Kep Arahan

of 25 /25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autisme Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti “diri sendiri”. Autisme merupakan suatu keadaan atau pendirian atau sikap hidup di mana orang terserap oleh gagasan, pemikiran, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri, sampai tidak mementingkan sesama, masyarakat, dan keadaan sekitarnya (Mangunharjana, 1997). Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Minshew dalam Ginanjar 2007). Menurut Sacharin, M.Rossa dalam Ivana (2009) autisme adalah suatu keadaan dimana seseorang asyik dengan dunianya sendiri. Keadaan ini biasanya dijumpai untuk pertama kali pada masa kanak-kanak sebelum usia dua setengah tahun. Penderita juga biasanya menarik diri dari kenyataan atau keadaan disekitarnya dan memasuki fikiran serta dunia fantasinya sendiri dan akan lebih parah lagi pada kasus-kasus berat penderita akan terbenam dalam halusinasinya sendiri. Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan syaraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari gejala- gejala yang tampak dan ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.

Embed Size (px)

description

KEPARAHAN

Transcript of Kep Arahan

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Autisme

    Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti diri sendiri.

    Autisme merupakan suatu keadaan atau pendirian atau sikap hidup di mana orang

    terserap oleh gagasan, pemikiran, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri,

    sampai tidak mementingkan sesama, masyarakat, dan keadaan sekitarnya

    (Mangunharjana, 1997).

    Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh

    faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara

    emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang

    membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak

    (Minshew dalam Ginanjar 2007).

    Menurut Sacharin, M.Rossa dalam Ivana (2009) autisme adalah suatu

    keadaan dimana seseorang asyik dengan dunianya sendiri. Keadaan ini biasanya

    dijumpai untuk pertama kali pada masa kanak-kanak sebelum usia dua setengah

    tahun. Penderita juga biasanya menarik diri dari kenyataan atau keadaan disekitarnya

    dan memasuki fikiran serta dunia fantasinya sendiri dan akan lebih parah lagi pada

    kasus-kasus berat penderita akan terbenam dalam halusinasinya sendiri.

    Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan syaraf.

    Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari gejala-

    gejala yang tampak dan ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.

  • Menurut Mardhani dalam Prasetya (2009) beberapa anak autisme sudah

    menunjukkan perilaku tertentu sejak lahir namun yang sering diperhatikan keluarga

    mulai tampak pada usia 18-36 bulan. Perilaku tersebut meliputi tingkah laku yang

    aneh, menolak kehadiran orang lain serta mengalami kemunduran dalam berbahasa,

    bicara, sosialisasi dan ketrampilan yang pernah dimilikinya.

    2.1.1. Epidemiologi Autisme

    Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi, pada

    tahun 1988 terdapat sekitar 1 dari 10.000 anak terkena autisme. Pada tahun 2003, 1

    dari 1000 anak, tahun 2007 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap

    tahun timbul sekitar 9000 anak autisme baru (Winarno dan Agustina, 2008).

    Banyaknya jumlah autisme diatas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai

    saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara

    para ahli dan dokter di dunia.

    Menurut Lestiani, penyebab autisme sangat kompleks diantaranya dapat

    disebabkan oleh genetik, virus, gangguan fungsi imun, kelainan organ otak, gangguan

    gastrointestinal dan paparan logam berat.

    2.1.2. Gangguan Gizi pada Autisme

    Menurut Soenarti dan Soetardjo dalam Yanti (2009) Adapun beberapa gangguan

    gizi yang sering ditemukan pada penyandang autisme adalah sebagai berikut :

    1. Kekurangan seng yang ditemui hampir 90% pada anak autisme. Seng

    antara lain diperlukan untuk perkembangan sistem imun yang sempurna.

  • 2. Kekurangan kalsium dan magnesium. Kalsium bermanfaat untuk

    pembentukan tulang dan gigi sedangkan magnesium berfungsi sebagai

    katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolise.

    3. Kekurangan asam lemak omega 3, serat makanan, antioksidan dan vitamin

    lain hampir terlihat pada semua anak autisme.

    4. Hampir 90% anak autisme kelebihan zat tembaga (cooper). Zat tembaga

    yang belebihan dapat berperan sebagai prooksidan yang dapat

    meningkatkan penghancuran asam lemak dalam sel, terutama pada sel

    otak.

