HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN SRAGEN SKRIPSI · i HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN...

88
i HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS PADA ANAK USIA 3-5 TAHUN DI PUSKESMAS MIRI SRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan Oleh : Endah Heni Madiyantiningtias NIM. ST 13028 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015

Transcript of HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN SRAGEN SKRIPSI · i HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN...

i

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN

MOTORIK HALUS PADA ANAK USIA 3-5 TAHUN

DI PUSKESMAS MIRI – SRAGEN

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh :

Endah Heni Madiyantiningtias

NIM. ST 13028

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

STIKES KUSUMA HUSADA

SURAKARTA

2015

2

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN

MOTORIK HALUS PADA ANAK USIA 3-5 TAHUN

DI PUSKESMAS MIRI – SRAGEN

Oleh :

Endah Heni Madiyantiningtias

NIM. ST 13028

Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal 05 Agustus 2015 dan

dinyatakan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

bc. Yeti Nurhayati, M.Kes. Rufaida Nur Fitriana, S.Kep., Ns.NIK. 201378115 NIK. 201187098

Penguji,

S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep.NIK. 200984041

Surakarta, 20 Agustus 2015Ketua Program Studi S-1 Keperawatan,

Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep.NIK. 201279102

ii

3

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Endah Heni Madiyantiningtias

NIM : ST. 13028

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada

Surakarta maupun di perguruan tinggi lain.

2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,

tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim

Penguji.

3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang

dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat

penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh

karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di

perguruan tinggi ini.

Surakarta, Juli 2015

Yang membuat pernyataan

Endah Heni MadiyantiningtiasNIM : ST. 13028

iii

4

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul ”Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik

Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun Di Puskesmas Miri – Sragen” untuk memenuhi

tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan S1 Keperawatan pada

STIKes Kusuma Husada Surakarta.

Pada kesempatan kali ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih ini terutama disampaikan kepada :

1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta.

2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi S1

Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

3. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes selaku pembimbing I yang banyak memberi saran

dan petunjuk dalam pembuatan skripsi ini.

4. Rufaida Nur Fitriana, S.Kep., Ns. sebagai pembimbing II yang banyak

memberi saran dan petunjuk dalam pembuatan skripsi ini.

5. S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep. selaku Penguji

6. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak dan Ibu yang telah mengajarkan

kepada penulis akan arti sebuah perjuangan dalam hidup.

7. Suamiku tercinta, Nugroho Sulistyo, SH., ST. Terima kasih atas dukungan

kedewasaan, kesabaran serta kesederhanaan.

iviv

5

8. Anak-anakku yang tersayang, Naqila dan Shafia. Terima kasih atas tawa riang

dan tangis yang telah kalian berikan dalam lembar kehidupan ini.

9. Kepada Responden terima kasih atas partisipasi dan kerjasamanya dalam

penelitian ini.

10. Sahabat seperjuanganku, kelompok V. Semoga kesabaran, ketekukan serta

keyakinan kita tidak sia-sia.

11. Seluruh Dosen dan Staf STIKes Kusuma Husada Surakarta

12. Seluruh rekan se-angkatan STIKes Kusuma Husada Surakarta.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Yang telah

memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

penyusunan riset keperawatan ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan berkat-Nya

kepada semua yang telah membantu peneliti dalam mewujudkan skripsi ini.

Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu segala pendapat saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangat

peneliti harapkan. Mudah-mudahan penelitian dapat bermanfaat untuk peneliti

sendiri dan pembaca pada umunya.

Surakarta, Agustus 2015

Peneliti

v

6

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii

SURAT PERNYATAAN................................................................................. iii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv

DAFTAR ISI.................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii

DAFTAR TABEL............................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xi

ABSTRAK ...................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 4

1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 5

1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori ...................................................................................... 7

2.2 Keaslian Penelitian ............................................................................... 42

2.3 Kerangka Teori..................................................................................... 44

2.4 Kerangka Konsep ................................................................................. 45

2.5 Hipotesis Penelitian.............................................................................. 45

vi

7

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................................... 46

3.2 Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling............................................... 46

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 48

3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ........................ 48

3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ....................................... 50

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data .................................................. 52

3.7 Etika Penelitian ................................................................................... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Analisis Univariat................................................................................. 56

4.2 Analisis Bivariat ................................................................................... 58

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Analisis Univariat................................................................................. 59

5.2 Analisis Bivariat................................................................................... 66

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 69

6.2 Saran .................................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 71

LAMPIRAN

vii

8

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

2.1 Rumus Z Score.............................................................. 16

2.2 Kerangka Teori.............................................................. 44

2.3 Kerangka Konsep .......................................................... 45

viii

9

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

2.1. Kategori Ambang Batas Status Gizi ...................................... 17

2.2. Keaslian Penelitian ................................................................ 42

3.1. Definisi Operasional............................................................... 48

4.1. Tabel Nilai Tengah, Pemusatan Dan Penyebaran Data Usia

Anak di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 ........................ 56

4.2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Anak Usia 3-5

Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 ...................... 56

4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi

Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun

2015........................................................................................ 57

4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 3-5 Tahun di

Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015...................................... 57

4.5. Hubungan Antara Status Gizi Anak Dengan Perkembangan

Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas

Miri Sragen Tahun 2015 ........................................................ 58

ix

10

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Keterangan

1. Lampiran 1 Surat Perijinan

2. Lampiran 2 Lembar Permohonan Menjadi Responden

3. Lampiran 3 Lembar Persetujuan Responden

4. Lampiran 4 Formulir DDST

5. Lampiran 5 Formulir Z Score

6. Lampiran 6 Kuesioner

7. Lampiran 7 Data Penelitian

8. Lampiran 8 Hasil Penelitian

9. Lampiran 9 Lembar Konsultasi

10. Lampiran 10 Jadwal Penelitian

x

11

DAFTAR SINGKATAN

Nomor Daftar Singkatan

1 MDGs Millenium Development Goals

2 KVA Kurang Vitamin A

3 DINKES Dinas Kesehatan

4 Balita Bawa Lima Tahun

5 Batita Bawah Tiga Tahun

6 WHO World Health Organization

7 TB Tinggi Badan

8 BB Berat Badan

9 LiLA Lingkar Lengan Atas

10 BB/U Berat Badan/Umur

11 SD Standar Deviasi

12 ASI Air Susu Ibu

13 Riskesdas Riset Kesehatan Dasar

14 UNICEF United Nations International Children's Emergency Fund

15 Dep Kes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia

16 DDST Denver Developmental Screening Test

17 IQ Intelligent Question

18 H0 Hipotesis nol

19 Ha Hipotesis alternatif

20 ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut

21 STIKes Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

22 KEP Kurang Energi dan Protein

23 SMA Sekolah Menengah Atas

24 SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

xi

12

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATANSTIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA

2015

Endah Heni Madiyantiningtias

Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Halus Pada AnakUsia 3-5 Tahun Di Puskesmas Miri – Sragen

Abstrak

Perkembangan motorik halus adalah gerakan yang melibatkan bagian-bagiantubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil tetapi diperlukan koordinasi yangcermat. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan status gizi denganperkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri –Sragen.

Metode penelitian ini adalah analitik korelasi dengan rancangan crosssectional study. Populasi penelitian anak usia 3-5 tahun yang yang berdomisili diPuskesmas Miri-Sragen sebanyak 163 anak. Sampel diambil dengan tehnik clusterrandom sampling sebanyak 62 responden. Teknik pengumpulan datamenggunakan lembar observasi Denver II. Analisis data menggunakan uji korelasiSpearman Rank.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar status gizi anak usia 3-5tahun adalah gizi normal sebanyak 58 anak (93,5%). Sebagian besarperkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun adalah normal sebanyak 56 anak(90,3%). Terdapat hubungan status gizi anak usia 3-5 tahun denganperkembangan motorik halus di Puskesmas Miri – Sragen (r: 0,601; p: 0,0001).

Kata kunci: status gizi, motorik halus, anak usia 3-5 tahunKepustakaan : 24 (2001- 2010)

xii

13

BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCEKUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA

2015Endah Heni Madiyantiningtias

Correlation between Nutritional Status and Development of Soft MotorMuscle of Children Aged 3 – 5 Years Old at Community Health Center of

Miri, Sragen

ABSTRACT

The development of soft motor muscle is a motion, which involves onlycertain parts of body and performed by small muscles, but it requires a goodcoordination. The objective of this research is to investigate the correlationbetween the nutritional status and the development of soft motor muscle of thechildren aged 3 – 5 years old at Community Health Center of Miri, Sragen.

This research used the analytical correlational method with the cross sectionalapproach. The population of research was 163 children aged 3 – 5 years olddomiciled at the working region of Community Health Center of Miri, Sragen. Itssamples consisted of 62 respondents. The data of research were collected throughobservation with the screening test of Denver II. They were analyzed by using theSpearman’s Rank correlation test.

The result of the research shows that 58 children aged 3 – 5 years old (93.5%)had a normal nutritional, and 56 (90.3%) had a normal development of soft motormuscle. Thus, there was a correlation between the nutritional status and thedevelopment of soft motor muscle of the children aged 3 – 5 years old atCommunity Health Center of Miri, Sragen as indicated by the r-value = 0.601 andthe p-value =0.0001.

Keywords: Nutritional status, soft motor muscle, children aged 3-5 yearsReferences: 24 (2001- 2010)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa balita merupakan masa perkembangan kemampuan berbahasa,

kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat

cepat dan merupakan landasan bagi perkembangan selanjutnya (Abiba,

Grace, & Kubreziga, 2012). Salah satu aspek penting pada proses

perkembangan ialah perkembangan motorik karena merupakan awal dari

kecerdasan dan emosi sosialnya (Laksana, 2011). Perkembangan motorik

halus adalah gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan

dilakukan otot-otot kecil tetapi diperlukan koordinasi yang cermat

(Soetjiningsih, 2004). Sedangkan Hurlock (2009) menyatakan bahwa

penilaian kemampuan motorik halus merupakan penilaian terhadap

kemampuan yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh tertentu dan hanya

melibatkan sebagian kecil otot tubuh. Gerakan halus ini tidak memerlukan

banyak tenaga tetapi memerlukan kerjasama antara mata dan anggota badan,

contoh menggapai, memasukkan benda ke mulut, memegang sendok dan

lain-lain.

Perkembangan anak didukung oleh status gizi yang baik dan

seimbang, sebab gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat

kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

maupun perkembangannya (Sutrisno, 2003). Kekurangan gizi pada masa

2

balita dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan balita

tersebut. Hasil penelitian Kartikaningsih (2009) menemukan bahwa kondisi

kurang gizi akan mempengaruhi banyak organ dan sistem. Kekurangan

protein yang terjadi pada balita kurang gizi, menyebabkan otot-otot menjadi

atrofi sehingga dapat mengganggu kekuatan motorik otot dalam

melaksanakan aktivitas sesuai usia perkembangan. Aktivitas motorik otot

yang merupakan motorik halus adalah anak dapat dilihat berdasarkan

kemampuan menggambar, membuat garis, menggunting kertas.

Hasil penelitian Anggraeni (2014) menemukan bahwa perkembangan

anak ini didukung oleh status gizi yang baik dan seimbang, sebab gizi tidak

seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan yang rendah akan

sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.

Kekurangan gizi pada masa balita dapat mempengaruhi proses pertumbuhan

dan perkembangan balita tersebut. Gizi merupakan salah satu faktor penting

yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi

seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian

antara perkembangan fisik dan perkembangan mental seseorang. Terdapat

kaitan yang sangat erat antara status gizi dengan konsumsi makanan.

