan panghulu/ ninik mamak
2. Bakabuang : lataknyo ditangah, bantuaknyo petak- petak gadang-gadang,malambangkan datuak.
3. Tabu satuntuang : lataknyo paliang bawah, bantuaknyo garis-garis ketek-ketek, melambangkan rakyat biaso/ kasta rendah.
Dalam pamasangan kasua papan ko harus sesuai aturan, indak buliah dibolak baliak, susunannyo basolan, bakabuang, tabu satuntung, itu aturan nan harus dijalankan, karano itu malambangkan adat bajanjang naiak batanggo turun, malatakkan sesuatu pado tampeknyo dan sasuai kodratnyo, malakukan karajo sasuai jo aturannyo.
Dari ka 3 motif tu buiah dituka lataknyo asalkan basolan harus paliang ateh, banta disususun marunciang kateh 8 banta picak/petak, 1 banta bulek, itu malambangkan apopun itu bantuaknyo, maupun suku, nagari, pekerjaan, tetaap awak menghadap ka nan ciek yaitu Allah SWT.
Diateh kasua sabalak kida dilatakkan banta nan 9 dan sabalah suok dilatakkan banta biaso 2 buah, banta biaso ko disabuik jo banta bagak, ko mukasuiknyo, pengantin pria tu kan dianta dek kaumnyo karumah nan padusi, beko malamnyo tetap dikawani dek kawan- kawannyo salamo 3 hari baturuik-turuik, jadi guno banta bagak ko untuk banta kalalok kawan-kawan marapulai tadi.
134
4. Apo ado perbedaan pemakaian kasua papan kini jo pemakaian kasua papan lamo buk..?
Jawab :
Dek kasua papan ko adat lamo pusako usang, perubahannya paling dari bentuk motif, warna kasua sajo, karano kini bahan- bahan untuak mambuek kasua papn tu lah agak payah dicari jo dikarajoan, pembuatanny.o agak dipermudah, tapi iko dak merubah tata aturan pemakaiannnyo, dalam adat kasua papan tetap dipakai sebagaimana mustinyo.
5. Pernah dak terjadi kesalahan dalam pemakaian kasua papan ko buk, misalnyo kasua yang harus dipakai 4 dipakia 5...?tu apo sangsi yang harus ditarimo,,?kesalahan tu terjadi karano apo..?
Jawab :
Pernah ado nan tajadi laki-laki yang kapulang karumah padusi tu harusnyo dipasang kasua papan tu 5 tingkek dipasangnyo 4, kalau itu tajadi nasi nan talatak ditangah tu dak dikaca dek urang yang datang do, diadokan lo parundiangan urang rumah tu harus mancukuik an kasua tu satingkek lai, jadi urang nan datang tadi manuntuik untuak di tambah kasua papan tadi, sabalum kasua tu cukuik urang nan datang ko dak kamakan di rumah nan padusi, masih banyak aturan yang harus dipanuahi dek urang nan mananti, kasalahan tu tajadi karano kurangnyo komunikasi antaro ninik mamak jo kamanakannyo, kini kamakan ko kan lah maraso santiang jadi mamak ko dilangkahi sajo, dak do pandai batanyo, kalau lah tajadi kasalahan mode ko, ujuang2nyo mamak juo nan malu, mamak juo nan harus manyalasaian masalah ko, mamak nan dituntuik dek mamak urang nan datang. Urang mananti diagiah waktu biasaonyo sampai malam, untuk mancukuik i kasua nan kurang tadi, kalau lah cukuik baru nasi bisa dimakan dek urang nan datang.
6. Fungsi kasua papan tu apo nan sabananyo buk..?
Jawab :
Fungsi kasua papan tu di tanjuang barulak ko sabagai simbol adat perkawinan,dari kasua papan tu lah nampak sia urang yang pulang karumah padusi tu, apo nyo angku,/ panghulu pucuak, panghulu andiko, panungkek/ tungganai, atau urang biaso sajo, karano kasua papan tu dipakai hanyo bilo ado urang nan baralek sajo, dak do dipakai untuak upacara adatnan lain do, misal batagak panghulu, baralek nagari, dan lain- lain.
