kmb-typoid

download kmb-typoid

of 13

Transcript of kmb-typoid

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Typhoid adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang hidup di daerah dengan sanitasi yang membusuk dan menyerang tubuh manusia, terutama saluran cerna. Penyakit yang ditandai dengan demam tinggi lebih dari 7 hari ini kerap menyerang anak-anak termasuk balita. (Darmowandowo,2006) Di Indonesia diperkirakan antara 800100.000 orang terkena tifus atau demam typhoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang. Meski demam typhoid biasanya menyerang anak di atas umur 1 tahun, korban paling banyak adalah anak usia 5 tahun, tapi belakangan ini, serangan terhadap anak di bawah umur 5 tahun meningkat menjadi 15 %. Penderita yang pernah terkena demam typhoid akan lebih berbahaya jika kambuh lagi, bahkan biasanya menyebabkan kematian. Untuk itu dengan mengetahui gejala awal penyakit demam typhoid adalah cara pencegahan terbaik dalam menghadapi penyakit ini. (dr. Arlin Algerina, SpA, 2006) 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Setelah membaca makalah ini, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh pengetahuan mengenai demam typhoid dan mampu menjelaskan asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan demam typhoid. 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi dari demam typhoid. 2. Mahasiswa mengetahui penyebab dari demam typhoid. 3. Mahasiswa bisa menjelaskan patofisiologi dan manifestasi klinis dari demam typhoid. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan untuk demam typhoid. 5. Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan untuk klien demam typhoid dengan benar dan terampil. 1.3 Rumusan Masalah Jelaskan Anatomi dan Fisiologi dari saluran pencernaan ? 1.3.2 Jelaskan definisi dari demam typhoid ? 1.3.3 Jelaskan etiologi dari demam typhoid ? 1.3.4 Jelaskan epidemiologi dari demam typhoid ? 1.3.5 Jelaskan WOC dari demam typhoid ? 1.3.6 Bagaimana manifestasi klinis dari demam typhoid ? 1.3.7 Bagaimana komplikasi dari demam typhoid ? 1.3.8 Bagaimana penatalaksanaan terhadap klien demam typhoid ? 1.3.9 Bagaimana pencegahan dari demam typhoid ? 1.3.10 Bagaimana pemeriksaan penunjang demam typhoid ? 1.3.11 Bagaimana ASKEP terhadap klien demam typhoid ?

1.3.1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi 2.1.1 Anatomi Usus halus merupakan suatu tabung yang kompleks, berlipat-lipat dan membentang dari pilorus hingga katub ileosekal. Panjang usus halus pada orang hidup sekitar 12 kaki (3.6 meter) dan hampir 22 kaki (6.6 meter) pada cadaver (akibat relaksasi). Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter sekitar 3.8 cm, tetapi makin ke bawah garis tengahnya semakin berkurang sampai menjadi sekitar 2.5 cm. Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum dan ileum. Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai jejunum. Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum treitz, yaitu suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dextra diafragma dekat hiatus esophagus dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum. Sekitar dua perlima dari sisa usus halus adalah jejunum dan tiga perlima bagian akhirnya adalah ileum. Jejunum terletak di region mid abdominalis sinistra, sedangkan ileum cenderung terletak di region abdominalis dextra sebelah bawah. Otot yang melapisi usus halus mempunyai 2 lapisan: lapisan luar terdiri atas serabutserabut longitudinal yang lebih tipis dan lapisan dalam terdiri atas serabutserabut sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar. (Sylvia A. Price,2006) 2.1.2 Fisiologi Usus halus mempunyai 2 fungsi utama:1) pencernaan, yaitu proses pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna melalui kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal dan 2) absorbsi bahanbahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, HCl, pepsin, mukus, enin dan lipase lambung terhadap

1

makanan yang masuk. Proses ini berlanjut dalam duodenum terutama oleh kerja enzimenzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak dan protein menjadi zatzat yang lebih sederhana. Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim yang terdapat dalam getah usus (sukus enterikus). Pergerakan segmental usus halus mencampur zatzat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan sekresi usus serta pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan asupan kontinyu isi lambung. (Sylvia A. Price,2006) 2.2 Demam Typhoid 2.2.1 Definisi Ada beberapa definisi demam typhoid, antara lain: 1. Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negative Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuclear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. (Darmo wandowo, 2006) 2. Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman batang gram negative dan termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Demam typhoid memiliki ciri lesi definitif di plak peyer, kelenjar mesenterika dan limpa, disertai oleh gejala demam yang berkepanjangan, sakit kepala dan nyeri abdomen. (dr. Iwan S. Handoko, 2003) 3. Tifus abdominalis (demam typhoid, enteric fever) adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna. (Arif Mansjoer, 2000) 4. Demam typhoid adalah infeksi akut yang disebabkan bakteri Salmonella typhi. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara. Bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higinis. dia masuk ke dalam tubuh melalui mulut, lalu menyerang tubuh, terutama saluran cerna (dr. Arlin Algerina, SpA) 5. Tifus abdominalis (demam typhoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI) 2.2.2 Etiologi Etiologi demam typhoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratyphoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteridis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. Kumankuman ini lebih dikenal dengan nama S. paratyphi A, S. schott muelleri dan S. hirschfeldii.