Prevalensi gizi kurang pada anak balita di Provinsi Jawa Tengah

sebesar 17,9 persen. Untuk mencapai target sasaran MDGs pada 2015 harus

diturunkan menjadi 15,5 persen. Permasalahan kekurangan gizi mikro

seperti kurang vitamin A (KVA), anemia gizi pada balita, serta kekurangan

yodium sudah dapat dikendalikan, sehingga tidak lagi menjadi masalah

3

kesehatan di masyarakat (DINKES Prov Jateng, 2013). Tingkat status gizi

optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Namun

demikian, perlu diketahui bahwa keadaan gizi seseorang dalam suatu masa

bukan saja ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada saat itu saja, tetapi lebih

banyak ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa yang telah lampau,

bahkan jauh sebelum masa itu. Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi masa

kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi setelah dewasa (DINKES

Prov Jateng, 2013).

Di Wilayah Puskesmas Miri Kecamatan Miri - Sragen menurut data

pada bulan Agustus 2014 jumlah seluruh balita usia 3-5 tahun ada 1.048

anak (Pelaporan Gizi, 2014). Sedangkan dari 5 anak usia 3-5 tahun yang

telah dilakukan observasi terhadap kemampuan motorik halusnya

didapatkan anak dengan status gizi kurang dengan perkembangan

menyimpang sebanyak 1 anak usia 3,5 tahun fail/gagal pada kemampuan

menyusun balok, anak dengan status gizi normal dengan perkembangan

menyimpang sebanyak 1 anak usia 3 tahun 2 bulan fail/gagal pada

kemampuan menyusun puzzel dan anak dengan status gizi normal dengan

perkembangan sesuai dengan perkembangannya sebanyak 3 anak usia 4

tahun, 4 tahun 6 bulan dan 3 tahun 9 bulan. Keterlambatan motorik halus

pada balita merupakan aspek yang diperhatikan karena kemampuan motorik

halus dapat menyebabkan balita tumbuh menjadi pribadi yang memiliki

karakteristik keras dan buru-buru menyelesaikan masalah (Trihadi, 2009).

Keadaan ini merupakan suatu hal yang sangat mengkhawatirkan sehingga

4

perlu adanya penanganan segera dan pentingnya deteksi dini terhadap

keterlambatan perkembangan sehingga nantinya bisa terdeteksi sejak dini.

Hasil wawancara dengan petugas gizi di wilayah Puskemas Miri –

Sragen belum ada pemeriksaan (skrining) untuk mendeteksi secara dini

adanya gangguan perkembangan motorik halus pada balita, serta belum ada

penelitian tentang Status Gizi pada anak balita, sehingga perlu dilakukan

penelitian mengenai hal tersebut. Berdasarkan data di atas maka peneliti

tertarik untuk meneliti tentang status gizi dengan perkembangan motorik

halus pada anak usia 3-5 tahun.

1.2 Rumusan Masalah

Perkembangan anak didukung oleh status gizi yang baik dan

seimbang, sebab gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat

kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

maupun perkembangannya (Sutrisno, 2003). Kekurangan protein yang

terjadi pada balita kurang gizi, menyebabkan otot-otot menjadi atrofi

sehingga dapat mengganggu kekuatan motorik otot dalam melaksanakan

aktivitas sesuai usia perkembangan. Aktivitas motorik otot yang merupakan

motorik halus adalah anak dapat dilihat berdasarkan kemampuan

menggambar, membuat garis, menggunting kertas. Dari uraian latar

belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah “Apakah

ada Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Halus Pada

Anak Usia 3-5 Tahun Di Puskesmas Miri – Sragen?”

5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5

tahun.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mendeskripsikan status gizi pada anak usia 3-5 tahun di

Puskesmas Miri - Sragen.

2. Mendeskripsikan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5

tahun di Puskesmas Miri - Sragen.

3. Mengetahui hubungan antara status gizi dengan perkembangan

motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri -

Sragen.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai tambahan kepustakaan serta untuk

meningkatkan pengetahuan pembaca tentang status gizi dan

perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun.

1.4.2 Bagi Puskesmas

Dapat menambah informasi mengenai hubungan status gizi dengan

perkembangan motorik halus pada anak, sehingga dapat dijadikan

pedoman dalam menentukan dan mengambil suatu kebijakan.

6

1.4.3 Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan dan

sumbangan pemikiraan serta sebagai bahan evaluasi bagi peningkatan

deteksi dini tumbuh kembang pada anak usia 3-5 tahun.

1.4.4 Bagi Peneliti

Dapat mengetahui hubungan status gizi dengan perkembangan pada

anak usia 3-5 tahun sehingga menambah pengetahuan dan mengetahui

lebih detail tentang motorik halus.

1.4.5 Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai data dasar bagi

penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan status gizi dan

perkembangan motorik halus.

1.4.6 Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi perawat tentang

perlunya penilaian status gizi dan perkembangan motorik halus pada

balita

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Balita

1. Pengertian Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu

tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah

lima tahun (Muaris, 2006). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010),

balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan

anak prasekolah (3-5tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung

penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti

mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan

sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh

kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu

menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan

anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah

terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.

2. Karakteristik Balita

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu

anak usia 1 – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi,

2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya

8

anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju

pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah

sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun

perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang

mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang

usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan

adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. Pada usia pra-sekolah

anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih

makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan

lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak

mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak

akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan

mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat

badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas

yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap

makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih

banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan

anak laki-laki (Anggraeni, 2010).

3. Anak Usia 3-5 Tahun

Tahap perkembangan anak pra sekolah usia 3- 5 tahun memiliki

tugas perkembangan initiative VS guilt. Pada usia ini, anak akan

belajar berinteraksi dengan orang lain terutama teman sebaya

usianya. Anak juga belajar berfantasi dan berinisiatif. Ciri tahap

perkembangan pada usia ini: anak suka mengkhayal dan kreatif,

9

anak punya inisiatif bermain dengan alat-alat dirumah, rasa inisiatif

timbul dengan tugas untuk kepentingan aktifitas, baik motorik

maupun intelektual, perasaan bersalah dapat timbul terhadap

perenungan tujuan.

Keinginan untuk meniru dunia orang dewasa, ditunjukkan

melalui identifikasi peran sosial, jika pada anak mengalami sibling

rivalry/persaingan dengan saudara kandung maka orang tua

hendaknya dapat menjadi pihak penengah yang bijaksana sehingga

tidak memunculkan perasaan bersalah berlebihan. Anak suka

bermain dengan teman sebaya, anak mudah berpisah dengan

orangtua, anak mengerti mana yang benar dan mana yang salah,

anak belajar mengenal berbagai warna, dan merangkai kata, anak

mampu melakukan pekerjaan sederhana, anak mengenal jenis

kelaminnya sendiri. Apabila semua tahap perkembangan tersebut

dapat dicapai oleh anak maka anak akan mampu mengembangkan

inisiatif dan ambisinya, mampu bertanggungjawab dan memiliki

disiplin diri.

Perkembangan anak usia prasekolah dapat diidentifikasi

berdasarkan beberapa kemampuan (Depkes RI, 2006) antara lain:

a. Kemampuan sosialisasi dan mandiri

Orang tua meminta anak makan pakai sendok dan garpu

dengan baik, orang tua mengajarkan kepada anak cara

memakai sabun dan membasuh dengan air ketika mencuci kaki

dan tangannya, orang tua meminta anak dalam membuat

10

keputusan dengan cara anda menentukan batasannya dan

menawarkan pilihan. Orang tua menunjukkan pada anak untuk

menggambar orang pada selembar kertas, orang tua mengajak

anak bermain sekaligus belajar mengikuti aturan/petunjuk

permainan, orang tua menunjukkan cara membuat boneka dari

kertas, orang tua memberi kesempatan kepada anak untuk

mengunjungi tetangga dekat lalu minta anak untuk bercerita

tentang kunjungan itu.

b. Kemampuan bicara dan bahasa

Orang tua meminta anak untuk bercerita mengenai dirinya

dan hobinya. Orang tua menempelkan foto anak dibuku anak

dan minta anak untuk menceritakan apa yang terjadi di dalam

foto itu. Orang tua dapat menggunting huruf besar menurut

alphabet dari majalah, kemudian menempel pada karton,

tunjukkan satu persatu dan minta anak untuk menyebutkannya.

Orang tua membuat agar anak mengajukan berbagai

pertanyaan dan jawablah pertanyaan tersebut dengan kata-kata

sederhana. Orang tua membantu anak untuk mengenal musim

hujan dan kemarau, orang tua membantu anak untuk

mengenali angka dan berhitung, orang tua mengajak anak

untuk membuat buku kegiatan keluarga dengan

mengumpulkan foto/gambar anggota keluarga, orang tua dapat

meminjam buku yang menarik perhatian dan membacakan

untuk anak.

11

c. Kemampuan gerak kasar

Orang tua mengajak anak menangkap bola, menggunakan

bola sebesar bola tenis, sekali-kali minta anak untuk

melemparnya, orang tua menunjukkan pada anak cara berjalan

di atas papan/garis lurus dengan merentangkan kedua tangan

untuk menjaga keseimbangan tubuh, orang tua menunjukkan

pada anak cara binatang berjalan, orang tua mengajak anak ke

kebun binatang dan tirukan gerak-gerik binatang. Orang tua

menunjukkan kepada anak cara memakai karung dan

melompat-lompat, orang tua mengajari anak dan teman-

temannya bermain engklek, orang tua menunjukkan kepada

anak cara melompati tali, dorong anak main bola, lompat

dengan 1 kaki.

d. Kemampuan gerak halus

Orang tua mengajak anak menggambar dengan cat

menggunakan jari-jarinya diselembar kertas besar, orang tua

membantu anak untuk menemukan gambar yang menarik

kemudian mengguntingnya dan minta anak untuk menempel

gambar tersebut, orang tua mengajari anak menghitung dengan

meletakkan kacang di mangkuk, ajari anak menggambar garis,

lurus, bulatan, segi empat serta menulis huruf angka. Orang tua

menunjukkan kepada anak bagaimana menyatukan satu atau

dua bagian agar menjadi satu kembali, orang tua mengajak

anak menanam biji kacang-kacangan di kaleng bekas dan

12

bantu anak untuk menyirami tanaman tersebut setiap hari,

orang tua mengajak anak bermain puzzle, menggambar,

menghitung, memilih dan mengelompokkan.

2.1.2 Status Gizi Balita

1. Pengertian Status Gizi

Status Gizi merupakan ekspresi satu aspek atau lebih dari

nutrisi seorang individu dalam suatu variabel (Hadi, 2005).

Sedangkan menurut Alexa (2011) status gizi adalah keadaan tubuh

yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang

masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya.

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam

bentuk variabel tertentu atau perwujudan nutrisi dalam bentuk

variabel tertentu (Supariasa, 2012). Status gizi adalah keadaan

tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat

gizi (Sulistyoningsish, 2012).

Menurut Soekatri (2011), penilaian status gizi adalah upaya

menginterpretasikan semua informasi yang diperolah melalui

penelitian antropometri, konsumsi makanan, biokimia dan klinik.

Menurut WHO dalam Soekatri (2011), sistem penilaian status gizi

dapat dilakukan dalam bentuk survei, surveilen atau skrining.

2. Metode Penilaian Status Gizi Pada Balita (Rusilanti dan Istiany,

2013)

a. Penilaian Antropometri

1) Pengertian Antropometri

13

Menurut Rusilanti dan Istiany (2013) Antropometri

adalah berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan

komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat

gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain tinggi badan

(TB), berat badan (BB), Lingkar Lengan Atas (LILA) dan

tabel lemak di bawah kulit. Secara umum antropometri

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan atau

konsumsi protein dan energi. Ketidakseimbangan ini

terletak pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan

tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

2) Keunggulan dalam penilaian antropometri antara lain:

a) Prosedur sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam

jumlah sampel yang besar.

b) Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli.

c) Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat

dipesan dibuat didaerah setempat.

d) Tepat dan akurat karena dapat dibakukan.

e) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi

di masa lampau.

f) Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang,

kurang dan buruk karena sudah ada ambang batas

yang jelas.

14

3) Kelemahan dalam penilaian antropometri antara lain:

a) Tidak sensitif, tidak dapat mendeteksi status gizi

dalam waktu singkat serta tidak dapat membedakan

kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe.

b) Faktor diluar gizi (penyakit genetik dan penurunan

penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan

sensitivitas pengukuran antropometri.

