isi case

41
BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan analisis kata “anestesi” (an=tidak, aestesi= rasa) maka ilmu anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien merasa nyaman serta mempelajari tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan kehidupan pasien selama mengalami ‘kematian’ akibat obat anestesi. 1 Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.1 Salah satu jenis anestesi regional adalah anestesi spinal. Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang subaraknoid. 2 Tujuannya adalah untuk menghasilkan analgesia. Spinal anestesi banyak digunakan selain karena secara teknik lebih mudah dibandingkan dengan teknik anestesi regional lainnya, obat anestesi yang digunakan lebih sedikit, onset lebih singkat dan level anestesi lebih pasti. Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan semakin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Teknik anestesi spinal pertama kali diperkenalkan oleh August Bier pada tahun 1898 dan pada tahun 1908 teknik anestesi regional intravena dikenalkan. 3 Karena keuntungan dan kemampuannya menghasilkan efek analgesia 1

description

anestesi

Transcript of isi case

Page 1: isi case

BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan analisis kata “anestesi” (an=tidak, aestesi= rasa) maka ilmu anestesi adalah

cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri,

takut dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien merasa nyaman serta mempelajari

tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan kehidupan pasien selama mengalami

‘kematian’ akibat obat anestesi.1

Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan

obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region tertentu, yang

menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.1 Salah satu jenis

anestesi regional adalah anestesi spinal. Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi

regional ke dalam ruang subaraknoid.2 Tujuannya adalah untuk menghasilkan analgesia. Spinal

anestesi banyak digunakan selain karena secara teknik lebih mudah dibandingkan dengan teknik

anestesi regional lainnya, obat anestesi yang digunakan lebih sedikit, onset lebih singkat dan

level anestesi lebih pasti.

Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan semakin luas pemakaiannya dibidang

anestesi. Teknik anestesi spinal pertama kali diperkenalkan oleh August Bier pada tahun 1898

dan pada tahun 1908 teknik anestesi regional intravena dikenalkan.3 Karena keuntungan dan

kemampuannya menghasilkan efek analgesia yang adekuat dan mencegah respon stress secara

lebih sempurna serta pengaruh sistemik yang minimal, penggunaan anestesi spinal semakin luas

penggnaannya di bidang anestesi.

1

Page 2: isi case

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

No. Rekam Medis : 00596038

Nama : Ny. I

Umur : 48 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Griya Citra Persada F4 Karawang

Status pernikahan : Menikah

Agama : Islam

Ruang rawat/kelas : Cilamaya Baru/2A

Bagian/Unit : Unit Obgyn

Dokter DPJP : dr. David, Sp.OG

Tanggal operasi : 23 Juli 2015

2.2 Anamnesis

Dilakukan autoanamnesis pada pasien sendiri, Ny. I pada tanggal 23 Juli 2015 pukul 07.45 WIB.

Keluhan Utama : Perdarahan dari kemaluan sejak 1 bulan yang lalu

Keluhan tambahan : Teraba benjolan di perut bagian bawah

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengatakan mengalami perdarahan dari kemaluan yang berlangsung terus

menerus sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku darah yang keluar berwarna

merah kehitaman disertai adanya gumpalan. Darah yang keluar cukup banyak hingga dalam

sehari pasien mengganti pembalutnya sebanyak 3-4 kali. Ketika darah beserta gumpalan darah

yang keluar cukup banyak pasien merasakan nyeri di perutnya. Selain itu pasien mengatakan

terdapat sakit kepala. Pasien juga mengatakan perdarahan dari kemaluan juga timbul dari 3 bulan

lalu namun hilang timbul, sampai akhirnya pasien sempat memeriksakan dirinya ke dokter

kandungan di RSUD Karawang dan dirawat inap kurang lebih selama 5 hari (sejak 3 juli-8 juli

2

Page 3: isi case

2015) dengan keluhan yang sama. Selama dilakukan perawatan di rumah sakit pasien mendapat

transfusi darah. Pada tanggal 15 Juli lalu pasien kembali ke RS untuk memeriksakan dirinya di

bagian Obgyn dan direncanakan untuk dilakukannya operasi. Pada tanggal 22 Juli pasien

kembail lagi ke RS untuk dirawat persiapan dilakukannya operasi.

Selain perdarahan, pasien juga merasakan adanya benjolan di sekitar perut bagian bawah.

Benjolan tersebut dirasakannya kurang lebih sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan tersebut dirasakan

semakin membesar oleh pasien. Selain itu pasien mengatakan benjolan teraba keras dan tidak

dapat digerakan. Pasien tidak merasakan nyeri apabila benjolan tersebut ditekan, namun nyeri

perut dirasakannya saat perdarahan yang cukup banyak berlangsung. Keluhan demam, mual,

muntah dan keputihan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum pernah menjalani operasi/anestesi apapun sebelumnya. Riwayat alergi terhadap

obat-obatan disangkal. Pasien mengaku alergi terhadap makanan ikan teri. Riwayat hipertensi,

diabetes mellitus, penyakit jantung-paru, asma disangkal. Pasien pernah dirawat inap kurang

lebih 2 minggu yang lalu di RSUD Karawang dengan keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit keluarga :

Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma, penyakit jantung-paru, alergi obat/ makanan tertentu

serta keganasan pada keluarga disangkal.

