KARSINOMA SERVIK UTERI (2).docx
-
Upload
lindamahardhika -
Category
Documents
-
view
34 -
download
1
description
Transcript of KARSINOMA SERVIK UTERI (2).docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker serviks merupakan kanker yang banyak menyerang perempuan. Saat ini kanker serviks
menduduki urutan ke dua dari penyakit kanker yang menyerang perempuan di dunia dan urutan
pertama untuk wanita di negara sedang berkembang. Dari data Badan Kesehatan Dunia
(WHO), diketahui terdapat 493.243 jiwa per tahun penderita kanker serviks baru di dunia
dengan angka kematian karena kanker ini sebanyak 273.505 jiwa per tahun (Emilia, 2010).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kanker serviks disebabkan oleh infeksi virus HPV
(Human Pappiloma Virus) yang tidak sembuh dalam waktu yang lama. Jika kekebalan tubuh
berkurang, maka infeksi ini bisa mengganas dan menyebabkan terjadinya kanker serviks.
Kanker serviks mempunyai insiden yang tinggi di negara-negara yang sedang berkembang
yaitu menempati urutan pertama, sedang dinegara maju ia menempati urutan ke 10, atau
secara keseluruhan ia menempati urutan ke 5 (Ramli, 2005).
Di negara maju, angka kejadian kanker serviks sekitar 4% dari seluruh kejadian kanker pada
wanita, sedangkan di negara berkembang mencapai diatas 15%. Amerika Serikat dan Eropa
Barat, angka insiden kanker serviks telah terjadi penurunan. Hal ini disebabkan oleh alokasi
dana kesehatan yang mencukupi, promosi kesehatan yang bagus, serta sarana pencegahan
dan pengobatan yang mendukung (Emilia, 2010).
Di Indonesia, diperkirakan 15.000 kasus baru kanker serviks terjadi setiap tahunnya, sedang
angka kematiannya di perkirakan 7500 kasus per tahun (Emilia, 2010). Menurut data Yayasan
Kanker Indonesia (YKI), penyakit ini telah merenggut lebih dari 250.000 perempuan di dunia
dan terdapat lebih 15.000 kasus kanker serviks baru, yang kurang lebih merenggut 8000
1
kematian di Indonesia setiap tahunnya (Diananda, 2009).
Pada tahun 2004 jumlah pasien kanker yang berkunjung ke Rumah Sakit di Indonesia
mencapai 6.511 dengan proporsi pasien kanker serviks yang rawat jalan adalah 16,47% dan
rawat inap adalah 10,9%, selain itu lebih dari 70% kasus kanker serviks datang ke rumah sakit
dalam keadaan stadium lanjut (Depkes RI, 2005).
Di Sumatera Utara diperoleh data dari dinas Kesehatan Propinsi jumlah penderita kanker
serviks pada tahun 2000 sebanyak 548 kasus, tahun 2001 sebanyak 683 kasus. Di RSUD dr.
Pirngadi Medan Tahun 2007 sebanyak 345 kasus, tahun 2008 sebanyak 25 kasus, tahun 2009
sebanyak 48 kasus dan tahun 2010 sebanyak 40 kasus. Masih tingginya angka penderita
kanker serviks di Indonesia disebabkan karena penyakit ini tidak menimbulkan gejala dan
rendahnya kesadaran wanita untuk memeriksakan kesehatan dirinya. Padahal sekarang
penyakit apapun sudah dapat diobati dan ditangani dengan cepat apabila deteksi dini dilakukan
secara berkala sehingga dapat mengurangi risiko angka kematian. Jika semakin banyak wanita
terbiasa melakukan deteksi dini, apabila penyakit sudah berjangkit pada seseorang maka bisa
lebih cepat ditangani (Septiyaningsih, 2010).
