DSS Lengkap
-
Upload
surya-perdana-siahaan -
Category
Documents
-
view
52 -
download
3
Transcript of DSS Lengkap
BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang
Sindrom Syok Dengue (SSD) merupakan kegawatan klinisyang perlu segera diterapi dengan
pemberian cairan yang tepat. Kelainan patofisiologi utama pada SSD adalah peningkatan
permeabilitas vaskuler dan kebocoran plasma dari pembuluh darah. Dengan pemberian cairan
yang adekuat dan cepat SSD akan cepat reversibel dan dapat dicegah berbagai komplikasi
yang mungkin terjadi misalnya disseminated intravascular coagulation.1
Angka kematian SSD masih cukup tinggi, keadaan ini disebabkan karena sering
terlambatnya penderita datang ke rumah sakit sehingga sudah dalam keadaan syok yang lama
atau didapatkan manifestasi klinis lain misalnya perdarahan gastrointestinal. Manisfestasi
klinis SSD berdasarkan criteria WHO tahun 1997 bervariasi tergantung dari derajatnya. Pada
demam berdarah dengue (DBD) derajat III didapatkan adanya gangguan sirkulasi akan tetapi
tekanan sistoliknya masih normal sedangkan pada DBD derajat IV didapatkan nadi tidak
teraba dan tekanan darah yang tidak terukur. Gambaran laboratorium pada SSD didapatkan
adanya trombositopenia, leukopenia dan peningkatan hematokrit 1
Sejak tahun 1994 insidens DBD di Indonesia meningkat dari 9,2 per 100.000
penduduk (1993) menjadi 9,7 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD yang dilaporkan ke
WHO pada tahun 1991-1995, Indonesia merupaka urutan ketiga.2
Untuk jumlah kematian umum (CDR), Indonesia merupakan urutan pertama dan
urutan ke empat untuk Case Fatality Rate (CFR). Walaupun angka kemitian DBD secara
umum sudah rendah yaitu 2,5% (tahun 1977), tetapi untuk sindrom syok dengue angka
kematian masih tinggi. Di RS.Dr.Kariadi (RSDK) Semarang angka kematian DBD berat
(SSD syok berkepanjangan, syok berulang, perdarahan masif), yang dirawat di Pediatric
Intensive Care Unit (PICU) masih sangat tinggi, yaitu 51,2% (1998). Dengan deteksi dini
syok, peningkatan kualitas pemantauan dan perubahan pengelolaan terhadap terapi cairan
angka kematian SSD yang pada tahun 1996: 26% dan menurun menjadi 12% pada tahun
2002.2
Gangguan hemostasis yang meliputi gangguan vaskular, trombosit, dan koagulopati
dan penelitian terakhir membuktikan adanya difungsi/aktivitas endotel yang berhubungan
dengan gangguan hemostasis dan manifestasi klinis yang terjadi.2
Pengelolaan SSD terutama mengatasi syok hipovolemik dengan cairan yang dapat
dengan cepat mempertahankan volume intravaskuler dengan end point optimalisasi transport
1
oksigen ke sel/jaringan sehingga secepatnya dapat menghilangkan hutang oksigen (O2 debt)
jaringan dengan cara komsumsi oksigen (VO2) jauh lebih sedikit daripada tranport oksigen
(DO2).2
Disfungsi/aktivitas endotel telah dibuktikan pada DBD dan lebih berat pada SSD dari
pada DBD tanpa syok , dengan akibat kebocoran vaskular, aktivitas koagulasi , dan hambatan
fibrinolisis karena meningkatnya plasminogen activator inhibitor -1 (PAI-1).2
Pemulihan cairan awal dengan koloid yang mempunyaiefek menyumpal (sealing
effect) pada SSD sangat dianjurkan sehingga dapat mengatasi kebocoran vaskuler, cepat
mempertahankan volume intravaskuler,bertahan lama di dalam intravaskular sehingga dapat
dengan cepat mengatasi syok.2
Penelitian randomized controlled trial pada anak dengan SSD mempergunakan cairan
awal koloid molekul sedang, dapat menurunkan angka mortalitas SSD. Aktivitas koagulasi
