Hand Out Trauma Abdomen
-
Upload
bang-uddin -
Category
Documents
-
view
110 -
download
2
Transcript of Hand Out Trauma Abdomen
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN
PENDAHULUAN
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma juga mempunyai
dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan
dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang.
Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu hal penting dan
menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan
adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma
tajam pada dada di antara nipple dan perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera
intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat ditentukan
oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma, maupun status hemodinamik penderita.
Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab kematian
yang sebenarnya dapat dicegah. Sebaiknya jangan menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun
perdarahan dari organ padat merupakan hal yang mudah untuk dikenali. Hasil pemeriksaan terhadap
abdomen mungkin saja dikacaukan oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obat tertentu,
adanya trauma otak atau medulla spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai
organ yang berdekatan seperti kosta, tulang belakang, maupun pelvis. Setiap pasien yang mengalami
trauma tumpul pada dada baik karena pukulan langsung maupun deselerasi, ataupun trauma tajam,
harus dianggap mungkin mengalami trauma visera atau trauma vaskuler abdomen.
ANATOMI ABDOMEN
Anatomi luar dari abdomen dibagi menjadi:
1. Abdomen Depan
- Batas Superior: Garis intermammaria
- Batas Inferior : Kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis
- Batas Lateral : Kedua linea axillaris anterior
2. Pinggang
Pinggang merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior dan linea axillaris
posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista iliaca. Di lokasi ini adanya dinding otot
abdomen yang tebal, berlainan dengan dinding otot yang lebih tipis di bagian depan, menjadi
pelindung terutama terhadap luka tusuk.
3. Punggung
- Batas Superior: Ujung bawah scapula
- Batas Inferior : Crista iliaca
- Batas Lateral : Kedua linea axillaris posterior
Otot-otot punggung dan otot paraspinal juga menjadi pelindung terhadap trauma tajam.
Anatomi dalam dari abdomen meliputi 3 regio:
1. Rongga Peritoneal
Rongga peritoneal dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
A. Rongga Peritoneal Atas
Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari dinding thorax yang mencakup
diafragma, hepar, liean, gaster, dan colon transversum. Bagian ini juga disebut sebagai
komponen thoracoabdominal dari abdomen. Pada saat diafragma naik sampai sela iga IV pada
waktu ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus di bawah garis
intermammaria bisa mencederai organ dalam abdomen.
B. Rongga Peritoneal Bawah
Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon ascendens dan colon descendens,
colon sigmoid, dan pada wanita, organ reproduksi internal.
2. Rongga Pelvis
Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya merupakan bagian bawah
dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah dari rongga retroperitoneal. Di dalamnya
terdapat rectum, vesika urinaria, pembuluh-pembuluh iliaca, dan pada wanita, organ reproduksi
internal. Sebagaimana halnya bagian torakoabdominal, pemeriksaan organ-organ pelvis terhalang
oleh bagian-bagian tulang di atasnya.
3. Rongga Retroperitoneal
Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada di belakang dinding peritoneum yang
melapisi abdomen. Di dalamnya terdapat aorta abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar dari
duodenum, pancreas, ginjal dan ureter, serta sebagian posterior dari colon ascendens dan colon
descendens, dan bagian rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera pada organ dalam
retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan pemeriksaan fisik yang biasa,
dan juga cedera di sini pada awalnya tidak akan memperlihatkan tanda maupun gejala peritonitis.
Rongga ini tidak termasuk dalam bagian yang diperiksa sampelnya Diagnostic Peritoneal Lavage
(DPL).
MEKANISME TRAUMA
1. Trauma tumpul
Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur setir atau bagian mobil lainnya dapat menyebabkan
trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ visera. Kompresi ini dapat merusak organ padat
maupun organ berongga, bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya
uterus ibu yang hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan (shearing
injury) terhadap organ visera terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat-belt) tidak digunakan
dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi.
Tekanan yang tiba-tiba mengakibatkan kerusakan terutama pada organ yang berongga dapat
pula diakibatkan oleh tekanan intraluminer yang tiba-tiba meninggi. Organ yang rusak yang
berlawanan dengan arah trauma, terutama pada trauma dari samping disebut counter coup. Bagian
yang selalu rusak selalu permukaan lateral dan organ seperti hati dan limpa merupakan organ yang
tersering mengalami kerusakan pada trauma tumpul.
2. Trauma tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan
karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer
energi kinetik yang lebih besar terhadap organ visera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary
cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat
berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang
berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.
Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, bergantung jauhnya perjalanaan
peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek
pecahan tulangnya. Organ padat akan mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang
ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.
Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka tusuk abdomen. Mortalitas terjadi
pada 30% korban luka tusuk abdomen yang menderita infeksi abdomen mayor. Faktor risiko paling
penting adalah adanya cedera pada organ berongga, dimana luka pada kolon menyebabkan insidensi
infeksi tertinggi relatif terhadap cedera organ intraabdomen. Cedera pada pankreas dan hati secara
signifikan meningkatkan risiko infeksi ketika berkombinasi dengan cedera organ berongga.
Penggunaan antibiotik dalam pencegahan infeksi ini didasarkan pada 3 hal, yakni pilihan agen
antibiotik, durasi penggunaan antibiotik, dan dosis optimal antibiotik.
GAMBARAN CIDERA ORGAN
A. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi di bagian manapun pada kedua diafragma; yang paling sering
mengalami cedera adalah diafragma kiri. Cedera biasanya 5-10 cm panjangnya dengan lokasi di
posterolateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto toraks awal akan terlihat diafragma yang
lebih tinggi ataupun kabur, bisa berupa hemothoraks ataupun adanya bayangan udara yang
membuat gambaran diafragma menjadi kabur, ataupun kelihatannya NGT yang terpasang didalam
gaster terlihat di toraks.
B. Duodenum
Ruptur duodenum ditemukan pada pengendara yang tidak menggunakan sabuk pengaman pada
kejadian tubrukan frontal dengan pukulan langsung pada abdomen, misalnya kena stang motor.
Adanya aspirasi darah dari gaster ataupun adanya udara retroperiuneum pada rontgen foto
abdomen menyebabkan kecurigaan akan terjadinya cedera duodenum. Untuk pasien yang
dicurigai, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen gastrointestinal atas maupun CT Scan dengan
double-contrast.
C. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di epigastrum, dengan kolumna
vertebralis sebagai alas. Adanya amilase yang normal pada awalnya tidak menyingkirkan
kemungkinan cedera pankreas. Bisa juga sebaliknya, terjadi peninggian kadar amilase dengan
sumber diluar pankreas. Kecuali bila secara konstan didapatkan peninggian kadar amilase, maka
harus diperiksa kemungkinan adanya cedera pankreas ataupun viscera lainnya. Pada 8 jam
pertama pasca trauma, pemeriksaan dengan CT dengan double contrast bisa saja belum
menunjukkan cedera pankreas, dan sebaiknya dilakukan ulang pemeriksaannya. Bila pemeriksaan
CT ulang tidak menunjukkan perbedaan, dianjurkan melakukan tindakan eksplorasi bedah atau
alternatif lain yang mungkin bermanfaat seperti Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (ERCP).
D. Genitourinaria
Pukulan langsung pada bagian punggung ataupun flank bisa menyebabkan kontusio,
hematoma, ataupun ekimosis yang merupakan tanda adanya kerusakan ginjal dibawahnya, dan
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan traktus urinarius dengan CT scan ataupun IVP. Indikasi
tambahan untuk perlunya pemeriksaan traktus urinarius adalah gross-hematuria maupun
hematuria mikroskopis pada pasien dengan:
Luka tusuk tembus abdomen.
Pasien trauma tumpul dengan serangan hipotensi.
Adanya cedera intraabdominal lain pada trauma tumpul abdomen.
Pada pasien dengan cedera uretra biasanya dijumpai fraktur pelvis bagian depan. Cedera uretra
dibedakan atas cedera diatas (posterior) ataupun dibawah (anterior) diafragma urogenitalis. Ruptur
uretra posterior biasanya merupakan cedera pada pasien dengan cedera multisistem dan fraktur
pelvis, sedangkan ruptur uretra anterior biasanya disebabkan straddle injury dan biasanya cedera
yang terisolir.
E. Usus halus
Trauma tumpul usus halus biasanya terjadi karena adanya deselerasi tiba-tiba dengan efek
robeknya pada bagian yang terfiksir, terutama bila pemakaian seat-belt yang tidak tepat. Adanya
jejas yang transversal, linear pada dinding perut (seat-belt sign) ataupun adanya fraktur distraksi
lumbar (chance fracture) pada x-ray harus dicurigai kemungkinan adanya cedera pada usus. Pada
sebagian pasien ada sakit perut yang hebat dengan nyeri tekan. Pada sebagian lagi diagnosa agak
sulit karena perdarahan yang minimal terjadi pada organ yang tertarik.
