CR Anestesi SOL (Dr.imam Sp.an)

download CR Anestesi SOL (Dr.imam Sp.an)

of 35

Transcript of CR Anestesi SOL (Dr.imam Sp.an)

LAPORAN KASUSSPACE OCCUPYING LESION

Angga Nugraha, S.Ked0918011103

Konsulen :Dr. Imam Ghozali, Sp.An., M.Kes

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNGRUMAH SAKIT UMUM ABDUL MULUKBANDAR LAMPUNG2014

Daftar Isi :BAB IPendahuluanBAB IITinjauan Pustaka1. Tumor Otak2. Pancoast Tumor3. Anestesi Untuk Operasi Tumor Intrakranial

BAB IIILaporan Kasus1. Pembahasan2. Daftar Pustaka

BAB IPENDAHULUAN

Insidensi kanker di seluruh dunia pada tahun 2004 mencapai 11,4 juta orang. Insidensi tertinggi didapatkan di Western Pacific. Asia Tenggara menduduki peringkat ke empat setelah Amerika yaitu dengan jumlah 1,7 juta orang. Di samping insidensi yang cukup tinggi, kanker juga merupakan penyakit yang belum memiliki terapi definitif. Saat ini penatalaksanaan kanker bertumpu pada upaya kemoterapi, radioterapi dan atau operasi reseksi. Efek dari kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan rasa yang sangat tidak nyaman kepada pasien yang menjalaninya (Ali, 2006).

Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang jinak maupun ganas, yang berasal dari inflamasi dalam jangka waktu yang lama, yang tumbuh di dalam otak, selaput otak atau tengkorak. Gambaran diagnosis yang menyebabkan tumor otak dapat ditegakkan dari petunjuk epidemiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus, manifestasi klinik maupun pengetahuan tentang patologi.

Pada pasien-pasien bedah syaraf, penatalaksanaan anestesi memerlukan pemahaman mendalam mengenai Central Nervous System / CNS (Sistem Saraf Pusat). Selain itu untuk pemberian anestesi pada operasi intrakranial dan operasi di luar otak tetapi pasien memiliki kelainan serebral, kita harus mengerti mengenai anatomi, fisiologi, dan farmakologi dari CNS. Penggunaan anestesi dapat memberikan kerugian dan manfaatnya tersendiri dalam hubungannya dengan neurofisiologi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. TUMOR OTAKPendahuluanTumor otak dalam pengertian umum berarti benjolan, dalam istilah radiologisnya disebut lesi desak ruang/ Space Occupying Lesion (SOL). Neoplasma sistem saraf pusat umumnya menyebabkan suatu evaluasi progresif disfungsi neurologis. Gejala yang disebabkan tumor yang pertumbuhannya lambat akan memberikan gejala yang perlahan munculnya, sedangkan tumor yang terletak pada posisi yang vital akan memberikan gejala yang muncul dengan cepat. Sekitar 10% dari semua proses neoplasma di seluruh tubuh ditemukan pada susunan saraf dan selaputnya, 8% berlokasi di ruang intrakranial dan 2% di ruang kanalis spinalis. Proses neoplasma di susunan saraf mencakup dua tipe, yaitu:a. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan otak sendiri yang cenderung berkembang ditempat-tempat tertentu. Seperti ependimoma yang berlokasi di dekat dinding ventrikel atau kanalis sentralis medulla spinalis, glioblastoma multiforme kebanyakan ditemukan dilobus parietal, oligodendroma di lobus frontalis dan spongioblastoma di korpus kalosum atau pons.b. Tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari metastasis karsinoma yang berasal dari bagian tubuh lain. Yang paling sering ditemukan adalah metastasis karsinoma bronkus dan prostat pada pria serta karsinoma mammae pada wanita.