Riwayat menstruasi :

Menarche : 13 th, menstruasi teratur 1 kali/bulan biasanya berlangsung kurang lebih 7 hari, nyeri

menstruasi disangkal.

Riwayat pernikahan :

1. Menikah dengan bujang, saat usia 17 tahun, punya 2 anak, kemudian cerai

2. Menikah dengan duda, saat usia 48 tahun

Riwayat Obstetri :

Anak pertama lahir normal pervaginam, laki-laki lahir di bidan, Berat bayi 4000gr

Anak kedua lahir normal pervaginam, laki-laki lahir di bidan, Berat bayi 3200 gr

Riwayat penggunaan KB :

Pasien menggunakan kb pil selama 1 bulan.

2.3 Pemeriksaan Fisik

3

Page 4: isi case

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Status gizi : BB : 50 kg

TB : 149 cm

BMI : 22,5

Tanda vital : Tekanan darah : 140/90

Nadi : 70 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,5°C

Status Generalis

Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thoraks : Jantung : BJ I/II regular, Murmur (-), Gallop(-)

Paru : SN vesikuler, Wheezing -/-, Ronki -/-

Abdomen : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), perkusi

pekak di sekitar bawah umbilicus, teraba benjolan kurang lebih sekitar

Ø 8cm konsistensi keras tanpa teraba berbenjol-benjol, tidak dapat

digerakan, Bising usus (+).

Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas dan tidak terdapat edema pada

keempat eksremitas.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium tanggal 22 Juli 2015

Hematologi

- Hemoglobin : 10,9 g/dL (N= 12,0-16,0)

- Leukosit : 5,73 x 103/ul (N= 3,80-10,60)

- Trombosit : 281 x 103/ul (N=150-440)

- Hematokrit : 33,1 % (N= 35,0-47,0)

- Masa perdarahan/BT: 2 menit (N= 1-3 menit)

- Masa pembekuan/CT: 9 menit (N= 5-11 menit)

- Gol. Darah ABO : A

4

Page 5: isi case

- Gol. Darah Rhesus : +

Imunologi

- HBs Ag Rapid : Non Reaktif

Kimia

- Glukosa Darah Sewaktu : 100 mg/dL (N= <140)

2.5 Diagnosis Kerja

- Mioma Uteri

2.5 Kesimpulan

Persiapan pre-operatif pasien :

- persiapan fisik dan mental pasien

- persiapan puasa pasien

Status fisik pasien : ASA II

Perencanaan anestesi : Pada pasien ini akan dilakukan tindakan Laparatomi dan Histerektomi

dengan anestesi regional spinal.

5

Page 6: isi case

BAB III

LAPORAN ANESTESI

Status anestesi

- Diagnosa pre-operasi : Mioma Uteri

- Jenis operasi : Laparatomi/ Histerektomi

- Rencana teknik anestesi : Anestesi Regional Spinal

- Status fisik : ASA II

Keadaan Selama Pembedahan

Lama operasi : 2 jam 30 menit

Lama anestesi : 2 jam 45 menit

Jenis anestesi : Regional spinal

Posisi : Supine

Infus : Asering

Premedikasi : -

Medikasi : Bupivacaine 35mg

Catapres 45 mg

Ketorolac 30 mg

Tramadol 100 mg/drip

Fentanyl 50 mikrogram

Sedacum 2 mg

Ketamin 30 mg

Cairan masuk : 2000 ml

Perdarahan : ± 200 ml

Persiapan alat

- Mesin anestesi

- Monitor anestesi

- Sfigmomanometer digital

- Oksimeter

- Spuit 5 cc, 3 cc

6

Page 7: isi case

- Jarum spinal

- Sarung tangan steril

- Cairan antiseptik

- Kanul 02

- Alat intubasi (pipa ETT, Laringoskop, guedel, stetoskop, sungkup, plester, stilet, suction,

connector)

Persiapan Obat

- Pre medikasi : Midazolam

- Analgetik : Fentanyl, Pethidine

- Hipnotik/Sedativa : Propofol, Ketamin

- Obat emergency : Ephedrine

Monitoring saat operasi

Jam Tindakan Tekanan darah (mmHg) Nadi (x/menit)

09.50 - Pasien masuk ke kamar operasi dan

dipindah ke meja operasi

- Pemasangan monitoring tekanan

darah, nadi, saturasi oksigen.

