Hifema Lapsus

26
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG LAPORAN KASUS “HIFEMA ET CAUSA TRAUMA TUMPUL” Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa Diajukan Kepada : Pembimbing : Dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M Disusun Oleh : Maria Ulfah H2A010032 1

description

hifema

Transcript of Hifema Lapsus

Page 1: Hifema Lapsus

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

LAPORAN KASUS

“HIFEMA ET CAUSA TRAUMA TUMPUL”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :

Pembimbing : Dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Disusun Oleh :

Maria Ulfah H2A010032

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata

FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

1

Page 2: Hifema Lapsus

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU PENYAKIT MATA

Presentasi kasus dengan judul :

HIFEMA ET CAUSA TRAUMA TUMPUL

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:

Maria Ulfah H2A010032

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

Dr. Retno W, Sp.M ............................. .............................

Mengesahkan:

Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata

Dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

2

Page 3: Hifema Lapsus

BAB ILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Usia : 50 tahun

Alamat : Banyubiru

Agama : Islam

Pekerjaan : Pemecah batu

Status : Menikah

Pendidikan Terakhir : SD

No. CM : 40220

Tanggal datang ke puskesmas: 5 Juni 2014

II. ANAMNESE

Anamnese dilakukan secara autoanamnese pada tanggal 5 Juni

2014 pukul 14.00 WIB di IGD RSUD Ambarawa.

Keluhan utama : Nyeri pada mata kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :

Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang ke IGD RSUD

Ambarawa dengan keluhan nyeri pada mata kiri. Keluhan dirasakan

setelah mata kiri terkena pentalan batu pada pagi hari ini. Keluhan pada

mata kiri ini disertai dengan penglihatan kabur, nrocos, mata merah, tidak

tahan saat melihat cahaya dan kelopak mata terasa bengkak. Mata kanan

tidak mengalami keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat keluhan sama : disangkal

- Riwayat alergi : disangkal

- Riwayat trauma pada sekitar mata : baru 1 kali ini

- Riwayat operasi pada mata : disangkal

- Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

- Riwayat diabetes mellitus : disangkal

3

Page 4: Hifema Lapsus

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

- Riwayat diabetes mellitus : disangkal

- Riwayat alergi : disangkal

Sosial Ekonomi

- Pasien berobat dengan BPJS.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 14.30 WIB di

IGD RSUD Ambarawa.

1. KEADAAN UMUM

Keadaan umum : tampak kesakitan

Kesadaran : compos mentis

2. TANDA VITAL

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

- Respiratory rate: 20 kali/menit, reguler

- Suhu : 37,5oC (axiller)

3. STATUS GIZI

- Berat badan : 56 kg

- Tinggi badan : 160 cm

- IMT : 21,875 (normoweight)

4. STATUS GENERALIS

- Kepala : kesan mesosefal

- Hidung : dalam batas normal

- Mulut : dalam batas normal

- Telinga : dalam batas normal

- Leher : dalam batas normal

- Thorax : dalam batas normal

- Abdomen : dalam batas normal

- Ekstremitas : dalam batas normal

- Kulit : dalam batas normal

4

Page 5: Hifema Lapsus

5. STATUS OFTALMOLOGIS

Visus 6/6 1/60

Visus koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sensus Coloris Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pergerakan bola

mata

Bebas segala arah Bebas segala arah

Kedudukan bola

mata

Ortoforia Ortoforia

Suprasilia Madarosis (-)

Tumbuh penuh normal

Madarosis (-)

Tumbuh penuh normal

Silia Trikiasis (-)

Distrikiasis (-)

Trikiasis (-)

Distrikiasis (-)

Palpebra superior Hiperemis (-)

Udem (-)

Spasme (-)

Massa (-)

Hiperemis (+)

Udem (+)

Spasme (-)

Massa (-)

Palpebra inferior Hiperemis (-)

Udem minimal

Spasme (-)

Massa (-)

Hiperemis (+)

Udem (+)

Spasme (-)

Massa (-)

Konjungtiva

palpebra superior

Sekret (-)

Hiperemis (-)

Folikel (-)

Cobble stone (-)

Sekret (-)

Hiperemis (+)

Folikel (-)

Cobble stone (-)

5

Page 6: Hifema Lapsus

Giant papil (-)