Tabel 1 Neoplasma intrakranial dan Penyakit-penyakit paraneoplastikTumorPersentase total

Glioma Glioblastoma multiforme Astrositoma Ependimoma Meduloblastoma Oligodendroglioma 2010645

Meningioma15

Pituitary adenoma7

Neurinoma7

Karsinoma metastasis 6

Kraniofaringioma, dermoid, epidermoid, teratoma 4

Angioma4

Sarkoma4

Tak dapat diklasifikasikan (terutama glioma)5

Miscellaneous (Pinealoma, kordoma, granuloma, limfoma3

Total 100

KlasifikasiBerdasarkan kebanyakan tumor patologi anatomi, tumor sistem saraf pusat dibagi:1. Tumor Jaringan Otak2. Tumor Jaringan Mesenkim3. Tumor Selaput Otak4. Tumor dari cacat perkembangan5. Tumor Kelenjar Pineal6. Tumor Medula Spinalis7. Tumor Otak Metastatik

Gejala KlinisGejala klinis tumor intrakranial dibagi atas 3 kategori, yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi tumor. a. Gejala Klinik UmumGejala umum timbul akibat peningkatan tekanan intrakranial atau proses difus dari tumor tersebut. Tumor ganas menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor jinak. Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis dan pada mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dahulu baru kemudian memberikan gejala umum. Terdapat 4 gejala klinis umum yang berkaitan dengan tumor otak, yaitu perubahan status mental, nyeri kepala, muntah, dan kejang. Perubahan status mentalGejala dini dapat samar. Ketidakmampuan pelaksanaan tugas sehari-hari, lekas marah, emosi yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi, bahkan psikosis. Fungsi kognitif merupakan keluhan yang sering disampaikan oleh pasien kanker dengan berbagai bentuk, mulai dari disfungsi memori ringan dan kesulitan berkonsentrasi hinggga disorientasi, halusinasi, atau letargi. Nyeri kepalaNyeri kepala merupakan gejala dini tumor intrakranial pada kira-kira 20% penderita. Sifat nyeri kepalanya berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala seolah-olah mau meledak. Awalnya nyeri dapat ringan, tumpul dan episodik, kemudian bertambah berat, tumpul atau tajam dan juga intermiten. Nyeri juga dapat disebabkan efek samping dari obat kemoterapi. Nyeri ini lebih hebat pada pagi hari dan dapat diperberat oleh batuk, mengejan, memiringkan kepala atau aktifitas fisik. Lokasi nyeri yang unilateral dapat sesuai dengan lokasi tumornya sendri. Tumor di fossa kranii posterior biasanya menyebabkan nyeri kepala retroaurikuler ipsilateral. Tumor di supratentorial menyebabkan nyeri kepala pada sisi tumor, di frontal orbita, temporal atau parietal. MuntahMuntah ini juga sering timbul pada pagi hari dan tidak berhubungan dengan makanan. Dimana muntah ini khas yaitu proyektil dan tidak didahului oleh mual. Keadaan ini lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior. Kejang Kejang fokal merupakan manifestasi lain yang biasa ditemukan pada 14-15% penderita tumor otak. 20-50% pasien tumor otak menunjukan gejala kejang. Kejang yang timbul pertama kali pada usia dewasa mengindikasikan adanya tumor di otak. Kejang berkaitan tumor otak ini awalnya berupa kejang fokal (menandakan adanya kerusakan fokal serebri) seperti pada meningioma, kemudian dapat menjadi kejang umum yang terutama merupakan manifestasi dari glioblastoma multiforme. Kejang biasanya paroxysmal, akibat defek neurologis pada korteks serebri. Kejang parsial akibat penekanan area fokal pada otak dan menifestasi pada lokal ekstrimitas tersebut, sedangkan kejang umum terjadi jika tumor luas pada kedua hemisfer serebri. Edema PapilGejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.

b. Gejala Klinik LokalManifestasi lokal terjadi pada tumor yang menyebabkan destruksi parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel. Tumor Lobus FrontalTumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti paralisis pos-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus olfaktorius. Tumor Lobus TemporalisGejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks. Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris. Tumor Lobus OksipitalTumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi kontralateral episodic terhadap cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio PinealTumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu. Tumor Batang OtakTerutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum. Tumor SerebellarMuntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol.

c. Gejala Lokal yang Menyesatkan (False Localizing Signs)Lesi pada salah satu kompartemen otak dapat menginduksi pergeseran dan kompresi di bagian otak yang jauh dari lesi primer. Tumor otak yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dapat menghasilkan false localizing signs atau gejala lokal yang menyesatkan. Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan fungsi area yang ditempatinya. Tanda tersebut adalah: a. Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat tertarik atau tertekan. Desakan itu tidak harus langsung terhadap saraf otak. Saraf yang sering terkena tidak langsung adalah saraf III, IV, dan IV.b. Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat ditemukan pada tumor yang terdapat di dalam salah satu hemisferium saja.c. Gangguan mentald.Gangguan endokrin dapat juga timbul proses desak ruang di daerah hipofise.