    Konsekuensi gangguan gizi tersebut dapat berdampak pada otak, sistem imun,

    dan saluran cerna anak autisme. Pengaturan makanan sesuai dengan kondisi anak

    sangat membantu memperbaiki keadaan kurang gizi (Wijayakusuma, 2004).

    2.2. Pemberian Makan pada Anak Autisme

    Pola pemberian makan yang baik sangat menentukan keadaan gizi pada

    seorang anak. Pemberian makanan yang sehat, beragam dan sesuai kebutuhan dapat

    mendorong seorang anak untuk dapat hidup sehat. Namun hal ini berbeda untuk anak

    autisme. Pada anak autisme terdapat beberapa jenis makanan yang tidak boleh

    dikonsumsi, hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada sistem pencernaan

    anak. Makanan yang mengandung zat-zat gizi tinggi tidak selamanya dapat dicerna

    dan diterima oleh anak penyandang autisme dimana gangguan saluran cerna yang

    dialami oleh anak autisme antara lain seperti alergi makanan, intoleransi makanan,

    intoleransi gluten, intoleransi casein dan sebagainya (Judarwanto 2009). oleh karena

  • itu anak autisme memerlukan diet khusus sebagai terapi penyembuhan dan

    menghindari masalah kekurangan gizi yang berdampak pada pertumbuhannya secara

    fisik dan perkembangannya.

    2.3. Faktor Penyebab Gangguan Makan pada Anak Autisme

    Terdapat berbagai macam faktor dapat yang menyebabkan gangguan makan

    pada autisme, antisipasi secara dini dapat dilakukan untuk menghindari hal-hal yang

    dapat memperparah kondisi pada anak autisme. Menurut Soenardi dan Soetardjo

    dalam Yanti (2009), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya

    gangguan makan pada autisme antaralain sebagai berikut :

    2.3.1. Gangguan Pencernaan Protein Gluten dan Kasein

    Gluten adalah protein tepung terigu dan kasein adalah protein susu. Anak

    dengan gangguan autisme sering mengalami gangguan mencerna gluten dan kasein.

    Menurut P. Deufemia, anak dengan gangguan autisme banyak mengalami leaky guts

    (kebocoran usus). Pada usus yang normal sejumlah kecil peptida dapat juga

    merembes ke aliran darah, tetapi sistem imun tubuh dapat segera mengatasinya.

    Peptida berasal dari gluten (gluteomorphin) dan peptida kasein (caseomorphin) yang

    tidak tercerna sempurna, bersama aliran darah masuk ke otak lalu ke reseptor

    opioid. Peningkatan aktivitas opioid akan menyebabkan gangguan susunan saraf

    pusat dan dapat berpengaruh terhadap persepsi, emosi, perilaku dan sensitivitas.

    Opioid adalah zat yang bekerjanya mirip morphine dan secara alami dikenal sebagai

    beta endorphin.

  • Endorphin adalah penekan/pengurang rasa sakit yang secara alami diproduksi

    oleh tubuh. Pada anak dengan gangguan autisme, kadang-kadang endorphin bekerja

    terlalu jauh dalam menekan rasa sakit sehingga anak akan tahan terhadap rasa sakit

    yang berlebihan. Menurut ilmuwan Christopher Gillberg, pada anak autisme, kadar

    zat semacam endorphin pada otak meningkat sehingga dapat menyebabkan gangguan

    pada fungsi otak. Dari beberapa penelitian pemberian diet tanpa gluten dan kasein

    ternyata memberikan respon yang baik terhadap 81% anak autisme.

    2.3.2. Infeksi Jamur/yeast

    Dalam usus terdapat berbagai jenis mikroorganisme misalnya bakteri dan

    jamur, yang hidup berdampingan tanpa mengganggu kesehatan. Yeast yang dimaksud

    di sini adalah sejenis jamur, berupa organisme bersel tunggal yang hidup pada

    permukaan buah, sayuran, butir/bulir, kulit, dan usus. Candida albican adalah sejenis

    yeast yang hidup dalam saluran cerna, yang dalam keadaan normal tidak mengganggu

    kesehatan. Apabila keseimbangan dengan mikroorganisme lain terganggu, maka

    salah satu akan tumbuh berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Pemberian

    antibiotika seperti amoxicillin, ampicillin, tetracycline, keflex yang terlalu lama dan

    sering akan menyebabkan bakteri baik (lactobacillus) akan ikut terbunuh sehingga

    akan mengganggu kesehatan. Antibiotik tidak membunuh candida, akibatnya jamur

    akan tumbuh subur dan dapat mengeluarkan racun yang melemahkan sistem imun

    tubuh sehingga mudah terjadi infeksi.