135
7. Kini urang kan lah banyak nan baralek digedung gai buk, apo wajib juo dipakai kasua papan ko...?
Jawab :
Kasua papan ko adat salingka nagari, jiko baralek digedung tapi masih tetap dilingkungan nagari Tanjung Barulak, kasua papan tu tetap juo dipakai, tapi kalau lah dilua nagari tanjung barulak dak ba a dak dipakai do lagian dak lo ado nan kamanuntuik do. Walaupun nan baralek samo urang tanjung barulak tapi nyo dilua nagari tanjuang barulak , buliah dipakai buliah indak.
8. Dasar motif yang dipakai untuak kasua papan itu apo bu..?
Jawab :
ragam hias yang dipakai umumnya diambiak dari Motif ukiran Minangkabau yang bantuak mulo nyo dari falsafah ‘Alam Takambang Jadi Guru’ diaplikasikan kedalam Kasua Papan, motif ukiran yang dipakai lah dak sesuai jo motif asli karena motif ukiran yang diaplikasikan ke sulaman memang agak sulit menyerupai bentuk aslinya, namun demikian motif dasar dari ragam hias tu amsih jaleh..
9. Bagaimana pemasangan kasua papan sebenarnya..?
Kasua papan dipasang dekat dengan kamar pengantin dan dapat dilihat
oleh orang yang datang agar tidak adanya pertanyaan saat mereka datang.
Melyuni (Bundo Kanduang Tanjung Barulak)
Hari/ tanggal : kamis/ 24 maret 2011 Jam 11.00
Dengan menyewa sebuah ojek akhirnya peneliti sampai disebuah warung kecil yang menjual makanan kecil dan kopi, disini peneliti menemui ibu ......., ternyata beliau sedang memasak didapur untuk makan malam, setelah menjelaskan maksuda dan tujuan narasumber menyambutnya dengan baik, sungguh beruntung penulis, beliau bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai barang sebantar dan meninggalkan dapurnya, dengan catatan ditangan mulailah peneliti mengajukan pertanyaan demi pertanyaan:
1. Bagaimana pemasangan kasua papan ini buk..?
Pemasangan kasua papan ini harus sesuai dengan pemasangan yang benar tidak boleh ada kesalahan, makanya sebelum pemasangan agar lebih baik didiskusikan terlebih dahulu dengan ninik mamak yang akan mengadakan pesta,
136
pemasangannya pada saat pesta berlangsung adalah dengan meletakkan kasua papan dekat dengan kamar pengantin, dan dapat dilihat oleh oranga yang datang saat baru datang, agar tidak terjadinya kesalahan.
Nurma (Pemjahit kasua papan)
Hari/ tanggal : Kamis/ 24 maret 2011 Jam 16.00
Peneliti berjalan dengan gontai menuju kediaman penjahit Kasua papan, sesampainya ditujuan, narasumber yang sedang penen buah sao, yang ada disekeliling halam rumahnya, begitu asri tempatnya, rumah yang dikelilingi batang sao menambah asri pekarangan narasumber, dengan senang hati peneliti menunggu dengan sesekali ikut memetik buah sao. Setelah narasumber selesai barulah beliau mendengarkan pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarka peneliti, sambil beristirahat narasumber menceritakan tentang pembuatan Kasua papan:
Pertanyaan :
1. Bahan apa saja yang dipakai untuk membuat Kasua Papan..?
Jawab :
Bahan yang digunakan dalam pembuatan kasua papan ini dengan bahan dasar kain beludru, benang emas, dan payet, kalau kain itu saya beli dipasaran begitu juga dengan benang emas dan payetny. Konon katanya benang emas itu datang dari Cina, kalau kita menyebutnya dengan nama benang Makau, saya mengguanakan benang emas ini selain warnanya indah dan mengkilat,juga menghasilkan bentuk yang menaik karena warnanya emas, selain indah juga mewah dan harga jual yang tinggi. Kalau payet itu sekarang banyak macamnya,saya menggunakan payet karena pekerjaannya lebih mudah jika dibanding dengan menyualam benang emas yang membutuhkan waktu yang cukup lama, selain memberikan corak yang lain, juga terliaht menarik dengan pengerjaan yang lebih cepat.
