ekologi kakao

download ekologi kakao

of 90

Transcript of ekologi kakao

LAPORAN HASIL

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI KAMBING KAKAO DI SULAWESI TENGAHTAHUN ANGGARAN 2005

Oleh: F.F. Munier, dkk

KERJASAMA BPTP SULAWESI TENGAH, LRPI, PUSLITBANGNAK, PUSLITBANGTANAK DAN PUSLITKOKA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2005

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI KAMBING - KAKAO DI SULAWESI TENGAH Abstrak Kabupaten Donggala merupakan produsen kakao utama untuk propinsi Sulawesi Tengah. Luas pertanaman kakao di Kabupaten Donggala kurang lebih 42.407 ha atau 54 % dari luas tanaman kakao di Sulawesi Tengah. Akan tetapi, menurut hasil PRA yang dilakukan BP2TP di 10 desa miskin di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa produktivitas kakao rakyat di desa-desa tersebut hanya 300 600 kg/ha/th. Berasarkan masalah yang dilaporkan dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh BP2TP, BPTP maupun PSE, maka jenis teknologi yang disarankan untuk dilaksanakan pada pertanaman kakao milik petani koperator yaitu; pemangkasan yang benar dan pengelolaan tanaman penaung, pemupukan yang efisien, pengendalian hama dan penyakit, rehabilitasi tanaman kakao dewasa dan optimalisasi pemanfaatan lahan dengan penanaman ulang (replanting) untuk tananam kakao yang mati. Disamping untuk menjaga kelangsungan produktivitas lahan tetap optilmal perlu dilakukan kegiatan konservasi terutama pada lahan miring. Produktivitas kambing dapat ditingkatkan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan seperti perbaikan perkandangan, pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan kambing, adanya pengendalian penyakit dan parasit. Kegiatan usahatani integrasi kambing dan kakao memerlukan dukungan kelembagaan yang berfungsi sebagai fasilitator, adanya jejering kerjasama petani yang baik serta pemberdayaan petani sebagai pelaku kegiatan usahatani. Berdasarkan hasil pengkajian ini adanya peningkatan rataan produktivitas kakao kering mencapai 345,5 kg/0,5 ha/4 bulan, atau 1.382 kg/ha/tahun. Adanya rataan pertambahan bobot badan harian kambing meningkat yaitu 56,3 g yang diikuti oleh kenaikan rataan bobot akhir yang tinggi yakni 4,2 kg. Hasil analisa kelayakan SUT integrasi kambing dan kakao pola introduksi selama 4 bulan dengan R/C 1,47. Adanya dukungan kelembagaan dalam kegiatan usahatani integrasi kambing dan kakao, adanya forum komunikasi antar pelaku kegiatan usahatani integrasi kambing dan kakao serta pemberdayaan petani maka dapat membentuk jejaring kerjasama antara petani dengan pelaku agribisnis dan pemerintah yang semakin kuat dan luas. 1. LATAR BELAKANG Kabupaten Donggala merupakan produsen kakao utama untuk propinsi Sulawesi Tengah. Luas pertanaman kakao di Kabupaten Donggala kurang lebih 42.407 ha atau 54 % dari luas tanaman kakao di Sulawesi Tengah. Akan tetapi, menurut hasil PRA yang dilakukan BP2TP di 10 desa miskin di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa produktivitas kakao rakyat di desa-desa tersebut hanya 300 600 kg/ha/th (Anonim, 2003b). Angka produktivitas tersebut jauh lebih rendah dibanding rata-rata produktivitas kakao nasional yang mencapai 932,94 kg/ha/th, apalagi bila dibandingkan dengan potensi produksi kakao yang dapat mencapai 2 3 ton/ha/th. Masalah lain yang dihadapi usaha

kakao di Sulawesi saat ini adalah mutu biji kakao yang rendah (hanya mencapai grade 3) sehingga harga yang diterima oleh petani juga relative rendah. Lebih lanjut hasil PRA melaporkan bahwa rendahnya produktivitas kakao rakyat di desa-desa miskin di Kabupaten Donggala antara lain berkaitan dengan teknik produksi yang belum intensif, terutama berkaitan dengan aspek bahan tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, pemangkasan, dan naungan. Sementara itu, rendahnya mutu produksi kakao di desa-desa tersebut selain karena tidak dilakukan fermentasi juga karena terjadi serangan hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha cramerella) dan busuk buah. Selain itu, tidak adanya lembaga ekonomi petani yang tangguh

menyebabkan para petani mendapat kesulitan dalam memperoleh input dan modal (yang mereka perlukan untuk meningkatkan produksi) serta dalam memperoleh jaminan harga kakao yang memadai. Sebenarnya peluang pasar bahan baku industri makanan cokelat yang berupa biji kakao berkualitas untuk ekspor sangat besar. Konsistensi mutu dan kuantum yang cukup sesuai dengan kebutuhan pasar sangat berperan dalam mendapat pasar yang baik. Kebutuhan biji kakao bermutu (terfermentasi) saat ini sangat besar, misalnya kebutuhan Malaysia sangat besar untuk mencukupi bahan baku industri hilirnya. Selama ini kakao yang ada dipasar mempunyai mutu rendah sehingga petani belum dapat menikmati harga yang optimum, dengan melakukan peningkatan mutu biji kakao para petani optimis akan mendapatkan manfaatnya khususnya dari sisi kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan petani kakao juga dapat dicapai dengan melakukan diversifikasi usaha yang berbasis pada komoditas kakao, yaitu integrasi kakao + kambing + hijauan pakan ternak serta melalui upaya pengelolaan lahan berbasis teknologi konservasi dan pemanfaatan air. Tumpangsari antara kakao dengan usaha ternak kambing sangat tepat karena kulit buah kakao dapat digunakan sebagai pakan ternak. Selain itu kotoran kambing dapat

digunakan sebagai bahan baku produksi bahan organik (pupuk kandang) sehingga penggunaan input pupuk kimia diharapkan dapat ditekan dan produk kakao yang dihasilkan bisa diarahkan kepada produk organik. Permintaan produk-produk organik di pasaran internasional cukup banyak sehingga akan meningkatkan daya saing produk kakao tersebut.

2

Masalah lain yang dihadapi para petani kakao di Kabupaten Donggala adalah kendala-kendala biofisik lahan yang relatif buruk. Berdasarkan survei pendasaran (baseline survey) oleh tim terdahulu, daerah ini umumnya memiliki iklim kering dengan curah hujan bervariasi antara 760-1.959 mm/tahun. Kondisi ini sangat beresiko pada pemenuhan kebutuhan air untuk tanaman kakao. Kondisi iklim yang umumnya memiliki bulan basah (> 200 mm) 2 bulan dengan bulan kering (< 100 mm) 5 bulan juga memperkecil peluang peningkatan produktivitas kakao. Bentuk wilayah yang umumnya bergunung dengan kemiringan lereng > 45% dan tanahnya yang dangkal (< 30 cm) dan berbnatu (> 60%) sangat beresiko terhadap bahaya erosi dan longsor serta penurunan produktivitas lahan (degradation). Relatif rendahnya produktivitas dan mutu kakao yang dihasilkan petani yang disertai dengan rendahnya harga yang diterima petani menjadi salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani. Bahkan banyak diantara petani kakao di daerah tersebut

yang pendapatannya kurang dari 1 juta/ rumahtangga/tahun. Keadaan ini lebih lanjut memiliki kontribusi terhadap tingginya jumlah petani miskin di daerah tersebut. Menurut Data dan Informasi Kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS, pada tahun 2002 proporsi penduduk miskin di Kabupaten Donggala mencapai 26,05 % atau sebanyak 195,300 orang (Anonim, 2002c). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komunitas petani kakao angka kemiskinannya relatif tinggi. Hasil penelitian Puslitbangbun dan Bank Dunia (2003c) menunjukkan bahwa kemiskinan pada komunitas petani kakao di kabupaten Pinrang; Bulukumba, dan Kendari (Sulawesi) masing-masing mencapai angka 18 %, 33%, dan 49 %. Angka tersebut lebih tinggi dari kemiskinan penduduk di masing-masing propinsi. Hasil penelitian Puslitbangbun dan Bank Dunia juga menunjukkan bahwa sebuah keluarga petani kakao yang memiliki anggota keluarga sebanyak lima orang baru dapat melepaskan diri dari garis kemiskinan bila kebun milik yang diusahakannya sendiri minimal 1,14 ha (dengan asumsi produktivitas 600 kg/ha/tahun dan harga kakao Rp. 7.000/kg). Namun dengan luasan tersebut mereka mampu memelihara dan meremajakan kebunnya. Selain itu, hasil PRA BP2TP dan BPTP bahwa di sebuah desa miskin di

kabupaten Donggala mengungkapkan bahwa petani kakao yang hanya memiliki kebun kakao seluas 1 ha atau kurang mencapai angka 86,5 % dan produktivitas kebun kakao

3

mereka hanya 300 600 kg/ha/tahun (Anonim, 2003b). Dengan menggunakan acuan hasil penelitian Puslitbangbun dan Bank Dunia, maka sebagian besar petani kakao di desa-desa miskin di Kabupaten Donggala berada dalam keadaan miskin (Anonim, 2003c). Untuk mendorong kemajuan petani kakao yang berada di kabupaten Donggala maka perlu dilakukan penelitian dan pengkajian (litkaji) terhadap masalah yang mereka hadapi dan mencarikan solusinya. Masalah yang harus disentuh adalah aspek teknis serta aspek social-ekonomi dan budaya, termasuk didalamnya perubahan tingkat pendapatan petani kakao sebelum dan sesudah dilakukan litkaji. Aspek teknis yang perlu dilakukan litkajinya adalah aspek teknis yang bertujuan meningkatkan produksi dan mutu melalui penyediaan paket teknologi lengkap dan terintegrasi sejak penyediaan bahan tanam, pemeliharaan tanaman yang meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit serta penanganan pasca panen. Selain itu, perlu juga dikaji usaha ternak kambing dan hijauan pakan ternak yang pengusahaannya diintegrasikan dengan budidaya kakao. Dalam hal pasca panen, aspek yang perlu dilakukan litkajinya adalah prosedur dan teknik panen dan fermentasi untuk menghasilkan mutu yang baik. Dalam hal penumbuhkembangan kelembagaan ekonomi petani, aktivitas litkaji harus dapat meningkatkan kemampuan usaha petani termasuk membangun pasar kakao dan ternak sehingga petani merasakan manfaat secara optimal. Sementara itu, pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam penguasaan teknologi, peningkatan penguasaan asset produksi dan modal.

2. DASAR PERTIMBANGAN Secara umum, kemiskinan yang muncul pada masyarakat dapat terjadi karena miskinnya sumber-sumber alam (physical endowment), akibat keadaan struktural atau akibat kebudayaan (Billah, 1983 dan Warsito, 1993). Secara struktural kemiskinan dapat terjadi karena disparitas penguasaan lahan, hubungan struktural asimetris-ekploitatif, disparitas penguasaan modal (sendiri, akses terhadap kredit), disparitas penguasaan pengetahuan dan keterampilan/ teknologi (pendidikan), disparitas bakat wirausaha, ketergantungan komunitas terhadap sistem yang lebih besar (struktur pasar, nilai tukar), tidak ada atau lambannnya mobilitas sosial. Secara historis, kemiskinan struktural dapat terjadi sejak sebelum masa

4

modernisasi (zaman feodalistik) dan tidak tertutup kemungkinan menjadi semakin parah keadaannya pada masa modernisasi. Pada masa ini kemiskinan struktural menjadi semakin kuat akibat pendekatan pembangunan yang serba berpihak kepada sebagian masyarakat yang memiliki kelebihan kemampuan sedangkan sebagian masyarakat lainnya yang

kemampuannya relative kurang se-ringkali ditinggalkan.