2.2.3 Epidemiologi Penyebab demam typhoid secara klinis hampir selalu Salmonella yang beradaptasi pada manusia, sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada carier manusia. Carier adalah kumam yang masih terdapat dalam tubuh manusia yang sudah terpapar. Carier ada 2 yaitu:carier konvalesen dan carier kronik. Carier konvalesen ini berada di dalam tubuh manusia selama 6 bulan kalau sudah 6 bulan dan dinyatakan positif disebut carier kronik dan jangka waktunya sampai 1 tahun. Penyebab yang terdekat mungkin air atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan dan sering menderita batu empedu. S. typhi berdiam dalam empedu, bahkan di bagian bawah batu dan secara intermiten mencapai lumen usus dan di ekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan. Demam typhoid paling banyak terjadi di daerah yang sanitasinya buruk seperti kekurangan air bersih. Hal ini terjadi di daerah atau negara-negara berkembang. Pada perbaikan sanitasi lingkungan di Amerika serikat, insidensi typhoid telah menurun secara bertahap. Dibandingkan dengan tahun 1920 saat hampir 36.000 kasus ditemukan, angka tahunan kini kirakira 500. lebih dari 80% kasus ini adalah kasus typhoid aktif dan yang lain adalah karier konvalesen. Usia ratarata pasien sekitar 24 tahun, sementara usia median carier lebih dari 60 tahun. Data yang dikumpulkan oleh the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperlihatkan bahwa insidensi di Amerika serikat menurun lima kali lipat dari tahun 1955 sampai tahun 1966, dari 1 per 100.000 menjadi 0.2 per 100.000 penduduk dan tetap bertahan demikian sejak saat itu. Pada saat bersamaan, perbandingan infeksi di dapat di luar negeri meningkat dari 33% pada tahun 1960 menjadi lebih dari 60% pada tahun 1980 dan berlanjut meningkat. Mexico adalah sumber utama bagi orang Amerika, mencakup 39% kasus mulai dari tahun 1975 sampai 1984, walaupun beresiko bagi pelancong pergi ke Peru, Chili, India dan Pakistan. Tempat penjangkitan utama typhoid adalah Alexandria, Mesir; Jakarta, Indonesia dan Santiago, Chili. Typhoid yang ditularkan di Amerika Serikat terutama berkaitan dengan karier yang baru terdiagnosis atau yang diketahui (30%) atau akibat penjangkitan dari makanan (28%). Angka tertinggi terdapat di negara bagian yang berbatasan dengan Mexico. Diluar para pelancong, kelompok yang paling mungkin beresiko adalah pekerja laboratorium bakteriologi dan penularan dalam rumah tangga oleh carier yang diketahui. Jumlah pasien di Amerika Serikat jelas dianggap remeh dan jumlah pasien yang tidak terdeteksi tidak diketahui karena biakan yang diperlukan tidak dikerjakan atau pasien telah menerima antibiotik. Pada daerah endemik S. typhi, angka typhoid klinis kira kira 25 kali lipat lebih besar pada pasien HIV positif daripada pasien HIV negatif pada kelompok usia 15 sampai 35 tahun dan sebanyak 60 kali lipat lebih besar daripada penduduk pada umumnya. Pasien HIV positif yang asimtomatik dapat memberikan gejala klinis yang khas dan dapat diobati; pasien AIDS dapat memberikan gejala diare fulminan dan atau colitis dan jauh lebih mungkin untuk kambuh. Kenyataan ini mempunyai makna praktis yang kecil bagi pasien AIDS di negaranegara dengan angka typhoid yang rendah, namun dapat menjadi masalah bagi mereka yang melancong ke negara yang sangat endemik. (Gerald T. Keusch) 2.2.4 WOC

