Hipertensi Emergensi

28
Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi dimana terjadi kondisi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan organ target yang progresif. Berbagai sistem organ yang menjadi organ target pada hipertensi emergensi ini adalah sistem saraf yang dapat mengakibatkan hipertensi ensefalopati, infark serebral, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intrakranial; sistem kardiovaskular yang dapat mengakibatkan infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta; dan sistem organ lainnya seperti gagal ginjal akut, retinopati, eklamsia, dan anemia hemolitik mikroangiopatik. Dalam kondisi hipertensi emergensi, tekanan darah harus diturunkan secara agresif dalam hitungan waktu menit sampai jam. Clevidipine merupakan obat antihipertensi intravena golongan penghambat kanal kalsium dihydropyridine (Calcium channel blocker/CCB). Seperti yang telah kita ketahui bahwa obat antihipertensi golongan CCB mempunyai 3 golongan obat di dalamnya yaitu golongan diphenylalkilamines, benzothiazepines dan dihydropyridine. Golongan dihydropyridines adalah golongan CCB yang paling selektif terhadap otot polos pembuluh darah dibandingkan golongan CCB lainnya yang non-selektif (mempunyai afinitas juga pada otot jantung). Clevidipine ini merupakan obat golongan dihydropiridine generasi 3 yang pertama tersedia dalam bentuk intravena. Seperti yang kita ketahui, kalsium bekerja sebagai sinyal penghantar dan berperan dalam eksitasi dan kontraksi otot jantung dan otot polos pembuluh darah. Ion kalsium akan berdifusi secara pasif dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melalui kanal kalsium. Sel otot mempunyai 2 tipe kanal kalsium yaitu tipe L dan tipe T. Kanal kalsium tipe L kadarnya relatif lebih banyak di otot polos pembuluh darah jika dibandingkan dengan otot jantung. Clevidipine yang juga termasuk dalam golongan CCB, bekerja dengan menghambat kanal ion kalsium tipe L sehingga terjadi dilatasi arteriol perifer dan terjadi penurunan tekanan darah dan tekanan intraventrikular. Selain itu clevidipine menurunkan tekanan darah arterial dengan cara menurunkan resistensi vaskular sistemik

Transcript of Hipertensi Emergensi

Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi dimana terjadi kondisi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan organ target yang progresif. Berbagai sistem organ yang menjadi organ target pada hipertensi emergensi ini adalah sistem saraf yang dapat mengakibatkan hipertensi ensefalopati, infark serebral, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intrakranial; sistem kardiovaskular yang dapat mengakibatkan infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta; dan sistem organ lainnya seperti gagal ginjal akut, retinopati, eklamsia, dan anemia hemolitik mikroangiopatik. Dalam kondisi hipertensi emergensi, tekanan darah harus diturunkan secara agresif dalam hitungan waktu menit sampai jam. Clevidipine merupakan obat antihipertensi intravena golongan penghambat kanal kalsium dihydropyridine (Calcium channel blocker/CCB). Seperti yang telah kita ketahui bahwa obat antihipertensi golongan CCB mempunyai 3 golongan obat di dalamnya yaitu golongan diphenylalkilamines, benzothiazepines dan dihydropyridine. Golongan dihydropyridines adalah golongan CCB yang paling selektif terhadap otot polos pembuluh darah dibandingkan golongan CCB lainnya yang non-selektif (mempunyai afinitas juga pada otot jantung). Clevidipine ini merupakan obat golongan dihydropiridine generasi 3 yang pertama tersedia dalam bentuk intravena. Seperti yang kita ketahui, kalsium bekerja sebagai sinyal penghantar dan berperan dalam eksitasi dan kontraksi otot jantung dan otot polos pembuluh darah. Ion kalsium akan berdifusi secara pasif dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melalui kanal kalsium. Sel otot mempunyai 2 tipe kanal kalsium yaitu tipe L dan tipe T. Kanal kalsium tipe L kadarnya relatif lebih banyak di otot polos pembuluh darah jika dibandingkan dengan otot jantung. Clevidipine yang juga termasuk dalam golongan CCB, bekerja dengan menghambat kanal ion kalsium tipe L sehingga terjadi dilatasi arteriol perifer dan terjadi penurunan tekanan darah dan tekanan intraventrikular. Selain itu clevidipine menurunkan tekanan darah arterial dengan cara menurunkan resistensi vaskular sistemik tetapi tidak berefek pada kapasitas pembuluh darah vena. Salah penelitian mengenai efikasi dan keamanan clevidipine pada pasien hipertensi emergensi (VELOCITY = The Evaluation of the Effect of Ultra-Short Acting Clevidipine in the Treatment of Patients with Severe Hypertension) diterbitkan dalam jurnal American Journal of HealthSystem Pharmacy bulan Mei 2010. Penelitian dengan disain open-trial, single-group, uji klinis fase III ini mengambil sampel sebanyak 126 pasien hipertensi emergensi. Intervensi yang dilakukan adalah pemberian clevidipine butyrate dengan laju infus 2 mg/jam dan disesuaikan sesuai kebutuhan dengan penambahan dosis 2 kali lipatnya setiap 3 menit sampai target tekanan darah sistolik tercapai. Target tekanan darah sistolik dibuat dalam kisaran 20-40 mmHg dari ratarata batas atas dan batas bawah tekanan darah sistolik. Outcome yang dinilai adalah persentase dari pasien yang mencapai target tekanan darah dalam 30 menit setelah pemberian clevidipine inisial, perubahan frekuensi denyut jantung selama 30 menit pemberian clevidipine, dosis clevidipine yang dibutuhkan, proporsi dari pasien yang berhasil diganti menjadi terapi oral dan waktu (menit) mencapai target tekanan darah sistolik dalam kurun waktu 30 menit tersebut.

