Hypertension Heart Failure
Transcript of Hypertension Heart Failure
REFERAT
GAGAL JANTUNG KONGESTIF AKIBAT
HIPERTENSI
Disusun Oleh :
WIDI ASRINING PURI
03008256
Pembimbing :
dr. Rina Elfiani, SpJP
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RS MARZOEKI MAHDI BOGOR
PERIODE 18 JUNI – 25 AGUSTUS 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini prevalensi hipertensi masih tetap menjadi masalah karena beberapa
hal, antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang
belum mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum
mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
Jantung adalah organ yang paling sering menjadi target organ dari komplikasi
hipertensi. Dalam progresifitasnya, hipertensi menjadi salah satu pencetus gagal jantung,
yaitu Gagal Jantung Kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF), disamping pencetus
lainnya seperti, infark miokard, diabetes melitus, gangguan katup jantung, hipertrofi ventrikel
kiri, dan kardiomiopati.
Jantung mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya untuk memenuhi
kebutuhan jaringan tubuh akan oksigen dan nutrisi lain yang terdapat dalam darah akibat
berbagai mekanisme kompensasi yang sudah berlebihan, seperti retensi garam dan air,
meningkatnya retensi perifer, hipertrofi miokard, dilatasi ventrikel, meningkatnya tekanan
atrium, dan meningkatnya kekuatan kontraksi otot jantung.
2
BAB II
PEMBAHASAN
I. HIPERTENSI
DEFINISI(2,6,10)
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara abnormal sehingga terjadi
gangguan pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat mencapai jaringan tubuh yang membutuhkan. Kemudian terjadi pengerasan
pembuluh darah akibat dari gangguan tekanan darah yang tidak normal.
Tekanan darah yang meningkat dan terus-menerus dalam beberapa kali pemeriksaan
dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor resiko. Hipertensi berkaitan dengan tekanan
darah sistolik, diastolik, ataupun keduanya.
Sepanjang hari tekanan darah dapat berubah-ubah tergantung keadaan pasien dan
waktu pengukuran. Ketika sedang melakukan aktifitas fisik seperti berolahraga, tekanan
darah naik. Sebaliknya pada saat istirahat atau tidur, tekanan darah menurun. Jadi sebaikanya
sebelum mendiagnosa seseorang dengan hipertensi, ada baiknya dilakukan pengulangan pada
pemeriksaan tekanan darah.
EPIDEMIOLOGI(11)
Data epidemilogi menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya populasi usia
lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Baik
hipertensi sistolik maupun kombinasi sistlik dan diastolik sering timbul pada lebih dari
separuh orang yang berusia >65 tahun.
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara yang
sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES)
menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah
sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi
peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991. 95% dari kasus hipertensi
tersebut adalah hipertensi primer.
3
KLASIFIKASI(11)
Berdasarkan etiologi, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Hipertensi primer/esensial
Merupakan sebagian besar dari kasus hipertensi yang ada, dan tidak diketahui
penyebabnya.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa dibagi menjadi :
Klasifikasi Tekanan
Darah
TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Tabel I.1 klasifikasi hipertensi menurut JNC VII 2003
Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Optimal < 120 <80
Normal <130 <85
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat 1
(ringan)
140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 160-179 100-109
4
(sedang)
Hipertensi derajat 3
(berat)
≥180 ≥110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥140 <90
Tabel I.2 klasifikasi hipertensi menurut WHO/ISH 2003
Keterangan: TDS=Tekanan Darah Sistolik, TDD=Tekanan Darah Diastolik.
2. Hipertensi sekunder(2)
Terdapat sebab dan patofisiologi yang jelas yang menyebabkan hipertensi ini.
1. Hipertensi sistolik sekunder, penyebabnya antara lain adalah a). Penurunan
kapasitas vaskular, b). Peningkatan curah jantung, seperti pada aorta regurgitasi,
tirotoksikosis, sindrom jantung hiperkinetik, demam, fistula arteriovenous, dan
patent ductus arteriosus.
2. Hipertensi sistolik dan diastolik sekunder dapat disebabkan karena penyakit ginjal,
endokrin, neurogenik, kehamilan, porfiria atau penyakit pembuluh darah lainnya.
PATOGENESIS(2,9,10)
Perangsangan simpatis
Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung (volume sekuncup x frekuensi denyut
jantung) dan tahanan perifer total. Peningkatan tekanan darah disebabkan karena curah
jantung meningkat yang terjadi karena peningkatan frekuensi denyut jantung, perangsangan
simpatis (epinefrin dan norepinefrin) dan/atau peningkatan respon terhadap katekolamin
(seperti hormon kortisol atau tiroid).
5
Resistensi perifer
Akibat kontraksi otot polos yang berkepanjangan akibat peningkatan kalsium
intraseluler menginduksi perubahan struktural dan penebalan arteri yang dapat dipengaruhi
karena sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron
Renin merupakan hormon yang disekresi oleh sel-sel juxtaglomerular di ginjal dan
masuk ke dalam darah sebagai respon terhadap penurunan Nacl/volume Cairan Ekstrasel
(CES)/tekanan darah. Peningkatan sekresi renin mengakibatkan peningkatan reabsorbsi Na+
oleh distal tubulus. Cl- selalau mengikuti Na+ secara pasif. Retensi garam ini diikuti oleh
retensi H2O secara osmotis yang membantu pemulihan volume plasma dan tekanan darah.
