his-agu2005- (2)

6
 rtikel 10  HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) Wara Sinuhaji Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005  Orang Karo dan Niaga Roda-Roda Bundar Wara Sinuhaji Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU  Etnis Karo di Sumatera Utara adalah s alah satu suku bangsa di kawasan itu yang sangat menonjol kemampuannya dalam bidang aktivitas perekonomian dan enterpreneur.Mereka sangat bersifat economic minded dan mempunyai penghasilan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain di Sumatera Utara, termasuk para imigran Jawa dan penduduk asli Melayu. Mereka terkenal sebagai masyarakat  yang memiliki kemampuan untuk be rinovasi ke arah peningkatan ekonomi dan tingkat kehidupan tinggi. Realita yang tertangkap dari kehidupan ekonomi Indonesia adalah munculnya kehidupan ekonomi modern dan ekonomi tradisiona l, atau masih memperlihatkan adanya ciri-ciri dualistik. 1  Kehidupan kedua sektor perekonomian ini tetap pada kodratnya masing-masing, yaitu ekonomi modern tetap melakukan akumulasi permodalan, sedangkan ekonomi tradisional mengalami stagnasi dan subsisten. Masyarakat tradisional atau penduduk asli  berpendapat bahwa kebutuhan manusia terbatas atau limited wants. Apabila kebutuhan yang terbatas ini sudah terpenuhi maka tidak ada lagi keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, oleh karena itu tidak akan ada sikap baru terhadap kesempatan ekonomi lainnya. 2  Beberapa orang ahli yang setuju pada teori dualisme Boeke ini mengatakan bahwa orang Indonesia asli, setidak-tidaknya orang Jawa jarang menjadi enterpreneur  yang baik karena kurang peka terhadap rangsangan-rangsangan ekonomi, dan kurang  berani mengambil resiko dan kurang menghargai imbalan-imbalan kebendaan. Der Kroef salah seorang  pakar sosial ekonomi yang setuju atas pendapat ini menyatakan bahwa perkembangan usaha enterpreneur  di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pengertian tingkat kesejahteraan tradisional yang ditentukan oleh faktor-faktor budaya ditambah berbagai akibat negatif dari kebijaksanaan pemerintah dan perkembangan  perusahaan-perusa haan asing, telah mengakibatkan terhambatnya perkembangan enterpreneur.  Jika kita kilas balik sejenak ke awal pasca revolusi kemacetan  pertumbuhan perekonomiam Indonesia disebabkan adanya ribuan perusahaan kecil yang bergerak di  berbagai bidang dan dijalankan oleh orang yang 1 Menurut Boeke, masyarakat yang memiliki dua gaya sosial berbeda dan hidup berdampingan, maka dalam proses evolusi sejarah normal kedua gaya sosial tersebut mewakili suatu tahap transisi, misalnya masyarakat sebelum kapitalisme dan masyarakat kapitalisme. Masyarakat kapitalisme maju dipisahkan oleh masyarakat kapitalisme awal. Dalam masyarakat dualistis, satu dari dua sistem yang berdampingan itu selalu lebih maju yang berasal dari luar, dan mengalami perkembangan di lingkungan yang baru tanpa berlaku bagi masyarakat tersebut. Untuk lebih jelasnya  periksa J.Boeke,  Economic Policy of Dual Societies, Hearlem: Tjeenk Willinkand Zoon, 1953, Hal.2-6 2 Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran  Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1994, hal. 68-78 enggan untuk melampaui batas-batas proses ekonomi tradisional. Pada masa sesudah itu tepatnya awal kemerdekaan dan dua puluh tahun kemudian, kemajuan enterpreneur  Indonesia secara keseluruhan menghadapi banyak rintangan, terutama disebabkan oleh kurangnya faktor-faktor penunjang seperti keterampilan dalam bidang manajemen, organisasi dan teknologi dari masyarakat pribumi. Dalam kurun waktu itu, pemerintah Indonesia sangat menyadari kurangnya aktivitas-aktivitas enterpreneur  terutama di lingkungan golongan pribumi. Walupun banyak rintangan tetapi usaha peningkatan enterpreneur   berjalan terus. Secara umum, terdapat beberapa suku  bangsa Indonesia yang menonjol perannya dalam sektor usaha dan perdagangan. Dan kelihatan pula  bahwa di antara para pe ngusaha dari suku-suku ba ngsa tersebut terdapat banyak enterpreneurnya. Beberapa di antaranya adalah orang-orang Minangkabau, Karo, Bugis, di samping itu ada golongan masyarakat Jawa yang mengindentifikasikan diri merek a dari golongan santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 3  Etnis Karo di Sumatera Utara adalah salah satu suku bangsa di kawasan itu yang sangat menonjol kemampuannya dalam bidang aktivitas perekonomian dan enterpreneur. Salah satu contoh adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh D.H. Penny dan Masri Singarimbun mengenai aktivitas petani di daerah Karo, mereka sangat bersifat economic minded  dan mempunyai penghasilan yang jauh lebih tinggi  jika dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain di Sumatera Utara, termasuk para imigran Jawa dan Melayu. Mereka terkenal sebagai masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berinovasi ke arah  peningkatan ekonomi dan tingkat kehidupan tinggi. 4  Setelah taraf kehidupan sosial ekonominya meningkat 3  Mengenai masyarakat santri lebih jauh lihat, Clifford Geertz,  Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1998, hal. 162-289. Juga lihat Meutia F. Swasono, “  Enterpreneurship di Indonesia” dalam Berita Antropologi: Terbitan Khusus Enterprenuership, Thn.VII No.23 September 1975, hal. 78- 79. 4  D.H. Penny dan Masri Singarimbun,” Economic Activity Among The Karo Batak of Indonesia: A Case Study in Economic Change” dalam Bulletin of Indonesia Economic Studies, Canberra: Australian National University, Vol.6, Februari, 1976, hal.31-46