Hasil penelitian ini adalah sebanyak 88,9% pasien mencapai target tekanan darah sistolik dengan waktu rata-rata pencapaian target tekanan darah sistolik adalah 10,9 menit. Penggantian terapi (switch therapy) menjadi terapi antihipertensi oral dalam waktu maksimal 6 jam pasca penghentian terapi clevidipine tercapai pada 91,3% pasien. Selain itu efek samping pemberian clevidipine yang ditemukan adalah sakit kepala (6,3 %), mual (4,8%), rasa tidak nyaman di dada (3,2%) dan muntah (3,2%). Kesimpulan dari penelitian ini adalah clevidipine mempunyai efikasi yang baik sebagai antihipertensi intravena dengan profil keamanan yang cukup baik untuk terapi hipertensi emergensi. Kesimpulan 1. Hipertensi emergensi adalah kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan organ target yang progresif. 2. Dalam kondisi hipertensi emergensi, tekanan darah harus diturunkan secara agresif dalam hitungan waktu menit sampai jam. 3. Clevidipine merupakan obat antihipertensi intravena golongan penghambat kanal kalsium dihydropyridine (Calcium channel blocker/CCB) yang bekerja menghambat kanal kalsium tipe L yang lebih dominan di arteriol. 4. Clevidipine bekerja mendilatasi arteriol perifer tanpa terjadi dilatasi vena sehingga curah jantung dapat dipertahankan, 5. Clevidipine mempunyai efikasi yang baik untuk terapi hipertensi emergensi dengan profil keamanan yang dapat ditoleransi dengan baik.

Hipertensi emergensi merupakan spektrum klinis dari hipertensi dimana terjadi kondisi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan organ target yang progresif. Berbagai sistem organ yang menjadi organ target pada hipertensi emergensi ini adalah sistem saraf yang dapat mengakibatkan hipertensi ensefalopati, infark serebral, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intrakranial; sistem kardiovaskular yang dapat mengakibatkan infark miokard, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta; dan sistem organ lainnya seperti gagal ginjal akut, retinopati, eklamsia, dan anemia hemolitik mikroangiopatik.

Dalam kondisi hipertensi emergensi, tekanan darah harus diturunkan secara agresif dalam hitungan waktu menit sampai jam.