Setelah disekresikan dalam darah, renin bekerja sebagai enzim untuk mengaktifkan
angiotensinogen (yang disintesis oleh hati) menjadi angiotensin I. Pada saat melewati
sirkulasi paru, angiotensin I diubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) yang banyak
terdapat di kapiler paru, menjadi angiotensin II. Angiotensin II adalah stimulus utama untuk
hormon aldosteron dari kelenjar adrenal. Salah satu efek aldosteron adalah meningkatkan
reabsorbsi Na+ oleh tubulus distal dan tubulus kolektifus.
Dengan demikian, sistem renin-angiotensin-aldosteron mendorong retensi garam yang
akhirnya menyebabkan retensi H2O dan peningkatan tekanan darah arteri. Melalui
mekanisme umpan-balik negatif, sistem ini menghilangkan faktor-faktor yang memicu
pengeluaran awal renin, yaitu deplesi garam, penurunan volume plasma, dan penurunan
tekanan darah arteri.
Selain merangsang sekresi aldosteron, angiotensin II juga merupakan konstriktor kuat
bagi arteriol, sehingga zat ini secara langsung meningkatkan tekanan darah dengan
meningkatkan retensi perifer total.
MANIFESTASI KLINIS(2)
Kebanyakan pasien hipertensi tidak menunjukkan keluhan atau gejala yang spesifik.
Hanya peningkatan tekanan darah yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik. Apabila
pasien datang dengan keluhan terhadap hipertensinya, maka ada 3 kemungkinan yang terjadi
pada pasien ini, antara lain 1). Tekanan darah yang terlalu tinggi. Hal ini dapat terjadi pada
6
hipertensi berat dan sering menimbulkan keluhan seperti, nyeri kepala yang terlokalisir di
daerah oksipital, dirasakan terutama pada pagi hari ketika bangun tidur dan pasien harus
duduk beberapa lama sebelum akhirnya bisa berdiri, pusing berputar, palpitasi, lemas,
gangguan vaskular, epistaksis, hematuria, penglihatan kabur / gangguan penglihatan, cepat
lelah, pusing, angina pektoris, sesak nafas karena gagal jantung. 2). Penyakit pembuluh darah
karena hipertensi, dan 3). Adanya penyakit yang menyebabkan hipertensi / hipertensi
sekunder.
FAKTOR RESIKO(2,11)
Faktor resiko yang tidak dapat diubah, antara lain : 1). Usia, bertambahnya usia
sebanding dengan meningkatnya tekanan darah karena berkurangnya elastisitas pembuluh
darah. Individu berusia 55 tahun memiliki 90% resiko mengalami hipertensi. Hipertensi pada
pria umumnya terjadi pada usia <55 tahun dan wanita <65 tahun. 2). Jenis kelamin, wanita
cenderung lebih banyak yang terkena hipertensi daripada pria. 3). Ras, di Amerika Serikat ras
kulit hitam memiliki resiko dua kali lebih bersar terkena hiperensi daripada ras kulit putih. 4).
Genetik, adanya riwayat hipertensi dan penyakit kerdiovaskuler dalam keluarga memiliki
kemungkinan terkena hipertensi lebih besar daripada yang tidak.
Faktor yang dapat diubah, antara lain : Konsumsi garam berlebih, merokok, obesitas,
kurang aktivitas fisik, dislipidemia, diabetes melitus, mikroalbuminuria atau perhitungan
LFG <60 ml/menit.
Pasien prehipertensi beresiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi
hipertensi. Mereka yang tekanan darahnya 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya
akan memiliki resiko dua kali lebih besar menjadi hipertensi dan mengalami penyakit
kardiovaskular daripada yang tekanan darahnya rendah.
KOMPLIKASI(11)
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kerusakan target organ yang umum ditemui adalah :
1. Jantung : Hipertrofi ventrikel kiri, angina pektoris (infark miokard), gagal jantung
2. Otak : Sroke, tansient Ischemic Attack (TIA).
3. Penyakit ginjal kronis7
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati hipertensi
PEMERIKSAAN FISIK(2)
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tekanan darah menggunakan
tensimeter, dilakukan dengan benar, dan dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan selang waktu
istirahat selama 5 menit. Dalam 2 atau 3 kali pengukuran didapatkan peningkatan tekanan
darah dari normal atau optimalnya.
Harus dicari juga kelainan-kelainan yang timbul sesuai dengan kerusakan organ
akibat komplikasi hipertensi. Misalnya mencari apakah ada pembesaran jantung yang
ditujukan pada hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Bunyi S2 yang
meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik alibat
regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari
peninggian tekanana trium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik)
ditemukan bia tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dari dilatasi ventrikel
kiri. Bila S3 dan S4 ditemukan bersamaan disebut summation gallop. Perlu diperhatikan
apakah ada suara nafas tambahan seperti ronki basah atau ronki kering/mengi. Pemeriksaan
perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal, dan asites.
Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilikus (renal artery stenosis). Arteri radialis,
femoralis, dan dorsalis pedis harus diraba. Tekanan darah di betis harus diukur minimal
sekali pada hipertensi umur muda (kurang dari 30 tahun).