Dalam konteks pembangunan

tersebut, muncul anggapan bahwa masyarakat lapisan bawah akan menerima tetesan hasil pembangunan dari lapisan atas. Akan tetapi, ternyata tetesan hasil pembangunan tidak terjadi. Berkaitan dengan itu, maka dua hal pokok yang harus menjadi reorientasi dalam program penelitian dan pengkajian ini adalah: 1) para peneliti bersama-sama petani miskin menggali persolaan hambatan budaya dan struktur sosial-ekonomi yang selama ini menghalangi mereka keluar dari keadaan miskin yang melilitnya, 2) peneliti bersama petani miskin menggali dan memperkuat potensi solusi yang dapat mereka kuasai (peluang bekerja, peluang berusaha, peluang penguasaan aset) untuk mengatasi keadaan miskinnya. Hal pertama dapat dilakukan melalui studi komunitas (community study) yang bersifat partisipatif dan interdisiplin, dimana para peneliti dan para petani sama-sama menjadi subjek. Hal

kedua dapat dilakukan melalui penelitian aksi (action research) yang berbasiskan pemberdayaan komunitas petani dan peningkatan networking baik pada aras lokal maupun aras regional dan nasional, dimana peranan para peneliti sebagai fasilitator bagi para petani dan para aktor terkait lain yang memiliki kaitan dengan para petani. Tanaman kakao yang merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan saat ini sedang digiatkan penanamannya karena cukup diminati oleh masyarakat. Keadaan ini terjadi karena tanaman kakao dapat dipanen setiap minggu sehingga petani dapat jaminan penghasilan setiap bulan apalagi saat ini harganya cukup menarik. Hal ini sangat membantu perekonomian petani di pedesaan terutama yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan rutin seperti kebutuhan sehari-hari, biaya menyekolahkan anak, pembayaran rekening listrik, dan lainnya. Pemasaran hasil tanaman kakao di Donggala saat ini tidak mengalami kesulitan, dan respon masyarakat untuk penanaman kakao cukup tinggi. Solusi pengentasan kemiskinan para petani di lokasi penelitian tentunya harus berbasiskan sumberdaya alam dan komunitas lokal. Oleh karena itu pengembangan

komoditas kakao serta usaha lain yang dapat diintegrasikan di Kabupaten Donggala

5

diharapkan dapat meningkatkan peluang berusaha dan bekerja serta pendapatanan petani yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan dapat mengatasi kemiskinan di daerah tersebut. Melalui pintu masuk penguasaan peluang bekerja dan berusaha tersebut diharapkan dimensi-dimensi kemiskinan lainnya secara berangsur akan juga turut teratasi. Secara garis besar, untuk mendukung berjalannya sistem agribisnis kakao yang produktif, efisien, dan berkelanjutan maka komponen teknologi inovatif dan komponen kelembagaan yang dapat menjamin penerapan teknologi tersebut harus ditumbuhkan secara bersamaan. Tantangan lain yang juga harus dijawab oleh penelitian ini adalah menghasilkan pendekatan penelitian dan transfer teknologi yang berbasiskan sumberdaya, komunitas, dan sistem pengetahuan lokal. Hal ini perlu mendapat perhatian agar program pembangunan yang disepakati untuk dilaksanakan dapat berkelanjutan dan memberikan ruang seluasluasnya kepada para petani miskin untuk menjadi pesertanya, meskipun mereka menghadapi sejumlah persoalan dan keterbatasan yang membuat respon mereka terhadap perubahan relatif lambat. 3. TUJUAN 3.1. Tujuan Umum (Akhir) Menghasilkan paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu (sistem usaha hulu - hilir kakao, integrasi kambing kakao dan hijauan pakan serta teknologi konservasi lahan yang berbasis sumberdaya dan pengetahuan lokal. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani tentang paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu. Menumbuhkembangkan Lembaga Ekonomi Petani yang dapat menunjang adopsi teknologi secara berkelanjutan. Meningkatkan kemampuan petani dalam penguasaan asset produksi, modal, dan pasar agar dapat menerapkan paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu. Merumuskan pendekatan penelitian dan transfer teknologi yang tepat untuk para petani miskin.

6

3.2. Tujuan Tahunan (2005) Tujuan pengkajian tahun ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dengan pengembangan sistem usahatani integrasi kambing dan kakao dengan paket teknologi: Pemanfaatan kulit buah kakao dan hijauan untuk pakan kambing. Budidaya hijauan pakan dilahan kakao untuk konservasi. Pengelolaan hama dan penyakit, rehabilitasi tanaman kakao dan penanaman ulang. Efisiensi pemupukan. Membentuk jejaring kerjasama petani yang semakin kuat dan luas.

4.

KELUARAN

4.1. Keluaran Umum (Akhir) Paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu (sistem usaha hulu - hilir kakao, integrasi kambing - kakao - hijauan pakan serta teknologi konservasi lahan yang berbasis sumberdaya dan pengetahuan lokal. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani tentang paket teknologi inovatif terpadu dimaksud. Tumbuh dan berkembangnya Lembaga Ekonomi Petani yang dapat menunjang adopsi teknologi secara berkelanjutan. Peningkatan kemampuan petani dalam penguasaan asset produksi, modal, dan pasar agar dapat menerapkan paket teknologi inovatif terpadu. Rumusan penelitian dan transfer teknologi yang tepat untuk petani miskin.

4.2. Keluaran Tahunan (2005) Keluaran yang diharapkan pada pengkajian tahun ini adalah peningkatan pendapatan petani dengan pengembangan sistem usahatani integrasi kambing dan kakao dengan paket teknologi: Pemanfaatan kulit buah kakao dan hijauan untuk pakan kambing. Budidaya hijauan pakan dilahan kakao untuk konservasi. Pengelolaan hama dan penyakit, rehabilitasi tanaman kakao dan penanaman ulang.

7

Efisiensi pemupukan. Jejaring kerjasama petani yang semakin kuat dan luas.

5. PERKIRAAN DAMPAK Terselenggaranya pengelolaan usaha kakao yang lengkap dan terintegrasi, baik integrasi hulu - hilir kakao, integrasi kambing - kakao - hijauan pakan ternak, serta konservasi lahan sehingga menjadi produktif, efisien, dan berkelanjutan. Terjadi peningkatan dan perluasan lapangan usaha dan/atau lapangan kerja sebagai hasil peningkatan dan perluasan usaha kakao secara terintegrasi. Peningkatan kesejahteraan petani kakao di kabupaten Donggala, khususnya petani miskin. Peningkatan kesejahteraan petani miskin ini diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan pendapatan sebesar 40% dibanding sebelum dilakukan litkaji. 6. METODOLOGI 6. 1. Pendekatan dan Tahapan Pengkajian Bertolak dari pemahaman bahwa kemiskinan para petani dimanapun (termasuk para petani di Kabupaten Donggala) merupakan masalah yang besar, yang terjadi karena komplikasi antara masalah kualitas sumberdaya alam, masalah struktural (struktur sosialekonomi) dan masalah kebudayaan, maka penelitian dan pengkajian ini harus dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan multi komoditas. Untuk itu diperlukan pendekatan penelitian dan pengkajian yang multidisiplin dengan melibatkan para peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Bersamaan dengan itu, ruang lingkup penelitian dan pengkajian juga harus mencakup penemuan dan pengembangan paket teknologi inovatif dan kelembagaan ekonomi petani yang dapat memfasilitasi berlangsungnya penerapan paket teknologi inovatif secara berkelanjutan bagi pencapaian kesejahteraan seluruh lapisan petani. Oleh sebab itu, program penelitian dan pengkajian ini juga harus melibatkan seluruh lapisan petani yang berada dalam komunitas petani, baik sebagai pelaku maupun sebagai penerima manfaat program. Selain itu, penelitian dan pengkajian yang dilaksanakan

8

harus tetap mengedepankan keberpihakan kepada lapisan petani yang lebih lemah, agar tidak berdampak munculnya sebagian komunitas petani yang semakin tertinggal. Agar penelitian dan pengkajian ini dapat segera mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi para petani dan juga dapat segera merumuskan solusinya maka penelitian dan pengkajian ini dilaksanakan melalui kombinasi antara studi komunitas/community study dan penelitian aksi/action research. Penelitian dan pengkajian ini juga harus dirancang sebagai penelitian dan pengkajian co-operative yang menempatkan semua yang terlibat sebagai subjek (Heron, 1996). Pihak yang diteliti pun (petani dan aktor lainnya) didudukkan sebagai co-peneliti secara penuh dari peneliti pembawa inisiatif (initiating researcher) dan mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang lokasi penelitian dan pengkajian, apa yang perlu digali dan apa yang perlu dicapai. Antara pencari tahu (the knower) dan pemberi tahu (the known) tidak terpisahkan, mereka bersama-sama dalam sebuah hubungan interaktif atau intersubjektif serta hubungan diantara keduanya merupakan hubungan timbal-balik yang seimbang (co-equal relation). Secara spesifik beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui studi komunitas (community study) adalah : Mengungkap karakteristik sistem sosial-ekonomi-budaya komunitas petani subjek penelitian dan pengkajian, karakteristik sistem ekologi (sumberdaya alam) yang dihuni oleh komunitas petani tersebut, serta sistem pengetahuan indijenus yang dimiliki komunitas local, Merekonstruksi realitas sosial komunitas lokal dan regional, termasuk struktur sosial yang berperan dalam proses produksi. Sementara itu, beberapa tujuan spesifik yang ingin dicapai dari penelitian dan pangkajian aksi (action research and assessment) adalah: Pendampingan kepada para petani dalam proses mereka melakukan refleksi diri untuk mengidentifikasi atau memahami persoalan-persoalan yang sedang dan akan mereka hadapi, khususnya yang terkait dengan persoalan teknologi dan kelembagaan, Melakukan pendampingan kepada para petani dalam menggali beragam potensi kemampuan yang mereka miliki untuk melakukan solusi bagi permasalahan yang dihadapinya sehingga dapat dirumuskan suatu rekomendasi teknologi dan

9

kelembagaan bagi pemecahan masalah kemiskinan melalui suatu program yang komprehensip yang berbasiskan sumberdaya lokal dan komunitas lokal petani, Melakukan pendampingan kepada petani dalam proses mereka melakukan penumbuhkembangan lembaga ekonomi petani melalui peningkatan kemampuan para petani dalam mengintegrasikan teknologi lokal dan teknologi dari luar, peningkatan kemampuan para petani dalam menguasai aset produksi dan pasar, pemberdayaan petani, serta penumbuh kembangan jejaring komunikasi dan kerjasama petani pada aras lokal dan regional bahkan nasional, Melakukan pendampingan petani dalam rangka implementasi dan evaluasi program serta dalam melaksanakan distribusi manfaat. Gambar 1. Hubungan antara Tahapan dan Metoda Pengkajian IDENTIFIKASI MASALAH (kemiskinan, adopsi teknologi) STUDI KOMUNITAS (FGD, DI, Obeservasi, Rekonst. RS, Analisa Gender, Analisa Bio- Fisik)

INTEGRASI PENGETAHUAN PENELITI & PETANI (teknologi, kelembagaan)

STUDI KOMUNITAS (FGD, Obeservasi, Analisa Kelayakan)

REKOMENDASI (teknologi, kelembagaan)

WORK SHOP (Proses membangun kesepahaman, jejaring kerjasama, sinergi modal sosial & ekonomi)

IMPLEMENTASI (teknologi, kelembagaan)

ACTION RESEARCH (on farm research, pelatihan, pendampingan)

ASSESMENT/ PENYEMPURNAAN (teknologi, kelembagaan)

MONITORING & EVALUASI (Farm Recording, FGD, Obeservasi, Catatan harian)

10

Studi komunitas adalah metoda dimana didalamnya terdapat masalah tentang alam, interkoneksi, atau dinamika perilaku dan sikap yang dieksplorasi melalui perilaku dan sikap individu yang menyusun kehidupan suatu komunitas tertentu (Arensberg et al., 1972). Metoda ini dapat digunakan dalam mempelajari perilaku dan sikap. Dalam

pendekatan studi komunitas data dan informasi dikumpulkan melalui metoda: focus group discussion (FGD), observasi partisipatif, wawancara mendalam (Deep

Interview/DI) terhadap informan kunci, rekonstruksi realitas sosial (pengalaman, ungkapan, dan pemahaman makna), serta analisa laboratorium. Gambar 1 berikut

menunjukkan Tahapan penelitian dikaitkan dengan metoda penelitian yang digunakan pada setiap tahapan tersebut. Pada studi komunitas, berbagai data informasi yang akan didalami merupakan karakteristik sosial-ekonomi-budaya serta kondisi bio-fisik atau ekologi. Karakteristik sosial-ekonomi-budaya yang perlu lebih didalami melalui studi komunitas adalah : Tingkat pengetahuan, keterampilan, dan pemaknaan petani terhadap agribisnis kakao yang semuanya akan mendorong motivasi serta akan meningkatkan kemampuan petani dalam usahatani kakao dan usaha lainnya. Struktur sosial para petani dan aktor terkait lain dalam kelembagaan agribisnis. Kemampuan finansial/akumulasi modal petani, komunitas lokal dan regional serta kemampuan pemerintah lokal (desa) dan regional (kabupaten dan propinsi). Sarana dan prasarana yang tersedia pada komunitas lokal dan regional. Partisipasi anggota keluarga petani terhadap kegiatan agribisnis dan non agribisnis (struktur alokasi tenaga kerja dalam keluarga dan dalam komunitas). Strategi keluarga petani dalam mengatasi kemiskinan (strategi pola nafkah ganda, migrasi dan strategi lainnya). Potensi networking dan modal sosial (social capital) diantara para petani dan aktor terkait lain dalam komunitas lokal maupun masyarakat regional dalam melakukan sistem agribisnis. Potensi konflik serta potensi manajemen konflik para petani dan aktor terkait lain dalam komunitas lokal maupun masyarakat regional dalam melakukan sistem agribisnis. Struktur biaya usaha dan struktur pendapatan rumah tangga.

