Kasus 1 - Pterigium Grade 2 OD

19
Laporan Kasus Pterigium Grade 2 OD Oleh: Christine Merlinda Timotius 11.2014.351 Pembimbing : dr Saptoyo A M, Sp.M Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata Periode 8 Juni s/d 11 Juli 2015 RS Family Medical Center (FMC), Sentul FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

description

mata

Transcript of Kasus 1 - Pterigium Grade 2 OD

Laporan Kasus

Pterigium Grade 2 ODOleh:

Christine Merlinda Timotius11.2014.351Pembimbing :

dr Saptoyo A M, Sp.M

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata

Periode 8 Juni s/d 11 Juli 2015

RS Family Medical Center (FMC), Sentul

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus : Juni 2015

SMF ILMU PENYAKIT MATA

Rumah Sakit Family Medical Center-SentulTanda Tangan

Nama

: Christine Merlinda Timotius

NIM

: 11-2014-351

Dr. Pembimbing: dr Saptoyo A M , Sp.M

------------------- STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama

: Ny. YSUmur

: 47 tahun

Jenis Kelamin

: PerempuanAgama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu rumah tanggaAlamat

: jl. Mandala raya RT 02/01Tanggal Pemeriksaan : 13 juni 2015

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 13 juni 2015.Keluhan Utama:

Mata kanan terasa mengganjal sejak 1 minggu yang lalu.

Keluhan Tambahan:

Mata merah dan berair.Riwayat Penyakit Sekarang:

Satu minggu SMRS pasien merasa ada rasa mengganjal pada mata kanan. Keluhan ini dirasakan terus-menerus dan semakin memberat sehingga pasien memutuskan untuk datang ke poli mata RS FMC. Rasa mengganjal seperti ada benda asing disertai keluhan mata berair dan merah. Pasien mengaku sudah mengobati matanya dengan insto namun tidak mengalami perbaikan.Riwayat buram, gatal, silau, penggunaan kacamata disangkal oleh pasien. Riwayat trauma pada mata, alergi, darah tinggi, dan kencing manis di sangkal oleh pasien. Pasien mengaku sering naik motor dan menggunakan helm namun tidak memakai penutup kacanya sehingga matanya terpapar debu dan angin.Riwayat Penyakit Dahulu

a. Umum Asthma

: tidak ada Hipertensi

: tidak ada Diabetes Melitus: tidak ada Alergi

: tidak ada

b. Mata

Riwayat sakit mata sebelumnya: tidak ada

Riwayat penggunaan kaca mata : tidak ada

Riwayat operasi mata

: tidak ada

Riwayat trauma mata sebelumnya: tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:

Penyakit mata serupa : tidak ada

Penyakit mata lainnya: tidak ada

Asthma

: tidak ada

Hipertensi

: tidak ada

Diabetes

: tidak ada

Alergi

: tidak adaIII. PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda Vital: Tekanan Darah: 120/80mmHg

Nadi

: 75 x/menitB. STATUS OPTHALMOLOGIS

ODPEMERIKSAANOS

1.0 Add + 1.00Visus1.0 Add + 1.00

NTION

OrthoforiaPosisi Bola MataOrthoforia

Edema (-), Hiperemis (-) spasme (-)PalpebraEdema (-), Hiperemis (-) spasme (-)

Hiperemis, injeksi konjungtiva, jaringan fibrovaskular melewati limbus korneaKonjungtivaTenang

JernihKorneaJernih

DalamCOADalam

Bulat, sentral, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+), RAPD (-)Iris/PupilBulat, sentral, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+), RAPD (-)

JernihLensaJernih

JernihVitreusJernih

Refleks makula (+),Papil bulat batas tegas,CD rasio 0,3; A/V rasio 2:3Segmen posteriorRefleks makula (+),Papil bulat batas tegas,

CD rasio 0,3; A/V rasio 2:3

Pergerakan Bola Mata

Baik pada ke 4 kuadranKonfrontasi TestBaik pada ke 4 kuadran

IV. RESUME

Anamnesis

Satu minggu SMRS pasien merasa ada rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan terus-menerus dan semakin memberat. Rasa mengganjal seperti ada benda asing disertai keluhan mata berair dan merah. Pasien mengaku sudah mengobati matanya dengan insto namun tidak mengalami perbaikan. Riwayat buram, gatal, silau, penggunaan kacamata, trauma pada mata, alergi, darah tinggi, dan kencing manis di sangkal oleh pasien. Pasien mengaku sering naik motor dan menggunakan helm namun tidak memakai penutup kacanya sehingga matanya terpapar debu dan angin.Dari status oftalmologis didapatkan :

ODPEMERIKSAANOS

1.0 Add + 1.00Visus1.0 Add + 1.00

Hiperemis, injeksi konjungtiva, jaringan fibrovaskular melewati limbus korneaKonjungtivaTenang