Dt. Rajo Lelo (Pensiunan, Cadiak Pandai)
Hari/Tanggal : Selasa/17 Mei 2011 Jam 09.00
Rumah yang bergitu sangat sederhana tetapi begitu bersih, disekeliling ditanami batabg sao yang notabene adalah mata pencaria masyarakat nagari Tanjung Barulak, sesampai di tujuan peneliti melihat narasumber sedang memperbaiki kabel rumahnya yang sedang rusak, tetapi beliau sangat
137
menghormati tamu, ketika peneliti datang disambut dengan ramah dan mempersilahkan peneliti untuk masuk, setelah beberapa saat menjelaskan maksud dan tujuan peneliti datang, mulailah peneliti mengajukan beberapa pertanyaan tentang adat nagari, adat istiadat dan Kasua papan:
Pertanyaan:
1. Bagaimana Sejarah Kasua Papan....?
Jawab :
Di Nagari Tanjung Barulak ada 20 Penghulu, pada masa dahulu mereka mengadakan perundingan untuk mencari ciri khas nagari Tanjung Barulak, setelah perundingan selesai maka diputuskan kasua Papan dijadikan sbagi ciri khas Nagari Tanjung Barulak dan dimasukkan sebagai undang-undang adat nagari tersebut, sebagi ciri khas yang menentukan strata sosial laki-laki yang akan menjadi sumando di nagari tersebut, maka setelah ditetapkan sebagai simbol perkawinan semenjak itulah Kasua Papan dipakai sewaktu pesta perkawinan dan ditetapkan sebagai adat nan di adatkan dijadikan adat salingka nagari.
2. Apa perbedaan Kasua Papan sekarang dengan kasua papan dulu...?
Jawab :
Kalau dilihat perbedaan yang mendasar tidak ada, perbedaannya hanya pada sulaman yang dulu dipakai dengan benang emas, sekarang ada yang diganti dengan payet dan manik-manik,tapi pada dasarnya tidak merubah makna yang etkandung pada Kasua Papan tersebut.
3. Tingkatan kasua papan itu berapa..?
Jawab :
Tingkatan kasua papan paling tinggi adalah 9 kasua dan bantal 18, itu dipakai ketika angku atau penghulu pucuk yang pesta, 7 kasua dan bantalnya 15, itu dipakai ketika panungkek yang pesta, 5 tkasua dan 12 bantal itu dipakai ketika yang pesta datuak tungganai, 4 kasua dan 9 bantal itu dipakai ketika yang berpesta itu orang kebanyakan atau orang biasa, kalau kemanakan dibawah daguak ( kemanakan kandung) yang berpesta maka kasua papan yang dipakai adalah 5 tingkat, sama statusnya dengan datuak tungganai.
Bapak Musra Dahrizal (bapak katik)( budayawan)
Hari/tanggal : 7 Februari 2011 Jam 12.00
Setelah membuat janji via telfon akhirnya peneliti sampai di kediaman bapak Musra Dahrizal yang sering disapa Mak katik, rumah yang terletak diantara
138
hamparan sawah, seakan mengingatkan peneliti akan kampung halaman, yang mana saat sekarang dikota besar sudah jarang terlihat hamparan sawah yang menghijau, sungguh tenang disini suasananya sangat cocok untuk menulis yang membutuhkan ketenangan. Sampainya dikediaman narasumber, peneliti langsung disuruh naik ke ruangan bagian atas, karena ternyata narasumber sedang bekerja memperbaiki rumahnya yang hancur karena gempa. Setelah menunggu beberapa saat dan setelah narasumber beristirahat dan meneguk segelas kopi mulailah narasumber bercerita:
Pertanyaan :
1. Bagaimana asal mula penciptaan ragam hias untuk kasua papan..?
Asal mula sumber dari penciptakan ragam hias Minangkabau itu adalah bentuk-bentuk alam mulai dari akar, ranting, daun, pucuk, bunga, kucing, itik, lebah dan sebagainya. Motif lain itu adalah perpaduan-perpaduan yang diciptakan.