    2.3.3. Alergi dan Intoleransi Makanan

    Hal lain yang diduga berperan pada masalah autisme adalah alergi dan

    intoleransi makanan. Gejalanya bermacam-macam, misalnya sakit kepala, sakit perut,

  • diare, mual, gangguan tidur, cengeng, hiperaktif, agresif, gampang marah, infeksi

    telinga, dan lain-lain.

    Alergi makanan adalah reaksi tubuh terhadap makanan atau komponen

    makanan yang menyimpang dari normal, melibatkan sistem imun, dan menimbulkan

    gejala yang merugikan tubuh. Semua zat yang menyebabkan reaksi imunologi disebut

    alergen. Apabila alergen masuk ke dalam tubuh, maka zat antibodi terhadap alergen

    tersebut dilepas sehingga memicu terjadninya alergi. Potensi terjadinya alergi

    makanan pada seseorang sering merupakan keturunan. Beberapa makanan yang

    sering menimbulkan alergi antara lain ikan, udang, telur, dan susu.

    Intoleransi makanan merupakan reaksi negatif terhadap makanan dan

    menimbulkan beberapa gejala, namun tidak melibatkan sistem imun tubuh.

    Intoleransi makanan disebabkan kekurangan enzim untuk mencerna zat tertentu

    dalam makanan. Misalnya toleransi susu dapat diakibatkan kekurangan enzim laktase

    yaitu enzim yang memecah laktosa (gula susu). Makanan yang sering menimbulkan

    reaksi intoleransi adalah susu, telur, gandum, dan kacang-kacangan, serupa dengan

    makanan yang dapat menyebabkan masalah pada anak autisme. Untuk mendiagnosa

    alergi dan intoleransi makanan tertentu, orangtua sering mengalami kesulitan karena

    reaksi dapat terjadi segera atau sampai 72 jam setelah makan.

    2.3.4. Keracunan Logam Berat

    Ada hubungan yang jelas antara keracunan logam berat dan berbagai

    gangguan syaraf. Logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik, aluminium,

    dan lainnya masuk ke dalam tubuh secara tidak sengaja melalui udara, air, makanan,

  • obat, kosmetik, vaksinasi, dan sebagainya. Timbal dipakai misalnya dalam bensin,

    minyak pelumas, cat tembok, batu batere, dan aki mobil/motor. Sedangkan merkuri

    (Hg) banyak dipakai dalam bidang kedokteran sebagai tambal gigi, obat tetes mata,

    thermometer, tensimeter, kosmetik, juga digunakan dalam mendulang emas,

    menyamak kulit, dan mengawetkan gandum supaya tidak berjamur. Aluminium

    banyak digunakan sebagai alat masak seperti wajan dan panci.

    Logam berat merupakan racun keras terhadap susunan saraf pusat, terutama

    pada anak karena metabolismenya lebih cepat. Keracunan logam berat juga dapat

    menyebabkan masalah pada sistem organ tubuh. Misalnya, keracunan merkuri dapat

    menyebabkan gangguan keseimbangan sel-sel imun dalam tubuh, mengganggu

    respon imun terhadap makanan, dan dapat mengakibatkan kekurangan seng dan

    selenium.

    Tes keracunan logam berat dapat dilakukan melalui darah, rambut, dan

    urin/air seni. Bila ternyata menderita keracunan logam berat, maka cara membuang

    logam beracun dari tubuh antara lain dengan terapi chelasi.

    2.4. Penanganan Gangguan Makan pada Autisme

    Gangguan pencernaan kronis tampaknya sebagai penyebab yang paling

    penting dalam gangguan makan yang terjadi pada anak autisme. Gangguan saluran

    cerna kronis yang terjadi adalah imaturitas saluran cerna, alergi makanan, intoleransi

    makanan, penyakit coeliac dan gangguan reaksi simpang makanan lainnya. Sebagian

    besar kelainan reaksi simpang makanan tersebut terjadi karena adanya jenis makanan

    yang mengganggu saluran cerna anak sehingga menimbulkan kesulitan makan.

