Kasus Sinusitis
-
Upload
joseph-taylor -
Category
Documents
-
view
169 -
download
5
description
Transcript of Kasus Sinusitis
LAPORAN KASUSRHINOSINUSITIS
PEMBIMBING:DR. ASNOMINANDA, SP.THT-KL
DISUSUN OLEH:STEPHANIE C. FERNANDEZ
030.10.260
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THTRUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR.
ESNAWAN ANTARIKSAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TRISAKTIPERIODE 2 JUNI 2014 – 5 JULI 2014
Status Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran TRISAKTI
Rumah Sakit : RSAU Dr. Esnawan Antariksa
Nama : Stephanie C. FernandezNIM : 030.10.260Dr. Pembimbing : dr. Asnominanda, Sp. THT-KL
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Andre RendawaUmur : 35 tahunPekerjaan : WiraswastaPendidikan : S1Jenis kelamin : Laki-lakiAgama : IslamAlamat : KP Cilame 014/005 Cibening Bungursari Jakarta
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis, tanggal 23 juni 2014, pukul 15.00 WIBKeluhan Utama : Hidung tersumbat sejak 1 bulanKeluhan Tambahan : Hidung terasa gatal, kadang keluar lendir dari
hidung, demam, sakit di pipi sebelah kiri.
Riwayat Penyakil Sekarang (RPS)
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan hidung tersumbat sejak 1 bulan
yang lalu. Hidung terasa gatal dan keluar lendir dari hidung. Lendir yang keluar
kental dan berwarna kuning. Lendir terkadang tidak dapat dikeluarkan, lendir
tersebut tidak berbau, jumlahnya sedikit, namun terus-menerus saat sedang
kambuh. Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak mengalami bersin. Pasien
mengatakan bahwa keluhan tersebut sudah dialami sejak kurang lebih 2 tahun.
Pasien juga kadang mengalami demam, sakit kepala dan terasa berat, sakit di
daerah pipi sebelah kiri. Pasien juga mengatakan adanya lendir yang terasa seperti
tertelan di daerah tenggorok. Pasien menyangkal ada rasa mengganjal di daerah
hidung, seperti terasa adanya daging tumbuh.
2
Pasien mengaku tidak ada riwayat asma, ataupun alergi terhadap obat. Orang
tua pasien ada yang alergi terhadap udara dingin, namun pasien sampai saat ini
mengaku tidak tahu jika pasien mengalami alergi. Sumbatan pada hidung pasien,
tidak dipengaruhi oleh posisi tidur pasien (miring ke kanan atau ke kiri), tidur
telentang pun ia mengalami hidung tersumbat. Pasien menyangkal adanya riwayat
kebiasaan merokok, dan minum alkohol. Pasien mengaku bahwa sering
mengalami batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Riwayat trauma pada daerah wajah
disangkal, pemakaian obat-obatan tetes hidung yang melegakan pernapasan juga
disangkal.
Pasien menyangkal sering mengalami perdarahan dari hidung (mimisan).
Pasien menyangkal adanya rasa gatal dan sakit di daerah mata. Pasien
menyangkal adanya bengkak di daerah pipi ataupun dahi. Pasien juga menyangkal
pernah demam tinggi yang disertai kejang. Gangguan penciuman, penglihatan,
pendengaran dan rasa sakit yang hebat menyebar sampai ke daerah belakang
kepala pun disangkal oleh pasien.
Keluhan pasien sudah dirasakan sejak 2 tahun terakhir, ketika pasien berlibur
ke singapura, tiba-tiba pasien merasakan sakit kepala. Kemudian pasien
memeriksakan diri, dan dinyatakan terdapat sinusitis, dan pasien diberikan obat
tetes melalui hidung.
Riwayat Penyakil Dahulu (RPD) :
Riwayat hipertensi, kencing manis, alergi dan asma disangkal.
