dk2p3 KJP
-
Upload
faisal-abdullah -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of dk2p3 KJP
2.2 Etiologi Pruritus
Pruritus dapat disebabkan oleh berbagai macam gangguan. Secara umum, penyebab
pruritus dapat diklasifikasikan menjadi lima golongan, yaitu:
1. Pruritus lokal
Pruritus lokal adalah pruritus yang terbatas pada area tertentu di tubuh.
Penyebabnya beragam, Beberapa Penyebab Pruritus Lokal:
Kulit kepala : Seborrhoeic dermatitis, kutu rambut
Punggung : Notalgia paraesthetica
Lengan : Brachioradial pruritus
Tangan : Dermatitis tangan
2. Gangguan sistemik
Beberapa Gangguan Sistemik Penyebab Pruritus:
- Gangguan ginjal seperti Gagal ginjal kronik.
- Gangguan hati seperti Obstruksi biliaris intrahepatika atau ekstrahepatika.
- Endokrin/Metabolik seperti Diabetes, hipertiroidisme, Hipoparatiroidisme, dan
Myxoedema.
- Gangguan pada Darah Defisiensi seng (anemia), Polycythaemia, Leukimia
limfatik, dan Hodgkin's disease.
3. Gangguan pada kulit
Penyebab pruritus yang berasal dari gangguan kulit sangat beragam. Beberapa
diantaranya, yaitu dermatitis kontak, kulit kering, prurigo nodularis, urtikaria,
psoriasis, dermatitis atopic, folikulitis, kutu, scabies, miliaria, dan sunburn.
4. Pajanan terhadap faktor tertentu
Pajanan kulit terhadap beberapa faktor, baik berasal dari luar maupun dalam dapat
menyebabkan pruritus. Faktor yang dimaksud adalah allergen atau bentuk iritan
lainnya, urtikaria fisikal, awuagenic pruritus, serangga, dan obat-obatan tertentu
(topical maupun sistemik; contoh: opioid, aspirin).
5. Hormonal
2% dari wanita hamil menderita pruritus tanpa adanya gangguan dermatologik.
Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen dan terkadang terdapat hubungan
dengan kolestasis. Pruritus terutama terjadi pada trimester ketiga kehamilan, dimulai
pada abdomen atau badan, kemudian menjadi generalisata. Ada kalanya pruritus
disertai dengan anoreksi, nausea, dan muntah. Pruritus akan menghilang setelah
penderita melahirkan. Ikterus kolestasis timbul setelah penderita mengalami pruritus
2-4 minggu. Ikterus dan pruritus disebabkan oleh karena terdapat garam empedu di
dalam kulit. Selain itu, pruritus juga menjadi gejala umum terjadi menopause.
Setidaknya 50% orang berumur 70 tahun atau lebih mengalami pruritus. Kelainan
kulit yang menyebabkan pruritus, seperti scabies, pemphigoid nodularis, atau
eczema grade rendah perlu dipertimbangkan selain gangguan sistemik seperti
kolestasis ataupun gagal ginjal. Pada sebagian besar kasus pruritus spontan,
penyebab pruritus pada lansia adalah kekeringan kulit akibat penuaan kulit. Pruritus
pada lansia berespon baik terhadap pengobatan emollient.1
Djuanda, Suria. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi keenam. Dalam: Hubungan Kelainan
Kulit dan Psike. 2005. Jakarta: FKUI
HIPERSENSITIVITAS
Istilah "hipersensitivitas" atau "alergi”, menunjukkan suatu keadaan dengan respons
imun yang menyebabkan reaksi berlebihan atau tidak sesuai yang membahayakan pejamu.
Pada orang tertentur reaksi-reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak kedua dengan
antigen spesifik (alergen). Kontak pertama adalah kejadian pendahulu yang diperlukan yang
dapat menginduksi sensitisasi terhadap alergen tersebut.
Terdapat empat jenis utarna reaksi hipersensitivitas. Tipe I, II, dan III dirnediasi
antibodi; tipe IV dimediasi sel.
Tipe I. Hipersensitivitas Tipe cepat (Anafilaktik)
Hipersensitivitas tipe I bermanifestasi sebagai reaksi jaringan yang terjadi
dalam waktu 5 menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai.
Hipersensitivitas ini bisa berupa anafilaksis sistemik (misal, setelah pemberian protein
heterolog) ataupun reaksi lokal (misal, alergi atopik seperti hay fever).