11

Beragam kendala dan atau tantangan yang dihadapi petani dalam melaksanakan sistem agribisnis dan atau kegiatan usaha lainnya. Beragam potensi dan peluang yang dihadapi petani dalam melaksanakan sistem agribisnis dan atau kegiatan usaha lainnya. Perkembangan partisipasi petani dalam sistem agribisnis. Luas, pola, distribusi, dan fragmentasi penguasaan aset lahan dan aset lainnya. Perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Adapun data bio-fisik atau data ekologi yang perlu dikumpulkan melalui studi komunitas adalah : Kondisi iklim, topografi, dan kesuburan tanah di lahan petani. Kalender musim pertanaman. Teknologi konservasi lahan dan pemanfatan air yang umum dilaksanakan petani serta pengetahuan lokal lain dalam hal pengelolaan sumberdaya alam. Kondisi tanaman, ternak, hijauan pakan ternak yang ada pada komunitas petani, baik produksi maupun pertumbuhannya. Pola tanam yang umum dilaksanakan petani. Pola usahatani yang umum dilaksanakan petani. Potensi sumberdaya air. Sementara itu, dalam melaksanakan Penelitian Aksi dilakukan melalui on farm research, pelatihan, dan pendampingan penerapan paket teknologi inovatif dan kelembagaan yang mendukung penerapan teknologi dimaksud secara berkelanjutan. Beberapa landasan yang harus diikuti dalam penelitian aksi adalah : partisipasi genuine semua pelaku sejak perencanaan; pelaksanaan; eveluasi; pengawasan; sampai distribusi manfaat, pelaksanannya berbasis pada komunitas lokal; sumberdaya lokal; dan sistem pengetahuan indijenus, mengedepankan proses pemberdayaan komunitas petani melalui penguatan/empowering; membangun jaringan/relation; dan fasilitasi/services, serta melalui proses experential learning. Pertimbangan yang melandasi integrasi antara sistem pengetahuan petani (indijenus) dengan sistem pengetahuan ilmuwan (sains) adalah sebagaimana

dikemukakan Rambo (1984) bahwa antara pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas

12

petani dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para ilmuwan ada yang overlapping tetapi ada juga pengetahuan yang hanya dimiliki oleh petani atau hanya dimiliki oleh ilmuwan. Bahkan pengetahuan yang dimiliki komunitas petani jauh lebih besar dibanding pengetahuan yang dimiliki oleh ilmuwan, apalagi dalam praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam pengetahuan para petani jauh lebih luas. Apa yang menjadi

pengetahuan para petani merupakan hasil percobaan mereka sendiri atau hasil belajar dari para leluhurnya karena pengetahuan tersebut diturunkan dari generasi ke generasi. Akan tetapi, dipihak lain, meskipun pengetahuan para ilmuwan umumnya sempit tetapi pengetahuan mereka relatif lebih mendalam. Oleh sebab itu, untuk memaksimalkan manfaat dalam pengelolaan sumberdaya alam maka diperlukan integrasi dan kerjasama secara holistik dan setara diantara keduanya. Integrasi antara sistem pengetahuan indijenus dengan pengetahuan sains berlangsung dengan tujuan untuk memajukan pertanian dan menjaga kelestarian lingkungan, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan bagi seluruh petani yang berda pada berbagai lapisan. Interaksi kedua sistem pengetahuan tersebut dapat dilaksanakan melalui mekanisme berikut: petani mencoba suatu cara untuk mengatasi persoalannya, cara yang mereka temukan disampaikan kepada ilmuwan (penyuluh, peneliti, akademisi), kemudian cara petani tersebut dimodifikasi dan dikembangkan oleh ilmuwan, dan akhirnya cara tersebut diberikan kembali kepada petani dan kemudian para petani menerapkannya (Gambar 2). Melalui pendekatan ini, berlangsung proses bersama yang kreatif dalam mengidentifikasi kebutuhan dan peluang, membangkitkan informasi dan inovasi, mengkonsolidasikan semuanya dengan praktek pertanian, dan menerjemahkan semuanya ke dalam tujuan dan aktivitas belajar untuk mempertinggi performan petani. Gambar 2. Proses Integrasi Pengetahuan Ilmuwan dan Pengetahuan Petani Tentang Teknologi dan Kelembagaan

KOMUNITAS PETANI

Teknologi & Kelembagaan Indijenus Teknologi & Kelembagaan yang dimodifikasi

ILMUWAN (PENELITI, PENYULUH, AKADEMISI)

13

Dengan

dipahaminya

kekuatan

dan

kelemahan

masing-masing

sistem

pengetahuan sebagaimana dijelaskan diatas, maka sebagaimana dikemukakan Dewalt (1994) sangatlah penting kita menyatukan sistem pengetahuan indijenus dengan pengetahuan sains sebagai sumber kearifan yang komplementer. mengembangkan dan menggunakan sistem pengetahuan Kedua pihak yang serta yang

indijenus

mengembangkan dan menggunakan sistem pengetahuan sains dibatasi oleh tatacara yang telah diterimanya dan konteks dimana mereka hidup. Kuncinya adalah menyediakan untuk kedua sistem pengetahuan dengan lebih banyak kesempatan keduanya untuk saling memberikan informasi dan saling mendorong. Dengan adanya integrasi diantara keduanya maka terjadi perbaikan dan peningkatan manfaat ekosistem. Tabel 1. Integrasi antara Pengetahuan Indijenus dengan Pengetahuan Sains Alat Yang Digunakan dalam Studi Holistik dan Umum Campuran observasi dan eksperimen Mutable mobile Karakteristik Penggunaan Sumberdaya Tergantung pada sumberdaya local dan secara moderat dicampur dengan sumberdaya luar yang eksotik (luar biasa) Input rendah dengan penambahan input kritis secara minimal Penggunaan lahan secara intensif Padat kerja tetapi tidak berat Berbagi resiko (iklim dan pasar) Hasil dan Dampak Produksi tinggi karena tenaga kerja dan input energi Secara budaya terdapat kecocokan Memenuhi ketahanan pangan dan dapat memenuhi kenyamanan hidup, baik produsen maupun konsumen Berkelanjutan dengan kepadatan penduduk yang tinggi Regenerasi Sebagai sebuah pengkajian yang dilakukan secara terpadu antara studi komunitas dan penelitian aksi, maka sinergi keduanya pada setiap tahapan program akan menentukan optimalisasi pencapaian tujuan penelitian ini. Paduan antara kedua

metodologi pengkajian dengan ruang lingkup aktivitas program dirinci sebagaimana tertera pada Tabel 2.

14

Tabel 2. Kaitan antara Metodologi Studi dan Ruang Lingkup Aktivitas Program No. I. A Kegiatan/Komponen Program Metoda SK PA V V

PENUMBUHAN PROGRAM Studi Pendalaman Karakteristik Sosial-Ekonomi-Budaya-Bio Fisik B Perumusan Bersama Program 1 FGD Aras Komunitas 2 Workshop Aras Regional II. IMPLEMENTASI PROGRAM A Penyediaan Paket Teknologi Inovatif Terpadu Spesifik Lokal 1 Uji Adaptasi Paket Teknologi 2 Penguatan Transfer Teknologi B Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) 1 Penumbuhan LEP (KT KUB) 2 Penguatan LEP Melalui Peningkatan Kapasitas Usaha, Pengembangan Pasar, dan Kemitraan Usaha C Penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) 1 Pengembangan komunikasi dan informasi 2 Pengintegrasian masyarakat D Pemberdayaan Petani 1 Peningkatan Pengetahuan dan Motivasi Petani 2 Peningkatan Keterampilan Petani Melalui Pelatihan, Pendampingan, dan Asistensi 3 Penguatan Akses Petani Terhadap Teknologi dan Input untuk Adopsi Teknologi 4 Penumbuhan Modal Petani dan atau Penyediaan Kredit III STUDI KINERJA /PENYEMPURNAAN PROGRAM (Analisa Ekonomi, Analisa Pendapatan Rumah Tangga, Analisa Gender, Analisa Dinamika Kelompok, Analisa Proses Adopsi Teknologi) Keterangan : SK = Studi Komunitas, PA = Penelitian Aksi

V V

V V V V V V

V V

V V

V

V V V V

V

Mengingat kompleksnya persoalan dan banyaknya aktivitas yang perlu dilakukan serta agar pengkajian ini memberikan hasil yang maksimal, maka waktu yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian dan pengkajian secara lengkap adalah 4 tahun. Sebagai sebuah pengkajian yang berkelanjutan, maka tahapan pengkajian harus disusun secara berurutan dimana tahapan yang lebih awal merupakan landasan pijak bagi tahapan berikutnya.

15

Tabel 3. Ruang Lingkup dan Tahapan Pengkajian No I. A B 1 2 II. A 1 2 B 1 2 C 1 2 D 1 2 3 4 III Kegiatan/Komponen Program PENUMBUHAN PROGRAM Studi Pendalaman Karakteristik Sosial-Ekonomi-BudayaBio Fisik Perumusan Bersama Program FGD Aras Komunitas Workshop Aras Regional IMPLEMENTASI PROGRAM Penyediaan Paket Teknologi Inovatif Spesifik Lokal Uji Adaptasi Paket Teknologi Penguatan Transfer Teknologi Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) Penumbuhan LEP (KT KUB) Penguatan LEP Melalui Peningkatan Kapasitas Usaha, Pengembangan Pasar, dan Kemitraan Usaha Penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) Pengembangan komunikasi dan informasi Pengintegrasian masyarakat Pemberdayaan Petani Peningkatan Pengetahuan dan Motivasi Petani Peningkatan Keterampilan Petani Melalui Pelatihan dan Pendampingan Penguatan Akses Petani Terhadap Teknologi dan Input untuk Adopsi Teknologi Penumbuhan Modal Petani dan atau Penyediaan Kredit STUDI KINERJA /PENYEMPURNAAN PROGRAM (Analisa Ekonomi, Analisa Pendapatan Rumah Tangga, Analisa Gender, Dinamika Kelompok, Analisa Proses Adopsi Teknologi) Tahun 1 2 3 V V

V V

V V V

V V V

V V

V

V

V V

V V V

V V V

V V V V

Berkaitan dengan itu, maka pengkajian ini akan dibagi menjadi tiga tahapan subprogram, yaitu; penumbuhan program, implementasi program, dan studi

kinerja/penyempurnaan program. Kemudian didalam setiap sub-program terdapat beberapa aktivitas, yang mana antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan atau saling terkait secara sinergis (Tabel 3).

