Case Study Musculoskeletal THR TKR

68
TUGAS KELOMPOK Total Hip Replacement (THR) dan Total Knee Replacement (TKR) Dosen Pembimbing: Urip Rahayu, M.Kep Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II Disusun Oleh: 1. Andhika Sulistiawan (220120140016) 2. Anggriyana Tri Widianti (220120140014) 3. Bambang Aditya Nugraha (220120140033) 4. Raisa Farida Kafil (220120140031) 5. Sulastini (220120140036)

description

andika sulistiawan

Transcript of Case Study Musculoskeletal THR TKR

TUGAS KELOMPOK

Total Hip Replacement (THR) dan

Total Knee Replacement (TKR)

Dosen Pembimbing: Urip Rahayu, M.Kep

Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Disusun Oleh:

1. Andhika Sulistiawan (220120140016)2. Anggriyana Tri Widianti (220120140014)3. Bambang Aditya Nugraha (220120140033)4. Raisa Farida Kafil (220120140031)5. Sulastini (220120140036)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATANFAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN2015

TOTAL HIP REPLACEMENT DAN TOTAL KNEE REPLACEMENT

1. Konsep Teori

A. Total Hip Replacement (THR)

Total Hip Artroplasti (THA) merupakan prosedur ortopedi yang melibatkan eksisi

bedah kepala dan proksimal leher femur dan penghilangan acetabular tulang rawan dan

tulang subchondral. Kanal buatan dibuat di daerah bagian proksimal moduler femur, dan

logam prostesis femoralis, terdiri dari batang dan kepala berdiameter kecil, dimasukkan

ke dalam kanal meduler femoral. Komponen acetabular terdiri dari polietilen yang

dimasukkan pada bagian proksimal dalam ruang acetabular (Siopack & Jergesen, 1995).

Prinsip dasar dari THA yaitu dengan mengganti sendi pinggul yang rusak diganti

dengan buatan cup acetabular dan kepala femoral, yang menggantikan rusak permukaan

artikulasi secara alami. Oleh karena itu bahan yang digunakan harus memiliki gesekan

rendah dan menahan keausan dan beban mekanik berosilasi. Kepala femoral adalah

berada di batang femur. Cup acetabular berada di panggul dan terdiri dari shell yang

dimasukkan untuk memberikan bantalan beban permukaan artikulasi. Desain modular ini

memungkinkan penggunaan bahan yang berbeda dengan sifat yang paling cocok untuk

fungsi masing-masing (Holzwarth & Cotogno, 2012).

Gambar komponen Prostetik pada THR Gambar Pemotongan

tulang femur dan pemasangan

hip joint prosthesis

1. Indikasi dilakukannya Total Hip Replacement

Penyakit atau kondisi yang dapat menyebabkan masalah pada panggul

meliputi nekrosis avaskular, dysplasia pada panggul, fraktur, oseteoatrhritis,

osteonekrosis, dan rheumatoid arthtritis (Jill, J.B. dan Goldstein, W.M., 2003). Ketika

kondisi tersebut menyebabkan nyeri berat dan kehilangan fungsi dan pergerakan,

prosedur THA sangat perlu dilakukan. Klien biasanya mengeluh pada bagian atas

paha, paha, dan lutut. Klien akan mengalami perubahan gaya berjalan dan

memperlihatkan ketidakmampuan dalam aktivitas harian seperti menggunakan kaos

kaki atau sepatu dan menyilangkan kaki (Jill, J. B. dan Goldstein, W. M., 2003).

Kondisi yang paling umum untuk dilakukannya yang total hip artroplasti

adalah osteoarthritis pinggul yang parah. Indikasi utama untuk prosedur ini adalah

adanya rasa sakit yang parah yang menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas harian.

Kondisi lain yang mungkin dilakukan prosedur ini adalah perkembangan

osteoarthritis sekunder meliputi displasia pinggul, Paget disease, trauma, dan

osteonekrosis kepala femoralis (Siopack & Jergesen, 1995).

2. Fiksasi pada Total Hip Replacement (THR)

Metode fiksasi jangka panjang sebagai bagian dari penggantian sendi prostesis

dapat menggunakan semen atau interdigitasi biologis dari tulang terhadap antar

permukaan prostesis. Beberapa sumber menyatakan bahwa fiksasi yang dilakukan

tanpa semen pada THR memberikan peluang yang lebih tinggi terjadinya “goyah”

pada pasien muda yang aktif. Hal ini diperkirakan bahwa peningkatan siklus dan

tingginya siklus yang dibebankan pada sendi pinggul pada pasien muda dan aktif akan

mengarah pada kemungkinan kerusakan pada komponen semen tersebut.

a. Fiksasi semen

Fiksasi semen memberikan sambungan mekanis dari methiyl-methacarylate

pada celah antar tulang (bersifat statis). Apabila mikrofraktur terus terjadi pada

siklus yang lama, maka semen pada tulang tidak mampu melakukan remodelling

dan secara bertahap akan rapuh. Disisi lain, pada komponen tulang tanpa semen,

fiksasi biologis pada prostesis dapat dilakukan (bersifat dinamis). Apabila terjadi

mikrofraktur secara terus-menerus, maka terdapat potensi remodeling tulang yang

mengarah kepada potensi ikatan yang lebih kuat pada prostesis dalam jangka

waktu yang lebih panjang. Lebih lanjut, menghilangkan semen pada sistem dapat

mengakibatkan berkurangnha ikatan antar tulang.

b. Fiksasi biologi

Metode fiksasi biologis dapat dilakukan baik dari permukaan poros yang

terlapisi metal (porous metallic-coated surface) sehingga menghasilkan fiksasi

tulang ingrowth, maupun dari permukaan poros grit-blasted yang menghasilkan

fiksasi tulang ongrowth. Pada permukaan poros yang terlapisi metal, sebuah

lubang akan dibuat pada permukaan metal sehingga memungkinkan tulang untuk

tumbuh dan melindungi prostesis tulang. Proses ingrowth tulang yang baik

membutuhkan ukuran lubang optimal sekitar 50-350 m (lebih disarankan antara

50-150 micron). Selain itu, kedalaman lubang juga merupakan faktor yang

mempengaruhi kekuatan ikatan tulang dan prostesis, dimana lubang yang semakin

dalam akan semakin kuat ikatan tersebut. Jarak antara tulang dna prostesis

idealnya < 50 m.

1) Teknik fiksasi

a) Grit-blasting

Pada permukaan grit-blasted, permukaan metal dibuat lebih kasar

dengan spray abrasif yang mampu melubangi permukaan metal tersebut.

Permukaan naik turun yang dihasilkan permukaan metal pada tulang

memberikan konstruksi yang stabil. Dengan metode ini, kesuksesan

fiksasi tulang ongrowth tergantung pada tingkat kekasaran permukaannya

(roughness surface). Roughness surface didefinisikan sebagai rata-rata

jarak antara bagian yang naik dan turun pada permukaan tulang.

Peningkatan tingkat kekasaran tulang secara langsung berhubungan

dengan naiknya kekuatan antar permukaan tulang. Kekurangan dari

metode ini adalah fiksasi tulang hanya terjadi pada permukaan, sehingga

membutuhkan area yang lebih luas untuk melindungi prostesis.

b) Fiksasi rigid

Kesuksesan fiksasi ingrowth atau ongrowth membutuhkan fiksasi

rigid awal. Pergerakan makroskopis pada prostesis harus dipertahankan

dibawah 150 m (lebih disarankan 50-100 m), atau prostesis tersebut

hanya akan diikat oleh jaringan fibrosa. Hal ini yang kemudian akan

menyebabkan pergerakan mikro pada prostesis dan nyeri. Apabila

pergerakan besar tetap terjadi, maka prostesis akan terenkapsulasi dengan

jaringan fibrosa daripada ingrowth fibrosa, hal ini akan menyebabkan

prostesis tidak stabil. Teknik lainnya adalah “line to line” yang

dipersiapkan dengan ukuran yang sama dengan implant dan diikat dengan

tambahan pengukuran.

c) Cortical bone sealing

Faktor penting lain untuk menciptakan pertumbuhan tulang yang

stabil adalah adanya implan yang melawan tulang kortikal daripada tulang

trabekular/spon. Walaupun tulang spon dapat memfasilitasi pertumbuhan

tulang, namun saat ini telah ditemukan implan yang dilekkan pada tulang

kortikal memberikan kekuatan yang lebih baik. Pada bagian femoral, hal

yang penting diperhatikan adalah desain dan persiapan operasi yang

memungkinkan terjadinya kontak antara kortikal dan poros.

d) Surface coating

Hidroxyapatite telah digunakan sebagai pelapis tambahan pada

permukaan pada poros dan grit-blasted. HA merupakan agen

osteokondusif yang memungkinkan penutupan yang cepat pada celah.

Permukaan HA siap untuk menerima osteoblas dan kemudian

menghasilkan penutupan pada celah tersebut (misal antara tulang pada

prostesis maupun prostesis pada tulang).

e) Fiksasi semen

Fiksasi semen untuk prosedur THR membutuhkan teknik yang baik

untuk menghasilkan interdigitasi yang optimal pada semen tulang. Pada

THR yang tersementasi, biasanya sendi spon merupakan bagian pertama

yang mengalami kerapuhan. Pada kasus-kasus rheumatoid arthritis (atau

kondisi inflamasi lain), deformitas protusio, displasia panggul, dan pasien

dengan perdarahan masif dieksklusikan, hasil jangka panjang dari sendi

spons dapat dibandingkan dengan bagian yang tidak tersementasi.

2) Pilihan fiksasi

a) Cemented atau noncemented

Rekomendasi utama pada THR masih bersifat kontroversial.

Konsensus NIH menyatakan bahwa pada pasien-pasien dengan THR

komponen femoral cemented menggunakan teknik semen modern

dikombinasikan dengan komponen hemisferikal astabular dapat

memberikan hasil yang terbaik. Hal ini berdasarkan sebuah data yang

menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada kejadian goyahnya persendian

cemented jika dibandingkan dengan sendi uncemented. Disisi lain,

terdapat banyak variasi desain uncemented femoral dalam metode

pelapisannya dimana tidak terdapat rekomendasi yang jelas yang

menyatakan bahwa metode fiksasi uncemented lebih disarankan jika

dibandingkan dengan fiksasi cemented. Beberapa pertimbangan tertentu

menyatakan bahwa pada pasien muda yang aktif, penggunaan fiksasi

cemented dilaporkan memiliki angka yang lebih rendah pada kejadian

goyah sendi selama follow-up jangka panjang.

b) Ukuran mantel cement.