  • Berkaitan dengan hal ini tampaknya pendekatan diet merupakan penatalaksanaan

    terkini yang cukup inovatif (Judarwanto, 2009).

    Suatu studi kasus yang dilakukan oleh European Laboratory of Nutrients in

    the Netherlands pada anak penyandang autisme berumur empat tahun dan mengalami

    masalah serius dalam berbicara dan berbahasa, perkembangan sosial serta emosional

    yang jauh tertinggal.

    Setelah dianalisa ditemukan bahwa anak ini kekurangan lima jenis vitamin

    dan tiga jenis mineral, serta asam amino taurine dan carnitine dalam tubuhnya sangat

    rendah, selain itu sistem pencernaannya sangat payah, flora usus yang abnormal

    dengan indikasi infeksi oleh yeast, test juga menunjukkan ia sensitif terhadap produk

    susu serta beberapa makanan yang lain. Kondisi seperti ini adalah hal yang umum

    bagi penderita autisme.

    Terapi yang diberikan berupa makanan yang bebas dari susu dan kasein,

    pemberian supplemen untuk mengatasi kekurangan nutrisi tadi, lalu kemudian diberi

    obat anti jamur (Nystatin). Pada umur enam tahun, dia sudah dapat memasuki sekolah

    untuk anak normal.

    Dengan melakukan koreksi diet dan makanan dapat memberikan perbaikan

    yang sangat signifikan dari penyakit autisme ini. Sebagaimana diketahui gejala dari

    autisme sangat beragam, demikian juga pemicu dari penyakit ini, oleh karena itu

    pedoman diet bagi anak autisme juga sangat bervariasi dan bersifat individu.

    Perhatian dan pengalaman orang tua sangat diperlukan untuk mengatur makanan

    yang dapat menghindarkan anak dari meningkatnya gejala autisme (Melilea

    Indonesia, 2010).

  • Penelitian yang dilakukan oleh Megson dalam Lestiani pada 60 anak autisme

    yang diberikan vitamin A natural dari minyak ikan (cod oliver oil) selama tiga bulan

    atau lebih telah menunjukkan berbaikan gejala inti autisme seperti bahasa, kontak

    mata, kemampuan sosialisasi dan pola tidur.

    Terapi diet harus disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak.

    Berikut beberapa contoh diet untuk anak autisme menurut Soenardi dan Soetardjo

    dalam Yanti (2009).

    2.4.1. Diet Tanpa Gluten dan Tanpa Kasein

    Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme.

    Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti

    menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.

    Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam gandum/terigu,

    havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung

    terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang

    sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang

    serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan

    karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten.

    Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat dilihat dalam

    waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut

    tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat diberi makanan

    seperti sebelumnya.

  • a. Makanan yang dihindari adalah :

    - Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang

    dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit,

    kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.

    - Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan

    saus lainnya, serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan tepung terigu sebagai

    bahan campuran. Jadi, perlu hati-hati pemakaiannya. Cermati/baca label pada

    kemasannya.

    - Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju,

    mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.

    - Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget,

    hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak

    dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan

    tempe menggunakan fermentasi ragi.

    - Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.

    b. Makanan yang dianjurkan adalah :

    - Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya

    beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena, bihun,

    soun, dan sebagainya.

    - Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya susu

    kedelai, daging, dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur, udang, kerang,

    cumi, tahu, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang mede, kacang kapri

    dan kacang-kacangan lainnya.

  • - Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, tomat,

    wortel, timun, dan sebagainya.

    - Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, jeruk,

    semangka, dan sebagainya.

    2.4.2. Diet Anti-yeast/ragi/jamur

    Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti

    telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula,

    maka makanan yang diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.

    a. Makanan yang perlu dihindari adalah :

    - Roti, pastry, biscuit, kue-kue dan makanan sejenis roti, yang menggunakan gula

    dan yeast.

    - Semua jenis keju.

    - Daging, ikan atau ayam olahan seperti daging asap, sosis, hotdog, kornet, dan

    lain-lain.

    - Macam-macam saus (saus tomat, saus cabai), bumbu/rempah, mustard,

    monosodium glutamate, macam-macam kecap, macam-macam acar (timun,

    bawang, zaitun) atau makanan yang menggunakan cuka, mayonnaise, atau salad

    dressing.