Kesalahan yang akan terjadi saat pengukuran dapat

mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran

antropometri. Kesalahan karena latihan petugas yang tidak

cukup, kesalahan alat atau kesalahan pengukuran.

4) Pengukuran Antropometri dengan Berat Badan Menurut

Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter memberikan

gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif

terhadap perubahan-perubahan mendadak, misalnya

karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu

makan dan menurunnya jumlah makanan yang

dikonsumsi. Pada keadaan normal yaitu adanya

keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi

terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti

pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal,

terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan,

yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari

15

keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini,

maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai

salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat

karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U

lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini

(current nutritional status) (Supariasa, 2012).

a) Kelebihan Indeks BB/U

Menurut Supariasa (2012), indeks BB/U

mempunyai beberapa kelebihan antara lain:

(1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh

masyarakat umum.

(2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.

(3) Berat badan dapat berfluktuasi.

(4) Sangat senfitif terhadap perubahan-perubahan

kecil.

(5) Dapat mendeteksi kegemukan (over weight).

b) Kelemahan Indeks BB/U

Menurut Supariasa (2012), indeks BB/U juga

mempunyai beberapa kekurangan, antara lain:

(1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang

keliru bila terdapat edema maupun asites.

(2) Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan

tradisionl, umur sering sulit ditaksir secara tepat

karena pencatatan umur yang belum baik.

16

(3) Memerlukan data umur yang akurat, terutama

untuk anak dibawah usia lima tahun.

(4) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran,

seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada

saat penimbangan.

(5) Secara aplikasi sering mengalami kendala yaitu

orang tua tidak mau menimbang anaknya, karena

dianggap seperti tidak memberikan manfaat yang

banyak.

Untuk perhitungan menggunakan Z-score,

rumusnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Rumus Z Score

Penggunaan Z Score sebagai acuan penilaian

status gizi adalah langkah mudah yang dapat

dilakukan karena menggunakan alat yang sudah

tersedia di masing-masing tempat penimbangan bayi

dan anak.

5) Langkah-Langkah Penimbangan Berat Badan Dengan

Timbangan Injak Menurut Rikesdas (2007)

a) Lepas pakaian yang tebal pada bayi dan anak saat

pengukuran. Apabila perlu, cukup pakaian dalam saja.

b) Timbangan injak dengan berdiri, ajak anak untuk

berdiri diatas timbangan injak tanpa dipegangi.

RujukanBakuSimpangNilai

RujukanBakuMedianNilai-SubjekNilai scoreZ

17

c) Ketika menimbang berat badan bayi, tempatkan

tangan petugas diatas tubuh bayi (tidak menempel)

untuk mencegah bayi jatuh saat ditimbang.

d) Apabila anak tidak mau ditimbang, ibu disarankan

untuk menimbang berat badannya lebih dulu,

kemudian anak digendong oleh ibu dan ditimbang

e) Selisih antara berat badan ibu bersama anak dan berat

badan ibu sendiri menjadi berat badan anak. Untuk

lebih jelasnya, dapat dilihat rumus berikut:

f) BB anak = (Berat badan ibu dan anak) – BB ibu

g) Tentukan hasil timbangan sesuai dengan jarum

penunjuk pada timbangan.

Selanjutnya, tentukan posisi berat badan anak sesuai

dengan standar yang berlaku, yaitu status gizi anak

normal, kurang atau buruk. Untuk menentukan berat

badan ini juga dapat dilakukan dengan melihat pada kurva

KMS dan dilihat berada berat badan anak berada pada

kurva berwarna hijau, kuning atau merah.

6) Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan

Indeks Berat Badan/Umur

Tabel: 2.1 Kategori Ambang Batas Status Gizi

IndeksKategori

Status Gizi

Ambang Batas

(Z-score)

Batas badan menurut

umur (BB/U) anak

umur 0-60 bulan

Gizi Buruk < -3 SD

Gizi Kurang -3 SD sampai < -2SD

Gizi Baik -2 SD sampai 2 SD

Gizi Lebih >2 SD

Sumber: Kemenkes (2010)

18

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

a. Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan

Menurut Marimbi (2010), dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari sering terlihat keluarga yang memiliki penghasilan

cukup, tetapi makanan yang dihidangkan belum memenuhi

standar gizi yang cukup, sehingga, kejadian gangguan gizi

tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan

kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan

relatif baik (cukup) juga ditemukan. Keadaan ini menunjukkan

bahwa ketidaktahuan akan faedah makan bagi kesehatan tubuh

mempunyai sebab buruknya mutu gizi makan keluarga,

khususnya makanan anak balita. Menurut Marimbi (2010),

masalah gizi karena kurang pengetahuan dan ketrampilan

dibidang memasak menurunkan konsumsi anak, kurang

beragamnya bahan dan jenis masakan akan mempengaruhi

kejiwaan misalnya kebosanan.

Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang

mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi terutama

terhadap asupan makanan yang akan diberikan kepada balita.

Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang, maka ia akan

semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang

diperolehnya untuk dikonsumsi pada keluarga untuk status gizi

yang lebih baik, terutama dalam menjaga status gizi balita

19

yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

cepat (Atikah, 2009).

b. Prasangka buruk terhadap makanan tertentu

Menurut Marimbi (2010), banyak bahan makan yang

sesungguhnya bernilai gizi tinggi, tetapi tidak digunakan atau

hanya digunakan secara terbatas akibat adanya prasangka yang

tidak baik terhadap bahan makanan itu. Penggunaan bahan

makanan itu dianggap dapat menurunkan harkat keluarga.

Jenis sayuran seperti genjer, daun turi, bahkan daun ubi kayu

yang bahkan banyak mengandung zat besi, vitamin A dan

protein dibeberapa daerah masih dianggap sebagai makanan

yang dapat menurunkan harkat keluarga.

Dalam pemenuhan kebutuhan balita terutama pada zat

makro dan zat mikro haruslah seimbang, bila salah satu kurang

terpenuhi atau mungkin terjadinya masalah status gizi seperti

kekurangan energi protein, anemia pada balita, kwasiorkor dan

marasmus. Sehingga, untuk mencegah masalah status gizi yang

akan terjadi, orang tua harus lebih mengetahui akan kandungan

gizi dalam asupan makanan yang diberikan pada keluarga

terutama untuk balita untuk mencapai status gizi yang lebih

baik (Atikah, 2009).

c. Adanya kebiasaan makanan yang merugikan

Menurut Marimbi (2010), berbagai kebiasaan yang

berhubungan dengan pantang makan-makanan tertentu masih

20

sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan. Larangan

terhadap anak untuk makan telur, ikan ataupun daging hanya

berdasarkan kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya

diwarisi secara dogmatis turun temurun, padahal anak itu

sendiri sangat memerlukan bahan makanan seperti keperluan

pertumbuhan tubuhnya.

Kadang-kadang kepercayaan orang akan sesuatu makanan

anak kecil membuat anak sulit mendapatkan cukup protein.

Beberapa orang tua beranggapan ikan, telur, ayam dan jenis

makanan protein lainnya memberi pengaruh buruk untuk anak

kecil. Anak yang terkena diare malah dipuasakan (tidak

diberikan makanan). Cara pengobatan seperti ini akan

memperburuk gizi pada anak (Marimbi, 2010).

Kandungan dalam telur, ikan, ayam dan jenis makanan

protein lainnya sangat diperlukan untuk balita, karena manfaat

yang terkandung dalam protein, diantaranya yaitu: bahan baku

dalam pembentukan antibodi dalam tubuh dan penting bagi

pertumbuhan, pemulihan dan pemeliharaan struktur tubuh.

Sehingga, sebagai orang tua harus memperhatikan asupan

makanan yang dibutuhkan balita pada waktu sakit (Atikah,

2009).

d. Kesukaan yang berlebihan terhadap jenis makan tertentu

Menurut Marimbi (2010) kesukaan yang berlebihan

terhadap suatu jenis makanan tertentu atau disebut sebagai

21

faddisme makanan akan mengakibatkan tubuh tidak

memperoleh semua zat gizi yang diperlukan.

Asupan makanan yang berlebihan pada balita, sebagian

akan disimpan dalam tubuh balita karena sudah melebihi

kebutuhan gizi yang sudah diperlukan oleh balita sesuai

dengan umur atau masa pertumbuhannya. Jika, terjadi terus-

menerus akan menjadi masalah dalam status gizi balita, yaitu

status gizi lebih (obesitas) (Arisman, 2007).

e. Jarak kelahiran yang terlalu rapat

Menurut Marimbi (2010), banyak hasil penelitian yang

membuktikan bahwa banyak anak yang menderita gangguan

gizi oleh karena ibunya sedang hamil lagi atau adiknya yang

baru telah lahir, sehingga ibunya tidak bisa merawatnya secara

baik. Anak yang dibawah usia 2 tahun masih sangat

memerlukan perawatan ibunya, baik perawatan makanan

maupun perawatan kesehatan dan kasih sayang, jika dalam

masa 2 tahun itu ibu sudah hamil lagi, maka bukan saja

perhatian ibu terhadap anak akan menjadi berkurang akan

tetapi air susu ibu (ASI) yang masih sangat dibutuhkan anak

akan berhenti keluar.

Anak yang belum dipersiapkan secara baik untuk

menerima makanan pengganti ASI, yang kadang-kadang mutu

gizi makanan tersebut juga sangat rendah, dengan penghentian

pemberian ASI karena produk ASI berhenti, akan lebih

22

beresiko menderita gizi buruk, bila tidak segera diperbaiki

maka akan menyebabkan kematian. Karena alasan inilah dalam

usaha meningkatkan kesejahteraan keluarga, disamping

diperbaiki gizi juga perlu dilakukan usaha untuk mengatur

jarak kelahiran (Arisman, 2007).

f. Kekurangan energi dan protein

Beberapa penyebab kurangnya energi dan protein menurut

Marimbi (2010), yaitu:

1) Makanan yang tersedia kurang mengandung energi

2) Nafsu makan anak terganggu, sehingga tidak mau makan

3) Gangguan dalam saluran pencernaan, sehingga

penyerapan sari makanan dalam usus terganggu

4) Kebutuhan yang meningkat, misalnya karena penyakit

infeksi yang tidak diimbangi dengan asupan yang

memadai.

Kekurangan energi dan protein mengakibatkan

pertumbuhan dan perkembangan balita terganggu. Gangguan

asupan gizi yang bersifat akut menyebabkan anak kurus kering

yang disebut dengan wasting yaitu berat badan anak tidak

sebanding dengan tinggi badan anak. Jika kekurangan ini

bersifat menahun (kronik) artinya sedikit demi sedikit tetapi

dalam jangka yang lama maka akan menjadi keadaan yang

stunting (anak menjadi pendek dan tinggi badan tidak sesuai

23

dengan usia walaupun secara sekilas anak tidak kurus)

(Marimbi, 2010).

g. Faktor Ekonomi

Menurut Sulistyoningsih (2012), variabel ekonomi yang

cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi pangan adalah

pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya pendapatan

akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan

kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya dengan

penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya

beli pangan baik secara kualitas maupun dengan kuantitas.

Menurut Sulistyoningsih (2012), meningkatnya taraf hidup

sejahtera (masyarakat), pengaruh promosi dari iklan serta

kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya

hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru dikalangan

masyarakat ekonomi menengah ke atas. Tingginya pendapatan

yang tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup

akan menyebabkan seseorang menjadi komsumtif dalam pola

makanannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan

makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan selera

dibandingkan aspek gizi.

Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan yang

akan dibeli. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula

persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk

membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan

24

lainnya. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi

kuantitas dan kualitas. Antara penghasilan dan gizi, jelas ada

hubungan yang menguntungkan. Pengaruh peningkatan

penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi

keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi

yang berlawanan hampir universal (Sulistyoningsih, 2012).

h. Faktor Sosial Budaya

Menurut Sulistyoningsih (2012), pantangan yang didasari

oleh kepercayaan pada umumnya mengandung perlambang

atau nasehat yang dianggap baik ataupun tidak baik yang

lambat laun akan menjadi kebiasaan atau adat. Kebudayaan

satu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk

mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah

pangan yang akan dikonsumsi.

Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku

dan kebutuhan dasar biologinya, termasuk kebutuhan terhadap

pangan. Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan

apa yang akan dimakan, bagaimana pengolahannya, persiapan

dan penyajiannya. Kebudayaan juga menentukan seseorang

boleh dan tidak boleh mengonsumsi suatu makanan

(Sulistyoningsih, 2012).

Kebutuhan terhadap pangan yang masih sering dipercaya

oleh masyarakat yaitu adanya pantangan untuk mengkonsumsi

makanan yang diwariskan dari nenek moyang, padahal nilai

25

gizi yang terkandung didalamnya sangat baik untuk tubuh.

Sebagai orang tua, harus lebih aktif untuk memilih makanan

yang banyak mengandung gizi yang baik untuk balita yang

sangat diperlukan pada masa pertumbuhan dan

perkembangannya (Atikah, 2009).

i. Agama

Menurut Sulistyonngsih (2012), pantangan didasari agama,

adanya pantangan terhadap makanan dan minuman tertentu

dari sisi agama dikarenakan makan atau minuman tersebut

membahayakan jasmani dan rohani bagi yang

mengonsumsinya. Konsep halal dan haram sangat

mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang akan

dikonsumsi. Perayaan hari besar agama juga mempengaruhi

bahan makanan yang akan disajikan.

Dalam hal ini, baik diperhatikan untuk asupan makanan

yang akan diberikan pada balita, karena pada dasarnya

makanan yang sudah diharamkan akan menjadi suatu masalah

jika masih diberikan pada balita dan mencegah akan timbulnya

efek alergi pada tubuh balita. Kandungan gizi yang belum

tentu baik untuk masa balita yang masih dalam pertumbuhan

dan perkembangannya (Arisman, 2007).

j. Pendidikan

Menurut Sulistyoningsih (2012), pendidikan dalam hal ini

biasanya dikaitkan dengan pengetahuan akan berpengaruh

26

terhadap pemilihan bahan makanan. Salah satu contoh, prinsip

yang dimiliki seseorang dalam pendidikan rendah biasanya

adalah yang penting menyenangkan, sehingga porsi bahan

makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan

dengan kelompok bahan makanan lain. Sebaliknya, kelompok

orang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan

memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha

menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain.

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting.

Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan

tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, higiene

pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran

terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya.

Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial

ekonomi lainya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan

hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat

pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka

peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan

metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga,

pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap

adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil

tindakan secepatnya (Sulistyoningsih, 2012).

27

k. Lingkungan

Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya dengan

pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang berupa

lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi dari media

elektronik maupun cetak. Kebiasaan makan dalam keluarga

sangat berpengaruh besar terhadap pola makan seseorang

(Sulistyoningsih, 2012).

Lingkungan memberikan pengaruh yang nyata dalam

pemilihan asupan makanan yang akan pilih. Oleh karena itu,

sebagai orang tua harus lebih mengarahkan anak-anaknya,

khususnya balita karena pada masa ini balita lebih suka

memilih-milih makanan yang dia anggap lebih enak dan lezat,

yang belum tentu terpenuhinya status gizinya (Sulistyoningsih,

2012).

l. Infeksi

Penyakit infeksi merupakan penyakit yang banyak

berhubungan dengan terjadinya kekurangan gizi di negara

berkembang. Infeksi yang sering terjadi pada anak adalah

penyakit saluran pernafasan atas, bawah, diare dan kulit.

Menurut Riskesdas (2013) penyakit pernafasan prevalensi

32,1% kedua tertinggi terbanyak morbiditas di Indonesia,

sedangkan diare umumnya 9,6%. Adanya penyakit infeksi

tersebut merupakan faktor penyebab tingginya angka kematian

bayi dan balita di Indonesia. Anak-anak yang sering menderita

28

penyakit infeksi menyebabkan pertumbuhannya terhambat dan

tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal.

Dalam pemenuhan asupan makanan pada balita yang

sedang sakit harus diperhatikan dengan seksama, karena

asupan yang seimbang sangat diperlukan dalam masa

penyembuhan agar tidak terjadi permasalahan yang

berkelanjutan seperti masalah status gizi pada balita (Istiany,

2013).

m. Pola Pengasuhan

Pengasuhan didefinisikan sebagai cara memberi makan,

merawat anak, membimbing dan mengajari anak yang

dilakukan oleh individu dan keluarga (UNICEF, 1998). Pada

dasarnya pengasuhan merupakan interaksi antara subyek dan

obyek untuk membimbing, mengarahkan dan mengajarkan

obyek sehari-hari secara rutin, sehingga dapat merupakan

sebuah pola. Menurut Istiany dan Rusilanti (2013), pengasuhan

diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan

kemauan si pengasuh.

Menurut Istiany dan Rusilanti (2013) usia balita

merupakan masa yang sangat menentukan hari depan anak.

Kekurangan gizi pada saat ini akan mengakibatkan gangguan

pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, sehingga perlu

perhatian khusus. Menurut Istiany dan Rusilanti (2013), faktor

yang cukup dominan yang menyababkan meluasnya keadaan

29

gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar dikalangan

masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada

anggota keluarganya, terutama kepada anak-anak. Peran ibu

selaku pengasuh dan pendidik di dalam keluarga dapat

mempengaruhi tumbuh kembang anak positif maupun negatif,

karena dalam berinteraksi dengan anak sehari-hari, seorang ibu

dapat memainkan berbagai peran yang secara langsung akan

berpengaruh pada anak.

2.1.3 Perkembangan

1. Pengertian

Perkembangan (development) adalah bertambahnya

kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai

hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses

diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan

sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-

masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan

emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan

lingkungannya (Soetjiningsih, 2004).

2. Macam Perkembangan Anak

Menurut Hurlock (2009) macam perkembangan anak adalah:

a. Perkembangan motorik kasar

b. Perkembangan motorik halus

c. Perkembangan intelegensi

30

d. Perkembangan sosial dan emosi

e. Perkembangan bahasa

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan menurut

Supartini (2004), antara lain:

a. Faktor genetik

Faktor pertumbuhan yang dapat diturunkan (herediter)

adalah jenis kelamin, ras dan kebangsaan. Ras atau suku

bangsa dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

anak.

b. Faktor lingkungan eksternal

1) Lingkungan pranatal

Beberapa kondisi lingkungan dalam uterus yang dapat

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin

adalah gangguan nutrisi karena ibu kurang mendapat gizi

adekuat baik secara kuantitas maupun kualitas, gangguan

endokrin, ibu yang menderita terapi sitostatika atau yang

mengalami infeksi. Intinya apa yang dialami oleh ibu akan

berdampak pada kondisi pertumbuhan dan perkembangan

fetus.

2) Pengaruh budaya lingkungan

Budaya keluarga atau masyarakat akan mempengaruhi

bagaimana mereka mempersepsikan dan memahami

kesehatan serta berperilaku hidup sehat. Pola perilaku ibu

31

yang sedang hamil dipengaruhi oleh budaya yang

dianutnya, misalnya adanya beberapa larangan untuk

makanan tertentu padahal zat gizi tersebut diperlukan

untuk pertumbuhan janin.

3) Status sosial dan ekonomi keluarga

Anak yang berada dan dibesarkan dalam lingkungan

keluarga yang sosial ekonominya rendah, bahkan punya

banyak keterbatasan untuk memberi makanan yang

bergizi, membayar biaya pendidikan, dan memenuhi

kebutuhan primer lainnya, tentunya keluarga akan

mendapat kesulitan untuk membantu anak mencapai

tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang

optimal sesuai dengan tahapan usiannya.

4) Gizi

Tumbuh dan kembang anak membutuhkan zat gizi

yang esensial mencakup protein, lemak, karbohidrat,

mineral, vitamin, dan air yang harus dikonsumsi secara

seimbang, dengan jumlah yang sesuai pada tahapan

usianya. Khusus selama periode pertumbahan dan

perkembangan yang cepat seperti masa pranatal, usia bayi,

atau remaja akan membutuhkan lebih banyak kalori dan

protein. Anak dapat mengalami hambatan pertumbuhan

dan perkembangannya hanya karena kurang adekuatnya

asupan zat gizi tersebut.

32

Asupan gizi yang berlebih juga menimbulkan dampak

yang buruk pula bagi kesehatan anak, misalya terjadi

penumpukan kadar lemak yang berlebihan dalam

sel/jaringan, bahkan pada pembuluh darah sehingga bila

anak sakit, pertumbuhan dan perkembangannya juga akan

terganggu

5) Iklim atau cuaca

Iklim tertentu dapat mempengaruhi status kesehatan

anak, seperti pada musim penghujan yang dapat

menimbulkan bahaya banjir pada daerah tertentu, akan

menyebakan sulitnya transportasi sehingga sulit

mendapatkan bahan makanan, bahkan timbul berbagai

macam penyakit menular, yang dapat mengancam semua

orang termasuk bayi dan anak-anak. Status kesehatan anak

tentunya akan berdampak pada proses petumbuhan dan

perkembangannya.

6) Posisi anak dalam keluarga

Posisi anak sebagai anak tunggal, anak sulung, anak

tengah, atau anak bungsu akan mempengaruhi bagaimana

pola anak tersebut diasuh dan dididik dalam keluarga.

Anak tungal tidak mempunyai teman bicara dan

beraktivitas kecuali dengan orang tuanya, oleh karena itu,

perkembangan motorik anak tunggal lebih lambat karena

33

tidak ada stimulasi untuk melakukan aktivitas fisik yang

biasanya dilakukan oleh saudara kandungnya.

c. Faktor internal

1) Kecerdasan

Kecerdasan dimiliki anak sejak ia dilahirkan. Anak

yang dilahirkan dengan tingkat kecerdasan yang rendah

tidak akan mencapai prestasi yang cemerlang walaupun

stimulus yang diberikan lingkungan sedemikian tinggi.

Sementara anak yang dilahirkan dengan tingkat

kecerdasan yang tinggi dapat didorong oleh stimulus

lingkungan untuk berprestasi secara cemerlang.

2) Pengaruh hormonal

Ada tiga hormon utama yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu hormon

somatotropik (growth hormone) hormon tiroid, dan

hormon gonadotropin.

d. Periode tumbuh kembang balita

Pada masa balita, kecepatan pertumbuhan mulai menurun

dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik (gerak

kasar dan gerak halus) serta fungsi ekskresi. Periode penting

dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa balita.

Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan

mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak

selanjutnya. Setelah lahir terutama pada 3 tahun pertama

34

kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel otak masih

berlangsung, dan terjadi pertumbuhan serabut-serabut syaraf

dan cabang-cabangnya sehingga terbentuk jaringan syaraf dan

otak yang kompleks. Jumlah dan pengaturan hubungan-

hubungan antar sel syaraf ini akan sangat mempengaruhi

segala kinerja otak, mulai dari kemampuan belajar, berjalan,

mengenal huruf, hingga bersosialisasi (Dep Kes RI, 2005).

e. Penilaian Perkembangan.

Menurut Soetjiningsih (2004), DDST (Denver

Deelopmental Screening Test) adalah salah satu metode

skrining terhadap kelainan perkembangan anak, tes ini

bukanlah tes diagnostik atau tes IQ. DDST memenuhi semua

persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yang baik.

Tes ini mudah dan cepat (15-20 menit), dapat diandalkan dan

menunjukkan validitas yang tinggi.