Transcript of his-agu2005- (2)

Page 1: his-agu2005- (2)

7/26/2019 his-agu2005- (2)

http://slidepdf.com/reader/full/his-agu2005-2 1/5

 

rtikel

10

 

HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) Wara SinuhajiEdisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005

 

Orang Karo dan Niaga Roda-Roda Bundar

Wara Sinuhaji

Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU

 Etnis Karo di Sumatera Utara adalah salah satu suku bangsa di kawasan itu yang sangat menonjol

kemampuannya dalam bidang aktivitas perekonomian dan enterpreneur.Mereka sangat bersifat economic

minded dan mempunyai penghasilan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain di

Sumatera Utara, termasuk para imigran Jawa dan penduduk asli Melayu. Mereka terkenal sebagai masyarakat

 yang memiliki kemampuan untuk berinovasi ke arah peningkatan ekonomi dan tingkat kehidupan tinggi.

Realita yang tertangkap dari kehidupan

ekonomi Indonesia adalah munculnya kehidupanekonomi modern dan ekonomi tradisional, atau masihmemperlihatkan adanya ciri-ciri dualistik.

1 Kehidupan

kedua sektor perekonomian ini tetap pada kodratnyamasing-masing, yaitu ekonomi modern tetap

melakukan akumulasi permodalan, sedangkanekonomi tradisional mengalami stagnasi dan

subsisten. Masyarakat tradisional atau penduduk asli berpendapat bahwa kebutuhan manusia terbatas ataulimited wants.  Apabila kebutuhan yang terbatas inisudah terpenuhi maka tidak ada lagi keinginan untukmendapatkan penghasilan yang lebih besar, olehkarena itu tidak akan ada sikap baru terhadapkesempatan ekonomi lainnya.2 

