Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

23
1 I. PENDAHULUAN Pterigium adalah penyakit mata eksternal yang terlihat lebih sering di daerah tropis dan subtropis karena paparan ultraviolet. Diduga bahwa paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterigium sebagai respon dari kekeringan mata yang kronik (Kanskii, 2007). Pterigium adalah penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbuhan fibrovaskular yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2009). Pterigium berpotensi penyebab kebutaan pada pertumbuhan pterigium yang lanjut, sehingga memerlukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki penglihatan. Pterigium merupakan penyakit permukaan mata yang dikarakteristikan dengan adanya lesi di limbus kornea. Lesi-lesi stem sel dari limbus kornea yang diinduksi oleh konjungtivitis, trakoma, dan radiasi sinar UV yang mengambil peran pada peningkatan jumlah pterigium yang ada. Pterigium ini dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti usia, gender, paparan radiasi sinar UV, dan kuantitas waktu di luar ruangan (Liang, 2010). Suatu kondisi yang disebut sebagai ‘pterygium zone’ (zona pterigium) diartikan sebagai suatu daerah geografis dengan garis lintang 40º ke utara

Transcript of Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

Page 1: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

1

I. PENDAHULUAN

Pterigium adalah penyakit mata eksternal yang terlihat lebih sering di

daerah tropis dan subtropis karena paparan ultraviolet. Diduga bahwa

paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterigium

sebagai respon dari kekeringan mata yang kronik (Kanskii, 2007).

Pterigium adalah penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbuhan

fibrovaskular yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi

yang bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2009).

Pterigium berpotensi penyebab kebutaan pada pertumbuhan

pterigium yang lanjut, sehingga memerlukan tindakan pembedahan untuk

memperbaiki penglihatan. Pterigium merupakan penyakit permukaan mata

yang dikarakteristikan dengan adanya lesi di limbus kornea. Lesi-lesi stem

sel dari limbus kornea yang diinduksi oleh konjungtivitis, trakoma, dan

radiasi sinar UV yang mengambil peran pada peningkatan jumlah pterigium

yang ada. Pterigium ini dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti

usia, gender, paparan radiasi sinar UV, dan kuantitas waktu di luar ruangan

(Liang, 2010).

Suatu kondisi yang disebut sebagai ‘pterygium zone’ (zona

pterigium) diartikan sebagai suatu daerah geografis dengan garis lintang 40º

ke utara dan selatan dari garis khatulistiwa. Berdasarkan hasil laporan,

negara-negara yang terletak di daerah ini, prevalensinya bisa mencapai 22%.

Sedangkan negara-negara di luar daerah geografis di atas, prevalensinya

hanya kurang dari 2% dari populasi umum. Lesi pterigium ini kebanyakan

menyerang pasien-pasien yang terkena paparan sinar matahari, seperti orang

yang bekerja di luar rumah. Dan insidensi pria lebih banyak daripada wanita

karena adanya perbedaan gaya hidup diantara gender di kebanyakan negara

(Detoraks, 2009).

Pterigium bukanlah penyakit yang berbahaya (tidak mengancam

jiwa), tapi secara estetika tampak terlihat kurang indah dilihat dan dapat

menyebabkan ketidaknyamanan bagi penderita serta dapat mengancam

pekerjaan penderita akibat kebutaan yang ditimbulkan pterigium. Masalah

Page 2: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

2

yang penting dari pterigium ialah jika penyakit ini tumbuh sampai ke

kornea, lalu menyilang di kornea, maka dapat mengganggu fungsi

penglihatan. Perlu diketahui juga bahwa kelainan degeneratif pada

konjungtiva ini, masih menempati urutan utama morbiditas penyakit di

klinik-klinik mata di negara tropis (Suhardjo, 2007). Pterigium yang

berbentuk sayap dan terletak di nasal dengan apeks mengarah ke kornea di

mana terjadi perluasan secara progresif ini dapat menyebabkan iritasi dan,

jika luas, dapat mencapai aksis visual. Dapat dieksisi namun bisa berulang

kembali (James, 2006).

Page 3: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk

segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah

interpalbera. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani , yaitu pteron

yang artinya wing atau sayap. Pertumbuhan ini biasanya terletak di celah

kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva dan sering meluas

ke daerah pupil. Berbentuk segitiga dengan banyak pembuluh darah,

puncaknya terletak di kornea dan dasarnya di bagian perifer (Ilyas, 2009).