Udem (-)

Corpus alienum (-)

Giant papil (-)

Udem (+)

Corpus alienum (-)

Konjungtiva

palpebra inferior

Sekret (-)

Hiperemis (-)

Folikel (-)

Cobble stone (-)

Giant papil (-)

Udem (-)

Corpus alienum (-)

Sekret (-)

Hiperemis (+)

Folikel (-)

Cobble stone (-)

Giant papil (-)

Udem (+)

Corpus alienum (-)

Konjungtiva

forniks dan bulbi

Injeksi konjungtiva (-)

Injeksi silier (-)

Sekret (-)

Injeksi konjungtiva (+)

Injeksi silier (+)

Sekret (-)

Sklera Ikterik (-)

Sklerektasis (-)

Ikterik (-)

Sklerektasis (-)

Kornea Jernih

Sensibilitas kornea (+)

Udem (-)

Neovaskularisasi (-)

Keruh

Sensibilitas kornea (+)

Udem (-)

Neovaskularisasi (-)

COA Jernih

Kedalaman cukup

Hifema membayang

Jendalan darah (-)

Kedalaman cukup

Pupil Bulat, Sentral, Reguler

D: 2,5 mm

Refleks direk/indirek (+/+)

Bulat, Sentral, Reguler

D: 2,5 mm

Refleks direk/indirek (+/+)

Iris Kripte normal

Neovaskularisasi (-)

Sinekia anterior (-)

Udem (-)

Kripte normal

Neovaskularisasi (-)

Sinekia anterior (-)

Udem (-)

Lensa Bagian sentral jernih Bagian sentral jernih

Keratoskoplacido Tidak dilakukan Tidak dilakukan

6

Page 7: Hifema Lapsus

Fundus Refleks Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Lapang pandang Tidak dilakukan Tidak dialkukan

Tekanan

bolamata

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Fluorescein Tidak dilakukan Positif

IV. RESUME

Seorang laki-laki 50 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa

dengan keluhan mata kiri terasa sakit. Keluhan dirasakan setelah mata kiri

terkena pentalan batu pada pagi hari. Keluhan pada mata kiri disertai

dengan penglihatan kabur, epifora, mata merah, fotofobia dan udem

palpebra.

Dari pemeriksaan fisik pada oculi sinistra didapatkan visus 1/60,

hiperemis palpebra superior dan inferior, udem palpebra superior dan

inferior, hiperemis konjungtiva palpebra superior dan inferior, udem

konjungtiva palpebra superior dan inferior, injeksi konjungtiva, injeksi

silier, kornea keruh, COA terdapat hifema membayang, flourescein test

(+).

V. DIAGNOSIS BANDING

1. Hifema

2. Erosi kornea

3. Glaukoma

VI. DIAGNOSIS

Hifema et causa trauma tumpul dengan erosi kornea.

VII. INITIAL PLAN

Ip Dx : Hifema et causa trauma tumpul dengan erosi kornea.

S : -

O : -

7

Page 8: Hifema Lapsus

Ip Tx :

a. C xitrol EO dan bebat okuli sinistra

b. Asam traneksamat 250 mg, 3x1

c. Ciprofloxasin 500 mg, 2x1

d. Asam mefenamat 500 mg, 3x1

e. Ester C 1x1

f. C timol 0,5% ED 2x1 tetes, pagi dan sore

Ip Mx :

a. Gejala klinis

b. Komplikasi

Ip Ex :

a. Memberitahukan pada pasien mengenai hifema dan komplikasinya.

b. Pasien dianjurkan untuk beristirahat dengan posisi kepala lebih tinggi dari

tubuh (tirah baring setengah duduk).

c. Kontrol pada hari kelima dan segera jika perdarahan bertambah atau mata

terasa sangat pegal.

d. Memberitahu bahwa pasien juga mengalami erosi kornea, sehingga proses

penyembuhan dapat berlangsung lama dan juga menjelaskan komplikasi dari

erosi kornea.

I. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : ad bonam

Quo ad Sanam : ad bonam

Quo ad Visam : dubia ad bonam

Quo ad Cosmeticam : ad bonam

8

Page 9: Hifema Lapsus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Hifema

Keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah di

antara kornea dan iris, terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh

darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueos yang jernih.1

II. Etiologi dan Patogenesis

Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni:

1. Hifema traumatik

Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan

hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada

umumnya disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil,

mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul

yang menghantam bagian depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya

perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior serta

ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya

peningkatan tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan

terjadinya penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris dan

badan silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini

akan mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan

(camera oculi anterior).

2. Hifema iatrogenik

Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan

komplikasi dari proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini

dapat terjadi intraoperatif maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi

yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah dapat mengakibatkan

hifema iatrogenik.

9

Page 10: Hifema Lapsus

3. Hifema spontan

Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma.

Perlunya anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat

membedakan kedua jenis hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik

mata depan akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma, maupun

adanya gangguan hematologi.

a. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus. Pada kondisi ini,

adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti retina yang

mengalami iskemi, maupun diabetik retinopati) akan mengeluarkan

faktor tumbuh vaskular yang oleh lapisan kaya pembuluh darah

(seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan pembentukan

pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah yang baru

pada umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah mengalami

ruptur maupun kebocoran. Kondisi ini meningkatkan kerentanan

terjadinya perdarahan bilik mata depan.

b. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada

umumnya juga melibatkan neovaskularisasi seperti yang telah

dijelaskan pada poin pertama.

c. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand

yang mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan

faktor anti-pembekuan. Dengan demikian terjadi proses

kecenderungan berdarah.

d. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti

aspirin dan warfarin.2

III. Klasifikasi

Berdasarkan tampilan klinisnya Sheppard membagi hifema menjadi 4

klasifikasi:2

a. Grade 1 à darah menempati kurang dari 1/3 bilik mata depan. terdapat

pada 58 % kasus

10

Page 11: Hifema Lapsus

b. Grade 2 à darah menempati 1/3 – ½ bilik mata depan. Jumlah kasus 20%

dari kasus hifema.

c. Grade 3 à darah menempati ½ sampai kurang dari seluruh bilik mata

depan. Terjadi pada 14% kasus hifema

d. Grade 4 à darah menempati keseluruhan dari bilik mata depan, disebut

juga sebagai blackball/8-ball hifema. Terjadi pada 8% kasus.

Tabel 1. Klasifikasi hifema

IV. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada kasus hifema meliputi:1,3

a. Penurunan tajam penglihatan

b. Nyeri

c. Mata merah

11

Page 12: Hifema Lapsus

d. Epifora

e. Blefarospasme

f. Iridoplegi, iridodialisis

g. Jika pasien duduk tampak darah terkumpul di bagian bawah COA (grade

I-III)

h. Tanda-tanda iritasi konjungtiva dan perikornea

i. Fotofobia

j. Peningkatan tekanan intra okuler

V. Diagnosis

Diagnosis dapat berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pada

pemeriksaan fisik sebaiknya digunakan slit lamp untuk menilai derajat

hifemanya. Pemeriksaan lain yang penting untuk dilakukan berkaitan dengan

prognosis adalah pemeriksaan tekanan intra okuler, karena pada sebagian

pasein hifema sering diikuti peningkatan TIO. Serta penilaian visus, lapang

pandang pasien dan pemeriksaan dengan oftalmoskop.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menemukan etiologi hifema,

pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan USG mata, rontgen mata jika

dicurigai adanya fraktur atau benda asing, dan pemeriksaan yang berkaitan

dengan darah (faktor pembekuan darah).4

VI. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hifema bergantung pada derajat hifema, komplikasi yang

terjadi, serta respons pasien terhadap pengobatan. Pada kasus ringan,

penatalaksanaan dapat meliputi terapi konservatif, seperti:1-5

1. Membatasi aktivitas pasien

2. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover

12

Page 13: Hifema Lapsus

3. Melakukan elevasi kepala 30-45o. Adapun maksud dari elevasi kepala

adalah untuk membuat darah mengumpul di bagian inferior dari COA dan

tidak menghalangi tajam penglihatan. Posisi ini juga mempermudah dalam

evaluasi harian COA tentang resorpsi hifema sehingga dapat menunjukkan

kemajuan pengobatan. Selain itu posisi ini merupakan posisi optimal

dalam mencegah kontak sel-sel darah merah dengan korena.

4. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif.

5. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat diberikan

asetaminofen, atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan kodein. Hindair

penggunaan aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS, NSAID)

sebab dapat menimbulkan perdarahan dan berisiko menyebabkan

perdarahan sekunder.

6. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan

intraokular, serta regresi hifema.

7. Pemberian antifibrinolitik (aminocarproic acid dan tranexamic acid)

membantu mencegah terjadinya perdarahan berulang.

8. Pemberian sikloplegi topikal untuk mengurangi nyeri dan eliminasi

pergerakan iris.

9. Pemberian acetazolamide jika TIO meningkat

10. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi.

Terapi operatif:

Terapi operatif dilakukan jika:5

a. Glaukoma sekunder yang tidak berkurang atau menghilang dengan

pengobatan konservatif

b. Kemungkinan timbulnya hemosiderosis kornea dan tidak ada pengurangan

dari tingginya hifema dengan perawatan non-operatif selama 3 - 5 hari.

c. Pasien dengan penyakit sickle cell dan TIO rata-rata > 24 mmHg selama

24 jam pertama atau jika TIO meningkat lebih berulang > 30 mmHg.

d. Pasien bukan sickle cell, jika TIO > 60 mmHg selama 2 hari.

13

Page 14: Hifema Lapsus

e. TIO > 25 mmHg dengan hifema total selama 5 hari

f. Hifema gagal terserap < 50 % dari volume COA pada hari ke 8.

Terapi operatifnya dapat berupa parasintesis yaitu pembedahan dengan

mengeluarkan darah atau nanah dari bilik mata depan. Tekniknya dengan

membuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan

permukaan iris. Kemudian dilakukan penekanan pada bibir luka sehingga

koagulum keluar. Jika darah tidak keluar seluruhnya COA dibilas dengan

garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu

dijahit.

VII. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:5

1. Peningkatan tekanan intraokular secara akut, yakni suatu gluakoma

traumatik

2. Atrofi optik, terutama akibat glaukoma traumatik

Atrofi optik merupakan keadaan akhir akibat glaukoma traumatik

yang dapat terjadi pada pasien dengan hifema. Terjadinya peningkatan

tekanan intraokular mengakibatkan tekanan diteruskan ke seluruh bagian

mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang merupakan retina

akan mengalami tekanan dan mengakibatkan kerusakan pada saraf.

Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan timbul dalam bentuk atrofi

optik. Pada tekanan bola mata 50 mmHg, kerusakan dapat terjadi dalam 7

hari, sedangkan pada tekanan bola mata 35 mmHg kerusakan dapat terjadi

dalam 5 hari. Pada individual dengan sickle cell trait, kerusakan bahkan

lebih cepat terjadi pada tekanan yang lebih rendah, mengindikasikan

pentingnya penanganan segera terutama pada pasien-pasien ini.

3. Perdarahan ulang atau perdarahan sekunder

Perdarahan sekunder merupakan hal yang harus diwaspadai pada

hifema. Hal ini disebabkan 1/3 dari perdarahan sekunder justru dapat lebih

14

Page 15: Hifema Lapsus

berat dibandingkan hifema awal, yakni dapat mengakibatkan hifema total.

Perdarahan sekunder umumnya terjadi pada hifema derajat 3 dan 4, dan

secara umum terjadi pada 22% kasus hifema, dengan rentang antara 6,5%

hingga 38%4. Perdarahan sekunder disebabkan oleh lisis dan retraksi dari

bekuan darah dan fibrin yang telah berfungsi secara stabil untuk

menyumbat pembuluh darah yang mengalami ruptur atau kebocoran.

Perdarahan sekunder membuat prognosis pasien menjadi buruk, dengan

penelitian menunjukkan tajam penglihatan pasien (kurang dari 20/50 atau

6/15) yang mengalami perdarahan sekunder lebih buruk dibandingkan

dengan yang tidak mengalami komplikasi ini (79,5% vs 64%).