DIAGNOSIS(2,11)
Diagnosis hipertensi ditegakkan apabila pada anamnesis terdapat faktor resiko
hipertensi dan pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah diatas normal, yaitu bila tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg,
Berdasarkan kriteria JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi derajat I jika tekanan
darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg dan hipertensi
derajat II juka tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥100 mmHg.
Sedangkan jika tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau tekanan darah diastolik 80-89
8
mmHg, maka seseorang tersebut memiliki resiko menjadi penderita hipertensi
(prehipertensi).
Apabila berdasarkan kriteria WHO/ISH, seseorang dikatakan hipertensi derajat I jika
tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-99 mmHg, hipertensi
derajat II jika tekanan darah sistolik 160-179 mmHg dan tekanan darah diastolik 100-109
mmHg, hipertensi derajat III jika tekanan darah sistolik ≥180 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥110 mmHg.
EVALUASI(2,11)
Evaluasi dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis meliputi: lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah; indikasi
adanya hipertensi sekunder; faktor resiko seperti riwayat penyakit kardiovaskular pada pasien
dan dalam keluarga, riwayat hiperlipidemia pasien dan keluarga, riwayat diabetes melitus
pasien dan keluarga, kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan, aktivitas dan intensitas
olahraga, serta kepribadian pasien itu sendiri; gejala kerusakan organ pada otak, mata,
jantung, ginjal dan arteri perifer; pengobatan antihipertensi sebelumnya; dan faktor pribadi,
keluarga dan lingkungan.
Pemeriksaan fisik meliputi: pengukuran rutin di kamar periksa; pengukuran 24 jam
(Ambulatory Blood Pressure Monitoring/ABPM); pengukuran sendiri oleh pasien; dan
pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target.
Dapat juga ditambahkan pemeriksaan penunjang, seperti urin untuk protein, darah
dan glukosa; makroskopik urinalisis; hematokrit; kalium serum; kreatinin serum dan/atau
BUN; gula darah puasa; kolesterol total; dan EKG. Selain itu juga ada pemeriksaan yang
dianjurkan, seperti TSH, hitung jenis leukosit, HDL, LDL dan trigliserid, kalsium serum dan
phosphate, foto rontgen thorax, dan ekokardiogram.
9
PENATALAKSANAAN(2,8,9,11)
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan tekanan darah dengan target tekanan
darah <140/90 mmHg, dan <130/80mmHg untuk individu dengan penyakit penyerta
(diabetes, gagal ginjal, gagal jantung, dan lain-lain). Prinsip penatalaksanaan hipertensi
sendiri ada 2 yaitu mengubah pola hidup menjadi pola hidup yang lebih sehat dan
penggunaan obat-obat antihiperensi.
Nonmedikamentosa
Terapi nonmedikamentosa diindikasikan untuk semua pasien hipertensi dan yang
memiliki faktor resiko menjadi hipertensi. Terapinya meliputi 1). Menghindari stress, 2).
Mengatur diet dengan mengurangi konsumsi garam, rendah kalori, rendah kolesterol serta
lemak untuk mencegah komplikasi aterosklerosis, dan pendekatan DASH (Dietary
Approaches to Stop Hypertension), 3). Olahraga teratur, 4). Menurunkan berat badan (bila
diperlukan), 5). Mengontrol faktor resiko yang ikut berperan dalam perkembangan
aterosklerosis.
Medikamentosa
Diberikan pada pasien hipertensi derajat I, II (JNC 7) dan hipertensi dengan indikasi
penyakit penyerta yang memberatkan (compelling indications) seperti orang yang baru
terdiangnosis hipertensi, gagal jantung, miokard infark, diabetes melitus, stroke, resiko
tinggi penyakit kardiovaskular lain dan gagal ginjal kronis.
Secara umum terdapat tujuh golongan obat antihipertensi, diantaranya adalah diuretik,
ACE inhibitor, agonis reseptor angiotensin, calcium channel blocker, antiadrenergik,
vasodilator, dan antagonis reseptor mineralokortikoid.
1. Diuretik, terutama golongan thiazide (seperti hydrochlorthiazide) karena efeknya
cepat untuk diuresis kalium dan menurunkan volume cairan. Penggunaan jangka
panjang dapat menurunkan tahan perifer. Efek samping dari golonga thiazide
adalah hipokalemia, hiperurisemia, hioerkalsemia, toleransi glukosa terganggu,
dan disfungsi erektil. Golongan loop diuretik, seperti furosemid jarang digunakan
karena durasi kerjanya singkat. Tetapi golonga ini efektif digunakan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (LFG <30-50 ml/menit/m2), CHF, dan hipertensi
10
resisten. Diuretik golongan hemat kalium/penghambat reseptor aldosteron (seperti
spironolakton dan eplerenone), menghambat aktivasi aldosteron di jantung, ginjal
dan pembuluh darah uang dapat memperbaiki cardiac output pada pasien post MI
dan gagal jantung. Spironolakton juga bisa diberikan bersama dengan thiazide
untuk meminimalkan renal potassium loss.