2. Warna yang dipakai untuk kasua papan bagaimana pak..?
Sebagimana kita ketahui warna yang dipakai diminang ini hanya 3 warna
yaitu, merah, kuning, dan hitam, sekarang dengan kemajuan zaman talah banyak warna-warna yang dipakai dalam acara adat, seperti pelaminan, pakain pengantin, dan kerajinan-kerajinan.namun dasar dari pada itu hanya sebagi memperkaya warna dan bentuk dengan tidak mengubah makna dan tujuan yang terkandung dalam alat budaya yang dipakai, kalupun ada warna yang dipakai selain warna merah, kuning, dan hitam itu disebut dengan warna orang yang datang.(bukan asli orang tanjung barulak).
3. Makna Bungo Teratai Dalam Aia..?
(Cubo tagak ditapi tabek, caliak katiko aia gadang dan paratian lo katiko
aia suruik ba a lo bantuaknyo?dalam keadaan aia gadang atau ketek bungo taratai tak barubah bantuaknyo do,itu melambangkan tidak boleh berprilaku sombong, sebagai manusia kita harus berprilaku netral, sarupo jo bungo taratai dalam aia, walaupun dalam keadaan apapun tidak boleh bersifat sombong, baik dalam keadaan susah apolai dalam keadaan sanang, itu mancontohkan ka anak kamanakan, apolai kalau seorang ninik mamak, harus mencontohkan ka kamanakannyo, kalau hidup harus randah hati, jan sampai berlaku sombong karano urang nan balaku sombong tu jadi kabancian urang banyak, mangko ado motif minang bungo taratai dalam aia, itu mengandung pesan yang akan disampaikan ka anak kamanakan dalam kaum).
139
4. Makna Buah Palo Babalah
(Bantuaknyo bagaluang artinyo melindungi, hakikatnyo beraktivitas, melindungi anak kamanakan jo urang kampuang, melindungi jo ilmu, pitih, tanago, akal pikiran, kok dapek malindungi jo ilmu, lindungilah jo ilmu, kok dapek jo pitih, lindungi jo pitih, kok dapek jo tanago, lindungilah jo tanago, melindungi jo ilmu lebih hakikatnya ka agamo, kalau melindungi jo akal pikiran itu labiah hakiaktnyo barusaho di dunia,jiko mamak kok dak dapek manolong jo pitih tolonglah jo tanago kok dak jo pikiran, baitulah harusnyo sikap mamak ka kamanakan, itulah sifat yang harus dijago sampai kini, karano kini mamak lah bak jo mamak, kamanakan lah ba jo kamanakan, itulah melambangkan keakraban atau kedekatan antarao mamak jo kamanakan maupun jo urang kampuang. Ba a kito nan saling tolong manolong jo kaum).
