laporan jantung congestive heart failure

41
Presentasi Kasus Gagal Jantung Kronik Disusunoleh : Usbatun Latifah G1A212086 Maulana Rizqi Y G1A212087 Pembimbing : dr. Dian Zamroni, Sp.JP SMF ILMU PENYAKIT DALAM

description

congestive heart failure dapat diklasifikasikan berdasarkan NYHA

Transcript of laporan jantung congestive heart failure

Presentasi KasusGagal Jantung Kronik

Disusunoleh :

Usbatun LatifahG1A212086Maulana Rizqi Y G1A212087

Pembimbing :dr. Dian Zamroni, Sp.JP

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJOFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2013

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

Gagal Jantung Kronik

Pada tanggal, Juli 2013

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :

Usbatun LatifahG1A212086Maulana Rizqi Y G1A212087

Mengetahui, Pembimbing

dr. Dian Zamroni, Sp.JP

BAB ILAPORAN KASUS

A. Identitas PasienNama: Ny. SUsia: 55 TahunAlamat: Ajibarang, BanyumasJenis kelamin: PerempuanStatus: MenikahPekerjaan: PetaniTanggal masuk: 9 Juli 2013Tanggal periksa: 11 Juli 2013No. CM : 28-49-35

B. Anamnesis1. Keluhanutama :Sesak nafas2. Keluhan tambahan :Cepat capek3. Riwayat penyakit sekarangPasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas. sesak dirasakan sejak 4 hari sebelum pasien masuk ke rumah sakit dan dirasa semakin memberat. Pasien mengatakan mudah merasakan sesak napas terutama jika melakukan aktivitas ringan seperti berjalan dari kamar ke kamar mandi. Pasien merasa lelah dan sesak apabila melakukan aktivitas sehari-hari seperti nyapu di rumah ataupun masak. Pasien juga merasakan sesak nafas apabila tidur dalam keadaan terlentang. Untuk mengurangi sesak nafas tersebut, pasien tidur menggunakan 3 bantal. Hampir setiap malam pasien merasakan sesak nafas sehingga menyebabkan pasien terbangun dari tidurnya. Pasien juga mengeluhkan dada berdebar-debar. Hal tersebut membuat pasien merasa tidak leluasa dalam beraktivitas.

4. Riwayat penyakit dahulua. Riwayat hipertensi: diakuib. Riwayat sakit jantung: disangkalc. Riwayat kencing manis: disangkald. Riwayat penyakit ginjal: disangkale. Riwayat penyakit hati: disangkalf. Riwayat alergi: disangkalg. Riwayat asthma : disangkalh. Riwayat mondok: disangkal5. Riwayat penyakit keluarga1. Keluhan yang sama: disangkal1. Riwayat Hipertensi: disangkal1. Riwayat DM: disangkal1. Riwayat penyakit jantung: disangkal1. Riwayat penyakit ginjal: disangkal1. Riwayat penyakit hati: disangkal1. Riwayat alergi: disangkal1. Riwayat asthma : disangkal6. Riwayat sosial dan exposurea. KomunitasPasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Jarak antar rumah berdekatan. Pasien mengatakan memiliki hubungan baik dengan para tetangga. Tidak ada penyakit yang sedang mewabah dilingkungan rumahnya sekarang.b. RumahRumah pasien merupakan rumah permanen dengan atap tertutup genteng dan lantai rumah terbuat dari lantai. Kamar mandi di dalam rumah. Pasien tinggal berdua dengan suaminya.c. PekerjaanPasien bekerja sebagai petani. Pasien sering melakukan kegiatan berat seperti menumbuk kedelai.

d. Personal habitPasien tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol. Setiap harinya pasien makan secara teratur 3 kali sehari. Tidak mempunyai kebiasaan makan asin.

