Hemofilia B

26
REFERAT HEMOFILIA B Disusun oleh: Ryan Haryana D G1A211024 Pembimbing : Dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Transcript of Hemofilia B

Page 1: Hemofilia B

REFERAT

HEMOFILIA B

Disusun oleh:

Ryan Haryana DG1A211024

Pembimbing :

Dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATANSMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF MARGONO SOEKARDJOPURWOKERTO

2011

Page 2: Hemofilia B

Lembar Persetujuan

Referat

Hemofilia B

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinikSMF Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Prof. Margono Soekardjo

Disusun olehRyan Haryana D

G1A211024

Disetujui dan disahkan :Tanggal : ......................

Pembimbing,

dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATANSMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF MARGONO SOEKARDJOPURWOKERTO

2011

KATA PENGANTAR

Page 3: Hemofilia B

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi penulis kemampuan dan

kesempatan untuk menyusun Referat ini, yang berjudul “Hemofilia B".

Terbentuknya referat ini tidak lain karena bimbingan dari dosen-dosen kami.

Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih pada:

1. dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD yang telah membimbing penulis dalam

proses pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini.

2. Ayah dan Ibu yang tak pernah lepas memberikan penulis semangat

tinggi dalam menyelesaikan penelitian ini.

3. Teman-teman yang senantiasa memberikan dorongan semangat dalam

penyelesaian penelitian ini.

Kami sangat menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari

kesempurnaan, dan akan keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang

penulis miliki. Oleh karena itu, penulis selalu mengharapkan saran dan kritik yang

dapat mengembangkan Karya Tulis ini ke arah yang lebih baik dan bermanfaat

bagi kita semua.

Purwokerto, November 2011

Penulis

Page 4: Hemofilia B

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................... 1

B. Tujuan.................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Epidemiologi................................................................... 2

B. Klasifikasi............................................................................................ 2

C. Patofisiologi......................................................................................... 3

D. Diagnosis.............................................................................................. 4

E. Komplikasi........................................................................................... 5

F. Manajemen Hemofilia B...................................................................... 6

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 5: Hemofilia B

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hemofilia terjadi pada satu dari 10.000 kelahiran. Dari keseluruhan

individu dengan hemofilia 15-20% merupakan hemofilia B. Hemofilia

merupakan suatu penyakit genetik yang tidak dapat disembuhkan namun

dapat dikendalikan. Apabila tidak terkendali maka hemofilia dapat

menurunkan kualitas hidup penderita, meningkatkan biaya pengobatan

bahkan menyebabkan kematian. (1)

Terapi hemofilia yang efektif telah tersedia sejak 30 tahun yang

lalu, namun begitu terapi tersebut tidak mudah untuk diterapkan di negara

berkembang dengan sumber daya yang terbatas. Hal ini diperparah dengan

kurangnya perhatian institusi kesehatan terhadap manajemen hemofilia

yang komprehensif karena kecilnya angka kejadian hemofilia terutama

hemofilia B. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyusun suatu referat

mengenai hemofilia B mulai dari penegakan diagnosis hingga

penatalaksanaan terkini dan terapi tambahan apabila pengobatan utama

tidak tersedia.

B. Tujuan

Referat ini bertujuan untuk merangkum manajemen hemofilia

dimulai dari diagnosis hingga penatalaksanaan terkini dan terapi tambahan

apabila pengobatan utama tidak tersedia.

1

Page 6: Hemofilia B

XX XY XYXX

XY

Wanita normalKarier hemofilia Pria normal Pria hemofilia

XX

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Epidemiologi

Hemofilia merupakan suatu penyakit perdarahan akibat kelainan

genetik X-linked recessive. Pada individu dengan hemofilia terdapat

defisiensi faktor pembekuan VIII (hemofilia A) dan faktor pembekuan IX

(hemofilia B). Hemofilia B juga sering disebut sebagai christmas disease.

(1)

Frekuensi hemofilia terjadi pada satu dari 10.000 kelahiran. Dari

seluruh individu dengan hemofilia 15-20% merupakan hemofilia B. Belum

ada data mengenai angka kejadian hemofilia di Indonesia. (2)

B. Klasifikasi

Hemofilia merupakan suatu kelainan genetik X-linked recessive,

hal ini memungkinkan adanya karier hemofilia pada wanita pada wanita

yang memiliki satu kromosom X hemofilia. Pada wanita karier hemofilia

yang menikah dengan pria tanpa hemofilia akan memiliki empat

kemungkinan seperti gambar di bawah. (3)

2

Gambar 1 Penurunan Kromosom X Hemofilia

Page 7: Hemofilia B

Beberapa kasus telah melaporkan adanya hemofilia didapat.