2. ACE-inhibitor, menghambat enzim Angiotensin Converting Enzyme yang
mengubah angiotensi I menjadi angiotensin II, menghambat degradasi vasodilator
kuat (bradykinin), memperbaiki aktivitas sistem saraf adrenergik, efektif untuk
pasien dengan diabetes dan gangguan ginjal, efek samping sedikit, hanya 5-10%
pasien yang mengeluhkan batuk, dapat juga terjadi hiperkalemia pada pasien
insufisiensi ginjal, dan reaksi idiosinkrasi angioedema.
3. Angiotensin Receptor Agonist (ARB), penghambat selektif renin-angiotensin dan
reseptor AT1, yang memiliki efek vasokonstriksi. Efek sampingnya antara lain
angioedema (jarang sekali), hiperkalemia dan gagal ginjak akut.
4. Calcium Channel Blocker (CCB), ada 2 golongan : dihydropyridine dan
nondihydropyridine. Golongan dihydropyridine seperti amlodipin dan nifedipin
dapat mengontrol tekaan darah dengan baik karena secara langsung menyebabkan
relaksasi pembuluh darah arteri. Golongan nondihydropyridine seperti
verampamil dan diltiazem dapat menurunkan tekanan darah dengan cara
vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan kontraktilitas jantung. CCB efektif
diberikan untuk pasien hipertensi dengan aritmia, seperti supraventrikel takikardi
atau fibrilasi atrium. Efek sampingnya adalah bradikardi (terutaman jika diberikan
bersama beta blocker), odem, dan konstipasi.
5. Antiadrenergik : ß adrenergic reseptor blocker (propanolol, bisoprolol, atenolol)
yang memhambat efek simpatetik ke jantung dan efektif menurunkan curah
jantung, dan α adrenergic receptor blocker (prazosin, doxazosin, terazosin) yang
menghambat norepinefrin.
6. Vasodilator (hydralazine dan minoxidil) biasanya tidak digunakan pada terapi
awal dan biasanya digunakan untuk kondisi yang berat.
11
Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah tapi target
tekanan darah tidak tercapai, makan selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat
tersebut, atau pindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah, atau kombinasi obat
dalam dosis rendah.
Untuk hipertensi dengan compelling indications terapi antihipertensi yang
diberikan disesuaikan dengan penyakit yang menyertai.
Compelling
indicationsDiuretik
Beta-
blocker
ACE
inhARBs CCB
Aldosterone
blockers
Gagal
jantung√ √ √ √ √
Post-MI √ √ √ √
Resiko
tinggi CVD√ √ √ √ √
CKD √ √ √
Stroke √ √ √
Diabetes
mellitus√ √
Baru
terdiagnosis
hipertensi
√ √
Tabel I.3 terapi hipertensi degan compelling indications (diambil dari JNC 7,2003)
II. GAGAL JANTUNG KONGESTIF12
DEFINISI(3)
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure) merupakan sindrom klinis yang
ditandai dengan adanya bendungan pada sirkulasi, gangguan nafas, rasa lemah dan cepat
lelah, yang disebabkan kelainan struktur dan fungsi jantung yang gagal menjalankan
fungsinya untuk memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.
EPIDEMIOLOGI(3)
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia lanjut,
dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau
penyebabnya tidak segera diperbaiki.
ETIOLOGI(3)
Gagal jantung dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yang paling sering adalah
karena adanya kerusakan dari miokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan
katup dan gangguan irama akibat mekanisme kompensasi yang berlebihan.
PATOGENESIS(1,7,10)
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien dengan gagal
jantung sebagai respon terhadap turunnya curah jantung serta untuk mempertahankan tekanan
darah cukup untuk mamstika perfusi ke organ juga cukup.
Mekanisme Frank Starling
Menurut hukum Frank Starling, penambahan panjang serat otot menyebabkan
kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.
Mekanisme Frank Starling merupakan salah satu mekanisme kompensasi tubuh pada
gagal jantung yaitu mempertahankan volume dan pengisian ventrikel dengan cara menambah
volume darah melalui retensi garam dan air oleh ginjal dan menambah alir balik vena melalui
vasokonstriksi vena dengan maksud mempertahankan curah jantung.
Curah jantung pada pasien gagal jantung mungkin akan normal pada keadaan
istirahat, tetapi mekanisme kompensasi ini tidak akan efektif ketika jantung mengalami
pengisian berlebihan dan serat otot mengalami peregangan berlebihan.
13
Hal yang terpenting untuk menentukan konsumsi energi otot jantung adalah dari
ketegangan dinding ventrikel. Pengisian ventrikel yang berlebihan akan menurunkan
ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah.
Peningkatan tegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen
jantung yang menyebabkan iskemia dan gagal jantung lebih lanjut lagi.
Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Beberapa kasus hipertensi disebabkan karena aktivitas abnormal dari sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Sistem ini berperan dalam menimbulkan retensi cairan dan edema
yang menyertai gagal jantung kongestif. Karena jantung mengalami gangguan, curah jantung
berkurang dan tekanan darah arteri menurun walaupun volume plasma normal atau bahkan
meningkat. Jika penurunan tekanan darah disebabkan oleh kegagalan jantung dan bukan oleh
penurunan beban garam/cairan di tubuh, refleks-refleks untuk menahan garam dan cairan
yang dipicu oleh tekanan darah rendah tersebut menjadi tidak sesuai. Eksresi Na+ sebenarnya
dapat turun hampir mendekati nol, walaupun ingesti dan akumulasi garam terus berlangsung.