F. Cedera organ padat
Cedera pada hepar, lien, ataupun ginjal yang mengakibatkan syok, instabilitas hemodinamik
maupun bukti klinis adanya perdarahan yang masih berlangsung menjadi indikasi perlunya
dilakukan laparotomi. Cedera organ padat dengan hemodinamik yang normal sering berhasil
ditangani secara konservatif; pasien seperti ini harus dirawat untuk observasi yang ketat.
G. Fraktur pelvis dan cedera yang berhubungan
Tulang sakrum dan tulang-tulang innominate (ilium, ischium, dan pubis) beserta struktur
ligamen akan membentuk pelvis. Bila terjadi fraktur tulang maupun cedera ligamen, maka dapat
disangkakan bahwa pasien telah mengalami pukulan yang cukup kuat. Fraktur pelvis erat
hubungannya dengan cedera intraperitoneal maupun retroperitoneal, baik organ visera maupun
pembuluh darahnya. Insidensi robeknya aorta abdominalis cukup tinggi pada pasien dengan
fraktur pelvis, terutama yang jenisnya anteroposterior.
Ada 4 pola pukulan yang menyebabkan fraktur pelvis: (1) kompresi antero-posterior, (2)
kompresi lateral, (3) tarikan lateral, dan (4) pola kombinasi/kompleks. Kompresi antero-posterior
dapat terjadi pada pejalan kaki yang ditabrak mobil maupun tabrakan motor, pukulan langsung
pada pelvis maupun jatuh dari ketinggian lebih dari 3,6 m. Bila terjadi simfisiolisis, maka akan
terjadi robekan ligamen posterior sakroiliaka, sakrospinosum, sakrotuberositas ataupun lantai
fibromuskuler dari pelvis, yang terlihat sebagai fraktur sakroiliaka dengan/tanpa dislokasi ataupun
fraktur sakrum. Dengan terbukanya pelvic ring, dapat terjadi perdarahan dari pleksus vena pelvis,
dan (kadang-kadang) perdarahan dari cabang arteri iliaka interna.
Pada trauma abdomen, harus segera diperiksa pinggang, skrotum, dan daerah perianal apakah
terdapat jejas, pembengkakan ataupun darah pada meatus; juga laserasi pada perineum, vagina,
rektum, dan glutea yang menunjukkan kemungkinan adanya fraktur terbuka pelvis, di samping
colok dubur yang menunjukkan prostat yang letaknya tinggi.
Lalu kemudian dilakukan pemeriksaan stabilitas pelvis. Indikasi awal adanya instabilitas pelvis
adalah adanya panjang tungkai yang berbeda ataupun deformitas berupa eksorotasi tanpa adanya
fraktur tungkai. Karena pelvis yang instabil dapat mengalami eksorotasi, karena itu pelvis dapat
ditutup dengan menekan kedua krista iliaka pada SIAS. Dapat dirasakan adanya gerakan dengan
memegang krista iliaka dan pelvis yang instabil itu sambil ditekan kedalam dan keluar (maneuver
kompresi-distraksi). Dengan kerusakan di bagian posterior, sisi pelvis yang terkena dapat didorong
ke arah kranial atau ditarik ke arah kaudal. Gerakan ini bisa dirasakan pada perabaan di daerah
spina iliaka posterior sambil mendorong-menarik hemipelvis yang instabil tersebut.
Ada beberapa teknik sederhana yang dapat dipergunakan sebelum mentransfer pasien dan
selama resusitasi dengan kristaloid ataupun darah. Teknik itu antara lain: (1) diikatnya angkin ke
sekitar pelvis sebagai sling, yang mengakibatkan endorotasi tungkai, (2) penggunaan vaccum-type
long sping splinting device (bean bag) atau (3) penggunaan Pneumatic Antishock Garment
(PASG). Juga dapat dilakukan reduksi terhadap fraktur asetabulumnya dengan menggunakan
traksi longitudinal.
H. PERITONITIS
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan
meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans
muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
PATOFISIOLOGI.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga abdomen
sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadinya proliferasi
bacterial, terjadinya edema jaringan dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam
rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris
seluler dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus
paralitik disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus.
MANIFESTASI
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang
makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama
dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi
hipotermia,takikardi,dehidrasi hingga menjadi hipotensi.Nyeri abdomen yang hebat biasanya
memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa
tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya
yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.