Ukuran mantel semen yang direkomendasikan untuk melingkupi femur

masih bersifat kontroversial. Ukuran ketebalan semen yang disarankan

antara 2 mm yang dapat diaplikasikan antara prostesis dan tulang. Hal ini

dapat menjadi hal yang sulit untuk dipraktikkan pada kanal-kanal yang

sempit dimana hanya diameter tertentu saja yang dapat digunakan.

Pendekatan yang lebih mungkin untuk dipraktikkan adalah “two third

rule”. Dengan teknik ini, sekitar 2/3 dari dari kanal akan digantikan

dengan stem femoral dan 1/3 sisanya digantikan oleh semen. Adanya

defek pada semen harus dihindari karena hal ini berkaitan dengan

tingginya kejadian goyah pada sendi.

3. Pengkajian

Pengkajian stabilitas panggul, pengkajian kestabilan panggul meliputi empat

kriteria mayor seperti berikut:

a. Component design

Hal yang paling penting untuk dikaji pada bagian ini adalah artikulasi

mangkuk bola sendi. Rentang sudut primer didefinisikan sebagai penjumlahan

antara sudut bola dan pergerakan artikulasi mangkuk saat pergerakan kedalam dan

keluar. Penentuan sudut yang paling tepat adalah menggunakan “head neck ratio”.

Head neck ratio didefinisikan sebagai rasio dari diameter kepala femoral terhadap

diameter leher femoral.

b. Component alignment

Componen alignment juga merupakan bagian yang penting untuk dilakukan

pengkajian mengingat kepala panggul pasien yang asli memiliki ukuran yang

lebih besar dibandingkan dengan kepala panggul pengganti yang dipasangkan.

Saat melakukan pergantian kepala panggul menggunakan komponen femoral

buatan, target terapinya adalah untuk memposisikan rentang sudut primer

prostesis pada rentang tengah fungsional pasien. Apabila sudut tersbut tidak

diposisikan pada rentang tengah fungsional pasien, maka dislokasi dapat terjadi

sebagai akibat dari kelebihan ekskursi pada panggul.

c. Soft-tissue tensioning

Komponen tulang yang telah diposisikan secara tepat masih mungkin untuk

terjadi dislokasi apabila terdapat ketidakadekuatan tekanan pada soft-tissue. Kunci

mayor stabilitas panggul adalah terletak pada kompleks abduktor. Hal ini terdiri

atas gluteus medius dan minimus. Pemeliharaan tekanan pada kompleks ini dapat

menghasilkan stabilitas yang optimal.

d. Soft-tissue function

Hal yang melakukan pengontrolan terhadap kompleks abduktor dan jaringan

di sekitar pinggul dan sekitarnya adalah sinkronisasi neurologi dari otak melalui

sistem saraf perifer. Adanya kerusakan pada sistem ini dapat mempengaruhi

fungsi dan stabilitas panggul. Fungsi jaringan lunak terbagi atas dua bagian, yaitu

jaringan sentral dan periferal. Jaringan sentral meliputi otak, batang otal, dan

spinal cord. Kerusakan pada bagian ini sering menimbulkan beberapa kondisi

seperti stroke, disfungsi serebral, penyakit parkinson, multiple sclerosis, dementia,

cervical stenosis, dan penyakit kejiwaan. Masalah yang paling sering terjadi

dikarenakan paralisis, spastisitas, atau kehilangan fungsi koordinasi. Bagian kedua

yaitu jaringan perifer. Jaringan ini terdiri atas bagian saraf dan otot yang

menyokong panggul. Jaringan perifer dapat mempengaruhi kestabilan panggul

meliputi lumbar stenosis, neuropati perifer, miopati, trauma jaringan lunak, dan

terapi radiasi. Tidak adekuatnya fungsi jaringan lunak pada pasien lansia dapat

bersifat multifaktorial.

B. Total Knee Replacement (TKR)Penggantian lutut total atau total knee replacement merupakan operasi untuk

mengganti bagian sendi lutut yang mengalami kerusakan. Permukaan sendi yang

rusak akan akan dihilangkan dan diganti dengan sendi mekanik buatan yang disebut

prostesis (American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2015).

1. Indikasi dilakukan Total Knee Replacement

Penyebab dilakukannya prosedur TKR adalah nyeri lutut kronis dan

kecacatan. Kecacatan tersebut antara lain Osteoarthritis, Rheumatoid arthritis dan

arthritis Post-traumatic. Osteoarthritis ini berkaitan dengan jenis arthritis yang

berhubungan dengan usia. Biasanya terjadi pada orang usia 50 tahun dan lebih tua

namun dapat terjadi pada usia muda. Terjadi penipisan bantalan tulang rawan

yang halus. Tulang kemudian bergesekan satu sama lain, menyebabkan rasa sakit

dan kekakuan lutut. Rheumatoid arthritis terjadi karena membran sinovial yang

mengelilingi sendi menjadi meradang dan menebal. Peradangan kronis ini dapat

merusak tulang rawan dan akhirnya menyebabkan hilangnya tulang rawan, nyeri,

dan kekakuan. Arthritis Post-traumatic dapat mengikuti cedera lutut serius.

Fraktur tulang sekitar lutut atau ligamen lutut dapat merusak artikular tulang

rawan dari waktu ke waktu, menyebabkan nyeri lutut dan membatasi fungsi lutut.

2. Prosedur Total Knee Replacement

Knee IncisionSayatan di bagian depan lutut akan dibuat, memotong melalui jaringan sekitarnya otot dan tulang. Tempurung lutut, atau patella, diputar ke luar lutut, untuk melihat daerah mana implan akan ditempatkan.

Prepare the FemurAkhir femur dipotong menjadi bentuk yang sesuai dengan permukaan yang sesuai dari logam komponen femoralis.

Implant the Femoral ComponentKomponen femoralis kemudian ditempatkan pada ujung tulang femur.

Prepare the TibiaTibia siap dengan potongan datar di atas. Akhir dari tulang diukur agar sesuai ukurannya dengan logam dan komponen plastik tibialis.

Implant the Tibial ComponentKomponen logam tibialis dimasukkan ke dalam tulang. Kemudian plastikdimasukan ke dalam komponen tibialis. Komponen femoralis akan masuk pada plastik ini ketika lutut tertekuk

Implant PatellaPatela dipotong datar dan dilengkapi dengankomponen patela plastik.

C. Komplikasi Total Hip Replacement dan Knee Replacement

Kondisi kesehatan pasien pada saat operasi menentukan keberhasilan THR.

Beban mekanik yang berlebihan setelah operasi harus dihindari. Oleh karena itu,

pasien harus diinstruksikan untuk rehabilitasi. Beban hip meningkat secara linear

dengan tubuh berat badan dan dengan demikian obesitas dianggap sebagai faktor

risiko yang dapat mengganggu kinerja jangka panjang dari THR (Holzwarth &

Cotogno, 2012).

1) Fraktur

Insiden fraktur setelah THR terjadi sekitar 1% dan telah dikurangi dengan

penggunaan prostesis modem dan teknik bedah kontemporer. Hal ini lebih sering

terjadi di arthroplasties revisi dengan prostesis noncemented. Femur adalah fraktur

yang paling umum terjadi dan sering dilakukan revisi bedah. Fraktur acetabulum

dan pubis hanya terjadi jarang (Siopack & Jergesen,1995).

2) Infeksi

Infeksi masih menjadi komplikasi serius. Pada tahun 2003, operasi-terkait

risiko dalam waktu 90 hari setelah THA primer telah dilaporkan sebanyak 1,0%

untuk kematian, 0,9% untuk pulmonary embolus,0,2% untuk infeksi luka. Hal

yang paling sering terjadi adalah lebih tinggi revisi operasi dengan 2,6%, 0,8%,

dan 0,95% di tiap masing-masing infeksi (Holzwarth & Cotogno, 2012). Tingkat

infeksi setelah dilakukan THR dapat ditekan dengan penggunaan rutin profilaksis

pada periode perioperatif. Obat antistaphylococcal seperti vankomisin atau salah

satu cefalosporin yang paling sering digunakan untuk tujuan ini (Meehan, Jamali

& Nguyen, 2009). Berikut adalah rekomendasi profiaksis pada pasien dengan

THR

Gambar: rekomendasi profilaksis pada Total Hip Replacement (Sumber:Meehan, Jamali & Nguyen, 2009).

3) Dislokasi

Terjadinya dislokasi yaitu terputusnya kepala femoral dan cup acetabular

komplikasi umum dalam minggu-minggu pertama setelah operasi ketika kekuatan

jaringan belum pulih dan terutama ketika diameter kecil kepala femoral

digunakan. Panjang kaki yang tidak sama dapat menyebabkan pilihan yang tidak

tepat dari dimensi batang atau masalah terjadi selama operasi. Nyeri dapat terjadi

setelah THA karena otot-otot pinggul sebelum operasi harus beradaptasi kembali

dengan anatomi yang normal. Nyeri kronis dapat disebabkan oleh kerusakan saraf

selama operasi atau dengan otot bergesekan dengan komponen prostesis

(Holzwarth & Cotogno, 2012).

Evaluasi risiko terjadinya dislokasi setelah THR angat diperlukan. Evaluasi

tersebut yaitu pemeriksan fisik dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan fisik

harus mencakup penilaian kedua ekstremitas bawah, berbagai gerak, kekuatan,

status neurovaskular, panjang kaki, lokasi sayatan sebelumnya dan posisi kaki.

Selain itu, jika terindikasi secara klinis, tes diagnostik termasuk jumlah sel darah

putih, laju endap darah, tingkat C-reaktif protein, aspirasi dan infeksi dapat

menjadi faktor yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan (Werner & Brown

TE,2012). Berikut algoritma evaluasi dislokasi pada THR

Gambar alur penatalaksanaan terjadinya dislokasi pada THR (Sumber: Dargel J, Oppermann J, Brüggemann GP, Eysel P.(2004)

4) Kerusakan stem

Terjadinya kerusakan batang jarang terjadi setelah dilakukan prosedur THR.