Menurut Wiknjosastro (1999) kanker serviks dapat disembuhkan jika dideteksi dan
ditanggulangi sejak dini, malahan sebenarnya kanker serviks ini dapat dicegah.Menurut ahli
Obgyn dari Newyork University Medical Center, Goldstein, kuncinya adalah deteksi dini. Kini,
senjata terbaik untuk mencegah kanker serviks adalah bentuk skrining yang dinamakan Pap
Smear, dan skrining ini sangat efektif. Pap smear adalah suatu pemeriksaan sitologi yang
diperkenalkan oleh Papanicolaou pada tahun 1943 untuk mengetahui adanya keganasan
(kanker) dengan mikroskop. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat dan tidak sakit (Bustan,
2007).
Masalahnya, banyak wanita yang tidak mau menjalani pemeriksaan, dan kanker serviks ini
2
biasanya justru timbul pada wanita-wanita yang tidak pernah memeriksakan diri atau tidak mau
melakukan pemeriksaan ini. 50% kasus baru kanker servik terjadi pada wanita yang
sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan pap smear. Padahal jika para wanita mau
melakukan pemeriksaan ini, maka penyakit kanker serviks suatu hari bisa saja musnah, seperti
halnya polio (Depkes RI, 2005).
Budaya dan adat ketimuran di Indonesia telah membentuk sikap dan persepsi yang jadi
penghalang bagi perempuan untuk membuka diri kepada profesional medis dan mampu
melindungi kesehatan reproduksinya. Akibatnya, kebanyakan pasien datang sudah pada
stadium lanjut, hingga sulit diobati ( Ramli, 2005).
Seringnya terjadi keterlambatan dalam pengobatan mengakibatkan banyaknya penderita
kanker serviks meninggal dunia, padahal kanker serviks dapat diobati jika belum mencapai
stadium lanjut, tentunya dengan mengetahui terlebih dahulu apakah sudah terinfeksi atau tidak
dengan menggunakan beberapa metode deteksi dini, antara
lain metode Pap Smear, IVA (Inspeksi Visual dengan Asam asetat), Thin Prep, dan Kolposkopi,
vikografi, papnet (komputerisasi) (Nugroho, 2010).
Melihat perkembangan jumlah penderita dan kematian akibat kanker serviks, diperkirakan
bahwa sekitar 10 persen wanita di dunia telah terinfeksi Human Papiloma Virus (HPV), muncul
fakta bahwa semua perempuan mempunyai resiko untuk terkena infeksi HPV. Jenis HPV
tertentu merupakan penyebab utama kanker serviks. Sementara itu, seseorang yang terkena
infeksi ini memiliki kemungkinan terkena kanker serviks hampir 20-100 kali lipat (Emilia, 2010).
Perjalanan dari infeksi HPV (Human Pappiloma Virus), tahap pra kanker hingga menjadi kanker
serviks memakan waktu 10 sampai 20 tahun. Disinilah tujuan dari deteksi dini yaitu
memutuskan perjalanan penyakit pada tahap pra kanker dan mendapatkan pengobatan
3
sesegera mungkin sehingga kanker serviks diharapkan dapat sembuh sempurna (Widyastuti,
2009).
Faktor-faktor risiko terjadinya kanker serviks meliputi, hubungan seksual pada usia dini (< 20
tahun), berganti-ganti pasangan seksual, merokok, trauma kronis pada serviks uteri dan
hygiene genetalia. Lebih dari separuh penderita kanker serviks berada dalam stadium lanjut
yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan seperti peralatan radio terapi yang hanya
tersedia dibeberapa kota besar saja. Disamping mahal, pengobatan tehadap kanker stadium
lanjut memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan harapan hidup 5 tahun yang rendah
(Ramli, 2005).
Mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh kanker serviks dipandang dari segi harapan
hidup, lamanya penderitaan, serta tingginya biaya pengobatan, sudah
sepatutnya apabila kita memberikan perhatian yang lebih besar terhadap penyakit yang sudah
terlalu banyak meminta korban itu, dan segala aspek yang berkaitan dengan penyakit tersebut
serta upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan. (Bustan, 2007).