2

Keterangan: Dimulai dari makanan dan minuman yang tercemar oleh Salmonella typhi, yang masuk melalui mulut, lambung dan mengalami multiplikasi diusus halus menembus mukosa epitel dan menyerang jaringan limfoid plaque peyer di ileum terminalis sehingga mengalami hipertrofi kemudian menuju lamina propia. Proses ini disebut bakterimia I yang berlangsung selama 24-72 jam. Kemudian dilanjutkan pada bakterimia II yang dimulai pada limfe masuk ke kelenjar limfe mesenterika (mengalami hipertrofi). Lalu kuman dibawa aliran darah melalui duktus thoracicus dan terjadi proses fagositosis. Sebagian kuman masuk melalui sirkulasi portal ke dalam jaringan organ dan berkembang biak di hati, limfe dan sumsum tulang. Jaringan organ tersebut mengalami reaksi peradangan sehingga terjadi pelepasan mediator-mediator inflamasi yaitu serotinin, bradikinin dan histamin yang akan menimbulkan vasodilator atau vasoaktif yang dapat merusak struktur sel sehingga sel mengalami pembesaran dan peningkatan permeabilitas membran yang mengakibatkan kebocoran plasma sehingga masalah keperawatan yang bisa diangkat adalah defisit volume cairan. Selain itu mediator inflamasi yang dikeluarkan yaitu prostaglandin yang terdiri dari PG E yang menstimulasi hipotalamus sehingga terjadi perubuhan suhu (demam) yang mengakibatkan peningkatan laju metabolisme. Sedangkan PG A menstimulasi reseptor yang menimbulkan nyeri. Kebocoran plasma tersebut menyebabkan terjadinya infeksi pada organ-organ yaitu: B1 (breath) terjadi komplikasi ekstra intestinal yang menyerang paru sehingga terjadi efusi pleura, pnemonia, empiema, pleuritis menyebabkan tidak efektifnya pola napas. B2 (blood) terjadi kompleks imun jantung yang mengalami reaksi peradangan sehingga timbul miokarditis yang berakibat penurunan CO dan aliran O2 serta nutrisi berkurang sehingga terjadi perfusi jaringan perifer. B3 (brain) timbul reaksi peradangan yang disebabkan kompleks imun selaput otak sehingga permeabilitas membran terganggu, kesadaran menurun sehingga terjadi kerusakan mobilitas fisik dan resiko gangguan integritas kulit serta defisit perawatan diri yang disebabkan karena imobilisasi. Terganggunya permeabilitas membran juga menyebabkan meningkatnya tekanan intracranial yang mengakibatkan perubahan perfusi jaringan serebral. B4 (bladder) kompleks imun ginjal yang mengalami reaksi peradangan menimbulkan glomerulo nefritis sehingga terjadi perubahan pola eliminasi. B5 (bowel) kompleks imun pada lumen usus mengalami reaksi peradangan pada lumen usus, hati dan limfa. Pada lumen usus, permeabilitas membran usus naik menyebabkan penurunan motilitas usus terjadi diare dengan sifat feses encer dan asam sehingga menimbulkan gangguan pada integritas kulit perianal. Selain itu terjadi konstipasi karena asupan cairan berkurang. Peningkatan permeabilitas membran usus tersebut juga mengakibatkan keluarnya cairan berlebih ke dalam organ ekstra intestinal sehingga terjadi nyeri abdomen. Lumen usus juga mengalami kerusakan membran atau epitel usus yang menyebabkan perforasi usus. Pada hati dan limfa mengalami pembengkakan yaitu hepatomegali dan splenomegali yang akan menekan lambung sehingga merangsang mual muntah. Hal itu mempengaruhi perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh. B6 (bone) pada muskuloskeletal terjadi kerusakan sumsum tulang yang mengakibatkan penurunan pembentukan sel-sel darah merah. Akibatnya terjadi anemia, trombositopeni dan leukopeni. Selain kerusakan sumsum tulang kebocoran plasma juga mengakibatkan pengeluaran mediator-mediator kimia, salah satunya APA (Agregat Platelet Agent). APA ini merusak trombosit sehingga pembentukan trombosit berkurang trombositopenia proses pembekuan darah mengalami gangguan yang menyebabkan sulit membeku bila terjadi luka perdarahan defisit volume cairan dan syok hipovolemik. Selain itu APA juga menyebabkan berkurangnya fungsi trombosit yang sudah terbentuk trombositosis terjadi perdarahan athritis gangguan ketidaknyamanan/nyeri. 2.2.5 Manifestasi klinis Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan pada peningkatan suhu badan. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif , lidah typhoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Arif Mansjoer,2001) Dalam minggu ketiga, bila keadaan membaik, suhu turun, gejala dan keluhan berkurang sedangkan dalam keadaan memburuk, penderita mengalami:delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan urin, meteorisme dan tympani, positif, tekanan abdomen meningkat, nyeri perut, kolaps, penderita meninggal akibat degenerasi miokardial toksik. Dalam minggu keempat, stadium penyembuhan. (Soedarto,2002)

2.2.6 Komplikasi Komplikasi demam typhoid dapat dibagi dalam: 1. Komplikasi intestinal a. Perdarahan usus b. Perforasi usus c. Ileus paralitik 2. Komplikasi ekstra-intestinal:

3

a. Komplikasi kardiovaskular Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis b. Komplikasi darah Anemia hemolitik, trombositopenia dan sindrom uremia hemolitik c. Komplikasi paru Pneumonia, empiema, pleuritis d. Komplikasi hepar dan kandung empedu Hepatitis dan kolesistitis e. Komplikasi ginjal Glomerunefritis, pielonefritis, dan perinefritis f. Komplikasi tulang Osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis g. Komplikasi neuropsikiatrik Delirium, meningismus, meningitis,polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia. Pada anak-anak demam paratyphoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna. (Arif Mansjoer, 2001) 2.2.7 Penatalaksanaan Penerapan pengobatan demam typhoid dalam trilogi penatalaksanaan, yaitu: 1. Perawatan Pasien demam typhoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Istirahat dan perawatan profesional, bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu dijaga hygiene perseorangan, kebersihan, tempat tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dikubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin. 2. Diet Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien yang tidak menyukai bubur saring sehingga keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan penyembuhan semakin lama. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, system imun akan tetap berfungsi dengan optimal. Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septic diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu diberikan pada renjatan septic. 3. Farmakoterapi a. Antibiotik Pemberian antibiotik ini untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Kloramfenikol Obat ini merupakan obat pilihan utama demam typhoid. Dosis hari pertama 4x200 mg, hari kedua 4x500 mg, sampai 2 hari bebas demam kemudian dosis diturunkan menjadi 4x250 mg selama 5 hari kemudian. Tiamfenikol Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typhoid sama dengan kloramfenikol. Dengan tiamfenikol, demam turun ratarata 5-6 hari. Ampisilin dan amoksilin Efektifitas ampisilin dan amoksilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan 50-150 mg/kg BB. Diberikan selama 2 minggu, tetapi rata-rata demam ini turun setelah 7-9 hari. Kotrimoksazol Efektifitas kotrimoksazol kurang lebih samadengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan 2x2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg trimitropim) diberikan selama 2 minggu, tetapi rata-rata demam turun setelah 5-6 hari. Sefalosporin generasi II dan III Pada umumnya demam mereda pada hari ketiga. Regimen yang dipakai adalah: Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari. Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari. Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari. Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari. Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari. Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari b. Antipiretika Antipiretika ini tidak perlu diberikan secara rutin karena tidak banyak berguna.