5. Makna Carano Kanso
Manga dipiliah kanso? itu karano kanso adolah sebuah bejana atau tempat, tempat meletakkan siriah, pinang, dilahia nan siriah jo pinang, Namun pado hakikatnyo disitulah tampek bakumpua sagalo ilmu. Dipiliah kanso karano inyo kekal, dak samo jo kayu yang bisa lapuak dek hujan bisa lakang dek paneh. Kanso akan tetap kekel, karano ilmu yang didapek handaknyo ilmu nan bisa dibaok mati atau dibaok ka akhirat. Ado duo falsafah carano kanso nan partamo, tahan, dalam artai apo...?iyolah kekal, ilmu yang ado tapakai mati handaknyo, bisa menyelamatkan kita dari azab dunia dan azab akhirat. Na ka duo kabau, kabau adolah binatang nan paliang maha diminang, kabau kalau panehnyo pai kakubangan, mandinginkan badannyo, mamak kalaunyo berang handaknyo nyo pai untuak mandinginkan kapalonyo, nyo pai mamikian ba a caro manyalasaikan masalah nan dihadapi jo caro nan bijak, jan angek dilawan jo angek, kalau kapalonyo lah dingin nyo datang baliak untuk manyalasaikan masalah yang ado antara kamanakannyo.
6. Makna Saik Galamai
Ukiran ko ado setelah islam masuk ke Minangkabau, dahulu motif saik galamai ko dak ado, dahulu urang mangaji aku, adam, allah, mangkonyo dulu 3 saginyo, mangko itu pulu pucuak rabuang di anggap motif yang tertua, kini urang lah mangaji aia, api, angin tanah, labiah mangaji ka asa diri, dalam unsur lain, ada jibril, mikail, israil, israfil, setelah ada yag mengaji hakikat tersebut maka ditambah sudiuknyo ciek lai, mako jadilah saik galamai, dalam unsur lain kalau dibaokan ka adaik, nagari ado ampek suku, koto, piliang, bodi, caniago, apopun nan tajadi bungo kehidupan dinagari dilingkuang ampek nagari, dibaliakan ka hakikatnyo, nan ma hakikatnyo ado hakikat agamo dan hakikat adat.
140
7. Makna Kuciang Lalok
Kuciang lalok dianalogikan sebagai aktifitas mencari rezeki, kuciang kalau lah malatakkan kakinyo dimuko tu tandonyo kamanangkok mancik, ado lo istilah kuciang japuik api, maksudnyo kalaulah kuciang dakek api kan lah angek-angek tu, nyo lalok se ditungku tu lai, lah luponyo jo mancik tadi, itu kiasannyo labiah ka urang sumando, disatu sisi ado eloknyo, tapi labiah banyak malehnyo, handaknyo sebagai urang sumando janlah wak bak kuciang lalok, karano buliah jadi mamak rumah dak sanang macaliak, dicaliaknyo sumando lalok kalalok se karajo nyo dirumah, bilo kabakarajo mancari makan. Sifat nan mode ko nan harus dihindari oleh anak bujang kini kalau lah inyo nak barumah tanggo.
8. Makna Daun Puluik-puluik
Daun puluik-puluik adolah daun untuak obat, obat pilali (pandingin), hendaknya intelegensi yang dimiliki bisa menjadi pendingin dalam kaum, apopun nan tajadi dalam kaumnyo, sagadang apopun masalah yang melanda, jo ilmu yang ado, kironyo bisa manjadi pandingin angeknyo kapalo, bisa mamilah nan ma yang elo jo nan buruak, jikalau ado nan manjadi masalah kironyo dapek disalasaian jo kapalo dingin jo hati nan lapang.
9. Makna Saluak Laka
Laka adolah aleh, apopun nan kadikarajoan dicari alasan yang sasuai jo apo nan kadikarajoan, jan apo nan kadikarajoan malabiahi apo nan dipikian, handaknyo apo nan dikarajoan sasuai jo apo nan dipikian. Karano dalam islam , sesuatu nan balabihan dibenci Allah.
10. Makna Bungo Panca matoari
Matahari adalah sumberr pencahayaan yang ada dimuka bumi ini, dalam adat musyawarah untuk mufakat segala sesuatu keputusan yang diambil hendaknya dimusyawarahkan terlebih dahulu, bagaimana kita melapangkankan dalam keadaan sempit, dengan cara yang baik, bagaimanapun sulitnya masalah yang datang, walau bagaimanapun suara yang didapat dalam musyawarah namun pada akhirnya kita kembali kepada yang satu, yang telah menentukan akhir dari segala keptusan manusia, manusia hanya bisa berdoa dan berusaha namun pada akhirnya allah lah yang nerhak menentukan segalanya.
