ABSTRAK - · Web viewAdapun pedoman penilaian kelas ... Prosedur, (c) Penalaran dan ... 2008...
Transcript of ABSTRAK - · Web viewAdapun pedoman penilaian kelas ... Prosedur, (c) Penalaran dan ... 2008...
PENERAPAN MODEL PENEMUAN TERBIMBINGSEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PAKEM
Studi Pembelajaran Matematika KontekstualBagi Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 1 Seririt
Tahun Pelajaran 2008/2009
Oleh :Nyoman Rajan, S.Pd
ABSTRAK
Penelitian tindakan ini dilatar belakangi oleh adanya kesenjangan tentang upaya pembelajaran matematika dan hasil belajar siswa yang sampai saat ini masih relatif rendah, serta munculnya kesan siswa bahwa matematika merupakan pelajaran yang sangat sulit, tidak menyenangkan dan kesan-kesan lain yang kurang baik bagi proses pembelajaran ke depan. Dengan gejala seperti itu maka pembelajaran matematika menjadi kurang efektif, tidak bermakna, sehingga dipandang perlu upaya perbaikan proses pembelajaran matematika untuk mengatasi atau meminimalisasi permasalahan tersebut di atas.
Tujuan umum penelitian ini adalah memperbaiki mutu proses dan hasil pembelajaran matematika, dan secara khusus bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran terbimbing dapat mewujudkan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan).
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan selama tiga bulan yang dibagi dalam dua siklus dengan subyek penelitian kelas VIII A SMP Negeri 1 Seririt semester 1 tahun pelajaran 2008/2009 dengan siswa sebanyak 40 orang terdiri dari 24 orang laki-laki dan 16 orang perempuan.
Data penelitian ini dikumpulkan dengan beberapa teknik, yaitu observasi, angket, dan tes hasil belajar. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif (secara kuantitatif dan kualitatif).
Hasil Penelitian menunjukkan: 1) Penerapan model penemuan terbimbing dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa dari skor keaktifan rata-rata = 69,85 (kualifikasi cukup) pada siklus I menjadi skor keaktifan rata-rata = 73,63 (kualifikasi cukup) pada siklus II, 2) Sikap belajar siswa (ekspresi/ungkapan rasa menyenangkan) menjadi berkembang dari skor rata-rata 63,63 (kualifikasi cukup) pada siklus I menjadi rata-rata skor 74,38 (kualifikasi baik). 3) Penerapan model penemuan terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa (kemampuan penemuan) dari skor rata-rata = 64,75 (kualifikasi cukup) pada siklus I menjadi skor rata-rata = 67,38 (kualifikasi baik) pada siklus II.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model penemuan terbimbing dapat mewujudkan PAKEM. Untuk itu dianjurkan kepada rekan-rekan guru matematika yang berminat melakukan penelitian sejenis agar mencoba menerapkan model ini dalam pembelajaran di kelas dengan penyempurnaan pada aspek-aspek yang masih lemah atau kurang.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Teori
Berdasarkan studi pendahuluan tentang teori-teori pembelajaran yang berkembang,
maka beberapa teori yang dijadikan acuan dalam penelitian tindakan ini antara lain :
2.1 Karakteristik Pembelajaran Matematika
Reformasi di bidang pendidikan telah mengamanatkan adanya perubahan paradigma
dalam proses pembelajaran dari ”paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran” . Hal
ini didasari oleh prinsip bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam proses tersebut
harus ada guru/pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan,
serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik yang terkait langsung dengan
karakteristik masing-masing mata pelajaran. Karakteristik pembelajaran matematika
merupakan acuan bagi guru dan siswa untuk melakukan reformasi pembelajaran.
