Family Folder DM Tirtajaya

32
Laporan Diabetes Melitus di Puskesmas Kecamatan Tirtajaya dengan Pendekatan Pelayanan Dokter Keluarga Disusun oleh : Stefany Grandinata 11.2013.316 Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas 1

description

n

Transcript of Family Folder DM Tirtajaya

Laporan Family Folder Puskesmas Wijaya Kusuma

Laporan Diabetes Melitus di Puskesmas Kecamatan Tirtajayadengan Pendekatan Pelayanan Dokter Keluarga

Disusun oleh :Stefany Grandinata11.2013.316

Kepaniteraan Ilmu Kedokteran KomunitasFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJakarta,2015Bab IPendahuluan 1.1. Latar BelakangSalah satu cita-cita masyarakat Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat. Kebijakan Indonesia Sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu adil dan merata. Untuk mendukung pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010 telah ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 131/Menkes/SK/II/2004 dan salah satu Subsistem dari SKN adalah Subsistem Pemberdayaan Masyarakat. Kebijakan Nasional Promosi kesehatan untuk mendukung upaya peningkatan perilaku sehat ditetapkan Visi Nasional Promosi Kesehatan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1193/MENKES /SK/X/2004 yaitu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 2010 (PHBS 2010). Untuk melaksanakan program Promosi Kesehatan di Daerah telah ditetapkan Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI. No.1114/Menkes/SK/VIII/2005.Salah satu tindakan promosi dalam bidang kesehatan adalah kunjungan rumah oleh petugas kesehatan, selain tindakan promosi, kunjungan rumah atau home visit bertujuan untuk kuratif, follow up pasien serta mencari kasus pasien (Active Case Finding).Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.1 Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.2Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Survei melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.2

1.2. TujuanDengan melakukan kunjungan ke rumah, diharapkan kita dapat melakukan analisa kasus DM dengan pendekatan keluarga, yakni: Meningkatkan kesadaran pasien dan keluarganya mengenai pentingnya kesehatan. Memantau perkembangan penyakit pasien serta kepatuhan pasien menjalani terapi. Serta memberikan penjelasan mengenai pentingnya kepatuhan minum obat terhadap kesembuhan pasien. Memberikan penyuluhan mengenai faktor faktor yang dapat mempengaruhi kesembuhan dan memperberat penyakit. Menciptakan komunitas masyarakat yang sehat. Mengidentiikasikan faktor resiko DM dan menilai adanya faktor yang memperberat DM.

1.3. MasalahMasalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai penyakit diabetes melitus tipe 2, yang umumnya terjadi pada usia dewasa. Belakangan penderita diabetes didalam masyarakat meningkat karena faktor pola hidup yang makin memburuk, misalnya saja kurangnya berolahraga, makan makanan atau minum minuman yang tidak sehat (manis) dan sebagainya. Kurangnya pengetahuan mengenai penyakit yang di derita dan penyebab penyakit tersebut. Kurangnya pengetahuan mengenai makna dari hidup bersih dan sehat baik di dalam rumah maupun di lingkungan tempat tinggal pasien dan keluarga.

1.4. SasaranSasaran pokok nya adalah Pasien beserta dengan Keluarga pasien.

Bab II Metode dan Materi

Metode yang digunakan adalah penemuan penderita pasif (Passive case finding). Penemuan penderita pasif adalah kegiatan mendatangi pasien ke rumahnya dengan berdasarkan data yang didapat dari puskesmas, atau dari pasien yang sedang berobat ke Puskesmas. Selain Passive Case Finding, kita juga melakukan Active Case Finding pada keluarga pasien yaitu melihat apakah anggota keluarga pasien menderita penyakit yang sama.Hal yang dilakukan adalah: Mendapatkan data lengkap mengenai pasien dari aspek biologis, psikologis, dan sosialnya. Mendapatkan data lengkap mengenai keadaan rumah dan keluarga pasien. Mendapatkan data lengkap tentang keadaan lingkungan tempat tinggal pasien. Menganalisa dan memberikan penjelasan pada pasien mengenai faktor faktor yang mempengaruhi penyakit DM.Materi yang disampaikan pada saat kunjungan adalah: Penyebab DM. Melakukan pemeriksaan medis yang rutin untuk memantau perjalanan penyakit DM. Aturan dan Kepatuhan minum obat demi mencapai kesembuhan. Upaya perilaku hidup bersih dan sehat. Meningkatkan gizi agar daya tahan tubuh baik. Upaya menciptakan rumah yang sehat.