4

Kortikosteroid Penderita yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral/parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari. Kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkanperdarahan intestinal dan relaps. 4. Farmakoterapi untuk wanita hamil Tidak semua obat antimikroba yang biasanya digunakan untuk pengobatan typhoid dapat diberikan pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada trisemester ketiga kehamilan,karena dapat menyebabkan partus premature, kematian intra-uterin dan grey sindrom pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk digunakan pada trisemester pertama kehamilan, karena bisa menimbulkan efek teratogenik pada fetus. Pada kehamilan yang lebih lanjut, timfenikol boleh diberikan,ampisilin dan amoksilin aman untuk wanita hamil dan fetus, kecuali bila penderita hipersensitif terhadap obat tersebut. (Slamet Sriyono dkk, (2001); Arif Mansjoer, (2001)) 2.2.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan leukosit Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada demam typhoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batas-batas normal, malahan terkadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit untuk diagnosis umum demam typhoid. Pemeriksaan SGOT dan SGPT Pemeriksaan SGOT dan SGPT dilakukan untuk mengetahui fungsi normal hepar. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam typhoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan. Biakan Darah Biakan darah positif memastikan demam typhoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typhoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, anatara lain : a. Teknik pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil satu laboratorium bisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman/ml darah. Untuk pembiakan dewasa 5-10 ml darah dan pada anak-anak 2-5 ml darah. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu, darah tersebut harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berda di sisi pasien dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakterimia langsung. b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit Pada demam typhoid biakan darah pada S.typhi terutama positif pada minggu pertama penyakit dan berkurang pada mingguminggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan bisa positif lagi. c. Vaksinasi di masa lampau Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteriemia, hingga biakan darah mungkin negatif. d. Pengobatan dengan obat antimikroba Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan darah mungkin negatif. Uji Widal Reaksi Widal Reaksi Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum penderita typhoid, orang yang pernah tertular salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap typhoid. Antigen yang digunakan pada reaksi Widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud reaksi Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, penderita membuat antibodi (aglutinin), yaitu: a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman) b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman) c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan menderita typhoid. Pada infeksi yang aktif, titer reaksi Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan dengan jarak paling sedikit 5 hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi Widal: 1.Faktor- faktor yang berhubungan dengan penderita a. Keadaan umum gizi buruk menghambat antibodi b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada mi nggu kelima atau keenam penyakit. c. Pengobatan dini dengan antibiotika. Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba menghambat pembentukan antibodi d. Penyakit-penyakit tertentu

c.