Beberapa orang ahli yang setuju pada teori

dualisme Boeke ini mengatakan bahwa orangIndonesia asli, setidak-tidaknya orang Jawa jarang

menjadi enterpreneur   yang baik karena kurang peka

terhadap rangsangan-rangsangan ekonomi, dan kurang berani mengambil resiko dan kurang menghargaiimbalan-imbalan kebendaan. Der Kroef salah seorang

 pakar sosial ekonomi yang setuju atas pendapat inimenyatakan bahwa perkembangan usaha enterpreneur  

di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pengertiantingkat kesejahteraan tradisional yang ditentukan olehfaktor-faktor budaya ditambah berbagai akibat negatifdari kebijaksanaan pemerintah dan perkembangan perusahaan-perusahaan asing, telah mengakibatkanterhambatnya perkembangan enterpreneur.  Jika kita

kilas balik sejenak ke awal pasca revolusi kemacetan pertumbuhan perekonomiam Indonesia disebabkan

adanya ribuan perusahaan kecil yang bergerak di berbagai bidang dan dijalankan oleh orang yang

1Menurut Boeke, masyarakat yang memiliki dua gaya

sosial berbeda dan hidup berdampingan, maka dalam proses evolusi

sejarah normal kedua gaya sosial tersebut mewakili suatu tahaptransisi, misalnya masyarakat sebelum kapitalisme dan masyarakat

kapitalisme. Masyarakat kapitalisme maju dipisahkan oleh

masyarakat kapitalisme awal. Dalam masyarakat dualistis, satu daridua sistem yang berdampingan itu selalu lebih maju yang berasal

dari luar, dan mengalami perkembangan di lingkungan yang baru

tanpa berlaku bagi masyarakat tersebut. Untuk lebih jelasnya periksa J.Boeke,  Economic Policy of Dual Societies,  Hearlem:

Tjeenk Willinkand Zoon, 1953, Hal.2-62Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran

 Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan EkonomiPembangunan, Jakarta: LP3ES, 1994, hal. 68-78

enggan untuk melampaui batas-batas proses ekonomi

tradisional.Pada masa sesudah itu tepatnya awal

kemerdekaan dan dua puluh tahun kemudian,kemajuan enterpreneur   Indonesia secara keseluruhanmenghadapi banyak rintangan, terutama disebabkan

oleh kurangnya faktor-faktor penunjang sepertiketerampilan dalam bidang manajemen, organisasi

dan teknologi dari masyarakat pribumi. Dalam kurunwaktu itu, pemerintah Indonesia sangat menyadarikurangnya aktivitas-aktivitas enterpreneur  terutama dilingkungan golongan pribumi. Walupun banyakrintangan tetapi usaha peningkatan enterpreneur   berjalan terus. Secara umum, terdapat beberapa suku bangsa Indonesia yang menonjol perannya dalam

sektor usaha dan perdagangan. Dan kelihatan pula bahwa di antara para pengusaha dari suku-suku bangsatersebut terdapat banyak enterpreneurnya. Beberapadi antaranya adalah orang-orang Minangkabau, Karo,

Bugis, di samping itu ada golongan masyarakat Jawayang mengindentifikasikan diri merek a dari golongan

santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur.3 

Etnis Karo di Sumatera Utara adalah salahsatu suku bangsa di kawasan itu yang sangat menonjol

kemampuannya dalam bidang aktivitas perekonomiandan enterpreneur.  Salah satu contoh adalahsebagaimana yang diungkapkan oleh D.H. Penny danMasri Singarimbun mengenai aktivitas petani didaerah Karo, mereka sangat bersifat economic minded  dan mempunyai penghasilan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain diSumatera Utara, termasuk para imigran Jawa dan

Melayu. Mereka terkenal sebagai masyarakat yangmemiliki kemampuan untuk berinovasi ke arah peningkatan ekonomi dan tingkat kehidupan tinggi.

