Jurding Lepra

3
Karakteristik Klinis WHO memperkenalkan guideline yang bertujuan untuk mengklasifikasi lepra menjadi PB dan MB. Sebagian besar pasien pada tempat kami berjenis MB (80%) dan terjadi pada usia produktif (36%) dari seluruh penderita lepra berjenis MB. Data ini memiliki kesamaan dengan data WHO dimana di Indonesia, jenis lepra tipe MB mencapai 82.15% pada 2008. Kondisi ini menggambarkan resiko transmisi pada penduduk Indonesia. Studi ini dilakukan pada pusat rujukan, dimana terdapat pasien dengan gejala atipikal, dan sebagian memiliki kecacatan serta komplikasi. Pada awalnya kami memprediksi bahwa jumlah penderita lepra tipe MB yang pada pasien kami lebih tinggi dari Indonesia. Namun, yang kami temukan adalah kecacatan grade II bila dibandingkan dengan negara tetangga kami, lebih rendah dibandingkan dengan yang WHO temukan di Indonesia. Masalah lain yang kami temukan adalah jenis lepra yang kami temukan pada anak-anak. Sebagian besar pasien anak-anak yang kami rawat menderita lepra tipe MB, berbeda dengan yang telah dilaporkan pada populasi di Brazil, dimana penderita pada anak-anak lebih sering pada tipe PB. Lepra tipe MB memerlukan perhatian khusus dalam diagnosis dan terapi. Penyakit ini lebih menular dan sulit untuk dideteksi, dimana karakteristiknya lebih atipikal dibandingkan tipe PB. Reaksi lepra akut, termasuk RR dan ENL, umumnya terjadi pada pasien laki-laki usia produktif (22-44 tahun). Reaksinya berupa RR dengan prosentase 16.5% kasus. Studi oleh Penna et al. menemukan hubungan yang signifikan antara RR dengan peningkatan IB. Reaksi lepra umum ditemukan pada tipe

description

Jurding Lepra Klasifikasi Klinis

Transcript of Jurding Lepra

Karakteristik KlinisWHO memperkenalkan guideline yang bertujuan untuk mengklasifikasi lepra menjadi PB dan MB. Sebagian besar pasien pada tempat kami berjenis MB (80%) dan terjadi pada usia produktif (36%) dari seluruh penderita lepra berjenis MB. Data ini memiliki kesamaan dengan data WHO dimana di Indonesia, jenis lepra tipe MB mencapai 82.15% pada 2008. Kondisi ini menggambarkan resiko transmisi pada penduduk Indonesia.Studi ini dilakukan pada pusat rujukan, dimana terdapat pasien dengan gejala atipikal, dan sebagian memiliki kecacatan serta komplikasi. Pada awalnya kami memprediksi bahwa jumlah penderita lepra tipe MB yang pada pasien kami lebih tinggi dari Indonesia. Namun, yang kami temukan adalah kecacatan grade II bila dibandingkan dengan negara tetangga kami, lebih rendah dibandingkan dengan yang WHO temukan di Indonesia.Masalah lain yang kami temukan adalah jenis lepra yang kami temukan pada anak-anak. Sebagian besar pasien anak-anak yang kami rawat menderita lepra tipe MB, berbeda dengan yang telah dilaporkan pada populasi di Brazil, dimana penderita pada anak-anak lebih sering pada tipe PB. Lepra tipe MB memerlukan perhatian khusus dalam diagnosis dan terapi. Penyakit ini lebih menular dan sulit untuk dideteksi, dimana karakteristiknya lebih atipikal dibandingkan tipe PB.Reaksi lepra akut, termasuk RR dan ENL, umumnya terjadi pada pasien laki-laki usia produktif (22-44 tahun). Reaksinya berupa RR dengan prosentase 16.5% kasus. Studi oleh Penna et al. menemukan hubungan yang signifikan antara RR dengan peningkatan IB. Reaksi lepra umum ditemukan pada tipe multibasiler, dikarenakan sifatnya yang tidak stabil secara imunologis.Masalah selanjutnya ialah terjadinya gangguan pada pekerjaan yang terjadi pada pasien laki-laki dengan reaksi lepra. Pada perempuan, reaksi lepra mempengauhi peran mereka dalam keluarga dan pekerjaan rumah tangga. Pada anak-anak, reaksi lepra dapat mengganggu pendidikan dan kehidupan sosialnya. Reaksi lepra juga dapat menimbulkan neuritis akut, yang selanjutnya dapat menyebabkan kelumpuhan permanen. Oleh karena itu, diagnosis awal dan penatalaksanaan terpadu dari reaksi lepra diperlukan.Penemuan kecacatan akibat lepra pada saat diagnosis ditegakkan dapat mengindikasikan bahwa diagnosis ditegakkan terlambat, dikarenakan penyakit ini cenderung berkembang lambat. Dalam studi kami, jumlah pasien penderita kecacatan grade II berjumlah 8.9%, melebihi batas 5% yang telah ditetapkan WHO. Kecacatan yang dilaporkan di daerah lain di Indonesia jauh lebih banyak, yaitu 15.87% di Bandung dan 25.4% di Surabaya.Kebanyakan kecacatan pada studi kami terjadi pada pasien laki-laki penderita lepra tipe MB, sesuai dengan yang telah dilaporkan Whitingtion et al. Sebaliknya, Ghimire et al. mengamati bahwa kecacatan pada ibu rumah tangga cenderung lebih banyak.Kecacatan parah jarang ditemukan pada anak-anak. Kami mengamati 0.6% kecacatan lepra grade II pada anak-anak dibawah usia 5 tahun. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding kota tetangga kami, Surabaya, berjumlah 2.2%. Hal ini mungkin menjelaskan bahwa studi kami dilakukan di ibu kota, sehingga kualitas pelayanan kami lebih memuaskan dibanding kota-kota di sekitar kami.Lepra pada anak-anak usia dibawah lima tahun dapat menjadi kasus yang lebih buruk dikarenakan onsetnya yang terjadi awal dan resiko deformitas yang tinggi. Namun, kecacatan sedikit terjadi pada anak-anak. Kecacatan permanen pada anak-anak dapat menimbulkan stigma buruk di kehidupan sosial dan perkembangan psikologis mereka.Berbeda dengan studi oleh Imbriba et al., studi kami menemukan bahwa MB diderita oleh anak-anak. Hal ini dapat memberikan kontribusi pada penemuan kecacatan pada anak-anak yang kami temukan pada studi kami. Penyakit yang mudah menular ini, terutama pada anak-anak, meyakinkan kami untuk menghentikan penyebaran infeksi pada anak-anak.