16

6.2. Pemanfaat (beneficiaries) Pengkajian Pemanfaat (beneficiaries) pengkajian ini adalah para petani pemilik penggarap yang termasuk kategori keluarga miskin (petani miskin). Jumlah petani miskin yang akan dilibatkan dalam pengkajian pada skala pengembangan ini sebanyak sekitar 40-60 orang/keluarga yang kebun kakaonya berada satu hamparan dan kemudian mereka akan bergabung dalam wadah kelompok tani. Lebih lanjut mereka akan bergabung dalam sebuah kelompok usaha bersama. Para petani yang akan dilibatkan adalah para petani miskin dengan ciri-ciri sebagai berikut: pendapatan rata-rata lebih kecil dari Rp 1 juta/kapita/tahun, memiliki lahan sempit atau kurang dari 1 ha, berproduktivitas rendah, dan merambah sumberdaya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Para petani tersebut akan dipilih dari desa miskin, yang dicirikan oleh lebih dari 75% penduduknya merupakan penduduk miskin. Pemilihan desa miskin sebagai lokasi penelitian akan mengacu pada hasil PRA yang dilakukan oleh BP2TP dan BPTP Sulteng serta akan diputuskan bersama dengan institusi terkait di tingkat kabupaten. Penentuan petani peserta pengkajian juga akan dipilih berdasarkan musyawarah di tingkat lokal. Keberpihakan kepada para petani miskin akan diwujudkan dalam bentuk penelitian yang berbasis pada sumberdaya alam; sumberdaya manusia; dan pengetahuan lokal (terutama para petani pemanfaat atau beneficiaries), bersifat partisipatif (petani ikut serta dalam keseluruhan proses penelitian: perencanaan, pelaksanaan/pengelolaan penelitian di on farm, evaluasi, dan distribusi manfaat), mengakui pluralitas/keragaman, (yang paling prioritas bagi petani dan yang paling mungkin dilakukan petani), memberi kesempatan kepada petani untuk melakukan proses belajar secara bertahap namun berkelanjutan, hubungdan antara peneliti dan petani adalah hubungan subjek-subjek yang setara (co-equal relation). Hubungan yang setara ini diharapkan akan menjadi landasan berlangsungnya komunikasi yang efektif karena ditopang oleh tiga klaim berikut: kebenaran (truth) yaitu kesepakatan tentang realitas permasalahan yang dihadapi oleh petani miskin, ketepatan (rightness) yaitu kesepakatan tentang tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut, dan kejujuran (sincerety) yaitu kesepakatan antara dunia batiniah dan ekspresi.

17

6.3. Paket Teknologi Inovatif Budidaya Paket teknologi inovatif yang harus dihasilkan oleh pengkajian ini adalah merupakan paket teknologi lengkap dan terpadu yang terintegrasi secara vertikal (sistem integrasi usaha hulu dan hilir kakao) maupun yang terintegrasi secara horizontal (sistem integrasi ternak + kakao + hijauan pakan ternak) serta didukung oleh paket teknologi konservasi dan pemanfaatan air. Dengan demikian usaha yang dijalankan para petani dapat meningkatkan produktivitas lahan, dapat menghasilkan mutu produk yang sesuai dengan persyaratan pasar sehingga para petani memperoleh harga yang lebih baik, serta dapat meningkatkan keamanan perolehan pendapatan sebagai hasil diversifikasi usaha yang mereka jalankan. Lebih lanjut keadaan usaha tersebut diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan para petani secara berkelanjutan sehingga mereka dapat meraih kesejahteraan. Sejalan dengan Panduan Litkaji Pengembangan Inovasi Pertanian di lahan marjinal PFI3P, beberapa catatan yang harus dipertimbangkan dalam menghasilkan paket teknologi inovatif dimaksud adalah bahwa teknologi yang akan dikembangkan bersifat spesifik lokasi, unggul, sudah teruji sehingga layak secara sosial ekonomi, prospektif, low cost dan/atau low external input sehingga gap antara persyaratan teknis dengan kemampuan petani relatif kecil, low risk sehingga tetap menjaga stabilitas pendapatan petani, berbasis sumberdaya alam dan sumberdaya masyarakat lokal serta terintegrasi dengan teknologi lokal yang unggul (indigeneous technology), secara bertahap meningkatkan surplus petani sehingga mendorong kemandirian petani. Dengan demikian paket teknologi tersebut dapat segera diterapkan para petani secara berkelanjutan dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani miskin karena adanya peningkatan produksi dan atau adanya efisiensi usaha. 6.3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pengkajian ini merupakan kegiatan lanjutan yang akan dilaksanakan di desa Jono-Oge dan desa Tondo, kecamatan Sirenja, kabupaten Donggala, provinsi Sulawesi Tengah yaitu pada zona dataran rendah lahan kering. Waktu pelaksanaan mulai bulan Mei hingga Desember 2005.

18

6.3.2. Perbaikan Budidaya Tanaman Kakao Berasarkan masalah yang dilaporkan dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh BP2TP, BPTP maupun PSE, maka jenis teknologi yang disarankan untuk diujicobakan yaitu : a. Pemangkasan b. Pemupukan c. Pengendalian Hama dan Penyakit d. Rehabilitasi Tanaman Kakao Dewasa e. Penanaman ulang (replanting) untuk tananam kakao yang mati Dari teknologi yang diujicobakan (pola introduksi) ini diharapkan produktivitas kakao dapat meningkat 50 100 % dan mutu biji kakao juga meningkat dari rata-rata grade 3 menjadi minimal rata-rata grade 2. Sebagai pembanding produktivitas kakao, maka pada lahan demplot milik koperator akan dilakukan tanpa teknologi introduksi (pola petani). Informasi berikut merupakan informasi lengkap tentang paket teknologi integrasi hulu + hilir kakao yang telah dihasilkan dalam penelitian sebelumnya oleh Puslit Kopi dan Kakao serta Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Keadaan ini lebih lanjut dapat membuka peluang akan meningkatnya harga yang diterima petani. Berbagai paket

teknologi tersebut merupakan teknologi-teknologi yang potensial untuk disinergikan dengan pengetahuan lokal (petani) agar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani serta kemudian dilakukan uji adaptasi sesuai dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lokal. a. Pemangkasan Teknologi pangkasan yang diintroduksikan adalah teknologi pangkasan bentuk untuk tanaman TBM (tanaman belum menghasilkan/tanaman muda) dan teknologi pangkasan pemeliharaan (produksi) untuk tanaman TM (tanaman menghasilkan/tanaman dewasa). Pangkasan Bentuk Pangkasan bentuk dilakukan untuk membentuk kerangka tanaman yang kuat dan seimbang. Pangkasan bentuk diterapkan pada tanaman TBM yang berumur 2-4 tahun.

19

Cabang-cabang primer dari jorket yang dipelihara berjumlah tiga dan dipilih yang tumbuhnya kuat dan seimbang. Pangkasan Pemeliharaan dan Produksi Pangkasan pemeliharaan dan produksi dilakukan untuk mempertahankan kerangka yang sudah terbentuk, memperoleh distribusi daun yang merata, memperoleh aerasi yang baik, dan merangsang pembungaan. Pangkasan ini dilakukan pada tanaman dewasa (TD). Alat yang digunakan untuk pemangkasan adalah: gunting pangkas biasa, gunting pangkas tangkai panjang, gergaji pangkas dan tangga. b. Pemupukan. Jenis dan dosis pupuk yang tepat adalah berdasarkan pada faktor tanaman dan faktor lingkungan. Hasil kajian yang telah dilakukan pada tahun pertama di desa JonoOge dan desa Tondo, kecamatan Sirenja, kabupaten Donggala pada tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk lahan tanaman kakao, unsur N dalam tanah umumnya rendah, unsur P bervariasi dari rendah sampai tinggi, sedangkan unsur makro lainnya rata-rata sedang sampai tinggi. Berdasarkan dari kajian tersebut maka jenis dan dosis pupuk yang perlu dicoba untuk lahan tanaman kakao di desa Jono-Oge dan desa Tondo adalah sebagai berikut: Tabel 4. Dosis Pupuk pada Lahan Tanaman Kakao di Desa Jono-Oge dan Desa Tondo Jenis Pupuk Urea SP-36 KCl Pupuk Bokashi (kotoran kambing) Pemupukan I (gram/pohon/6 bulan) 200 100 150 1.000-2.000 Pemupukan II (gram/pohon/6 bulan) 200 100 150 1.000-2.000

20

Bahan dan alat yang digunakan untuk pemupukan adalah: urea, SP-36, KCl, pupuk Bokashi (kotoran kambing), ember, sekop, cangkul, takaran pupuk, timbangan. c. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit terutama ditujukan untuk jenis hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha cramerella), Helopeltis sp., dan penyakit busuk buah kakao (Phytophthora palmivora). Jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ini merupakan yang dominan pada pertanaman kakao di kabupaten Donggala. Teknologi pengendalian hama yang akan diterapkan adalah cara kultur teknik dan sanitasi, perlakuan penyarungan buah, dan penggunaan insektisida apabila terpaksa. Paket teknologi ini digunakan atas pertimbangan bahwa teknologi tersebut aman bagi lingkungan, murah, dan sesuai dengan kondisi iklim di Donggala. Aplikasi pengendalian dilakukan dengan menurunkan populasi hama PBK dengan teknologi pembungkusan buah kakao dengan plastik (sarungisasi). Perhitungan Intensitas serangan PBK dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Sulistyowati (2003) sebagai berikut: Z (n x z) P = ------------------ x 100% N x Z Keterangan P n z N Z Katagori 0 = Intensitas serangan (%). = Buah contoh ke i pada katagori serangan. = Katagori serangan pada buah kei. = Jumlah buah yang diamati. = Katagori serangan tertinggi = Bila biji semua mudah dikeluarkan dari kulit buah dan antar biji tidak saling melekat. = Bila biji semua mudah dikeluarkan dari kulit buah dan antar biji tidak terlalu lengket (serangan ringan). = Bila biji saling lengket tetapi masih dapat dikeluarkan dari kulit buah saling melekat (serangan sedang).

Katagori 1

Katagori 2

21

Katagori 3

= Bila biji saling lengket dan tidak dapat dikeluarkan dari kulit buah saling melekat (serangan berat).

Pengendalian Helopeltis dengan penyemprotan insektisida sebanyak dua kali menggunakan insektisida piretroid, interval aplikasi pertama dan kedua adalah seminggu. Seminggu setelah penyemprotan yang kedua baru dilakukan pemasangan sarang semut dan inokulasi kutu putih (Cataenococus hispidus). Kegiatan ini telah dilaksanakan pada TA. 2004. TA. 2005 kegiatan pengkajian dilanjutkan pada pengendalian hama dan penyakit terutama untuk jenis hama penggerek buah kakao (PBK), hama penggerek batang, penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) dan kanker batang dengan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) yaitu pemangkasan, sanitasi dan pemanfaatan jamur Beauveria bassiana. Pengendalian penyakit busuk buah dan kanker batang dilakukan dengan penyemprotan fungisida. Paket teknologi ini digunakan atas pertimbangan bahwa teknologi tersebut aman bagi lingkungan. Pembanding dari kegiatan pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kakao dilakukan di kebun demplot milik petani koperator yang merupakan kebiasaan petani tanpa pengendalian hama dan penyakit (kontrol). Bahan dan alat yang digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit adalah: sarang semut, plastik sarung, karet gelang, Beauveria bassiana, alat semprot (sprayer), fungisida, ember plastik ukuran 15 lt, corong plastik, pipa paralon, dan penyungkit. d. Rehabilitasi Tanaman Kakao Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk melakukan rehabilitasi tanaman kakao dewasa, yaitu cara sambung-samping dan cara sambung-pucuk atau okulasi pada tunas air. Sambung samping Sambung samping merupakan rehabilitasi tanaman yang masih sehat tetapi perlu direhabilitasi. Pelaksanaannya pada awal musim hujan, saat tanaman tumbuh aktif.

Penerapannya pada batang bawah yang sehat dan tumbuh aktif (kulit batang mudah dibuka).