Adapun karakteristik matematika oleh Direktorat PLP, 2003 dijelaskan sebagai
berikut :
2.1.1 Matematika sebagai Kegiatan Penelusuran Pola dan Hubungan
Kegiatan pembelajaran sebagai implikasi dari pandangan ini adalah ; (a) memberi
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola
untuk menentukan hubungan, (b) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
percobaan dengan berbagai cara, (c) mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan ,
perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dan sebagainya yang dapat mengembangkan
kreativitas siswa, (d) membantu siswa untuk dapat menarik kesimpulan umum dari suatu
masalah, (e) membantu siswa memahami dan menemukan hubungan antara pengertian satu
dengan yang lainnya.
2.1.2 Matematika sebagai Kreativitas yang Memerlukan Imajinasi, Intuisi, dan
Penemuan
Sebagai implikasi dari pandangan ini, maka guru hendaknya ; (a) mendorong inisiatif,
dan memberikan kesempatan berpikir berbeda, (b) mendorong rasa ingin tahu, keinginan
bertanya , kemampuan menyanggah dan kemampuan memperkirakan, (c) mendorong siswa
untuk menemukan yang di luar perkiraan sebagai hal yang bermanfaat dan bukan
menganggapnya sebagai kesalahan, (d) mendorong siswa menemukan struktur dan desain
matematika, (e) mendorong siswa agar menghargai penemuan siswa lainnya , (f) mendorong
siswa berpikir reflektif, dan (g) tidak menyarankan hanya menggunakan satu cara atau
metode saja.
2.1.3 Matematika sebagai Kegiatan Pemecahan Masalah (problem solving)
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa dalam pembelajaran guru hendaknya; (a)
menyediakan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan
matematika, (b) membantu siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan caranya
sendiri, (c) membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan
persoalan matematika, (d) mendorong siswa untuk berpikir logis, konsisten, sistematis, dan
mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, (e) mengembangkan kemampuan dan
keterampilan untuk memecahkan persoalan, (f) membantu siswa mengetahui bagaimana dan
kapan menggunakan alat peraga/media pendidikan matematika,seperti ; jangka, kalkulator,
busur derajat, dan sebagainya.
2.1.4 Matematika sebagai Alat Berkomunikasi
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa dalam pembelajaran guru hendaknya; (a)
mendorong siswa mengenal sifat matematika, (b) mendorong siswa agar dapat membuat
contoh sifat matematika, (c) mendorong siswa menjelaskan sifat matematika, (d) mendorong
siswa memberikan alasan perlunya kegiatan matematika, (e) mendorong siswa membicarakan
persoalan matematika, (f) mendorong siswa membaca dan menulis sesuatu kegiatan dengan
matematika, (g) mendorong agar siswa dapat menghargai bahasa ibu dalam membicarakan
matematika.
Agar potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal, guru harus menyadari
karakteristik peserta didik yakni; (1) murid akan mempelajari matematika jika mereka
mempunyai motivasi, (2) murid mempelajari matematika dengan caranya sendiri, (3) murid
mempelajari matematika secara mandiri maupun melalui kerjasama dengan temannya, dan
( 4) murid memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari
matematika (Direktorat PLP,2003).
2.2 Model Iquiry dalam Pembelajaran Matematika
Maier, 1995 dalam Sri Wardani, 2005 menyebutkan model penemuan murni sebagai
“heuristik” apa yang hendak ditemukan, jalan atau proses semata-mata ditentukan oleh siswa
sendiri. Metode ini kurang tepat karena pada umumnya sebagian besar siswa masih butuh
pemahaman konsep dasar untuk bisa menemukan sesuatu. Hal ini sangat terkait erat dengan
karakteristik pelajaran matematika itu sendiri yang lebih merupakan deductive reasoning
dalam perumusannya. Disamping itu jika setiap konsep harus dipelajari dengan penemuan
murni, kita akan kekurangan waktu sehingga tidak banyak materi matematika yang dapat
dipelajari oleh siswa. Berangkat dari kelemahan inilah dianjurkan untuk menerapkan model
penemuan terbimbing.