Setiap wanita yang telah berumur 18 tahun, atau wanita yang telah aktif secara seksual
selayaknya mulai memeriksakan pap smear. Pemeriksan ini sebaiknya dilakukan setiap tahun
walaupun tidak ada gejala kanker. Pemeriksaan dilakukan lebih dari setahun jika sudah
mencapai umur 65 tahun atau tiga pemeriksaan berturut-turut sebelumnya menunjukkan hasil
normal. Pemeriksaan lebih sering dilakukan pada wanita yang mempunyai lebih dari satu
pasangan, telah berhubungan seksual sejak remaja, mempunyai penyakit kelamin, merokok
dan ada infeksi Human Papiloma Virus ( Bustan, 2007).
Deteksi dini tidak hanya perlu dilakukan sekali seumur hidup tetapi perlu dilakukan secara
berkala setelah wanita berumur 40 tahun. Hal yang perlu diingat adalah tidak ada kata
4
terlambat untuk melakukan deteksi dini terhadap kanker serviks, tetap perlu biarpun anda tidak
lagi melakukan aktifitas seksual (Yohanes, 1999).
Kendala sosial masyarakat berkaitan dengan konsep tabu. Seperti kita ketahui kanker serviks
merupakan kanker yang menyerang bagian sensitif dan tertutup perempuan. Bukan hal yang
mudah untuk mendorong perempuan membuka diri dan mengizinkan pemeriksaan dilakukan
oleh dokter atau paramedis laki-laki. Bagi masyarakat dengan pengetahuan yang cukup, maka
tidak akan menjadi masalah, tapi bagaimana dengan masyarakat pedesaan bahkan pedalaman
yang tingkat
pengetahuannya masih kurang. Selain itu aspek kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan
paramedis masih belum merata (Emilia, 2010).
5
BAB II
KARSINOMA SERVIK UTERI
2.1 Epidemilogi
o Karsinoma Servik adalah keganasan ginekologi paling sering ditemukan
nomer III di seluruh dunia,
o Nomer 1 : karsinoma mammae
o Nomer II : karsinoma ovarium
Frekuensi bervariasi antara negara maju dan berkembang, namun: Kanker serviks
adalah urutan kedua yang paling umum di negara-negara berkembang, tapi berada
pada urutan kesepuluh yang terbanyak di negara maju. Demikian pula, kanker serviks
merupakan urutan penyakit kematian ke 2 terkait kanker pada wanita di negara-negara
berkembang, serta 10 penyebab utama di negara maju. Variasi ras di tingkat kanker
serviks per 100.000 wanita di Amerika Serikat, menurut Surveillance Epidemiology and
End Results (SIER) Data dari tahun 2005-2009, adalah sebagai berikut:
Hispanik - 11.8
African American - 9,8
American Indian / Alaska Native - 8.1
White - 8.0
Asia / Kepulauan Pasifik - 7.2
6
Berdasarkan hasil survey kesehatan oleh Word Health Organitation (WHO), (2010)
dilaporkan kejadian kanker serviks sebesar 500.000 kasus Baru di Dunia. Kejadian
kanker servik di Indonesia, dilaporkan sebesar 20-24 kasus kanker serviks baru setiap
harinya. Kejadian kanker servik di Bali di laporkan telah menyerang sebesar 553.000
wanita usia subur pada tahun 2010 atau 43/100.000 penduduk WUS. Berdasarkan
AOGIN (2010) Angka ini mengalami peningkatan sebesar 0,89% sejak tahun 2008
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi karsinoma serviks sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi
faktor-faktor predisposisi keganasan ini telah banyak dikenal adalah sebagai berikut:
Data epidemologi yang tersusun selama akhir abad ini menyingkap kemungkinan
adanya hubungan yang kuat antara neoplasia intraepitelial serviks (NIS) dan
karsinoma serviks uteri dengan infeksi virus human papiloma. Virus human
papiloma adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan
epidermal dan mukosa. Infeksi virus ini sering terdapat pada wanita yang aktif
secara seksual. Dari beberapa pemeriksaan laboratorium terbukti bahwa lebih
dari 90% kondiloma serviks, semua neoplasma intraepitelial serviks dan
karsinoma serviks mengandung DNA virus human papiloma. Virus human
papiloma tipe 6, 11, 42, 43 dan 44 jarang ditemukan pada neoplasma,
sedangkan tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 sering ditemukan pada
kanker dan prakanker.Virus tipe 16 ditemukan pada sekitar 50% kasus lesi
intraepitelial skuamosa derajat berat dan karsinomaserviks . DNA virus human
7
papiloma dapat berintegrasi dengan genom sel serviks sehingga memungkinkan
terjadinya mutasi . Bila terjadi pada gen p53, yaitu suatu gen untuk menekan
proses pertumbuhan neoplasma, maka fungsinya menjadi terganggu .