22

Sambung-pucuk Tanaman yang kurang sehat (kulit batangnya lengket), disarankan untuk melakukan teknik sambung pucuk pada tunas air yang sengaja dipelihara.

e. Penanaman Ulang untuk Tananam Kakao yang Mati Penanaman ulang akan dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan jumlah tanaman kakao 500 pohon/0,5 ha. Jenis klon yang akan digunakan adalah jenis kakao unggul hibrida yang bibitnya akan didatangkan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Pembibitan tanaman kakao dilakukan di lahan petani koperator yang bersedia digunakan lahannya. Bahan dan alat yang digunakan untuk rehabilitasi tanaman kakao dewasa dan penanaman ulang tanaman (mati) adalah: entres klon unggul seperti SCA6, TSH 858, UIT I dan ICS 60, benih kakao unggul hibrida, plastik pembungkus estris, tali rafia, polybag hitam, atap rumbia, daun kelapa, tanah pasir, pupuk kandang, pupuk urea, gunting pangkas biasa, pisau okulasi, gunting, cangkul. Seumua teknologi tersebut akan diintroduksikan secara bertahap agar secara alami sesuai dengan kemampuan keluarga petani untuk melaksanakannya. Adapun tahapan-tahapan tersebut akan dilaksanakan selama 4 tahun sebagaimana tertera pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Paket Teknologi Inovatif Integrasi Hulu-Hilir Usaha Kakao Komponen Teknologi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemangkasan tanaman Pemupukan Pengendalian hama dan penyakit Rehabilitasi tanaman kakao dewasa Teknologi pasca panen dan pengolahan kakao Teknologi Konservasi Tanah dan Air Tahun Ke 1 2 3 V V V V V V V V V V V V V V

23

6.3.3. Integrasi Kambing Kakao - Hijauan Pakan Sebagaimana litkaji untuk tanaman kakao, kegiatan litkaji paket teknologi integrasi kakao - kambing - hijauan pakan dimulai dengan melakukan sinergi antara pengetahuan para peneliti dengan pengetahuan lokal (petani) melalui Focus Group Discussion pada aras komunitas dan Workshop pada Aras Regional (kabupaten) sehingga dapat dirumuskan paket teknologi yang sesuai dengan kebutuhan para petani serta sesuai dengan keadaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lokal. Kemudian terhadap paket teknologi yang telah dirumusknan bersama tersebut dilakukan uji adaptasi untuk menyempurnakan paket teknologi tersebut. Ternak kambing sangat cocok untuk petani miskin karena investasinya relatif kecil (dibanding sapi), cepat dewasa, pemeliharaannya tidak rumit, dan cepat beranak (dalam 1,5 tahun dapat dua kali beranak). Adapun paket teknologi pengusahaan ternak kambing yang diintegrasikan dengan usaha kebun kakao dan hijauan pakan ternak yang merupakan hasil penelitian sebelumnya dan siap disinerjikan dengan pengetahuan para petani dapat dirinci sebagai berikut : a. Skala Pemilikan Ternak Kambing Skala pemilikan pemilikan ternak kambing untuk layak diusahakan sebagai tambahan pendapatkan keluarga adalah berkisar 5-7 ekor. Disamping itu, jumlah ternak kambing ini dapat mencukupi kebutuhan kotoran kambing (manure) sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi untuk luasan kebun kakao 1 ha. Bahan yang digunakan untuk penyediaan kambing adalah: ternak kambing betina dan jantan. b. Pembuatan Kandang Kandang yang akan dibuat adalah model panggung agar lebih mudah mengumpulkan kotoran kambing. Pembuatan kandang harus memenuhi syarat teknis agar kambing yang tinggal didalam kandang merasa nyaman dan sehat. Bahan

pembuatan kadang menggunakan bahan baku lokal yang tersedia dilokasi pengkajian. Bahan dan alat yang digunakan untuk pembuataan kandang adalah: atap rumbia, papan apkir/sempi, kayu balak, paku, tali rotan, gergaji, palu, pahat, meteran.

24

c. Perbaikan Pakan Perbaikan pemberikan pakan pada ternak kambing diharapkan akan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi yang diikuti oleh bobot badan akhir yang tinggi. Pakan yang akan diberikan pada ternak kambing (pola introduksi) dengan komposisi; 60% rumput (rumput alam dan atau setaria) + 20% gamal + 20% kulit buah kakao (KBK). Sebagai pembanding, ternak kambing hanya diberikan rumput alam secukupnya berdasarkan kebiasaan peternak (pola peternak). Semua jenis pakan yang digunakan dalam pengkajian ini akan dianalisa untuk mengatahui kandungan nutrisinya seperti bahan kering, protein kasar dan serat kasar. Untuk meningkatkan nilai nutrisi KBK maka akan dilakukan uji fermentasi kulit buah kakao untuk pakan kambing dengan menggunakan kapang Trichorderma viridae. Bahan dan alat yang digunakan untuk perbaikan pakan adalah: KBK, daun gamal, rumput alam/setaria, Trichorderma viridae, urea, air, alat perebusan (panci besar),

parang dan kompor minyak tanah/tungku, timbangan. c. Introduksi Hijauan Pakan Penyediaan pakan tambahan untuk ternak kambing dengan penanaman rumput unggul dan leguminosa di pekarangan/dekat kandang kambing, sebagai tanaman konservasi di kebun kakao dan pembuatan kebun bibit hijauan pakan desa. Bahan dan alat yang digunakan untuk penanaman hijauan pakan adalah: bahan tanam rumput unggul, benih leguminosa, pupuk kotoran kambing, cangkul dan parang. d. Pembuatan Kompos dari Kotoran (Feses) Kambing Sebagaimana tertera pada gambar 3, integrasi kakao-kambing-pakan ternak akan memberikan tambahan keuntungan petani selain melalui penjualan kakao, juga melalui penjualan kambing dan pupuk kandang. Selain itu, keuntungan petani juga akan

diperoleh melalui efisiensi penggunaan pupuk buatan sebesar 40% karena dari usaha kambing dan kakao akan diperoleh pupuk kandang serta efisiensi penggunaan tenaga kerja untuk mencari pakan kambing (merumput) sebesar 50 % karena pakan kambing terdiri kulit kakao + hijauan (leguminosa). Selain itu, penanaman pakan melalui cara ini sangat penting untuk antisipasi kesulitan memperoleh pakan pada musim kering.

25

Teknologi ini sejalan dengan konsep Low External Input Sustainable Agriculture Development (LEISAD).G a m b a r 3 . Iinte g ra s i K a m b ing K a k ao - H M T 3. Iin te HMLE G U M

K U LIT K A K A O

P A KA N

P U P U K TA N A M AN

E fisiensi P upuk 40%

P U P UK K A N D AN G

E fisiensi TK 50%

P E R K E BU N A N K AK A O

RUMAH TANG G A

U S A HA TE R NA K

Jual K akao K ering

Jual P upuk K andang P en ing kata n P enda patan

Jual K am bing

PENDAPATAN

d. Produksi dan Reproduksi Produksi kambing betina diamati dengan melihat pertambahan bobot badan harian (PBBH). Penimbangan dilakukan setiap dua minggu sekali pada pagi hari sebelum diberikan pakan. Penimbangan ini dilaksanakan selama 2,5 bulan untuk semua kambing betina yang dikaji. PBHH kambing betina dihitung dengan menggunakan rumus: PBBH = B - A L dimana: B : bobot badan akhir A : bobot badan awal L : lama pemeliharaan Perkembangan reproduksi dengan menlakukan pencatatan (recoding) pada kambing yang bunting, melahirkan dan jumlah kelahiran anak. 6.3.4. Teknologi Konservasi Tanah dan Air Dalam upaya meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan dalam jangka panjang sebagai akibat terjadinya degradasi lahan maka perlu diterapkan inovasi teknologi konservasi. Beberapa teknologi konservasi yang potensial untuk diterapkan di

26

lahan petani adalah gulud pemanen air, strip rumput, rorak + slot mulsa dan alley cropping. Penerapan teknik konservasi tanah dan air dilaksanakan di lahan petani secara partisipatif dengan luasan 10 ha. Petani diberi bantuan benih dan bibit dalam penerapan teknik konservasi strip rumput dan alley cropping. Dalam usahatani konservasi dan integrasi tanaman-ternak diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Pakan ternak dapat berasal dari rumput strip dan legum dari alley cropping, sehingga teknik konservasi dan ternak merupakan komponen yang saling mendukung satu dengan lainnya. 6.4. Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) Untuk melakukan aktivitas produktif, para petani selain perlu menguasai teknologi juga harus mampu menjalin beragam hubungan sosial dalam bentuk kelembagaan. Hal ini diperlukan karena penguasaan sumber daya dan informasi tidak merata. Lebih lanjut Hagen (1971) menjelaskan, bahwa kemampuan suatu masyarakat dalam penguasaan kelembagaan turut menentukan apakah masyarakat tersebut tetap bertahan dalam ketradisionalannya atau bergerak menuju suatu masyarakat yang lebih maju. Mengacu pada pengertian tersebut, maka kegiatan pekebun, baik yang berupa pembangunan, pemeliharaan, dan pemanenan ataupun yang berupa pemasaran hasil produksi, merupakan aktivitas produktif, karena kegiatan tersebut sebenarnya merupakan upaya manusia untuk merubah sumber daya alam menjadi suatu barang yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, berlangsungnya kegiatan para pekebun tidak akan terlepas dari berbagai hubungan mereka dengan pihak lain, terutama yang berkaitan dengan kepentingan mereka dalam menguasai sarana produksi, modal, tenaga kerja, serta informasi dan jaringan pasar. Apalagi produk yang dihasilkan para petani perkebunan umumnya bukan barang yang secara langsung dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya, tetapi merupakan komoditas yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Oleh sebab itu, keberhasilan aktivitas usaha yang mereka lakukan tidak akan terlepas dari kuantitas kelembagaan yang ditumbuhkembangkan untuk mendukungnya. Kelembagaan yang sudah ditumbuhkan pada TA. 2005 disebut Lembaga Ekonomi Petani (LEP) terus dikembangkan.

27

Lembaga Ekonomi Petani yang telah ditumbuhkembangkan ini harus mampu memperluas jangkauan petani dalam memperoleh kesempatan usaha dan kesempatan kerja para petani yang disertai dengan peningkatan jangkauan petani dalam memperoleh kesempatan menikmati nilai tambah yang lebih baik. Oleh sebab itu wilayah partisipasi LEP perlu diperluas tidak hanya pada kegiatan produksi dan kegiatan pengolahan hasil produksi menjadi bahan olah saja. Secara bertahap, wilayah partisipasi LEP harus

bergerak vertikal pada subsistem agribisnis lain, yakni (1) pembuatan dan distribusi sarana produksi, (2) pemasaran bahan olah, (3) pengolahan bahan olah menjadi bahan baku, (4) pemasaran bahan baku, (5) industri barang jadi, dan (6) pemasaran barang jadi. Untuk sub-sistem 5 dan 6, bila kemampuan LEP tidak memungkinkan dapat dilakukan melalui mekanisme kemitraan dengan perusahaan mitra. Hal ini dilakukan setelah LEP memperoleh penguatan sehingga dapat menghindari kemungkinan LEP hanya menjadi alat yang melapangkan jalan ekspliotasi petani oleh perusahaan mitra. Bilamana pada tahap awal partisipasi LEP belum merupakan partisipasi langsung, paling tidak LEP memperoleh kesempatan memiliki saham serta memperoleh kesempatan belajar sambil bekerja pada perusahaan mitra yang bergerak pada subsistem agribisnis dimaksud. Untuk itu, LEP perlu diperkuat kemampuannya tidak hanya sekedar kelompok tani/kelompok indijenus tetapi juga kelembagaan yang mempunyai skala usaha lebih besar dan memiliki wilayah usaha lebih luas, yakni Kelompok Usaha Bersama dan Kemitraan Usaha (Gambar 4). Hal ini perlu dilakukan agar bargaining position pekebun semakin kuat. Gambar 4. Pengembangan Lembaga Ekonomi PetaniKELOMPOK USAHA BERSAMA

KELOMPOK TANI

KEMITRAAN USAHA

Manajemen Produksi di Kebun dan Pengolahan Pasca Panen

ManajemenPenyediaan input & modal

Pengadaan input & modal Pemasaran antarpulau atau ekspor

ManajemenPemasaran hasil (bahan baku)

Pengolahan hilir (bahansetengah jadi atau bahan jadi)

28

Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) sebaiknya dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan kemampuan sumberdaya manusia petani. Untuk itu, paling tidak diperlukan waktu empat tahun. Selama kurun waktu tersebut tahapan penumbuhkembangan LEP akan dilakukan sebagai berikut (Tabel 6) : 1. 2. 3. 4. Tahun Pertama : Penumbuhan Kelompok Tani, Tahun Kedua Tahun Ketiga : Penguatan Kelompok Tani menjadi Kelompok Usaha Bersama : Penumbuhan Kemitraan Usaha

Tahun Keempat : Penguatan Kemitraan Usaha

Tabel 6. Tahapan Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani No 1 2 3 4 Kegiatan 2004 Penumbuhan Kelompok Tani Penguatan Kelompok Tani menjadi Kelompok Usaha Bersama Penumbuhan Kemitraan Usaha Penguatan Kemitraan Usaha V V V V V V Tahun 2005 2006