    - Semua jenis jamur segar maupun kering misalnya jamur kuping, jamur merang,

    dan lain-lain.

    - Buah yang dikeringkan misalnya kismis, aprokot, kurma, pisang, prune, dan lain-

    lain.

  • - Fruit juice/sari buah yang diawetkan, minuman beralkohol, dan semua minuman

    yang manis.

    - Sisa makanan juga tidak boleh diberikan karena jamur dapat tumbuh dengan

    cepat pada sisa makanan tersebut, kecuali disimpan dalam lemari es.

    Makanan tersebut dianjurkan untuk dihindari 1-2 minggu. Setelah itu, untuk

    mencobanya biasanya diberikan satu per satu. Bila tidak menimbulkan gejala, berarti

    dapat dikonsumsi.

    b. Makanan yang dianjurkan adalah :

    - Makanan sumber karbohidrat: beras, tepung beras, kentang, ubi, singkong,

    jagung, dan tales. Roti atau biscuit dapat diberikan bila dibuat dari tepaung yang

    bukan tepung terigu.

    - Makanan sumber protein seperti daging, ikan, ayam, udang dan hasil laut lain

    yang segar.

    - Makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (almod, mete, kacang

    kedelai, kacang hijau, kacang polong, dan lainnya). Namun, kacang tanah tidak

    dianjurkan karena sering berjamur.

    - Semua sayuran segar terutama yang rendah karbohidrat seperti brokoli, kol,

    kembang kol, bit, wortel, timun, labu siam, bayam, terong, sawi, tomat, buncis,

    kacang panjang, kangkung, tomat, dan lain-lain.

    - Buah-buahan segar dalam jumlah terbatas.

    2.4.3. Diet untuk Alergi dan Inteloransi Makanan

    Anak autisme umumnya menderita alergi berat. Makanan yang sering

    menimbulkan alergi adalah ikan, udang, telur, susu, coklat, gandum/terigu, dan bisa

  • lebih banyak lagi. Cara mengatur makanan untuk anak alergi dan intoleransi

    makanan, pertama-tama perlu diperhatikan sumber penyebabnya. Makanan yang

    diduga menyebabkan gejala alergi/intoleransi harus dihindarkan. Misalnya, jika anak

    alergi terhadap telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus

    dihindarkan. Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan

    bertambahnya umur anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit

    demi sedikit.

    2.4.4. Cara Mengatur Makanan secara Umum

    1. Berikan makanan seimbang untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua

    zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel

    yang rusak dan kegiatan sehari-hari.

    2. Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi

    jamur. Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan

    fruktosa lebih lambat disbanding gula/sukrosa.

    3. Minyak untuk memasak sebaiknya menggunakan minyak sayur, minyak

    jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai,

    atau minyak olive. Bila perlu menambah konsumsi lemak, makanan dapat

    digoreng.

    4. Cukup mengonsumsi serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan

    buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.

    5. Pilih makanan yang tidak menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat

    pewarna, zat pengawet).

  • 6. Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, pertimbangkan pemberian

    suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium).

    7. Membaca label makanan untuk mengetahui komposisi makanan secara

    lengkap dan tanggal kadaluwarsanya.

    8. Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak

    akan bosan.

    9. Hindari junk food,ganti dengan buah dan sayuran segar

    2.5. Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan Pada Anak

    Pemberian makan pada anak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak atas

    za-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi juga

    merupakan faktor penting bagi kesehatan dan kecerdasan anak, baik sejak dalam

    kandungan maupun setelah anak lahir.

    Kekurangan gizi pada anak dapat menyebabkan berat badan berkurang,

    mudah terserang penyakit, defisiensi gizi, terhambatnya pertumbuhan dan

    perkembangan baik fisik, psikomotor dan mental (Widodo, 2009).

    Suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Nugraheni pada 160 anak autisme

    di Semarang dan Solo dengan menganjurkan diet ketat pada makanan yang

    mengandung kasein dan gluten ia juga mengadakan pengamatan dan konseling pada

    setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas gluten dan kasein secara

    rutin, ternyata setelah 3 bulan terjadi perkembangan yang cukup baik pada

    penyandang autisme, terutama dalam perubahan perilaku yang positif.