5

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam typhoid tidak terjadi pembentukan antibodi misalnya pada gama globulinemia, leukimia dan karsinoma lanjut. e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid Obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi system retikuloendotelial. f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa Pada seseorang yang yang divaksinasi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya Keadaan ini dapat menyebabkan reaksi Widal positif, walaupun dengan titer rendah. Di daerah dimana typhoid endemik dapat dijumpai aglutinin pada oarang-orang sehat. h. Reaksi anamnestik Reaksi anamnestik adaalh keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seorang yang pernah divaksinasi atau tertular Salmonella di masa lalu. 2. Faktor-faktor teknis a. Aglutinasi asing Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat terjadi juga reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan reaksi Widal. b. Konsentrasi suspensi antigen Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada reaksi Widal akan mempengaruhi hasilnya. c. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain. Interpretasi reaksi Widal Tidak ada konsesus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai diagnostik yang pasti untuk demam typhoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, yang hanya berlaku setempat dan btas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat, tergantung teknik pemeriksaan. Uji Widal ini terdiri dari Widal tabung dan Widal slide. Uji Widal ini hanya menggunakan titer O dan titer H. Untuk Widal tabung, dikatakan positif typhoid jika titer O melebihi 1/400, dan titer H melebihi 1/800. sedangkan untuk Widal slide, bisa dikatakan positif typhoid jika titer O melebihi 1/320 dan titer H melebihi 1/640. Uji Widal tabung ini lebih lama dan murah dibandingkan Widal slide. Di daerah endemis demam typhoid dimana penduduknya mungkin terpapar S.typhi, nilai uji Widal dari satu spesimen serum hanya mempunyai arti, bila titer pada populasin normal diketahui. Di negara-negara berkembang hanya 24 sampai 60% pasien demam typhoid membentuk antibodi dalam titer yang pemeriksaan ulang memastikan diagnosis. Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis demam typhoid. Uji Widal positif dapat juga disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain. Karena pada seorang setelah sembuh dari demam typhoid aglutinin akan berada dalam darah untuk waktu yang lama, maka uji Widal bukan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan pasien. (Slamet Sriyono dkk, 2001). ELISA Pemeriksaan ini untuk mengetahui struktur bakteri USG Pemeriksaan untuk mengetahui kelainan pada hepar, spleen, ada atau tidaknya perdarahan Endoscopi Pemeriksaan ini untuk mengetahui dan perdarahan usus. 2.2.9 Pencegahan Usaha pencegahan demam typhoid dapat dibagi dalam: 1) Usaha terhadap lingkungan hidup Penyediaan air minum yang memenuhi syarat Air minum dimasak terlebih dahulu hingga mendidih (100C). Pembuangan kotoran manusia pada tempatnya. Pembasmian lalat hingga tuntas. Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut tidak tercemar Salmonella typhi. Pengawasan terhadap rumah-rumah makan dan penjual-penjual makanan. Pengolahan makanan dan penyajian makanan terhindar dari Salmonella Typhi 2) Usaha terhadap manusia o Lakukan vaksinasi terhadap seluruh keluarga Vaksinasi dapat mencegah kuman masuk dan berkembang biak. Ada 2 vaksinasi untuk mencegah demam typhoid, yaitu: vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi serta vaksin yang dilemahkan (attenuated yang di berikan secara oral). Vaksinasi perlu diulang setiap 5 tahun. o Menemukan dan mengawasi pengidap kuman (karier typhoid) Pengawasan ini diperlukan sebab jika dia lengah, sewaktu-waktu penyakitnya akan kambuh. o Pendidikan kesehatan kepada masyarakat

6

Pendidikan kesehatan tersebut merupakan usaha yang paling efektif , walaupun kebutuhan waktu lama, akan tetapi hasilnya akan kumulatif dan menetap. (Ummusalma, (2002); puskesmas Palaran, (2006)) BAB 3 TINJAUAN ASKEP KLIEN DENGAN DEMAM TYPHOID 3.1. Pengkajian Identitas Insidensi demam typhoid kerap menyerang anak-anak termasuk balita terutama anak-anak perempuan. Dan lebih banyak terjadi pada usia 5 tahun. Tapi belakangan ini serangan terhadap umur di bawah umur 5 tahun meningkat. Keadaan umum Tampak lemah, bingung, apatis, delirium Riwayat penyakit Didahului demam tinggi lebih dari 7 hari. Penyakit ini disebabkan Salmonella typhi. Demam typhoid merupakan penyakit infeksi usus halus. Penderita yang sudah dinyatakan sembuh kemungkinan bisa kambuh kembali bahkan lebih parah dab dapat menyebabkan kematian. Sirkulasi Tanda: bradikardi Gejala: denyut nadi kurang dari normal Neurosensori Tanda: kelemahan otot, penurunan reflek, adanya masalah dalam keseimbangan Gejala: perubahan rasa, perubahan dalam ketajaman penglihatan, sensasi nyeri Eliminasi Tanda: diare Gejala: perubahan pola eliminasi, obstipasi, perasaan tidak enak di perut Makanan/cairan Tanda: mual, muntah, banyak flatus Gejala: anorexia, kesulitan makan Nyeri/kenyamanan Tanda: pucat, mata suram, cemberut Gejala: nyeri kepala, nyeri abdomen, pusing, nyeri otot Pengkajian fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: Bradikardi relatif (frekuensi denyut jantung relatif lambat bila dibandingkan dengan tingkat kenaikan suhu tubuh) Lidah typhoid (awalnya merah ditengah dengan tepi hiperemis dan bergetar, bila penyakit sudah berat lidah menjadi kering dan pecah-pecah serta berwarna kecoklatan) Perkusi abdomen : timpani Palpasi abdomen : nyeri tekan khususnya nyeri di fosa iliaka Stupor Bergumam Delirium Twitching otot-otot Karpologia Koma vigil 3.2 PROSES KEPERAWATAN 1. Dx Keperawatan: Perubahan suhu atau (termoregulasi) tidak efektif b.d proses inflamasi Tujuan: Mempertahankan normotermia Kriteria hasil: Suhu tubuh tetap berada dalam batas yang dapat diterima Intervensi Rasional 1. Kolaborasi pemberian 1. antipiretik 2. Gunakan tindakan pendinginan: 2. Untuk menurunkan suhu - tingkatkan sirkulasi uadara - turunkan suhu lingkungan - kenakan pakaian yang tipis - berikan kompres dingin pada kulit 3.Untuk menurunkan keefektifan tindakan

7

2. Dx keperawatan: Defisit volume cairan b.d meningkatnya permeabilitas membran. Tujuan: Mempertahankan keseimbangan elektrolit dan volume cairan Kriteria hasil: - tingkat serum elektrolit Na=135-145, K=35-45 - berat badan pasien tetap/mengalami kenaikan - tidak terjadi haus yang berlebihan - turgor kulit baik - membran mukosa lembab - urine output 1=2 ml/kgBB/jam Intervensi Keperawatan Rasional