Clevidipine merupakan obat antihipertensi intravena golongan penghambat kanal kalsium dihydropyridine (Calcium channel blocker/CCB). Seperti yang telah kita ketahui bahwa obat antihipertensi golongan CCB mempunyai 3 golongan obat di dalamnya yaitu golongan diphenylalkilamines, benzothiazepines dan dihydropyridine. Golongan dihydropyridines adalah golongan CCB yang paling selektif terhadap otot polos pembuluh darah dibandingkan golongan CCB lainnya yang non-selektif (mempunyai afinitas juga pada otot jantung). Clevidipine ini merupakan obat golongan dihydropiridine generasi 3 yang pertama tersedia dalam bentuk intravena.

Seperti yang kita ketahui, kalsium bekerja sebagai sinyal penghantar dan berperan dalam eksitasi dan kontraksi otot

jantung dan otot polos pembuluh darah. Ion kalsium akan berdifusi secara pasif dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melalui kanal kalsium. Sel otot mempunyai 2 tipe kanal kalsium yaitu tipe L dan tipe T. Kanal kalsium tipe L kadarnya relatif lebih banyak di otot polos pembuluh darah jika dibandingkan dengan otot jantung.

Clevidipine yang juga termasuk dalam golongan CCB, bekerja dengan menghambat kanal ion kalsium tipe L sehingga terjadi dilatasi arteriol perifer dan terjadi penurunan tekanan darah dan tekanan intraventrikular.

Selain itu clevidipine menurunkan tekanan darah arterial dengan cara menurunkan resistensi vaskular sistemik tetapi tidak berefek pada kapasitas pembuluh darah vena.

Salah penelitian mengenai efikasi dan keamanan clevidipine pada pasien hipertensi emergensi (VELOCITY = The Evaluation of the Effect of Ultra-Short Acting Clevidipine in the Treatment of Patients with Severe Hypertension) diterbitkan dalam jurnal American Journal of Health-System Pharmacy bulan Mei 2010.

Penelitian dengan disain open-trial, single-group, uji klinis fase III ini mengambil sampel sebanyak 126 pasien hipertensi emergensi. Intervensi yang dilakukan adalah pemberian clevidipine butyrate dengan laju infus 2 mg/jam dan disesuaikan sesuai kebutuhan dengan penambahan dosis 2 kali lipatnya setiap 3 menit sampai target tekanan darah sistolik tercapai. Target tekanan darah sistolik dibuat dalam kisaran 20-40 mmHg dari rata-rata batas atas dan batas bawah tekanan darah sistolik. Outcome yang dinilai adalah persentase dari pasien yang mencapai target tekanan darah dalam 30 menit

setelah pemberian clevidipine inisial, perubahan frekuensi denyut jantung selama 30 menit pemberian clevidipine, dosis clevidipine yang dibutuhkan, proporsi dari pasien yang berhasil diganti menjadi terapi oral dan waktu (menit) mencapai target tekanan darah sistolik dalam kurun waktu 30 menit tersebut.

Hasil penelitian ini adalah sebanyak 88,9% pasien mencapai target tekanan darah sistolik dengan waktu rata-rata pencapaian target tekanan darah sistolik adalah 10,9 menit. Penggantian terapi (switch therapy) menjadi terapi antihipertensi oral dalam waktu maksimal 6 jam pasca penghentian terapi clevidipine tercapai pada 91,3% pasien.

Selain itu efek samping pemberian clevidipine yang ditemukan adalah sakit kepala (6,3 %), mual (4,8%), rasa tidak nyaman di dada (3,2%) dan muntah (3,2%). Kesimpulan dari penelitian ini adalah clevidipine mempunyai efikasi yang baik sebagai antihipertensi intravena dengan profil keamanan yang cukup baik untuk terapi hipertensi emergensi. Kesimpulan

- Hipertensi emergensi adalah kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang berakibat pada kerusakan organ target yang progresif. - Dalam kondisi hipertensi emergensi, tekanan darah harus diturunkan secara agresif dalam hitungan waktu menit sampai jam. - Clevidipine merupakan obat antihipertensi intravena golongan penghambat kanal kalsium dihydropyridine (Calcium channel blocker/CCB) yang bekerja menghambat kanal kalsium tipe L yang lebih dominan di arteriol.