- Infus Asering terpasang kiri

179/97 87

SPO2 : 99%

10.00 - Mulai anestesi dengan pemberian

anestesi spinal dengan Bupivacaine

20mg

-Pemberian oksigen 2 liter/menit

160/90 82

SPO2 : 99%

10.10 Operasi dimulai 150/80 80

SPO2 : 99%

10.20 Operasi masih dilakukan 110/60 75

SPO2 : 98%

10.30 - Operasi masih dilakukan

-Penggantian infus Asering

97/58 68

SPO2 : 97%

10.40 Operasi masih dilakukan 115/63 757

Page 8: isi case

SPO2 : 98%

10.50 Operasi masih dilakukan 120/68 77

SPO2 : 98%

11.00 Operasi masih dilakukan 108/60 71

SPO2 : 98%

11.10 Operasi masih dilakukan 102/57 69

SPO2 : 99%

11.20 - Operasi masih dilakukan

- Penggantian infus Asering

100/58 68

SPO2 : 99%

11.30 Operasi masih dilakukan 103/59 68

SPO2 : 98%

11.40 Operasi masih dilakukan 105/64 70

SPO2 : 99%

11.50 Operasi masih dilakukan 99/62 67

SPO2 : 99%

12.00 - Operasi masih dilakukan

- Penggantian infus Asering

103/61 69

SPO2 : 99%

12.10 - Operasi masih dilakukan

- pasien gelisah dan merasa nyeri

- pemberian ketorolac 30mg/IV,

Tramadol 100mg/drip, Fentanyl

50mcg, Sedacum 2 mg, Ketamin 30mg.

108/73 71

SPO2 : 99%

12.20 Operasi masih dilakukan 110/72 72

SPO2 : 100%

12.30 Operasi masih dilakukan 115/71 73

SPO2 : 100%

12.40 Operasi selesai 102/67 73

SPO2 : 100%

8

Page 9: isi case

Keadaan akhir pembedahan

Tekanan darah : 102, Nadi: 67, Saturasi O2 : 100%

Penilaian Pemulihan Motorik (berdasarkan Skor Bromege) :

Skoring Bromege Gerakan Motorik Tungkai Waktu

3 Tidak dapat menggerakkan

kaki seluruhnya

12.50

2 Dapat menggerakkan bagian

telapak kaki saja

13.40

1 Dapat menggerakkan lutut 14.45 (pasien dipindahkan ke

ruangan)

0 Sudah dapat menggerakkan

tungkai secara menyeluruh

-

9

Page 10: isi case

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Regional

Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan

obat anestesi lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region tertentu, yang menyebabkan

hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.1 Pemberian anestesi regional dibagi

menjadi dua, yaitu blok sentral dan blok perifer. Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu

anestesi spinal, epidural dan kaudal. Sedangkan blok perifer dibagi menjadi blok saraf, topikal

infiltrasi, analgesia regional intravena, dan blok lapangan (field block).

Jenis-jenis Obat Anelgesia Lokal4

Berdasarkan ikatan kimia, obat analgetik lokal dibagi menjadi:

1. Derivat ester, yang dibagi menjadi derivat asam benzoate (kokain) dan derivat asam

para amino benzoate (prokain dan klorprokain)

2. Derivat amide (lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain, etidokain)

Berdasarkan potensi dan lama kerja atau durasi, dibagi menjadi:

1. Potensi rendah dan durasi singkat: prokain dan klorprokain

2. Potensi dan durasi sedang: mepivakain, prilokain, lidokain

3. Potensi kuat dan durasi panjang: tetrakain, bupivakain, etidokain

Bupivakain mempunyai potensi 8 dan durasi 180-600 menit.

Mekanisme Kerja Obat

Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan

menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membran saraf.

Gelombang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekuk obat anestesi lokal. Penyumbatan

gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi lokal berkontribusi sedikit sampai

hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion

natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial

10

Page 11: isi case

tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah

potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial. Lokal anestesi juga memblok

kanal kalsium dan potasium dan reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang

berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik (amytriptiline),

meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki efek memblok kanal sodium. Tidak

semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade

ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai faktor anatomi dan fisiologi

lain. Diameter yang kecil dan banyaknya mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi

lokal. Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal: autonom > sensorik >

motorik.5

Farmakologi Klinis

Farmakokinetik

Karena anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat dengan lokasi

kerja maka farmakokinetik dari obat umunya lebih dipentingkan tentang eliminasi dan toksisitas

obat dibandingkan dengan efek klinis yang diharapkan.5

Absorpsi

Sebagian besar membran mukosa memiliki barier yang lemah terhadap penetrasi anestesi

lokal, sehingga menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang utuh membutuhkan anestesi

lokal larut lemak dengan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan efek analgesia.5

Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksi bergantung pada aliran darah, yang

ditentukan dari beberapa faktor di bawah ini:5,6

1. Lokal injeksi

Laju absorpsi sistemik proporsional dengan vaskularisasi lokal injeksi: intravena >

trakeal > intercostal > caudal > paraservikal > epidural > pleksus brakialis >

ischiadikus > aubcutaneus.