Pemeriksaan PenunjangTumor otak dapat dideteksi dengan CT-scan atau MRI. Pilihannya tergantung ketersediaan fasilitas pada masing-masing rumah sakit. CT-scan lebih murah dibanding MRI, umumnya tersedia di rumah sakit dan bila menggunakan kontras dapat mendeteksi mayoritas tumor otak. MRI lebih khusus untuk mendeteksi tumor dengan ukuran kecil, tumor di dasar tulang tengkorak dan di fossa posterior. Selain itu MRI juga dapat membantu ahli bedah untuk merencanakan pembedahan karena memperlihatkan tumor pada sejumlah bidang.

PenatalaksanaanPenatalaksanaan pasien dengan SOL meliputi: a. Simptomatik AntikonvulsiMengontrol epilepsi merupakan bagian penting dari tatalaksana pasien dengan tumor otak. Edema serebriJika pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan gambaran radiologi memperlihatkan adanya edema serebri, maka dexametason dapat digunakan dengan keuntungan yang signifikan. Rasa tidak menyenangkan pada pasien akan dikurangi dan kadang-kadang juga berbahaya, gejala dan tanda status intrakranial ini akan lebih aman bila intervensi bedah saraf akan diambil.b. Etiologik (pembedahan) Complete removalMeningioma dan tumor-tumor kelenjar tidak mempan dengan terapi medis, neuroma akustik dan beberapa metastase padat di berbagai regio otak dapat diangkat total. Terkadang, operasi berlangsung lama dan sulit jika tumor jinak tersebut relatif sulit dijangkau. Partial removalGlioma di lobus frontal, oksipital dan temporal dapat diangkat dengan operasi radical debulking. Terkadang tumor jinak tidak dapat diangkat secara keseluruhan karena posisi tumor atau psikis pasien.

PrognosisPrognosis tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di negara-negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40%.

2. PANCOAST TUMORPendahuluanPada awal abad 20 jarang terjadi keganasan karena tumor paru, sekarang merupakan kejadian epidemik pada beberapa bagian dunia. Tumor paru merupakan kanker tersering di Amerika Serikat dan juga tersering menyebabkan kematian dari kanker, sekitar 37.000 kematian setiap tahun. Angka kejadian kanker paru meningkat pada wanita di Amerika Serikat, sedangkan angka kejadiannya menurun pada laki-laki, terutama yang berusia kurang dari 50 tahun. Jumlah kasus kanker paru pada wanita adalah 40% dari semua kasus kanker paru yang ada.Salah satu tumor paru yang akan diketengahkan adalah tumor pancoast, yang terletak pada bagian apeks paru. Tumor sulcus superior pertama kali dikemukakan oleh Henry Pancoast pada tahun 1924. Setelah dikemukakan oleh Pancoast, istilah tumor Pancoast, tumor sulcus superior atau tumor sulcus pulmonary superior adalah sinonim. Lokasi tumor ini di alur pleuropulmonari apical, yang berbatasan dengan vena sub clavia.

Faktor RisikoMerokok adalah faktor risiko predominan yang berhubungan dengan kanker paru. Angka kejadian kanker paru meningkat 10-30 kali lipat pada perokok dari pada yang tidak merokok.Zat karsinogen yang berhubungan dengan kanker paru :1. Asap rokok, mengandung tar suatu persenyawaan hidrokarbon aromatik polisiklik.2. Asap mobil.3. Asap pabrik / industri.4. Asap tambang.5. Debu radio aktif / ledakan nuklir.6. Zat-zat kimia : asbes, krom, nekel, besi, uranium, haloeter.