11. Makna Bungo duo Tangkai
Adam supi babungo rehen (hayalan), manaruah bungo tigo tangkai, satangkai larangan allah , itu tingga disarugo, duo tangkai lapeh kadunia pamenan anak cucu adam. Kenapa dua tangkai, karena diduania ini allah menciptakan segala berpasang-pasangan ada baik buruk, tua muda, surga neraka dan lain-lain, apapun yang dilakukan manusia didunia ujungnya hanya dua surga atau neraka, makanya apapun yang dilakukan harus dipikir dengan matang, namun apapun pilihan itu tergantung pada pribadi masing-masing, mau berbuat baik atau berbuat jahat. Namun semua prilaku tersebut bersumber dari hati atau jantung
141
bagaimana kita menjaga hati, karena daari hati lah sumber segala perbuatan dan pikiran, agar hati tidak ternodai dengan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Gunanya kita menjaga hati, yang pertama, supaya jalan yang kita lalui seimbang, seimbnag antara dunia dan akhirat, yang kedua, dengan menjaga hati, kita telah menjaga perbuatan yang tidak baik, melindungi diri dari segala yang akan membuat sengsara, yang ketiga, hendaknya apapun yang dilakukan diarahkan kepada perbuatan yang baik dan tidak menyalahi aturan-aturan yang berlaku.
12. Makna Singo Bagaluik
Contoh realita yang ada, segala yang terjadi di sekitar menurut falasafah Minangkabau alam takambang jadi guru, segala yang akan dilakukan hendaknya sesuai dengan falsafah hidup, tidak melenceng dari apa yang disyariatkan karena alam ini telah memberikan contoh bagaimana kita berprilaku seharusnya, kalau kita memperlakukan alam sesuai dengan yang seharusnya maka alam akan memberikan yang terbaik untuk manusia, allah menyuruh kita berpikir apa yang harus dilakukan dengan perantara alam, kita disuruh berpikir dan berbuat tanpa harus mengorbankan apapun, dalam peraturan adat harus sesuai dengan falsafah alam takambang jadi guru. Bisa dianalogikan seperti singa bagaluik, singa bergelut dengan anaknya itu mengartikan dia mengajarkan anaknya, dia mendidik anaknya dengan bergelut, dia menggoyangkan ekornya agar anaknya menangkap, itu artinya singa mengajarkan anaknya menangkap mangsa agar dia bisa bertahan hidup tanpa mengaharapkan induknya selalau memberikan makan, dia mendidik anaknya agar mandiri.
Erma yeni (Guru)
Hari/ tanggal : Minggu/27 Februari 2011 Jam 14.00
Untuk sekian kalinya peneliti datang karena kebetulan narasumber adalah teman sejawat peneliti, sesampainya di kediaman narasumber, peneliti dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu yang kebetulan narasumber dan keluarganya sedang makan siang, dan setelah selesai makan barulah peneliti mengajukan beberpa pertanyaan:
Pertanyaan :
1. Bentuk Kasua Papan itu bagaimana...?
Jawab:
Kasua papan berbentuk empat persegi panjang dengan struktur yang bertingkat dan ditutup dengan kain yang sudah di sulam.
142
2. Berapa saja tingkatannya dan apa-apa saja nama motif yang ada pada Kasua Papan...?
Jawab:
9 untuk Penghulu pucuk, 7 untuk Penghulu Andiko, 5 untuk Datuk Tungganai dan 4 untuk orang biasa, motif yang ada pada Kasua papan itu ada 3 Basolan, bakabuang, dan Tabu satuntuang.
3. Menurut ibu fungsi Kasua papan itu untuk apa...?
Jawab:
Fungsinya sebagai simbol status sosial marapulai, dan itulah ciri khas nagari Tanjung Barulak.