  • Dalam menangani masalah pola makan yang terjadi pada autisme tidak hanya

    tertumpu pada terapis dan dokter saja, tetapi perilaku ibu dalam pemberian makan

    pada anak autisme memiliki pengaruh yang besar dalam penyembuhan anak autisme

    sehingga anak autisme dapat tumbuh sehat dan cerdas. Sebaliknya jika perilaku ibu

    yang buruk dalam hal pemberian makan akan berdampak negatif terhadap keadaan

    kesehatan anak.

    Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas

    manusia, baik yang dapat diamati secara langsung, maupun yang tidak dapat diamati

    oleh pihak luar. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi seorang

    individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.

    Perilaku juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (covert

    behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup adalah respon atau

    reaksi terhadap stimulus yang masih dalam bentuk perhatian, persepsi,

    pengetahuan/kesadaran dan sikap pada seseorang yang menerima stimulus dan belum

    dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya : Seorang ibu tahu pentingnya

    makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk kebutuhan gizi keluarganya.

    Sedangkan prilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk

    tindakan nyata dan dapat diamati oleh orang lain misalnya: seorang ibu yang selalu

    memasak makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk memenuhi kebutuhan gizi

    keluarganya.

    2.5.1. Pengetahuan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak

    Pola pemberian makan pada anak perlu dilakukan secara tepat karena kondisi

    anak berbeda dengan orang dewasa. Anak merupakan sosok manusia yang sedang

  • mengalami perubahan dan perkembangan yang paling pesat dalam kehidupannya,

    yaitu perkembangan kematangan sistem pencernaan, kematangan organ-organ tubuh,

    otak dan jiwa. Pada masa ini orang tua perlu memiliki pengetahuan dan ketrampilan

    yang memadai dalam pemilihan dan cara pemberian makan pada anak (Widodo,

    2009).

    Menurut Notoatmodjo (2003) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini

    terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

    Pengindraan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera pengelihatan,

    pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

    Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama

    dibandingkan dengan perilaku yang tanpa didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan

    ibu yang baik tentang gizi akan berdampak postif terhadap pola makan anak. Seperti

    dalam penelitian yang dilakukan oleh Mashabi dan Tajudin (2009) tentang

    pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autisme menunjukan bahwa tinggi

    rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi pola makan anak

    autisme artinya semakin tinggi pengetahuan gizi ibu dapat mempengaruhi pola makan

    anak autisme dan sebaliknya.

    Berdasarkan hasil penelitian diatas maka sangatlah penting bagi para ibu

    untuk meningkatkan pengetahuannya tentang pola pemberian makan pada anak.

    Peningkatan pengetahuan ini dapat diperoleh dari berbagai informasi yang terdapat di

    media cetak, media elektronik maupun dari orang lain yang memiliki pengalaman

    tentang pola pemberian makan pada anak.

  • 2.5.2. Sikap Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak

    Sikap merupakan resaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

    terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunujukkan konotasi

    adanya kesesuain reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

    merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum

    merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tidakan suatu

    perilaku (Notoatmodjo, 2003). Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau

    orang lain yang paling dekat. Sikap membuat orang setuju (mendekat) atau tidak

    setuju (menjauhi) suatu hal.

    Kesenangan seseorang terhadap suatu makanan didasarkan pada psikologi dan

    budaya yang berbeda. Unsur-unsur budaya mampu mempengaruhi kebiasaan makan

    yang terkadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Sikap seorang ibu terhadap

    pemberian makan pada anak sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, keyakinan, dan

    emosi. Suatu contoh misalnya, ibu mengetahui bahwa diet bebas gluten dan bebas

    casein merupakan salah satu terapi penyembuhan untuk anak autisme, pengetahuan

    ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha agar anaknya dapat sembuh dari

    autisme. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu

    berniat untuk menyiapkan makanan yang bebas gluten dan kasein untuk anaknya

    yang autisme.

    Namun adakalanya sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan seperti contoh

    diatas tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata. Hal ini menurut Notoatmodjo

    (1993), disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :

    1. Sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.

  • 2. Sikap diikuti dan tidak diikuti oleh tindakan mengacu pada pengalaman orang

    lain.

    3. Sikap diikuti oleh tindakan nyata.

    Jadi, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

    faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.

    Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain,

    misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua dan lain-lain (Notoatmodjo,

    2003).