Bab IIIKerangka Teori

Kebijakan Indonesia Sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu adil dan merata. Untuk mendukung misi tersebut maka pemerintah mengadakan program hidup bersih dan sehat dengan sasaran masyarakat dan lingkungannya dan dengan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga.Pelayanan kedokteran keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit dimana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan umur maupun jenis kelamin. Pelayanan kedokteran keluarga berorientasi komunitas yang bertitik tolak terhadap keluarga, tidak hanya memandang sebagai seorang individu yang sakit, tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi mengunjungi secara aktif penderita maupun keluarganya (IDI 1982).Tujuannya adalah : terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluargaPelayanan kedokteran keluarga dibagi menjadi 3 yaitu: Menyelenggarakan pelayanan rawat jalan Menyelenggarakan pelayanan rawat jalan, kunjungan dan perawatan pasien di rumah Menyelenggarakan pelayanan rawat jalan, kunjungan dan perawatan pasien di rumah serta rawat inap di rumah sakit.Kunjungan Rumah.Kunjungan rumah dilakukan petugas kesehatan puskesmas sebagai tindak lanjut upaya promosi kesehatan di dalam gedung puskesmas yang telah dilakukan kepada pasien dan keluarga. Terutama kepada pasien yang mempunyai masalah kesehatan yang cukup berat dan atau yang sepakat untuk melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut di rumah tangganya (seperti menyemen lantai, membuat jamban keluarga, TOGA dan lain-lain).Untuk pasien dan keluarga yang cukup mempunyai masalah penyakit yang cukup berat, kunjungan rumah merupakan proses dalam membantu pemecahan masalah tersebut (konseling) di tingkat keluarga, dalam hal ini berlaku prinsip-prinsip konseling.Untuk pasien atau keluarga yang sepakat untuk melaksanakan tindak lanjut, kunjungan rumah digunakan sebagai upaya supervise dan bimbingan sekaligus sebagai penghargaan jika langkah-langkah tersebut terlaksana. Namun tidak jarang kunjungan rumah jenis ini dapat berubah menjadi bimbingan konseling, bila ternyata langkah-langkahyang telah disepakati belum terlaksana atau terkendala. Artinya, petugas puskesmas harus membantu keluarga tersebut dalam mengatasi masalah atau kendala yang sedang dihadapi.Tidak jarang bahwa kunjungan rumah yang semula dimaksudkan untuk menyelenggarakan konseling keluarga berkembang menjadi konseling yang lebih luas. Hal ini terjadi bahwa masalah yang dihadapi keluarga tersebut juga dihadapi oleh keluarga lainnya.Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.4 Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu DM II merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi genetik pada DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. 7 Tidak terkait dengan lokus HLA, tetapi > 90% konkordans pada orang kembar. Suatu subkelompok mempunyai alel polimorfik untuk glikogen sintase, perkecualiannya adalah maturity-onset diabetes of the young (MODY) yang autosomal dominan : gen glukokinase yang mengalami mutasi (di kromosom 7) menyebabkan perubahan mekanisme pengenalan glukosa (glucose-sensing mechanism).4 Resistensi insulin Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi sintase glikogen , disfungsi regulator metabo0lis, reseptor doen-regulation, dan abnormalitas transporter glukosa.5 Meningkatkan penurunan ambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin.7 Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM II, produksi gl;ukosa hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan peningkatan keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.5 Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan derajat resistensi insulin.5

Disfungsi sel beta Disfungsi sel beta mengakibatkan ketidakmampuan sel pulau (sel islet) penkreas menghasilkan insulin yang memadai untuk menyediakan insulin yang cukup setalah sekresi insulin dipengaruhi.5 Diteorikan bahwa hiperglikemia dapat membuat sel beta semakin tidak responsif terhadap glukosa karena toksisitas glukosa.5 Sekresi insulin normalnya terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjadi dalam beberapa menit setelah suplai glukosa dan kemudian melepaskan cvadangan insulin yang disimpan dalam sel beta; fase dua merupakan pelepasan insulin yang baru disintesis dalam beberapa jam setelah makan. Pada DM II, fase pertama pelepasan insulin sangat terganggu.5 Fungsi sel beta (termasuk fase awal sekresi insulin) dan resistensi insulin membaik dengan penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik.5

2.3.2 Tanda dan GejalaPemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart (Tabel 1).1,3Bukan DMBelum pasti DMDM

Kadar glukosa darah sewaktu

plasma vena< 110110 199>200

darah kapiler200

Kadar glukosa darah puasa

plasma vena< 110110 125>126

darah kapiler110

Tabel 1. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)Keluhan Khas: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnyaKeluhan tidak khas: lemah, kesemutan, gatal, mata kabue, disfungsi ereksi, pruritus vulvae.