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Suhu : 36,8°C
Pernapasan : 18 x/menit
Berat badan : 68 kg
3
III. Pemeriksaan Fisik
i. Telinga
Kanan KiriBentuk daun telinga Normal deformitas (-) Normal deformitas (-)Kelainan kongenital - -Tumor - -Nyeri tekan tragus - -Penarikan daun telinga - -Valsava test Tidak dilakukan Tidak dilakukan Toyinbee test Tidak dilakukan Tidak dilakukan Region mastoid Kulit: normal, sama dengan jaringan sekitar
Fistel-/-Abses-/-Sikatrik -/-Benjolan -/-Nyeri tekan -/-
Liang telinga Kulit : normal, tidak hiperemis, CAE lapang +/+Serumen +/+ minimalSecret -/-Granulasi -/-Udem -/-Benda asing-/-Nyeri tekan -/-
Membran timpani Retraksi -/-Refleks cahaya kanan (+) arah jam 5, kiri (+) jam 7Perforasi -/-Hiperemis -/-
Tes Penala : Rinne Weber Scwabach
Tidak dilakukanTidak dilakukan
Kesan :
Telinga kanan : dalam batas normal, serumen + minimal
Telinga kiri : Dalam batas normal, serumen + minimal
4
ii. Hidung dan Sinus Paranasal
• Bentuk : Tidak tampak deviasi atau depresi tulang hidung
Kelainan kongenital (-)
• Tanda peradangan : Tidak tampak tanda peradangan
• Vestibulum : Hiperemis (-), sekret(+), benjolan (-)
• Cavum nasi : Hiperemis (+), sekret (+), benjolan (-)
• Konka inferior kanan/ kiri : Tampak licin (+/+), hiperemis (+/+),
oedem (+/+), hipertrofi (-/-), sekret (+/+)
• Konka medius kanan/ kiri : Tampak licin (+/+), hiperemis (+/+), oedem
(+/+) hipentrofi (-/-), sekret (+/+)
• Meatus nasi medius kanan/ kiri : Tidak tampak, sulit dinilai,
• Septum nasi : Tidak ada deviasi, pucat (+), licin (+)
• Pasase udara : Sumbatan minimal (+/+)
• Daerah sinus frontalis : Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)
• Daerah sinus maksilaris : Nyeri tekan (-/+), nyeri ketuk (-/+)
Nasofaring (Rhinoskopi posterior)
Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan Transiluminasi
Kanan Kiri
Sinus frontalis, grade : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilanis, grade : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
iii. Tenggorok
Faring
• Dinding faring : Hiperemis (-), granuler (-)
• Arkus faring : Normal, simetris (+)
• Tonsil : T1 - T1 tenang
• Uvula : Letak di tengah (+)
• Gigi : Caries Dentis (-)
5
Laring (Laringoskopi)
Tidak dilakukan
Leher
• Kelenjar limfe submandibula : Tidak tampak membesar, tidak teraba pembesaran
• Kelenjar himfe servikal : Tidak tampak membesar, tidak teraba pembesaran
Maksillo-Fasial
• Deformitas : Tidak tampak
• Parese sarafotak : Tidak ada parese
IV. Pemeriksaan Penunjang
(-)
V. Resume
Dan anamnesa didapatkan :
Pasien Tn. AR seorang laki-laki berusia 35 tahun datang dengan keluhan utama
hidung tersumbat sejak 1 bulan yang lalu disertai hidung terasa gatal, keluar lendir
dari hidung, kadang-kadang mengalami demam, sakit di pipi bagian kiri. Lendir
yang keluar kental dan berwarna kuning. Lendir tersebut tidak berbau, jumlahnya
sedikit, namun terus-menerus saat sedang kambuh. Pasien mengatakan tidak
mengalami bersin. Pasien menyadari bahwa keluhan tersebut sudah dialami sejak
kurang lebih 2 tahun. Pasien juga kadang mengalami demam, sakit kepala dan
terasa berat, sakit di daerah pipi sebelah kiri. Pasien mengaku bahwa sering
mengalami batuk, pilek dan nyeri tenggorok.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
Kesadaran : Compos mentis, Tensi: 120/80 mmHg, Nadi : 72 x/menit, Suhu : 36,8
Pernapasan : 18 x/menit, Berat badan : 68 kg.