Setelah taraf kehidupan sosial ekonominya meningkat

3 Mengenai masyarakat santri lebih jauh lihat, Clifford

Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta:

Pustaka Jaya, 1998, hal. 162-289. Juga lihat Meutia F. Swasono, “ Enterpreneurship di Indonesia” dalam Berita Antropologi: Terbitan

Khusus Enterprenuership, Thn.VII No.23 September 1975, hal. 78-

79.4  D.H. Penny dan Masri Singarimbun,” Economic

Activity Among The Karo Batak of Indonesia: A Case Study in

Economic Change” dalam Bulletin of Indonesia Economic Studies, 

Canberra: Australian National University, Vol.6, Februari, 1976,hal.31-46

Page 2: his-agu2005- (2)

7/26/2019 his-agu2005- (2)

http://slidepdf.com/reader/full/his-agu2005-2 2/5

Page 3: his-agu2005- (2)

7/26/2019 his-agu2005- (2)

http://slidepdf.com/reader/full/his-agu2005-2 3/5

 

rtikel

12

 

HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) Wara SinuhajiEdisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005

 

 petani ke tempat-tempat komersil.10

  Demikian jugatingginya tingkat arus produksi komoditi ekspor pertanian tentu tidak lepas dari meningkatnya saranatransportasi.

Situasi dan peluang usaha pengangkutan ini

segera dimanfaatkan petani-petani Karo yangkelebihan modal, mereka tidak lagi menginvestasikanuangnya ke dalam bentuk yang tidak produktif danmati seperti beberapa dekade lampau. Selainmemerlukan simbol status sebagai orang yang telah

sukses, keuntungan yang diperoleh akandiinvestasikan dalam bentuk usaha yang diharapkanmendapat laba sehingga akumulasi modal akan berputar dan berkembang. Alternatif terbaik menurut pandangan mereka adalah meng-investasikan dalam bentuk usaha transportasi, baik bus maupun truk.

Selain tidak memerlukan teknis manajemen yangrumit dan mudah mengawasinya, juga usaha ini dapat

dioperasikan secara sambilan.Dalam konteks ini kelihatan nilai kultural

lama masih melekat, tetapi diaplikasikan dalam wujud baru, individu-individu Karo yang sukses banyak

membeli truk dan bus. Status pemilik satu atau lebih bus atau truk manjadikannya “toke” atau kalak bayak  

(orang kaya). Anehnya masih sangat jarang orangKaro yang memiliki mobil pribadi karena dianggapsebagai sumber pemborosan, dan tentunya penolakanyang demikian juga tidak dapat dipisahkan dari budaya hemat. Selain mendapat status terhormat danterpandang di masyarakat, petani dan pedagang yang

demikian memandang dengan jujur, fungsinya ituuntuk membuka lapangan kerja dan tidak semata-matamencari keuntungan saja karena penghasilan yang pokok dihasilkan dari hasil utama yang lain. Setiap bus, katanya berarti memberi lapangan kerja kepadaorang lain, seorang supir dan dua orang kondektur.

Karena sektor usaha ini dianggap sambilan,maka faktor hubungan kekerabatan atas lancarnya jalan bus atau truk memainkan peranan yang sangat penting. Tidak sembarangan dan tiap orang bisamenjadi supir, sebab di mata mereka supir adalahorang terhormat (seorang pilot) dan berperan penting

atas keselamatan milik mereka yang sehari-hari hilir-mudik dari satu tempat ke tempat lain. Untuk itu

dicarilah di antara kaum kerabat dekat, supir yangmemiliki kredibilitas dapat dipercaya, kepadanyadiberi hak penuh atas lancarnya operasional bus dantruk. Selain mendapat penghasilan yang untuk ukuransaat itu cukup memuaskan dia juga berhak sepenuhnyamencari tenaga yang dipekerjakan sebagai kondektur.