Jenis dan durasi infeksi virus, dengan tipe HPV risiko tinggi dan infeksi persisten
memprediksi risiko lebih tinggi untuk perkembangan, tipe HPV risiko rendah tidak
menyebabkan kanker serviks
Kondisi host (misalnya, status gizi buruk, immunocompromise, dan infeksi HIV)
Faktor-faktor lingkungan (misalnya, merokok dan kekurangan vitamin)Kurangnya
akses ke skrining sitologi rutin
Selain itu, berbagai faktor ginekologi secara signifikan meningkatkan risiko
infeksi HPV. Ini termasuk usia dini hubungan seksual pertama dan jumlah yang
lebih tinggi dari pasangan seksual.
Meskipun penggunaan kontrasepsi oral selama 5 tahun atau lebih telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko kanker serviks, risiko meningkat mungkin
mencerminkan risiko yang lebih tinggi untuk infeksi HPV pada wanita yang aktif
secara seksual. Namun, interaksi langsung yang mungkin antara kontrasepsi
oral dan infeksi HPV belum diketahui.
Perubahan genetik dalam beberapa kelas gen telah dikaitkan dengan kanker
serviks. Tumor necrosis factor (TNF) yang terlibat dalam memulai komitmen sel
untuk apoptosis, dan gen TNFa-8, TNFa-572, TNFa-857, TNFa-863, dan TNF G-
308A telah dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi kanker serviks [15, 16, 17,
18] Polimorfisme pada gen lain yang terlibat dalam apoptosis dan perbaikan gen,
8
TP53., telah dikaitkan dengan peningkatan tingkat infeksi HPV maju untuk
kanker serviks.
Antigen (HLA) gen leukosit manusia yang terlibat dalam berbagai cara. Beberapa
anomali gen HLA yang dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi HPV
berkembang menjadi kanker, orang lain dengan efek perlindungan kemokin
reseptor-2 (CCR2) gen pada kromosom 3p21 . dan gen pada kromosom 10q24.1
Fas [25, 30] juga dapat mempengaruhi kerentanan genetik untuk kanker serviks,
mungkin dengan mengganggu respon kekebalan terhadap HPV. The CASP8
gen (juga dikenal sebagai FLICE atau MCH5) memiliki polimorfisme di wilayah
promotor yang telah dikaitkan dengan penurunan risiko kanker serviks.
Modifikasi epigenetik juga mungkin terlibat dalam kanker serviks. Metilasi adalah
yang terbaik dipahami dan mungkin mekanisme yang paling umum dari
pemodelan DNA epigenetik pada kanker. Pola metilasi DNA menyimpang telah
dikaitkan dengan perkembangan kanker serviks dan mungkin merupakan
pelabuhan petunjuk penting untuk mengembangkan pengobatan Human
papillomavirus.
Faktor etiologi lain adalah spermatozoa. Sel epidermoid metaplastik dapat
memfagosit sisa-sisa sperma dan menghubungkannya dengan inti sel.
