Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3
-
Upload
muhammad-rahman -
Category
Documents
-
view
126 -
download
9
Transcript of Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3
1
I. PENDAHULUAN
Pterigium adalah penyakit mata eksternal yang terlihat lebih sering di
daerah tropis dan subtropis karena paparan ultraviolet. Diduga bahwa
paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterigium
sebagai respon dari kekeringan mata yang kronik (Kanskii, 2007).
Pterigium adalah penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbuhan
fibrovaskular yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi
yang bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2009).
Pterigium berpotensi penyebab kebutaan pada pertumbuhan
pterigium yang lanjut, sehingga memerlukan tindakan pembedahan untuk
memperbaiki penglihatan. Pterigium merupakan penyakit permukaan mata
yang dikarakteristikan dengan adanya lesi di limbus kornea. Lesi-lesi stem
sel dari limbus kornea yang diinduksi oleh konjungtivitis, trakoma, dan
radiasi sinar UV yang mengambil peran pada peningkatan jumlah pterigium
yang ada. Pterigium ini dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti
usia, gender, paparan radiasi sinar UV, dan kuantitas waktu di luar ruangan
(Liang, 2010).
Suatu kondisi yang disebut sebagai ‘pterygium zone’ (zona
pterigium) diartikan sebagai suatu daerah geografis dengan garis lintang 40º
ke utara dan selatan dari garis khatulistiwa. Berdasarkan hasil laporan,
negara-negara yang terletak di daerah ini, prevalensinya bisa mencapai 22%.
Sedangkan negara-negara di luar daerah geografis di atas, prevalensinya
hanya kurang dari 2% dari populasi umum. Lesi pterigium ini kebanyakan
menyerang pasien-pasien yang terkena paparan sinar matahari, seperti orang
yang bekerja di luar rumah. Dan insidensi pria lebih banyak daripada wanita
karena adanya perbedaan gaya hidup diantara gender di kebanyakan negara
(Detoraks, 2009).
Pterigium bukanlah penyakit yang berbahaya (tidak mengancam
jiwa), tapi secara estetika tampak terlihat kurang indah dilihat dan dapat
menyebabkan ketidaknyamanan bagi penderita serta dapat mengancam
pekerjaan penderita akibat kebutaan yang ditimbulkan pterigium. Masalah
2
yang penting dari pterigium ialah jika penyakit ini tumbuh sampai ke
kornea, lalu menyilang di kornea, maka dapat mengganggu fungsi
penglihatan. Perlu diketahui juga bahwa kelainan degeneratif pada
konjungtiva ini, masih menempati urutan utama morbiditas penyakit di
klinik-klinik mata di negara tropis (Suhardjo, 2007). Pterigium yang
berbentuk sayap dan terletak di nasal dengan apeks mengarah ke kornea di
mana terjadi perluasan secara progresif ini dapat menyebabkan iritasi dan,
jika luas, dapat mencapai aksis visual. Dapat dieksisi namun bisa berulang
kembali (James, 2006).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalbera. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani , yaitu pteron
yang artinya wing atau sayap. Pertumbuhan ini biasanya terletak di celah
kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva dan sering meluas
ke daerah pupil. Berbentuk segitiga dengan banyak pembuluh darah,
puncaknya terletak di kornea dan dasarnya di bagian perifer (Ilyas, 2009).
Gambar 2.1. Pterigium
Oculi Sinistra
B. Etiologi dan Predisposisi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan
suatu neoplasma, radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis
akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan dengan angina yang banyak
dan udara yang panas selain itu factor genetik dicurigai sebagai factor
predisposisi (Ilyas, 2009). Teori yang dikemukakan (Lisegang, 2004):
1. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
2. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
4
perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa
insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat
equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah
alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel
limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi
dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan
angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah
degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler
subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
C. Klasifikasi
Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi 2 tipe yaitu
progresif dan regresif pterigium (Lisegang, 2004):
1. Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea
di depan kepala pterigium ( disebut cap dari pterigium )
2. Regresif pterigium : tipis , atrofi , sedikit vascular .Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Pterigium berdasarkan derajat penyakit dibagi 4 derajat yaitu:
1. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati Kornea
3. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata ,dalam keadaan cahaya normal ( pupil dalam keadaan
normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
5
D. Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini
biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior (Coroneo, 1999).
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra
violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada
bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan
dengan bagian temporal (Coroneo, 1999).
6
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen
dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik
menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini
juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh
elastic (Coroneo, 1999).
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H &
E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman
oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal,
tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Coroneo, 1999).
Gambar 2.2 Histologis Pterigium
7
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien yang menderita pterigium mempunyai keluhan yang
beragam, mulai dari yang tidak mempunyai keluhan sama sekali, hingga
keluhan mata merah, gatal, panas dan mata kabur pada satu mata atau
kedua mata dan tidak mengeluhkan adanya pterigium. Akan tetapi ada
pula yang dating memberikan keluhan timbulnya bentukan seperti daging
yang menjalar ke kornea dengan alasan kosmetik (Ilyas, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna
putih, tampak jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang
terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai kornea, tepi jaringan
berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan,
umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari
apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut “islet of Fuch”.
Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang
kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita. Menurut Fisher (2005)
gambaran klinik pterigium dibagi menjadi 2 kategori:
a. Kelompok pasien dengan gambaran pterigium proliferasi minimal dan
tipis. Merupakan pterigium jenis datar yang tumbuh lambat dan
insidensi kekambuhan yang rendah sesudah eksisi.
b. Kelompok pasien dengan pertumbuhan cepat dan penebalan komponen
fibrovaskular yang cepat. Pterigium jenis ini mempunyai gambaran
klinik pertumbuhan cepat dan insidensi kekambuhannya tinggi setelah
eksisi.
Menurut Fisher pembedahan eksisi sederhana mempunyai tingkat
kekambuhan 50-80%. Angka ini dapat dikurangi dengan autograft
konjungtiva saat eksisi. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata
dan sellen (penipisan kornea akibat kering), dan garis (iron line dari
Stocker) yang terletak di ujung pterigium.
8
Gambar 2.2 Hipertropi konjungtiva bulbi di celah kelopak. Puncak pterigium sudah mendekati pupil.
F. Diagnosis Banding
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguecula dan pseudopterigium (Vaughan, 2000). Bentuknya
kecil, meninggi, massa kekuningan berbatasan dengan limbus pada
konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang kadang terinflamasi.
Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat
dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim
tropis dan angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan . Exposure
sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguecula.
Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya
membentuk sudut miring seperti pseudopterigium atau Terriens marginal
degeneration. Pseudopterigium mirip dengan pterigium , dimana
fibrovascular scar yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea.
Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, conjungtivitis
sikatrik, trauma bedah atau ulcus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi
pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan
muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium
pada limbus , dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterigium . Pada
pseudopterigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
9
pseudopterigium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang
berbeda dengan “true pterigium “
G. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes
mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea (Zaki et al., 2011).
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa
avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka
bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang
rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC
juga cukup berat (Zaki et al., 2011). Indikasi Operasi :
a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
3. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus
10
ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada
yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang
variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih
untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea (Zaki et
al., 2011).
a. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan
tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan
dalam berbagai laporan.
b. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen
dan setinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk
hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-
hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini.
c. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian
besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion
berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis
11
dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam
pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia
primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia.
Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran
basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel
jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan
dalam autografts konjungtiva.
d. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi
terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan
telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah
menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan
karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya
mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan
efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan:
aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi
pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah
operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan
cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan
katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya. Untuk mencegah
12
terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian ( Vaughan, 2000) :
1) Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari
selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone
0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2) Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14
hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
H. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet
dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari (Ilyas, 2009).
G. Komplikasi
Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut (Donnenfeld, 2003).:
1. Gangguan penglihatan
2. Mata kemerahan
3. Iritasi
4. Gangguan pergerakan bola mata.
5. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
6. Dry Eye sindrom
Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
1. Infeksi
2. Ulkus kornea
3. Graft konjungtiva yang terbuka
4. Diplopia
5. Adanya jaringan parut di kornea
I. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
13
rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Pasien dengan
resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock
dan mengurangi terpapar sinar matahari (Donnenfeld, 2003).
14
III. KESIMPULAN
1. Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga
yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalbera
2. Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter.
3. Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium
4. Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain: mata sering berair dan tampak merah, merasa
seperti ada benda asing, timbul astigmatisme.
5. Diagnosa pterigium dapat ditegakkan dengan anamnesis dengan keluhan
adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata, disertai
rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak, kemudian untuk tesnya dapat
digunakan uji ketajaman visual, slitlamp, sonde di bagian limbus
6. Penatalaksanaa pterigium yaitu konservatif dan pembedahan, dengan
teknik bedah antara lain bare sclera, konjungtiva autograft, limbal
conjungtival autograft dan graft membrane amnion
7. Komplikasi post-operatif meliputi infeksi, ulkus kornea, graft konjungtiva
yang terbuka, diplopia, adanya jaringan parut di kornea
8. Prognosis pada pterigium, penglihatan dan kosmetik pasien setelah
dieksisi adalah baik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Coroneo MT, Di Girolamo N, Wakefield D. 1999. The Pathogenesis of Pterygium. Curr Opin Ophthalmol; 10(4): 282-8
Detoraks ET, Spandidos DA. 2009. Pathogenetic Mechanisms and Treatment Options for Ophthalmic Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International Journal of Molecular Medicine. 23.p.439-447. Available from www.spandidos-publications.com/var/spand/publication_497.pdf
Donnenfeld ED, Henry D. Perry. Fromer S. Doshi S, Solomon R, Biser S. 2003 . Subconjunctival Mitomycin C as Adjunctive Therapy before Pterygium Excision. The American Academy of Ophthalmology. Published by Elsevier Science Inc.p.1012-1016
Fisher JP. 2005. Pterigium. (Online) http://www.eMedicine.com diakses 12 Desember 2012
Ilyas S. 2009. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal:2-6, 116 – 117
Kanskii JJ. 2007. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. 6thed,
Liang QF, Xu l, Jin XY, You QS, Yang XH and Cui TT. 2010. Epidemiology of Pterygium in Aged Rural Population of Beijing, China. Chinese Medical Journal.123(13).p.1699-1701. Available from : www.cmj.org.
Lisegang JL, Scuta GL, Cantor LB. 2004. External Disease and Cornea. In: Basic and Clinical Science Course. American Academy of Ophthalmology. The Eye M.D.Association
Vaughan G, Daniel et al. 2000. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Jakarta : Widya Medika
Zaki,A. Emerah,S, Ramzy.M, Labib.M. 2011. Management of Recurrent Pterygia. Journal of American Science 7(1): 230-234