Manifestasi KlinikManifestasi klinik berhubungan dengan penjalaran regional dari tumor tersebut, yang meliputi elecasi hemidiafragma karena paralise nervus phrenikus, suara serak karena paralise nervus laringeal rekuren, sindroma Horner karena paralise nervus simpatik, sindroma vena cava superior karena obstruksi vaskuler.Lesi pada sulcus supeior menimbulkan gejala sindroma Pancoast, yang terdiri dari: nyeri pada bahu dan lengan (sesuai dengan distribusi dermatom C8, T1 dan T2), sindroma Horner, kelemahan dan atrofi pada otot tangan.Nyeri BahuGejala awal yang sering timbul pada Pancoast tumor adalah nyeri pada bahu, yang timbul sekitar 44%-96% kasus. Nyeri terjadi oleh karena invasi ke pleksus brakialis atau ekstensi tumor ke pleura parietalis, fasia endotorasis, iga 1 dan 2 atau korpus vertebra. Nyeri bersifat progresif, dapat menjalar ke arah lengan ipsilateral bagian ulnar. Nyeri tersebut sering di terapi sebagai osteoartritis cervical atau burs sitis bahu, sehingga diagnosis tumor pancoast sering terlambat sekitar 5-10 bulan.Sindroma HornerSindroma Horner terdiri dari ptosis ipsilateral, miosis, enophtalmus, dan anhidrosis yang disebabkan oleh paralisis nervus simpatikus. Prevalensi sindroma Horner sekitar 14%-50%.Komplikasi neurologi pada ekstremitas atasGejala neurologi karena ekstensi tumor ke cabang nervus C8 dan T1 terjadi sekitar 8%-22% kasus, gejala tersebut meliputi kelemahan dan atrofi otot, nyeri dan paresthesia pada jari 4,5 dan bagian medial lengan. Gejala awal dapat berupa sensasi abnormal dan nyeri pada daerah dermatom T2 (aksila dan bagian medial lengan atas) dan hilangnya reflek triceps. Tumor Pancoast dapat menginvasi ke foramina inter vertebral, yang dapat menyebabkan kompresi korda spinalis dan paraplegia yang terjadi sekitar 5% kasus.Gejala lain dari tumor Pancoast adalah pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula dan penurunan berat badan sekitar 25%-35% kasus. Paralisis sekitar 5%-10% kasus. Gejala batuk, hemoptisis dan sesak nafas di jumpai karena lokasi tumor di perifer.DiagnosisDiagnosis pasti tumor Pancoast ditemukan dengan cara biopsi jarum perkutansus dengan menggunakan penuntun fluoroskopi, USG, X-Ray atau CT untuk menentukan lokasi tumor. Pemeriksaan penunjang bronkoskopi dengan sitologi dan biopsi dapat mendiagnosa sekitar 30%-40% kasus, mengingat loksi tumor Pancoast di perifer. Sekitar 15% deteksi tumor Pancoast ditemukan dengan pemeriksaan sitologi sputum.

Gambar 1. Pancoast TumorKlasifikasiTumor paru di bagi dalam 2 kategori besar, yaitu: non small cell lung cancer (NSCLC) yang meliputi kasus dan small cell lung cancer (SCLC) yang meliputi kasus tumor paru. Non small cell lung cancer terdiri dari bebarapa tipe patologi, yaitu : squamous cell, adenocarcinoma, large cell.

PenatalaksanaanPenatalaksanaan tumor paru tergantung dari jenis sel (non-small cell lung cancer atau small cell lung cancer) stadium tumor. Pada NSCLC stadium IA/B, IIA/B, IIIA : operable, sedangkan stadium IIIB dan IV inoperable. Penderita NSCLC stadium IIIB dengan performance status yang masih baik (Karnofsky >70%) dapat dilakukan kombinasi kemoradioterapi. Penderita dengan performance status baik dan berat badan berkurang < 5% dalam 6 bulan terakhir respon terhadap kemoterapi.