PENATALAKSANAAN
Penggantian cairan, koloid dan elektroli adalah focus utama. Analegesik diberikan untuk
mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen
dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-
kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan.Tetapi medikamentosa nonoperatif
dengan terapi antibiotic, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic
dan terapi modulasi respon peradangan.Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan
hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah
sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi
hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa-tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka
tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus
peritoneum maka tindakan laparotomi diperlukan.
I. INTERNAL BLEDING
PATOFISIOLOGI DAN MANIFESTASI
Bila trauma mengenai organ hati, ginjal, limpa, atau pembuluh darah yang dapat
menimbulkan kehilangan darah substansial ke dalam rongga peritoneum. Adanya darah atau
cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas
dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat pula ditentukan dengan shifting dullness,
sedangkan adanya udara bebas dapat diketahui dengan hilang atau beranjaknya pekak hati. Bising
usus biasanya melemah atau menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di
daerah bahu terutama sebelah kiri. Pada trauma tumpul seringkali diperlukan observasi dan
pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Pada
trauma tajam perhatikan arteri lambung dan arteri mesenterika, 2 pembuluh darah besar yang
sering terkena trauma tembus abdomen. Hati-hati terhadap kejadian renjatan syok bila mengenai
pembuluh darah besar. Penetrasi ke limpa, pancreas, atau ginjal biasanya tidak mengakibatkan
perdarahan massif.
Klasifikasi syok hipovolemia(perdarahan)berdasarkan ATLS :
Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15% dari total volume darah,
mendorong pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan jantung atau pernafasan, tekanan
darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan sedikit atau tidak adanya perawatan sama sekali.
Perdarahan kelas 2 didefinisikan sebagai kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml),
dengan tanda-tanda klinis termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin
hanya sedikit menurun, khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan tetapi tekanan
nadi menyempit. Urin output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan
perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa
pasien mungkin membutuhkan transfusi darah. Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai
kehilangan 30-40% (1500-2000 ml) volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan
perdarahan kelas 3 mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan
pengisian kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif
status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan darah terkecil
yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah sistemik. Resusitasi pasien-
pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagi tambahan terhadap pemberian larutan
kristaloid. Perdarahan kelas 4 didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (>
2000 ml) mewakili perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia,
tekanan darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau
tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status
mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk
resusitasi dan seringkali membutuhkan intervensi bedah segera.
PENILAIAN TRAUMA ABDOMEN
Pemeriksaan pada korban trauma harus cepat dan sistematik sehingga tidak ada cedera yang
tidak terdeteksi sebelum dilakukan penanggulangan yang efisien dan terencana. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan menganalisis data yang didapat dari anamnese, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
pencitraan.
1. Anamnese
Anamnese yang teliti terhadap pasien yang mengalami trauma abdomen akibat tabrakan
kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan, jenis tabrakan, berapa besar penyoknya
bagian kendaraan ke dalam ruang penumpang, jenis pengaman yang dipergunakan, ada/tidak air bag,
posisi pasien dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya. Keterangan ini dapat diperoleh
langsung dari pasien, penumpang lain, polisi maupun petugas emergensi jalan raya. Informasi
mengenai tanda-tanda vital, luka-iuka yang ada maupun respons terhadap perawatan pra-rumah sakit
harus dapat diberikan oleh petugas-petugas pra-rumah sakit.
Bila meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnese yang teliti harus diarahkan pada waktu
terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau, pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah
tikaman atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal yang tercatat di tempat kejadian. Bila
mungkin, informasi tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari
setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke bahu. Selain itu pada luka tusuk dapat
diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah tusukan, bentuk pisau dan cara
memegang alat penusuk tersebut.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma, kemudian
menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. Pemeriksaan fisik abdomen harus
dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-
temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan baik pada status.
Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada pemeriksaan perut.
Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-gejala perut.
A. Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada dinding perut dapat
menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian depan dan belakang,
dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat
pengaman, adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian
usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.
B. Auskultasi
Tujuan utama auskultasi adalah untuk mendengarkan bising usus, yang penting adalah ada atau
tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat
mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk
dengan isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda
rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus
segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan
selanjutnya. Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga
mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus
tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal.
C. Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda peritonitis. Dengan
perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas
ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum. Adanya darah dalam rongga perut dapat
ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang
beranjak atau menghilang.
D. Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien) mengakibatkan
pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter
merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk
mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang
menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi
usus, maupun hemoperitoneum tahap awal.