2.3.3 Terapi2.3.3.1 Non Medika MentosaModalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi nom farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.1,62.3.3.2 MedikamentosaMACAM MACAM OBAT ANTI HIPERGLIKEMIK ORAL :1,41. Golongan Insulin Sensitizing Biguanid Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C , sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1.3 mg/dL pada perempuan dan > 1.5 mg/dL pada laki laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan denga hati hati pada orang lanjut usia. GlitazoneGolongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 2.6% dibandingkan dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.2. Golongan Sekretagok InsulinSekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid. SulfonylureaSulfonylurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya. GlinidSekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonylurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolism dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya menurunkan A1C tidak begitu kuat.3. Penghambat Alfa GlukosidaseObat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens adalah efek yang paling tersering terjadi pada hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal.Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan, metabolism terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.4. Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.2.3.4 Preventif Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye pola makan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol. Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olahraga teratur. Dengan menganjuran olah raga kepada kelompok resiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah. Motto memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang merata sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang memadai.2 Pencegahan sekunder. Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan bisa menerima kenyataan bahwa penyakitnya tida bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara non farmakologis dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin. Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan ntuk itu (diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus dapat mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk dengan resiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.2 Pencegahan tersier. Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap : Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai pencegahan sekunder Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk keperluan itu yaitu penyuluhan diabetes (diabetes educator).2

Strategi pencegahanDalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain:21. Pendekatan populasi / masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga unuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak hanya oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan ma yarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama)2. Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.

Bab IVPengumpulan Data

Puskesmas: Puskesmas Tirtajaya

4.1. Identitas Pasiena. Nama : Ny. Mb. Umur: 55 tahunc. Jenis Kelamin: Perempuand. Pekerjaan: Ibu rumah tanggae. Pendidikan: Tidak tamat SDf. Alamat: Desa Pisang Sambo, Tirtajaya

4.2. Riwayat Biologis Keluargaa. Keadaan kesehatan sekarang: Baikb. Kebersihan Perorangan: Sedang.c. Penyakit yang diderita: Kencing Manis ( Diabetes Melitus )d. Penyakit keturunan: - (tidak ada)e. Penyakit kronis/ keturunan: gula darah tidak terkontrolf. Kecacatan anggota keluarga: - (tidak ada)g. Penyakit keluarga: -h. Pola makan: Teratur, makan apabila lapar saja.i. Pola istirahat : Baik (tidur siang pada pukul 14.00 selama 2 jam, tidur malam pukul 22.00 selama 7 jam).j. Jumlah anggota keluarga: 3 orang.

4.3. Psikologis Keluargaa. Kebiasaan : -b. Pengambilan keputusan : Suamic. Ketergantungan obat: - (tidak ada)d. Tempat mencari pelayanan kesehatan: Puskesmas.e. Pola Rekreasi: Tidak pernah.

4.4. Keadaan Rumah/ Lingkungana. Jenis bangunan: Semi permanenb. Lantai Rumah: Keramikc. Luas Rumah: 6m x 3m = 18m2, dengan anggota keluarga 6 orang. Berarti 1 orang menempati wilayah 3x3m. berarti luas wilayah perorang adalah kurang.d. Penerangan : cukup.e. Kebersihan: kurang.f. Ventilasi : kurang. (jendela ada tetapi tidak difungsikan)g. Dapur: Ada.h. Jamban keluarga:Ada jamban didalam rumah, i. Sumber air minum: air sumur yang dimasak, tapi bila punya uang baru beli air mineral galon.j. Sumber pencemaran air: tidak adak. Pemanfaatan perkarangan: tidak ada.l. System pembuangan limbah : adam. Tempat pembuangan sampah: adan. Sanitasi lingkungan : kurang baik

4.5. Keadaan Sosial dan Ekonomia. Ketaatan beribadah: Baik.b. Keyakinan tentang kesehatan : kurang. Keluarga jarang memeriksakan diri ke puskesmas.

4.6. Keadaan Sosial Keluargaa. Tingkat pendidilkan: Rendahb. Hubungan antar anggota keluarga : Baikc. Hubungan dengan orang lain : Baik. Setiap hari selalu ada tetangga yang datang ke rumah untuk berbincang.d. Kegiatan organisasi sosial : Baik. Keluarga selalu hadir ke pengajian rutin.e. Keadaan ekonomi : Sedang, sumber penghasilan dari pekerjaan sebagai buruh tani .