Mekanisme umum hipersensitivitas tipe cepat melibatkan beberapa tahap
berikut. Suatu antigen menginduksi pembentukan antibodi IgE, yang berikatan kuat
melalui bagian Fc ke suatu reseptor pada sel-sel mast dan eosinofil. Beberapa waktu
kemudian, kontak kedua seseorang dengan antigen yang sama menyebabkan fiksasi
antigen ke IgE yang terikat sel, membentuk ikatan silang pada molekul IgE, dan
melepaskan mediator yang aktif secara farmakologis dari sel-sel dalam waktu
beberapa menit. Nukleotida siklik dan kalsium berperan penting dalam pelepasan
mediator. Dapat juga terjadi "fase lambat" kedua yang berlangsung selama beberapa
hari dan melibatkan infiltrasi neutrofil, monosit, dan leukosit-leukosit lain ke dalam
jaringan.
a. Mediator Hipersensitivitas Tipe I
Beberapa mediator penting dan efek utamanya disajikan di bawah ini:
1. Histamin-dalam trombosit histamin ada dalam bentuk prekursor. Histamin
juga ditemukan di daiam granula sel mast dan eosinofil. Pelepasan histamin
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi
otot polos (misal, bronkospasme). Obat-obat antihistamin dapat menghalangi
tempat reseptor histamin dan relatif efektif dalam pengobatan rinitis alergika.
Histamin adalah salah satu mediator primer pada reaksi tipe I.
2. Prostaglandin dan tromboksan-Terkait dengan leukotrien, prostaglandin dan
tromboksan dibentuk dari asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase.
Prostaglandin menyebabkan bronkokonstriksi dan dilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler. Tromboksan menyebabkan agregasi trombosit.
Mediator-mediator tersebut beserta sitokin seperti TNF-α dan IL-4, disebut
sebagai mediator sekunder pada reaksi tipe I.
b. Penanganan Dan Pencegahan Reaksi Anafilaktik
Penatalaksanaan ditujukan untuk melawan kerja mediator dengan cara
mempertahankan jalan napas, memberikan ventilasi buatan jika perlu, dan
menopang fungsi jantung. Satu atau lebih obat ini dapat diberikan: epinefrin,
antihistamin, dan kortikosteroid.
Pencegahan dilakukan der.rgan cara mengidentifikasi alergen (sering kali dengan
uji kulit) dan menghindarinya.
c. Atopi
Gangguan hipersensitivitas atopik memperlihatkan predisposisi familial yang kuat
dan disertai dengan peningkatan kadar IgE. Predisposisi atopi jelas bersifat
genetik, tetapi gejalanya dicetuskan oleh pemajanan terhadap alergen spesifik.
Antigen-antigen ini biasanya berasal dari lingkungan (misal, alergi pernapasan
terhadap serbuk sari, suatu jenis rumput, atau debu rumah) atau makanan (misal,
alergi terhadap kerang-kerangan). Marrifestasi klinis yang umum terjadi adalah
hay fever, asma, eksema, dan urtikaria. Banyak penderita menunjukkan reaksi tipe
cepat ketika dilakukan uji kulit (injeksi, uji ternpel, garukan) dengan
menggunakan antigen pengganggu.
Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II melibatkan pengikatan antibodi (IgG atau IgM) ke
antigen permukaan sel atau molekul matriks ekstraselular. Antibodi yang ditujukan
pada antigen permukaan sel dapat mengaktifkan komplemen (atau efektor lain) untuk
merusak sel. Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada antigen melalui regio Fab dan
bekerja sebagai jembatan terhadap komplemen melalui regio Fc. Hasilnya dapat
terjadi lisis yang diperantarai komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik,
reaksi transfusi ABO, dan penyakit hemolitik Rh.
Obat-obatan seperti penisilin dapat melekat pada protein permukaan sel darah
merah dan mencetuskan pembentukan antibodi. Antibodi autoimun tersebut kemudian
dapat bergabung dengan permukaan sel, dan akibatnya terjadi hemolisis. Patogen
tertentu (misal, Mycoplasma pneumoniae) dapat menginduksi antibodi yang bereaksi
silang dengan antigen sel darah merah, menyebabkan anemia hemolitik. Pada demam
rematik, antibodi terhadap streptokokus grup A bereaksi silang dengan jaringan
jantung. Pada sindrom Goodpasture, antibodi yang terbentuk melawan membrana
basalis ginjal dan paru, menyebabkan kerusakan membran yang hebat akibat aktivitas
leukosit yang ditarik oleh komplemen. Pada beberapa kasus, antibodi terhadap
reseptor permukaan sel dapat mengubah fungsi tanpa mencederai sel-misalnya, pada
penyakit Grave, suatu autoantibodi berikatan dengan reseptor hormon perangsang
tiroid (TSH) dan menyebabkan hipertiroidisme dengan cara merangsang tiroid.
Tipe III: Hipersensitivitas Kompleks Imun
Bila antibodi bergabung dengan antigen spesifiknya, akan terbentuk kompleks
imun. Biasanya, kompleks imun akan segera dibuang oleh sistem retikuloendotelial,
tetapi kadang-kadang kompleks ini menetap dan tersimpan dalam jaringan,
menyebabkan beberapa gangguan. Pada infeksi mikroba atau virus yang persisten,
kompleks imun dapat tersimpan dalam organ (misal, ginjal), yang menyebakan
disfungsi. Pada gangguan autoimun, antigen " self” dapat memicu antibodi yang
berikatan dengan antigen organ atau tersimpan dalam organ dan jaringan dalam
bentuk suatu kompleks, terutama pada persendian (artritis), ginjal (nefritis), dan
pembuluh darah (vaskulitis). Akhirnya, antigen lingkungan seperti spora fungi dan
beberapa obat tertentu dapat menyebabkan pembentukan kompieks imun disertai
dengan timbulnya penyakit.