Keadaan yang menjadi faktor prediksi terjadinya perdarahan

sekunder adalah:

- Sickel cell trait

- Tajam penglihatan saat presentasi <20/200 (6/60)

- Derajat hifema saat presentasi yang lebih dari II

- Ada riwayat penggunaan salisilat (aspirin), antiplatelet (seperti

pada penderita angina pektoris)

4. Sinekia posterior

5. Sinekia anterior, terutama pada kondisi hifema yang lebih dari delapan

hari

6. Corneal blood staining, yakni adanya deposisi dari hemoglobin dan

hemosiderin pada stroma kornea akibat keberadaan darah hifema total

yang umumnya disertai dengan peningkatan tekanan intraokular. Corneal

blood staining dapat menghilang, namun memerlukan waktu berbulan-

bulan hingga bertahun-tahun lamanya.

7. Glaukoma kronik

15

Page 16: Hifema Lapsus

Gambar 1. Gambaran papil atrofi, papil tampak pucat akibatnya menghilangnya serabut saraf dan

pembuluh darah kapiler akibat tekanan intraokular yang meninggi.

Gambar 2. Gambaran corneal blood staining yang berwarna kekuningan pada kornea

VIII. Prognosis

Keberhasilan penyembuhan dan prognosis hifema tergantung dari:

a. Derajat hifema yang dialami

b. Jumlah kerusakan lain akibat hifema pada struktur mata (ruptur koroid,

pembentukan scar makula)

c. Apakah terjadi hifema sekunder

d. Apakah terjadi komplikasi akibat hifema seperti glaukoma, bercak darah

pada kornea dan atrofi optikus.

16

Page 17: Hifema Lapsus

PEMBAHASAN

Hifema adalah keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,

yaitu daerah di antara kornea dan iris, terjadi akibat trauma tumpul yang merobek

pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueos yang

jernih.1

Umumnya pasien datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan, nyeri

pada mata, mata merah, epifora, fotofobia dan kadang ditemukan adanya

blefarospasme. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya darah yang

berkumpul di bagian inferior COA jika pasien duduk, adanya tanda iritasi

konjungtiva dan perikornea, iridoplegi, iridodialisis dan peningkatan tekanan intra

okuler. Tatalaksana pada hifema dapat bersifat konservatif maupun operatif.

Pilihan tatalaksana didasarkan pada manifestasi klinis dan perjalanan hifemanya.1,3

Pada kasus ini, seorang laki-laki 50 tahun datang ke IGD RSUD

Ambarawa dengan keluhan mata kiri terasa sakit. Keluhan dirasakan setelah mata

kiri terkena pentalan batu pada pagi hari. Keluhan pada mata kiri disertai dengan

penglihatan kabur, epifora, mata merah, fotofobia dan udem palpebra.

Dari pemeriksaan fisik pada oculi sinistra didapatkan visus 1/60, hiperemis

palpebra superior dan inferior, udem palpebra superior dan inferior, hiperemis

konjungtiva palpebra superior dan inferior, udem konjungtiva palpebra superior

dan inferior, injeksi konjungtiva, injeksi silier, kornea keruh, COA terdapat

hifema membayang, flourescein test (+).

Pengobatan pada kasus ini bersifat konservatif yaitu dengan pemberian: C

xitrol EO dan bebat okuli sinistra, asam traneksamat 250 mg 3x1, Ciprofloxasin

500 mg 2x1, asam mefenamat 500 mg 3x1, Ester C 1x1, dan C timol 0,5% ED

2x1 tetes pagi dan sore. Pasien di edukasi mengenai hifema dan komplikasinya,

dianjurkan untuk beristirahat dengan posisi kepala lebih tinggi dari tubuh (tirah

baring setengah duduk), kontrol pada hari kelima dan segera jika perdarahan

bertambah atau mata terasa sangat pegal.

17

Page 18: Hifema Lapsus

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Ed : 3. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.2010.

2. Sheppard JD. Hyphema. [Internet]. Updated: 2013 Dec 6, Cited: 2014 Mar

8. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1190165-

overview

3. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmology Umum ed. 4. Jakarta :

Widya Medika. 2000.

4. Kunimoto YD, Kunal DK, Mary SM. The Wills Eye Manual-Office and

Emergency Room Diagnsis and Treatment of eye Disease, Fourth Edition.

USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2004.

5. William Walton et al Management of Traumatic Hyphema. Elsevier.

Survey of Ophthalmology Volume 47 Number 4 July-August 2002.

18