    2.5.3. Tindakan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak

    Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian

    mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya

    diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang telah diketahui atau

    disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut praktek kesehatan atau perilaku

    kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

    Pemenuhan gizi dalam keluarga tidak terlepas dari tindakan/perilaku ibu

    dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam hal penyediaan makanan untuk anak. Ibu

    memiliki peranan yang besar karena ibu mempunyai andil dalam hal penyediaan

    makanan dirumah, mulai dari mementukan menu yang akan dimasak, belanja untuk

    bahan makanan dan memasak secara benar. Semua itu dilakukan agar buah hati dan

    keluarga dapat hidup sehat.

    Ibu juga berhak bertindak untuk melarang ataupun memperbolehkan anak

    untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu. Ibu juga harus memilah-milah jenis

    makanan yang diolahnya, tidak hanya kualitas yang diutamakan tetapi juga

  • kandungan zat gizi yang ada didalam bahan makanan itu (Mashabi dan Tajudin,

    2009).

    Tindakan Ibu dalam pemberian makan pada anak dapat dilakukan setelah ibu

    mengetahui manfaat kesehatan yang dihasilkan dari makanan tersebut, dalam hal ini

    terjadi fase penilaian atau pendapat terhadap apa yang telah diketahui yang

    diharapkan dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

    2.6. Status Gizi

    Menurut Supariasa dkk (2002) status gizi merupakan ekspresi dari

    keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Sedangkan menurut Almatsier (2004)

    Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan

    penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih.

    Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk

    menyediakan energi, membangun, memelihara jaringan tubuh, serta mengatur proses-

    proses kehidupan dalam tubuh.

    Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup

    zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan

    fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat

    yang setinggi mungkin.

    2.7. Penilaian Status Gizi

    Pengertian istilah nutritional anthropometry mula-mula muncul dalam

    Body measurements and Human Nutrition yang ditulis oleh Brozek pada tahun

  • 1966 yang telah didefinisikan oleh Jelliffe (1966) sebagai : Pengukuran pada variasi

    dimensi fisik dan komposisi besaran tubuh manusia pada tingkat usia dan derajat

    nutrisi yang berbeda (Nahendra, 2006).

    Menurut Supariasa, dkk (2002) penilaian status gizi dibagi menjadi dua yaitu

    pengukuran status gizi secara langsung dan pengukuran status gizi secara tidak

    langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat yaitu

    antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak

    langsung dibagi menjadi tiga yaitu, survei konsumsi makanan, statistik vital dan

    faktor ekologi.

    2.7.1. Penilaian Status Gizi secara Antropometri

    Penilaian status gizi dalam penelitian ini menggunakan metode antropometri,

    jadi hanya akan dibahas lebih luas mengenai antropometri. Menurut Supariasa, dkk

    (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Maka antropometri gizi

    berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi

    tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Beberapa pengukuran

    antropometri utama yang digunakan adalah tinggi badan (TB), berat badan (BB),

    lingkar lengan (dengan komponen lemak bawah kulit dan otot tulang) dan lipatan

    lemak bawah kulit.

    Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan. Akan tetapi untuk

    berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan

    dan keterangan untuk pelaksanaanya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat

    dibagi menjadi dua yaitu :

  • 1. Untuk mengukur massa jaringan : Pengukuran massa jaringan ini meliputi

    pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit dan lingkar lengan atas.

    Ukuran massa jaringan ini sifanya sensitif, cepat berubah, mudah turun naik

    dan menggambarkan keadaan sekarang.

    2. Untuk mengukur kelinieran : yaitu pengkuran terhadap tinggi badan, lingkar

    kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif

    lambat, ukuranya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat gizi masa

    lalu.

    2.7.2. Indeks Antropometri

    Parameter antropometri merupakan dasar dari penelitian status gizi. Parameter

    ini adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan, tinggi

    badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada dan lingkar pinggul, dan tebal

    lemak dibawah kulit. Kombinasi dari beberapa parameter disebut indeks

    antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu : berat

    badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks masa

    tubuh menurut umur (IMT/U), namun karena dalam penelitian ini yang dihitung

    hanya status gizi TB/U dan IMT/U maka peneliti hanya membahas kedua indeks

    tersebut.

    2.7.3. Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

    Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan

    pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan

    dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,

  • relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh

    defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup

    lama.