yang terjadi menyebabkan terjadinya komsumsi berlebihan dan faktor koagulasi, dan
inhibitor koagulasi alamiah sehingga terjadi trombosis, disfungsi organ dn perdarahan.2
Penelitian mengenai DBD dan SSD yang terakhir membuktikan bahwa gangguan
hemostasis terjadi pada setiap derajat DBD dan lebih berat pada SSD. Dengan pengelolaan
terapi cairan yang akurat dan cepat gangguan hemostasis dapat diperbaiki dan menjadi
normal. Sedangkan pada kasus SSD yang meninggal, gangguan hemostasis tidak dapat
diperbaiki dan inhibitor koagulasi mencapai kadar yang sangat rendah dengan manifestasi
klinis perdarahan dan disfungsi organ multipel (DOM).2
Pemilihan cairan koloid dengan molekul sedang (berat molekul 200.000) yang
mempunyai efek menyumpal sebagai terapi inisial, pemantauan kinetik faktor hemostasis
pada fase akut SSD dan pemantauan terhadap terjadinya manifestasi perdarahan dapat
menurunkan angka mortalitas SSD.2
Substitusi inhibitor koagulasi alamiah mungkin perlu dipertimbangkan pada keadaan
SSDyang tidak menunjukan perbaikan klinis dan perburukan kadar faktor hemostasis sesudah
pemberian cairan yang adekuat.2
Prognosis kegawatan DBD tergantung pada pengenalan, pengobatan yang tepat segera
dan pemantauan ketat syok. Oleh karena itu peran dokter sangat membantu untuk
menurunkan angka kematian. 3
BAB II
ISI
2
1. Definisi Dengue Shock Syndrom
Dengue shock syndrome (DSS) merupakan demam berdarah dengue yang ditandai dengan
kegagalan sirkulasi termasuk tekanan nadi yang rendah (<=20 mmHg) dan tanda-tanda syok
lainnya. Demam berdarah dengue yang disertai syok ini dapat terjadi tiba-tiba, biasanya
setelah demam turun, yaitu antara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok yang terjadi pada saat
demam mempunyai prognosis yang buruk.4 Syok ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah
sampai tidak teraba, tekanan nadi yang menurun, kulit dingin dan lembab. 3 Pasien seringkali
mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali mendahului
perdarahan gastrointestinal. 4
Dan ada pendapat lain mengatakan Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala
gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit
(misalnya sistolik 90 dan diastolik 80 mmHg, jadi tekanan nadi ≤ 20 mmHg), bibir biru,
tangan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin.3
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Jumlah trombosit ditemukan diantara hari sakit ke-3 sampai ke-7. Peningkatan kadar
hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, terjadi juga pada kasus derajat ringan
walaupun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium yang lain biasanya
ditemukan hipoproteinemia, hiponatremi, kadar transminase serum dan urea nitrogen darah
meningkat.4
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ke-3 terlihat peningkatan limfosit
atopik yang berlangsung sampai hari ke-8. Limfosit ini disebut sebagai limfosit plasma biru
(LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus tepi memperlihatkan bahwa LPB
pada infeksi dengue mencapai puncaknya pada hari ke-6 demam. LPB merupakan campuran
antara limfosit-B dan limfosit-T 3 .
2. Etiologi 5
Penyakit DBD disebabkan oleh virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang mempunyai
4 serotipe yaitu den 1, den 2, den 3, dan den 4. Virus ini ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar luas di seluruh Indonesia.