Permukaan sel stroma dan subepitel terdiri dari jalinan DNA yang berhubungan
dengan inti sel (nukleus) sehingga dapat mengotrol sintesis protein. DNA
permukaan ini dipengaruhi oleh protein dasar yang terdapat pada kepala sprema
dan permukaan virus. Protein dasar ini terutama adalah arginin, protamin, dan
9
histon .Karsinoma epidermoid serviks uteri merupakan tingkat akhir dari NIS,
berkembang dari displasia ke karsinoma in situ dan karsinoma invasif.
Infeksi virus Epstein-Barr ditemukan juga pada bilasan serviks, dan karena
positive ratenya tinggi pada karsinoma serviks, virus ini diper kirakan juga
berperan pada genesis karsinoma serviks
Dengan demikian faktor risiko karsinoma serviks adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan inisiasi transformasi atipik serviks (abnormal)yang terletak di
antara sambungan skuamokolumnar serviks yang asli dan yang baru terbentuk
akibat metaplasia sel kolumner menjadi skuamosa. Faktor tersebut terutama
berhubungan dengan riwayat melakukan hubungan seksual pada usia muda, sering
berganti pasangan, penyakit menular seksual (seperti klamidia trakomatis,
trikomonas vaginalis, cytomegalovirus, neiseria gonore dan triponema palidum),
kontrasepsi, paritas, kebiasaan merokok, sosioekonomi rendah danriwayat pernah
menderita displasia skuamosa serviks, vagina dan vulva.
2.3 Gejala
Karsinoma servik invasif umumnya menyebabkan keluhan :
Perdarahan pasca sanggama
Perdarahan intermenstrual
Perdarahan pasca menopause
10
Pada kasus yang lanjut :
Fluor albus persisten yang sangat berbau dan kadang berdarah.
Nyeri panggul
Edema tungkai
Gangguan miksi
2.4 Temuan fisik
Umumnya keadaan umum baik
Pada penyakit lanjut :
o Penurunan berat badan berlebihan.
o Pembesaran kelenjar inguinal / supraklavikula.
o Edema tungkai
o Asites
o Efusi pleura
o Hepatomegali
Pemeriksaan panggul pada stadium awal : servik terlihat normal terutama bila
yang terjadi adalah lesi endoservikal
Inspeksi pada stadium lanjut : ditemukan lesi dalam berbagai bentuk :
o Ulseratif
o Eksofitik
o Granular
o Nekrotik
Servik rapuh dan mudah berdarah saat pemeriksaan
11
Pemeriksaan rectovaginal berguna untuk menentukan penyebaran ke arah
parametrium dan ligamentum sacrouterina.
Gejala karsinoma Servik menjadi jelas saat terlihat lesi servik yang berukuran sedang
dan terlihat seperti bentukan “ caulliflower “
2.5 Diagnosa Banding Lesi Serviks
1. Eversi
2. Polip
3. Endoservisitis papiler / papiloma
4. (Tuberkulosis)
5. ( Chancre)
6. (granuloma inguinale)
2.7 Jenis Karsinoma Serviks Uteri
1. Karsinoma Sel Skuamosa
o 80% dari semua jenis karsinoma servik
o Terdiri dari 3 jenis
Keratinizing
Non-keratinizing
Small cell carcinoma
2. Adenokarsinoma
12
o 10 – 20% dari semua jenis karsinoma servik.
o Berasal dari sel silindris yang melapisi kanalis endoservikalis dan kelenjar.
o Diagnosa dini sangat sulit dimana hasil Pap Smear menunjukkan 80%
“false negative”.
3. Karsinoma Metastatik akibat penyebaran langsung dari rektum-intra abdominal-
endometrium.
2.6 Pola Penyebaran (Metastase)
Invasi langsung pada stroma servik – corpus Uteri – vagina dan parametrium.
Limfogenik
Lnn Pelvik ke Lnn Paraaorta.
Hematogenik:
o Paru.
o Hepar.
o Tulang.