C. Pemeriksaan FisikDilakukan di bangsal Mawar RSMS, 11 Juli 20131. Keadaan umum: Tampak sesak, sedang2. Kesadaran: Composmentis3. Tanda vitalTekanandarah: 130/90 mmHgNadi: 80x/ menit Respirasi: 28x/ menitSuhu: 36,1C4. BB: 45 kg5. TB: 150 cm6. Status generalisa. PemeriksaankepalaBentuk: mesocephal, simetris, venektasi temporalis (+)Rambut: tidak mudah dicabut, distribusi merataMata: conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bula tisokor,diameter 3 mmTHT: Tonsil T1 T1, lidah tampak kotor (-), tremor (-),discharge (-), napas cuping hidung (-/-)Mulut: Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)Leher: deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid, JVP 5+3 cmH2O

b. Pemeriksaan dadaParuInspeksi:Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketinggalan gerak antara hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan bentuk dada (-)Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiriVokal fremitus lobus inferior kanan = kiriPerkusi: Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonorBatas paru-hepar SIC V LMCDAuskultasi: Suara dasar vesikuler +/+Ronki basah halus +/+ di basalRonki basah kasar -/-Wheezing -/-JantungInspeksi: Ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCSPulsasi epigastrium (+), pulsasi parasternal (-)Palpasi: Ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS kuat angkatPerkusi : batas jantungkanan atas: SIC II LPSDkiri atas : SIC II LPSSkanan bawah: SIC V LPSDkiri bawah: SIC VI 2 jari lateral LMCSAuskultasi : M2> M1 P1>P2 T2>T1 A2>A1Gallop (-)Murmur (-)AbdomenInspeksi: cembungAuskultasi: bising usus (+) NPalpasi: nyeri tekan (-) pada seluruh lapang perut, test undulasi (+) Perkusi: timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)Hepar dan lien : sulit dinilaiRenal: nyeri ketok kostovertebrae -/-

Ekstremitas :Ekstremitas superiorEkstremitas inferior

DextraSinistraDextraSinistra

Edema----

Sianosis----

Akraldingin----

Reflek fisiologis++++

Reflek patologis----

D. PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan Darah Lengkap1. Tanggal 9 Juli 2013Darah lengkapHemoglobin: L 11,8 g/dl Leukosit: L 12070 uLHematokrit: 37 % Eritrosit: L 4.0 10^6/uLTrombosit: 378.000 /uLMCV: 92,2 fLMCH: 29.6 pgMCHC: L 32,2 % RDW: 13,4 %MPV: 10.5HitungJenisBasofil: 0,2% Eosinofil: L 0.9% Batang: L 0,0%Segmen: 66,2% Limfosit: L 24,6% Monosit: H 8.1 %Kimia KlinikSGOT: H 49SGPT: 59Ureum darah: 34,2Kreatinin darah : 0,32GDS: 130Natrium: 140Kalium: L 2,7Klorida: 102

Pemeriksaan EKG

Gambar 1 Hasil Pemeriksaan ElektrokardiografiKesimpulan: VES Bigemini

E. DIAGNOSA Gagal Jantung Kronik NYHA IIIF. Pemeriksaan Penunjang yang Diajukan1. EKG2. Ekokardiografi3. Pemeriksaan Fungsi tiroid4. Pemeriksaan Enzim jantung5. Kontrol fungsi hati, ginjal, dan elektrolitG. Tatalaksana1. Non Farmakologisa. Bed rest2. Farmakologi a. IVFD RL 10 tpmb. Letonal 1x25 mgc. Tyarit 2x200 mgd. Ceftriaxone 1x2 gre. Furosemid 2x1 tab