E. Evaluasi luka tusuk
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi karena insiden
cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang tangensial sering tidak betul-betul
tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa
adanya luka masuk. Luka tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus
mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan
hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan nampaknya tidak
menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang berpengalaman akan mencoba
untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini
tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan
juga untuk pasien dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka
tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini menjadi
kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai
ditemukan ujungnya. Bila terbukti peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk
cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah indikasi untuk melaksanakan
laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif
maupun karena perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk
evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.
F. Menilai stabilitas pelvis
Penekanan secara manual pada sias ataupun crista iliaca akan menimbulkan rasa nyeri maupun
krepitasi yang menyebabkan dugaan pada fraktur pelvis pada pasien dengan trauma tumpul. Harus
hati-hati karena manuver ini bisa menyebabkan atau menambah perdarahan yang terjadi.
G. Pemeriksaan penis, perineum dan rektum
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya uretra. Inspeksi pada
skrotum dan perineum dilakukan untuk melihat ada tidaknya ekimosis ataupun hematom dengan
dugaan yang sama dengan diatas. Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan trauma tumpul
adalah untuk menentukan tonus sfingter, posisi prostat (prostat yang lelaknya tinggi menyebabkan
dugaan cedera uretra), dan menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk,
pemeriksaan rektum bertujuan menilai tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena
perforasi usus.
H. Pemeriksaan vagina
Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur pelvis ataupun luka tusuk.
I. Pemeriksaan glutea
Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan glutea. Luka tusuk di daerah ini
biasanya berhubungan (50%) dengan cedera intraabdominal.
3. Intubasi
Bilamana problem airway, breathing, dan circulation sudah dilakukan diagnosis dan terapi,
sering dilakukan pemasangan kateter gaster dan urine sebagai bagian dari resusitasi.
A. Gastric tube
Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa resusitasi adalah untuk
mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster sebelum melakukan DPL, dan
mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada NGT
menunjukkan kemungkinan adanya cedera esofagus ataupun saluran gastrointestinal bagian
atas bila nasofaring ataupun orofaringnya aman. Perhatian: gastric tube harus dimasukkan
melalui mulut (orogastric) bila ada kecurigaan fraktur tulang fasial ataupun fraktur basis cranii
agar bisa mencegah tube masuk melalui lamina cribiformis menuju otak.
B. Kateter urin
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin, dekompresi buli-buli sebelum
melakukan DPL, dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu indeks perfusi jaringan.
Hematuria menunjukkan adanya cedera traktus urogenitalis. Perhatian: ketidak mampuan untuk
kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada metus urethra, hematoma skrotum ataupun
ekimosis perineum maupun prostat yang letaknya tinggi pada colok dubur menjadi petunjuk
agar dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa diyakinkan tidak adanya rupture
urethra sebelum pemasangan kateter. Bilamana pada primary survey maupun secondary survey
kita ketahui adanya robek uretra, mungkin harus dilakukan pemasangan kateter suprapubik oleh
dokter yang berpengalaman.
4. Pengambilan sampel darah dan urin
Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya adalah menentukan tipe darah.
Pada pasien yang hemodinamiknya stabil adalah untuk penentuan tipe dan crossmatch bagi yang
hemodinamiknya tidak stabil. Bersamaan dengan itu dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, kalium +
glukosa + amylase (pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah. Walaupun kadang tidak
penting, dilakukan juga pemeriksaan laboratorium tambahan pada pasien yang diketahui punya sakit
lain sebelumnya, ataupun pasien yang akan menjalani pemeriksaan Rontgen dengan bahan kontras
(terutama yodium) intravena. Urin dikirim untuk urinalisa ataupun tes obat dalam urin bilamana
diperlukan. Untuk wanita dengan usia produktif, dilakukan juga pemeriksaan tes kehamilan. Indikasi
untuk urinalisis diagnostik termasuk trauma yang signifikan pada dan perut/atau panggul, gross
hematuria, hematuria mikroskopis dalam pengaturan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang
signifikan.
5. Pemeriksaan radiologi
A. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP dan pelvis AP
dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi
(telentang, tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah
diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitonium, yang kalau ada pada keduanya
menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal.
B. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan
screening X-Ray. Pada pasien luka tusuk di atas umbilikus atau dicurigai dengan cedera
thoracoabdominal dengan hemodinamik yang normal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara
bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka
masuk maupun luka keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru
maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
C. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a. Uretrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan uretrografi sebelum
pemasangan kateter urin bila kita curigai adanya ruptur uretra. Pemeriksaan uretrografi
dilakukan dengan memakai kateter No. 8-F dengan balon dipompa 15-20 cc di fossa
naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang tidak diencerkan. Dilakukan pengambilan
foto dengan proyeksi oblik dengan sedikit tarikan pada penis.
b. Sistografi
Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan
sistografi ataupun CT sistografi. Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc
kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan dibiarkan kontras
mengalir ke dalam buli-buli atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan
mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-
voiding. Cara lain adalah dengan periksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama
bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang
pelvisnya.
