Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

55
LAPORAN PRESENTASI KASUS (Periode 16 November 2015 – 18 Desember 2015 ) Bell’s Palsy Disusun oleh : Hilyatus Shalihat 1102010125 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Bhayangkara tk.I R.S. Sukanto-Jakarta Pembimbing : Dr. Joko Nofianto, Sp. S 1

description

case

Transcript of Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Page 1: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

LAPORAN PRESENTASI KASUS

(Periode 16 November 2015 – 18 Desember 2015 )

Bell’s Palsy

Disusun oleh :

Hilyatus Shalihat

1102010125

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Bhayangkara tk.I

R.S. Sukanto-Jakarta

Pembimbing :

Dr. Joko Nofianto, Sp. S

RS POLRI JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2015

1

Page 2: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena atas anugrah-

Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Cephalgia et causa Abses Cerebri”

tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu

syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf, Rumah

Sakit Kepolisian pusat TK.I Raden Said Soekamto.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko Nafianto. Sp.S. ,yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing saya dalam pembuatan laporan kasus ini. Saya menyadari banyak

sekali kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun

sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang

membacanya.

Jakarta , November 2015

Penulis

2

Page 3: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR….................................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................4

BAB II STATUS PASIEN............................................................................................................5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................39

3

Page 4: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

BAB I

PENDAHULUAN

Nervus fasialis mempunyai peran penting dalam fungsi gerak otot-otot wajah dan fungsi

sensorik. Tiap Nervus mengkoordinir satu sisi wajah, termasuk otot-otot yang menggerakan

kelopak mata juga otot-otot untuk ekspresi wajah. Selain itu nervus fasialis menginervasi

glandula lacrimal, saliva dan otot pendengaran yang mengatur tulang pendengaran. Indra

pengecapan juga diwakili oleh serabut saraf ini.

Bell‘s palsy adalah gangguan neurologis yang paling sering menyerang nervus fasialis

dan penyebab kelumpuhan wajah paling sering di dunia. Sekitar 60-75% serangan akut lumpuh

sebelah wajah adalah Bell‘s Palsy. Bell‘s palsy juga dikenal sebagai Idiopatic Facial Paralysis

(IFP) termasuk paralisis Lower Motor Neuron (LMN) yang bersifat akut, perifer, unilateral.

Kesembuhan sempurna tanpa terjadi defisit neurologis hampir didapatkan pada semua pasien.

Insidensi terjadi pada wanita dan pria sama dan dapat menyerang berbagai kelompok

usia. Namun ditemukan bahwa penderita diabetes melitus, wanita hamil dan wanita usia 10-19

tahun mempunyai angka kejadian lebih tinggi dibandingkan pria dengan usia yang sama.

4

Page 5: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

BAB II

STATUS PASIEN

II.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. K

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 53 Tahun

Alamat : Cawang

Pekerjaan : Buruh kasar

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Status Perkawinan : Menikah

Pendidikan Terakhir : SD

Tanggal masuk RS : 21 November 2015

Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2015

II.2 Anamnesa ( Autoanamnesis dan Alloanamnesis )

Keluhan Utama : Bibir mencong sebelah kanan sejak 1 jam SMRS

Keluhan Tambahan : Nyeri kepala sejak 2 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 21 November 2015 dengan keluhan bibir

mencong sebelah kanan sejak 1 jam sebelum datang ke rumah sakit. Pasien mengaku sehari

sebelum serangan terdapat rasa kesemutan disekitar bibir dan pada malam hari pasien sedang

berkumpul bersama teman-temannya di tempat terbuka hingga tengah malam. Keesokan harinya

setelah pasien selesai beribadah tiba-tiba pasien merasakan bibir sebelah mencong ke sebelah

kanan dan tidak dapat dikembalikan ke posisi semula. Pasien mengatakan pada saat minum air,

air selalu keluar dari mulut. Kelopak mata kiri terasa sulit untuk menutup.

5

Page 6: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Pasien menyatakan tidak demam, tidak pernah keluar cairan dari telinga, pusing berputar

tidak ada, nyeri kepala (+) seperti tercengkeram, mendengar bunyi berdenging tidak ada,

kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, tidak ada

kesulitan menelan, BAB dan BAK lancar. Kejadian ini adalah pertama kali dialami oleh pasien.

Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien mengaku tidak pernah mengalami nyeri kepala seperti ini sebelumnya

- Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan rutin kontrol dan minum obat

- Pasien tidak memiliki riwayat sakit telinga

- Riwayat trauma kepala disangkal pasien

- Riwayat gigi berlubang disangkal pasien

- Riwayat diabetes disangkal pasien

Riwayat Pengobatan

Pasien masih rutin minum obat darah tinggi yaitu amlodipin 1x sehari

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal adanya penyakit yang sama yang dirasakan oleh keluarga pasien.

Riwayat Alergi

Riwayat alergi disangkal

Riwayat Kebiasaan

- Pasien menyangkal adanya kebiasaan merokok.

- Pasien mengaku memiliki pola makan yang teratur.

- Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur & buah.

- Pasien tidak mengkonsumsi alkohol.

- Tidak ada aktivitas olahraga.

- Pasien mengaku sering terpapar angin malam.

6

Page 7: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

II.3 Pemeriksaan Fisik

1. Status generalis

a. Keadaan umum : tampak sakit ringan

b. Tanda vital

Tekanan darah : 160/100 mmHg

Nadi : 98 x/menit

Pernafasan : 22 x/menit

Suhu : 36.9oC

c. Kepala

Bentuk : normocephal

Simetris : simetris

Nyeri tekan : tidak ada

Ekspresi wajah : kesan wajah lumpuh sebelah kiri

d. Mata

Konjungtiva : pucat (-/-)

Sklera : ikterik (-/-)

Kedudukan bola mata : ortoforia/ortoforia

Pupil : bulat isokor 2mm/2mm.