Semua penghasilan dari hasil operasional sehari-harisetelah dipotong biaya operasional disetor oleh supir

10 Bukan hanya di Karo, di mana-mana sebelum abad ke-20 maupun sesudahnya pertumbuhan laju ekonomi semakin cepat

setelah sarana infrastruktur transportasi dipersiapkan. Lihat, Thee

Kian Wie, Plantataion Agriculture and Expor Growth:an Economic

 History of East Sumatera 1863-1942, PhD Thesis, the University ofWicanstin, 1969, hal. 89-109.

kepada pemilik. Selain mendapat upah jasa per harisupir dan kondektur setiap akhir bulan menerimasejumlah gaji, dan hari-hari tertentu jika ada perayaan- perayaan nasional maupun lokal seperti kerja tahunan,

atas dasar sukarela majikan memberikan bonus dalam

 jumlah tertentu.Tingginya tingkat produksi komoditi ekspor

Karo tentunya tidak dapat dipisahkan dari peranan petani sebagai produsen, demikian juga tingkat pendapatan mereka yang tinggi pada gilirannya

menimbulkan arus peredaran uang yang tinggi pula.Dan secara ekonomis sudah barang tentu akanmenyentuh semua aspek dan sektor kehidupan lain.Semakin banyak tingkat mobilitas tingkat sosial petanike arah sektor lain terutama bidang perdagangan danlebih spesifik bisnis truk dan bus, maka sudah barang

tentu tumbuh dan berkembang pula semacamdiversifikasi usaha sektor lain yang saling berkaitan

antara satu dengan lainnya. Terutama di Kabanjahedan Berastagi, muncul sejumlah pertokoan mem- perdagangkan alat-alat mobil, yang selain dimilikioleh orang-orang Cina juga ada yang dimiliki

 pengusaha pribumi setempat. Demikian juga pabrikvulkanisir ban, bengkel, galon minyak dan lain-lain.

Selain muncul supir-supir yang handal dan terampil, banyak juga montir-montir cakap dan serba bisa, baikuntuk memperbaiki maupun memodifikasi mesin bensin maupun diesel, karoseri truk, bus dan lain-lain.

Selanjutnya karena berawal dari usahasambilan yang akhirnya mendatangkan laba, maka

 banyak pula di antara mereka yang menetapkankegiatan ini menjadi usaha permanen dan dikelolasecara lebih profesional dalam bentuk individual,maupun menjadi salah satu anggota perusahaanmaupun koperasi yang khusus bergerak di bidangtransportasi, terutama bus dan truk serta taksi.

Akhirnya muculnya perusahaan-perusahaan busseperti; Sigantang Sira, Sinar Tani, Burung Nuri,Mejuah-juah, Swif, Family Taksi, Tani, Saudara,Perusahaan Motor Gunung dan lain sebagainya.

Karena usaha ini ternyata berkembang pesat,kini bukan hanya di dataran tinggi saja. Setelah

 pemilihan umum 1955 berlangsung, laksana air bahyang mengalir dari gunung, mereka eksodus menuju

kota-kota lain, terutama wilayah bekas ResidenSumatera Timur untuk mengembangkan usaha ini.Khusus untuk Kota Medan siapa yang tidak pernahnaik Kobun (Koperasi Bus Nasional). Bus kota inilahyang mayoritas hilir-mudik menjelajahi semua pelosok Kota Medan untuk melayani kebutuhan

sarana transportasi masyarakat. Tidak hanya di KotaMedan, tetapi juga transportasi penumpang antarkotaSumatera Utara, banyak dilayani oleh bus yangmoyoritas dimiliki pengusaha asal Karo. Bahkan putra-putra daerah telah berhasil mendirikan sebuahorganisasi angkutan dan bus yang cukup modern

dalam sebuah bentuk perseroan terbatas, memiliki

Page 4: his-agu2005- (2)

7/26/2019 his-agu2005- (2)

http://slidepdf.com/reader/full/his-agu2005-2 4/5

 

rtikel

13

 

HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) Wara Sinuhaji Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005

 

 jumlah armada yang cukup banyak dan telahoperasional hilir-mudik tiap hari melayani kebutuhanmasyarakat antarkota di Sumatera Utara, dan propinsitetangga lainnya seperti Aceh, Sumatera Barat, dan

Riau. Tetapi usaha ini tidak dapat dipertahankan, PT.