Berdasarkan manifestasi klinis tidak terdapat perbedaan dibandingkan

dengan hemofilia kongenital namun onset perdarahan biasanya terjadi

pada usia dewasa. Hemofilia didapat terjadi karena adanya faktor VIII atau

IX (inhibitor hemofilia) sehingga aktivitas faktor VIII atau IX menurun

hingga ke titer hemofilia. (4)

Berdasarkan gambar di atas maka penurunan faktor pembekuan IX

akan terjadi pada anak pria dengan kromosom X hemofilia. Sebagian besar

karier hemofilia tidak menimbulkan gejala namun dapat juga terjadi

penurunan faktor IX yang ringan sehingga menimbulkan manifestasi

perdarahan. Klasifikasi Hemofilia didasarkan pada tingkat defisiensi faktor

pembekuan dan manifestasi klinis yang mungkin terjadi. (1)

Tabel 1 Klasifikasi Hemofilia (1)

Klasifikasi Konsentrasi Faktor IX% aktivitas (IU/ml)

Manifestasi

Berat 1% (<0,01) Perdarahan spontanSedang 1-5% (0,01-0,05) Terkadang perdarahan

spontan. Perdarahan berat bila trauma atau operasi

Ringan 5-40% (0,05-0,40) Perdarahan berat dengan trauma berat atau operasi

C. Patofisiologi

Faktor IX merupakan suatu proenzim rantai tunggal 55-kDa yang

disintesis di hepar. Faktor IX yang dirubah menjadi suatu protease aktif

(IXa) oleh faktor Xia atau oleh tissue factor-VIIa complex. Faktor IXa

bersama dengan faktor VIII mengaktivasi faktor X. Defisiensi faktor IX

dapat menyebabkan kaskade jalur koagulasi terhambat sehingga terjadi

gangguan hemostasis pada individu dengan hemofilia B. (5)

3

Page 8: Hemofilia B

Perlukaan endotel

Faktor XII Faktor XIIa

Faktor XI Faktor XIa

Ca2+

Faktor IX ↓ Faktor IXa ↓

Manifestasi Perdarahan

Faktor koagulasi yang terganggu

Kegagalan kaskade koagulasi

D. Diagnosis

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Penegakkan diagnosis awal hemofilia B didasarkan pada

anamnesis dan penelusuran riwayat yang cermat, terutama riwayat

perdarahan yang sulit berhenti, kecelakaan, kencing berwarna merah, sakit

sendi dan bengkak, trauma atau perdarahan masif pada pembedahan. Pada

ananmesis juga dapat diketahui adanya riwayat keluarga yang memiliki

gejala yang sama atau manifestasi perdarahan lain. Wanita dengan

menorrhagia sebaiknya dicurigai kemungkinan karier hemofilia. (1)

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik

bergantung pada lokasi perdarahan yang terjadi. Berikut beberapa lokasi

perdarahan yang sering terjadi pada pasien dengan hemofilia. (1)

a. Hemarthrosis (70-80%)

1) Lutut (45%)

2) Siku (30%)

3) Ankle (15%)

4) Bahu (3%)

5) Pergelangan tangan (3%)

4

Gambar 2 Patofisiologi Hemofilia B

Page 9: Hemofilia B

6) Pinggul (2%)

7) Lain-lain (2%)

b. Otot dan jaringan lunak (10-20%)

c. Perdarahan hebat lainnya (5-10%)

d. Perdarahan SSP (<5%)

Pada hemarthrosis dapat ditemukan persendian yang bengkak dan

terasa sakit bila digerakkan ataupun ditekan. Manifestasi perdarahan lain

dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik organ yang bersangkutan.

2. Pemeriksaan penunjang

Berikut beberapa pemeriksaan penunjang untuk hemofilia. (2)

a. Clotting time, aPTT: pada individu dengan hemofilia berat dan

sedang terjadi pemanjangan clotting time, bleeding time dan

activated partial tromboplastin time. Pada individu dengan

hemofilia ringan pemeriksaan tersebut dapat normal.

b. Bleeding time, PT: pada individu dengan hemofilia tidak terdapat

pemanjangan bleeding time dan protrombin time.

c. Aktivitas faktor VIII dan IX: pemeriksaan aktivitas faktor IX

merupakan diagnosis definitif pada hemofilia B, pemeriksaan

aktivitas faktor VIII dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan

adanya hemofilia A.

d. Titer inhibitor hemofilia: dilakukan untuk mengetahui adanya

komplikasi akibat terapi pemberian konsentrat faktor pembekuan.

Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan sesuai indikasi berdasarkan

lokas perdarahan yang terjadi

a. CT-Scan: dilakukan apabila terjadi perdarahan pada SSP

b. X-Ray: dilakukan terhadap sendi yang mengalami hemarthrosis

untuk menyingkirkan adanya penyebab lain atau bila akan

dilakukan tindakan.

5

Page 10: Hemofilia B

E. Komplikasi

Komplikasi kronik hemofilia secara umum dibagi menjadi dua;

komplikasi muskuloskeletal dan komplikasi dari terapi

1. Komplikasi muskuloskeletal

Komplikasi muskuloskeletal terjadi karena hemarthrosis yang

berulang atau tidak ditangani dengan baik. Beberapa jenis yang dapat

terjadi ialah; chronic hemophilic arthropathy, kontraktur, pembentukan

pseudotumour dan fraktur.

2. Komplikasi dari terapi

Komplikasi terapi secara umum dibagi menjadi dua yaitu

pembentukan inhibitor hemofilia dan infeksi terkait transfusi. Infeksi

terkait transfusi terutama seperti HIV, Hepatitis A, B dan C dan infeksi

lainnya yang dapat menular melalui darah.

Inhibitor hemofilia adalah antibodi yang dapat menghancurkan

faktor pembekuan kaskade koagulasi. Inhibitor merupakan salah satu

penyulit dalam terapi hemofilia, karena antibodi ini dapat

menghancurkan konsentrat faktor yang diberikan sebelum konsentrat

faktor berfungsi. Inhibitor hemofilia dapat terbentuk 10-20 hari setelah

pemberian konsentrat.

Keberadaan inhibitor dapat diketahui dengan pemeriksaan titer

inhibitor hemofilia. Transient inhibitor apabila titer inhibitor <5 BU

(bethhesda unit), sedangkan individu dengan titer ≥5 Bumerupakan

inhibitor persisten.

F. Manajemen Hemofilia B

Prinsip umum manajemen hemofilia secara umum dibagi menjadi

pencegahan perdarahan, manajemen perdarahan, penatalaksanaan jangka

panjang terhadap kerusakan sendi, otot serta penatalaksanaan komplikasi

dari terapi (inhibitor dan infeksi akibat transfusi) dan monitoring.

1. Pencegahan perdarahan

a. Perubahan gaya hidup

6

Page 11: Hemofilia B

1) Menghindari olahraga kontak. Olahraga dengan beban gravitasi

minimal sangat disarankan seperti berenang dan bersepeda.

2) Latihan rutin dianjurkan untuk meningkatkan kekuatan otot dan

melindungi sendi.

b. Menghindari pengobatan dan tindakan medis yang dapat

menyebabkan perdarahan

1) Pasien harus menghindari obat-obatan yang mempengaruhi

fungsi trombosit, terutama asetil salisilat, NSAID (kecuali

inhibitor COX-2). Penggunaan parasetamol/asetaminofen dapat

menjadi alternatif analgesia.

2) Injeksi intramuskuler, flebotomi, pungsi arteri harus dihindari.

c. Profilaksis

Profilaksis dilakukan dengan memberikan faktor

pembekuan secara teratur. Tindakan profilaksis memperbaiki

kejadian perdarahan pada individu dengan hemofilia berat dan

sedang. Konsentrat faktor IX dapat diberikan secara IV 25-40

IU/Kg dua kali seminggu untuk hemofilia B.

2. Manajemen perdarahan

a. Perdarahan akut harus diterapi sedini mungkin (<2 jam).