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiGagal jantung kronik (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung yang telah berlangsung secara kronik, yaitu jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung juga dikatakan sebagai suatu sindroma dimana fungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup. European Society of Cardiology, juga menjelaskan adanya gejala gagal jantung yang reversible dengan terapi, dan bukti objektif adanya disfungsi jantung (Nurjannah, 2006). B. EpidemiologiGagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan ( Sugeng, 2004).Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita ( Sugeng, 2004).C. EtiologiPenyebab dari gagal jantung antara lain, Disfungsi miokard, Disfungsi endokard, Disfungsi perikardium, Disfungsi pembuluh darah besar, Aritmia, Kelainan katup jantung, Gangguan irama jantung. Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal (preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir (afterload) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati ( Sugeng, 2004).Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis) dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel. Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologik atau kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya gagal jantung; efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh berbagai gangguan patofisiologis. Penelitian terbaru menekankan pada peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung. Jantung normal tidak menghasilkan TNF, namun jantung mengalami kegagalan menghasilkan TNF dalam jumlah banyak ( Sugeng, 2004).Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui berperan dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui. Diperkirakan penyebabnya adalah kelainan hantaran kalsium dalam sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil (Wilson, 2006).Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru, serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respons mekanis, respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.D. Klasifikasi Gagal jantung dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut: 1. Kelas I: Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat beristirahat ( Oemar, 2004).E. PatofisiologiGagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem ReninAngiotensinAldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Greenberg, 2007).Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Greenberg, 2007).Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akanmenyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Greenberg, 2007 ; Kumar, 2007).Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Hauser, 2005; Kumar, 2007).Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2 Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin (Hauser, 2005; Kumar, 2007).Hipertensi Sistemik / pulmonal (peningkatan afterload), meningkatkan beban kerja jantung mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dianggap sebagai kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas jantung, karena alasan yg tidak jelas hipertropi otot jantung dapat berfungsi secara normal. Bila kondisi ini terjadi maka darah dari atrium tidak dipompa kedalam ventrikel secara maksimal, begitu pula dengan jumlah darah yang keluar dari ventrikel. Banyaknya darah yang diterima oleh tubuh tergantung pada berapa banyak darah yang mengalir dari atrium ke ventrikel. Jika jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi, maka akan terjadi gagal jantung kongesti.

Gambar 1. Patofisiologi CHF.

F. Penegakan DiagnosisDiagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler.Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kronik. Diagnosis gagal jantung ditegakan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor. Pada pasien ini ditemukan 3 kriteria mayor yaitu ronkhi paru, kardiomegali dan peninggian tekanan vena jugularis serta 2 kriteria minor yaitu edema ekstrimitas dan hepatomegali.Kriteria mayor :0. Paroksismal nokturnal dispnea0. Distensi vena leher0. Ronkhi paru0. Kardiomegali0. Edema paru akut0. Galop S30. Peninggian tekanan vena jugularis0. Refluks hepatojugularKriteria minor :0. Edema ekstremitas0. Batuk malam hari0. Dispnea deffort0. Hepatomegali0. Effusi pleura0. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari ormal0. Takikardia (>120/menit)Major atau minor :1. Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari pengobatanPemeriksaan Penunjang1. EKG: dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya atrial fibrilasi pada pasien ini. Hasil yang diharapkan berupa gambaran getaran akibat impuls yang banyak namun tidak dihantarkan dengan sempurna dan interval R-R yang ireguler.2. Laboratorium:a. Darah lengkap : untuk melihat perkembangan setelah diterapi. b. Ureum, Kreatinnin : untuk mengetahui fungsi ginjal pada pasienc. SGOT, SGPT : untuk mengetahui fungsi hepar pada pasiend. CK, CKMB, LDH : untuk mengetahui fungsi jantunge. Elektrolit : untuk mengetahui aktivitas neuroendokrinf. Glukosa darah : untuk mengetahui kadar glukosa pada pasien, hal ini berkaitan dengan faktor resiko dari penyakit jantung.g. Kolesterol (total, HDL, LDL, trigliserid) : untuk mengetahui kadar lipid pada pasien, hal ini berkaitan dengan faktor resiko dari penyakit jantung.h. Fungsi tiroid (T3, T4, TSH) : pada pasien usia lanjut harus dinilai untuk mendeteksi tirotoksikosis atau mieksedema tersembunyiRadiologi 1) Foto thoraksFungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui ukuran dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paru-paru (Davis, 2006). Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan pembesaran pada jantung. Pemeriksaan radiologi memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.2) Computed Tomography CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin dan manajemen gagal jantung kongestif (Davis, 2006). Multichannel CT scan berguna dalam menggambarkan kelainan bawaan dan katup, namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dapat memberikan informasi yang sama tanpa mengekspos pasien untuk radiasi pengion (Davis, 2006).3) EchocardiografiEkokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer dan sekunder dapat dinilai secara akurat. Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga dalam menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan diagnosis HF diastolic (Davis, 2006). Dua dimensi dan Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac output (fraksi ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan pengisian ventrikel. Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit katup penting secara klinis.Tingkat kepercayaan di echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan positif palsu dan negatif palsu yang rendah (Davis, 2006).