Model penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator, guru
membimbing siswa dimana diperlukan. Dalam model ini siswa didorong untuk berpikir
sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum berdasarkan bahan
atau data yang telah disediakan guru. Dengan model ini siswa dihadapkan kepada situasi, dan
mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan. Dengan demikian pengetahuan yang
baru diperoleh siswa akan melekat lebih lama apabila siswa dilibatkan secara langsung dalam
proses pemahaman dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan tersebut.
Lebih lanjut dijelaskan agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini berjalan
dengan baik, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru adalah sebagai berikut :
1) Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan penjelasan
secukupnya.
2) Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengontrol dan
menganalisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh
yang diperlukan saja. Bimbingan sebaiknya mengembangkan siswa untuk melangkah
ke arah yang hendak dituju, misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan atau LKS.
3) Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
4) Bila perlu konjektur yang telah dibuat siswa diperiksa oleh guru untuk lebih
meyakinkan kebenarannya.
5) Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka
verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya.
6) Sesudah siswa menemukan apa yang ditugaskan, hendaknya guru menyediakan soal
latihan atau soal tambahan untuk memeriksa hasil penemuan itu benar.
Roestiyah N.K, (2001) menyebutkan inquiry adalah istilah dalam bahasa Inggris, ini
merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan guru untuk mengajar di depan kelas. Guru
menggunakan teknik ini dengan tujuan : agar siswa terangsang oleh tugas, dan aktif mencari
serta meneliti sendiri pemecahan masalah yang diberikan, belajar berkelompok. Diharapkan
juga siswa mampu mengemukakan pendapatnya dan dapat berdebat, menyanggah dan
mempertahankan pendapatnya.
Lebih lanjut Roestiyah menjelaskan bahwa teknik inquiry memiliki keunggulan yang
diantaranya sebagai berikut :
1) Dapat membentuk dan mengembangkan “self-consept” pada diri siswa.
2) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang
baru.
3) Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri, bersikap obyektif,
jujur dan terbuka.
4) Mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesisnya sendiri.
5) Memberi kepuasan yang berisfat intrinsik.
6) Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.
7) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
8) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri sesuai kecepatan belajarnya.
9) Menghindarkan siswa dari cara-cara belajar yang tradisional.
10) Memberikan waktu pada siswa secukupnya sehingga mereka dapat mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi.
Kemudian ditegaskan juga agar teknik ini dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan
kondisi-kondisi sebagai berikut :
a) Kondisi fleksibel, bebas untuk berinteraksi.
b) Kondisi lingkungan yang responsif.
c) Kondisi yang memudahkan untuk memusatkan perhatian.
d) Kondisi yang bebas dari tekanan.
Dalam hal ini agar penerapan teknik ini dapat berlangsung dengan efektif disarankan
guru berperan untuk :
1. Menstimulir dan menantang siswa untuk berpikir.
2. Memberi kebebasan atau fleksibilitas untuk berinisiatif dan bertindak.
3. Memberi dukungan untuk kegiatan inquiry.
4. Mendiagnosa kesulitan-kesulitan siswa dan membantu mengatasinya.
5. Mengiden tifikasi dan menggunakan “teach able moment” sebaik-baiknya.
Gulo, 2002 (dalam Trianto, 2008) menyatakan bahwa inquiry tidak hanya
mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk
pengembangan emosional dan keterampilan inquiry merupakan suatu proses yang bermula
dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data,
dan membuat kesimpulan.
Lebih lanjut dijelaskan tahapan pembelajaran inquiry adalah sebagai berikut :
Tahapan Pembelajaran Inquiry
Fase Perilaku Guru1. Menyajikan masalah atau
pertanyaanMembimbing siswa mengidentifikasi masalah dan membagi siswa dalam kelompok.
2. Membuat hipotesis Memberi kesempatan pada siswa untuk curah pendapat dalam membentuk hipotesis.Membimbing siswa dalam menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memprioritaskan hipotasis yang menjadi penyelidikan.