2. Adanya vasokonstriksi

Penambahan epinefrin dapat menyebabkan vasokonstriksi pada tempat pemberian

anestesi yang dapat menyebabkan penurunan absorpsi dan peningkatan pengambilan

neuronal sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, dan

11

Page 12: isi case

meminimalkan efek toksik. Efek vasokonstriksi yang digunakan biasanya dari obat

yang memiliki kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan kualitas analgesia

dan memperlama kerja.

3. Agen anestesi lokal

Anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan, lebih lambat terjadi absorpsi. Dan

agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.

Distribusi

Distribusi tergantung dari ambilan organ yang ditentukan oleh faktor-faktor di bawah

ini:

1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar,

ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat yang

diikuti redistribusi yang lebih kambat sampai perfusi jariingan moderat (otot dan

saluran cerna)

2. Koefisien partisi jaringan/darah-ikatan preotein plasma yang kuat cenderung

mempertahankan obat anestesi di dalam darah, di mana kelarutan lemak yang

tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.

3. Massa jaringan. Otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal

karena massa dari otot yang besar.

Metabolisme dan eksresi

Dibedakan berdasarkan strukturnya:

1. Ester. Anestesi lokal ester hidrolisanya sangat cepat dan metabolitnya yang larut air

dieksresikan ke dalam urin. Procaine dan benzocaine dimetabolisme menjadi asam

p-aminobenzoiz (PABA), yang dikaitkan dengan reaksi alergi.

2. Amida. Anestesi lokal amida dimetabolisme oleh enzim mikrosomal P-450 di hepar.

Laju metabolisme amida tergantung dari agen yang spesifik (prilocine > lidocaine >

mepivacaine > ropivacaine > bupivacaine), namun secara keseluruhan jauh lebih

lambat dari hidrolisis ester. Penurunan fungsi hepar atau gangguan aliran darah ke

hepar akan menurunkan laju metabolisme dan merupakan predisposisi terjadi

12

Page 13: isi case

intoksikasi sistemik. Sangat sedikit obat yang dieskresikan tetap oleh ginjal,

walaupun metabolitnya bergantung pada bersihan ginjal.

Lama kerja obat dipengaruhi oleh

1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein

2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi

3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah permberian

Efek yang terjadi pada anestesi regional yaitu meningkatnya aliran pembuluh darah

sistemik, penurunan daya lekat trombosit, penurunan penghambatan fibrinolysis, menurunkan

perdarahan perioperative, meningkatkan aliran darah coroner, menurunkan durasi ileus,

menurunkan risiko depresi pernapasan.

Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang

anestesi.Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah, pengaruh

sistemik yang minimal, menghasilkan analgesia yang adekuat dan kemampuan mencegah respon

stress secara lebih sempurna. Namun selain itu ada kerugian dari anestesi regional yaitu tidak

semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional, Membutuhkan kerjasama pasien yang

kooperatif,Sulit diterapkan pada anak-anak,Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi

regional.serta terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

Komplikasi dari anestesi regional

1.Efek samping lokal

Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup besar,

atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembekuan darah, maka

akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan dapat membentuk abses Apabila

tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas.

Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila telah terjadi

abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri dilakukan

anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang memerlukan tindakan

nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.

2. Pengaruh Pada Sistem Organ

13

Page 14: isi case

Karena blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di seluruh tubuh,

sehingga bukan hal yang mengejutkan jika anestesi lokal dapat menyebabkan intoksikasi

sistemik.2,6,8

A. Neurologis

Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi intoksikasi dari

anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring awal dari gejala overdosis pada

pasien yang sadar. Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan

sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang

istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem saraf

pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot

yang cepat, kecil dan spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti

dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur

inhibitor. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi menyebabkan

kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen anestesi dengan

potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah otak dan pemaparan obat,

benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang terjadinya kejang karena

anestesi lokal.

Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat menghentikan kejang. Ventilasi

dan oksigenasi yang baik harus tetap dipertahankan. Lidokain intravena (1,5 mg/kg)

menurunkan aliran darah otak dan menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang

biasanya timbul pada intubasi pasien dengan penurunan komplians intrakranial. Lidokain

dan prokain infus selama ini digunakan sebagai tambahan dalam teknik anestesi umum,

karena kemampuannya menurunkan MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%. Dosis

lidokain berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari neurotoksik

(sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu melalui kateterbore-kecil pada

anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena adannya pooling obat di kauda ekuina,

yang sebabkan peningkatan konsentrasi obat dan kerusakan saraf yang permanen.