PrognosisPrognosis jelek bila pada tumor Pancoast ditemukan sindroma Horner, ekstensi tumor ke bagian basal leher, korpus vertebra atau ke pembuluh-pembuluh besar atau ditemukan pembesaran kelenjar getah bening mediastenal. Prognosis lebih baik bila di temukan performance status baik dan 200 mg% diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai normal yang berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolariti serum harus diukur pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala sering EKG-nya abnormal, maka pemantauan EKG pra bedah harus dilakukan, untuk melihat perubahan selama operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis pra bedah untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya, edema serebral, dan mid-line shift. Mid-line shift 0,5 cm pada MRI atau CT-Scan atau gangguan dari jaringan otak pada sisterna basalis menunjukkan adanya kenaikan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997). d. Pengelolaan ObatSekali diagnosis dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan, tujuan prinsip pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi epilepsi. Steroid efektif untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan kompliance otak pada pasien tumor ganas dan meningioma. Dosis umum dexamethasone adalah 4 mg 3x sehari bersama-sama dengan hidrogen reseptor antagonist. Epilepsi diterapi dengan phenitoin 100 mg 3x sehari. Normal range therapetik adalah 40-100 Mol/l (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997). e. PremedikasiSedasi pra bedah merupakan kontra indikasi pada pasien dengan penurunan kesadaran. Bila premedikasi diperlukan, dapat diberikan benzodiazepin (diazepam, lorazepam atau midazolam). Piazepam 5-10 mg atau lorazepam 1-2 mg dapat diberikan 1-2 jam pra bedah per oral. Diazepam dan lorazepam mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun paska bedah, karena itu mungkin lebih baik dengan midazolam i.v., i.m. atau oral. Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi, yang keduanya dapat meningkatkan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

2. MonitoringMonitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah non-invasif, arteri line, stetoskop oesophageal, FiO2, pulse oximetri, temperatur, nerve stimulator, kateter urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5 ditempelkan pada semua pasien dengan penyakit jantung iskemik. Arteri line digunakan bukan saja untuk memonitor tekanan darah dari denyut ke denyut jantung, tetapi juga untuk analisa gas darah serta dapat juga menolong melihat status volume pasien : (Tekanan Nadi = Tekanan Sistolik - Tekanan Diastolik). Untuk melihat CPP, tranduser arteri line ditempelkan di level sirkulasi Willisi setinggi meatus acusticus externa. Indikasi monitor arteri line terlihat pada tabel di bawah ini. Indikasi pemasangan monitoring tekanan arteri invasif:a. Operasi yang menyebabkan perubahan tekanan darah yang cepat.b. Risiko kehilangan darah yang cepat.c. Hipotensi kendali.d. Diperlukan ventilasi pasca bedah.e. Disertai dengan penyakit sertaan lain.

Monitor EtCO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO2 adanya diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan kehilangan darah yang banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas dipasang monitor CVP dan dapat dipertimbangkan dipasang PA kateter. Pergeseran cairan akut akibat diuretik atau mannitol memerlukan monitoring CVP, sebab urine output tidak dapat dipercaya untuk menditeksi hipovolemia. Indikasi pemasangan monitor CVP terlihat pada tabel di bawah ini. Indikasi pemasangan CVPa. Risiko kehilangan darah yang banyak.b. Penaksiran status volume.c. Posisi duduk.d. Untuk pemberian obat vasoaktif.

Monitoring ICP untuk operasi supra tentorial masih kontroversial. Walaupun beberapa praktisi menasihatkan untuk digunakan secara .rutin, tetapi praktisi yang lain menunjukkan tidak adanya penelitian yang menyebutkan keuntungan penggunaan monitor ICP. Tetapi pada pasien dengan risiko peningkatan ICP yang hebat (ukuran tumor > 3 cm dengan mid-line shift atau edema yang nyata) akan menguntungkan bila dipasang monitor ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

3. Pengelolaan AnestesiSasaran utama selama induksi anestesi adalah mempertahankan level normal dari ICP sambil mempertahankan CPP yang adekuat. Sasaran ini kebanyakan dilakukan dengan menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai kompensasi pada kenaikan ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan volume CSF, tetapi di kamar operasi penurunan volume darah otak umumnya dilakukan dengan terapi farmakologi atau ventilasi.