3. Merancang percobaan Memberi kesempatan pada siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis yang akan dilakukan.Membimbing siswa mengurutkan langkah-langkah percobaan.
4.Melakukan percobaan untuk memperoleh informasi
Membimbing siswa mendapatkan informasi melalui percobaan.
5.Mengumpulkan dan menganalisis data
Menugaskan siswa untuk menyampaikan hasil pengolahan data yang terkumpul.
6. Membuat kesimpulan Membimbing siswa dalam membuat generalisasi/kesimpulan.
Berdasarkan pandangan-pandangan tentang model inquiry dalam pembelajaran
matematika dapat disimpulkan bahwa model penemuan yang dianjurkan adalah model
penemuan terbimbing, dimana penerapan model ini dapat dilakukan dengan melalui
pertanyaan-pertanyaan atau lembar kerja (LKS) sebagai langkah untuk membimbing kegiatan
siswa.
2.3 Aspek-aspek Penilaian Matematika dan Indikator Pencapaiannya
Oemar Hamalik,(1990), menyebutkan tiga aspek penting dalam proses belajar
mengajar yaitu; tujuan pengajaran, prosedur belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar.
Depdiknas (2006), menyatakan penilaian terdiri atas penilaian eksternal dan penilaian
internal. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak
melaksanakan proses pembelajaran, misalnya oleh suatu lembaga baik dalam maupun luar
negeri yang dimaksudkan antara lain untuk pengendalian mutu. Sedangkan penilaian
internal adalah penilaian yang dilakukan dan direncanakan oleh guru pada saat proses
pembelajaran berlangsung dalam rangka penjaminan mutu. Dengan demikian penilaian kelas
merupakan penilaian internal terhadap hasil belajar peserta didik dalam rangka mengetahui
perkembangan dan ketercapaian berbagai kompetensi peseta didik. Proses penilaian kelas
mengacu kepada standar kompetensi mata pelajaran yang tercantum pada buku standar
kompetensi dalam kurikulum 2004.
Adapun pedoman penilaian kelas oleh Depdiknas (2006), disebutkan sebagai berikut:
Standar kompetensi mata pelajaran matematika SMP terdiri dari 4 aspek yaitu: (a) Bilangan,
(b) Aljabar, (c) Geometri dan pengukuran, (d) Peluang dan Statistika.
Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dalam pembelajaran
matematika yang mencakup pada ke-empat aspek tersebut adalah : (a) Pemahaman konsep,
(b) Prosedur, (c) Penalaran dan komunikasi, (d) Pemecahan masalah, (e) Menghargai
kegunaan matematika. Kemudian demi kepraktisan dan kemudahan, maka aspek penilaian
matematika dalam rapor dikelompokkan menjadi 3 aspek yaitu:
1. Pemahaman konsep
2. Penalaran dan komunikasi
3. Pemecahan masalah
Alasan :
1) Pemahaman konsep merupakan kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami
konsep dan melakukan prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien dan tepat.
Indikator yang menunjukkan pemahaman konsep, anatara lain adalah:
a. menyatakan ulang sebuah konsep
b. mengklasifikasikan obyek-obyek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan
konsepnya)
c. memberi contoh dan non-contoh dari konsep
d. menyajikan konsep dalam berbagai representasi matematis
e. mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep
f. menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu
g. mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah
2) Penalaran dan komunikasi merupakan kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam
melakukan penalaran dan mengkomunikasikan gagasan matematika.
Indikator yang menunjukkan penalaran dan komunikasi, antara lain adalah:
a. menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan diagram
b. mengajukan dugaan
c. melakukan manipulasi matematika
d. menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap
kebenaran solusi
e. menarik kesimpulan dari pernyataan
f. memeriksa kesahihan suatu argumen
g. mengemukakan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi.
3) Pemecahan masalah merupakan kompetensi strategis yang ditunjukkan siswa dalam
memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan , dan menyelesaikan model
untuk menyelesaikan masalah.