4.

kebutuhan cairan dalam tubuh 2. Menghindari 2. Menghindari penguapan yang lingkungan yang sangat panas berlebihan 3. Mengawasi tanda- 3. Mendeteksi perubahan dini dalam tanda vital volume darah. Nilai laboratorium -HB, Hct, eritrosit, trombosit, menggambarkan keefektifan BUN pengobatan 4. Mengurangi perforasi usus Tirah baring absolut sampai minimal 7 hari atau kurang lebih selama 14 hari

1. Rehidrasi

1. Mencukupi

3. Dx Keperawatan: Pola nafas inefektif b.d proses inflamasi Tujuan: Mempertahankan dan memperbaiki fungsi pernfasan Kriteria hasil: Mencapai pola nafas yang efektif Intervensi Auskultasi area paru, 1. catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi nafas adventisius, misal krekels, mengi Rasional Krakels, ronchi dan mengi terdengar pada inspirasi/ekspirasi pada respons terhadap pengumpulan cairan, sekret kental dan spasme jalan nafas/obstruksi 2. Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimal paru-paru/jalan 2. Bantu pasien latihan nafas lebih kecil nafas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari melakukan batuk misal menekan dada dan batuk efektif sementara duduk 3. Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan tinggi sekret 3. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kec. Kontraindikasi). Tawarkan air hangat daripada dingin

1.

4. Dx Keperawatan: Perubahan perfusi jaringan perifer b.d aliran darah Tujuan: Memperlihatkan penurunan tanda-tanda dan gejala kerusakan jaringan Kriteria Hasil: - denyut nadi arteri bisa teraba - suhu tubuh pasien kemabali normal (36C-37C) - tekanan darah paien kembali normal ( 120/80 mmHg) Intervensi Rasional

1.

Selidiki perubahan tiba-tiba atau gangguan mental kontinyu. Contoh:cemas, bingung 2. Meninjau pucat sianosis, belang, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer 3. Monitoring pernafasan, catat kerja pernafasan

1.

Perfusi serebral secara langsung sehubungan dengan curah jantung dan dipengaruhi oleh elektrolit/variasi asam basa, hipoxia/emboli sistemik 2. Vasokonstr iksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi 3. Pompa jantung gagal dapat mencetuskan

8

4. Monitoring fungsi gastrointestinal, catat anorexia, penurunan/tidak ada bising usus, mual/muntah, distensi abdomen, konstipasi

distres pernafasan 4. Penurunan aliran darah ke mesenteri dapat mengakibatkandisfungsi gastrointestinal

5. Dx Keperawatan: Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan dan ketahanan sekunder terhadap penurunan kesadaran Tujuan: Mencapai tingkat mobilitas fisik yang optimal Kriteria hasil: - pasien dapat menggerakkan sendi-sendi (rentang gerak) dengan bebas - pasien mampu bergerak bebas dalm lingkungan fisik, termasuk pergerakan di tempat tidur, berpindah dan ambulasi - mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi Intervensi Keperawatan 1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi Rasional 1. Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dn mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan 2. Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh

2. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sediit perubahan posisi antara waktu posisi perubahan tersebut 3. Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien berada pada kursi roda. Beri pengalas pada kursi denagn busa/balon air dan bantu pasien untuk menimbang berat badannya dengan periode waktu yang teratur 4. Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak 5. Instruksikan atau bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai dengan kemampuan

3. Mempertahankankenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang normal dan mencegah atau menurunkan risiko kerusakan kulit pada daerah kogsigis

4. Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis 5. Keterlibatan pasien dalam perencanaan dan kegiatan adalah sangat penting untuk meningkatkan kerjasma pasien atau keberhasilan dari suatu program tersebut

6. Dx Keperawatan: Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi Tujuan: Menunjukkan integritas kulit yang bebas dari luka tekan Kriteria hasil: - pasien terbebas dari luka tekan - tidak terdapat tanda-tanda luka tekan Intervensi Keperawatan 1. Lakukan latihan ROM pasif maupun aktif pada pasien setiap dua kali sehari 2. Rawat kulit dengan baik dengan cara memandikan tiap dua kali sehari secara teratur, keringkan kulit dengan lap yang lembut 3. Taburkan bedak talk pada kulit yang lembab/daerah lipatan kulit 4. Ganti pakaian satu kali sehari Rasional 1. ROM akan membantu meningkatkan dan mempertahankan funagi sendi 2. Higine pada kulit akan meminimalisir kuman yang akan menyebabkan infeksi. Lapisan yang lembut akan mengurangi gesekan pada kulit sehingga tidak terjadi luka 3. Menjaga agar kulit tetap kering 4. dapat Pakaian yang bersih meminimalisir kuman

9

5. Beri linen yang bersih dan rapi serta kering 6. Lakukan mobilita stiap dua jam sekali dengn urutan sbb:miring kiri-supine-miring kanan

masuk 5. Linen yang rapi akan meminimalisir terjadinya luka tekan 6. Dengan mobilitas yang teratur peredaran darah akan lancar dan menghilangkan tekanan yang terjadi pada daerah tertentu agar pembuluh darah yang terjepit dapat kembali normal