Selain melakukan peranan dalam proses produksi (manajemen produksi) dan pemasaran (pasar input dan pasar output), beragam peran lain yang juga harus dilakukan oleh lembaga ekonomi petani adalah kegiatan penyuluhan/transfer teknologi dan distribusi informasi kepada seluruh lapisan petani, baik melalui komunikasi personal atau melalui komunikasi massa (terutama radio). Oleh sebab itu, peningkatan kemampuan sarana dan kemampuan sumberdaya manusia lembaga ekonomi petani juga harus menjadi bagian dari program ini agar lembaga ekonomi yang ditumbuhkembangkan dapat melaksanakan berbagai peranan tersebut. 6.5. Penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) Sebagai komoditas yang diproduksi untuk dijual ke pasar, pengembangan agribisnis kakao akan melibatkan banyak pelaku baik pelaku utama (petani dalam berbagai lapisan) maupun pelaku penunjang (penyedia input, perbankan, pemerintah, lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, pengusaha, dan lainnya). Untuk menghadapi berbagai hambatan lokal dan tantangan global sebaiknya seluruh pelaku tersebut

29

mempunyai wadah bersama. Dalam hal ini wadah tersebut dinamai Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) yang telah dirintis pada TA. 2004. Wadah ini pada dasarnya adalah suatu jejaring sosial-ekonomi yang berfungsi sebagai wahana komunikasi antara berbagai pelaku terkait perkebunan di suatu daerah. Melalui proses komunikasi tersebut, berbagai potensi dapat diakumulasi ataupun dipertukarkan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda ataupun bertentangan dapat dipertemukan satu sama lain, sehingga kegiatan pengembangan perkebunan dapat berlangsung secara efisien dan efektif berdasar platform bersama dan prinsip kerjasama. Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Habermas dalam Hardiman (1993) melalui komunikasi diharapkan akan berlangsung wacana dialog kritis antara berbagai komponen atau lapisan masyarakat, sehingga terjadi refleksi diri dan penguatan yang dapat mengikis penaklukan antara satu bagian masyarakat oleh bagian masyarakat lainnya. Suatu kerangka pemikiran diperlukan sebagai bingkai yang memberi batas-batas sekaligus ruang lingkup dan arah bagi penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) tersebut. Untuk tujuan itu di sini hendak digunakan

konsep-konsep jejaring sosionomi (socio-economic networking), solidaritas sosial (social solidarity), dan peranserta (participation). Konsep jejaring digunakan dengan asumsi

institusi FKMP yang dipasarkan oleh dalam program pada dasarnya adalah suatu wujud jejaring sosionomi yang mencakup beragam pelaku dalam kegiatan agribisnis perkebunan. Sedangkan konsep solidaritas sosial digunakan karena, sebagai suatu jejaring sosionomi, institusi FKMP mengandaikan hubungan-hubungan sosial antar pelaku yang menunjuk pada gejala-gejala solidaritas sosial. Sementara konsep peranserta berguna untuk memahami makna tindakan-tindakan sosial berbagai pelaku kegiatan perkebunan dalam konteks hubungan-hubungan sosial tersebut di atas. Jejaring sosionomi dimengerti sebagai wujud modal sosial yang menunjuk pada kombinasi modal institusional (kuat/lemah) dan modal relasional (kuat/lemah). Sebagai modal institusional, ia menunjuk pada suatu kompleks hubungan-hubungan sosial

berdasar suatu sistem pembagian peran, aturan main, dan ganjaran tertentu, yang bersifat meningkatkan akses terhadap sumber-sumber sosionomi, sehingga masing-masing pelaku yang berperanserta dalam jejaring itu mendapatkan peluang berkembang yang lebih besar. Kompleks hubungan sosial tersebut pada dasarnya adalah jaringan pertukaran

30

(transaksi) sekaligus konsolidasi sumber-sumber sosionomi meliputi modal finansial, iptek, manajemen, informasi, pengalaman, dan lain-lain antar pelaku dalam rangka proses pencapaian kepentingan sosionomi bersama (kolektif) ataupun individual. Sementara itu, sebagai modal relasional, jejaring sosionomi menunjuk pada hubungan-hubungan sosial berdasar kesamaan keyakinan, nilai dan idiologi, yang menuntun para pelaku sosial untuk berperilaku secara sepantasnya sesuai konteks sosial. Atas dasar pengertian-pengertian tersebut, maka proses pengembangan FKMP pada hakekatnya dapat dilihat sebagai suatu proses pembentukan modal sosial yang melibatkan berbagai pelaku di lingkungan kegiatan perkebunan. Modal institusional dan modal relasional, sejauh keduanya berturut-turut menunjuk pada hubungan pertukaran (transaksi) dan hubungan kesetiaan, pada dasarnya menunjuk pada manifestasi dua tipe solidaritas sosial yaitu solidaritas organis (saratpamrih) dan solidaritas mekanis (tanpa-pamrih). Tipe solidaritas organis terdapat dalam masyarakat industrial modern yang sudah terdiferensiasi (heterogen), ditandai dengan gejala pembagian kerja yang tegas. Solidaritas organis bekerja diantara pelaku-pelaku yang berbeda status dan peranan (kompetensi) dalam suatu konteks organisasi sosial, sebagai suatu basis pertukaran sumber-sumber sosionomi yang memungkinkan masingmasing pelaku untuk mengambil manfaat sesuai dengan kontribusi sosial (social share) masing-masing. Sementara tipe solidaritas mekanis terdapat dalam masyarakat agraris

tradisionil yang belum terdiferensiasi secara nyata. Solidaritas mekanis bekerja diantara pelaku-pelaku yang relatif homogen status/peranannya dalam suatu konteks grup sosial, sebagai suatu basis konsolidasi sumber-sumber sosionomi dalam rangka proses meraih tujuan-tujuan bersama ataupun individual. Merujuk pada pengertian-pengertian di atas, dengan asumsi bahwa FKMP adalah gejala organisasi sosial modern dan bahwa masyarakat perkebunan kita untuk sebagian besar masih berciri agraris tradisional, maka tindakan-tindakan sosial para pelaku dalam kerangka FKMP tersebut secara teoritis dapat merujuk kepada baik gejala solidaritas organis maupun gejala solidaritas mekanis diantara para pelaku kegiatan usaha perkebunan. Tindakan solidaristik para pelaku dalam suatu jejaring sosionomi menunjuk pada gejala peranserta sosial. Peranserta, jika mengadaptasi tentang tipe-tipe keterlibatan anggota dalam suatu organisasi, dapat dibedakan kedalam tiga tipe yaitu keterlibatan-

31

keterlibatan alienatif, kalkulatif, dan moral. Secara khusus dua tipe peranserta tersebut dapat pula dilihat berturut-turut sebagai tindakan rasional instrumental (tindakan ekonomi, kalkulatif) dan tindakan rasional berorientasi nilai (komitmen moral). Ketiga tipe peranserta tersebut sebenarnya merujuk pada pola-pola aksi-reaksi tertentu dalam proses pembentukan organisasi: jika pembentukan organisasi memanifestasikan suatu paksaan (fisik) maka peranserta anggota akan bersifat alienatif, jika memanifetasikan remunerasi (utiliter, ganjaran materi) maka peranserta anggota bersifat kalkulatif, dan jika merupakan manifestasi tuntutan normatif (simbolik) maka peranserta anggota akan bersifat moral (komitmen). Dikenakan terhadap FKMP, sifat peranserta (alineatif, kalkulatif, atau moral) para pelaku dalam jejaring sosionomi tersebut akan sangat

tergantung pada tipe proses pembentukan (paksaan, remuneratif, atau normative) jejaring tersebut di tengah-tengah para pelaku. Dari sisi pandang instansi supra-lokal yang memasarkan gagasan FKMP proses pembentukan FKMP dipandang sebagai proses penawaran peluang-peluang perolehan manfaat ekonomi (remuneratif) sekaligus proses penguatan nilai-nilai kerjasama (normatif) di lingkungan masyarakat perkebunan. Tetapi, dari sisi pandang para pelaku perkebunan di aras lokal, selain melihat FKMP sebagai peluang ekonomi dan wahana penguatan nilai kerjasama, pembentukan institusi itu juga sangat mungkin dilihat sebagai suatu proses pemaksaan (non-fisik/psikologis) sehingga keterlibatan pelaku menjadi bersifat alineatif (terpaksa).

6.6. Pemberdayaan Petani Pemberdayaan petani terutama dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut : peningkatan pengetahuan dan motivasi petani, peningkatan keterampilan petani melalui pelatihan dan pendampingan, penguatan akses petani terhadap teknologi dan sarana adopsi teknologi, serta penumbuhan modal petani dan penyediaan kredit. Kegiatan

tersebut sejalan dengan pemikiran Budiman (2003) dan Rukminto (2003) bahwa pemberdayaan komunitas petani dapat dilakukan melalui tiga kegiatan berikut secara lengkap, yaitu: penguatan (empowering), membangun jaringan (relation) dan fasilitasi (services).

32

Dalam konsep pemberdayaan petani, sebab terjadinya keterbelakangan para petani, baik dalam hal motivasi maupun tindakan/usaha produktif, terutama bukan karena keterbelakangan mentalitas mereka (sebagaimana dalam konsep modernisasi) tetapi karena akses-akses yang mereka perlukan untuk melakukan tindakan/usaha produktif tersebut dikuasai oleh pihak lain dalam pola hubungan yang dimaknai petani sebagai hubungan yang tidak adil. Oleh sebab itu, intisari dari pemberdayaan petani adalah pembebasan petani dari dominasi dan eksploitasi pihak lain melalui pembukaan dan atau perluasan akses petani terhadap peluang usaha, akses petani terhadap berbagai sarana untuk menjalankan peluang usaha tersebut (lahan, modal, teknologi, dan input produksi lainnya), akses petani terhadap pasar, serta akses petani dalam memperoleh imbalan (margin) yang wajar dari usaha yang telah dilakukannya. Pemahaman konsep

pemberdayaan sebagaimana diuraikan diatas, harus menjadi arahan kita bahwa pemberdayaan terhadap petani jangan sampai terjebak hanya memberdayakan petani dalam pengertian membuat petani harus lebih membanting tulang (berusaha lebih keras atau berkorban lebih banyak) tetapi sebagian besar surplus yang tercipta dari hasil jerih payahnya lebih banyak dinikmati oleh pihak lain, baik mereka yang sama-sama berada dalam komunitas petani ataupun mereka yang berada di luar komunitas petani. Berbagai upaya peningkatan keterampilan dan penguatan akses petani terhadap sarana dan teknologi dilakukan melalui pelatihan, pendampingan, asistensi, dan atau fasilitasi. Secara rinci, berbagai kegiatan yang dilakukan adalah: Peningkatan penguasaan infromasi pasar dilakukan melalui kegiatan pelatihan pendampingan, dan asistensi. Peningkatan penguasaan aset produksi dilakukan melalui fasilitasi dalam redistribusi asset produksi, perbaikan kelembagaan penguasaan aset produksi, penyediaan kredit produksi dan kredit investasi. Peningkatan bargaining position petani mitra dilakukan melalui wadah kesatuan ekonomi (kelompok bersama, koperasi). Peningkatan penguasaan teknologi dilakukan melalui: on farm research, pelatihan, dan pendampingan. Perubahan motif usaha, etos kerja, dan pola hubungan dilakukan melalui penyuluhan dan pendampingan.

33

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam pengelolaan usaha bersama melalui pelatihan sumberdaya manusia petani dalam aspek sistem dan prosedur operasi, manajemen keuangan, dan manjemen kemitraan. Pemberian fasilitas terhadap para petani dalam program ini adalah pemberian input produksi. Fasilitas tersebut jumlahnya sangat terbatas sehingga hanya berperan sebagai stimulus dan jika memungkinkan akan diberikan dengan pola bergulir agar dapat menjangkau jumlah petani yang lebih banyak. Agar pemberian bantuan fasilitas berjalan efektif, maka kontrol terhadap pengelolaan bantuan harus dibangun secara sinergis antara pengendalian melalui aturan tertulis dan melalui pengawasan sosial oleh komunitas petani. Selain itu, untuk meningkatkan volume bantuan fasilitas akan dilakukan melalui sinergi dengan institusi terkait lain, seperti PEMDA dan perusahaan swasta. 6.7. Pengumpulan dan Analisa Data Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisa baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Secara lebih spesifik analisa kuantitatif yang dilakukan adalah Analisa kelayakan usaha dengan menggunakan uji Revenue Cost Ratio (R/C) yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995) sebagai berikut: Total Revenue (TR) R/C = -------------------------Total Cost (TC) Analisa kualitatif yang dilakukan adalah Analisa Proses Adopsi, Analisa Dinamika Kelompok, dan Analisa Gender. Untuk data dan informasi yang menggambarkan suatu tindakan sosial petani atau tindakan sosial pihak lain yang berkaitan dengan tindakan sosial petani, umumnya tidak diperoleh dengan cara melakukan pengukuran atau perhitungan sehingga tidak dapat disusun dalam struktur klasifikasi. Jenis data dan informasi ini dianalisa dengan pendekatan kualitatif. Analisa kualitatif dipilih untuk mengungkapkan bahwa analisa yang digunakan untuk mendeskripsikan pola dan sistem makna kebudayaan yang mendasari dan memberi pedoman terhadap tindakan sosial warga masyarakat adalah analisa kualitatif. Analisa kuantitatif hanya digunakan untuk mengukur gejala dan dilakukan terhadap data dan informasi yang dikumpulkan melalui pengukuran atau penghitungan.