Maspersada tidak lama setelah peristiwa PKI terpaksa bubar karena konflik internal sesama anggota.

Konon menurut ceritanya sejak tahun 60-antokoh pendiri dan salah satu pengurus teras PT ini,lebih banyak bermukim di Jakarta untuk mengem-

 bangkan usaha pribadinya yang bergerak dalam bidang yang sama. Karena kejelian dan memangsangat dijiwainya kelak perusahaan pribadinya ini berkembang menjadi “raja jalanan” di ibukota untukmelayani transportasi masyarakat pada jamannya.

Kenapa masyarakat Karo sangat antusias

 berusaha dalam dunia transportasi? Selain sebagailambang prestise, usaha ini menurut mereka secara

cepat mendatangkan uang secara tunai walaupunsedikit. Tentunya jika dikelola secara profesional dandengan armada yang banyak, akumulasi uang tunaidapat dimanfaatkan sementara untuk sektor lain.

Menurut mereka setiap bus yang dioperasikan secaranormal dengan jangka waktu tiga tahun, modalnya

akan kembali, sedangkan sisa waktu selanjutnyaselama bus masih bisa beroperasi adalah tinggalmemetik hasilnya. Tingginya minat pengusaha asaldaerah ini dalam dunia transportasi, jugamenimbulkan mobilitas untuk merantau di kalanganetnis menjadi cukup tinggi. Tidak hanya di Sumatera

Utara, bakat untuk berkecimpung dalam usahakenderaan bermotor mulai masuk ke Pulau Jawadekade tahun 60-an. Maka saat itu banyak sekaliangkutan umum atau bus pengusaha asal Karomelayani line  antarkota dan propinsi di Pulau Jawa,terutama berpusat di Jakarta, Bandung dan kota lain.

Bus-bus umum tersebut antara lain: Saudaranta, PurbaJaya, Purba Mulya, Lorena, Timbul Jaya, Periangan,Tasima, Bumi Nusantara, Bintang Seribu, dan lainnya bergabung di perusahaan yang bukan milik orangKaro.

11 Demikian juga angkutan-angkutan kota milik

masing-masing individu, baik yang diorganisir dalamsatu perusahaan, maupun yang bergabung dengan

 perusahaan milik orang lain, bukan orang Karo, yang bergerak di bidang transportasi. Masing-masing perusahaan selain menampung tenaga kerja dari etnislain, umumnya mengutamakan mempekerjakan orang-

orang Karo. Tetapi walupun mereka telah jauh dariasalnya dan berada di tanah perantauan namun

hubungan kekerabatan mereka masih sangat kental.Apabila misalnya kebetulan orang Karo ada yangmenumpang di kendaraan milik orang Karo, danakhirnya tahu “sesama orang gunung”, dapat

dipastikan sang pemilik, supir maupun kondektur

11

  Trida Bangun,”Persekutuan Orang Batak Karo diDaerah Perantauan” , dalam Sarjani, Op.Cit., hal.203.

tidak akan meminta bayaran, dan akan diajak makandi tempat pemberhentian bus.

Demikian mengentalnya hubungankekerabatan mereka, perbedaan tingkat atau kekayaan

 boleh dan tetap ada pada diri setiap orang Karo, tetapi

tidak dijadikan menjadi perbedaan corak baru.Walaupun tidak saling kenal tetapi setelah ertutur  hubungan jadi akrab dan  familiar . Mereka adalahmasyarakat yang egaliter , siapa saja dan dari kalanganmana saja bagi mereka adalah sama, dan tidak heran

di antara pengusaha berbakat di dunia angkutan yangsatu ini ada yang memulai usahanya dari kondektur,meningkat menjadi supir dan kemudian menjadi“Toke Motor” kegiatan ekonomi mereka padaumumnya untuk menpertahankan pola-pola lama yang berdasarkan pertanian, pola pemberi bantuan

 paternalistis di satu pihak dan ketergantungan yang penuh, rasa hormat di lain pihak, terutama atas azas