7. Dx Keperawatan: Defisit parawatan diri b.d immobilisasi Tujuan: Pasien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan pengeluaran energi dan risiko mendapat cedera yang minimal Kriteria hasil: - melengkapi aktivitas perawatan tanpa perubahan yang berarti denagn tanda-tanda vital dasar - melakukan mandi dan higine yang tepat Intervensi Keperawatan 1. Bantu pasien dalm mengatur posisi pada saat mandi, makan, berpakaian, dsb 2. Ciptakan lingkungan nyaman untuk makan yang tidak mengganggu 3. Beri dorongan untuk mengekspresikan perasaan tentang kurang perawatan diri 4. Selama aktivitas perawatan diri, berikan pilihan dan penawaran yang lebih disukai 1. Rasional Untuk menghindari postur tubuh yang janggal Lingkungan yang nyaman akan meningkatkan nafsu makan Kita bisa mengetahui tingkat kenyamanan pasien Aktivitas yang disukai dapat meningkatkan perawatan diri pasien

2.3. 4.

8. Dx Keperawatan: Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah otak Tujuan: TIK tidak lebih dari 15 mlHg dan tanda-tanda klinis TIK menurun Kriteria hasil: Tidak ditemukan adanya penyumbatan otak Intervensi Keperawatan Rasional 1. Tinggikan kepala 1. Posisi tersebut membantu drainase setinggi 30-40 kecuali otak untuk mengurangi kongesti dikontraindikasikan serebro vaskular sehingga akan menurunkan TIK 2. Manuver tersebut dapat 2. Ajarkan pasien untuk meningkatkan TIK tidak melakukan masase carotis, flexi dan rotasi leher berlebihan, stimulasi anal denag jari, menahan nafas dan mengejan, searta perubahan posisi yang tepat 3. Hal tersebut akan membantu 3. Pertahankan menurunkan TIK lingkungan yang tenang dan lembut. Jadwalkan lamanya istirahat tanpa diganggu 4. Jika diindikasikan, 4. kolaborasi pemberian obat-obatan 5. Dehidrasi dari terapi diuretik dapat menyebabkan hipotensi dan 5. Monitor status hidrasi penurunan curah jantung Dx Keperawatan: Perubahan pola eliminasi b.d inflamasi .9 Tujuan: Mempertahankan pola eliminasi Kriteria hasil: - haluran urine dalam batasan normal (1200-1500 ml/hari) - urine terlihat bening, kuning cerah dan tidak terdapat sedimen - berat jenis urine adalah 1,010-1,025 - pasien dapat berkemih dengan nyaman - mencegah terjadinya komplikasi

10

Intervensi 1. Memberikan cairan yang cukup

2.

Bawa pasien ke kamar mandi sebatas yang ditoleransi oleh pasien 3. kateter 4. perianal Pemasangan Perawatan kulit

Rasional 1. Asupan cairan yang cukup dapat meningkatkan volume urine 2. Posisi anatomik dapat membantu pengosongan kandung kemih dan usus denagn lengkap dibantu oleh gaya graviatsi dn kontraksi otot 3. Membantu klien dalam berkemih 4. Mencegah iritasi dan memberikan kenyamanan pada pasien

10. Dx Keperawatan: Diare b.d peningkatan motilitas usus Tujuan: - mencapai pola BAB yang normal - berat badan dapat bertambah Kriteria hasil: - frekuensi BAB kurang dari 3 kali sehari - feses dapat dibentuk - berat badan meningkat kg setiap minggu Intervensi 1. Memberikan cairan paling sedikit 2000 ml cairan/oral setiap 24 jam kecuali kontraindikasi 2. Monitoring pengeluaran cairan paling sedikit 1000-1500 ml setiap24 jam 3. Kolaborasi pemberian antispasmodik/antidiare 4. Berikan dorongan untuk makan makanan lebih sering dengan porsi yang kecil 5. Lakukan evaluasi asupan yang mengandung nutrisi Rasional 1. Mencatat masukan dan pengeluaran membantu mendeteksi tanda dini ketidakseimbangan cairan 2. Menghindari pengeluaran cairan berlebih 3. 4. Memberikan istirahat colon dengan menghilangakan atau menurunkan rangsang makanan atau cairan 5. Diet seimbang terpenuhi

11. Dx Keperawatan: Konstipasi b.d asupan cairan berkurang Tujuan: Mengalami insiden konstipasi yang lebih sedikit Kriteria hasil: - pasien tidak menggunakan laksatif secara teratur - pasien dapat menghubungkan penyebab konstipasi - pasien dapat BAB minimal sekali sehari - bentuk feses lunak 1. Intervensi Menjelaskan bahaya laksatif 1. reguler, enema atau penggunaan supoitoria Rasional Penggunaan laksatif reguler, enema, supositoria dapat menyebabkan ketergantungan. Fungsi normal usus masih tetap mungkin tanpa penggunaan laksatif, supositoria Susunan makanan dalan diet tinggi serat menunjang pola eliminasi fekal yang normal Pemasukan cairan yang cukup mempermudah BAB

2. 3.

Diet tinggi serat, contoh:pepaya, sayuran segar

2.