Penelitian Kartikaningsih (2009) menunjukkan bahwa

DDST tidak dapat mengidentifikasi lebih separoh anak dengan

kelainan bicara. Frankenburg melakukan revisi dan

restandarisasi kembali DDST dan juga tugas perkembangan

pada sektor bahasa ditambah, dan kemudian hasil revisi dari

DDST tersebut dinamakan Denver II.

f. Aspek perkembangan yang dinilai

Terdiri dari 105 tugas perkembangan pada DDST dan

DDST-R yang kemudian pada Denver II dilakukan revisi dan

35

restandarisasi dari DDST sehingga terdapat 125 tugas

perkembangan. Semua tugas perkembangan itu disusun

berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4

kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang

meliputi:

1) Personal social (perilaku sosial).

2) Fine motor adaptive (gerakan motorik halus).

3) Language (bahasa).

4) Gross motor (motorik kasar).

g. Petunjuk pelaksanaan DDST II

Pada format tes terdapat skala usia yang melintas dari atas

kebawah, menggambarkan usia dalam bulan dan tahun sejak

lahir sampai umur 6 tahun. Masing-masing ruang diantara

tanda umur pada skala ini interval 1 bulan dan 3 bulan. Tiap

gugus tugas/uji coba (sebanyak 125 buah) didapatkan dalam 1

gambar kotak segi empat panjang yang terdapat batas usia

dimana 25%, 50%, 75% dan 90% dari sampel standar/baku.

1) Batangan

a) Menunjukkan standar anak normal bisa melakukan

tugas/tes item ini sesuai dengan usia.

b) Ada beberapa item bertanda L, menunjukkan bahwa

kita bisa memperoleh skor dari orang tua.

c) Nomor kecil disebelah kiri, bisa melihat petunjuk

pelaksanaan pada halaman dibaliknya.

36

2) Hal-hal yang perlu diperhatikan

a) Lakukan tes dari sektor yang kurang aktif terlebih

dahulu: personal sosial, motorik halus, bahasa dan

motorik kasar

b) Mulailah dari yang mudah dilakukan, jika anak

kurang tepat melakukan beri stimulus dan lakukan tes

ulang.

c) Tes yang menggunakan alat yang sama dilakukan

secara berurutan

d) Tes dilakukan untuk setiap sektor, dan mulailah dari

sebelah kiri garis umur terus ke kanan

3) Bila ada resiko perkembangan

a) Lakukan paling sedikit 3 test yang paling dekat

disebelah garis umur serta tiap test yang ditembus

garis umur pada setiap sektor.

b) Bila anak tidak mampu untuk melakukan salah satu

pertama (gagal, menolak, No Opportunity), lakukan

test tambahan kesebelah kiri pada sektor yang sama

sampai anak dapat melewati 3 test

4) Bila anak lebih relatif kemampuan

a) Pada setiap sektor dilakukan paling sedikit 3 test yang

paling dekat kesebelah kiri garis umur dan test yang

ditembus garis umur

37

b) Lanjutkan test kekanan dari setiap test yang dalam

satu sektor hingga tercapai 3 gagal

c) Tiap test dilakukan 3 kali sebelum ditemukan gagal.

5) Skor yang di pakai pada DDST II

a) P: Pass/lewat

(1) Anak malakukan test dengan baik

(2) Ibu atau pengasuh memberi laporan L, tepat atau

dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukan.

b) F: Fail/gagal

(1) Anak tidak dapat melakukan test dengan baik

(2) Ibu atau pengasuh memberi laporan tepat, bahwa

anak tidak dapat melakukan dengan baik.

c) NO: No Opportunity/tidak ada kesempatan, dimana

anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan

test karena ada hambatan.

d) R: Refusal/menolak, dimana anak menolak untuk

melakukan test.

6) Interpretasi dari nilai DDST II

a) Penilaian lebih (advance), bila seorang anak “lewat”

pada uji coba yang terletak dikanan garis umur.

Dinyatakan perkembangan anak lebih pada uji coba

tes, karena anak “lewat” pada uji coba dimana

kebanyakan anak lainnya belum “lewat”.

38

b) Penilaian normal, bila seorang anak “gagal” atau

“menolak” melakukan uji coba disebelah kanan garis

umur, perkembangan anak dinyatakan normal pada uji

coba yang dilakukan. Anak tidak diharapkan “lewat”

sampai umurnya lebih tua.

c) Penilaian peringatan (caution), bila seorang anak

“gagal” atau “menolak” uji coba dimana garis umur

terletak pada atau antara persentil 75 dan 90.

d) Penilaian keterlambatan/tertunda (delayed), bila

seorang anak “gagal” atau “menolak” melakukan uji

coba yang terletak lengkap disebelah kiri garis umur,

karena anak ‘gagal” atau “menolak” uji coba dimana

90% anak-anak umur lebih dini.

e) Penilaian tidak ada kesempatan (No Opportunity), uji

coba yang dilaporkan orang tua, bahwa anak tidak ada

kesempatan untuk melakukan atau mencoba.

7) Interpretasi hasil test DDST II

a) Normal:

(1) Bila tidak ada keterlambatan/delays dan ada paling

banyak satu peringatan/caution

(2) Lakukan ulangan pada kontrol kesehatan

berikutnya

39

b) Suspect

(1) Bila didapatkan satu atau lebih delays

(keterlambatan) dan/atau dua atau lebih caution

(peringatan) ( 1 “F” dan/atau ≥ 2 “C”).

(2) Lakukan uji ulang dalam 1-2 minggu untuk

menghilangkan faktor sesaat seperti: rasa takut,

keadaan sakit atau kelelahan.

c) Untestable/tidak dapat diuji

(1) Bila ada penolakan pada satu uji coba atau lebih

disebelah kiri garis umur (≥ 1 “R”) atau penolakan

pada lebih dari satu uji coba yang ditembus garis

umur pada daerah 75-90% (> 1 “R”)

(2) Uji ulang dalam 1-2 minggu untuk menghilangkan

faktor sesaat seperti: rasa takut, keadaan sakit atau

kelelahan.

h. Perkembangan motorik

Perkembangan motorik yaitu perkembangan pengendalian

gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan

saraf, otot, otak, dan spinal cord. Menurut Hurlock (2009),

perkembangan motorik meliputi:

1) Motorik kasar, yaitu kemampuan melakukan suatu kegiatan

dengan menggunakan sebagian otot seperti leher,

tengkurap, duduk dan berdiri

40

2) Motorik halus, yaitu kemampuan yang dilakukan oleh

bagian-bagian tubuh tertentu dan hanya melibatkan

sebagian kecil otot tubuh. Gerakan halus ini tidak

memerlukan banyak tenaga tetapi memerlukan kerjasama

antara mata dan anggota badan, contoh menggapai,

memasukkan benda ke mulut, memegang sendok dan lain-

lain.

i. Perkembangan motorik halus anak pada anak usia 3-5 tahun.

Kemampuan motorik halus adalah kemampuan yang

berhubungan dengan keterampilan fisik yang melibatkan otot

kecil dan koordinasi mata-tangan. Saraf motorik halus ini dapat

dilatih dan dikembangkan melalui kegiatan dan rangsangan yang

kontinu secara rutin. Seperti, bermain puzzle, menyusun balok,

memasukan benda ke dalam lubang sesuai bentuknya, membuat

garis, melipat kertas dan sebagainya. Kecerdasan motorik halus

anak berbeda-beda. Dalam hal kekuatan maupun ketepatannya.

Biasanya anak dengan motorik kasar yang sangat baik

mempunyai kelemahan dan ketidakoptimalan dalam motorik

halus (Wong, 2009). Keterampilan motorik halus adalah

gerakan-gerakan yang melibatkan jari, tangan dan pergelangan

tangan, dan membantu bayi belajar untuk mengasah

keterampilan dapat menjadi sederhana dan menyenangkan untuk

bayi dan orang tua.

41

Genetik atau bakat alamiah merupakan faktor utama dalam

menentukan kemampuan motorik seorang anak. Sedangkan

faktor lingkungan (orang tua) merupakan faktor penujang dalam

kecerdasan motorik halus anak. Lingkungan dapat

meningkatkan ataupun menurunkan taraf kecerdasan anak,

terutama pada masa-masa pertama kehidupannya (Soetjiningsih,

2005).

Setiap anak mampu mencapai tahap perkembangan motorik

halus yang optimal asal mendapatkan stimulasi tepat. Di setiap

fase, anak membutuhkan rangsangan untuk mengembangkan

kemampuan mental dan motorik halusnya. Semakin banyak

yang dilihat dan didengar anak, semakin banyak yang ingin

diketahuinya. Jika kurang mendapatkan rangsangan anak akan

bosan. Tetapi bukan berarti anda boleh memaksa si kecil.

Tekanan, persaingan, penghargaan, hukuman, atau rasa takut

dapat mengganggu usaha dilakukan si kecil.

Perkembangan kemampuan motorik halus anak usia 3-5

tahun:

1) Menggambar mengikuti bentuk

2) Menarik garis vertikal, menjiplak bentuk lingkaran

3) Menggunting zig zag, melengkung, membentuk dengan lilin

4) Menyelesaikan pasel (puzzle) 4 keping

5) Melipat

6) Menggunting sesuai pola

42

7) Menyusun mainan konstruksi bangunan

8) Mewarnai lebih rapi tidak keluar garis

9) Meniru tulisan

Bila mengalami keterlambatan atau kemampuannya tidak

sesuai tahapan usianya maka orangtua tidak perlu cemas.

Selama bukan yang terlalu ekstrim ketertinggalannya intervensi

dan stimulasi gerakan motorik sejak dini sangat penting dan

membantu mengoptimalkan kemampuan motorik halus bayi.

Bila keterlambatan tersbut dirasakan cukup berat atau tidak

ringan tidak ada salahnya melakukan konsultasi dengan dokter

anak, untuk memastikan apakah keterlambatan tersebut perlu

dilakukan terapi atau intervensi.

2.2 Keaslian Penelitian

Tabel 2.2 Keaslian Penelitian

No Nama peneliti Judul Metode Hasil

1. Mahrifatul

Nurfita

Anggraeni

(2014)

Perkembangan

motorik halus

pada anak usia 3-5

tahun berdasarkan

status gizi di Desa

Sindurjan

Kecamatan

Purworejo

Kabupaten

Purworejo

analitik

korelasi

dengan

rancangan

cross sectional

study

Terdapat hubungan

antara status gizi anak

dengan perkembangan

motorik halus pada

anak usia 3-5 tahun di

Desa Sindurjan

Kecamatan Purworejo

Kabupaten Purworejo

Tahun 2013 (p: 0,000 <

a: 0,05).

2. Lampita Dyah

Kartikaningsih

Gangguan

perkembangan

Peneliti

menggunakan

Ada hubungan antara

status gizi dengan

43

No Nama peneliti Judul Metode Hasil

motorik halus

pada balita kurang

gizi di Kecamatan

Sumberjambe

Kabupaten

Jember

metode

proportional

stratified

random

sampling. Data

yang

terkumpul

dianalisis

dengan

menggunakan

metode

analisis

Contingency

Coefficient

perkembangan motorik

halus pada anak balita

di Kecamatan

Sumberjambe

Kabupaten Jember.

44

2.3 Kerangka Teori

Keterangan :

= yang tidak diteliti

= diteliti

Gambar: 2.2 Kerangka TeoriModifikasi Marimbi (2010), Sulistyoningsih (2012), Istiany dan Rusilanti

(2013)

Faktor-faktor :

Faktor genetik

Faktor lingkungan

Faktor budaya

Jarak kelahiran

Faktor ekonomi

Tingkat pendidikan

Pola asuh

Infeksi

Gizi balita

Protein

Lemak

Karbohidrat

Mineral

Vitamin

Air

StatusGizi

Balita

Perkembanganmotorik

Kasar

Halus

45

2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel dependen

Gambar 2.3 Kerangka konsep penelitian

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian

telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Dikatakan sementara karena

jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori (Sugiyono, 2009).

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

Ho : Tidak ada hubungan antara status gizi dengan perkembangan

motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen.

H1/Ha : Ada hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik

halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen.