G. PenatalaksanaanPenatalaksanaan untuk pasien CHF mencakup penatalaksanaan non medikamentosa dan medikamentosa. Penatalaksanaan medika mentosa terdiri dari bed rest total, posisi setengah duduk, diet rendah garam, diet tinggi albumin. Bed rest total dan posisi setengah duduk dapat membantu pasien dalam mengurangi rasa sesak dan mengurangi beban kerja jantung. Diet rendah garam dilakukan untuk mengurangi retensi nattrium dan air sehingga mencegah terjadinya peningkatan volume intravaskuler. Berikut penjelasan lebih lengkap mengenai terapi non pasien dengan gagal jantung kronik.1. Non Medikamentosa : a. Anjuran umum : 1) Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.2) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan. 3) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.b. Tindakan Umum : 1) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan. 2) Hentikan rokok3) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya. 4) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang). 5) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut. 2. MedikamentosaTerapi terdiri atas panghambat ACE, Antagonis Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik. b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik. d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap ACE ihibitor. e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker. f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel. g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak. h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung. Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel (Grady, 2000).Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca infark (Grady, 2000).Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter (Grady, 2000).Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan (Grady, 2000).Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan (Grady, 2000).Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam (Grady, 2000).Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit (Grady, 2000).Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit (Grady, 2000). Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg (Grady, 2000). Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3 g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15 g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt (Grady, 2000). Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg bolus 10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt (Grady, 2000).Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt (Grady, 2000).Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi (Grady, 2000).Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik (Grady, 2000).

H. Prognosis Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu: (2)1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%2. Kelas NYHA II: mortalitas 5 tahun 10-20%3. Kelas NYHA III: mortalitas 5 tahun 50-70%4. Kelas NYHA IV: mortalitas 5 tahun 70-90%BAB IIIKESIMPULAN

1. Diagnosis pasien ini adalah gagal jantung kronik (NHYA III ) Didasarkan oleh anamnesis, yaitu sesak napas, mudah lelah saat beraktivitas minimal, tidur harus, sesak nafas apabila tidur dalam keadaan terlentang dan dada sering berdebar. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya venektasi temporalis, peningkatan JVP, ronki basah halus di basal paru, pulsasi epigastrium, dilatasi jantung batas kiri bawah SIC VI 2 jari lateral LMCS. Pemeriksaan EKG didapatkan VES BIGEMINI dan pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan kelainan2. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien ini ekokardiogram fungsi hati, ginjal, dan elektrolit. 3. Penanganan pasien ini dilakukan dengan memberikan diuretik (loop diuretic dan antagonis aldosteron) dan anti aritmia.

DAFTAR PUSTAKA

Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition, Australia: Blackwell publishing 2006;hal. 10-11.Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of the adult patient sixth edition, Philadephia, USA: Lipincott Williams & Wilkins 2009;.hal.275-287Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with heart failure. A statement for healthcare professionals from The Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart Assiciation Circulation 2000Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott Williams & Wilkins 2007 ; hal.167-168.Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrisons principle of internal medicine.2005; ed XVIKumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC, 2007. Vol. Volume 2.Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IVOemar, Hamed.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. 2004. hal. 7-12.Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan.Buku ajar kardiologi. jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia, 2004.hal 7 17,115 126.Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006.hal.633-640.