3. Menganjurakan masukan sedikitnya 6-10 gelas air per hari 4. Menganjurkan minum segelas air 4. Air hangat dapat bekerja sebagai hangat 30 menit sebelum sarapan rangsangan pengeluaran feses 5. Pastikan kebiasaan defekasi 5. Gaya hidup mempengaruhi pasien dan gaya hidup kebiasaan defekasi sebelumnya 12. Dx Keperawatan: Nyeri akut/kronik b.d nyeri abdomen Tujuan: Mengurangi rasa nyeri pada abdomen Kriteria hasil: - mengurangi depresi pasien karena situasi nyeri - pasien menghabiskan -porsi yang disediakan - pasien nyaman saat tidur

11

Intervensi 1. Meninjau keluhan nyeri, lokasi, lamanya dan intensitas, skala 010 2. Berikan makan sedikit tapi sering sesuai indikasi 3. Menghindari makanan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan, misal:kafein, kembang kol dan kobis 4. Mengajarkan metode relaksasi seperti kompres hangat, istirahat

Rasional 1. Nyeri tidak selalu ada tetapi bila di gastrointestinal ada harus dibandingkan denagn gejala nyeri pasien sebelumnya 2. Makanan mempunyai efek menetralisir asam 3. Kafein dapat menimbulkan dispepsia, kembang kol dan kobis dapat meningkatkan produksi gas dalam lambung 4. Relaksasi dapat membantu penurunan rasa nyeri

13. Dx Keperawatan: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual muntah Tujuan: Masukan nutrisi adekuat untuk keperluan individu Kriteria hasil: - berat badan tetap/mengalami kenaikan - pasien mampu menghabiskan -1 porsi makanan - albumin serum pasien dapat sampai 5.5gr/dl Intervensi 1. Ajarkan dan awasi pengunaan makanan sehari-hari (mencakup anggota keluarga dan pasien) 2. Mengharuskan diet tambahan (yang harus diambil 1-2 jam setelah makan 3. Berikan porsi makan sedikit tapi sering dan sajikan dalam menu menarik dan hangat 4. Jaga lingkungan yang kondusif pada saat pasien makan 5. Berikan suport psikologis pada saat makan 6. Timbang berat badan secara berkala (setiap 2 minggu) 7. Monitoring hasil pemeriksaan tes laboratorium 8. Jika perlu kolaborasi untuk pemberian anti-emetik Rasional 1. Mencatat asupan oral dan kemajuan pasien mempermudah detaksi dini asupan yang tidak adekuat 2. Beberapa makanan kecil dan snack adalah tidak terlalu melelahkan dibanding 3 kali makan besar 3. Dapat merangsang nafsu makan pasien

4.

Lingkungan yang nyaman mempengaruhi keinginan pasien untuk makan 5. Supaya pasien termotivasi untuk makan 6. Untuk mengetahui adanya perubahan pada berta badan pasien 7. Untuk mengetahui kadar albumin 8. Untuk mencegah mual muntah

BAB 4 PENUTUP 5.1 KESIMPULAN

o Demam typhoid adalah infeksi akut yang disebabkan bakteri Salmonella typhi. Tidak seperti virus yang dapatbeterbangan di udara. Bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higinis. S. typhi masuk ke dalam tubuh melalui mulut, lalu menyerang tubuh, terutama saluran cerna. o Etiologi demam typhoid adalah Salmonella typhi. o Gejala klinis yang dapat ditemukan diantaranya : demam, bradikardi relatif , lidah typhoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma. o Diagnosa utama keperawatan yang dapat ditegakkan pada klien dengan demam typhoid yaitu: Resiko terhadap penularan infeksi b.d daerah yang dipertimbangkan berisiko tinggi terhadap penyakit-penyakit yang ditularkan melalui alat. o Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan diantaranya : Identifikasi kerentanan individu hospes, identifikasi cara-cara penularan berdasarkan agen penginfeksi, pantau tanda-tanda vital secara teratur terutama tekanan darah

12

dan nadi, Pantau hemoglobin, hematokrit, jumlah sel darah merah, trombosit, PT, PTT dan nilai BUN, tirah baring absolut sampai minimal 7 hari atau kurang lebih selama 14 hari. DAFTAR PUSTAKA Carpenito,Lynda Jual.2001.Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi8.Jakarta:EGC. Carpenito, Lynda Juall.2000.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktis klinis edisi 6. Jakarta.EGC Doengoes, Marilynn E, dkk.2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC. Mansjoer, Arif, dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta:Media Aeculapius FKUI. Kim, Mi Ja.1995.Diagnos aKeperawatan edisi 5.Jakarta:EGC Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2006.Panduan Pelayanan Medik.Jakarta:PBPAPDI. Price, Sylvia A, dkk.2006.Patofisiologi volume 1.Jakarta:EGC. Soedarto.2002.Sinopsis Klinis Penyebab, Gejala Klinis Diagnosa Banding, Diagnosa Laboratoris dan Terapi.Surabaya:Airlangga.University Press. Suyono, Slamet, dkk.2001.Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi ketiga.Jakarta:Balai Penerbit FKUI. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.1985.Buku Kuliah 2 Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika. www.ummusalma.wordpress.com ar-royyan-3176 agus rasidi, 29 desember 2005 puskesmas palaran, 5 november 2005

13