Indikator yang menunjukkan pemecahan masalah, antara lain adalah:
a. menunjukkan pemahaman masalah
b. mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan
masalah
c. menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk
d. memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat
e. mengembangkan strategi pemecahan masalah
f. membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah
g. menyelesaikan masalah yang tidak rutin
Sehingga dengan demikian ketika akan memasukkan nilai ke dalam rapor, maka:
1) Hasil penilaian terhadap indikator yang menunjukkan bahwa siswa telah
kompeten dalam pemahaman konsep dimasukkan ke dalam aspek penilaian
pemahaman konsep.
2) Hasil penilaian terhadap indikator yang menunjukkan bahwa siswa telah
kompeten dalam penalaran dan komunikasi dimasukkan kedalam aspek penilaian
penalaran dan komunikasi.
3) Hasil penilaian terhadap indikator yang menunjukkan bahwa siswa telah
kompeten dalam pemecahan masalah dimasukkan ke dalam aspek penilaian
pemecahan masalah.
Terkait dengan proses penilaian, PP No.19 Tahun 2005 , tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) pada pasal 22 ayat (1) menyebutkan “Penilaian hasil pembelajaran pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai
dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai” Pasal 22 ayat (2) menyebutkan “Teknik
penilaian dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktik, dan penugasan perseorangan atau
kelompok”. Sedangkan pasal 64 ayat (4) menyebutkan bahwa “Penilaian hasil belajar
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui; ulangan,
penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai”.
2.4 Pembelajaran Matematika Kontekstual
Pembelajaran atau interaksi belajar mengajar merupakan kegiatan yang senantiasa
harus ditingkatkan efektivitas dan efisiensinya. Namun dengan banyaknya kegiatan
pendidikan di sekolah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran,maka
sangat menyita banyak waktu guru dan siswa untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Untuk
mengatasi keadaan tersebut guru perlu memberikan tugas-tugas di luar jam pelajaran. Karena
jika hanya menggunakan jam pelajaran yang tersedia waktunya tidak akan mencukupi
tuntutan luasnya materi pelajaran yang diharuskan kurikulum.
Roestiyah N.K. (2001), mengatakan bahwa siswa perlu diberikan tugas-tugas sebagai
selingan untuk variasi teknik penyajian ataupun dapat berupa pekerjaan rumah. Tugas
semacam itu dapat dikerjakan di luar jam pelajaran, di rumah maupun sebelum pulang,
sehingga dapat dikerjakan bersama temannya. Tugas disini dapat diberikan dalam bentuk
daftar sejumlah pertanyaan mengenai mata pelajaran tertentu, atau suatu perintah yang harus
dibahas dengan diskusi yang perlu dicari uraiannya pada buku pelajaran.
Lebih lanjut Roestiyah menyebutkan, teknik pemberian tugas atau resitasi biasanya
digunakan dengan tujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih mantap, karena siswa
melaksanakan latihan-latihan selama melakukan tugas tersebut, sehingga pengalaman siswa
dalam mempelajari sesuatu dapat lebih terintegrasi.
Hal ini terjadi disebabkan siswa mendalami situasi atau pengalaman dalam menghadapi tugas
dan masalah-masalah baru. Dengan kegiatan seperti ini siswa lebih aktif belajar , merasa
terangsang untuk meningkatkan belajar yang lebih baik, memupuk inisiatif dan berani
bertanggung jawab sendiri. Selain itu dengan banyak tugas yang harus dikerjakan siswa, hal
ini diharapkan mampu menyadarkan siswa untuk selalu memanfaatkan waktu dalam
menunjang belajarnya, melaksanakan kegiatan yang berguna dan konstruktif.