Penelitian pada hewan menunjukkan neurotoksisitas pada pemberian berulang melalui

intratekal bahwa lidokain = tetracaine > bupivacaine > ropivacaine.

Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri

pada ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi spinal dengan

14

Page 15: isi case

berbagai agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan adanya iritasi pada

radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1 minggu. Faktor resikonya adalah

penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan kondisi pasien.

B. Respirasi

Lidokain mendepresi respon hipoksia. Paralisis dari nervus interkostalis dan

nervus phrenicus atau depresi dari pusat respirasi dapat mengakibatkan apneu setelah

pemaparan langsung anestesi lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot polos bronkhus.

Lidokain intravena (1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif untuk memblok refleks

bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain diberikan sebagai aerosol dapat

sebabkan bronkospasme pada beberapa pasien yang menderita penyakit saluran nafas

reaktif.

C. Kardiovaskular

Umumnya, semua anestesi lokal mendepresi automatisasi miokard (depolarisasi

spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode refraktori. Kontraktilitas miokard

dan kecepatan konduksi juga terdepresi dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh ini

menyebabkan perubahan membran otot jantung dan inhibisi sistem saraf autonom.

Semua anestesi lokal, kecuali cocaine, merelaksasikan otot polos, yang sebabkan

vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung, dan

hipotensi dapat mengkulminasi terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor

biasanya membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang dapat sebabkan

kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak disengaja selama anestesi regional

mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, blok atrioventrikular,

irama idioventrikular, dan aritmia yang dapat mengancam nyawa seperti takikardi

ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis respiratorik merupakan

faktor predisposisi.

D. Imunologi

Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal yang bukan

intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang berlebihan merupakan hal yang

jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena adanya derivat

ester yaitu asam p-aminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan komersial

multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur

15

Page 16: isi case

kimia mirip dengan PABA. Bahan tambahan ini yang bertanggung jawab terhadap

sebagian besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon

inflamasi karena pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam

lysophosphatidic dalam mengaktivasi neutrofil.

E. Muskuloskeletal

Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi), anestesi

lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi,

hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi

biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin

memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine

menghasilkan kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine.

F. Hematologi

Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah trombosis

dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang

diukur dengan thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan

penurunan efikasi autolog epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi

terjadinya emboli yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural.

B. Anestesi Spinal

Anetsesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang

subarakhnoid. Hal-hal yang memengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang

digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung

tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang

menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang

subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi

yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan

adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang

16

Page 17: isi case

memengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan

mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.2,4

Anestesi spinal biasanya dilakukan pada tindakan operasi pada ekstremitas bawah, daerah

panggul, perineum, dan perut bagian bawah, urologi, serta pada operasi section caesarea.8

Kontra Indikasi Anestesi Spinal

a. Absolut: pasien menolak, infeksi di daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat,

peningkatan tekanan intrakranial (TIK), stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat.

b. Relatif: pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit

demielinisasi sistem saraf pusat, lesi pada katup jantung, kelainan bentuk anatomi

spinal yang berat.

Anatomi Kolumna Vertebra

Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam anestesi spinal karena

sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Lapisan yang harus

ditembus untuk mencapai ruang subaraknoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum

supraspinosum, ligamentum flavum, dan duramater. Araknoid terletak antara duramater dan

piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara

araknoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang subaraknoid.

Duramater dan araknoid berakhir sebagai tabung pada vertebral sakral 2, sehingga di

bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang subaraknoid merupakan suatu

rongga yag terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh

darah, dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula

spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.2,4

Teknik Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi lateral decubitus dengan tusukan pada garus tengah ialah posisi

yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindahkan lagi

dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30

menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

17

Page 18: isi case

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi lateral decubitus atau duduk dan buat

pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang

punggung ialah L4, tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, L4-5. Tusukan

pada L1-2 atau atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alkohol, beri anestetik lokal pada

tempat tusukan misalnya bupivacaine 0,5%

4. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal yang kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) yaitu jarum suntik

biasa. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,

ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, dan ruang

subaraknoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes

keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang

subaraknoid tersebut. Biasanya digunakan 2-3 ml analgetik lokal tergantung dari

kebutuhan pasien. Analgetik lokal yang biasa digunakan adalah Heavy Bupivacaine

0,5% dan sering ditambahkan Fentanyl 15-25 mcg untuk meningkatkan kualitas

pembiusan.

Efek Samping atau Komplikasi Anestesi Spinal

a. Penurunan tekanan darah (mual, muntah sering menjadi pertanda pertama)

b. Retensi urin

c. Sakit kepala pascaspinal

Keuntungan Anestesi Spinal

a. Obat anestesi lokal lebih sedikit

b. Onset lebih singkat

c. Level anestesi lebih pasti

d. Teknik lebih mudah

C. Mioma Uteri9

18

Page 19: isi case

Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos,

jaringan pengikat fibroid dan kolagen. Beberapa istilah untuk mioma uteri antara lain

fibromioma, miofibroma, leiomiofibroma, fibroleiomioma, fibroma, dan fibroid. Mioma uteri

merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita. Kejadian mioma uteri

sebesar 20-40% pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun.