hubungan kekerabatan.12  Faktor-faktor hubungankekerabatan dalam pengumpulan dan pengerahanmodal untuk mendorong individu secara empiris telah

 banyak menumbuhkan pengusaha sektor angkutanlainnya dari Karo, tetapi dalam pengumpulan modaldan pemilikan usaha bersama secara kolektif atasdasar hubungan kekerabatan mereka tidak akan

ditemukan dalam kajian ini. Memang ada usaha bersama yang dikelola atas modal masing-masing

individu dan bukan atas dasar pengumpulan kolektif berdasarkan sistem kekerabatan mereka.

Kenapa kepemilikan secara kolektif atasdasar sistem kekerabatan dalam kajian ini tidak

ditemukan, karena mereka telah mengantisipasi danmenyadari sepenuhnya jika terjadi intrik dan konflik

kepentingan dalam usah bentuk demikian, makakemungkinan besar dapat dipastikan dapatmenimbulkan perpecahan dalam hubungan kapasitaskekerabatan. Dan lebih jauh lagi implikasinya dapatsaja menimbulkan perceraian antara hubungan suamiistri dalam setiap rumah tangga orang Karo. Mereka

menganggap masih terlalu besar taruhan danimplikasinya jika hubungan kekerabatan dalam rakut

sitelu pecah, dan jika hal ini terjadi terlalu sulit untukdiperbaiki ke arah posisi semula yang nilainyamelebihi nilai ekonomis manapun.

Untuk itulah kenapa masyarakat ini mulai

menyadari sepenuhnya, bahwa hubungan kekerabatanmilik mereka yang cukup berbelit ini memang sangat

 baik untuk sarana akumulasi modal tetapi hanya dalamtingkat kepentingan individu dan bukan untukkepentingan kolektif atas dasar milik bersama. Atasdasar inilah kenapa kehidupan ekonomi masyarakat

Karo selalu dapat diatasi dan ditanggulangi sampaidalam batas-batas kredibilitas tertentu.

Bisnis transportasi dan orang Karo adalahdua hal yang telah melekat, selain sebagai petani, perekonomian mereka ditopang oleh bisnis angkutan.

12  Ibid., hal.207

Page 5: his-agu2005- (2)

7/26/2019 his-agu2005- (2)

http://slidepdf.com/reader/full/his-agu2005-2 5/5

 

rtikel

HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) Wara SinuhajiEdisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005

 

14

Sistem kekeluargaan mereka telah membuat bisnis inidapat terus bertahan dan semakin banyak orang Karo

yang menjalani bisnis transportasi hingga detik ini.

Daftar PustakaClifford Geertz,  Abangan, Santri, Priyayi dalam

 Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1998.D.H Penny dan Masri Singarimbun,” Economic

Activity Among the Karo Batak of Indonesia:A Case Study in Economic Change” dalam

 Bulletin of Indonesia Economic Studies, Canberra: Australian National University,Vol.6, Pebruari, 1976

J.Boeke, Economic Policy of Dual Societies, Hearlem:

Tjeenk Willinkand Zoon, 1953.Koentjaraningrat,  Kebudayaan Mentalitas dan

Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1981.Mary Margaret Steedly,  Hanging Without Rope:

 Narrative Experience in Colonial and Post

Colonial Karoland, Princeton Culture Studies,

1990.Meutia F. Swasono, “ Enterpreneurship di Indonesia”

dalam  Berita Antropologi: Terbitan Khusus

 Enterprenuership, Thn.VII No.23 September1975.

Sarjani Tarigan(Ed),  Bunga Rampai Seminar

Kebudayaan Karo dan Kehidupan Masa Kini,

Medan: tanpa penerbit, 1986.

Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran

 Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan

dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta: LP3ES,1994.Thee Kian Wie, Plantataion Agriculture and Export

Growth: an Economic History of East

Sumatera 1863-1942, Ph.D Thesis, theUniversity of Wicanstin,1969.