Agar penerapan teknik ini dapat mencapai sasaran dengan baik, maka perlu dipahami
oleh guru sebelum menugaskan siswa ,beberapa hal berikut :
a. Tujuan yang diharapkan dengan tugas yang diberikan harus jelas.
b. Materi tugas yang diberikan kepada siswa sudah dipahami oleh siswa.
c. Perlu kontrol, apakah tugas dikerjakan oleh siswa .
d. Pada fase resitasi (pelaporan), bentuk atau format laporan juga harus ditentukan.
e. Harus disiapkan alat evaluasi , agar dapat dinilai hasil kerja siswa secara obyektif.
Di sisi lain terdapat beberapa faham, teori atau pendapat yang menjadi acuan
pembelajaran matematika. Pada dasarnya pembelajaran matematika kontekstual mengacu
pada konstruktivisme.
Slavin, 1997 dalam Sri Wardani, 2005 mengatakan bahwa belajar menurut
konstruktisme adalah siswa sendiri yang harus aktif menemukan dan mentransfer atau
membangun pengetahuan yang akan menjadi miliknya. Konstruktivisme beranggapan bahwa
mengajar bukan merupakan kegiatan memindahkan atau mentrnsfer pengetahuan dari guru ke
siswa. Peran guru dalam mengajar lebih sebagai mediator dan fasilitator.
Hull, 1993 dalam Direktorat PLP, 2003 menyebutkan pembelajaran matematika
secara konstruktivis merupakan faham pembelajaran yang memandang pentingnya dorongan
dan keterlibatan siswa untuk mampu menghubungkan konsep yang dipelajari dengan aplikasi
dalam kehidupan nyata keseharian yang dialami.
Clifford dan Wildson, 2000 dalam Trianto, 2008 mendeskripsikan karakteristik
pendekatan konstruktivisme adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa yang dimilikinya dan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran efektif yaitu :
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Pandangan konstruktivis strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan dengan
seberapa banyak siswa mengingat pengetahuan. Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak
sekonyong-konyong.
Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
1). Menjadikan pengetahuan lebih bermakna dan relevan bagi siswa.
2). Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri.
3). Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2. Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri. Sehingga dalam
pembelajaran guru harus merencanakan kegiatan yang menuntun siswa untuk menemukan
apapun materi yang diajarkan.
3. Bertanya (Question)
Pengetahuan yang dimiliki siswa dimulai dari keingintahuan, sehingga selayaknya
siswa bertanya. Aktivitas ini dapat diamati pada saat kegiatan berdiskusi, bekerja dalam
kelompok, dan lain sebagainya. Bertanya bahkan menjadi strategi utama pembelajaran yang
berbasis CTL. Bertanya merupakan kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berpikir siswa. Sedangkan bagi siswa bertanya meriupakan bagian
penting dalam melaksanakan kegiatan inquiry, yaitu untuk menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang
belum diketahui.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari
kerjasama dengan orang lain. Sehingga dalam kelas CTL guru disarankan selalu
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok heterogen. Kegiatan ini dapat terjadi
apabila tidak ada pihak yang mendominir dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa
segan untuk bertanya.
5. Pemodelan (Modeling)
Pembelajaran dengan pemodelan dimaksudkan adalah belajar dengan meniru dari
suatu aktivitas yang dapat ditiru. Dalam pembelajaran ini guru dapat memberi contoh,
menjadi model, mendemonstrasikan suatu keterampilan atau cara melakukan sesuatu
pekerjaan. Namun perlu diingat bahwa dalam hal ini guru bukanlah satu-satunya model yang
bisa ditiru oleh siswa, model dapat juga dihadirkan dari luar.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi juga merupakan bagian penting dalam pendekatan CTL. Refleksi adalah cara
berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah
dipelajari di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima.
7. Penilaian Yang Sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bias memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu
diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran
dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa
mengalami kemacetan/kesulitan belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang
tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena itulah gambaran tentang kemajuan
belajar siswa diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, sehingga penilaian tidak hanya
dilakukan di akhir periode pembelajaran saja, tetapi dilakukan bersamaan secara terintegrasi
(tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran. Dengan demikian assessment menekankan
pada proses pembelajaran, dan data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata
yang dikerjakan siswa saat melakukan proses pembelajaran.