Status gizi Perkembangan motorik halus

46

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah analitik korelasi, yaitu metode penelitian

yang menggambarkan suatu keadaan secara objektif untuk melihat hubungan

antara dua variabel pada suatu situasi atau kelompok tertentu (Notoatmodjo,

2010). Sedangkan desain penelitian menggunakan studi potong lintang (cross

sectional study) yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel

independen dan variabel dependen hanya sekali, pada saat pengukuran

(Nursalam, 2003). Metode penelitian ini digunakan untuk mengetahui

hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik halus.

3.2 Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia 3-5

tahun yang yang berdomisili di Puskesmas Miri - Sragen sebanyak 55

posyandu terdiri dari 163 anak.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen sebanyak 62

anak.

46

47

3. Tehnik Sampling

Tehnik sampling adalah suatu tehnik pengambilan sampel yang

akan digunakan dalam penelitian (Arikunto, 2006). Tehnik sampling

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cluster sampling,

artinya pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan pertimbangan

kelompok, bukan individu. Pertimbangan kelompok dilakukan dengan

memilih secara acak 5 posyandu dari 55 posyandu yang ada di wilayah

Puskesmas Miri-Sragen. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian

ini dihitung berdasarkan rumus Slovin dalam Notoatmojo (2010) yaitu:

)(1:

2dN

Nn

n: besar sampel

N: besar populasi

d: tingkat kesalahan (0,1)

Sehingga besar sampel adalah:

)1,0(1631

163:

2n

n: 61,97 dibulatkan menjadi 62 responden

Penentuan sampel pada penelitian ini didasarkan pada kriteria

inklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti

untuk meminimalkan bias pemilihan sampel (DepKes RI, 2006).

Kriteria inklusi adalah sebagai berikut:

1. Anak yang tidak memiliki sakit fisik maupun cacat bawaan

2. Anak yang waktu lahir tidak BBLR

48

Kriteria eksklusi merupakan ciri-ciri anggota populasi yang tidak

dapat dijadikan sebagai sampel (DepKes RI, 2006). Kriteria eksklusi

dalam penelitian ini adalah anak yang tidak diijinkan mengikuti

penelitian ini.

Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut:

1. Anak yang dalam keadaan sakit saat dilakukan penelitian (demam,

Flu, cacar, ISPA, diare)

2. Meninggal atau pindah tempat tinggal.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Miri – Sragen. Waktu penelitian

bulan September 2014 sampai dengan Mei 2015.

3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran

Tabel 3.1 Definisi Operasional

VariabelDefinisi

OperasionalAlat ukur Hasil Ukur Skala

Independen

Status Gizi

Keadaan tubuh

balita yang

dinilai

menggunakan

indeks

antropometri

berat badan

menurut umur

Timbangan

injak

(digital)

Di kategorikan:

Gizi buruk (< -3 SD),

Gizi kurang (-3SD sampai < -2SD),

Gizi baik (-2SD sampai 2 SD),

Gizi lebih (> 2SD) (Kemenkes,

2010).

Ordinal

Dependen

Perkemban

gan

Kemampuan

yang

berhubungan

Mengguna-

kan formulir

DDST

Perkembangan motorik halus

dinilai sebagai berikut:

1. Penilaian lebih (advance), bila

Ordinal

49

VariabelDefinisi

OperasionalAlat ukur Hasil Ukur Skala

motorik

halus

dengan

ketrampilan

fisik yang

melibatkan

otot-otot kecil,

koordinasi

mata dan

tangan seperti

menggambar

mengikuti

bentuk,

menjiplak

bentuk, dan

mewarnai lebih

rapi tidak

keluar garis.

Denver II

untuk

menilai

perkembang

an motorik

halus

seorang anak “lewat” pada uji

coba yang terletak dikanan garis

umur.

2. Penilaian normal, bila seorang

anak “gagal” atau “menolak”

melakukan uji coba disebelah

kanan garis umur.

3. Penilaian peringatan (caution),

bila seorang anak “gagal” atau

“menolak” uji coba dimana

garis umur terletak pada atau

antara persentil 75 dan 90.

4. Penilaian

keterlambatan/tertunda

(delayed), bila seorang anak

“gagal” atau “menolak”

melakukan uji coba yang

terletak lengkap disebelah kiri

garis umur, karena anak ‘gagal”

atau “menolak” uji coba dimana

90% anak-anak umur lebih dini.

5. Penilaian tidak ada kesempatan

(No Opportunity), uji coba yang

dilaporkan orang tua, bahwa

anak tidak ada kesempatan

untuk melakukan atau mencoba.

50

3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

3.5.1 Alat Penelitian

Pada penelitian ini data yang dikumpulkan menggunakan kuesioner

dan observasi. Kuesioner yang berisi Bagian A tentang karakteristik

responden yaitu usia, jenis kelamin. Bagian B berisi data tentang status

gizi anak dan bagian C adalah penilaian Denver II . Pengambilan data

status gizi dengan pengukuran berat badan, alat yang digunakan dengan

timbangan injak (digital) yang dibandingkan dengan umur. Pengisian

lembar Denver II diisi oleh peneliti sendiri, untuk memudahkan dalam

pengkategorian status gizi anak usia 3-5 tahun di wilayah Puskesmas

Miri Kabupaten Sragen.

3.5.2 Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer adalah data atau materi yang dikumpulkan sendiri

peneliti pada saat berlangsungnya penelitian (Arikunto, 2006). Data

primer dengan melakukan pengukuran terhadap berat badan anak

dan memberikan kuesioner tentang usia anak, serta mengukur

perkembangan motorik halus dengan menggunakan tes skrining

perkembangan menurut Denver II. Dengan menggunakan penilaian

sebagai berikut :

a. Penilaian lebih (advance), bila seorang anak “lewat” pada uji

coba yang terletak dikanan garis umur.

b. Penilaian normal, bila seorang anak “gagal” atau “menolak”

melakukan uji coba disebelah kanan garis umur.

51

c. Penilaian peringatan (caution), bila seorang anak “gagal” atau

“menolak” uji coba dimana garis umur terletak pada atau antara

persentil 75 dan 90.

d. Penilaian keterlambatan/tertunda (delayed), bila seorang anak

“gagal” atau “menolak” melakukan uji coba yang terletak

lengkap disebelah kiri garis umur, karena anak ‘gagal” atau

“menolak” uji coba dimana 90% anak-anak umur lebih dini.

e. Penilaian tidak ada kesempatan (No Opportunity), uji coba yang

dilaporkan orang tua, bahwa anak tidak ada kesempatan untuk

melakukan atau mencoba.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan dari suatu lembaga

atau instrumen (Arikunto, 2006). Data sekunder dalam penelitian

adalah data literatur yang terkait dengan penelitian ini.

3. Langkah-langkah Pengumpulan Data

a. Peneliti mengajukan surat pengantar penelitian kepada Ketua

Program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada

Surakarta.

b. Setelah mendapatkan ijin penelitian dari Kepala Puskesmas Miri

– Sragen, peneliti melakukan kegiatan penelitian dengan

mengumpulkan responden di posyandu, responden yang tidak

dapat hadir dalam waktu penelitian akan dikunjungi ke rumahnya.

c. Responden dipilih secara acak pada 5 posyandu dari 55 posyandu

yang ada di Wilayah Puskesmas Miri-Sragen.

52

d. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Posyandu balita dengan

bantuan dari kader kesehatan untuk mengumpulkan responden.

e. Memberikan penjelasan kepada orang tua responden tentang

tujuan penelitian dan dimohonkan bantuannya untuk mengizinkan

anaknya menjadi responden, bila bersedia orang tua responden

dipersilahkan menandatangani lembar persetujuan.

f. Peneliti mulai mencari data dengan melihat status gizi responden

dengan melakukan penimbangan berat badan, mencatat usia dan

jenis kelamin responden, kemudian melakukan tes perkembangan

motorik kasarnya dengan menggunakan formulir DDST dan

hasilnya dicatat pada lembar observasi.

g. Jika terdapat anak yang rewel saat dilakukan pengumpulan data

maka peneliti bersama denga orang tua berusaha membujuk

dengan beberapa mainan dan jajan yang disukai oleh anak-anak.

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

3.6.1 Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Editing

Koreksi atau editing yaitu mengkoreksi data yang telah

dikumpulkan dari responden sebagai langkah persiapan sebelum data

diolah (Arikunto, 2006). Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi

data hasil observasi untuk melihat kebenaran pengisian dan

53

kelengkapan pengisian lembar. Pemeriksaan ini dilakukan di tempat

observasi sehingga bila ada kekurangan segera dapat dilengkapi.

2. Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi

angka atau bilangan. Masing-masing variabel penelitian diberi kode

selanjutnya dimasukkan dalam lembar tabel kerja untuk

mempermudah entri data komputer. Untuk status gizi dengan kriteria

lebih diberi kode 4, status gizi baik diberikan kode 3, gizi kurang

diberikan kode 2, dan status gizi buruk diberikan kode 1. Untuk

perkembangan motorik halus dengan kriteria advance diberi kode 5,

normal diberikan kode 4, peringatan diberikan kode 3, keterlambatan

diberikan kode 2 dan kategori tidak ada kesempatan diberikan

kode 1.

3. Tabulating

Kegiatan memasukan data hasil penelitian dalam klasifikasi

tabel sesuai dengan kriteria agar lebih mudah dalam entry data.

4. Entry data

Peneliti memasukkan data ke dalam komputer untuk selanjutnya

dilakukan analisa data dengan menggunakan program bantuan

komputer.

3.6.2 Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap

jenis variabel dari hasil penelitian. Pada penelitian ini, analisis data

akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dari variabel

54

bebas yaitu jenis kelamin, status gizi pada anak balita dan variabel

terikat adalah perkembangan motorik halus pada anak balita usia 3-

5 tahun dan variabel usia responden akan disajikan dalam tabel

rerata.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk

mengetahui hubungan antara status gizi dengan perkembangan

motorik halus. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji statistik

bivariat dengan menggunakan korelasi Spearman.

Interpretasi hasil:

Untuk uji korelasi Spearman digunakan derajat kepercayaan

(Confident Interval 95%), dan batas kemaknaan alfa 5% (0,05):

1. Bila diperoleh p ≤ 0,05, berarti secara statistik ada hubungan

yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

2. Bila p > 0,05 berarti secara statistik tidak ada hubungan yang

signifikan antara variabel bebas dengan variabel.

3.7 Etika Penelitian

3.7.1 Informed consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan diberikan kepada orang tua responden yang

akan diteliti dengan kriteria memenuhi sampel disertai judul dan

manfaat penelitian, bila orang tua responden menolak maka peneliti

tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden. Infomed

consent berisi tentang identitas peneliti, tujuan penelitian, alasan

55

pemilihan sampel, tata cara penelitian, resiko dan ketidaknyamanan

penelitian, manfaat penelitian, kerahasiaan penelitian, kerahasiaan data,

jumlah sampel yang diperlukan kesukarelaan, kemungkinan timbul

biaya dan kontak penelitian.

3.7.2 Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga identitas responden, peneliti tidak mencantumkan

namanya pada lembar obserasi, cukup memberi nomor kode pada

masing-masing lembar observasi.

3.7.2 Confidential (rahasia)

Kerahasiaan informasi dan hasil penelitian dari setiap responden

dijamin oleh peneliti. Data yang sudah selesai digunakan akan

disimpan.

56

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Puskesmas Miri Sragen pada bulan Februari 2015

pada anak usia 3-5 tahun. Berdasarkan kriteria sampel dan persyaratan dalam

pemilihan sampel ditentukan sebanyak 62 responden.

4.1 Analisis Univariat

4.1.1 Gambaran Usia Anak 3-5 Tahun

Tabel 4.1. Tabel Nilai Tengah, Pemusatan Dan Penyebaran DataUsia Anak di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015.

Variable N Median Min-maksUsia anak 62 47,00 36-59

Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa nilai tengah usia anak usia 3-5 di

Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 didapatkan rata-rata usianya

adalah 47 bulan dengan usia termuda adalah 36 bulan dan usia tertua

adalah 59 bulan.