Perdarahan ringan hingga sedang tanpa komplikasi dapat dilakukan

di rumah. (1)

b. Terapi utama pada perdarahan akibat hemofilia B ialah pemberian

konsentrat faktor IX. Konsentrat faktor IX terdapat dalam dua

bentuk yaitu prothrombin complex concentrates (PCC) yang berisi

faktor II, VII, IX dan X dan purified F IX concentrates yang berisi

sejumlah faktor IX tanpa faktor lain. Faktor IX murni lebih

diutamakan sebab penggunaan PCC dapat menyebabkan trombosis

paradoksikal akibat adanya faktor lain dalam PCC. Pemberian 1

unit konsentrat faktor IX dapat meningkatkan aktivitas faktor IX

dalam plasma sebanyak 0,8%/kbBB pada dewasa dan 0,7%/kgBB

pada anak <15 tahun selama 24 jam. (1)

7

Page 12: Hemofilia B

c. Penghitungan pemberian faktor IX dapat menggunakan rumus:

Konsentrat yang diberikan (Unit) = (%kadar yang

dikehendaki X BB pasien) : 0,8 (0,7 pada anak <15 tahun). Target

aktivitas faktor IX yang diberikan berbeda tergantung tujuan

pemberian konsentrat faktor IX dan ketersediaan konsentrat faktor

IX itu sendiri.

Tabel 2 Kadar Faktor IX dan durasi pemberian yang direkomendasikan apabila terdapat hambatan sumber daya (1)

Tiper perdarahan Target F IX Lama pemberian

Sendi 10-20% 1-2 hari, dapat diperpanjang apabila respon tidak baik

Otot (kecuali iliopsoas) 10-20% 2-3 hari, dapat diperpanjang apabila respon tidak baik

Iliopsoas1. Awal2. Maintenance

15-30%10-20%

1-2 hari3-5 hari, dapat dilanjutkan dengan terapi profilaksis

SSP/Kepala1. Awal2. Maintenance

50-80%30-50%20-40%

1-3 hari4-7 hari8-14 hari (hingga 21 hari jika ada indikasi)

Tenggorokan dan leher1. Awal2. Maintenance

30-50%10-20%

1-3 hari4-7 hari

Gastrointestinal1. Awal2. Maintenance

30-50%10-20%

1-3 hari4-7 hari

Renal 15-30% 3-5 hari

Laserasi Dalam 15-30% 5-7 hariPembedahan mayor

8

Page 13: Hemofilia B

1. Pre-op2. Post-op

50-70%30-40%20-30%10-20%

1-3 hari4-6 hari7-14 hari

Konsentrat faktor IX murni diberikan dengan kecepatan

<3ml/menit sedangkan dengan PCC diinfuskan dengan kecepatan

dua kali lebih lambat.

d. Pada keadaan dimana konsentrat faktor pembekuan terbatas atau

tidak tersedia dapat dilakukan beberapa terapi tambahan. (1)

1) Metode RICE (rest, ice, compression and elevation). Otot

dan sendi yang berdarah dapat diistirahatkan dengan

pembebatan, pemasangan gips atau menggunakan kruk atau

kursi roda. Pemakaian kantong es dapat mengurangi

inflamasi, es tidak boleh langsung menyentuh kulit

sebaiknya dibungkus handuk, digunakan selama 20 menit

setiap 4-6 jam hingga bengkak dan nyeri berkurang.

Kompresi lokasi perdarahan dapat mengurangi perdarahan

yang terjadi, namun harus dilakukan dengan hati-hati,

tergantung lokasi perdarahan. Elevasi terhadap lokasi

perdarahan dapat mengurangi suplai darah sehingga

mengurangi perdarahan yang terjadi.

2) Fresh frozen plasma dapat diberikan sebanyak 15-20 ml/kg

apabila konsentrat faktor IX tidak tersedia.

3) Obat-obat antifibrinolitik (asam tranexamat, asam amino

kaproat epsilon) selama 5-10 hari efektif sebagai terapi

tambahan. Asam tranexamat dapat diberikan 500 mg/hari

dalam dua dosis terbai, asam amino kaproat dapat diberikan

5g drip dalam satu jam pertama perdarahan dilanjutkan 1g

per jam. Obat-obat ini harus dihindari pada perdarahan

ginjal karena dapat membuat jendalan darah dalam saluran

kemih dan menyebabkan kolik ureter dan obstruksi saluran

kemih.

9

Page 14: Hemofilia B

4) Penggunaan inhibitor COX-2 dapat digunakan untuk

inflamasi misalnya parecoxib dapat diberikan hingga 80

mg/hari.