Gambar 2.1. Pterigium

Oculi Sinistra

B. Etiologi dan Predisposisi

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan

suatu neoplasma, radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis

akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan dengan angina yang banyak

dan udara yang panas selain itu factor genetik dicurigai sebagai factor

predisposisi (Ilyas, 2009). Teori yang dikemukakan (Lisegang, 2004):

1. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan

pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat

keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.

2. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam

Page 4: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

4

perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa

insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat

equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di

lapangan.

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah

alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).

UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel

limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi

dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan

angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah

degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler

subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat

pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

C. Klasifikasi

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi 2 tipe yaitu

progresif dan regresif pterigium (Lisegang, 2004):

1. Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea

di depan kepala pterigium ( disebut cap dari pterigium )

2. Regresif pterigium : tipis , atrofi , sedikit vascular .Akhirnya menjadi

membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.

Pterigium berdasarkan derajat penyakit dibagi 4 derajat yaitu:

1. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

2. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih

dari 2 mm melewati Kornea

3. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata ,dalam keadaan cahaya normal ( pupil dalam keadaan

normal sekitar 3 – 4 mm)

4. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.

Page 5: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

5

D. Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak

dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan

dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini

biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama

untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran

pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum

lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior (Coroneo, 1999).

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang

lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di

samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra

violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada

bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan

dengan bagian temporal (Coroneo, 1999).

Page 6: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

6

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen

dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik

menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini

juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan

elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh

elastic (Coroneo, 1999).

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi

subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H &

E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing

bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman

oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal,

tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering

menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Coroneo, 1999).

Gambar 2.2 Histologis Pterigium

Page 7: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

7

E. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Pasien yang menderita pterigium mempunyai keluhan yang

beragam, mulai dari yang tidak mempunyai keluhan sama sekali, hingga

keluhan mata merah, gatal, panas dan mata kabur pada satu mata atau

kedua mata dan tidak mengeluhkan adanya pterigium. Akan tetapi ada

pula yang dating memberikan keluhan timbulnya bentukan seperti daging

yang menjalar ke kornea dengan alasan kosmetik (Ilyas, 2009).

2. Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna

putih, tampak jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang

terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai kornea, tepi jaringan

berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan,

umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari

apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut “islet of Fuch”.

Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang

kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita. Menurut Fisher (2005)

gambaran klinik pterigium dibagi menjadi 2 kategori:

a. Kelompok pasien dengan gambaran pterigium proliferasi minimal dan

tipis. Merupakan pterigium jenis datar yang tumbuh lambat dan

insidensi kekambuhan yang rendah sesudah eksisi.

b. Kelompok pasien dengan pertumbuhan cepat dan penebalan komponen

fibrovaskular yang cepat. Pterigium jenis ini mempunyai gambaran

klinik pertumbuhan cepat dan insidensi kekambuhannya tinggi setelah

eksisi.

Menurut Fisher pembedahan eksisi sederhana mempunyai tingkat

kekambuhan 50-80%. Angka ini dapat dikurangi dengan autograft

konjungtiva saat eksisi. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata

dan sellen (penipisan kornea akibat kering), dan garis (iron line dari

Stocker) yang terletak di ujung pterigium.

Page 8: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

8

Gambar 2.2 Hipertropi konjungtiva bulbi di celah kelopak. Puncak pterigium sudah mendekati pupil.

F. Diagnosis Banding

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang

sama yaitu pinguecula dan pseudopterigium (Vaughan, 2000). Bentuknya

kecil, meninggi, massa kekuningan berbatasan dengan limbus pada

konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang kadang terinflamasi.

Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat

dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim

tropis dan angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan . Exposure

sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguecula.

Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya

membentuk sudut miring seperti pseudopterigium atau Terriens marginal

degeneration. Pseudopterigium mirip dengan pterigium , dimana

fibrovascular scar yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea.

Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamasi

permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, conjungtivitis

sikatrik, trauma bedah atau ulcus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi

pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan

muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium

pada limbus , dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterigium . Pada

pseudopterigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan

Page 9: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

9

pseudopterigium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang

berbeda dengan “true pterigium “

G. Penatalaksanaan

1. Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium

derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes

mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.

Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan

pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami

kelainan pada kornea (Zaki et al., 2011).

2. Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa

avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka

bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok

konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk

menurunkan angka kekambuhan.  Tujuan utama pengangkatan

pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,

mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang

rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus

pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC

juga cukup berat (Zaki et al., 2011). Indikasi Operasi :

a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi

pupil

c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan

silau karena astigmatismus

d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

3. Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah

kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus

Page 10: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

10

ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada

yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang

variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah

langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih

untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang

mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,

jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea (Zaki et

al., 2011).

a. Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara

memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan

tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan

dalam berbagai laporan.

b. Teknik Autograft Konjungtiva

Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen

dan setinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini

melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva

bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di

eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk

hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-

hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,

manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari

grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia

merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi

pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah

dengan teknik ini.

c. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk

mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari

penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian

besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion

berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis

Page 11: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

11

dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam

pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia

primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia.

Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft

konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran

Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran

basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke

bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan

lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel

jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan

dalam autografts konjungtiva.

d. Terapi Tambahan

Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi

terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan

telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah

menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan

penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan

karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya

mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan

efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan:

aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi

pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah

operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan

MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan

cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari

angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi

termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan

katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak

merekomendasikan terhadap penggunaannya. Untuk mencegah

Page 12: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

12

terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan

pemberian ( Vaughan, 2000) :

1) Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari

selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone

0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.

2) Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14

hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

H. Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti

nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet

dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari (Ilyas, 2009).

G. Komplikasi

Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut (Donnenfeld, 2003).:

1. Gangguan penglihatan

2. Mata kemerahan

3. Iritasi

4. Gangguan pergerakan bola mata.

5. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

6. Dry Eye sindrom

Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

1. Infeksi

2. Ulkus kornea

3. Graft konjungtiva yang terbuka

4. Diplopia

5. Adanya jaringan parut di kornea

I. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa

tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan

pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan

Page 13: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

13

rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan

conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Pasien dengan

resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena

terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock

dan mengurangi terpapar sinar matahari (Donnenfeld, 2003).

Page 14: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

14

III. KESIMPULAN

1. Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga

yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah

interpalbera

2. Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni

radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara

dan faktor herediter.

3. Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan

proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium

4. Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering

tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering

dialami pasien antara lain: mata sering berair dan tampak merah, merasa

seperti ada benda asing, timbul astigmatisme.

5. Diagnosa pterigium dapat ditegakkan dengan anamnesis dengan keluhan

adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata, disertai

rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak, kemudian untuk tesnya dapat

digunakan uji ketajaman visual, slitlamp, sonde di bagian limbus

6. Penatalaksanaa pterigium yaitu konservatif dan pembedahan, dengan

teknik bedah antara lain bare sclera, konjungtiva autograft, limbal

conjungtival autograft dan graft membrane amnion

7. Komplikasi post-operatif meliputi infeksi, ulkus kornea, graft konjungtiva

yang terbuka, diplopia, adanya jaringan parut di kornea

8. Prognosis pada pterigium, penglihatan dan kosmetik pasien setelah

dieksisi adalah baik.

Page 15: Sylviana Kuswandi G1A009066- Pterigium Grade 3

15

DAFTAR PUSTAKA

Coroneo MT, Di Girolamo N, Wakefield D. 1999. The Pathogenesis of Pterygium. Curr Opin Ophthalmol; 10(4): 282-8

Detoraks ET, Spandidos DA. 2009. Pathogenetic Mechanisms and Treatment Options for Ophthalmic Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International Journal of Molecular Medicine. 23.p.439-447. Available from www.spandidos-publications.com/var/spand/publication_497.pdf

Donnenfeld ED, Henry D. Perry. Fromer S. Doshi S, Solomon R, Biser S. 2003 . Subconjunctival Mitomycin C as Adjunctive Therapy before Pterygium Excision. The American Academy of Ophthalmology. Published by Elsevier Science Inc.p.1012-1016

Fisher JP. 2005. Pterigium. (Online) http://www.eMedicine.com diakses 12 Desember 2012

Ilyas S. 2009. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal:2-6, 116 – 117

Kanskii JJ. 2007. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. 6thed,

Liang QF, Xu l, Jin XY, You QS, Yang XH and Cui TT. 2010. Epidemiology of Pterygium in Aged Rural Population of Beijing, China. Chinese Medical Journal.123(13).p.1699-1701. Available from : www.cmj.org.

Lisegang JL, Scuta GL, Cantor LB. 2004. External Disease and Cornea. In: Basic and Clinical Science Course. American Academy of Ophthalmology. The Eye M.D.Association

Vaughan G, Daniel et al. 2000. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Jakarta : Widya Medika

Zaki,A. Emerah,S, Ramzy.M, Labib.M. 2011. Management of Recurrent Pterygia. Journal of American Science 7(1): 230-234