Perjalanan penyakit dengue sulit diramalkan, manifestasi klinis bervariasi mulai dari
asimtomatik, simtomatik (demam dengue, DBD), DBD dapat tanpa syok atau disertai syok
(SSD).5
3
Pasien yang pada waktu masuk rumah sakit dalam keadaan baik sewaktu-waktu dapat
jatuh ke dalam keadaan syok (SSD), oleh karena itu kecepatan menentukan diagnosis,
monitor, dan pengawasan yang ketat menjadi kunci keberhasilan penanganan DBD.5
3. Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat karena angka
kesakitan dan kematian masih tinggi serta merupakan 10 penyebab kesakitan dan kematian di
Asia Tenggara dan Pasifik Barat dengan angka kematian antara 1%-30%. Sekitar 2,5 milyar
penduduk di 100 negara berisiko terinfeksi, 20-100 juta penduduk terinfeksi virus dengue,
dan 250–500 ribu penduduk menderita DBD pertahun.6
Kematian akibat DBD sekitar 24 ribu dan menjadi epidemi setiap 3-5 tahun sekali
terutama saat musim hujan. Setengah dari populasi negara-negara di dunia merupakan
endemik dengue. Indonesia juga merupakan daerah endemis DBD dengan angka kejadian per
100.000 penduduk 0,08 pada tahun1968 menjadi 35,2 pada tahun 1998. Angka kejadian di
Denpasar 59,9 per 100.000 orang pada tahun 1997 dan angka kematian tertinggi 1,7% pada
tahun yang sama, dengan puncak penyakit pada bulan April dan Mei.6
Secara nasional DBD merupakan 1 dari 8 penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi. Penyakit DBD mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan kematian tapi jika
berkembang menjadi sindrom syok dengue (SSD), angka kematian meningkat menjadi 40%-
50%. Pada DBD terjadi kebocoran plasma, pada SSD kebocoran plasma sangat masif
sehingga menyebabkan terjadinya syok hipovolemik. Kejadian syok akibat DBD di berbagai
rumah sakit di Indonesia bervariasi antara 11,2%-42%.6
4. Manifestasi Klinis
WHO (1997) memberikan pedoman untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue
secara dini, yaitu :3,4
Klinis :
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2 sampai 7 hari
2. Manifestasi perdarahan termasuk sekurangnya uji torniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain ( petechiae, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi )
hematemesis dan atau melena
3. Pembesaran hati (hepatomegali)
4. Syok yang ditandai nadi kecil dan cepat, tekanan nadi menurun
4
Laboratorium :3,4
Adanya trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat
dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelum
sakit atau pada fase konvalesens.
Ditemukannya 2 atau 3 dari gejala klinis di atas disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi cukup untuk membuat diagnosis klinis demam berdarah dengue.3,4
Sedangkan untuk menentukan berat-ringannya derajat penyakit demam berdarah dengue,
WHO membaginya dalam 4 derajat :3,4,
a. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet positif.
b. Derajat II : derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
c. Derajat III : ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (<= 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan
pasien gelisah.
d. Derajat IV : syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
4.1. Manifestasi klinis DSS terdiri dari :4
1. Kulit pucat, dingin lembab terutama pada ujung jari kaki, bibir dan tangan sedangkan
kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang
menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
2. Anak yang semulah rewel, gelisa cengeng dan gelisa lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi
serebral.
3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut
sampai tidak dapat diraba karena kolap sirkulasi.
4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
5. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis
7. Pasien sering mengeluh nyeri didaera perut saat sebelum syok timbul. Syok yang
terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai prognosis buruk. Tatalaksana
syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia,
perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.sebaliknya dengan
pengobatan yang tepat kasus syok yang berat dapat sembuh dengan cepat. Pasien
5
dapat sembuh dalam waktu 2-3 hari dan selera makan membaik merupa petunjuk
prognosis baik.
5. Pemeriksaan Laboratorium
Sampai saat ini prinsip dasar dari diagnosis laboratorium masih sama, yaitu :
1. diagnosisi laboratorium yang spesifik
misalnya :
- dengan isolasi virus/identifikasi virus atau partikelnya
- pemeriksaan serologi : yaitu dengan menentukan kadar zat kebal terhadap virus yang di
identifikasi
1.Isolasi virus
Ada beberapa cara isolasi yang dikembangkan, yaitu :
- inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari
- inokulasi pada biakn jaringan mamalia dan nyamuk
- inokulasi pada nyamuk dewasa secara intraserebral pada larva
2. Pemeriksaan serologis
dikenal 5 jenis uji serologik adanya infeksi virus dengue, yaitu :
- HI test (Tes Hemaglutinasi Inhibisi), merupakan uji serologis yang paling sering dipakai.