Pada trauma pelvis atau abdomen bagian bawah dengan hematuria, dilakukan sistografi
dan ureterogram bila ada kecurigaan cedera uretra, terutama bila ada riwayat cedera pelana
seperti jatuh di atas setang sepeda.
c. CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan
hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera sistem urinaria bias diperiksa dengan
CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan IVP.2 Pada penderita dengan hematuria
yang keadaannya stabil harus dilakukan IVP.1
d. Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon
ascendens, colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi
dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras
ataupun pemeriksaan Ro-foto untuk traktus gastrointestinal bagian atas ataupun bagian
bawah dengan kontras harus dilakukan.
6. Pemeriksaan Diagnostik pada Trauma Tumpul
Apabila ada bukti awal atau pun bukti yang jelas menunjukkan pasien harus segera ditransfer,
pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu dilakukan. Beberapa prosedur yang dapat
dilakukan antara lain diagnostik peritoneal lavage, CT scan, maupun Focused Assesment Sonography
in Trauma (USG FAST).
Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) merupakan prosedur invasif yang bisa dikerjakan dengan
cepat, memiliki sensitivitas sebesar 98% untuk perdarahan intraperitoneal. DPL harus dilakukan pada
pasien trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal, khususnya apabila ditemui:
a. Perubahan sensorium akibat trauma kapitis, intoksikasi alkohol, kecanduan obat-obatan.
b. Perubahan sensasi akibat trauma spinal.
c. Cedera organ yang berdekatan dengan iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d. Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas.
e. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama, misalnya
pasien menjalani pembiusan untuk cidera ekstraabdominal, pemeriksaan angiografi.
f. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal apabila dijumpai hal-hal
tersebut serta apabila fasilitas USG dan CT scan tidak memadai.
Kontraindikasi untuk DPL adalah apabila dijumpai indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontaindikasi relatif lainnya antara lain operasi abdomen sebelumnya, morbid obesiti, sirosis yang
lanjut dengan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai teknik terbuka atau tertutup (Seldinger) di
infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis maupun ibu hamil lebih
baik digunakan supraumbilikal guna mencegah terjadinya hematoma pelvis atau membahayakan
uterus.
Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran maupun empedu yang keluar
melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk
laparatomi. Bila tidak ada darah segar (lebih dari 10 cc) atau cairan geses, dilakukan lavase dengan
1000 cc (10 cc/kgBB) larutan Ringer Laktat. Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun
melakukan log-roll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal, serat maupun empedu. Tes dinyatakan positif apabila dijumpai eritrosit lebih dari
100.000 /mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram positif untuk bakteri.
Ultrasound FAST memberikan cara yang cepat, noninvasif, akurat, dan murah untuk
mendeteksi hemoperitoneum dan dapat diulang kapan pun. Ultrasound juga dapat digunakan sebagai
alat diagnostik bedside di kamar resusitasi yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa
prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan DPL. Faktor
yang mempengaruhi penggunaannnya antara lain obesitas, adanya udara subkutan ataupun bekas
operasi abdomen sebelumnya. Scanning dengan ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk
mendeteksi hemoperitoneum. Dicari scan dari kantung perikard, fossa hepatorenalis, fossa
splenorenalis serta cavum Douglas. Sesudah scan pertama, idelanya dilakukan lagi scan kedua atau
scan kontrol 30 menit berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan hemoperitoneum
pada pasien dengan perdarahan yang berangsur-angsur.
CT Scan merupakan prosedur diagnostik di mana kita perlu memindahkan pasien ke tempat
scanner, memberikan kontras intravena untuk pemeriksaan abdomen atas, bawah serta pelvis.
Akibatnya, dibutuhkan banyak waktu dan hanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil, di
mana kita tidak perlu segera melakukan laparatomi. Dengan CT scan kita memperoleh keterangan
mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, serta mendiagnosa trauma
retroperitoneal maupun pelvis yang sulit didiagnosis dengan pemeriksaan fisik, FAST, dan DPL.