Peningkatan CES yang terjadi menyebabkan edema dan memperparah gagal jantung
kongestif karena jantung yang melemah tersebut tidak mampu memompa volume plasma
tambahan.
Faktor Natriuretic Peptide (NP)
Natriuretic Peptide (NP) terdiri dari atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain-type
natriuretic peptide (BNP), salah satu neurohormonal yang paling penting dinilai pada gagal
jantung, merupakan hormon yang keluarkan oleh atrium saat atrium atau miokard
berkontraksi kuat terutama saat terjadi peningkatan intake Na+. Ketika dilepaskan, NP
mempengaruhi kerja ginjal dan sirkulasi perifer untuk memenuhi kebutuhan jantung, melalui
peningkatan eksresi Na+ dan air yang juga sekaligus menghambat pelepasan renin dan
aldosteron. Jadi fungsi dari ANP dan BNP ini adalah mengatur jumlah Na+ dan air dalam
darah untuk menjaga homeostasis.
Secara tidak langsung ANP dan BNP berperan pada penurunan tekanan darah dengan
mengurangi beban Na+ sehingga beban cairan tubuh berkurang. Selain itu ANP dan BNP juga
14
secara langsung menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan
menurunkan resistensi perifer total melalui inhibisi aktivitas saraf simpatis ke jantung dan
pembuluh darah. Pada orang yang kekurangan hormon ANP dan BNP, secara teoritis dapat
menyebabkan hiperensi jangka panjang karena kurangnya sistem penahan Na+ yang akhirnya
berujung pada gagal jantung kongestif.
Remodelling dan hipertrofi ventrikel
Peningkatan tekanan darah akan meningkatkan beban kerja jantung. Dalam hal ini,
jantung akan berkompensasi mempompa lebih kuat untuk dapat menyemprotkan darah.
Ventrikel akan berespon terhadap peningkatan beban hemodinamik yang berlebihan dengan
menjadi hipertrofi. Ketika ventrikel harus mempompa curah jantung yang meningkat dalam
waktu lama, contohnya pada stenosis katup aorta atau hipertensi yang tidak terkontrol,
hipertrofi yang tadinya eksentrik berkembang menjadi hipertrofi konsentrik karena pressure
overload. Dalam kondisi ini, dinding ventrikel menebal dan tanpa disertai pelebaran diameter
ventrikel. Mekanisme kompensasi jantung ini memiliki batas waktu tertentu. Saat beban
hemodinamik semakin besar dan berlangsung terus menerus, seperti pada regurgitasi katup,
maka ventrikel akan mengalami (volume overload) hipertrofi eksentrik, yaitu dilatasi
ventrikel disertai dengan penebalan massa otot sehingga perbandingan antara ketebalan
dinding ventrikel dengan diameter kavitas ventrikel relatif konstan.
Remodelling ventrikel terjadi dengan perubahan bentuknya seperti bola, yang dapat
menyebabkan mitral regurgitasi akibat peningkatan tekanan hemodinamik pada dinding
ventrikel. Pengaktifan sistem neurohumoral dan berbagai sitokin juga dapat mempengaruhi
remodelling ventrikel dan dapat menjadi gagal jantung.
Volume overload menyebabkan hipertrofi ekstrinsik yang disertai penurunan fungsi
sistolik (ejection fraction = EF menurun) dan akhirnya gagal jantung (gagal jantung sistolik).
Sedangkan kelebihan beban tekanan (pressure overload) pada hipertrofi konsentrik,
merupakan penyebab disfungsi diastolik dimana fungsi relaksasi ventrikel kiri menurun dan
dapat terjadi gagal jantung diastolik.
Disfungsi sistolik maupun diastolik pada ventrikel kiri dapat berakhir dengan
Congestive Heart Failure (CHF). Sebagian CHF didasari fungsi sistolik yang menurun (EF
15
menurun), sebagian lagi didasari fungsi diastolik menurun dengan EF yangmasih normal.
Apabila menghadapi beban atau stress seperti latihan, takikardia, kenaikan afterload (tekanan
darah arteri) atau preload (alir balik vena), berakibat tekanan ventrikel kiri dan kanan
meningkat dan terjadi udema paru.
Gambar II.1 remodelling dan hipertrofi ventrikel kiri pada gagal jantung
MANIFESTASI KLINIS(1,4)
Keluhan pasien dengan gagal jantung diakibatkan oleh perburukan dari fungsi
jantung itu sendiri, paru, ginjal, hepar, dan organ lain akibat menurunnya curah jantung.
1. Dyspnea On Effort (DOE)
Sesak timbul ketika melakukan aktivitas yang memerlukan tenaga lebih sedangkan
apabila pada orang normal tidak sesak. Pada gagal jantung yang berat, sesak tidak
hanya terjadi saat melakukan aktivitas tetapi juga dapat terjadi saat istirahat. Sesak
paling sering timbul pada pasien dengan peningkatan tekanan vena dan kapiler
pulmonalis akibat adanya cairan di vena maupun arteri pulmonalis. Bendungan akibat
darah dan cairan interstisiel di paru menyebabkan kebutuhan oksien meningkat diikuti
dengan meningkatnya kerja otot-otot pernafasan tetapi oksigen yang masuk tidak
16
banyak. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung, sedangkan otot pernafasan
sudah lelah. Akibatnya pernafasan jadi dangkal.