34

- Ditjen BP Perkebunan - Ditjen BP2HP - Litbangtan - PFI3P

Lembaga Keuangan Bank & Non Bank

Perusahaan Mitra 4

4, 5

5, 6

1

- Pemda Prop. & Kab., Pem Kec. & Desa - Dinas/instansi terkait (Disbun,

4

FORUM KOMUNIKASI DAN MANAJEMEN PROGRAM

Penyediaan Paket Teknologi Inovatif Terpadu Penumbuh kembangan LEP Penyediaan input produksi dan modal Pemberdayaan petani

AKTIVITAS PRODUKTIF Usaha tani Terpadu Pengolahan Hasil Pemasaran input dan hasil Peningkatan dan perluasan usaha LEP Dll

PETANI & LEMBAGA EKONOMI PETANI

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN/ PENANGGULANGAN KEMISKINAN PETANI SECARA BERKELANJUTAN

2

3

- Lembaga Penelitian (LRPI, Puslit Koka, Puslitnak, Puslitanak, BP2TP, BPTP, PSE) - Universitas - LSM -

5

Keterangan:1. Legislasi/fasilitasi 2. Pendampingan teknologi 3. Analis, perencanaan & monev program 4. Koordinasi/dinamisasi

5. 6.

Modal/ kredit/ bantuan teknis Penyaluran produk

Gambar 5. Pengembangan Sistem Integrasi Kakao + Kambing + Hijauan Pakan Ternak serta Pengembangan Kelembagaan Petan

34

7. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1. Paket Teknologi Inovatif yang Lengkap dan Terintegrasi 7.1.1. Integrasi Hulu - Hilir Usaha Kakao a. Pemangkasan dan Pengelolaan Tanaman Penaung Tanaman kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menghendaki kondisi lingkungan yang sesuai agar aktivitas fisiologis berjalan dengan optimum. Untuk menciptakan kondisi tersebut, salah satu teknologi pemangkasan baik tanaman kakao maupun naungannya. Pemangkasan cabang yang tidak produktif sangat membantu efisiensi penggunaan hara yang dihasilkan dapat diserap sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pemangkasan cabang atau ranting sakit dapat mengurangi sumber infeksi hama dan penyakit terutama hama PBK, penyakit busuk buah, kanker batang dan antraknosa. Hama PBK sangat menyenangi kondisi iklim yang lembab, saat sore hari imago PBK beristirahat pada dahan atau ranting yang dinaungi (Sulistyowati 2003). Penyakit busuk buah dan kanker bantang, perkembangannya sangat dipengaruhi oleh iklim, demikian pula penyakit antraknosa. Jaringan atau ranting sakit yang terserang perlu dihilangkan karena menjadi sumber infeksi. Teknologi pemangkasan yang telah diintroduksikan

adalah pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan produksi dan pemangkasan bentuk. Pemangkasan bentuk dapat dilakukan dengan memendekan tajuk tinggi tanaman hingga 3-4 m. Umumnya tanaman kakao yang dimiliki oleh petani koperator berumur diatas 10 tahun sehingga teknologi pemangkasan yang dilakukan oleh petani koperator adalah pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan bentuk. Tanaman kakao yang masih berumur muda (2-3 tahun) hanya dimiliki oleh 2 petani koperator yaitu 1 di desa Jono Oge dan 1 di desa Tondo. Teknologi pemangkasan yang dilakukan oleh petani koperator adalah pemangkasan bentuk dan pemangkasan pemeliharaan. Pemangkasan tanaman kakao di lapangan hingga saat ini masih berdasarkan kriteria yang bersifat kualitatif. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa teknologi pemangkasan pemeliharaan pada tanaman kakao dewasa telah dilakukan di desa Jono-Oge yaitu 55% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 100%, 25% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 75% dan 20% petani koperator lainnya telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 50%.

37

Pemangkasan pemeliharaan pada tanaman kakao dewasa di desa Tondo hanya 40% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 100%, 40% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 75%, 10% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 50% dan 10% petani koperator lainnya tidak melakukan pemangkasan (Tabel 7). Tabel 7. Pengelolaan Pemangkasan Tanaman Kakao No. Petani Koperator Pemangkasan Petani Koperator Desa Jono-Oge (%) Desa Tando 100 Ardin L. 1. Suardin Arifuddin 2. Fahmi 100 100 Isman 3. Nasir Kadir 50 4. Mahmud A. Halu 100 5. Aklin Lakana 100 6. Maksun 100 Yusrin 7. Muhammad Hayati 100 8. Salama 100 Bohar 9. M. Amin Ilham 50 10. Hanif 75 Ikhlas 11. Mahmud B. Sanudin 100 12. Cepe Teda Gafar 50 13. Yahya R. Yusuf 100 14. Kamarudin Anwir 75 15. Rahman Jobose 75 16. Sukardin 50 Lamami 17. Halim Syarif 75 18. Saenong Rizal 100 19. Sahib Hadi 100 20. Alimuddin

Pemangkasan (%) 75 100 0 75 100 100 100 75 100 100 50 75 75 50 75 75 100 0 100 75

Keterangan: - Kriteria 100% : cara pemangkasan benar ditandai cahaya matahari merata disekitar pohon kakao - Kriteria 75% : cara pemangkasan agak benar ditandai cahaya matahari agak kurang disekitar pohon kakao -Kriteria 50% : cara pemangkasan kurang benar ditandai cahaya matahari kurang disekitar pohon kakao

Hasil pertemuan bahwa bapak Isman belum melakukan pemangkasan karena beberapa bulan terakhir (Oktober-Desember 2005) tidak aktif dikebun maupun pelatihan dengan alasan kesehatan. Bapak Syarif belum melakukan pemangkasan karena masih anggota baru menggantikan anggota lama yang mengundurkan diri. Hal ini perlu

dilakukan pembinaan khusus cara pemangkasan yang benar sesuai persyaratan teknis

38

anjuran. Pemangkasan di kedua desa ini menggunakan gunting pangkas panjang dan gergaji pangkas. Tanaman naungan pada tanaman kakao dilokasi pengkajian beragam seperti gamal (Gliricidia sepium), kelapa dalam, rambutan, durian dan kedondong, namun sebagian besar tanaman kakao milik petani koperator di desa Jono-Oge dan desa Tondo belum ditanami tanaman penaung. Adanya kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan pada TA. 2004, semua petani koperator diharuskan untuk menanam tanaman penaung pada tanaman kakao dengan tanaman gamal. Dasar pertimbangan jenis leguminosa

pohon ini dijadikan tanaman penaung karena cepat tumbuh dan mudah didapatkan dilokasi pengkajian. Disamping itu konsep SUT integrasi kambing dan kakao, daun gamal dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos dan sebagai pakan kambing bergizi tinggi. Gamal memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi dan produksi hijauan pakan (biomassa) yang tinggi. Hasil penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa

produkstivitas kakao tertinggi dapat dicapai pada kondisi lingkungan tanaman kakao yang terlindungi sebagian dari terik matahari di daerah tropis. Cara yang paling mudah dan murah untuk mencapai produkstivitas kakao tertinggi dengan memanfaatkan tanaman penaung. Permasalahan yang timbul di lapangan yaitu pada petani koperator yang tanaman naungannya menggunakan pohon kelapa dalam. Petani ini tidak dapat melakukan pemangkasan pada tanaman kelapanya sehingga walaupun petani telah melakukan pamangkasan pada tanaman kakaonya namun kondisi iklim mikro disekitar kebun tetap lembab. Hal ini memicu terjadinya serangan hama dan penyakit, terutama panyakit busuk buah dan kanker batang. Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao dalam

Witjaksana (1989) bahwa tanaman kelapa sebagai penaung tanaman kakao dengan tajuk yang terlalu rimbun dapat dilakukan dengan pengurangan tajuk, pengurangan tajuk 5-6 lembar atau tersisa 12-14 pelepah per pohon tidak menurunkan hasil kelapa yang berarti. Agar pengurangan itu tidak terlalu merugikan, disarankan pemotongan dilakukan terhadap daun-daun tua paling bawah. Petani koperator yang tanaman kakaonya dinaungi oleh tanaman kelapa, sebenarnya sangat menguntung petani dari segi serangan hama PBK dan kepik penghisap buah kakao, karena semut hitam (Dolichoderus sp) tempat tinggal tetapnya (permanent host) adalah tanaman kelapa, dan semut ini juga sudah

39

merupakan bagian dari agroekosistem perkebunan kakao di Indonesia. Aktivitas semut hitam yang selalu berada dipermukaan buah menyebabkan helopeltis tidak sempat menusukan stiletnya atau bertelur pada buah kakao. b. Pemupukan Pemupukan pada tanaman kakao sangat dianjurkan terutama setelah panen buah kakao. Tujuan pemupukan untuk memberikan tambahan atau tidak tersedia unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kakao. Pemupukan dapat dilakukan menggunakan pupuk anorganik maupun pupuk organik. Sebelum kegiatan pengkajian ini para petani hanya sebagian kecil yang melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik tetapi hanya menggunakan pupuk urea saja dan pemberiannya tidak sesuai kebutuhan tanaman kakao yang produktif. Hasil pertemuan kelompok tani pada bulan Oktober 2005, disepakati bersama bahwa dosis pupuk anorganik untuk tanaman kakao pada pengkajian TA. 2005 ini berdasarkan anjuran dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor dengan dosis urea 400 gr/pohon, SP36 200 gr/pohon dan KCL 300 gr/pohon. Separuh dosis pupuk anorganik ini ditanggulagi oleh petani koperator sendiri yang dikelola oleh kelompok tani masing-masing. Aplikasi pemupukan dibagi menjadi 2 tahapan, tahap pertama saat awal musim hujan (Oktober-Nopermber) dan tahap kedua akhir musim hujan (Maret-April). Pemupukan anorganik dengan cara tugal (bintang 6) hanya dilakukan petani koperator yang memiliki lahan miring untuk menghindari terjadinya pohon rebah akibat terpotongnya akar tanaman saat dicangkul membuat piringan. Realisasi pemupukan

anorganik pada tanaman kakao di desa Jono-Oge dan desa Tondo dapat dilihat pada tabel 8.