Cavum nasi : Hiperemis (+), sekret(+), benjolan (-)
Konka inferior kanan/ kiri : Tampak licin (+/+), hiperemis (+/+), oedem (+/+),
hipertrofi (-/-), sekret (+/+)
6
Konka medius kanan/ kiri : Tampak licin (+/+), hiperemis (+/+), oedem (+/+)
hipertrofi (-/-), sekret (+/+)
Meatus nasi medius kanan/ kiri : Tidak tampak, sulit dinilai
Pasase udara : Sumbatan minimal (+/+)
• Daerah sinus maksilaris kanan/kiri : Nyeri tekan (-/+), nyeri ketuk (-/+)
VI. Diagnosis banding
1. Sinusitis Maksilaris sinistra
2. Polip hidung
3. Rhinitis alergi
VII. Diagnosis kerja
1. Rhinosinusitis Maksilaris sinistra
VIII. Anjuran Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen SPN
b. Laboratorium darah rutin
c. Nasoendoskopi
VIII. Penanganan
• Anjuran / Edukasi
- Hindari mengorek-mengorek hidung dan memaksa untuk mengeluarkan
sekret hidung dengan paksa
- Berobat/ kontrol kembali bila gejala tidak dirasakan membaik
• Medikamentosa
- Antibiotik : Amoxicillin tab 500 3x1
- Mukolitik : Ambroxol tab 30mg 3x1
- Analgetik : Asam Mefenamat 3x500mg, jika terasa sakit
7
X. Prognosis
• ad vitam : ad bonam
• ad functionam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad malam
8
TINJAUAN PUSTAKA
RHINOSINUSITIS
I. Epidemiologi
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis dianggap salah
satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia.1 Data dari DEPKES RI
tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan
ke-25 dari 50 pola penyakit peningkat utama atau sekitar 102.8 17 penderita rawat
jalan di rumah sakit.1 Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996
yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT
RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi.2 Data dan Divisi
Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah
pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah
sinusitis.2
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.1
II. Definisi
Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilanis, sinusitis etmoid, sinusitis
frontal, dan sinusitis sfenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut
multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis.1 Yang paling
sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih
jarang dari sinus sphenoid lebih jarang lagi.3
III. Anatomi
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
9
dalam rongga hidung. Terdapat empat pasang sinus paranasal menurut letaknya
yaitu sinus maksilanis, sinus frontalis, sinus ethmoidhalis, sinus sfenoidalis.
Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung,
berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-
masing. Menurut muaranya sinus dibagi menjadi dua yaitu anterior dan posterior
dimana sinus anterior adalah sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, sinus
maksilaris sedangkan sinus posterior terdiri dari sinus ethmoidalis posterior dan
sinus sfenoidalis.1
Secara embrologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dan sinus etmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar pada usia antara 15-18 tahun.1
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
yakni muara dan sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.1
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.1
Fungsi sinus paranasal adalah :1
• Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
• Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
• Membantu keseimbangan kepala
• Membantu resonansi suara
• Sebagai peredam perubahan tekanan udara
• Membantu produksi mucus
A. Sinus Maksilaris1
10
• Merupakan sinus oaranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ujuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
• Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dan prosesus maksilaris
arcus I.
• Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang
apexnya pada para zygomaticus maxillae.
• Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial Os maksila yang disebut
fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum.
• Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dan anatomi sinus maksila adalah
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akan gigi rahang atas,
yaitu premolan (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita;
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dan dasar sinus, sehingga
drenase hanya tergantung dan gerak silia, lagi pula drenase juga harus
melalui infundibulum yang sempit.
B. Sinus Ethmoidalis 1
• Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
• Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dan
7-15 cellulae, dindingnya tipis.
• Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dan anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm
dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
11
• Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, yang terdapat di
dalam massa bagian lateral Os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita.
• Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara
di meatus superior.
• Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan dengan posterior konkan media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dari lamina basalis.
• Berhubungan dengan :
Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa.
Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial
(meningitis, encefahitis dsb).
Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan
operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk
ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.