2. Orthopnea
Sesak timbul pada posisi berbaring. Orthopnea terjadi akibat alir balik cairan dari
abdomen dan ekstremitas bawah menuju ke dada ketika posisi berbaring, yang
meningkatkan tekanan kapiler paru-paru. Pasien dengan orthopnea biasanya harus
meninggikan posisi kepala dari badan dengan menyangga kepala menggunakan
beberapa bantal (terutama saat tidur) dan sering terbangun pada malam hari karena
batuk atau sesak nafas bila tidur tanpa bantal atau satu bantal. Pada gagal jantung
yang berat, pasien sama sekali tidak bisa berbaring dan harus tidur dengan posisi
duduk.
3. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Sesak nafas berat dan batuk-batuk yang biasanya terjadi saat malam hari ketika tidur.
Pasien mendadak terbangun setelah beberapa jam tidur dan duduk di tepi tempat tidur.
PND terjadi karena depresi pusat pernafasan saat tidur yang menyebabkan kesukaran
ventilasi dan nafas terutama pada pasien edema paru. Adanya wheezing akibat
bronkospasme dan batuk pada malam hari, maka dinamakan juga asma kardiale.
Edema paru akut merupakan bentuk terberat dari asma kardiale yang ditandai dengan
peningkatan tekanan kapiler paru akibat edema alveoli, nafas dangkal, bercak pada
lapang paru, dan bercak darah pada sputum. Jika tidak ditangani dengan segera, maka
edema paru aku dapat berakibat fatal.
4. Pernafasan Cheyne-Stokes
Terjadi karena berkurangnya sensitivitas pusat pernafasan terhadap tekanan CO2 di
arteri. Terdapat fase apnea yang terjadi ketika tekanan O2 arteri turun dan tekanan
CO2 meningkat. Perubahan pada arteri ini menstimulasi penekanan terhadap pusat
pernafasan yang menyebabkan hiperventilasi dan hipocapnea yang diselingi dengan
fase apnea. Pernafasan Cheyne-Stokes sering erjadi pada pasien dengan aterosklerosis
serebral dan lesi serebral lainnya, waktu sirkulasi yang memanjang dari paru menuju
ke otak yang terjadi pada gagal jantung, juga pada pasien hipertensi dengan penyakit
jantung koroner.
17
Pasien gagal jantung kemungkinan mengeluhkan keluhan yang lainnya, seperti
lemas dan cepat lelah; keluhan gastrointestinal, seperti nyeri perut, anoreksia, mual,
muntah, rasa penuh, distensi abdomen; keluhan serebral yaitu pada gagal jantung
berat terutama pada usia lanjut yang biasa disertai arterio sklerosis serebral, terjadi
penurunan fungsi serebral, hipoksemia, penurunan kesadaran, berkurangnya daya
ingat dan konsentrasi, sakit kepala, insomnia dan anxietas; peningkatan atau
penurunan berat badan; nafsu makan yang meningkat atau menurun; nocturia; dan
edema terutama di ekstremitas.
PEMERIKSAAN FISIK(1,3,4)
Pemeriksaan fisik pada gagal jantung meliputi keadaan umum, pemeriksaan tanda
vital, pemeriksaan jantung dan denyutnya, dan menilai organ lain untuk mengetahui efek dari
bendungan, hipoperfusi, atau indikasi adanya penyakit lain yang menyertai.
a. Keadaan umum :
Postur tubuh pasien yang terlalu gemuk atau terlalu kurus
Nafas pendek-pendek, dapat terlihat ketika pasien berbicara, gelisah, batuk
Tampak kesakitan
b. Leher : JVP meningkat (>5+0 mmH2O)
c. Thorax :
Jantung
Inspeksi dan palpasi pada ictus cordis dan perkusi pada batas jantung kiri
untuk mengetahui ada pembesaran jantung atau tidak sebelum ada hasil
foto rontgen thorax atau ekhocardiography.
Holosistemik mumur pada MR (mitral regurgitasi)
Trikuspid regurgitasi (TR) di parasternal kiri
18
Aorta stenosis. Pada pasien usia lanjut dengan aorta stenosis yang terjadi
karena kalsifikasi senile pada katup trikuspid dan aorta, suara murmur
“high-pitched sawing” yang terdengar jelas di apex dan sering keliru
dengan MR.
Gallop S3 dan S4
Paru
Redup pada perkusi
Efusi pleura di salah satu atau kedua basal paru (paling sering di paru
kanan)
Ronkhi dan wheezing bila terdapat kebocoran pada kapiler paru
d. Abdomen
Hepatomegali
Asites
e. Ekstremitas
Odem tungkai
PEMERIKSAAN PENUNJANG(3)
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG memberikan informasi yang sangat penting, meliputi frekuensi
debar jantung, irama jantun, sistem konduksi dan etiologi gagal jantung. Kelainan
segmen ST, berupa ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) atau Non STEMI.
19
2. Foto thorax
Harus diperiksa segera untuk mengetaui adanya kelaianan paru dan jantung yang lain
seperti efusi pleura, infiltrat, atau kardiomegali.