JernihKorneaJernih

DalamCOADalam

Bulat, sentral, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+), RAPD (-)Iris/PupilBulat, sentral, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+), RAPD (-)

JernihLensaJernih

Refleks makula (+),Papil bulat batas tegas,CD rasio 0,3; A/V rasio 2:3Segmen posteriorRefleks makula (+),Papil bulat batas tegas,

CD rasio 0,3; A/V rasio 2:3

V. DIAGNOSIS KERJA

Pterigium Grade 2 ODVI. DIAGNOSIS BANDING

PseudopterigiumVII. PENATALAKSANAAN

Non-medikamentosa :

Operasi pterigium

Rujuk ke dokter spesialis mata Rujuk ke RS dengan fasilitas ruang operasi

Medikamentosa :

Artificial tears 1 tetes 4 kali sehari, mata kanan Edukasi:

Menggunakan alat pelindung kepala seperti helm dan kaca pelindungnya ketika mengendarai kendaraan bermotor.

Menghindari paparan sinar matahari dengan menggunakan topi yang memiliki pinggiran atau menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Memberitahu keluarga untuk kontrol teratur setelah operasi pterigium. Mengatakan kepada pasien bahwa pterigium dapat terjadi kembali (rekuren).

VIII. PROGNOSIS

OCCULI DEXTRA (OD)

Ad Vitam

:Bonam

Ad Fungsionam:Dubia ad bonam

Ad Sanationam:Dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA PTERIGIUMDefinisi Pterigium

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, akan berwarna merah serta dapat mengenai kedua mata.1,2Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi : Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Faktor ResikoHingga saat ini etiologi pasti pterigium masih tidak diketahui dengan pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, iritasi kronis akibat debu, udara yang panas, trauma kecil berulang pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu, beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal baik secara kuantitas maupun kualitas berpotensi menimbulkan pterigium. Diduga paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan pterigium karena sinar ultraviolet yang diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Selain itu faktor herediter menjadi salah satu faktor resiko yang menyebabkan pterigium.1,3,4Gejala KlinisPterigium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.2Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur. Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain2,4 : a. Mata sering berair dan tampak merah

b. Merasa seperti ada benda asing

c. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygiumd. Pada pterigium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan

e. Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

Diagnosis Banding

Pseudopterigium. Pertumbuhannya mirip dengan pterigium karena membentuk sudut miring atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterigium, pseudopterigium merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium, sedangkan pada pterigium tak dapat dilakukan. Pada pseudopterigium pertumbuhan jaringan fibrovaskular dapat terjadi sepanjang tepi kornea sedangkan pada pterigium pertumbuhan jaringan fibrovaskular hanya pada bagian nasal atau temporal.1,5,6 Patofisiologi

Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinar termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.2Pterigium sering muncul pada pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi sinar ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.2EpidemiologiKasus pterigium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterigium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan). Insiden tertinggi pterigium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.

TerapiKonservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.2,6Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah.7Indikasi operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil.

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus.

4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.Teknik pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel.Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.7Teknik bare sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sklera untuk epitelisasi.Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.6Teknik autograft konjungtiva

Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif.Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di eksisi pterigium tersebut.Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut.Teknik menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium telah dilaporkan memberikan angka kekambuhan sangat rendah.7Cangkok membran amnionMencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium.Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarianbulbar konjungtiva.Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episklera dibawahnya.Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.7KomplikasiKomplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut2 :a. Gangguan penglihatan

b. Mata kemerahan

c. Iritasi d. Gangguan pergerakan bola mata.

e. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea f. Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral berkurangg. Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopiah. Dry Eye sindrom i. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

a. Rekurensi

b. Infeksi

c. Perforasi korneosklera

d. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan

e. Korneoscleral dellen

f. Granuloma konjungtiva

g. Epithelial inclusion cystsh. Conjungtiva scari. Adanya jaringan parut di kornea

j. Disinsersi otot rektus

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi PencegahanPada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.PrognosisPterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi. Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahariDaftar Pustaka

1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2015.h.119-120.

2. Agarwal S, Agarwal A, Apple DJ, Buratto L, Alio JL, Pandey SK, et al. Textbook of opthalmology. 1st edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2002.h.862-65.

3. Pendit BU, Susanto D. Oftalmologi umum vaughan & asbury. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.

4. Suhardjo, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada; 2012.h.26.5. Ilyas S. Penuntun ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: FKUI; 2008.h.62-3.6. Sehu KW, Weng WR. Opthalmic pathology an illustrated guide for clinicians. Edisi 4. USA: Blackwell Publishing; 2005.h.47-8.

7. Brightbll FS, McDonnell PJ, McGhee CNJ, Farjo AA, Serdarevic O. Corneal surgery. 4th edition. British: Mosby Elsevier; 2009.h.189-95.14