    Masalah penggunaan indeks TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan

    dengan keahlian pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data umur. Masalah-

    masalah seperti ini akan lebih berkurang bila pengukuran dilakukan pada anak yang

    lebih tua karena pengukuran lebih mudah dilakukan dan penggunaan selang umur

    yang lebih panjang (tahunan) memperkecil kemungkinan kesalahan data umur.

    2.7.4. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

    Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan pelaksanaan

    perbaikan gizi adalah dengan menentukan dan melihat ukuran fisik seorang anak.

    Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar itu,

    ukuran-ukuran yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi dengan

    melakukan pengukuran antropometri. Hal ini karena lebih mudah dilakukan

    dibandingkan cara penilaian status gizi lain, terutama untuk daerah pedesaan

    (Supariasa, dkk., 2001).

    Pengukuran status gizi pada anak dapat dilakukan dengan cara antropometri.

    Saat ini pengukuran antropometri (ukuran-ukuran tubuh) digunakan secara luas

    dalam penilaian status gizi, terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara

    intake energi dan protein. Pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi, yaitu

    pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Komposisi tubuh mencakup

    komponen lemak tubuh (fat mass) dan bukan lemak tubuh (non-fat mass) (Riyadi,

    2004).

  • Pengukuran status gizi anak dapat dilakukan dengan indeks antropometri dan

    menggunakan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) anak.

    2.8. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Antropometri

    Klasifikasi status gizi harus didasarkan atas ukuran baku (Standar Reference)

    dan terdapat batasan-batasan yang disebut ambang batas. Untuk menentukan

    klasifikasi status gizi digunakan Z-skor (Standar Deviasi). Dalam hal ini standar

    deviasi untuk (Z-skor) digunakan untuk meneliti dan memantau pertumbuhan.

    Standar deviasi unit ini digunakan untuk mengetahui klasifikasi status gizi seseorang

    berdasarkan kriteria yang ditetapkan, antara lain berat badan, umur dan tinggi badan.

    Status gizi diklasifikasikan berdasarkan standar dan ukuran baku. Baku

    antropometri yang digunakan adalah baku WHO 2007 yang telah diperkenalkan di

    Indonesia oleh WHO melalui Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) pada tahun

    2009. Pemakaian standart ini didasarkan pada studi di 6 negara di dunia yaitu Brazil,

    Ghana, Norwey, Oman, USA dan India. Standar Antropometri 2007 lebih dapat

    menggambarkan status gizi anak-anak dan remaja di dunia. Berikut klasifikasi status

    gizi anak remaja menurut WHO 2007.

    Tabel 2.1. Indeks TB/U menurut WHO 2007

    No. Kategori Z-Score (SD) 1. Sangat tinggi > 3 SD 2. Tinggi > 2 SD s/d 3 SD 3. Normal -2 SD s/d 2 SD 4. Pendek -3 SD s/d < -2 SD 5. Sangat pendek < -3 SD

    Rumus IMT = Berat badan (kg) / Tinggi badan2

  • Tabel 2.2. Indeks IMT/U menurut WHO 2007

    No. Kategori Z-Score (SD) 1. Sangat gemuk > 2 SD 2. Gemuk > 1 SD s/d 2 SD 3. Normal -2 SD s/d 1 SD 4. Kurus -3 SD s/d < -2 SD 5. Sangat kurus < -3 SD

    Pengukuran skor simpangan baku (Z-skor) dapat diperoleh dengan rumus :

    Dalam rumus ini, M, L dan S adalah nilai dari populasi rujukan. M adalah

    nilai median rujukan yang merupakan perkiraan rata-rata populasi. L adalah nilai

    kekuatan (power) yang dibutuhkan untuk mentransformasikan data agar data tetap

    berdistribusi normal. S adalah koefisien variasi (sejenisnya).

    Z-skor = (Nilai diamatiM)L 1 L S

  • 2.9. Kerangka Konsep Penelitian

    Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

    Dari kerangka konsep diatas dijelaskan bahwa perilaku ibu tentang pemberian

    makan pada anak autisme dipengaruhi oleh pengetahuan ibu, suatu pengetahuan akan

    membentuk suatu sikap dan sikap ini diaplikasikan secara nyata dalam bentuk

    tindakan, yaitu tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autisme kemudian di

    lihat status gizi anak autisme yang meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan.

    Status Gizi Anak Autisme

    Pengetahuan Ibu

    Sikap Ibu

    Tindakan Ibu dalam Pemberian Makan

    pada Anak Autisme