Etiologi

Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori onkogenik maka

patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor, yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang

menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Dari penelitian,

diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler. Transformasi neoplastik dari

miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi

kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor lokal. mutasi somatik ini merupakan

peristiwa awal dalam proses pertumbuhan tumor.

Tidak didapat bukti bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma, namun

diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Hormon progesteron meningkatkan

aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda yang masih belum diketahui secara jelas

mekanismenya seperti apa. Progesteron dan estrogen juga memungkinkan pembesaran tumor.

Patologi

Mioma uteri umumnya bersifat multipel, berlobus yang tidak teratur maupun berbentuk

sferis. Mioma uteri biasanya berbatas jelas dengan miometrium sekitarnya, sehingga dapat

dilepaskan dengan mudah dari jaringan miometrium di sekitarnya. Pada pemeriksaan

makroskopis dari potongan transversal berwarna lebih pucat dibanding miometrium di

sekelilingnya, halus, berbentuk lingkatan, dan biasanya lebih keras dibanding jaringan sekitar,

dan terdapat pseudocapsule.

Mioma dapat tumbuh di setiap bagian dari dinding uterus. Dibagi menjadi:

1. Mioma intramural, mioma yang terdapat dalam dinding uterus

2. Mioma submukosum, mioma yang terdapat pada sisi dalam dari kavum uteri dan

terletak di bawah endometrium.

19

Page 20: isi case

3. Mioma subserous, mioma yang terletak di permukaan serosa dari uterus dan mungkin

akan menonkol keluar dari miometrium.

4. Mioma intraligamenter, mioma subserous yang tumbuh ke arah lateral dan meluas di

antara dua lapisan peritoneal dari ligamentum latum.

Gejala Klinis

Gejala yang disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran, dan jumlah

mioma. Gejala dan tanda yang paling sering adalah:

1. Perdarahan uterus yang abnormal. Merupakan gejala yang paling sering terjadi dan

paling penting. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus

perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia dan/atau metorrhagia

sering terjadi. Perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.

2. Nyeri panggul. Nyeri panggul dapat disebabkan oleh degenerasi akibat oklusi

vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang bertangkai maupun akibat kontraksi

miometrium yang disebabkan mioma subserosum.

3. Penekanan. Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan terhadap

organ sekitar. Penekanan ini dapat menyebabkan gangguan berkemih, defekasi,

maupun dispareunia. Tumor yang besar juga dapat menekan pembuluh darah vena

pada pelvik sehingga menyebabkan kongesti dan menimbulkan edema pada

ekstremitas posterior.

4. Disfungsi reproduksi. Mioma uteri dapat menyebabkan infertilitas, sumbatan dan

gangguan transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral,

gangguan kontraksi ritmik uterus, perubahan bentuk kavum uteri yang dapat

menyebabkan disfungsi reproduksi.

Diagnosis

Hampir kebanyakan mioma uteri dapat didiagnosis melalui pemeriksaan bimanual rutin

maupun dari palpasi abdomen bila ukuran mioma yang besar. Diagnosis semakin jelas bila pada

pemeriksaan bimanual diraba permukaan uterus yang berbenjol akibat penonjolan massa maupun

adanya pembesaran uterus.

20

Page 21: isi case

Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode:

1. Terapi hormonal

2. Terapi pembedahan

Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadapa mioma yang menimbulkan

gejala. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) dan

American Society for Reproductive Medicine (ASRM) indikasi pembedahan pada

pasien dengan mioma uteri adalah:

1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif

2. Dugaan akan adanya keganasan

3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause

4. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba

5. Nyeri dan penekanan yang sangat mengganggu.

6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius

7. Anemia akibat perdarahan

Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun histerektomi.

D. Histerektomi7,8

Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu

dengan pendekatan abdominal (laparatomi), vaginal, dan pada beberapa kasus secara

laparoskopi. Dibagi menjadi tiga: parsial, total, dan radikal.