Hal ini dapat terjadi karena beban osilasi yang menyebabkan kegagalan, yaitu

ketika bagian distal berfungsi baik ketika terisi semen sedangkan bagian

proksimal menjadi longgar. Namun permasalahan ini dapat telah diselesaikan

dengan meningkatkan teknik penyemenan (Holzwarth & Cotogno, 2012).

5) Revisi Pembedahan

Pada total hip replacement dapat terjadi revisi pembedahan. Revisi dilakukan

jika terdapat kegagalan penanaman prostesis. Semua komponen semen dan

prostetik dihilangkan dengan hati-hati untuk menghindari penetrasi atau patah

tulang. Komponen baru kemudian ditanamkan. Indikasi bedah untuk revisi

artroplasti termasuk melonggarnya komponen prostetik, weardebris osteolisis,

infeksi akut atau infeksi kronis yang mendalam, kegagalan mekanis komponen

prostetik, dan dislokasi berulang kronis. Revisi bedah secara teknis lebih sulit

daripada artroplasti total pinggul primer prosedur, baik karena ada saham tulang

kurang untuk bekerja dengan dan karena penghapusan semen patuh atau

komponen palsu dapat menyebabkan fraktur atau perforasi tulang. Alasan yang

paling sering untuk operasi revisi adalah melonggarnya batang dan atau cup

acetabular, yaitu hilangnya kontak antara tulang dan implan. Alasan lain seperti

ketidaksesuaian cup yang dapat meningkatkan beban pinggul dan melonggarnya

femoral. Kontak yang tidak cukup antara tulang dan implan menyebabkan stres

pelindung, karena implantasi dari hasil batang femoralis pada transmisi beban,

berbeda dengan kondisi beban fisiologis alami di femur. Di mana kontak tulang-

implan sifatnya lemah, sebuah sebagai kompensasi tulang diserap secara lokal di

mana ia tidak lagi membawa beban (Holzwarth & Cotogno, 2012).

Diperlukan tindakan untuk mencegah kebutuhan untuk operasi revisi total hip

replacement. Pentingnya kesadaran dan pengawasan pasca. Dislokasi dapat

dicegah dengan mengikuti petunjuk dokter bedah, beberapa bentuk infeksi pinggul

dapat dicegah dengan pengobatan yang tepat dari infeksi tubuh lainnya dan

dengan memberikan antibiotik sebelum prosedur. Pemeriksaan fisik, radiografi

dan pemantauan ketat diperlukan untuk menentukan penggantian pinggul direvisi.

6) Deep vein thrombosis dan emboli paru

Deep vein thrombosis dan emboli paru sebagai penyebab utama morbiditas

dan kematian pada pasien. Dengan tidak adanya profilaksis, kejadian deep vein

trombosis mungkin sebanyak 70% dan dari paru emboli, 20%. Kematian dari

emboli paru telah dilaporkan setinggi 2%. Penggunaan profilaksis rutin terhadap

pembuluh darah tromboflebitis direkomendasikan dalam artroplasti total pinggul.

Gradedcompression stoking elastis dan mobilisasi dini digunakan sebagai

tindakan pencegahan minimum. Berbagai antikoagulasi diberikan, namun masih

perlu pengkajian ulang terhadap penggunaan antikoagulan. Dosis rendah heparin

umumnya digunakan, namun dipertanyakan manfaatnya kecuali dikombinasikan

dengan antitrombin III. Dosis rendah warfarin digunakan namun banyak ahli

bedah yang enggan untuk menerima risiko komplikasi perdarahan. Menggunakan

anestesi regional di artroplasti total pinggul dilaporkan menurunkan kejadian vena

dalam trombosis dan emboli paru sebanyak dua pertiga bila dibandingkan dengan

general anesthesia (Siopack & Jergesen, 1995).

7) Penulangan heterotopic

Osifikasi heterotopik (HO) dapat sebanyak 70% dari pasien yang menjalani

artroplasti total pinggul. Pasien yang berisiko mengalami osifikasi heterotopik

termasuk orang-orang dengan pembentukan tulang heterotopic sebelumnya dan

orang-orang dengan memiliki hyperostosis skeletal idiopatik, ankylosing

spondylitis, pada pria dan hipertrofik osteoarthritis. Profilaksis dengan

antiinflamasi nonsteroid atau dengan radiasi dosis rendah pasca operasi menjadi

terapi efektif untuk pasien berisiko tersebut (Siopack & Jergesen, 1995).

Penggunaan NSAID peri-operatif terbukti mengurangi risiko pengembangan

pembentukan tulang heterotopic atau osifikasi heterotopik. Review lain

menunjukkan penurunan 57% dalam risiko HO saat NSAID digunakan sebagai

profilaksis (Qian & Kang, 2009). Penggunaan radioterapi untuk mencegah HO

pada THR disebabkan oleh sel-sel osteoprogenitor terlibat lebih awal dalam

perbaikan tulang karena radiosensitive daripada sel-sel yang lebih matang.

8) Loosening

Terjadinya kelonggaran/loosening adalah penyebab paling umum dari

kegagalan di arthroplasties pinggul yang tidak terinfeksi. Hal ini terlihat dengan

penyerapan tulang di sekitar implan atau semen dan biasanya terdeteksi radiografi.

Kelonggaran dapat terjadi terjadi secara mekanik atau biologis secara alami dan

sering terjadi dengan infeksi lama. Kelonggaran mekanik merupakan hasil dari

beban berlebih. Berlebihnya muatan disebabkan karena desain prostetik yang

buruk, dan teknik penyisipan yang tidak tepat. Proses terjadinya kelonggaran

biologis merupakan hasil dari resorpsi tulang yang dimediasi oleh sel sehingga

merangsang puing-puing partikel-pakai dari semen, polyethylene, atau logam

(JAC). Secara normal, setiap tahun penggunaan polietilen terjadi keausan 0,1 mm

per tahun. Namun jika terjadi keausan partikel yang lebih besar dari ukuran kritis

tertentu (0,2-0,8 um) maka terjadi fagosit oleh makrofag yang memulai aktivasi

interleukin-diinduksi oleh osteoklas sehingga terjadinya osteolisis periprosthetic.

9) Pseudotumor

Risiko osteolisis rendah pada penggunaan implan MoM. Pasien tersebut

menunjukan peningkatan permanen konsentrasi ion chrome dan cobalt dalam

darah. Pasien dapat mengalami lesi inflamasi steril di sekitar area jaringan lunak

di sekitar area MoM hip implant dengan patogenensis yang masih belum jelas.

Meskipun sudah dilakukan biopsi lesi, namun sulit untuk membedakan dari

jaringan tumor nekrotik. Lesi ini disebut sebagai pseudotumours, tetapi juga

deskripsi lainnya telah digunakan dalam literatur seperti bursae, kista atau massa

inflamasi. Adanya pseudotumours dapat menyebabkan gejala yang parah dan

sering memerlukan operasi revisi. Dalam pseudotumor terdapat jaringan partikel

puing-puing logam kecil dan insiden disertai dengan peningkatan konsentrasi ion

logam dalam serum darah.

D. Rehabilitasi post Total Hip dan Total Knee Replacement

Total Hip Replacement dan Total Knee Replacement membutuhkan

rehabilitasi fisioterapi sebagai pengobatan standar dan penting. Tujuan rehabilitasi

tersebut untuk memaksimalkan fungsi kemandirian dan meminimalkan komplikasi

seperti dislokasi hip, luka infeksi, trombosis vena dalam, dan emboli paru.

Rehabilitasi fisioterapi memiliki 4 komponen, yaitu therapeutic exercise, transfer

training, gait training, dan instruksi dalam aktivitas sehari-hari. Program rehabilitasi

fisioterapi dapat dilakukan pada segera pasca operasi (dalam 5 hari pertama) dan pada

periode pemulihan awal (dalam 3 bulan pertama). Dalam pedoman rehabilitasi

tersebut disebutkan bahwa terdapat bukti yang cukup bahwa program latihan, efektif

dilakukan pada 8 minggu sebelum operasi yang dapat meningkatkan fungsi fisik 3

minggu setelah THR diakukan.

Penelitan yang dilakukan oleh Gibey et al (2003) mengenai program aktifitas

setelah dilakukan THR untuk menguragi nyeri post THR dan dapat meningkatkan

kapasitas fisis. Program latihan tersebut terdiri dari:

1. Latihan pada 8 minggu sebelum operasi. dilanjutkan sesi latihan sampai 12

minggu setelah operasi. Sesi latihan sekitar 1 jam dengan program aerobik dan 30

menit diikuti program 30 menit mobilitas dan gait training di kolam hidroterapi.

2. Setelah 5 menit pemanasan pada lengan, dilanjutkan dengan meningkatkan

kekuatan tungkai bawah dan fleksi hip (latihan ketahanan termasuk ketahanan

tumit, fleksi & ekstensi kaki, fleksi & ekstensi paha, dan isometrik paha).

3. Sebagai tambahan, latihan peningkatan bahu, dan lengan dimasukkan untuk

membantu pasien dengan tidur, untuk menuju ke kursi dan berjalan dengan walker

atau kruk (latihan ketahanan termasuk trunk fleksi dan rotasi trunk, lengan,

ketahanan saat duduk, dan kenaikan pinggul). Program latihan isotonik dimulai

dengan satu set 10 repetisi, meningkat menjadi tiga set 10 repetisi.

4. Sesi hidroterapi termasuk berjalan di kedalaman sekitar midabdominal (5 menit),

latihan peregangan (5 menit), mobilitas dan latihan kekuatan (10 menit), dan

bersepeda di air dan berjalan (10 menit).