- Uji komplemen fiksasi
- Uji neutralisasi
- IgM dan IgG Elisa
Pada dasarnya hasil uji serologis dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase
konvalesens terhadap fase akut (naik 4x lipat atau lebih). (2)
2. diagnosis laboratorium yang tidak spesifik
misalnya pemeriksaan hemtologi, radiologi, dan lain-lain
6
6. Patogenesis
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali
mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi tubuh memberikan reaksi yang
berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang berulang dengan serotipe Virus Dengue
yang berbeda. Hal ini merupakan dasar teori yang disebut the secondary heterologous
infection atau the sequential infection hypothesis. Infeksi virus yang berulang atau re-infeksi
ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks
antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) dengan konsentrasi tinggi 7
Terdapat komples virus-antibodi di dalam sirulasi darah mengakibatkan hal sebagai
berikut :
1. Kompleks virus-antibodi mengaktivasi sistem komplemen, yang berakibat
dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya permeabilitas
dinding pembuluh darah dan meyebabkan plasma keluar melalui dinding tersebut (plasma
leakege), suatu keadaan yang berperan pada terjadinya syok. Telah terbukti bahwa pada DSS,
kadar C3a dan C5a menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89% 8. Meningginya nilai
hematokrit pada kasus syok diduga akibat kebocoran plasma melaui kapiler yang rusak ke
daerah ekstravaskular seperti rongga pleura, peritonium atau pericardium. 4
2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis.
Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis ini akan dimusnahkan oleh sistem
retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan
terjadinya agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif yang bersifat meninggikan
permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor 3 yang merangsang koagulasi
intravascular.7
Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat terjadinya pembekuan
intravaskular yang luas (DIC). Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin
yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan pengahancuran fibrin menjadi fibrin
degradation product. Di samping itu aktivasi ini juga merangsang sistem kinin yang berperan
dalam proses meningginya permeabilitas dinding kapiler. 7
8
7. Penatalaksanaan
Berdasarkan patofisiologi dan pathogenesis DBD, pengelolaan yang terpenting adalah terapi
cairan. Resusitasi volume pada SSD mempunyai end point optimalisasi transport oksigen
(DO2) ke jaringan/sel, artinya upaya menghilangkan hutang oksigen (O2 debt) jaringan yaitu
konsumsi oksigen (VO2) jaringan jauh lebih sediit daripada DO2. Syo hipovolemik pada BDB
dapat disebabkan karena kebocoran vascular, dan perdarahan. Pengelolaan terhadap jalan
nafas, pernafasan, dan sirulasi (ABC) dengan terapi oksigen sesuai kebutuhan. 2
1. Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan adalah pemberian bolus cairan resusitasi secara cepat melalui akses
intravena atau intraoseal pada keadaan hipovolemi. Tujuan resusitasi cairan adalah
menyelamatkan otak dari gangguan hipoksi-iskemik, melalkui peningkatan preload dan curah
jantung, mengembalikan volume sirkulasi efeksif, mengembalikan oxygen-carrying capacity
dan mengoreksi gangguan metaboli dan elektrolit.3
Sampai saat ini resusitasi volume awal pada SSD masih menggunakan kristaloid (Ringer
latat/Ringer asetat). Apabila syok berlanjut, baru diberikan koloid dan komponen darah (fresh
frozen plasma, konsentrasi trombosit, atau eritrosit pekat) sesuai kebutuhan.