Kejadian emboli udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah kurang-lebih 14,6%, karena itu diperlukan monitoring end tidal CO2 (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

a. InduksiWalaupun induksi anestesi untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan berbagai macam obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Pentotal akan menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Propofol juga menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Narkotik juga menurunkan CMRO2, tetapi lebih kecil daripada penurunan CBF, sehingga dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah iskemia, walaupun demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik memberikan pengendalian tekanan darah dan denyut jantung yang baik, sehingga selalu dipakai dalam anestesi. Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung,tekanan darah dan ICP serta menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada neuroanestesi. Pengaruh obat-obat anestesi terhadap CBF dan ICP terlihat pada tabel di bawah ini.ICP-CBF

DecreasingNo ChangeIncreasing

Induction Agents*Thiopental *Etomidate*Midazolam*Droperidol*Ketamine

Muscle Relaxants*Vecuronium*Atracurium*Pancuronium*Metocurium*D-Tubocurarine*Succinylcholine

Inhalation Agents *N2O*Isoflurance*Enflurance*Halothane

IntravenousAgents *Lidocaine*Benzodiazepines*Narcotics

CombinationTherapy *N2O/Narcotic / Diazepam *Thiopental/Ketamine*Thiopental/Halothane *Halothane/N2O

Anti-Hypertension*Labetolol *Nitroglicerine*Nitropruside* Blockers*Hydralazine*Trimethaphan

Channelblockers(Initial Data)*Nicardipine*Verapamil*Nifedipine

Gambar 2. the effects of various drugs and drug combinations on ICP and CBF

Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan. Pasien di preoksigenasi dan hiperventilasi olehnya sendiri. Pemberian Pentotal 3-4 mg/kg, propofol (2 mg/kg) atau etomidate 0,3 mg/kg i.v. harus diikuti dengan ventilasi melalui sungkup muka untuk menjamin patensi jalan nafas dan hiperventilasi. Neuromuskular blockade dapat dilakukan dengan vecuronium (0,1-0,15 mg/kg) atau rocuronium (06-0,8mg/kg) i.v. lalu dihiperventilasi melalui sungkup muka dengan N2O/O2 atau O2-Isofluran konsentrasi terendah (0,5%). Lidokain i.v. (1,5mg/kg) dan dosis obat anestesi i.v. untuk induksi diberikan sebelum dilakukan intubasi.

Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskuler. Kombinasi narkotik (fentanyl 5 g/kg atau sufentanil 0,5-1 g/kg) dan dosis kecil pentotal dapat mengendalikan ICP serta kardiovaskuler tetap stabil. Ventilasi adekuat harus dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan hiperkarbia akibat narkotik yang akan menyebabkan kenaikan CBF (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

b. Pemeliharaan AnestesiPemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Teknik-teknik ini umumnya termasuk dalam 3 katagori : obat anestesi inhalasi, teknik anestesi intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian anestesi adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya teknik tersebut dilakukan.

Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesi dengan dasar narkotik dengan N2O atau dosis rendah Isofluran (< 1%) dalam oksigen, cukup optimal. Tetapi baru-baru ini teknik tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian mual-muntah paska bedah bila dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi atau anestesi berbasiskan propofol. Bila anestesi berbasiskan narkotik, maka dapat digunakan fentanyl, alfentanil atau sufentanil. Sufentanil mungkin mempengaruhi ICP dan CPP (tak menguntungkan/tak baik). Fentanyl 5g/kg dikombinasikan dengan Isofluran < 1% dalam oksigen mungkin cukup baik. Alternatif lain, sufentanil 0,5-lug/kg bolus, diikuti intermitent dengan dosis tidak lebih dari 0,5g/kg/jam, atau infus 0,25-0,5 g/kg/jam kombinasi dengan Isofluran 8

PEMBAHASAN

Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?

Tumor otak dalam pengertian umum berarti benjolan, dalam istilah radiologisnya disebut lesi desak ruang/ Space Occupying Lesion (SOL). Ada dua macam bentuk mola yaitu mola parsial dan komplit. Proses neoplasma di susunan saraf mencakup dua tipe, yaitu yang pertama adalah tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan otak sendiri yang cenderung berkembang ditempat-tempat tertentu. Seperti ependimoma yang berlokasi di dekat dinding ventrikel atau kanalis sentralis medulla spinalis, glioblastoma multiforme kebanyakan ditemukan dilobus parietal, oligodendroma di lobus frontalis dan spongioblastoma di korpus kalosum atau pons. Kedua adalah tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari metastasis karsinoma yang berasal dari bagian tubuh lain. Yang paling sering ditemukan adalah metastasis karsinoma bronkus dan prostat pada pria serta karsinoma mammae pada wanita. Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini menunjukkan gejala dan tanda dari Occupying Lesion (SOL). Pancoast tumor juga didapatkan dari pemeriksaan Rontgen yang menandakan massa pada paru dextra pada bagian apex.