2. Proses Asuhan keperawatanA. Pengkajian Keperawatan pada Pasien dengan Total Hip Replacement (THR)

dan Total Knee Replacement (TKR)

1. Identitas Klien

Nama : (isi dengan nama lengkap)

Jenis kelamin : (Laki-laki atau perempuan)

Umur : (dalam tahun)

No rekam medis : (angka)

Pekerjaan : (mata pencaharian)

Tanggal Masuk RS : (tanggal-bulan-tahun)

Jam Masuk RS : (Jam:menit (zona Waktu))

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Pada pasien dengan kelainan sendi patela dan sendi panggul, keluhan yang

paling sering muncul adalah nyeri. Nyeri terjadi pada saat sendi digerakan,

aktivitas dengan beban yang berat atau pada saat terjadi inflamasi. Nyeri ini

biasanya mereda jika aktivitas dihentikan dan mendapatkan analgetik.

Nyeri pasca prosedur total hip replacement dan total knee replacement

timbul akibat adanya perlukaan atau lesi yang mengalami proses replacement.

Nyeri juga berkaitan dengan adanya proses inflamasi pasca pembedahan.

Beberapa kasus, nyeri terjadi selama mendapatkan terapi continous passive

motion.

b. Riwayat Kesehatan Sekarang.

Pengkajian riwayat kesehatan terutama berkaitan dengan masalah sendi

yang diderita. Penyakit penyerta atau masalah lain yang berkaitan dengan

masalah sendi harus dikaji secara mendalam karena pasien akan mengalami

prosedur pembedahan. Demi menekan dampak pembedahan maka kondisi

pasien sebelum dilakukan prosedur tersebut harus benar-benar baik.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Fokus pengkajian adalah proses terjadinya gangguan pada sendi baik hip

joint atau knee joint. Trauma, osteoporosis, osteoathritis dan penyakit lain yang

menjadi penyebab gangguan sendi harus dikaji secara mendalam untuk

menentukan program terapi yang sesuai bagi pasien.

Riwayat kesehatan dahulu juga harus dapat mengkaji penyakit atau masalah

yang dapat memperburuk kondisi pasien saat ini. Beberapa penyakit yang dapat

memperburuk diantaranya adalah, diabetes mellitus, stroke, acute limb

infarction dan lain sebagainya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Pengkajian riwayat penyakit yang diturunkan secara genetik. Beberapa

kndisi kelainan imunitas, deformitas tulang maupun kasus keganasan anggota

keluarga sebaiknya dikaji dan lakukan pemeriksaan kepada pasien terkait

penyakit yang ada di keluarga. Salah satu kondisi yang menyulitkan adalah

haemophilia sehingga pembedahan menjadi lebih beresiko.

3. Pola Kesehatan Fungsional (Gordon)

a. Pola Persepsi sehat

Pola persepsi sehat berarti pemahaman pasien terkait kesehatan dan masalah

kesehatan yang meliputi pengalaman, fungsi kognitif dan nilai-nilai yang dianut.

Terutama mengenai Total Hip Replacemnet Atau Total Knee Replacement.

Harus dipastikan bahwa pasien menyadari sepenuhnya terkait kondisi yang

dihadapi serta dapat mengambil keputusan yang logis.

b. Manajemen Kesehatan

Pengelolaan aspek kesehatan dikaji sebelum dilakukan prosedur

pembedahan THR atau TKR. Tanyakan kepada pasien apa yang dia lakukan jika

terjadi masalah kesehatan terutama berkaitan dengan prosedur THR dan TKR.

Sebagai contoh, jika luka pembedahan mengalami infeksi apa yang akan dia

lakukan serta kemana akan mencari pertolongan kesehatan.

Pengkajian lain meliputi pengelolaan sumberdaya, akses ke fasilitas

kesehatan, transportasi maupun asuransi atau sumber pembiayaan jika terjadi

masalah kesehatan. Jika prosedur THR atau TKR telah dilakukan maka

anjurkan pasien untuk datang ke fasilitas kesehatan yang representatif terkait

kondisinya.

c. Pola Nutrisi Metabolik

Lakukan pengukuran status nutrisi sebelum dilakukan THR dan TKR.

Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengukur tingkat keberhasilan

prosedur. Pada pasien dengan obesitas maka beban sendi maupun protesa akan

meningkat

Sesudah prosedur THR dan TKR. Jika pasien mengalami kekurangan nutrisi

maka proses penyembuhan pasca pembedahan akan lebih lama.

Jika pembedahan telah dilakukan, maka kaji status nutrisi secara berkala

untuk meningkatkan proses rehabilitasi serta menjaga supaya berat badan dalam

batas normal. Status nutrisi yang baik akan mempercepat proses

penyembuhan luka sehingga proses rehabilitasi dapat segera dilakukan.

d. Pola Eliminasi

Pola eliminasi baik urin maupun alvi jarang bermasalah pada pasien dengan

THR atau TKR. Masalah yang timbul adalah nyeri pada saat akan duduk di

toilet. Permasalahan ini tidak terlalu urgen dan akan hilang dengan seendirinya

setelah dilakukan prosedur THR maupun TKR.

Pengkajian pola eliminasi pasca pembedahan harus dilakukan untuk menilai

kondisi sistem urinari maupun sistem digestif yang mungkin akan mengalami

perubahan akibat prosedur pembedahan maupun anestesi. Selain itu, beberapa

jan pertama pasca anestesi, urin output harus dipantau secara berkala demi

mencapai keseimbangan cairan.

e. Pola Aktifitas Fisik

Aktivitas fisik sehari-hari sebelum dilakukan pembedahan biasanya

mengalami bnayak permasalahan, hal ini berkaitan dengan adanya nyeri pada

sendi yang mengalami masalah. Kerusakan mobilitas fisik akan timbul pada

fase ini. Pasien akan mengalami banya keterbatasa aktifitas karena penyakitnya.

Jika prosedur THR dan TKR telah dilakukan, maka aktivitas fisik harus

dibatasi terlebih dahulu sebelum sendi artifisial yang digunakan dianggap

mampu menahan beban tubuh dalam beraktifitas. Pembatasan aktifitas

bergantung pada fase recovery atau rehabilitasi yang sedang dijalani.

f. Pola Tidur – Istirahat

Pada pasien dengan gangguan sendi akan mengalami masalah tidur

berkaitan dengan nyeri pada sendi yang bermasalah. Tidur akan berkualitas jika

nyeri mereda atau pasien dapat mengontrol rasa nyerinya. Kaji penggunaan obat

sedasi maupun obat analgesik pada pasien dengan gangguan sendi.

Pada pasien yang telah mengalami pembedahan akan mendapatkan

analgesik sampai nyeri hilang karena tekah terjadi proses penyambuhan.

Sehingga pasien jarang mengalami masalah tidur akibat prosedur THR maupun

TKR.

g. Pola Persepsi – Kognitif

Tidak ada pengkajian spesifik terkait pola pesersepsi kognitif pada kasus

pasien dengan gangguan sendi. Fokus pengkajian aspek ini adalah kemempuan

pasien mengambil keputusan logis terkait penyakit sendi yang diderita.

h. Pola Persepsi diri dan konsep diri

Masalah yang sering muncul pada pasien adalah pasien merasa kehilangan

peran, perubahan body image dan tidak mampu melakukan fungsinya di dalam

keluarga.

i. Pola hubungan

Sebelum dilakukan prosedur THR maupun TKR, Pasien mengalami

hambatan mobilitas fisik yang menyebabkan ketidakmampuan pasien untuk

berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Masalah ini akan

terselesaikan jika hambatan mobilitas fisik teratasi.

j. Pola aktivitas seksual

Sebelum dilakukan prosedur THR maupun TKR, Pasien mengalami

hambatan mobilitas fisik yang menyebabkan hambatan pasien dalam aktifitas

seksual secara normal. Masalah ini akan terselesaikan jika hambatan mobilitas

fisik teratasi.

k. Pola stress dan koping

Sebelum pembedahan maka akan timbul stressor terkait prosedur

pembedahan. Selain itu, Pasien akan merasakan stress, karena menderita

penyakit sendi dan belum adanya perkembangan yang signifikan dalam waktu

yang lama.

Setelah pembedahan stress akan mereda. Sehingga kecemasan terkait

dengan proses pembedahan pun akan mereda. Kecemasan yang timbul mungkin

terkait dengan proses rehabilitasi yang membutuhkan waktu yang lama.

l. Pola keyakinan

Perlu dikaji adanya nilai-nilai keyakinan yang bertentangan dengan nilai-

nilai keperawatan modern dalam pemberian intevensi keperawatan. Jika

ditemukan keyakinan yang dapat memperburuk pasien, perawat harus

memberikan penjelasan dengan konflik minimal. Lakukan pendekatan secara

holistik sehingga pasien mampu bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama.

Beberapa kalangan menilai penggunaan protesa itu tidak boleh dibawa ke

liang lahat sehingga harus disiapkan program perencanaan terkait masalah

tersebut.

4. Pemeriksaan Fisik

a. Sistem muskuloskeletal: tidak terkaji

b. Sistem Respirasi

Pemeriksaan sistem respirasi harus dilakukan sebelum prosedur pembedahan.

Masalah pada sistem respirasi akan meningkatkan resiko jika dilakukan

pembedahan.

1) Pola pernafasan, irama, kedalaman, penggunaan otot tambahan dalam

bernapas ( berhubungan dengan adanya riwayat TBC).

2) Pengkajian riwayat adanya batuk yang lama pada pasien.

3) Pemeriksaan taktil fremitus yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya

penumpukan cairan dan kesimetrisan penngembangan paru.

Lakukan pengkajian status oksigenasi, yaitu adanya cyanosis, pucat, napas

pendek, tanda hipoksia, kesulitan bernafas.

c. Sistem Urinari

Pemeriksaan difokuskan pada adanya tanda-tanda penyakit ginjal kronis yang

berhubungan dengan adanya proses infeksi dan pengobatan.

d. Sistem persyarafan

Pemeriksaan difokuskan pada adanya gangguan pada sistem persayarafan secara

komprehensif. Pasien dengan ganggua persyarafan akan menghambat proses

rehabilitasi dan beresiko mengalami kegagalan pada program rehabilitasi.