Hydroxethylstarch (HES) 3% dengan berat moleul sedang (BM 100.000-300.000) dapat
dipilih sebagai cairan koloid yang mempunyai sealing effect dan dapat mempertahankan
volume intravascular lebih lama (4-6 jam). 4
Cairan resusitasi yang diberikan adalah cairan kristaloid dan koloid. Cairan kristaloid
isotonik efektif mengisi ruang interstitial, mudah disediakan, tidak mahal dan tidak
menimbulkan reaksi alergi. Namun hanya seperempat bagian bolus yang tetap berada di
dalam intravaskular, sehingga diperlukan lebih banyak volume dan berisiko terjadi oedem
jaringan terutama paru. Contoh larutan ini adalah ringer laktat, ringer asetat dan NaCl 0,9%.3
Cairan koloid berada lebih lama di ruang intravaskular, mampu mempertahankan
tekanan onkotik, namun lebih mahal, dapat menyebabkan reaksi sensitivitas dan komplikasi
lain. Contoh cairan koloid adalah albumin, dextran dan gelatin. 3
Pengobatan awal cairan intravena larutan kristaloid 20 ml/kgbb dengan tetesan
secepatnya(diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila syok belum teratasi dan/atau
keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan
koloid ( dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgbb/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgbb.
Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap
sedangkan kadar hematokrit turun, diduga terjadi perdarahan maka dianjurkan pemberian
transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >40 vol%, maka berikan darah dalam
10
volume kecil (10 ml/kgbb/jam), tetapi apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kgbb.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan
kadar hematokrit.4
Tabel 2.3. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV 4
11
7.1. Keterangan Bagan Sidrom Syok Dengue (SSD) 4,8
Sindrom Syok Dengue ialah DBD dengan gejala, gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil,
lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya sistolik 90 dan diastolik 80
mmHg, jadi tekanan nadi <_ 20 mmHg), bibir biru, tangan kaki dingin, tidak ada produksi
urin.
1. Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20m1/kgBB secepatnya
(diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 liter/ menit. Untuk SSD berat (DBD
derajat IV, nadi tidak teraba dantensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB
bersama koloid (lihat butir 2). Observasi tensi dannadi tiap 15 menit, hematokrit
dantrombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dangula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan
15-20 ml/kg BB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran 40) sebanyak
10-20 ml/kg BB, maksimal 30 ml/kg BB (koloid diberikan pada lajur infus yang sama dengan
kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap
15 menit, danperiksa hematokrit tiap 4-6 jam.
Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/ hematokrit, tekanan
nadi >
20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 mm/kg BB/jam. Volume 10
ml/kg BB /jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabil danhematokrit
menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/kg/BB sampai keadaan klinis
dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5 ml danseterusnya 3ml/kg
BB/jam.
Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi
klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiapjam (usahakan urin >_ 1 ml/kg
BB/jam, BD urin < 1.020) dan pemeriksaan hematokrit & trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
b. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih >
40 vol % berikan darah dalam volume kecil 10ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan masif,
berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10ml/kg BB/jam. Pemasangan
CVP (dipertahankan 5-8 cm H20) pada syok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan
pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.
12
c. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan dan
pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (>_ 10 mmH20),
maka diberikan dopamin.
7.2. Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume
Pemberian cairan tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar Ht turun.
Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgbb/jam dan kemudian disesuaikan
tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Cairan intravena dapat
dihentikan apabila Ht telah turun, jumlah urin 1 ml/kgbb/jam atau lebih merupakan keadaan
sirkulasi membaik.4
7.3. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremi dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DSS, maka pemeriksaan analisis
gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa.4
7.4. Pemberian Oksigen
Terapi oksigen harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian
oksigen dengan menggunakan masker, tetapi harus diingat bahwa anak sering menjadi
gelisah apabila dipasang masker oksigen.4
7.5. Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pad asyok yang berkepanjangan (prolonged shock). Transfusi darah diberikan pada
keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Penurunan hematokrit tanpa perbaikan klinis
walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar adalah untuk meningkat konsentrasi sel darah merah. Plasma segar
atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan
masif. Pemeriksaan hematologi seperti PT, PTT dan FDP berguna untuk mementukan berat-
ringannya DIC.4
7.6. Monitoring 4
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai
hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemantauan adalah :
13
Nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering sampai syok teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai klinis pasien stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis cairan, jumlah
dan tetesan, untuk mementukan apakah cairan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis (normal diuresis 2-3 ml/kgbb/jam).