2.8 Pemeriksaan Prabedah – Staging Klinik
Metode staging klinik FIGO dibuat dari hasil :
1. Pemeriksaan panggul dan rektal.
2. Pemeriksaan foto thorax.
3. Pemeriksaan fungsi hepar.
13
4. Evaluasi traktus urogenitalis .
5. Evaluasi pembesaran atau abnormalitas kelenjar limfe.
2.9 Terapi Karsinona Serviks invasif
1. Operasi radikal – histerektomi radikal + limfadenektomi
2. Terapi Radiasi
Karsinoma Serviks dalam Kehamilan
Permasalahan
1. Pemeriksaan diagnostik selama kehamilan.
2. Pemeriksaan diagnostik dalam waktu 12 bulan pasca persalinan.
Angka Kejadian : 1 : 2200 kehamilan
GEJALA = pasien tidak hamil.
Diagnosa Banding :
Abortus iminen.
Plasenta previa.
Diagnosis
Kehamilan cenderung untuk merubah gambaran CIN pada pemeriksaan kolposkopi
sehingga cenderung terjadi OVER DIAGNOSA.
Selama kehamilan jangan dikerjakan ECC karena dapat menyebabkan terjadinya
14
ketuban pecah dini.
“Cone Biopsy” sebaiknya dikerjakan pada kehamilan trimester II untuk menghindari
kemungkinan abortus bila dikerjakan pada trimester I ; bila dikerjakan pada trimester III
dikhawatirkan dapat menyebabkan persalinan prematur atau perdarahan hebat.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CIN III saat kehamilan : konservatif dimana
o Kehamilan dianjutkan sampai aterm
o Persalinan per vaginam
o Terapi definitif diberikan 6 – 8 minggu pasca persalinan
Karsinoma mikroinvasif (hasil diagnosa “cone biopsy”) selama kehamilan ð
konservatif
o Kehamilan dilanjutkan sampai aterm
o Kolposkopi : kehamilan 28 minggu
o Aterm : “caesarean hysterectomy”
Karsinoma Invasif selama kehamilan memerlukan terapi yang bersifat darurat.
o Bila ditemukan setelah kehamilan 22 – 24 minggu, bila pasien setuju
maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai kehamilan 32 minggu
o Bila ditemukan pada kehamilan yang lebih dini maka terapi adalah :
histerotomi + histerektomi radikal
15
Bila diputuskan untuk menunggu sampai janin viabel maka perlu melakukan
pemantauan janin dengan ultrasonografi dan melakukan tes pematangan paru
(rasio lesitin: sfingomielin ) sebelum mengakhiri kehamilan.
2.10 Prognosis
Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85-
90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal
(Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor
prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar
tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari
stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebihdari 90%, untuk
stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%
(Geene,1998; Kenneth, 2000).
1. Stadium 0100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.
2. Stadium 1
Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua
wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate
sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai
90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka.
3. Stadium 2
16
Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita
yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar
70-90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%.
4. Stadium 3Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%.
5. Stadium 4Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%.
6. Stadium 5Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5-10%.
17
BAB III
Kesimpulan
Kanker leher rahim atau disebut juga kanker serviks adalah sejenis kanker
yang 99,7% disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang
menyerang leher rahim. Kanker ini dapat hadir dengan pendarahan vagina, tetapi
gejala kanker ini tidak terlihat sampai kanker memasuki stadium yang lebih jauh,
yang membuat kanker leher rahim fokus pengamatan menggunakan Pap smear.
Di negara berkembang, penggunaan secara luas program pengamatan leher
rahim mengurangi insiden kanker leher rahim yang invasif sebesar 50% atau
lebih. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa infeksi human papillomavirus
(HPV) bertanggung jawab untuk semua kasus kanker leher rahim. [2][3]
Perawatan termasuk operasi pada stadium awal, dan kemoterapi dan/atau
radioterapi pada stadium akhir penyakit.
18