3. Analisa gas darah
Untuk menilai oksigenasi (PO2) fungsi respirasi (PCO2) dan keimbangan asalam basa
(pH) dan harus dinilai pada setiap pasien dengan respiratory dissterss berat. Asidosis
merupakan pertanda perfusi jaringan yang buruk atau retensi CO2, dikaitkan dengan
prognose yang buruk
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, ureum, creatinin, gula darah, albumin, enzim
hati, enzim jantung, ANP dan BNP harus merupakan pemeriksaan awal pada semua
penderita pasien.
5. Ekokardiografi
Untuk mengevaluasi kelainan struktural dan fungsional dari jantung yang berkaitan
dengan gagal jantung, seperti fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan, fungsi diastolik,
struktur dan fungsi valvular, tekanan pengisian ventrikel, stroke volume,dan tekanan
arteri pulmonalis. Penemuan dengan ekokardiografi bisa langsung menentukan
strategi pengobatan.
DAGNOSIS(1,3)
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kriteria Framingham juga dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung kongestif :
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Paroksismal nokturnal dispnea (PND) Edema ekstremitas
Distensi vena leher Batuk malam hari
Ronki paru Dyspnea on effort
Kardiomegali Hepatomegali
20
Edema paru akut Efusi pleura
Peninggian tekanan vena jugjlaris Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Gallop S3 Takikardi (>120x/menit)
Refluks hepatojugular
Mayor atau minor :
Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.
**Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Tabel II.1 Kriteria Framingham untuk menegakkan diagnosis CHF
Berdasarkan keluhan, terdapat klasifikasi fungsional dari New York Heart
Association (NYHA) (4)
Kelas I : Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau dispnea
Kelas II : Pembatasan ringan pada aktivitas fisik. Merasa enak pada saat istirahat.
Aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau dispnea
Kelas III : pembatasan berat pada aktivitas fisik. Merasa enak saat istirahat. Aktivitas
yang kurang dari aktivitas sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau
dispnea
Kelas IV : tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan tetap timbul
walaupun dalam keadaan istirahat.
PENATALAKSANAAN(2,3,5,7)
21
Prinsip penatalaksanaan pada gagal jantung adalah untuk mengurangi keluhan juga
mengupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimptomatik
menjadi gagal jantung yang simptomatik. Selain itu juga untuk menurunkan angka kesakitan
dan diharapkan jangka panjang penurunan angka kematian.
Nonmedikamentosa
Terapi nonmedikamentosa diindikasikan untuk semua pasien hipertensi dan pasien
beresiko menjadi hipertensi. Terapi yang diberikan antara lain adalah 1). Edukasi mengenai
gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan dan dasar
pengobatan, 2). Istirahat, olahraga teratur mengatur aktivitas sehari-hari jangan sampai
berlebihan, 3). Atur pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol, 4). Monitor
berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba, menurunkan berat badan
pada obesitas, 5). Hentikan kebiasaan merokok, 6). Konseling mengenai obat, baik indikasi,
efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu.
Medikamentosa
Berdasarkan Guideline for The Diagnosis and Management of Heart Failure in Adult
dari American Heart Association (AHA) tahun 2005, pemberian obat pada pasien gagal
jantung dengan penurunan fungsi sistolik dibagi menjadi empat kelas.
Untuk merekomendasi :
Class I : adanya bukti/kesepakatan umum bahwa tindakan bermanfaat dan efektif
Class II : bukti kontroversi
IIa : adanya bukti bahwa tindakan cenderung bermanfaat
IIb : manfaat dan efektivitas kurang terbukti
Class III : tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya
Tingkat kepercayaan :
A : data berasal dari uji random multipel, atau metaanalisis
22
B : data berasal dari satu uji random klinik
C : konsensus, pendapat para pakar, uji klinik kecil, studi retrospektif atau registrasi
Class I 1. Diuretik, untuk pasien dengan retensi cairan. (tingkat kepercayaan :
C)
2. ACE inhibitor, kecuali ada kontraindikasi. (tingkat kepercayaan: A)
3. Beta-blocker (gunakan 1 dari 3 jenis obat yang ada yaitu bisoprolol,
carvedilol, atau metoprolol suksinat) direkomendasikan untuk
semua pasien yang keadaannya masih stabil. (tingkat kepercayaan:
A)
4. Angiotensin II receptor blockers, diberikan pada pasien yang
intoleran terhadap ACE inhibitor. (tingkat kepercayaan: A)
5. Obat-obat yang diketahui tidak baik bila diberikan pada pasien gagal
jantung harus dihindari, seperti NSAID, kebanyakan obat anti-
aritmia, dan sebagian besar obat calcium channel blocker). (tingkat
kepercayaan: B)
Class IIa 1. Angiotensin II receptor blockers sebagai alternatif ACE inhibitor
sebagai terapi lini pertama pada pasien gagal jantung ringan sampai
sedang. Terutama bila sudah mendapat ARBs. (tingkat kepercayaan:
A)
2. Digitalis dapat diberikan (tingkat kepercayaan: B)
3. Tambahan kombinasi hydralazine dan nitrat diberikan pada pasien
yang sudah mendapat ACE inhibitor dan beta blocker. (tingkat
kepercayaan: B)
Class IIb 1. Kombinasi hydralazine dan nitrat diberikan pada pasien yang
intoleran terhadap ACE inhibitor atau ARB, hipotensi, atau
insufisiensi ginjal. (tingkat kepercayaan : C)
23
2. Tambahan ARB diberikan pada pasien dengan gejalan gagal jantung
persisten dan sudah mendapat pengobatan konvensional. (tingkat
kepercayaan: B)
Class III 1. Kombinasi ACE inhibitor, ARBs dan aldosteron agonist secara rutin
tidak dianjurkan. (tingkat kepercayaan : C)
2. Pemberian calcium channel blocker rutin tidak dianjurkan. (tingkat
kepercayaan: A)
Tabel II.2 Guideline Management CHF berdasarkan AHA 2005(5)
1. ACE inhibitor
Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan
fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki keluhan, dan
mengurangi kekerapanrawat inap di rumah sakit.