4.1.2 Gambaran Pendidikan Ibu

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015

Tingkatpendidikan

Frekuensi Persentase

SD 10 16,1SMP 11 17,7SMA 21 33,9PT 20 32,3Jumlah 62 100,0

56

57

Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar pendidikan ibu

responden adalah SMA sebanyak 21 anak (33,9%), dan didapatkan

juga pendidikan ibu yang masih Sekolah Dasar sebanyak 10

responden (16,1%).

4.1.3 Gambaran Status Gizi Anak

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status GiziAnak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun2015

Status gizi anak Frekuensi PersentaseGizi buruk 0 0Gizi kurang 3 4,8Gizi normal 58 93,5Gizi lebih 1 1,6Jumlah 62 100,0

Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa sebagian besar status gizi anak usia

3-5 tahun adalah gizi normal sebanyak 58 anak (93,5%), namun

demikian masih didapatkan juga anak dengan status gizi kurang

sebanyak 3 responden (4,8%).

4.1.4 Gambaran Perkembangan Motorik Halus Pada Anak

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanPerkembangan Motorik Halus Anak Usia 3-5 Tahun diPuskesmas Miri Sragen Tahun 2015

Perkembangan motorikhalus pada anak

Frekuensi Persentase

Keterlambatan 3 4,8Peringatan 2 3,2Normal 56 90,3Advance 1 1,6Jumlah 62 100,0

Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa sebagian besar perkembangan

motorik halus anak usia 3-5 tahun adalah normal sebanyak 56 anak

58

(90,3%), namun demikian masih didapatkan juga anak dengan

perkembangan motorik halus pada kategori keterlambatan sebanyak 3

responden (4,8%).

4.2 Analisi Bivariat

Tabel 4.5. Hubungan Antara Status Gizi Anak Dengan PerkembanganMotorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas MiriSragen Tahun 2015

Variable Nilai r Nilai pStatus gizi anak dengan perkembanganmotorik halus

0,601 0,0001

Uji Spearman Rank didapatkan nilai koefisien korelasi (nilai r) sebesar 0,601

dan nilai signifikansi (nilai p) sebesar 0,0001 diartikan bahwa terdapat

hubungan antara status gizi anak dengan perkembangan motorik halus pada

anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 (p vaue < 0,05).

Dan nilai koefisien korelasi dapat diartikan bahwa antara kedua variable

memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kekuatan hubungan pada

tingkat kuat (nilai r berada pada rentang 0,51-0,75) (Hastono, 2007).

59

BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis akan membahas beberapa temuan yang didapatkan selama

penelitian. Penelitian dilakukan terhadap 62 responden di Puskesmas Miri

Kabupaten Sragen.

5.1 Analisis Univariat

5.1.1 Status Gizi

Hasil penelitian terhadap 62 anak usia 3-5 tahun diketahui

bahwa sebagian besar status gizi anak usia 3-5 tahun adalah gizi

normal sebanyak 58 anak (93,5%), namun demikian masih didapatkan

juga anak dengan status gizi kurang sebanyak 3 responden (4,8%).

Menurut kerangka yang di susun oleh WHO (2010), terjadinya

kekurangan gizi dalam hal ini gizi kurang dan gizi buruk lebih

dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, asupan makanan yang secara

langsung berpengaruh terhadap kejadian status gizi. Pengetahuan dan

pendidikan orang tua juga merupakan salah satu faktor yang secara

tidak langsung dapat berpengaruh terhadap status gizi anak (Herwin,

2004).

Hasil penelitian data yang diperoleh di Puskesmas Miri Sragen

sebagian besar balita mengalami gizi normal yaitu sebanyak 58 anak

(93,5%). Di dalam penelitian ini yang paling besar adalah balita yang

berstatus gizi normal. Hal ini didukung pendapat Supariasa (2006)

bahwa gizi baik pada anak ditentukan oleh perhatian yang diberikan

59

60

oleh orang tua kepada anaknya. Bentuk perhatian tersebut didapatkan

ibu melalui beberapa hal, misalnya pengalaman merawat anak,

informasi tentang pertumbuhan anak sehingga dapat meningkatkan

mutu kualitas status gizi anak.

Selain perhatian orang tua, faktor pendidikan orang tua pun

berpengaruh terhadap status gizi anak dan pendidikan (Supariasa,

2006). Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian dimana

pendidikan ibu responden terbanyak adalah SMA sebanyak 33,9%,

bahkan ibu yang memiliki pendidikan perguruan tinggi sebanyak

32,3%. Hal ini sesuai dengan pendapat Devi (2010) bahwa peranan

wanita dalam mengasuh dan membesarkan anak begitu penting,

sehingga membuat pendidikan bagi perempuan menjadi sangat berarti.

Studi-studi menunjukkan adanya korelasi signifikan antara tingkat

pendidikan ibu dan status gizi anaknya. Manfaat kesehatan dan gizi

bagi anak dalam jangkapanjang akan memberikan manfaat yang lebih

baik serta menurunkan tingkat fertilitas bagi anak dimasa dewasa yang

diakibatkan oleh investasi status gizi pada usia dini merupakan

investasi dalam sektor pembangunan dimasa depan.

Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting di dalam

status gizi balita. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi bisaanya lebih

paham dan mengerti tentang status gizi yang baik bagi anaknya,

pendidikan bagi anaknya dan tingkat kesehatan bagi anaknya pula,dan

untuk mencapai satus gizi yang baik maka di perlukan zat makanan

61

yang adekuat makanan yang kurang baik juga mempengaruhi di dalam

di dalam status gizi anak (Anwar, 2009).

Pengetahuan ibu merupakan salah satu faktor penting di dalam

status gizi anak. Ibu yang memiliki pengetahuan baik akan lebih

mengetahui tentang status gizi yang baik bagi anaknya serta tingkat

kesehatan yang baik bagi anaknya. Dan untuk mencapai satus gizi

yang baik maka diperlukan zat makanan yang adekuat makanan yang

kurang baik juga mempengaruhi di dalam status gizi anak (Anwar,

2009).

Menurut Supariasa (2006) keadaan gizi seorang dipengaruhi

oleh faktor-faktor yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan.

Dimana konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan makanan dan

tersedianya bahan makanan. Status gizi balita merupakan hal penting

yang harus diketahui oleh setiap orang tua, perlunya perhatian lebih

dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang

gizi yang terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible (tidak dapat

pulih).

Responden yang memiliki status gizi kurang didapatkan

sebanyak 3 responden (4,8%). Meskipun angkanya cukup kecil, tetapi

adanya balita yang mengalami gizi kurang merupakan masalah yang

besar. Gizi kurang yang terjadi pada balita dapat disebabkan salah

satunya karena faktor kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak, kemiskinan

berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang

62

jelek dan ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan

keluarga di dalam menyediakan makanan. Pekerjaan ibu menyebabkan

permasalahan yang dilematis di satu sisi ibu di tuntut untuk menunjang

perekonomian keluarga, sementara di sisi lain status gizi anak juga

memerlukan perhatian yang khusus. Oleh karena itu seorang ibu

bersikap bijak dalam menentukan prioritas yang akan dipilih, tanpa

mengabaikan hak anak untuk mendapatkan gizi yang baik (Depkes,

2007).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Devi (2010) yang

menemukan bahwa status ekonomi keluarga memiliki pengaruh

terhadap status gizi balita. Ekonomi kemiskinan dan kurang gizi

merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena itu

meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan

upaya peningkatan ekonomi.

5.1.2 Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun

Hasil penelitian pada 62 anak menunjukkan bahwa sebagian

besar perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun adalah normal

sebanyak 56 anak (90,3%), namun demikian masih didapatkan juga

anak dengan perkembangan motorik halus pada kategori keterlambatan

sebanyak 3 responden (4,8%). Hasil penelitian yang paling besar

adalah balita yang memiliki perkembangan motorik halus dalam

kategori normal. Perkembangan motorik halus pada anak usia sekolah

berbeda pada setiap individu, terdapat anak usia 3-5 tahun yang

63

perkembangan motorik halusnya mengalami keterlambatan sebanyak

(4,8%).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik

halus adalah jenis kelamin. Dalam hal ini jenis kelamin memiliki

pengaruh yang sangat besar. Anak perempuan lebih cepat mengalami

perkembangan motorik halus dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal

ini di dukung oleh Supariasa (2006) bahwa jenis kelamin di tentukan

sejak awal dalam kandungan (fase konsepsi) dan setelah lahir, anak

laki-laki pada usia 3-5 tahun cenderung lebih suka terhadap kreatifitas

yang menggunakan kemampuan secara fisik dibandingkan dengan

anak perempuan.

Selain jenis kelamin perkembangan juga di pengaruhi oleh

pendidikan orang tua. Dengan pendidikan orang tua yang cukup, maka

orang tua lebih memperhatikan akan perkembangan anaknya di dalam

melakukan perkembangan motorik halusnya. Pendidikan orang tua

merupakan salah satu faktor pendidikan yang penting dalam tumbuh

kembang anak ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka menerima

informasi dari luar cara mengasuh anak yang baik, pendidikan anak

yang baik dan sebagainya. Pendidikan ibu akan mempengaruhi

perkembangan jika ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang

pengasuhan anaknya serta adanya interaksi yang harmonis antara anak

dan ibunya tanpa serta merta itu pendidikan ibu yang tinggi tidak serta

merta mempengaruhi (Soetjiningsih, 2004).

64

Menurut Georgieef (2007), otak manusia mengalami perubahan

struktural dan fungsional yang luar bisaa, sel-sel otak mulai terbentuk

pada trimester pertama kehamilan dan berkembang pesat dalam

kehamilan. Perkembangan ini berlangsung saat setelah lahir hingga

usia 2-3 tahun. Dan untuk mencapai agar tumbuh kembang yang baik

maka di perlukan zat gizi yang baik pula, makanan yang tidak baik

akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas yang akan menyebabkan

gizi kurang, keadaan gizi yang kurang akan mengakibatkan perubahan

struktural dan fungsional pada otak sehingga akan mengganggu di

dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.

Hasil penelitian perkembangan motorik halus anak usia 3-5

tahun dengan menggunakan Denver II, kemampuan motorik halus

yang dapat dicapai oleh anak usia 3-5 tahun yang perkembangan

motorik halusnya baik dengan melatih koordinasi antara otak dengan

ketrampilan anggota tubuh seperti meniru garis vertical (95% bisa

melakukan, 5% gagal), membentuk menara dari kubus (87% bisa

melakukan, 13% gagal), menggoyang ibu jari (61% bisa melakukan,

39% gagal), mencontoh lingkaran (55% bisa melakukan, 45% gagal),

menggambar orang 3 bagian (47% bisa melakukan, 53% gagal),

mencontoh garis menyilang (52% bisa melakukan, 48% gagal),

memilih garis yang lebih panjang (60% bisa melakukan, 40% gagal),

mencontoh persegi yang ditunjukkan (100% gagal), menggambar

orang dan bagian (100% gagal), mencontoh persegi (100% gagal).

65

Hasil penelitian perkembangan motorik halus terhadap anak

usia 3-5 tahun dapat dilihat bahwa terdapat aktifitas yang dapat

dilakukan dan beberapa aktifitas yang belum dapat dilakukan. Aktifitas

yang bisa dilakukan merupakan aktifitas yang memang seharusnya

sudah dapat dilakukan pada usia balita tersebut, sedangkan aktifitas

yang gagal dilakukan merupakan aktifitas berikutnya yang memang

anak masih butuh untuk belajar. Kegagalan dalam melakukan aktifitas

yang didapatkan selama penelitian bukan merupakan kegagalan karena

keterlambatan, melainkan karena anak memang belum melewati usia

untuk dapat diukur dengan aktifitas tersebut. Setiap ketrampilan yang

dilakukan memerlukan koordinasi antara otak dengan kegiatan yang

dilakukan untuk menghasilkan ketrampilan tertentu. Memasuki usia

tahun ketiga, ketrampilan anak mulai ditingkatkan (Moehyi, 2008).