Tindakan histerektomi merupakan indikasi apabila pasien mengalami keadaan sebagai

berikut:

1. Adenomyosis

2. Kanker endometrium

3. Kanker serviks

4. Kanker ovarium

5. Endometriosis berat yang tidak membaik dengan pengobatan lain

6. Perdarahan vagina yang lama dan berat yang tidak membaik dengan pengobatan lain

7. Prolapsus uteri

8. Mioma uteri

21

Page 22: isi case

Risiko Histerektomi

1. Dapat melukai vesica urinaria atau ureter

2. Nyeri ketika berhubungan seksual

3. Menopause jika ovarium ikut diangkat

4. Menurunnya keinginan untuk berhubungan seksual

5. Meningkatnya risiko terkena penyakit jantung jika dilakukan sebelum menopause

22

Page 23: isi case

BAB V

ANALISA KASUS

Seorang pasien wanita datang dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 1 bulan

yang lalu. Pasien mengaku darah yang keluar berwarna merah kehitaman disertai adanya

gumpalan. Darah yang keluar cukup banyak hingga dalam sehari pasien mengganti pembalutnya

sebanyak 3-4 kali. Ketika darah beserta gumpalan darah yang keluar cukup banyak pasien

merasakan nyeri di perutnya. Selain itu pasien mengatakan terdapat sakit kepala. Pasien juga

mengatakan perdarahan dari kemaluan juga timbul dari 3 bulan lalu namun hilang timbul.

Selain perdarahan, pasien juga merasakan adanya benjolan di sekitar perut bagian bawah.

Benjolan tersebut dirasakannya kurang lebih sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan tersebut dirasakan

semakin membesar oleh pasien. Selain itu pasien mengatakan benjolan teraba keras dan tidak

dapat digerakan. Pasien tidak merasakan nyeri apabila benjolan tersebut ditekan, namun nyeri

perut dirasakannya saat perdarahan yang cukup banyak berlangsung. Tidak terdapat keluhan

demam, mual, muntah dan keputihan.

Saat diperiksa didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang.

Didapatkan tekanan darah, nafas, suhu dan nadi dalam batas normal . Dari pemeriksaan

didapatkan conjungtiva anemis, dan dari pemeriksaan abdomen teraba benjolan ± Ø8cm dengan

konsistensi keras, tidak berbenjol, tidak dapat digerakkan dan tidak terdapat nyeri tekan. Untuk

pemeriksaan fisik lainnya didapatkan hasil dalam batas normal.

Pasien dianjurkan untuk menjalani operasi atas indikasi adanya perdarahan yang tidak

berhenti sejak 1 bulan lalu dan benjolan di perut bagian bawah sejak 6 bulan yang lalu yang

didiagnosis sebagai mioma uteri. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik saat pre-operasi dan

pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien termasuk dalam ASA 2. Karena didapatkan

nilai hb dan ht yang menurun dari nilai normalnya. Menjelang operasi keadaan umum pasien

normal, tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu dalam batas normal. Sebelumnya pasien

sudah berpuasa kurang lebih selama 6 jam sebelum operasi.

Operasi dilakukan pada tanggal 23 Juli 2015 pukul 10.10 WIB, sedangkan anestesi

dimulai pukul 10.00 WIB di instalasi bedah sentral RSUD Karawang. Pada pasien dipilih

anestesi regional spinal karena baik digunakan pada operasi dengan durasi waktu yang lama dan

hanya memanipulasi system saraf perifer. Jenis anestesi regional spinal dengan teknik

23

Page 24: isi case

subarachnoid block yaitu anestesi pada ruang subarachnoid pada region penyuntikkan antara

vertebra lumbal 4-5. Selain itu pasokan O2 2 liter/menit melalui kanul digunakan untuk

mempertahankan oksigenasi peri-operatif pada pasien.

Pada pasien diberikan medikasi dengan Bupivacaine secara intralumbal karena hanya

membutuhkan analgetik pada bagian bawah tubuh saja. Selain itu, bupivacaine dapat

menurunkan tekanan darah, karena adanya blok simpatis oleh obat tersebut. Pada saat awal

pasien diberikan Bupivacaine dengan dosis 20 mg, namun setelah kurang lebih 2-3 menit

setelahnya ketika di tes efek kerja obat pada pasien didapatkan kemungkinan efek obat belum

bekerja. Sehingga ditambahkan 15 mg Bupivacaine kembali pada pasien tersebut. Ada beberapa

kemungkinan yang menyebabkan efek obat belum terlihat, salah satunya mungkin karena

kualitas obat yang digunakan. Selain itu pada pasien kasus ini, Buvipacaine yang digunakan di

kombinasikan dengan penggunaan catapres sebanyak 45 mg. Penambahan catapres (clonidine)

pada kasus ini dimaksudkan untuk memperpanjang durasi dari anestesi spinal, mengingat

Pada jam 12.10 menit pasien merasa gelisah dan mengatakan terasa nyeri, sehingga

diberikan ketorolac 30mg/IV, Tramadol 100mg/drip dari analgetik non opioid dan Fentanyl

50mcg dari golongan analgetik opioid untuk mendapatkan efek analgetik. Hal ini dapat terjadi

mungkin akibat adanya bagian organ yang terdorong atau tersentuh yang tidak terblok oleh obat

anestesi. Selain itu diberikan juga, Sedacum 2 mg dan Ketamin 30mg sehingga diharapkan

terdapat efek sedative pada pasien.