Khusus tentang masyarakat belajar Mulyasa, 2005 berpendapat bahwa sebagaimana
masyarakat pada umumnya, sekolah sebagai mini society direpresentasikan oleh watak para
penghuninya, yaitu para pengelola sekolah. Mulyasa mengelompokkan masyarakat sekolah
sebagai mini society ke dalam tiga level pokok sesuai fungsinya, yakni level kelas
(regulator), level mediator (profesi), dan level sekolah (manajemen). Ketiga level tersebut
dijelaskan sebagai berikut :
1) Level kelas (regulator) merefleksikan karakter pembelajaran di kelas, yang banyak
dipengaruhi oleh "regulasi" atau aturan main yang dianut dan diciptakan oleh guru. Level
ini mencakup suasana psikologis kelas yang nyaman, iklim pembelajaran yang kondusif
(menarik), motivasi dan gairah belajar peserta didik yang tinggi.
2) Level mediator (profesi) merupakan representasi dari karakter-karakter profesional para
pengelola sekolah, yaitu kepala sekolah , guru, dan tenaga administrasi sekolah. Level ini
mencakup karakter kepemimpinan kepala sekolah dan sifat-sifat individual pengelola
sekolah, seperti dedikasi, motivasi, kompetensi, kreativitas, dan kolaborasi.
3) Level sekolah (manajemen) merupakan representasi dari karakter kolektif warga sekolah
secara keseluruhan, atau iklim sekolah. Level ini banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan
dan manjerial kepala sekolah. Level ini mencakup berbagai iklim sekolah seperti budaya
mutu, budaya progresif, demokratis, partisipasi warga, aman dan tertib, kejelasan visi dan
misi, serta caring and sharing.
Lebih lanjut Mulyasa menegaskan bahwa reformasi yang perlu dilakukan sekolah adalah
perbaikan proses pendidikan yang dimulai dengan perubahan psikologis, budaya, dan
sosial para pengelola sekolah. Utamanya guru yang masih mengajar atas dasar petunjuk
atau instruksi hendaknya menjadi guru yang berpikir merdeka, sehingga bisa memacu
jiwa inquiry para murid-muridnya.
2.5 Kerangka Berpikir
Dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran matematika melalui penerapan model
inquiry yaitu penemuan terbimbing, didasari oleh prinsip-prinsip berpikir sebagai berikut :
Landasan teoritiknya bahwa hakikat dari strategi inquiry adalah memberikan otonomi
lebih luas kepada siswa untuk menggunakan cara belajar, dan mengumpulkan informasi
sesuai dengan karakter masing-masing individu, menemukan kembali (reinvention), untuk
memenuhi rasa ingin tahunya. Dengan demikian pembelajaran lebih dimaknai sebagai
layanan untuk memfasilitasi rasa ingin tahu peserta didik, sehingga dengan layanan yang
sesuai dengan karakteristik masing-masing siswa, mereka juga akan melakukan aktivitas atau
berkreativitas secara bergairah serta penuh rasa senang dan tanggung jawab. Penugasan atau
resitasi dimaksudkan agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih mantap dan pengalaman
belajar yang lebih terintegrasi. Apabila hal ini telah terjadi maka dapat diharapkan hasil
pembelajaran menjadi lebih baik atau efektif.
B. Hipotesis Tindakan
Berpedoman pada hasil kajian teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan pada
bagian sebelumnya, maka hipotesis penelitian tindakan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Penerapan Model Penemuan Terbimbing dapat meningkatkan keaktifan dan kreativitas
siswa dalam pembelajaran matematika.
2. Penerapan Model Penemuan Terbimbing dalam pembelajaran matematika dapat
mewujudkan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).