Harus diberikan terapi awal bila tidak ditemu retensi cairan. Bila ada retensi
cairan, maka harus diberikan bersama diuretik.
Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung
Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti
klinis, bukan berdasarkan perbaikan gejala.
2. Loop Diuretika
Thiazide, diberikan pada gagal jantung ringan dan kronis ringan. Kerjanya
mengurangi reabsorbsi Na+ dan Cl- di tubulus distal sehingga air dan garam
juga tidak ikut diserap. Efek sampingnya mengurangi eksresi asam urat
sehingga dapat menyebabkan hiperurisemia, gangguan toleransi glukosa,
bercak di kulit, trombositopenia, dan granulasitopenia.
Metolazone, merupakan derivat dari quinethazine. Kerjanya mirip dengan
thiazide. Digunakan pada gagal jantung dengan gagal ginjal sedang.
Furosemide, Bumetanide, dan Torsemide, menghambat reabsorbsi Na+, K+,
dan Cl- di lengkung henle ascendens
24
Diuretik hemat kalium, bekerja pada tubulus distal dan korteks duktus
kolektivus dengan menghambat kerja aldosteron yang kemudian menghambat
pertukaran Na+ dengan K+ dan H+, contohnya spironolakton. Amiloride dan
triamterene memiliki efek yang sama tapi langsung bekerja di tubulus distal
dan duktus kolektivus.
3. Penyekat beta (ß blocker)
Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan, sedang dan beratyang stabil
baik karena iskemi atau kardiomiopati nn iskemi dalam pengobatan standar
seperti diuretik atau ACE inhibitor.
Penyekat beta yang digunakan yaitu, bisoprolol, karvedilol, metoprolol
suksinat, dan nebivolol.
4. Agonis reseptor aldosteron
Sebagai tambahan terhadap ACE inhibitor dan ß blocker pada gagal jantung
sesudah infark jantung, atau diabetes, menurunkan morbiditas dan mortalitas.
5. Antagonis penyekat reseptor angiotensin II
Alternatif bila pasien tidak toleran terhadap ACE inhibitor karena
efektivitasnya sama
Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin II pada pemakaian
ACE inhibitor pada pasien yang simptomatik guna menurunkan mortalitas.
6. Digitalis
Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung
Kombinasi digoksin dan ß blocker lebih superior dibandingkan bila dipakai
sendiri-sendiri tanpa kombinasi
7. Hidralazin-isosorbid dinitrat
Dipakasi sebagai tambahan dimana pasien tidak toleran terhadap ACE
inhibitor atau penyekat angiotensin II. Dosis besar hidralazin (300mg) dengan
25
kombinasi isosorbid dinitrat 180mg tanpa ACE inhibitor dapat menurunkan
mortalitas.
8. Nitrat
Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak, jangka panjang tidak
terbukti memperbaiki gejala gagal jantung. Dengan demikian dosis yang
sering dapat terjadi toleran, oleh karena itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam,
atau kombinasi dengan ACE inhibitor.
9. Nesiritid
Golongan vasodilator baru, identik dengan hormon endogen dari ventrikel,
yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan menurunkan
preload dan afterload.
10. Obat-obat inotropik
Hanya digunakan pada kasus berat dengan pemberian secara intravena
11. Antiaritmia
Digunakan hanya pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi
Amiodaron efektif untuk mengatasi supraventrikel dan ventrikel aritmia
12. Antitrombotik
Pada gagal jantung kronik dengan fibrilasi atrium diberikan antikoagulan
Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner dianjurkan
pemakaian antiplatelet
26
Gambar II.2 Terapi gagal jantung berdasarkan stage gagal jantung(5)
27
BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling sering terjadi.
Sering pasien tidak menyadari karena hipertensi tidak menimbulkan keluhan. Keluhan timbul
progresivitas dari hipertensi itu sendiri yang menyebabkan kerusakan pada beberapa organ
target. Organ target yang pertema kali terkena imbasnya adalah jantung. Ketidakmampuan
ventrikel memompa darah untuk memenuhi jaringan tubuh menyebabkan terjadinya
hipertrofi ventrikel kiri tipe konsentrik, kemudian eksentrik. Pada perkembangannya terjadi
stenosis katup yang diikuti regurgitasi. Pada akhirnya akan terjadi gagal jantung. Ketika gagal
jantung terdapat bendungan, maka gagal jantung ini disebut dengan gagal jantung kongestif.
Sebagai upaya pencegahan, pasien dapat memodifikasi faktor resiko hipertensi
maupun gagal jantung. Penggunaan obat yang tepat dan kepatuhan terapi dapat menekan
angka kesakitan.
28