Nervus Optikus
Nervus, anteri dan vena ethmoidatis anterior dan pasterior.
C. Sinus Frontalis 1
• Terletak di Os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasah
dan sel-sel resesus frohtat atau dan sel-sel infundibutum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mutai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
• Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
• Tidak simetri kanan dan kiri, tertetak di Os frontalis.
• Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.
• Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
• Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
12
• Berhubungan dengan :
Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
Orbita, dibatasi oleh tutang compacta.
Dibatasi oleh Peniosteum, kulit, tulang diploic.
D. Sinus Sfenoidalis
• Terbentuk pada fetus usia bulan III.
• Tertetak pada corpus, alas dan Processus Os sfenoidalis.
• Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
• Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.
• Berhubungan dengan :
Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
Glanduta pituitari, chiasma n.opticum.
Tranctus olfactorius.
Arteri basillaris brain stem (batang otak)
Kompleks Osteo-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu de meatus medius ada
muara saluran sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus ethmoidalis anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks osteo-meatal terdiri dan
infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang prosessus uncinatus, resesus
frontalis, bula ethmoidalis dan sel-sel ethmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.1
Septum Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan patut lender di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lender menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
13
tentu polanya.1
Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari
sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior bergabung di
infundibulum ethmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan resessus
sfenoidalis dialirkan ke nasofaring di postero-superior tuba. Inilah sebabnya
sinusitis didapati sekret pasca-nasal tetapi belum tentu ada pada rongga hidung.1
Mukosa Hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas
permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi
oleh mukosa yang secara histologik dan füngsional dibagi atas dua tipe yaitu
mukosa penghidup (mukosa olfaktorius), dan sebagian besar mukosa pernafasan
(mukosa respiratori). Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka
superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa
respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D
& Wardani RS, 2007)
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada
hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sel basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas
dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak
mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran
basalis dan lamina propia (Ballenger, 1994; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang
bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari
empat macam sel. Pertama sel torak bertapis semu bersilia (pseudostratified
columnar epithetium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya. Sel-sel bersilia
14
ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian
apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan
untuk kerja silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat
(yang mempunyai mikrovili).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum
akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka
dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel
akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media
dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan
tersusun rapi.
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili
yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke
arah nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan
langsing pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovili ini besarnya ±
1/3 silia dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak
bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta
pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel.
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau
sel-sel goblet yang telah mati.
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering
terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah
merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dari sel-sel
goblet.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya
15
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium,
gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar
mukosa juga banyak ditemukan didekat ostium.
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa
macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang
masuk kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa
dibawah kontrol saraf parasimpatis.
IV. Etiologi
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung
(rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen
walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma,
berenang atau menyelam.3
Bebenapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostiomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagthen, dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis-kistik.3
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaam ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan menusak silia.3
V. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas : 4
1. Sinusitis akut
2. Sinusitis subakut
3. Sinusitis Kronis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis4
16
A. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
B. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)
VI. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobiat dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.3
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh
tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiptikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,
potipoid atau pembentukan polip dan kista.3
VII. Diagnosis
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya
adalah sebagai berikut :
SINUSITIS AKUT
A. Gejata Subyektif
17
Dari anamnesis biasanya didahului oleh inieksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7
hari.5
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta
gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih
berat pada pagi hal, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih
ke tempat lain.6
1. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar,
(2) tetak ostiumnya lebih tinggi dan dasar, sehingga aliran sekret (drenase)
dari sinus maksita hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus
maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi
dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di
meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah
tersumbat.3
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah
kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi.
Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga.6
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat
keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk initatif non
produktif seringkahi ada.7 Nyeri meningkat pada waktu sore hari minimal
pada waktu pagi hari. Hal ini disebabkan karena ostium sinus berada pada
atap sinus, sehingga pada malam hari dimana penderita kebanyakan dalam
posisi berbaring, isi sinus dapat keluar tetapi pada siang hari dimana
penderita kebanyakan pada posisi berdiri akan menyebabkan sekret sulit
keluar, sehingga menumpuk dalam sinus.