Diagnosis pada pasien ini sudah tepat.

Apakah tatalaksana anestesi pada kasus ini sudah tepat?

Anastesi pada pasien ini menggunakan general anastesi dengan posisi supine. General anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi dapat dinilai dengan tiga komponen dasar, disebut trias anestesi yang meliputi komponen hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot. Tindakan hipnotik tidak dipilih obat diazepam dan lorazepam dikarenakan mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun paska bedah sehingga mungkin lebih baik dengan midazolam i.v., i.m. atau oral. Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi, yang keduanya dapat meningkatkan ICP. Tindakan analgesia untuk induksi anestesia digunakan propofol dikarenakan propofol dapat menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Narkotik juga menurunkan CMRO2, tetapi lebih kecil daripada penurunan CBF, sehingga dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah iskemia, walaupun demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik memberikan pengendalian tekanan darah dan denyut jantung yang baik, sehingga selalu dipakai dalam anestesi. Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung,tekanan darah dan ICP serta menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada neuroanestesi.

Sehingga terapi tatalaksana anestesi untuk operasi pada pasien ini sudah tepat.

Post operasi, penderita dilanjutkan perawatannya diruangan dengan pemberian analgesik dan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi. Diruangan penderita juga dilakukan pemasangan kateter menetap selama 24 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Wagshul ME, Eide PK, Madsen JR. The pulsating brain: A review of experimental and clinical studies of intracranial pulsatility. Fluids and Barriers of the CNS. 2011;8(5):1-23. Iordache1 A, Munteanu R, Cosman M, Turliuc DM. Intracranial pressure monitoring in neurosurgery department in Iasi latest developments. Romanian Neurosurgery; 2012. Raboel PH, Bartek J Jr., Andresen M, Bellander BM, Romner B. Review; Intracranial pressure monitoring: Invasive versus non-invasive methods. Denmark: Department of Neurosurgery Copenhagen University Hospital Rigshospitalet; 2011 Raboel PH, Bartek J Jr., Andresen M, Bellander BM, Romner B. Review; Intracranial pressure monitoring: Invasive versus non-invasive methods. Denmark: Department of Neurosurgery Copenhagen University Hospital Rigshospitalet; 2011. Hergenroeder GW, Moore AN, McCoy JP Jr., Samsel L, Ward NH, Clifton GL, Dash PK. Serum IL-6: A candidate biomarker for intracranial pressure elevation following isolated traumatic brain injury. Journal of Neuroinflammation. 2010;7:19. Czarnik, T, Gawda R, Kolodziej W, Latka D, Weron KS, Weron R. Associations between intracranial pressure, intraocular pressure and mean arterial pressure in patients with traumatic and non-traumatic brain injuries. Injury, Int. J. Care Injured. 2009;40: 3339.

Fan JY, Kirkness C, Vicini P, Burr R, Mitchell P. An approach to determining intracranial pressure variability capable of predicting decreased intracranial adaptive capacity in patient with traumatic brain injury. Biol Res Nurs. 2010 April;11(4):317324. Servadei F. Clinical value of decompressive craniectomy. N Engl J Med. 2011 April 21;364(16):1558-1559. Patro A, Mohanty S. Pathophysiology and treatment of traumatic brain edema.Indian Journal of Neurotrauma. 2009;6(1):11-16.Ropper AH, Brown RH. Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Adams and Victors Principles of Neurology. 8th edition. USA: Mc Graw Hill, 2005. 546-91.Kleinberg LR.Brain Metastasis A multidisiplinary Approach. New York: Demos Medical.Wilkinson I, Lennox G. Brain tumor in Essential neurology. 4th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005. 40-54. 34