4.7. Kultural Keluargaa. Adat yang berpengaruh: -b. Lain-lain:-

4.8. Daftar Anggota Keluarga (ada di halaman selanjutnya)4.9. Keluhan Utama: Lemas4.10. Keluhan Tambahan: Luka di kaki tidak sembuh4.11. Riwayat Penyakit Sekarang: DM4.12. Riwayat Penyakit Terdahulu: -4.13. Pemeriksaan Fisik: TD 130/904.14. Diagnosis Penyakit: DM4.15. Diagnosis Keluarga:-4.16. Anjuran Penatalaksanaan Penyakita. Promotif: Menjelaskan apa yang dimaksud hidup bersih dan Sehat, Menjelaskan Penyakit DM serta Faktor-Faktor yang memperburuk.b. Prefentif: menghindari makanan yang berlemak dan mengandung banyak glukosa, memeriksakan secara rutin tekanan darah dan gula darah, ikut berpartisipasi apabila ada kegiatan olahraga di puskesmas, menkonsumsi obat DM secara teratur.c. Kuratif: Meminum obat DM, dan memantau gula darah secara teratur ke Puskesmas.d. Rehabilitatif: Mengatur pola makan, Menjaga berat badan agar tidak berlebih, Memperbaiki Gizi keluarga untuk meningkatkan sistem imun keluarga.

4.17. Prognosisa. Penyakit: Dubia ad bonam. apabila terkontrol dengan baik, dan berat badan terjaga dengan baik, dan kebersihan lingkungan dan kebersihan rumah terjaga.b. Keluarga: Ad Bonam.c. Masyarakat: Ad Bonam apabila kesehatan lingkungan terjaga.

22

Bab VPembahasan

Pasien bernama Mariyem usia 55 tahun, tinggal di desa Pisangsambo, Tirtajaya yang berada sekitar 5 km dari Puskesmas.Lingkungan pertama yang kami lewati dengan jarak 1 km dari Puskesmas merupakan area persawahan. Dipekarangan rumah pasien terdapat kandang ayam, namun ayam peliharan tersebut dibiarkan keluar masuk rumah pasien.Sumber air minum pasien berasal dari Air sumur yang dimasak. Sedangkan untuk mencuci pakaian dan mandi pasien menggunakan air sumur.Air limbah langsung di alirkan ke selokan. Jamban dalam rumah tersedia.Kondisi Rumah pasien cukup baik, sudah menggunakan tembok dan bangunan permanen, terdiri dari 1 lantai. Ventilasi rumah sangat kurang, karena jendela tidak difungsikan dan ventilasi hanya dari pintu utama dan pintu belakang yang setiap hari dibuka. Lantai rumah pasien terbuat dari keramik, namun lantai rumah kurang disapu dengan dirawat.Pencahayaan pada rumah juga kurang.Luas Bangunan rumah pasien adalah 18m2, sehingga jarak antar anggota keluarga hanya 3x3 m yang kurang baik untuk kesehatan dan mempercepat penularan infeksi saluran pernapasan melalui droplet.

Bab VIPenutup

I KesimpulanKondisi pasien dan keluarga umumnya cukup sehat. Ventilasi rumah pasien juga kurang baik untuk kesehatan karena kelembaban udara tinggi serta barang bekas yang ditumpuk dan pencahayaan yang gelap sangat memungkinkan perkembangan vektor nyamuk.Tetapi lingkungan pasien dan hubungan sosialisasi pasien dalam bertetangga sangat baik.Pasien mengkonsumsi makanan tinggi glukosa yang akan memicu gula darah menjadi tidak terkontrol.

II Sarana. Kepada Pasien. Tidak mengkonsumsi makanan yang tinggi glukosa untuk mengontrol dula darah pasien. Selalu mengontrol tekanan darah dan gula darah pasien serta melakukan Edukasi terhadap penyakit pasien. Jangan sampai terjadi luka yang lain di bagian tubuh.

b. Kepada Puskesmas Pasien mengeluhkan bahwa jarak rumah ke puskesmas sangat jauh sehingga terkadang pasien merasa malas untuk berobat ke puskesmas, untuk mengantisipasinya, puskesmas perlu mengusahakan puskesmas keliling secara rutin. Melakukan kegiatan Promotif yaitu dengan penyuluhan karena masih banyak pasien yang kurang edukatif dan sadar akan penyakitnya

Daftar Pustaka

1. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1880-82.2. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1874-76.3. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrisons Principle of Internal Medicine. 17 ed. USA: McGraw-Hill; 2008.p.2293.4. Tjarta Achmad, Himawan Sutisna, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta:EGC, 2004.h.557- 558.5. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007.h.456-8.6. Schteingart DE. Pankreas: metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2006.h.1261-70.

Lampiran