Di mana pun tersimpan, kompleks imun dapat mengaktifkan sistem
komplemen, dan makrofag serta neutrofil tertarik menuju rempar tersebut, kemudian
di sini akan terjadi peradangan dan cedera jaringan. Terdapat dua bentuk utama
hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun. Bentuk pertama bersifat lokal
(reaksi Arthus) dan khas timbul pada kulit bila antigen dosis rendah disuntikkan dan
terbentuk kompleks imun setempat. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG, dan aktivasi
komplemen yang terjadi menyebabkan aktivasi sel-sel mast dan neutrofil, pelepasan
mediator, dan peningkatan permeabilitas vaskular. Keadaan tersebut khas terjadi
sekitar 12 jam. Bentuk kedua hipersensitivitas tipe III menyebabkan penyakit
kompleks imun sistemik. Terdapat beberapa contoh, termasuk penyakit-penyakit
seperti glomerulonefritis poststreptokokus akut.
Glomerulonefritis poststreptokokus akut adalah penyakit kompleks imun yang
sangat terkenal. Awitannya terjadi beberapa minggu setelah infeksi streptokokus β-
hemolitik grup A, terurama pada kulit, dan sering terjadi pada infeksi yang
disebabkan oleh streptokokus tipe nefritogenik. Kadar komplemen biasanya rendah,
yang menunjukkan suaru reaksi antigen-antibodi dengan konsumsi komplemen.
Deposit imunoglobulin dan komponen komplemen C3 yang padat tampak di
sepanjang membran basal glomerulus yang terwarnai dengan imunofluoresen,
menunjukkan adanya kompleks antigen-antibodi. Kompleks antibodi-antigen
streptokokus kemungkinan disaring keluar oleh glomerulus, memfiksasi .komplemen
dan menarik neutrofil, dan menghasilkan proses radang yang merusak ginjal.
Tipe IV: Hipersensitivitas Selular (Lambat)
Hipersensitivitas selular bukanlah suatu fungsi antibodi tetapi limfosit T yang
tersensitisasi secara spesifik sehingga mengaktifkan makrofag dan menimbulkan
respons radang. Respons lambat-yaitu, biasanya dimulai 2-3 hari setelah kontak
dengan antigen dan sering berlangsung selama berhari-hari.
a. Hipersensitivitas Kontak
Hipersensitivitas kontak terjadi seteiah sensitisasi dengan zat kimia sederhana
(misal, nikel, formaldehid), bahan tanaman (poison ivy, racun pohon oak), obat-
obatan yang digunakan secara topikal (misal, sulfonamid, neomisin), beberapa
kosmetika, sabun, dan zat-zat lain. Pada semua kasus, molekul kecil masuk ke
kulit, dan kemudian bekerja sebagai hapten, melekat pada protein tubuh untuk
berperan sebagai antigen yang lengkap. Keadaan ini menceruskan
hipersensitivitas selular, terutama pada kulit. Bila kulit sekali lagi kontak dengan
agen pengganggu, orang yang tersensitisasi akan mengalami eritema, gatal, kulit
melepuh, eksema, atau nekrosis kulit dalam waktu 12-48 jam. Uji tempei pada
area kecil di kulit kadang-kadang dapat mengidentifikasi antigen pengganggu.
Penghindaran berikutnya terhadap bahan tersebut akan mencegah rekurensi. Sel
penyaji antigen pada sensitivitas kontak ini kemungkinan adalah sel-sel
Langerhans di epidermis, yang berinteraksi dengan sel-sel TH1 CD4 yang akan
memberikan respons.
b. Hipersensitivitas Tipe Tuberkulin
Hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen mikroorganisme terjadi pada
banyak penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis. Hal ini
juga dikenal sebagai reaksi tuberkulin. Bila sedikit tuberkulin disuntikkan ke
dalam epidermis pasien yang sebelumnya terpajan Mycobacterium tuberculosis,
akan terjadi reaksi tipe cepat yang ringan; narnun, secara bertahap akan timbul
indurasi dan kemerahan serta mencapai puncaknya dalam waktu 24-72 jam. Sel-
sel mononuklear menumpuk dalam jaringan subkutan, dan terdapat banyak sel
TH1 CD4 inflamasi. Uji kulit positif menunjukkan bahwa orang tersebut teiah
terinfeksi agen ini tetapi bukan berarti orang tersebut sedang sakit. Namun,
perubahan respons uji kulit yang baru terjadi (dari negarif menjadi positif)
menunjukkan infeksi baru terjadi dan kemungkinan akrivitas saat ini.
Respons uji kulit yang positif dapat membantu diagnosis. Misalnya, pada penyakit
lepra, uji kulit lepromin yang positif menunjukkan adanya penyakit tuberkuloid,
dengan imunitas selular aktif, sedangkan hasil uji negatif menunjukkan lepra tipe
lepromatosa, dengan imunitas selular yang lemah.
Brooks, Geo F. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Ed.23. Jakarta : EGC. 2007.