18
2. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin
ethmoidahis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu
cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pe1ipis ”posi nasal drip dan sumbatan hidung.7
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidatis anterior.6
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas
alis mata, biasanya pada pagi hari dan membunuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.6
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.6
4. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari parsinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya.3
B. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit
yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti
ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
19
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata
bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada
sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema.
Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak
mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid
posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dan meatus superior. Pada
sinusitis akut tidak ditemukan polip, tumor maupun komplikasi sinusitis. Jika
ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang tebih
5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa
memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan
menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilanis maka akan
keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus
yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiotogik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara
(air fluid level) pada sinus yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti
pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa.
Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.3
SINUSITIS SUBAKUT
20
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.3
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.3
SINUSITIS KRONIS
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.6
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi pembahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.6
A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
• Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya
sedikit tersumbat.
• Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
• Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius.
• Ada nyeri atau sakit kepala.
• Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
• Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis
atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
B. Gejala Obyektif
21
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dan meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan
polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret
purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontatis atau
maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
C. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman
aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto
streptococcus dan fuso bakterium.
D. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :6
• Anamnesis yang cermat
• Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
• Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni
pada daerah sinus yang terinfeksi terhihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi
akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh
dengan cairan)10
• Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters,
PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya tertetak di bawah antrum
maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroantenor untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
22
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :8
1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
dilihat pada foto waters.
• Fungsi sinus maksilaris
• Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam
sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista
dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada
sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup
sehingga drenase menjadi terganggu.
• Pemeriksaan histopatologi dan jaringan yang diambil pada waktu
dilakukan sinoskopi.
• Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan
rasoendoskopi.
• Pemeriksaan CT - Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada
sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan
homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal,
penebalan dinding sinus dengan sklenotik (pada kasus-kasus kronik).
VIII. Penatalaksanaan
SINUSITIS AKUT
Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae.11 Diberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk
memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
23
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikostenoid topikal. Jika ada
perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama
7 hari yakni amoksisilin klavulanatlampisilin sutbaktari, cephalosponin
generasi II, makrotid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic
diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan
dan atau naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan
kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka
dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur
dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila
telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
SINUSITIS SUBAKUT
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum tuas atau
yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 - 14 hari. Juga diberikan
obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan
analgetika, anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) sebanyak 5 - 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan fungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan tindakan pencucian sinus cara Pnoetz.3
SINUSITIS KRONIS
24
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana
yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada
episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada
perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi
(jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal
maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika
tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
Pada sinusitis maksila dilakukan fungsi dari irigasi sinus, sedang
sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
Pembedahan
Radikal a. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal a. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks
ostiomeatat.
IX. Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus
dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium.
Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau
berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
25
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis
akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilans juga terletak di dekat
orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
• Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan lini terutama
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan
orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur
ini.
• Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
• Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
• Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan
isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
• Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk
suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a. Oftalmoplegia.
b. Kemosis konjungtiva.
c. Gangguan penglihatan yang berat.
• Kelemahan pasien.
• Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang
berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan
juga dengan otak.
26
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul
dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris,
sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista
ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra
nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis,
kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk
mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase
yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
• Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar
sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
• Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna
kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul
lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum
pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan
abses dura.
• Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus
terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen
27
ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif,
drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan
pencegahan penyebaran infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat
berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.3
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor.
Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 6, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta 2007, 145-9.
2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal
1-6.
3. Damayanti dan Endang. Sinusitis. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar
Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 6, Balai Penerbit FK UI, Jakarta
2007, 150-3.
4. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dan www.wikipedia.org/wiki/sinusitis
5. Pletcher SD, Goldeng AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no. 9. PP. 495-505.
6. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed.
3, Penerbit Media Auscutapius FK UI, Jakarta 2001, 102 - 106
7. http://www.entdocton.com.sg/articles/pengobatan-sinusitis-sistem-balon.html
8. http://kedokteran.spot.com/2008/04/referat-kedokteran.html
29