Kebutuhan cairan pada pasien ini dengan BB 50kg dan lama operasi 2,5 jam dan

perdarahan 200cc. Cairan maintenance : untuk BB 50 kg

10 kg x 4 = 40 cc

10 kg x 2 = 20 cc

30 kg x 1 = 30 cc

Total kebutuhan cairan/jam = 90cc/jam

Pengganti kehilangan cairan puasa 6 jam = 90 cc x 6 = 540 cc

Pengganti cairan untuk operasi sedang = BB (50kg) x 6 = 300 cc

Penghitungan kebutuhan/ jam perioperatif :

- jam ke-1 = m + o + 1/2p = 90 + 300 + 270 = 660cc

- jam ke-2 = m + o + 1/4p = 90 + 300 + 135 = 525 cc

24

Page 25: isi case

- jam ke-3 = m + o + 1/4p = 90 + 300 + 135 = 525 cc

Jadi, untuk maintenance perioperatif selama 2,5 jam dibutuhkan

= 660cc + 525cc + 263cc = 1448cc

Untuk penggantian kehilangan darah sebanyak ±200 cc = 200cc x 3 = 600cc

- Dari perhitungan diatas, didapatkan total cairan pengganti yang dibutuhkan untuk

pasien pada kasus ini adalah sebanyak : 1448cc + 600cc = 2048cc

Kebutuhan cairan perioperatif dapat terpenuhi karena estimasi jumlah cairan yang masuk

kurang lebih sebanyak 4kolf Asering atau setara dengan 2000 cc.

Dalam kasus kali ini tidak dilakukan transfusi darah karena estimasi jumlah kehilangan

darah tidak mencapai 20% dari total volume darah pasien. Sehingga penggantian cairan

cukup ditutupi oleh pemberian cairan kristaloid.

Operasi selesai pada pukul 12.40, setelah itu pasien langsung dipindahkan ke recovery

room dengan tekanan darah 102/67 mmHg dan nadi 73 x/menit. Menurut hasil Bromage Score 1

pada jam 14.45 sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.

25

Page 26: isi case

BAB VI

KESIMPULAN

Perencanaan anestesi pada pasien Ny. I usia 48 tahun di kasus ini, berdasarkan keadaan

pasien yang cukup stabil serta jenis operasi yang akan dilakukan, makan dipertimbangkan untuk

teknik anestesi anestesi regional spinal karena baik digunakan pada operasi dengan durasi waktu

yang lama dan hanya memanipulasi sistem saraf perifer. Selain itu beberapa kelebihan pada

penggunaan teknik anestesi ini adalah onset kerja obat yang cepat, teknik anestesinya relatif

mudah dilakukan dan penggunaan obat anestesi yang sedikit. Maka berdasarkan beberapa

pertimbangan tersebut dipilih teknik anestesi regional spinal untuk pasien pada kasus ini. Namun

peralatan dan obat-obatan untuk anestesi umum tetap harus dipersiapkan sebelum operasi

dimulai, untuk mengantisipasi apabila ada hal yang tidak terduga apabila kondisi pasien

membutuhkan perlakuan dengan teknik anestesi umum.

Persipan pre operatif juga perlu diperhatikan untuk mempersiapkan pasien menjelang

pelaksanaan operasi, pada kasus ini telah dilakukan sejumlah persiapan pre-op baik dari fisik dan

mental pasien agar pasien dalam keadaan stabil dan siap mejalani proses operasi.

Monitoring perioperatif harus diperhatikan dengan baik keadaan pasien selama operasi

berjalan. Dilihat dari stabilitas tanda vital pasien dan respon pasien yang kesadarannya masih

baik dibawah anestesi spinal. Sehingga keadaan pasien tetap stabil sepanjang operasi dilakukan.

Ketika operasi selesai dan pasien diantarkan keruang pemulihan monitoring masih dilakukan

untuk mengetahui kemajuan kondisi pasien dan mengetahui keadaan pasien setelah efek dari

obat anestesi tersebut hilang.

26

Page 27: isi case

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi 2009. Jakarta :

Indeks

2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. Clinical Anesthesiology.4th

edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books: 2006, 151-52, 263-75.

3. Santoso, Nazlina. Anestesiologi, Anesthesiology, Anesthesia, Sekilas Tentang Ilmu

Anestesi. Medical article 2013.

4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi Kedua.

2009.Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

5. Kannan T, Mendonca C . Regional Anasthesia. Warwick Medical School- Handbook of

Anaesthesia 2006

6. Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anesthesia, 5th ed. Philadelphia: Churchill

Livingstone Elsevier; 2007.

7. Mehrkens H, Geiger MP. . Local Anaesthetics. In : Peripheral regional Anaesthesia. 3rd.

ed. Ulm 2005 : 16-9

8. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, epidural and caudal blocks. Morgan GE, Mikhail MS,

eds. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical

Books: 2006, 289-323.

9.

27