3. Penatalaksanaan komplikasi dari terapi

a. Manajemen pada individu dengan inhibitor hemofilia

Pada individu dengan titer inhibitor hemofilia rendah <5

BE dapat diberikan konsentrat faktor seperti biasa dengan dosis

yang dinaikan. Pada individu dengan titer inhibitor tinggi ≥5 BE

dapat diberikan bypass agent atau pemberian faktor lain dalam

kaskade koagulasi untuk melewati tahapan yang mengalami

gangguan. Bypass agent yang diberikan biasanya berupa PCC,

aPCC (bentuk aktif PCC) atau recombinant activated F VII

(rFVIIa) sebanyak 90 Bg/kg selama 3 jam. Protrombin complex

concentrate mengandung FII, FVII, FIX dan FX sehingga faktor

lain selain F IX dapat berlaku sebagai bypass agent. Pemberian

aPCC lebih diutamakan karena lebih efektif dan efek samping yang

terjadi lebih jarang terjadi. Efikasi pemberian aPCC DAN rFVIIa

mencapai 80-90% dalam manajemen perdarahan pada individu

dengan inhibitor hemofilia. (6) (7)

Strategi lain ialah dengan metode Immune tolerance

induction. Dalam metode ini individu dengan inhibitor hemofilia

diberikan konsentrat faktor IX dengan dosis 50 IU/kg 3x seminggu

hingga 200 IU/kg per hari selama beberapa minggu hingga bulan.

Pada pasien dengan inhibitor faktor IX kemungkinan keberhasilan

lebih rendah dan memiliki risiko yang tinggi bila dibandingkan

dengan inhibitor faktor VIII. (1)

b. Manajemen Infeksi terkait transfusi

Manajemen infeksi terkait transfusi pada individu dengan

hemofilia pada dasarnya tidak berbeda dengan manajemen infeksi

pada umumnya (tergantung jenis infeksinya). Beberapa hal yang

perlu diperhatikan berkaitan dengan pengobatan dan tindakan

medis yang tidak boleh dilakukan pada individu dengan hemofilia.

10

Page 15: Hemofilia B

4. Manajemen hemofilia didapat

Manajemen pada hemofilia didapat secara umum sama dengan

manajemen individu dengan inhibitor hemofilia. (4)

5. Monitoring

Monitorng dilakukan sekali setiap 6-12 bulan untuk evaluasi hal-hal

berikut: (1)

a. Status muskuloskeletal

b. Konsentrat faktor pembekuan

c. Timbulnya inhibitor

d. Komplikasi dari terapi

e. Kualitas hidup

BAB III

KESIMPULAN

11

Page 16: Hemofilia B

1. Hemofilia B merupakan suatu penyakit perdarahan akibat defisiensi aktivitas

faktor IX.

2. Hemofilia B merupakan kelainan genetik X-linker recessive atau dapat juga

suatu kelainan didapat.

3. Diagnosis definitif adalah menurunnya aktivitas faktor IX berdasarkan

pemeriksaan laboratorium.

4. Prinsip terapi hemofilia B adalah menghindari perdarahan sebagai initial

treatment.

5. Pemberian konsentrat faktor IX merupakan terapi utama pada manajemen

perdarahan karena hemofilia B

6. Terapi tambahan dapat dilakukan dengan metode RICE (Rest, ice,

compression, elevation) dan pemberian obat seperti asam tranexamat apabila

ketersediaan konsentrat faktor IX minim.

12

Page 17: Hemofilia B

DAFTAR PUSTAKA

1. World Federation of Hemophilia. Panduan Penatalaksanaan Hemofilia. [Online].; 2005 [cited 2011 10 29. Available from: http://www.wfh.org/2/docs/Publications/Other_Languages/Treatment-Guidelines_Indonesian.pdf.

2. Rotty LWA. Hemofilia A dan B. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p. 759-62.

3. Kasper CK, Buzin CH. http://www.carolkasper.com. [Online].; 2007 [cited 2011 10 29. Available from: http://www.carolkasper.com/Monographs/genmonograph.pdf.

4. Giangrande P. Acquired Hemophilia. [Online].; 2005 [cited 2011 10 31. Available from: http://www.wfh.org/2/docs/Publications/Diagnosis_and_Treatment/TOH38_Acquired_Hemophilia.pdf.

5. Handin Rl. Disorders of Coagulation and thrombosis. In Fauci AS, Longo DL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th edition.: McGraw-Hill; 2005. p. 680-7.

6. Tjonnfjord GE, Holme PA. Factor eight inhibitor bpass activity (FEIBA) in the management of bleeds in hemophilia patients with high-titer inhibitors. Vascular Health Risk Management. 2007 August; 3(4).

7. Hay CRM, Brown S, Collins PW, Keeling DM, Liesner R. The diagnosis and management of factor VIII and IX inhibitors: a guideline from the United Kingdom Haemophilia Centre Doctors Organisation. British Journal of Haematology. 2006; 133.