7.7. Ruang rawat khusus untuk DBD
Untu mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di
ruang khusus, yang dilengkapai dengan perawatan untuk kegawatdaruratan. Ruang perawatan
khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit yang tersedia selama 24 jam.4
7.8. Kriteria Memulangkan Pasien4
Pasien dapat pulang apabila :
· Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
· Nafsu makan membaik
· Tampak perbaikan klinis
· Hematokrit stabil
· Tiga hari setelah syok teratasi
· Jumlah trombosit >50.000/mm3
· Tidak dijumpai distress pernafasan
BAB III
KESIMPULAN
14
Dengue shock syndrome (DSS) merupakan demam berdarah dengue yang ditandai dengan
kegagalan sirkulasi termasuk tekanan nadi yang rendah (<=20 mmHg) dan tanda-tanda syok
lainnya. Demam berdarah dengue yang disertai syok ini dapat terjadi tiba-tiba, biasanya
setelah demam turun, yaitu antara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok yang terjadi pada saat
demam mempunyai prognosis yang buruk.4 Syok ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah
sampai tidak teraba, tekanan nadi yang menurun, kulit dingin dan lembab. 3 Pasien seringkali
mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali mendahului
perdarahan gastrointestinal. 4
Penyakit DBD disebabkan oleh virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang
mempunyai 4 serotipe yaitu den 1, den 2, den 3, dan den 4. Virus ini ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar luas di seluruh
Indonesia. Pemeriksaan laboratorium sampai saat ini prinsip dasar dari diagnosis
laboratorium masih sama, yaitu : diagnosisi laboratorium yang spesifik dan diagnosis
laboratorium yang tidak spesifik.3
Patofisiologi utama yang membedakan demam dengue dengan DBD adalah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, serta diatesis
hemoragik. Dasar penatalaksanaan DSS yang utama adalah penggantian volume plasma
secepat mungkin untuk memperbaiki kehilangan volume plasma. Dengan memahami
patogenesis DBD yang baik dan adanya keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis
secara dini dan pengambilan keputusan yang tepat, akan menentukan keberhasilan
pengobatan DBD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budhy S, S Mardhani, Muid Masdar. Gambaran Klinis Dan Laboratorium Sindrom
Syok Dengue Rawat Picu Rsu Dr. Saiful Anwar Malang (Clinically And Laboratory
15
Features Of Dengue Shock Syndrome In Pediatric Intensive Care Unit (Picu) Rsu Dr.
Saiful Anwar Malang), SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unibraw/RSU Dr. Saiful
Anwar, Malang. [Online].;2004 [cited 2014 February 9]. Available from
www.jkb.ub.ac.id.
2. Sutaryo, W Pudjo H, Mulatsih S. Tatalaksanan Syok dan perdarahan pada DBD.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. Balai Penerbit
FK UGM; 2004.
3. Sri Rezeki H.H., Hindra Irawan. 2000. Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
4. Sumarno S., Herry G., Sri Rezeki H.H. 2002. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi dan
Penyakit Tropik. Edisi I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman 176-208.
5. Hartoyo E. Spektrum Klinis Demam Berdaranh Dengue pada Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNLAM/RSUD. Ulin Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
[Online].; 2008 [cited 2014 February 9].Available from:
http://www.saripediatri.adai.or.id
6. Sarwono W., A.Muin R., LA Lesmana. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman 417-420.
7. Elmy S, BNP Arham, IKG Suandi, IGL Sidiarta. Obesitas Sebagai Faktor Risiko
Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
Bali.[Online].; 2009 [cited 2014 February 9]. Available from:
http://www.saripediatri.idai.or.id
8. Tatalaksana DBD [online],; [cited 2014 February 9]. Available from :
www.dipkes.go.id
16