40

Tabel 8. Realisasi Pemupukan pada Tanaman Kakao No. Petani Koperator Realisasi Petani Koperator Desa Jono-Oge (%) Desa Tando 100 Ardin L 1. Suardin Arifuddin 2. Fahmi 100 100 Isman 3. Nasir Kadir 4. Mahmud A. 100 100 Halu 5. Aklin 100 Lakana 6. Maksun Yusrin 100 7. Muhammad 100 Hayati 8. Salama Bohar 9. M. Amin 100 100 Ilham 10. Hanif 100 Ikhlas 11. Mahmud B. Sanudin 100 12. Cepe Teda 100 Gafar 13. Yahya R. Yusuf 100 14. Kamarudin Anwir 100 15. Rahman Jobose 100 16. Sukardin 100 Lamami 17. Halim Syarif 100 18. Saenong Rizal 100 19. Sahib Hadi 100 20. Alimuddin

Realisasi (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 75 100 100 100 100 100 100 100 100

Pada tabel 8 diatas memperlihatkan bahwa hampir semua petani koperator yang melakukan pemupukan anorganik kecuali Bapak Sanudin dari desa Tondo yang baru 75% menyelesaikan pemupukan akibat tergenang air hujan lahan tanaman kakao dan masih menyelesaikan penanaman bibit kakao, setelah penanaman bibit kakao dilanjutkan dengan penyelesaian pemupukan. Dosis pemberian pupuk anorganik diatas belum cukup untuk digunakan sebagai dasar pemupukan secara umum di desa Jono-Oge dan desa Tondo karena pengambilan sampel tanahnya pada 4 lokasi yaitu 2 lokasi di desa Jono-Oge dan 2 lokasi desa Tondo, padahal lokasi pengkajian sangat beragam dan pengambilan sampel tanahnya juga saling berdekatan. Pengkajian TA. 2005 ini telah melakukan pengambilan sampel tanah pada 8 lokasi kebun kakao yang diwakili oleh lahan datar dan lahan berlereng pada hamparan berbeda. Berdasarkan hasil analisis tanah dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (Lampiran 1) menunjukkan bahwa kadar hara P dan K tanah tinggi hingga sangat

41

tinggi dengan kadar N-total dan C-organik sangat rendah hingga rendah, sehingga tanah di lokasi pengkajian secara umum tergolong berkesuburan sedang. Mengacu pada

anjuran pemupukan P dan K pada tanah yang kadar hara P dan Knya rendah diperlukan pupuk P dan K dengan dosis 200 g/pohon/tahun dan KCl 300 g/pohon/tahun, sedangkan untuk tanah dengan kadar P dan K tinggi hingga sangat tinggi disarankan pemberian pupuk P sebanyak 100 g/pohon/tahun dan K sebanyak 100 g/pohon/tahun. Pemupukan Nitogen tetap mengacu pada anjuran sebelumnya yakni 400 g/pohon/tahun. Kondisi tanah di lokasi pengkajian mempunyai kadar C-organik sangat rendah hingga rendah (0,77-2,11%). Agar produktivitas lahan dapat meningkat maka perlu pemberian bahan organik. Salah satu sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan adalah pupuk kandang (pukan) yang berasal dari kotoran (manure) kambing. Melalui kegiatan SUT integrasi kambing dan kakao ini maka sebagian petani koperator telah memanfaatkan pupuk organik dari kotoran kambing yang sudah matang atau melalui proses fermentasi untuk tanaman kakaonya. Pemanfaatan pukan dari kotoran kambing ini sebaiknya difermentasi dengan menggunakan mikrooragnisme komersial untuk meningkatkan unsur hara. Namun karena masih terbatasnya ketersediaan kotoran

kambing sehingga para petani koperator masih mengandalkan penggunaankan pupuk anorganik. Hasil analisis pukan yang diambil dari petani koperator dan difermentasi (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kadar hara pada pupuk kandang yang difermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang yang tidak difermentasi. Aplikasi pukan pada lahan bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia biologi tanah dan sebagai sumber hara. Berdasarkan analisis pukan ini maka dianjurkan pemberian pukan pada tanaman kakao 2-4 kg/pohon/tahun. Realisasi pemberian pukan dari kotoran kambing fermentasi (bokashi) pada tanaman kakao dewasa yang telah dilakukan oleh kg/pohon/tahun (Tabel 9). petani koperator sebanyak 1-2

42

Tabel 9. Realisasi Pemberian Pukan pada Tanaman Kakao No. Petani Koperator Pemberian Pupuk Petani Koperator Desa Jono-Oge Kandang (%) Desa Tando 1. Suardin 100 Ardin L.** 2. Nasir 100 Lakana 3. Aklin 100 Yusrin * 4. Salama 100 Bohar 5. M. Amin 100 Gafar ** 6. Kamarudin 100 Yusuf 100 7. Rahman Anwir 8. Sukardin 100 Jobose 9. Alimuddin 100 Lamami

Pemberian Pupuk Kandang (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Keterangan: * Menggunakan pupuk kandang dari kotoran sapi (belum mendapatkan kambing) ** Pukan dari kotoran sapi atau kambing dari kandang milik tetangganya.

c. Sanitasi Sanitasi sangat penting dilakukan, hal ini berkaitan erat dengan serangan hama dan penyakit. Kebun kakao yang tidak dilakukan sanitasi akan menjadi sumber infeksi hama dan penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan di kebun petani koperator yang

berada di desa Jono-Oge yaitu 20% petani telah melakukan sanitasi kriteria 100%, 55% petani telah melakukan sanitasi kriteria 75%, 20% petani yang melakukan sanitasi kriteria 50% dan 5% petani yang melakukan sanitasi kriteria 25% (Tabel 10). Pelaksanaan sanitasi kebun di desa Tondo yakni 30% petani melakukan sanitasi kriteria 100%, 35% petani telah melakukan sanitasi kriteria 75%, 15% petani telah melakukan sanitasi kriteria 50%, 10% petani yang melakukan sanitasi kriteria 25% dan 10% petani belum melakukan sanitasi kebun (Tabel 10).

43

Tabel 10. Kriteria Sanitasi pada Kebun Kakao No. Petani Koperator Sanitasi (%) Petani Koperator Desa Jono-Oge Desa Tando 75 Ardin L 1. Suardin Arifuddin 2. Fahmi 50 50 Isman 3. Nasir Kadir 4. Mahmud A. 75 75 Halu 5. Aklin 75 Lakana 6. Maksun Yusrin 75 7. Muhammad 100 Hayati 8. Salama Bohar 9. M. Amin 75 50 Ilham 10. Hanif 50 Ikhlas 11. Mahmud B. Sanudin 75 12. Cepe Teda 75 Gafar 13. Yahya R. Yusuf 100 14. Kamarudin Anwir 100 15. Rahman Jobose 75 16. Sukardin 25 Lamami 17. Halim Syarif 75 18. Saenong Rizal 75 19. Sahib Hadi 100 20. Alimuddin

Sanitasi (%) 50 100 0 75 100 100 75 75 25 75 25 75 75 50 50 100 100 0 100 75

Keterangan: - Kriteria 100% : cara sanitasi benar ditandai kebun bersih dari gulma dan sampah. - Kriteria 75% : cara sanitasi agak benar ditandai masih ada sedikit gulma dan sampah - Kriteria 50% : cara sanitasi kurang benar ditandai masih banyak gulma dan sampah - Kriteria 25% : cara sanitasi salah ditandai masih banyak gulma, sampah dan disekitar pohon kakao tumbuh gulma - Kriteria 0% : tidak melakukan sanitasi kebun

Tabel 10 diatas memperlihatkan bahwa baik di desa Jono-oge maupun di desa Tondo masih rendah melakukan sanitasi dengan cara benar (kriteria 100%), masing-masing hanya 20% dan 30%. Berdasarkan hasil pertemuan kelompok tani pada kedua desa tersebut bahwa rendahnya persentasi melaksanakan sanitasi kebun dengan cara benar (kriteria 100%) disebabkan oleh petani koperator menganggap pekerjaan sanitasi mudah dilaksanakan dan tidak mempunyai batas waktu sehingga kegiatan sanitasi kurang mendapatkan perhatian karena pengaruhnya secara tidak langsung terhadap buah yang dihasilkan. Mereka hanya dengan melakukan penyemprotan herbisida sudah dapat mengatasi masalah sanitasi kebun. Padahal prinsip kerja herbisida hanya membunuh rumput yang tumbuh, pelepah kelapa, kulit buah kakao (KBK) dan sisa pangkasan daun

44

kakao masih berserakan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap iklim mikro di kebun kakao yang menjadi lembab, dimana kondisi ini sangat cocok untuk berkembangnya hama dan penyakit tanaman kakao. KBK yang terserang busuk buah, penggerek buah kakao (PBK) dan hama penyakit lainnya dapat menjadi sumber infeksi bagi tanaman kakao sehat lainnya (Sukamto, 2003).

c. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian Hama PBK Pengendalian PBK dengan cara sarungisasi merupakan cara pengendalian yang efektif saat ini. Efektifitas pengendalian dengan teknik sarungisasi mencapai 95-100% (Sulistyowati 2003). Pengedalian hama PBK dengan metode penyarungan buah kakao ini sudah dikuasai oleh petani koperator di desa Jono-Oge dan desa Tondo. Namun pelaksanaannya di tingkat petani koperator belum seluruhnya melaksanakan dengan berbagai macam alasan seperti terbatasnya waktu untuk menyarung buah kakao, petani koperator tidak mampu mengalokasikan waktu untuk setiap kegiatan usahataninya. Usahatani yang dilakukan oleh petani koperator tidak hanya tanaman kakao saja tetapi berbagai jenis usahatani seperti cengkeh, kelapa, palawija, padi dan beternak kambing dan sapi (Lampiran 3 dan 4). Pada musim panen cengkeh pada bulan Juli dan Agustus, kegiatan penyarungan buah banyak ditinggalkan karena terjadi persaingan penggunaan tenaga kerja keluarga untuk melaksanakan panen cengkeh di kebun sendiri atau di kebun orang lain (tenaga upahan). Hal ini terjadi karena sangat tingginya nilai upah panen cengkeh (Rp 1.250,-/liter x 60 liter/orang/hari = Rp 75.000,-/orang/hari). Disamping ini kenyataan di lapangan, jika petani koperator terbentur dengan masalah seperti tidak ada sarana untuk kegiatan penyarungan buah kakao maka petani tidak mengupayakan untuk mendapatkan sarana tersebut, mereka lebih cenderung mengerjakan usahatani lainnya. Disamping itu, alasan teknis karena di kebunnya memiliki iklim mikro yang lembab sehingga apabila buahnya disarungi menjadi busuk seperti di kebun bapak Saenong, bapak Halim, bapak Hanif desa Jono-Oge dan di kebun bapak Hadi, bapak Jobose desa Tondo. Khusus kebun bapak Hanif tanaman penaungnya pohon kelapa tidak mengurangi jumlah daun kelapa sehingga kondisi kebun tetap lembab. Kebun milik bapak Hadi, bapak Jobose, bapak Saenong dan bapak Halim letak kebunnya dilokasi yang berbukit

45

sehingga dengan curah hujan yang rendahpun mengakibatkan iklim mikro menjadi lembab. Salah satu kelemahan sarungisasi adalah meningkatkan persentase busuk buah jika kondisi iklim mendukung, sehingga pada lokasi yang iklim mikronya lembab dianjurkan melakukan pemangkasan berat pada saat memasuki musim hujan.

Pemangkasan ini diikuti kegiatan sanitasi dan pemupukan, sehingga kegiatan sarungisasi dapat dilakukan dan persentase busuk buah menjadi lebih rendah seperti halnya kebun yang letaknya dilahan datar. Sebagai contoh milik bapak Aklin desa Jono-Oge yang kondisi kebunnya berbukit, telah melakukan penyarungan buah 100% yang pada awalnya juga menggunakan insektisida kimia. Pemangkasan berat dilakukan oleh bapak Aklin menyebabkan perubahan iklim mikro. Bapak Hadi, bapak Jobose, bapak Saenong dan bapak Halim merasa khawatir melakukan pemangkasan berat dengan pertimbangan cabang yang ditumbuhi buah harus dibuang. Sebagai tindaklanjut, untuk sementara waktu pengendalian PBK dengan penyemprotan insektisida kimia interval 2 minggu. Hingga saat ini tetap dilakukan pembinaan kepada petani koperator agar melakukan pemangkasan yang benar. Berdasarkan hasil pengamatan dengan mengambil secara acak buah kakao di kebun petani koperator untuk menghitung intensitas serangan hama PBK. Hasil

perhitungan menunjukkan bahwa intensitas serangan hama PBKdi desa Jono-Oge dan desa Tondo cukup bervariasi yakni dari serangan ringan (10%) sampai serangan berat (100%) pada tabel 11.

46

Tabel 11. Realisasi Penyarungan Buah Kakao desa Jono dan desa Tondo No. Petani Koperator Penyarungan Petani Koperator Penyarungan Desa Jono-Oge (%) Desa Tando (%) 50 Ardin L. 75 1. Suardin Arifuddin 50 2. Fahmi 0 0 100 Isman 3. Nasir Kadir 0 4. Mahmud A. 0 50 100 Halu 5. Aklin 100 Lakana 100 6. Maksun Yusrin 75 100 7. Muhammad 0 100 Hayati 8. Salama Bohar 0 9. M. Amin 100 0 0 Ilham 10. Hanif 0 Ikhlas 0 11. Mahmud B. 50 Sanudin 100 12. Cepe Teda 100 100 Gafar 13. Y