Ada beberapa faktor di antaranya adalah jenis kelamin yang

kebanyakan mayoritas adalah laki-laki, status gizi yang kebanyakan

adalah status gizi baik, pekerjaan orang tua yang mayoritas adalah

karyawan/ swasta dan pendidikan orang tua yang kebanyakan adalah

SLTP sehingga dapat mempengaruhi di dalam status gizi terhadap

perkembangan motorik halus balita.

Masyarakat masih banyak yang belum mengetahui perbedaan

motorik halus dan motorik kasar pada anak, terkadang mereka hanya

memperhatikan perkembangan motorik kasarnya saja yang

mengakibatkan motorik halusnya tidak diperhatikan, sehingga sering

66

di temukan anak dengan perkembagan motorik kasar yang bagus

namun motrik halusnya kurang baik (Trihadi, 2010).

Hasil penelitian didapatkan terdapat 3 responden (4,8%) yang

mengalami keterlambatan motorik halus. Keterlambatan motorik halus

dapat dipengaruhi karena kurangnya stimulus yang diberikan pada

anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Trihadi (2010) bahwa stimulus

orang tua yang dilakukan terhadap anak secara rutin akan mampu

meningkatkan kemampuan anak untuk memenuhi kebutuhannya secara

mandiri seperti memilih baju sendiri dan memakai baju sendiri.

Peneliti memiliki pandangan yang sejalan dengan hasil penelitian

Trihadi (2010) bahwa rangsangan stimulus yang dilakukan terus

menerus akan mampu meningkatkan ketrampilan motorik halus pada

balita.

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Halus Balita

Usia 3-5 Tahun

Hasil penelitian terhadap 62 anak didapatkan nilai koefisien

korelasi (nilai r) sebesar 0,601 dan nilai signifikansi (nilai p) sebesar

0,0001. Nilai p dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara status

gizi anak dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5

tahun di Puskesmas Miri Sragen (α: 0,05) dan nilai koefisien korelasi

dapat diartikan bahwa antara kedua variabel memiliki hubungan yang

positif dengan tingkat kekuatan hubungan pada tingkat kuat. Di dalam

67

penelitian ini status gizi sangat berhubungan dengan perkembangan

motorik halus balita karena untuk mencapai perkembangan anak

dibutuhkan koordinasi otak yang berkaitan dengan zat gizi otak yang

didapatkan dari status gizi anak tersebut.

Perkembangan motorik sangat dipengaruhi oleh organ otak.

Otak mengatur setiap gerakan yang dilakukan anak. Semakin

matangnya perkembangan system saraf otak yang mengatur otot

memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik

anak (Endah, 2008). Untuk mengatur otak dan yang juga penting untuk

fungsi motorik normal, kedua struktur tersebut adalah sereblum dan

ganglia basalis. Sereblum berperan penting dalam menentukan saat

aktivitas motorik halus dari penglihatan kemudian diterjemahkan

dengan menirukan apa yang anak liat. Kekurangan gizi secara umum

baik kuantitas maupun kualitas menyebabkan gangguan pada proses-

proses dalam struktur dan fungsi otak. Otak mencapai bentuk

maksimal salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi makanan.

Kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara

permanen (Almatsier, 2005).

Selain itu status gizi kurang dapat menyebabkan seseorang

kekurangan tenaga untuk bergerak dan melakukan aktivitas, orang

menjadi malas dan lemah karena kekurangan gizi (Almatsier, 2005).

Levitsky dan Strup (2009) pada penelitiannya mengungkapkan bahwa

kurang gizi menyebabkan isolasi diri (fungsional isolation) yaitu

mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak

68

(conserve energy) dengan mengurangi kegiatan interaksi sosial,

aktivitas, perilaku, perhatian dan motivasi, anak menjadi tidak aktif.

Aplikasi teori ini adalah bahwa pada keadaan Kurang Energi

dan Protein (KEP) anak menjadi tidak aktif, apatis dan tidak mampu

berkonsentrasi akibatnya anak dalam melakukan kegiatan eksprolasi

lingkungan fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar saja,

dibandingkan dengan anak yang gizinya baik yang mampu melakukan

dengan waktu yang lama. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori

Supartini (2004) bahwa asupan gizi juga penting bagi anak usia 1-3

tahun, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan.

Apabila balita mengalami kekurangan gizi akan sangat mempengaruhi

pertumbuhannya, dan apabila pertumbuhnya terganggu maka masa

perkembanganya juga akan terganggu.

69

BAB VI

PENUTUP

6.1. Simpulan

6.1.1.Usia anak usia 3-5 di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 didapatkan

rata-rata usianya adalah 47 bulan dengan usia termuda adalah 36 bulan

dan usia tertua adalah 59 bulan.

6.1.2.Sebagian besar pendidikan ibu responden adalah SMA sebanyak 21

anak (33,9%), dan didapatkan juga pendidikan ibu yang masih

Sekolah Dasar sebanyak 10 responden (16,1%).

6.1.3.Sebagian besar status gizi anak usia 3-5 tahun adalah gizi normal

sebanyak 58 anak (93,5%), dan didapatkan juga anak dengan status

gizi kurang sebanyak 3 responden (4,8%).

6.1.4.Sebagian besar perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun

adalah normal sebanyak 56 anak (90,3%), namun demikian masih

didapatkan juga anak dengan perkembangan motorik halus pada

kategori keterlambatan sebanyak 3 responden (4,8%).

6.1.5.Terdapat hubungan antara status gizi anak dengan perkembangan

motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri Sragen

(nilai r: 0,601; nilai p: 0,0001).

69

70

6.2. Saran

6.2.1. Bagi Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan memberikan latihan ketrampilan penilaian

perkembangan motorik halus kepada mahasiswa sebagai salah satu

kompetensi mahasiswa perawat dengan memasukkan ketrampilan

pada kompetensi keperawatan anak dan dievaluasi kemampuan

mahasiswanya melalui uji ketrampilan klinis.

6.2.2. Bagi Puskesmas

Perlunya kunjungan terhadap pemantauan tumbuh kembang

anak berdasarkan data yang ada pada buku kartu menuju sehat pada

saat kegiatan posyandu atau lomba balita sehat meliputi

perkembangan motorik halus dan status gizinya, sehingga akan dapat

mencegah kemungkinan komplikasi dan keterlambatan

perkembangan motorik halus yang dialami oleh anak.

6.2.3. Bagi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan perlu melakukan observasi dan monitoring

terhadap status gizi dengan perkembangan pada anak secara

intensive pada anak usia 3-5 tahun yang dilakukan secara periodik

setiap bulannya melalui kegiatan Posyandu dan dapat juga dengan

menyediakan klinik balita sehat di fasilitas pelayanan kesehatan

primer (Puskesmas).

6.2.4. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat dijadikan data dasar bagi penelitian

selanjutnya yang berhubungan dengan status gizi dan perkembangan

71

motorik halus pada anak usia 3-5 tahun dengan memperhatikan

rekomendasi dari penelitian ini.

6.2.5. Bagi ibu balita

Ibu balita dapat secara aktif berkunjung ke posyandu atau

tenaga kesehatan untuk memeriksakan perkembangan motorik halus

serta dapat secara mandiri memberikan stimulasi perkembangan

motorik halus kepada anaknya.

72

DAFTAR PUSTAKA

Abiba, A., Grace, A.N.K., & Kubreziga, K.C. (2012). Effects of dietary patternson the nutritional status of upper primary school children in tamalemetropolis. Pakistan Journal of Nutrition, 11(7), 591-609. Diunduhtanggal 18 Oktober 2014. doi:http://search.proquest.com/docview/1371296743?accountid=38628

Almatsier, S., (2003), Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anggraeni, M.N. (2014). Perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahunberdasarkan status gizi di desa sindurjan kecamatan purworejo kabupatenpurworejo. Gizi dan Kesehatan, Vol 6 No 2. Diunduh tanggal 20 Oktober2014. Ngudi Waluyo, Ungaran.

Anwar, S., (2000), Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka PelajarOffset.

Ariawan, I., (1998), Besar Sampel Penelitian, FKM UI, Jakarta

Arisman, MB. (2007). Gizi dalam Kehidupan. Jakarta : EGC.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, R.I. (2008). Riskesda LaporanNasional 2007.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan DasarRiskesdas 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

BKKBN, (2006), Konsep tumbuh kembang anak dan remaja. Jakarta: SagungSeto; 2002.

Choirunisa, (2009), Usaha pelayanan kesehatan anak dalam membina keluargasejahtera. 2008. http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-chairuddin22.pdf.diperoleh Diunduh 11 Juli 2013.

Depkes RI, (2005), Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Anak Balita. Jakarta:Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

Depkes RI, (2006), Stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak ditingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta

Dinkes Jateng, (2012), Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012.

DINKES Prov Jateng. (2013). Data informasi kesehatan jawa tengah 2013.

71

73

Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, (2004), Pedoman pelaksanaan stimulasideteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanankesehatan dasar. Jakarta.

Drossard, C., et al. (2011). Anthocyanins in the diet of infants and toddlers:Intake, sources and trends. ProQuest Nursing & Allied Health Source.(14366207). Retrieved Dec 2011, from Springer Science & BusinessMedia, http://search.proquest.com/docview/903840165?accountid=38628,diunduh tanggal 18 oktober 2014

Hurlock, E. (2009). Perkembangan anak (Edisi 6. Jilid I ed.). Jakarta: PTErlangga.

Istiany, Ari, & Ruslianti. (2013). Penilaian Status Gizi dalam Gizi terapan.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Kartikaningsih, L.D. (2009). Gangguan perkembangan motorik halus pada balitakurang gizi di kecamatan sumberjambe kabupaten jember. (Skripsi),Universitas Jember, Jember.

Kartini, (2007), Ilmu gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Kayyisa, (2009), Penilaian pertumbuhan dan perkembangan anak. Jakarta:Sagung Seto; 2002.

Kemenkes (2010), Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, DirektiratJenderal Bina Gizi dan Kesehatan ibu dan anak. Jakarta

Laksana, (2011), Efektifitas pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan, sikapdan keterampilan ibu dalam pemantauan balita di kelurahan Sukaramaibanda Aceh. Jakarta: FKM-UI; 2009.

Marimbi. (2010). Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar padaBalita. Yogyakarta : Nuha Medika

Moehyi, S., (2008), Bayi sehat dan cerdas melalui gizi dan makanan pilihan.Jakarta: Pustaka Mina

Muaris. H. (2006). Sarapan Sehat Untuk Anak Balita. Jakarta : PT GramediaPustaka Utama

Notoatmojo, S., (2010), Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam, (2003), Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam PraktekKeperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam, & Pariani, S., (2005), Metode Riset Penelitian. Cetakan I. Jakarta:Sagung Seto.

74

Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang anak (I. G. Ranuh Ed.). Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC.

Suharsimi, A., (2005), Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. EdisiRevisi 5. Jakarta Jakarta: Rineka Cipta.

Sulistyaningsih. (2012). Metotologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif Kualitatif.Yogyakarta : Graha Ilmu

Supariasa, I.N.D., (2002), Penilaian status gizi pada anak. Jakarta: EGC.

Supartini, Y., (2004), Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC

Sutomo, B & Anggraini, D. Y., (2010), Makanan Sehat Pendamping ASI.Demedia.Jakarta.

Sutrisno. (2003). Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit Buku KedokteranEGC.

Uripi, Vera. (2004). Menu Sehat Untuk Balita. Jakarta : Puspa Suara.

WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2011). Pelayanan KesehatanAnak di Rumah Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat.Pertama. Jakarta : WHO dan IDAI

Wiryo, (2002), Dampak penggunaan modul terhadap pengetahuan danketerampilan keluarga dalam menstimulasi tumbuh kembang anak. JawaTengah: Unsoed. 2006;1(2): 83-90.

Wong, D.L., (2009), Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa:

Monica Ester. Edisi 4. Jakarta: EGC.

75