Program rehabilitasi pada pasien berfokus pada peningkatan kemampuan

mobilitas pasien.

e. Sistem imunologi

Difokuskan pada pemeriksaan kelenjar limfe, bila ada infeksi terjadi

pembengkanan pada kelenjar limfe.

f. Sistem kardiovaskular

Pemeriksaan sistem kardiovaskuler penting dilakukan, masalah yang muncul

merupakan efek dari adanya rasa nyeri, dan pengobatan yang diberikan untuk

mengatasi rasa nyeri. Nyeri muncul karena adanya penekanan pada medula

spinalis. Lakukan pengukuran tekanan darah secara berkala. Pada pasien dengan

myeloradikulipathy terjadi penurunan tekanan darah yang diawali dengan

menurunnya retensi vaskuler perifer.

g. Sistem Integument

Sebelum dilakukaan THR atau TKR sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada

area yang akan mengalami pembedahan. Jika terdapat infeksi maka akan

menjadi penyulit pada saat pembedahan serta pada penyembuha luka akibat

prosedur pembedahan.

Pada saat pembedahan maka pasien akan diposisikan secara statis tergantung

surgical positioning yang dibutuhkan dalam waktu yang lama. Durasi prosedur

THR dan TKR kurang lebih 3 jam. Kondisi tersebut dapat menyebabkan cedera

pada pasien.

h. Sistem pencernaan

5. Pemeriksaan penunjang yg harus dilakukan

a. Pemeriksaanlaboratorium

1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat

tujuannya adalah untuk memberikan informasi mengenai masalah

muskuloskletal dan komplikasi yang terjadi seperti adanya perdarahan

(Smeltzer and Bare, 2010).

2) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.

3) Pungsi lumbal Biasanya dilaksanakan bersamaan dengan mielografi, untuk

mengetahui tingginya konsentrasi albumin didalam liquor, yang ditentukan

oleh ada atau tidak adanya blok

b. Pemeriksaan diagnostik

1. Radiologi

Dengan X ray maka dapat diketahui kondisi struktur tulang maupun

struktur sendi yang mengalami kelainan. X ray merupakan metode yang

paling sederhana yang dapat dilakukan pada pasein dengan gangguan pada

sendi dan pada sistem skelet tubuh.

2. Athroskopi

Digunakan untuk mennilai keadaan sendi. Sebuah kamera kecil

dimasukan ke dalam ruang sendi untuk menilai struktur, lesi maupun

deformitas yang terjadi pada sendi. Atroskopi juga dilakukan unutk

mengambil specimen cairan sendi.

3. Pemeriksaan densitas tulang

Pemeriksaan ini berkaitan dengan kekuatan tulang dalam menopang

beban tubuh. Jika terjadi osteoporosis maka kemampuan tulang dalam

menahan beban mengalami penurunan dikarenakan terjadi penurunan

kepadatan tulang. Selain itu, kepadatan tulang menentukan kemampuan

tulang menahan protesa yang digunakan

4. Foto rontgen thorak

Foto x ray thorax dilakukan untuk menilai kondisi organ pulmo dan

kardio. Kedua organ tersebut menentukan kondisi umum pasien terutama

yang akan mendapatkan terapi pembedahan. Oleh karena itu, pada pasien

dengan hernia inguinalis dengan program pembedahan harus diperiksa

kondisi kardiorespirasinya. Jika pasien memiliki gangguan pada organ

tersebut maka prosedur pembedahan akan lebih beresiko. Resiko terkait

penggunaan anestesi dan komplikasi pasca pembedahan seperti infeksi.

5. CT scan dan MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) meripakan salah satu prosedur

diagnostik yang bekerja dengan memetakan struktur tubuh. Pemetaan ini

dilakukan dengan menggunakan medan magnet yang sangat besar sehingga

atom hidrogen dalam tubuh menjadi lebih teratur sehingga mudah untuk

dipetakan. Pada kasus gangguan sendi, MRI dapat Menggambarkan struktur

sendi secara jelas

6. Pemeriksaan darah lengkap

a. Haemoglobin

Pemeriksaan Hb dilakukan secara berkala untuk menilai adanya

perdarahan pasca pembedahan. Selain itu, nilai Hb akan dibandingkan

dengan haematokrit untuk menilai status hidrasi dan perfusi klien. Pada

kondisi hemokonsentrasi maka tubuh akan mengalami penurunan

perfusi akibat penuruan jumlah cairan serta peningkatan viskositas

darah. Pada kondisi haemodillusi maka tubuh akan mengalami

kelebihan beban cairan.

b. Leukosit

Leukosit diperiksa dengan tujuan untuk menilai sistem kekebalan tubuh

pasien pra operasi dan pasca operasi. Kenaikan leukosit merupakan

salah satu tanda inflamasi akut dan kemungkinan adanya infeksi

mikroba akibat prosedur pembedahan.

c. Trombosit

Trombosit diperiksa terkait dengan prosedur pembedahan yang beresiko

menimbulkan perdarahan massive. Oleh karena itu perlu dilakukan

pemeriksaan trombosit secara berkala. Pada kasus tersebut pasien

mendapatkan terapi ranitidin yang memiliki efek samping

trombositopenia.

d. Kultur darah

Prosedur pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui jenis mikroba

yang menginvasi pasien serta menentukan sensitifitas maupun

resistensinya terhadap antibiotika. Tujuan lain dari pemeriksaan ini

adalah meningkatkan efektifitas penggunaan antibiotika sehingga dapat

melindungi hati, ginjal dan organ lainya dari efek samping penggunaan

antibiotika.

e. Pemeriksaan gula darah

Pemeriksaan gula darah dilakukan karena pasien akan dipuasakan

terkait prosedur pembedahan yang dilakukan. Oleh karena itu kadar

gula darah pasien harus dilakukan secara berkala untuk

mempertahankan status nutrisi pasien sehingga proses recovery pasien

akan lebih cepat.

f. Pemeriksaan fungsi hati

Pemeriksaan fungsi hati dilakukan dengan menilai jumlah SGOT dan

SGPT pasien. Pasien yang mengalami gangguan fungsi hati akibat

hepatitis maupun non hepatitis akan mengalami muntah-muntah, nyeri

ulu hati, mudah lelah. Selain itu, pasien dengan penurunan fungsi hati

akan meningkatkan resiko prosedur pembedahan yang menggunakan

obat-obatan yang bersifat hepatotoksik seperti pada obat anestesi dan

antibiotika.

g. Pemeriksaan fungsi ginjal

Pemeriksaan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan menilai kadar

ureum dan kreatinin dalam darah. Pasien dengan penurunan fungsi

ginjal akan meningkatkan resiko prosedur pembedahan yang

menggunakan obat-obatan memperberat kerja ginjal seperti pada obat

anestesi dan antibiotika

Analisa Data

No Symptom Etiology Problem1 Pasien mengeluhkan nyeri,

Perubahan parameter fisiologis, diaforesis, ekspresi tidak rileks, perilaku melindungi diri, dilatasi pupil, dll

Physcal injury agent

Acute pain

2 Perubahan perilaku seperti penurunan produktifitas, insomnia, penurunan kontak mata.Perubahan afektif seperti ketakutan, ketidakberdaayaan, iritabilias, dan ketidakpastianPerubahan fisiologis seperti tangan gemetar, berkeringat, ekspresi tegang

Major change Anxiety

3 Penurunan kemampuan motorik kasar dan halus, penurunan ROM, penurunan waktu reaksi, kesulitan bergerak, ketidaknyamanan, instabilitas postur, pergerakan yang melambat

Musculoskeletal impairment

Impaired physical mobility

4 Faktor resiko : Disorientasi, edema, imobilisasi pada saat dilakukan prosedur pembedahan

Immobilization Risk for perioperative positioning injury

5 Adanya bukti terjadi interupsi proses penyembuhan pada area pembedahan, meningkatnya waktu penyembuhan, gangguan mobilitas, penurunan nafsu makan

Perioperative surgical site

infection

Risk for delayed surgical recovery

6 Penurunan kekuatan nadi perifer, penurunan fungsi motorik, peruban karakteristik kulit, penurunan CRT, penurunan turgor, parestesi, edema, dan nyeri ekstremitas

trauma Risk for peripheral ineffective tissue perfusion

B. Diagnosis yang mungkin muncul pada klien yang menjalani prosedur

THR/TKR:

a. Fase pre-operatif

1) Acute pain r/t physical injury (trauma)

2) Anxiety r/tmajor change (health status)

3) Impaired physical mobility r/t musculoskeletal impairment

b. Fase intra-operatif

1) Risk for perioperative positioning injury r/t immobilization

c. Fase post-operatif

1) Acute pain r/t physical injury (operative procedure)

2) Risk for delayed surgical recovery r/tperioperative surgical ste infection

3) Risk for ineffective tissue perfusion r/t trauma

4) Impaired physical mobility r/t musculoskeletal impairment

Diagnosis yang mungkin muncul pada fase pre-operatif:

Acute Pain r/t Physical Injury (Trauma)Definisi: Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan yang aktual dan

potensial. atau gambaran adanya kerusakan. Hal ini dapat timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat. Secara konstan atau hilang timbul, tanpa prediksi waktu kesembuhan, dan lebih dari 3 bulan.