Kontraindikasi relatif penggunaan CT Scan antara lain penundaan yang terjadi sampai alat CT
scan siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak kooperatif yang tidak mudah ditenangkan
dengan obat, atau alergi terhadap bahan kontras yang dipakai bilamana bahan kontras non ionik tidak
tersedia.
Tabel Perbandingan prosedur diagnostik DPL, FAST, serta CT scanDPL FAST CT Scan
Indikasi Menunjukkan darah
bila hipotensif
Menunjukkan cairan bila
hipotensi
Menunjukkan kerusakan
organ bila tensi normal
Keuntungan Deteksi dini, semua
pasien, cepat 98%
sensitif, deteksi cedera
usus, tidak butuh
transpor
Deteksi dini, semua pasien,
non-invasif, cepat, 86-97%
akurat, tidak membutuhkan
transport
Lebih spesifik untuk
cedera, sensitivitas 92-
98%
Kerugian Invasif, spesifisitas
rendah, tidak bisa
untuk trauma
diafragma dan
retroperitoneal
Bergantung operator,
distorsi oleh udara usus,
tidak bisa untuk trauma
diafragma, usus dan
pankreas
Memakan waktu,
dibutuhkan transpor, tidak
untuk trauma diafragma,
usus, dan pankreas
7. Pemeriksaan diagnostik pada trauma tajam adalah sebagai berikut:
A. Cedera toraks bagian bawah
Untuk pasien asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan struktur
abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun foto toraks berulang, torakoskopi
atau laparaskopi, serta pemeriksaan CT scan.
Dengan pemeriksaan tersebut kita masih bisa menemukan adanya hernia diafragma
sebelah kiri karena luka tusuk torakoabdominal sehingga untuk luka lain diperlukan eksplorasi
bedah. Untuk luka tembak torakoabdominal, pilihan terbaik adalah laparatomi.
B. Eksplorasi lokal luka dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk
abdomen depan
Sebanyak 55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan mengalami hipotensi,
peritonitis ataupun eviserasi omentum maupun usus halus. Untuk pasien seperti ini harus segera
dilakukan laparatomi. Untuk pasien lain, sesudah konfirmasi adanya luka tusuk tembus
peritoneum dilakukan eksplorasi lokal pada luka sampai laparatomi. Laparatomi merupakan
salah satu pilihan relevan untuk semua pasien. Untuk pasien yang relatif asimptomatik, pilihan
diagnostik non-invasif adalah pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam, DPL, maupun
laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial membutuhkan sumber daya
manusia yang besar. Dengan DPL bisa diperoleh diagnosis lebih dini pada pasien asimptomatik
dan akurasi mencapai 90% bila menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul.
Laparaskopi diagnostik bisa mengkonfirmasi dan menyingkirkan tembusnya peritoneum tetapi
kurang bermakna untuk mengenali cedera tertentu.
C. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan CT dengan double atau triple kontras pada
cedera fisik maupun punggung
Ketebalan otot pinggang maupun punggung melindungi organ visera di bawahnya pada
luka tusuk maupun luka tembak. Walaupun laparatomi merupakan pilihan yang relevan, untuk
pasien asimptomatik terdapat pilihan diagnostik lain yaitu pemeriksaan fisik serial, CT dengan
double atau triple kontras atau DPL. Dengan pemeriksaan fisik diagnostik serial untuk pasien
asimptomatik yang menjadi simptomatik, diperoleh akurasi terutama untuk deteksi cedera
retroperitoneal maupun intraperitoneal di belakang linea aksilaris anterior.
CT scan dengan kontras memakan banyak waktu serta membutuhkan ketelitian untuk
memeriksa bagian kolon retroperitoneal pada sisi luka tusuk. Ketajamannya sebanding dengan
pemeriksaan fisik diagnostik serial, tetapi memungkinkan deteksi yang lebih dini.
Bagan Evaluasi Trauma Abdomen
Indikasi Untuk Laparatomi Pada Orang Dewasa
1. Indikasi berdasarkan evaluasi abdomen
a. Trauma tumpul abdomen dengan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) positif atau Ultrasound.
b. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang walaupun diadakan resusitasi yang
adekuat.
c. Peritonitis dini atau yang menyusul.
d. Perdarahan dari gaster, dubur, atau daerah genitourinari akibat trauma tembus.
e. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitoneum viseral/vaskular.
f. Eviserasi (pengeluaran isi usus).
2. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Rontgen
Udara bebas, udara retroperitoneum, atau ruptur hemidiafragma setelah trauma tumpul. CT
dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus gastrointestinal, cedera kandung kemih
intraperitoneal, cedera renal pedicle, atau cedera organ viseral yang parah setelah trauma tumpul
atau tembus.