- Clevidipine bekerja mendilatasi arteriol perifer tanpa terjadi dilatasi vena sehingga curah jantung dapat dipertahankan. - Clevidipine mempunyai efikasi yang baik untuk terapi hipertensi emergensi dengan profil keamanan yang dapat ditoleransi dengan baik. Kalbe.co.id

KRISIS HIPERTENSI ASPEK KLINIS DAN PENGOBATAN ABDUL MAJID Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita (6,10,11,13). Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi (6,10). Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini. (Dikutip dari 19). Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan secara garis besar, The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi (mendesak). (15). Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dipikirkan suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. (6). HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara penaggulangan keduanya berbeda. Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD diastolik > 120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggidan terjadi dalam waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat. (14). Seberapa besar TD yang dapat menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya nomortensi atau HT ringan/sedang. (10,11,13). Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT, namu para kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis HT, sebab penderita yang jatuh dalam keadaan ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan daripada prosesur diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis HT bersifat reversibel (6,7). Dalam menanggulangi krisis HT dengan obat anti hipertensi, diperlukan pemahaman mengenai autoregulasi TD dan aliran darah, pengobatan yang selektif dan terarah terhadap masalah medis, yang menyertai, pengetahuan mengenai obat parenteral dan oral anti hipertensi, variasi regimen pengobatan untuk mendapatkan hasil pengobatan yang memadai dan efek samping yang minimal. Dalam makalah ini akan dibahas klasifikasi, aspek klinik, prosedur diagnostik dan pengobatan krisis hipertensi. II. DEFENISI DAN KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI (10,12,13,15) Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan, sebagai berikut : 1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam

satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU). 2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II). Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien. 2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna. 3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal. 4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan. Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat ) TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut. Pendarahan intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid. Hipertensi ensefalopati. Aorta diseksi akut. Oedema paru akut. Eklampsi. Feokhromositoma. Funduskopi KW III atau IV. Insufisiensi ginjal akut. Infark miokard akut, angina unstable. Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain : - Sindrome withdrawal obat anti hipertensi. - Cedera kepala. - Luka bakar. - Interaksi obat. Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )

Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I. KW I atau II pada funduskopi. Hipertensi post operasi. Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hany dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg. III. PATOFISIOLOGI ( 10, 11 ) Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati yaitu : 1. Teori Over Autoregulation Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark.

2. Teori Breakthrough of Cerebral Autoregulation bila TD mencapai threshold tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikoinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari arteriole.

Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada keadaan hiper kapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyebabkan asidosis otak akan mempercepat timbulnya oedema otak. IV. DIAGNOSA (1,6,7,11) Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi. IV.1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting ditanyakan :

Riwayat hipertensi : lama dan beratnya. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya. Usia : sering pada usia 40 60 tahun. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ). Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ). Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada ). Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

IV.2. Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner. IV.3. Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu : 1. Pemeriksaan yang segera seperti : a. darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD. b. urine : Urinelisa dan kultur urine. c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi. d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan terlaksana ). 2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama ) :

a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ). b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan. c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

IV.4. Faktor presifitasi pada krisis hipertensi Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan hipertensi emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi, antara lain : Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis essensial ( tersering ). Hipertensi renovaskular. Glomerulonefritis akut. Sindroma withdrawal anti hypertensi. Cedera kepala dan ruda paksa susunan syaraf pusat. Renin-secretin tumors. Pemakaian prekusor katekholamine pada pasien yang mendapat MAO. Inhibitors. Penyakit parenkhim ginjal. Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO Inhibitor, simpatomimetik ( pil diet, sejenis Amphetamin ), kortikosteroid, NSAID, ergot alk. Luka bakar. Progresif sistematik sklerosis, SLE. IV.5. Difrensial diagnosa Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti : - Hipertensi berat - Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan. - Ansietas dengan hipertensi labil. - Oedema paru dengan payah jantung kiri.

V. PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI V.I. Dasar-dasar penanggulangan krisis HT : ( 6, 7, 10, 13 )

Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah diturunkan ?. Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan berbagai faktor antara lain keadaan hipertensi sendiri ( TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi dan monitoring efek samping obat. AUTOREGULASI Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah. Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan. Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure ( MAP ) 60 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditolelir. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. ( gambar 1 dan 2 ). Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg pada orang normotensi. Penderita hipertensi denga pengobatan mempunyai nilai diantar group normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol cenderung menggeser autoregulasi kearah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 2025% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 1530 menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 23 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 180/100 mmHg.

Pada HT primer, CO berkurang 25% dan VR bertambah 20 25%. Pada hipertensi maligna, SVR bertambah akibat sekunder dari perubahan struktur hipertensi kronis dan perubahan perubahan vasekonstriksi akut. Secara logika disukai obat anti hipertensi yang dapat memperbaiki gangguan hemodinamik pada krisis hipertensi. Obat yang mengurangi SVR tanpa mengurangi CO lebih disukai oleh sebagian besar penderita krisis hipertensi dengan kekcualian bagi disecting aneurysma aorta. Obat yang menambah SVR dan mengurangi CO seperti beta blocker tanpa intrinsic sympathomimetic activity ( ISA ) haruslah dihindari karena akan menyebabkan eksaserbasi gangguan hemodinanamik seperti payah jantung, kongestive dan oedem paru. Status volume cairan ( 6, 10 ) Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai intravaskuler volume depletion, oleh karena itu jangan diberi terapi diuretika, kecuali bila secara klinis dibuktikan adanya volume over load seperti payah jantung kongestif atau oedema paru. Perlu diketahui bahwa pembatasan cairan dan garam ( natrium ) serta diretika pada hipertensi

maligna akan menyebabkan bertambahnya volume depletion sehingga bukannya menurunkan TD malah meningkatkan TD. Pemberian diuretika dapat dilakukan bila setelah diberikan obat anti hipertensi non diuretikal beberapa hari dan telah terjadi reflex volume retention. V. 2 : PENANGGULANGAN HIPERTENSI EMERGENSI : ( 6, 7, 10 ) Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. - tentukan penyebab krisis hipertensi - singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT - tentukan adanya kerusakan organ sasaran Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien. - penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat. - Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta. - TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu. Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi ( 6, 7, 8, 10, 19 ) Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous. Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi. 2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of action 3 5 menit. Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus i. V. Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.

3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus.

Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 TD yang diinginkan. 75 mg setiap 5 menit sampai

Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll. 4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam, i.v : 10 20 menit duration of action : 6 12 jam. Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg i.m Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular. Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll. 5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 menit. Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v. 6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 20 mg secar i.v bolus atau i.m. Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit. 7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of action : 1 5 menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering. 8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. 60

Dosis : 20 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10 menit Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai. 9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf simpatis. Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.

Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal. 10.Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit. Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali. Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan yang tepat bagi pasien di ICU.

Yang menjadi adalah kebanyakan obat-obat parenteral tidak dapat diperoleh secara komersil di Indonesia. ( 13 ) Obat parenteral yang tersedia adalah clonidine. Pengguna clonidone untuk krisis hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di Amerika bentuk injeksi clonidine tidak tersedia. ( 10 ) Van Der Hem ( Belanda, 1973 ) menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien yang tidak respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 1,05 mg dalam 500 ml Dekstrose dan disis ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang minimal. ( 17 ) Penelitian lain di Australia ( 1974 ) menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau 300 mg dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan efek samping maksimum dalam 30-60 menit. ( 2 ) Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan ( 1989 ), telah diteliti pemakaian clonidine pada krisis hipertensi dengan cara : ( 19 ) Dosis yang digunakan adalah 150mcg ( 1 ampul ) dalam 1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12 tetes/menit. Setiap 15 menit dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4 tetes setiap kalinya sampai TD yang diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai diawasi selama 4 jam dan selanjutnya dengan obat per oral. Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD yang diingini dan penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan. Hasil yang diperoleh yaitu TD diastolik dapat diturunkan