Domain 12: ComfortClass 1: Physical Comfort

Kriteria Hasil/ Tujuan Intervensi KeteranganPain LevelSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetDiaphoresis 2 4

Skala nyeri berkurang

1 4

Tanda vital normal

2 5

Pain controlSetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama 3x24 jam, klien mampu mengontrol nyeri dengan kriteria hasil :Indikator Awal Targetklien mengetahui penyebab nyeri

3 5

mampu menggunakan

3 5

Pain Management

- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien

- Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau- Evaluasi bersama pasien dan tim

kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

- Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

- Kurangi faktor presipitasi nyeri- Pilih dan lakukan penanganan nyeri

(farmakologi, non farmakologi dan inter

-

tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeriMelaporkan gejala yang dirasakan kepada tenaga kesehataan

3 5

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

personal)- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk

menentukan intervensi- Ajarkan tentang teknik non farmakologi- Berikan analgetik untuk mengurangi

nyeri- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri- Tingkatkan istirahat- Kolaborasikan dengan dokter jika ada

keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil- Monitor penerimaan pasien tentang

manajemen nyeri

Analgesic Administration- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,

dan derajat nyeri sebelum pemberian obat

- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

- Cek riwayat alergi- Pilih analgesik yang diperlukan atau

kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu

- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri

- Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal

- Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur

- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

- Berikan analgesik tepat waktu terutama

saat nyeri hebat- Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan

gejala (efek samping)

Anxiety r/t major change (health status)Definisi: Perasaan tidak nyaman yang disertai respon autonomis (sumbernya seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui individu);

perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya).Domain 9:Coping/Stress Tolerance

Class 2:Coping ResponsesKriteria Hasil/ Tujuan Intervensi Keterangan

Anxiety Level Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan tingkat kecemasan klien berkurang, dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetPeningkatan tekanan darah

2 3

Peningkatan nadi 2 3Gangguan tidur 2 3Fatigue 3 4

Anxiety Self-ControlSetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama 1x24 jam, klien mampu mengontrol cemas dengan kriteria hasil :Indikator Awal TargetMemonitor 1 3

Anxiety ReductionAktivitas:

1. Bina Hubungan Saling percaya2. Gunakan teknik yang menenangkan

klien3. Dornong keluarga untuk menemani

klien jika menungkinkan4. Gunakan teknik mendengarkan aktif5. Berikan keamanan dan kurangi rasa

takut pada klien6. Bantu klien untuk mengefektifkan

sumber support7. Identifikasi level sistem dukungan

pada klien8. Eksplorasi tanda verbal maupun non

verbal akan kecemasan

- Manajemen cemas

Hardwick, M. E., Puildo, P. A., Adelson, W. S. (2012). Nursing Intervention using healing touch in bilateral total knee arthroplasty. Orthopaedic Nursing. 31, 1, 1-7.

Ringkasan isi jurnal:- Healing touch (HT) merupakan

intervensi mandiri keperawatan yang dapat digunakan pada pasien total knee arthroplasty yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan, nyeri, dan memfasilitasi keseimbangan energi klien untuk fase penyembuhan.

- HT dapat diaplikasikan 1x/hari diantara sesi fisioterapi.

intensitas kecemasanMenggunakan koping efektif

1 3

Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri

1 2

Pre Procedure ReadinessSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pasien nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetMengetahui proses prosedur

1 3

Mengetahui potensi komplikasi

1 3

Mengidentifikasi perubahan status kesehatan

1 3

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

Teaching: Procedure/TreatmentAktivitas:

1. Kaji ulang  kemampuan belajar pasien misalnya: perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, dan media

2. Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: proses prosedur, tujuan prosedur, jadwal pengobatan

3. Jelaskan aktivtas pre prosedur dan post prosedur kepada klien dan keluarga

4. Dorong klien untuk mengungkapkan rasa takutnya

5. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, waktu

6. Jelaskan tentang efek samping obat

- Hasil penelitian menyatakan bahwa kelompok intervensi menunjukkan skor nyeri yang lebih rendah (p<.05) kecuali pada post-operasi hari pertama.

- Skor kecemasan secara signifikan lebih rendah pada kelompok intervensi jika dibandingkan kelompok kontrol (p=.046)

Impaired physical mobility r/t musculoskeletal impairmentDefinisi: Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri adan terarah pada tubuh meliputi satu ekstremitas atau lebih

Domain 4:Activity/RestClass 2:Activity/Exercise

Kriteria Hasil/ Tujuan Intervensi KeteranganImmobility Consequences: PhysiologicalSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x 24 jam diharapkan klien mampu menurunkan resiko keparahan fungsi fisik akibat imobilisasi, dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetLuka tekan 3 4Thrombosis vena 2 3Konstipasi 3 4

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

Bed Rest CareAktivitas:

1. Jelaskan tujuan bed rest pada klien2. Gunakan alas tidur yang tepat3. Hindari penggunaan alas tidur yang

berbahan kasar4. Pertahankan linen tempat tidur

dalam keadaan bersih5. Gunakan side rails6. Monitor kondisi kulit klien7. Monitor tanda-tanda konstipasi8. Monitor fungsi urinaria9. Letakkan barang-barang yang

mudah terjangkau oleh klien

Self-care assistantAktivitas:

1. Monitor tingkat dependensi klien dalam melakukan aktivitas

2. Identifikasi alat bantu yang dibutuhkan klien dalam melakukan aktivitas

3. Berikan bantuan sampai klien mampu memulai aktivitas mandiri secara bertahap

-

4. Bantu klien untuk menerima kondisinya

5. Ciptakan rutinitas aktivitas perawtaan diri

6. Pertimbangkan usia klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri

7. Ajarkan klien dan keluarga untuk meningkatkan kemandirian secara bertahap

Diagnosis yang mungkin muncul pada fase intra-operatif:

Risk for perioperative positioning injury r/t immobilizationDefinisi: Kerentanan individu mengalami perubahan anatomis atau fisik sebagai akibat dari postur penggunaan alat invasif/prosedur

pembedahan yang mungkin dapat mempengaruhi kesehatanDomain 11:Safety/Protection

Class 2:Physical InjuryKriteria Hasil/ Tujuan Intervensi Keterangan

Post Procedure RecoverySetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama 1x24 jam, terjadi penegmbalian fungsi basal klien akibat prosedur yang membutuhkan anestesi dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetAldrete score 4 5Fully awake 4 5

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

Blood loss severitySetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama x24 jam, terjadi penurunan keparahan perdarahan internal maupun eksternal, dengan kriteria hasil :Indikator Awal TargetPerdarahan post 3 4

Positioning IntraoperativeAktivitas:

1. Identifikasi level ROM klien2. Lakukan pengecekan integritas

kulit3. Monitorstatus neurologis dan

sirkulasi perifer4. Gunakan alat bantu untuk

imobilisasi5. Pertahankan body alignment klien6. Atur posisi bed operasi dengan

tepat7. Monitor posisi klien intraoperatif

Vital sign MonitoringAktivitas:

1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR2. Catat adanya fluktuasi tekanan

darah3. Monitor TTV saat pasien

berbaring, duduk, atau berdiri4. Monitor kualitas dari nadi5. Monitor frekuensi dan irama

Pencegahan resiko perdarahan intraoperatif pada prosedur Total Hip Replacement

Friedman, R. J. (2010). Limit the bleeding Limit the pain in Total Hip and Knee Arthroplasty. Orthopedics. 1-4

Ringkasan isi jurnal:

- Pendekatan langsung dalam melakukan pencegahan resiko perdarahan pada fase intraoperatif adalah dengan cara meningkatkan hemostasis jaringan selama operasi

- Agen yang dapat digunakan misalnya thrombin, kolagen, dan fibrin glue yang diaplikasikan secara topikal.

- Agen-agen ini dpat diaplikasikan pada permukaan jaringan yang bertujuan untuk mempercepat penutupan luka sehingga dapat

operatifPenurunan Hb 3 4

pernapasan6. Monitor suara paru7. Monitor pola pernapasan

abnormal8. Monitor suhu, warna, dan

kelembaban kulit9. Monitor sianosis perifer10. Identifikasi penyebab dari

perubahan vital sign

mencegah adanya resiko perdarahan, selain itu juga mengurangi resiko allogenic blood transfusion.

- Penggunaan fibrin sealant dapat menurunkan jumlah perdarahan perioperatif. Rata-rata perdarahan pada kelompok intervensi adalah sebanyak 360ml jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0.001).

Diagnosis yang mungkin muncul pada fase post-operatif:

Acute Pain r/t Physical Injury (Operative Procedure)Definisi: Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan yang aktual dan

potensial. atau gambaran adanya kerusakan. Hal ini dapat timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat. Secara konstan atau hilang timbul, tanpa prediksi waktu kesembuhan, dan lebih dari 3 bulan.

Domain 12: ComfortClass 1: Physical Comfort

Kriteria Hasil/ Tujuan Intervensi KeteranganPain LevelSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetDiaphoresis 2 4

Skala nyeri berkurang

1 4

Tanda vital normal

2 5

Pain controlSetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama 3x24 jam, klien mampu mengontrol nyeri dengan kriteria hasil :Indikator Awal Targetklien mengetahui penyebab nyeri

3 5

mampu 3 5

Pain Management

- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien

- Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau- Evaluasi bersama pasien dan tim

kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

- Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

- Kurangi faktor presipitasi nyeri

Manajemen Nyeri

Parker, R. J. (2011). Evidence Based Practice: Caring for patient undergoing total knee arthroplasty. Orthopaedic Nursing. 30, 1, 1-7. doi: 10.1097/NOR.0b013e3182057451

Ringkasan isi jurnal:

- Dalam melakukan pengkajian nyeri, instrumen yang paling akurat adalah menggunakan patient self-report

- Perawat dapat melakukan pengkajian tentang karakteristik nyeri secara komprehensif menggunakan beberapa skala pengukuran yang sudah ada, misalnya Numeric Rating Scale atau Wong/Baker facial pain scale

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeriMelaporkan gejala yang dirasakan kepada tenaga kesehataan

3 5

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

- Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)

- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

- Ajarkan tentang teknik non farmakologi- Berikan analgetik untuk mengurangi

nyeri- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri- Tingkatkan istirahat- Kolaborasikan dengan dokter jika ada

keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil- Monitor penerimaan pasien tentang

manajemen nyeri

Analgesic Administration- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,

dan derajat nyeri sebelum pemberian obat

- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

- Cek riwayat alergi- Pilih analgesik yang diperlukan atau

kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu

- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri

- Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal

- Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur

- Monitor vital sign sebelum dan sesudah

- Penggunaan Continuous Femoral Infusions (CFI) oleh anestesiologis memberikan hasil penurunan LOS dan resiko perdarahan secara signifikan. Selain itu, klien juga dilaporkan memiliki kemampuan kontrol nyeri postoperaif yang lebih baik.