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN
PENGKAJIAN
Anamnesis
– Penilaian awal dimulai di tempat cedera, dengan informasi yang diberikan oleh keluarga,
pasien, saksi mata, paramedis, atau polisi.
– Mekanisme trauma, apakah trauma tumpul, tajam, tembak.
– Pada trauma tembus, perlu ditanyakan
• Benda, jenis senjata
• Jarak tembak, mendengar bunyi tembakan,
• Berapa kali ditusuk
• Posisi saat kejadian
TANDA-TANDA VITAL :
– TD : ↓
– N : ↑
– RR : ↑
– Suhu : ↑
Identifikasi dari semua cedera head-to-toe
Inspeksi
o Depan, samping, belakang
o Lecet atau ecchymosis,
o Luka tembak atau luka tusuk.
o Pola cedera misalnya, luka lecet sabuk, roda kemudi berbentuk kontusio, tembak dan tusuk
o Ecchymosis pada flank area (Grey Turner sign) menunjukkan perdarahan retroperitoneal
o Cullen sign à kebiruan disekitar umbilicus, mengindikasikan perdarahan intraperitoneal dari
liver atau spleen
o Tinja bercampur darah
Auskultasi
o Suara usus normal atau hilang, Pada cedera perut sering terjadi ileus paralitik.
o Adanya suara usus di dada bisa menunjukkan adanya cedera diafragma.
o Bruit abdominal mungkin mengindikasikan cedera pembuluh darah atau fistula arteriovenosa
traumatis
Perkusi
o Adanya perdarahan internal : pekak sisi dan undulasi.
o Adanya udara bebas berupa perkusi timpani.
o Pekak hepar menghilang
Palpasi
o Nyeri seluruh perut,
o Defance muskular, yang menunjukkan tanda peritonitis.
o Pada perdarahan internal, adanya cairan bebas bisa diketahui adanya undulasi.
o Krepitasi atau ketidakstabilan dari tulang rusuk bagian bawah berpotensi untuk terjadi cedera
limpa atau hati
o Dengan melakukan pekanan pada tulang iliaka kanan dan kiri akan memberikan gerakan
abnormal pada patah tulang pelvis à Berisiko cedera pada uretra atau kandung kemih.
o Evaluasi tonus spingter ani penting untuk menentukan status neurologis pasien, dan palpasi dari
floating prostat menunjukkan adanya cedera uretra
DIAGNOSA KEPERAWATAN
• PK : Syok Hipovolemik dengan Diagnosa Keperawatan Defisit volume cairan b.d. perdarahan dari
eviserasi, gangguan intregitas organ intra abdomen, drainase
• Nyeri akut b.d - trauma jaringan sekunder akibat kecelakaan / inflamasi sekunder akibat infeksi
gastrointestinal
• Resiko infeksi b.d tempat masuknya mikroorganisme sekunder akibat trauma jaringan, perdarahan
• Pola napas takefektif b.d penurunan kemampuan ekspansi paru
• PK : Sepsis dengan diagnosa keperawatan Hipertermi b.d regulasi suhu takefektif sekunder akibat
infeksi gastrointestinal
• Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
• Defisit perawatan diri b.d kelemahan otot sekunder akibat perdarahan
KONSEP INTERVENSI KEPERAWATAN
• Berikan posisi shok
• Lakukan resusitasi cairan tubuh, bila mungkin berikan tranfusi darah
• Lakukan pemasangan kateter urin
• Lakukan dekompresi lambung dengan pemasangan NGT
• Puasakan pasien
• Bila isi abdomen keluar tutup dengan kasa basah
• Berikan terapi oksigen bila perlu
• Lakukan manajemen nyeri (pemberian analgesik perlu dipertimbangkan)
• Jika pasien demam, lakukan kompres dengan air kran
• Kolaborasi pemberian antipiretik
• Berikan baju yang tipis
• Lakukan perawatan luka dengan teknik yang tepat
• Kolaborasi pemberian antibiotik
• Anjurkan pasien bed rest dan jika memungkinkan anjurkan pasien latihan aktivitas secara bertahap
• Lakukan pemenuhan ADL pasien
• Evaluasi TTV
• Evaluasi status hemodinamik (Lab, radiologi, lingkar perut, urin output, turgor)
• Evaluasi infeksi (Lab.)
• Evaluasi motilitas usus
• Evaluasi nyeri