- Dalam sebuah panelitian retrospektif yang dilakukan oleh Duellman, Gaffigan, Milbrandt dan Allan (2009), pasien yang menggunakan oxycodon dan selective COX-2 inhibitor menunjukkan penurunan intravenous narcotics perioperatif, peningkatan partisipasi klien dalam perawatan, dan penurunan LOS.

pemberian analgesik pertama kali- Berikan analgesik tepat waktu terutama

saat nyeri hebat- Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan

gejala (efek samping)

Risk for delayedsurgical recovery r/t perioperative surgical site infectionDefinisi: Kerentanan individu mengalami pemanjangan jumlah hari post operatif yang dibutuhkan untuk menjalani aktivitas,

memelihara kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan, yang dapat mempengaruhi kesehatan.Domain 11:Safety/Protection

Class 2:Physical InjuryKriteria Hasil/ Tujuan Intervensi Keterangan

Infection severitySetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam terjadi penurunan keparahan infeksi terkait gejala penyakitnya dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetDemamPeningkatan jumlah sel darah putih

Wound healing: primary intentionSetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama 7x24 jam, terjadi regenerasi sel dan jaringan yang ditandai dengan penutupan luka, dengan kriteria hasil :

Infection ControlAktivitas:1. Batasi jumlah pengunjung2. Gunakan universal precaution3. Ajarkan kepada klien dan keluarganya

mengenai tanda & gejala infeksi4. Tingkatkan istirahat5. Tingkatkan pemenuhan nutrisi yang

adekuat6. Cuci tangan sebelum dan sesudah

merawat klien7. Gunakan sabun antimikrobial untuk

cuci tangan8. Ganti peralatan perawatan pasien per

agency protocol

-

Indikator Awal TargetRata-rata luka 3 4Rata-rata tepi luka 3 4Purulent drainage 4 5

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

Vital sign MonitoringAktivitas:

1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR2. Catat adanya fluktuasi tekanan

darah3. Monitor TTV saat pasien

berbaring, duduk, atau berdiri4. Monitor kualitas dari nadi5. Monitor frekuensi dan irama

pernapasan6. Monitor suara paru7. Monitor pola pernapasan

abnormal8. Monitor suhu, warna, dan

kelembaban kulit9. Monitor sianosis perifer

Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

Incision Site CareAktivitas:

1. Jelaskan prosedur tindakan kepada klien

2. Catat karakteristik luka3. Monitor area insisi akan adanya

tanda-tanda infeksi atau dehisensi4. Monitor proses penyembuhan pada

luka insisi5. Bersihkan luka insisi menggunakan

cairan yang tepat

6. Gunakan tape penutup luka secara tepat

7. Gunakan antiseptik secara tepat8. Ganti balutan secara berkala9. Ajarkan klien untuk mengurangi

stress pada luka insisi10. Ajarkan klien maupun keluarga

tentang cara perawatan luka insisi

Discharge PlanningAktivitas:

1. Bantu klien untuk menyiapkan pihak-pihak yang terlibat dalam proses discharge planning

2. Kolaborasikan dengan tenaga kesehatan lain (dokter, fisioterapis, keluarga, significant other, dll) untuk melanjutkan terapi yang berkelanjutan

3. Identifikasi pemahaman pemberi perawatan utama di rumah yang akan melakukan perawatan

4. Monitor kesiapan klein dan keluarga untuk pulang

5. Berikan bantuan self-care dengan tepat

6. Dukung caregiver dalam memberikan perawatan

7. Komunikasikan dengan klien terkait rencana discharge

Risk for peripheral ineffective tissue perfusion r/t traumaDefinisi: Kerentanan individu untuk mengalami penurunan sirkualsi darah perifer yang mungkin mempengaruhi kesehatan

Domain 4:Activity/RestClass 4:Cardiovascular/Pulmonary Responses

Kriteria Hasil/ Tujuan Intervensi KeteranganTissue Perfusion: PeripheralSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam diharapkan sirkulasi perifer adekuat, dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetPeripheral edema 3 4Pedal pulse strength

3 4

Capillary refill toe 3 4

Blood CoagulationSetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama 7x24 jam, pembekuan darah terjadi dalam rentang waktu yang normal, dengan kriteria hasil :Indikator Awal TargetPembentukan clotProthrombin time (PT)

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan

Circulatory Care: Venous InsufficiencyAktivitas:

1. Ciptakan penilaian komprehensif terkait status sirkulasi perifer klien

2. Evaluasi adanya edema dan pulsasi perifer

3. Lakukan inspeksi kulit terkait adanya statis ulcer dan kerusakan jaringan

4. Lakukan perawatan luka5. Monitor derajat nyeri klien6. Jelaskan klien pentingnya terapi

kompresi7. Berikan terapi kompresi secara

tepat8. Kolaborasi dengan tim medis akan

pemberian agen antikoagulan maupun antiplatelet secara tepat

9. Dukung klien untuk melakukan perawatan kaki secara benar

10. Monito status cairan klien termasuk intake dan output

Pencegahan DVT pasca pembedahan THR

Summerfield, D. L. (2006). Decreasing teh Incidence of Deep Vein Thrombosis through the use of prophylaxis. Association of Operating Room Nurses. AORN Journal. 84, 4, 642-645.

Ringkasan isi jurnal:

- Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko DVT adalah melakukan profilaksis sebagai berikut:1. Profillaksis kimia2. Profilaksis mekanis3. Kombinasi profilaksis kimia dan

mekanis- Profilaksis kimia yang dapat

dilakukan adalah meliputi penggunaan medikasi untuk mencegah clotting darah seperti earfaring, aspirin, enoxaparin, dan

5= tidak ada keluhan beberapa jenis heparin lainnya. Medikasi ini dapat diberikan sebelum, selama, maupun setelah pembedahan.

- Profilaksis mekanis yang dapat digunakan adalah terapi kompresi pada yang diletakkan pada kaki, betis, maupun paha, bertujuan untuk memberikan penekanan intermiten sehingga mencegah stasis vena dan meningkatkan jumlah sirkulasi fibrolisindalam darah.

Impaired physical mobility r/t musculoskeletal impairmentDefinisi: Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri adan terarah pada tubuh meliputi satu ekstremitas atau lebih

Domain 4:Activity/RestClass 2:Activity/Exercise

Kriteria Hasil/ Tujuan Intervensi KeteranganJoint Movement: HipSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam diharapkan pasien mampu melakukan range of motion pada panggul dengan kriteria hasil:Indikator Awal TargetFleksi panggul 900 1 2Ekstensi panggul lurus 00

2 3

Abduksi 450 1 2Adduksi 300 1 2

Exercise therapy: joint mobilityAktivitas:

1. Identifikasi keterbatasn pergerakan sendi dan dampaknya terhadap fungsi

2. Identifikasi motivasi klien dalam memelihara dan memulihkan mobolitas sendi

3. Jelaskan kepada klien dan keluarga terkait tujuan aktivitas pergerakan sendi

Latihan mobilisasi postoperatif Total Knee Arthroplasty

Denis, M., Moffet, H., Caron, F., Ouellet, D., Paquet, J., Lucie, N. (2006). Effectiveness of continuous Passive Motion and conventional physical therapy after total knee arthroplasty: A randomized controoled trial. Physical Therapy. 86, 2, 1-12.

Joint movement: KneeSetelah dilakukan intervensi keperawatan pada klien selama 5x24 jam, klien mampu melakukan range of motion pada lutut dengan kriteria hasil :Indikator Awal TargetEkstensi 00

Fleksi 1300

Hiperekstensi 150

Keterangan :1= keluhan parah2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

4. Dukung ambulasi, jika memungkinkan

5. Lingdungi klien dari trauma saat melakukan latihan

6. Identifikasi tingkat nyeri klien pada sebelum, selama, dan setelah tindakan

7. Dukung penggunaan target pencapaian dari sesi latihan

Exercise therapy: ambulationAktivitas:

1. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon klien saat latihan

2. Ajarkan klien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi

4. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan

5. Dampingi dan Bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs klien

6. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.

7. Ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

Ringkasan isi jurnal:

- Penelitian RCT ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas program rehabilitasi yang menggunakan continuous passive motion (CPM) dan yang menggunakan terapi standar.

- Outcome yang dinilai adalah ROM pada gerakan fleksi dan ekstensi lutut, kemampuan fungsional, dan LOS postoperatif

- Intervensi 1 menerima CPM selama 35 menit setiap hari, kelompok intervensi 2 menerima terapi konvensional dikombinasikan dengan CPM selama 2 jam, dan kelompok kontrol hanya menerima terapi konvensional standar.

- Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hasil yang signifikan antara ketiga kelompok penelitian pada outcome primer maupun sekunder

- Intervensi CPM tidak mampu mmperbaiki disabilitas atau kerusakan lutut pada pasien TKR, dibutuhkan penelitian lanjut.

3. Aspek Legal Etik pada pasien THR dan TKR

Ali, Zaidin H., (2000), menjelaskan bahwa ada beberapa aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam legal etik dalam memberikan pelayanan kepada pasien, aspek-aspek tersebut adalah:

1. Autonomy (Otonomi) :Klien bisa menerima/menolak pelayanan kesehatan apa yang akan dilakukan padanya.

1. Beneficience (berbuat baik) Perawat sebagai bagian tim pelayanan kesehatan harus menjaga sikap dan perilaku yang baik juga melakukan intervensi yang baik untuk klien.

2. Justice (keadilan) Perawat tidak boleh membeda-bedakan klien dalam pelayanan kesehatan (praktiknya) sehingga perawat harus adil.

3. Non-Malifecience (Tidak merugikan) Perawat tidak dengan sengaja melakukan tindakan yang merugikan diri klien misalnya dengan tidak sengaja pola asupan nutrisi.

4. Veracity (kejujuran) Perawat harus jujur kepada klien tentang penyakitnya.5. Fideity (Menepati janji) Perawat mempertahankan prinsifnya untuk tetap patuh

pada kode etik yang mengatakan bahwa dirinya akan selalu meningkatkan pelayanan kesehatan, mencegah penyakit, pemulihan, dan meminimalkan penderitaan klien.

Miller (2000) menjelaskan bahwa masalah etik pada praktik pembedahan orthopedic terdiri dari kontrak antara pasien dengan dokter, pemeriksaan atau screening HIV.

2. Sebelum melakukan tindakan pembedahan harus menentukan dokter bedah yang tepat, karena mungkin saja ada diskriminasi terhadap ras, warna, gender, orientasi sexual, keyakinan dan asal pasien. seharusnya seorang dokter bedah harus mengenyampingkan hal tersebut dan bersikap profesionalisme tanpa ada ada diskriminasi.

3. Setelah pembedahan mungkin saja seoarang dokter akan mengabaikan perawatan pasien. seharusnya dokter bedah tetap mengevaluasi pasien sampai dengan penyembuhan.

4. Mengkin saja pasien yang menjalani pembedahan akan menarik diri dari dokter dan perawat, karena adanya hukuman yang diberikan akibat kesalahan pasien. seharusnya perawat tidak memberikan hukuman namun meotifasi dan meng advokasi pasien agar mengikuti pengobatan.

5. Di negara berkembang sebelum melakukan tindakan pembedahan seorang pasien harus mengikuti tes HIV, dan yang harus di persiapkan adalah inform consent secara tertulis. Dan apabila pasien positif HIV perlu adanya perlakuan khusus karena akan berpengaruh terhadap social ekonomi dll.

4. Evidence Based Practice

Judul penelitian: Intervensi keperawatan menggunakan healing touch (HT) pada pasien dengan Total Knee Arthroplasty.

Hardwick, Pulido, and Adelson (2012) melakukan peneltian yang berjudul “Nursing Intervention Using Healing Touch in Bilateral Total Knee Arthroplasty” sampel yang digunakan sebanyak 41 pasien diambil secara acak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini pre dan post design dengan kelompok control

sebanyak 20 dan kelompok perlakuan sebanyak 21 pasien. Kelompok control (ST) tidak dilakukan HT dan kelompok perlakuan diberikan HT sebanyak dua kali sehari, selanjutnya nyeri di ukur dengan visual analog scale (VAS) dan kecemasan di ukur dengan State-Trait Anxiety Inventory (STAI). Hasil peneltian ini didapat bahwa nyeri dengan pengkajian VAS lebih rendah pada kelompok HT dibandingkan dengan kelompok ST namun tidak signifikan, kecuali ada pasca operasi hari pertama, dalam kelompok HT nyeri VAS setelah dilakukan HT secara signifikan berkurang dibandingkan dengan VAS nyeri pra HT (p<0,05). Kecemasan lebih rendah pada kelompok HT dengan signifikansi mencapai (p=0,046) hanya pada pasca operasi hari kedua.

Pemberian tidakan healing Touch (HT) lebih efektif mengurangi nyeri dibandingkan dengan kelompok control tanpa perlakuan dan tindakan HT lebih efektif diberikan pada hari ke dalam mengurangi nyeri dan cemas dibandingkan pada hari pertama pada pasien Total Knee Arthroplasty. Tindakan Ht dapat dilakukan dengan menekankan belas kasih, barhati-hari dengan menggunakan tangan dan sentuhan lembut .

Judul penelitian: efektifitas mendengarkan musik pada pasien total hip replacement selama rehabilitasi CPM.

Hsu, Chen, Chen, Tseng, and Lin (2015) melakukan penelitian dengan judul “Effectiveness of Music Listening in Patients With Total Knee Replacement During CPM Rehabilitation” penelitian ini meneliti efek terapi music pada kecemasan, heart rate variability (HRV) dan range of mation (ROM) pada pasien yang menjalani continuous passive mation (CPM) setelah operasi total knee replacemen. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah true eksperimen, partisipan dalam penelitian ini sebanyak 49 orang, partisipan mendengarkan music sekitar 10 menit sebelum menerima CMP sampai akhir sesi (total sekitar 25 menit), pada hari pertama dan kedua setelah operasi. Sedangkan dalam kelompok control (n=42) tidak mendengarkan musik namun bersitirahat dengan tenang ditempat tidur sekitar 10 menit sebelum dilakukan CPM.

Hasil dalam penelitian ini adalah perbandingan antara kelompok control dengan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan menunjukkan penurunan kecemasan secara signnifikan (p<0.05) dan menunjukkan sudut CPM (p<0.05) selama pengobatan. Artinya bahwa mendengarkan music secara efektif dapat mengurangi kecemasan pasien pada dengan peningkatan ROM sendi pasca operasi.

Judul penelitian : Evidence-Based Practice : merawat pasien dengan Total Knee Arthroplasty

Parker (2011) dalam systematic reviewnya dengan judul “Evidence-Based Practice: Caring for a Patient Undergoing Total Knee Arthroplasty” penelitian ini menjelaskan perawatan pada pasien yang menjalani Total Knee replacement atau Total Knee Arthroplasty. Dalam systematic review tidak dijelaskan metode yang digunakan, namun menjelaskan manajemen nyeri post operasi TKA dengan metode farmokologi dan non farmakologi yang diawali dengan pengkajian nyeri. penelitian retrospektif review oleh Duellman, Gaffigan, Milbrandt, and Allan (2009) menemukan bahwa pemberian oksikodon dan selectif COX-2 inhibator terlebih dahulu dapat mengurangi pemberian narkotik dan dapat mengurangi lama rawat inap pada pasien TKA. Adie, Naylor, dan Hams (2009) dalam meta-analisis menemukan bahwa pasien yang

menggunakan cryotherapy terjadi penurunan nyeri yang signifikan pasca operasi hari ke dua dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan cryotherapy. Meskipun dalam laporannya bahwa tidak ada penurunan nyeri yang signifikan dalam penggunaan narkotik dan terapi dingin. Sementera cryotherapy adalah cara yang aman dan ekonomis untuk mengurangi nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

Adie, S., Naylor, J. M., & Harris, I. A. (2009). Cryotherapy after total knee arthroplasty: A systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Journal of Arthroplasty , 25(5), 709-715. doi: 10.1016/j.arth.2009.07.010

Ali, Zaidin H., (2000). Dasar-Dasar Keperawatan Profesional.Jakarta : Widya MedikaAmerican Academy of Orthopaedic Surgeons. (2015).Total Hip Replacement. orthoinfo.orgAmerican Academy of Orthopaedic Surgeons. (2015).Total Knee Replacement. orthoinfo.orgDargel J, Oppermann J, Brüggemann GP, Eysel P.(2004). Dislocationfollowing total hip

replacement. Dtsch Arztebl Int, 111: 884–90.DOI: 10.3238/arztebl.2014.0884Denis, M., Moffet, H., Caron, F., Ouellet, D., Paquet, J., Lucie, N. (2006). Effectiveness of

continuous Passive Motion and conventional physical therapy after total knee arthroplasty: A randomized controoled trial. Physical Therapy. 86, 2, 1-12.

Dochterman, J. M., Bulecheck, G. N. (2004). Nursing Intervention Classification. Fourth Ed. Iowa: Mosby Elsevier

Dochterman, J. M., Bulecheck, G. N. (2004). Nursing Intervention Classification. Fourth Ed. Iowa: Mosby Elsevier

Edmunds, C. T., Boscainos, P. J. (2011). Effect of surgical approach for total hip replacement on hipfunction using Harris Hip scores and Trendelenburg’s test.A retrospective analysis. The surgeon. 9, 124-129. doi: 10.1016/j.surge.2010.08.014

Friedman, R. J. (2010). Limit the bleeding Limit tha pain in Total Hip and Knee Arthroplasty. Orthopedics. 1-4

Gilbey, H. J., Ackland, T. R., Wang, A. W., Morton, A. R., Trouchet, T., & Tapper, J. (2003). Exercise improves early functional recovery after total hip arthroplasty. Clinical Orthopaedics And Related Research

Hardwick, M. E., Puildo, P. A., Adelson, W. S. (2012). Nursing Intervention using healing touch in bilateral total knee arthroplasty. Orthopaedic Nursing. 31, 1, 1-7.

Herdman, T. H., Kamitsuru, S. (ed). (2014). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Herdman, T. H., Kamitsuru, S. (ed). (2014). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Holzwarth, U., & Cotogno, G. (2012). Jrs scientific and policy reports Total Hip Arthroplasty. Joint Research Centre of the European Commission

Hsu, C.-C., Chen, W.-M., Chen, S.-R., Tseng, Y.-T., & Lin, P.-C. (2015). Effectiveness of Music Listening in Patients With Total Knee Replacement During CPM Rehabilitation. Biological research for nursing, 1099800415572147.

Kim, Y-H., Kulkarni, S. S., Park, J-W., Kim, B. S. (2015). Prevalence of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism Treatedwith Mechanical Compression Device after Total Hip Arthroplasty. The Journal of Arthroplasty. 30, 675–680. doi: 10.1016/j.arth.2014.11.004.

Medical Advisory Secretariat. (2005).Physiotherapy rehabilitation after total knee or hip replacement: anevidence-based analysis. Ontario Health Technology Assessment Series; 5(8)

Meehan, J., Jamali, A. A., & Nguyen, H. (2009). Prophylactic antibiotics in hip and knee arthroplasty. J Bone Joint Surg Am, 91. doi: 10.2106/JBJS.H.01219

Miller, M. D., Brinker, M. R. (ed). (2000). Review of orthopaedic. Third ed. United States of America: W.B Saunders.

Miller, M. D., Brinker, M. R. (ed). (2000). Review of orthopaedic. Third ed. United States of America: W.B Saunders.

Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., Swanson, E. (ed). (2004). Nursing Outcome Classification. Fourth Ed. Iowa: Mosby Elsevier.

Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., Swanson, E. (ed). (2004). Nursing Outcome Classification. Fourth Ed. Iowa: Mosby Elsevier.

Parker, R. J. (2011). Evidence Based Practice: Caring for patient undergoing total knee arthroplasty. Orthopaedic Nursing. 30, 1, 1-7. doi: 10.1097/NOR.0b013e3182057451

Qian K Kang. Prophylaxis of heterotopic ossification – an updated review Journal of Orthopaedic Surgery and Research 2009, 4:12  doi:10.1186/1749-799X-4-12

Siopack, J. S., & Jergesen, H. E. (1995). Total Hip Arthroplasty. West J Med, 162:243-249Summerfield, D. L. (2006). Decreasing the Incidence of Deep Vein Thrombosis through the

use of prophylaxis. Association of Operating Room Nurses. AORN Journal. 84, 4, 642-645.

Werner BC, Brown TE.(2012) Instability after total hip arthroplasty.World J Orthop.3:122-130

Yin, H.-Z., & Shan, C.-M.(2015). The effect of nursing intervention based on Autar scale results to reduce deep venous thrombosis incidence in orthopaedic surgery patients. International journal o f nursing sciences, 2.