Eksophtalmus (-), Nystagmus (-), Lagophtalmus ( - / + )

e. Hidung

Bentuk hidung simetris normal , septum deviasi (-) , tanda trauma (-) , Sekret (-)/(-)

f. Mulut

Lidah deviasi (-), fasikulasi (-) , atrofi lidah (-), palatum molle dan pallatum durum

tidak hiperemis.

g. Telinga

Bentuk telinga normal dan simetris kanan dan kiri, nyeri tekan auricula (-) , hiperemis

(-)/(-) , darah (-)/(-) , sekret (-)/(-)

h. Leher

Sikap : normal

Limfanodi : tidak teraba membesar

7

Page 8: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

i. Thorax : normochest

j. Jantung : iktus cordis teraba di pertengahan axillaris anterior kiri sela iga 5,

bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

k. Paru : fremitus taktil dan fremitus vocal simetris kanan dan kiri, sonor

diseluruh lapang paru , bunyi nafas vesikular, ronki (-)/(-), wheezing (-)/(-)

l. Abdomen : datar, nyeri tekan -, bising usus (+) , massa (-) , timpani disluruh

lapang abdomen

m. Hepar : tidak teraba pembesaran hepar

n. Lien : tidak teraba pembesaran lien

o. Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time kurang dari 2 detik, edema (-),

sianosis (-).

2. Status neurologis

A. GCS : E4M6V5 (15)

B. Gerakan Abnormal : -

C. Leher : sikap baik, gerak baik ke segala arah

D. Tanda Rangsang Meningeal

Kanan Kiri

Kaku kuduk (-)

Laseque <70o <70o

Kernig <135o <135o

Brudzinsky I (-) (-)

Brudzinsky II (-) (-)

E. Nervus Kranialis

8

Page 9: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

N.I ( Olfaktorius )

Subjektif Normal

N. II ( Optikus )

Tajam penglihatan (visus bedside) Normal normal

Lapang penglihatan Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

Melihat warna Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

Ukuran Isokor, D 2mm Isokor, D 2mm

Fundus Okuli Tidak dilakukan

N.III, IV, VI ( Okulomotorik, Trochlearis, Abduscen )

Nistagmus - -

Pergerakan bola mata Baik ke 6

arah

Baik ke 6

arah

Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

Reflek Cahaya Langsung & Tidak Langsung + +

Diplopia - -

N.V (Trigeminus)

motorik

Mengunyah (m. Masseter) + +

Menggerakan Rahang (m. Temporalis) + +

9

Page 10: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Sensorik (kapas)

Oftalmikus + +

Maxillaris + +

Mandibularis + +

N. VII ( Fasialis )

Pasif

Kerutan kulit dahi : asimetris, kiri kerutan dahi terlihat datar

Kedipan mata : asimetris, kiri tidak dapat menutup sempurna

Lipatan nasolabial : asimetris, kiri lebih datar

Sudut mulut : asimetris, kiri lebih rendah

Aktif

Mengerutkan dahi : (+) (-)

Mengangkat alis : (+) (-)

Menutup mata : (+) (-)

Meringis : (+) (-)

Menggembungkan pipi : (+) (-)

Gerakan bersiul : (+) (-) sulit dilakukan

Daya pengecapan lidah 2/3 depan : tidak ditemukan kelainan

Hiperlakrimasi : tidak ditemukan

Lidah kering : tidak ditemukan

10

Page 11: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

N.VIII ( Vestibulokoklearis )

Tes pendengaran (cockhlearis) Tidak dilakukan

Tes keseimbangan (vestibularis) Tidak dilakukan

N. IX,X ( Vagus )

Perasaan Lidah ( 1/3 belakang ) Tidak Dilakukan

Refleks Menelan Baik

Refleks Muntah Tidak Dilakukan

N.XI (Assesorius)

Mengangkat bahu (m. trapezius) Baik

Menoleh (m. sternokleidomastoideus) Baik

N.XII ( Hipoglosus )

Pergerakan Lidah Baik

Disartria Tidak

Motorik:

a. Gerakan : gerakan abnormal (-)

b. Kekuatan : 5555 5555

5555 5555

c. Tonus otot : Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

11

Page 12: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

d. Trofi : Eutrofi Eutrofi

Eutrofi Eutrofi

Refleks fisiologis:

a. Ekstremitas atas

Refleks biseps : ++/++

Refleks triseps : ++/++

b. Ekstremitas bawah

Refleks patella : ++/++

Refleks archilles : ++/++

Refleks Patologis:

a. Hoffman Trommer : -/-

b. Babinski : -/-

c. Chaddock : -/-

d. Oppenheim : -/-

e. Gordon : -/-

f. Schaefer : -/-

g. Gorda : -/-

Pemeriksaan sensorik

Rangsangan raba : normoestesia/normoastesia

Rangsangan nyeri : normoalgesia/normoalgesia

Rangsangan suhu : tidak dilakukan

Propioseptif : normal

Diskriminasi dua titik : tidak dilakukan

Pemeriksaan Sistem Syaraf Otonom

BAB : normal

BAK : normal

Berkeringat : normal

12

Page 13: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Pemeriksaan Fungsi Luhur

Memory : baik

Kognitif : baik

Pemeriksaan Koordinasi

Disdiadokokinesis : baik

Tes telunjuk hidung : baik

II.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Tanggal 21 November 2015

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hemoglobin 12,6 gr/dL 12-14 gr/dL

Leukosit 7.900 u/L 5.000 – 10.000 u/L

Hematokrit 36 % 37-43 %

Trombosit 224.000 u/L 150.000-400.000 u/L

Glukosa Glukometer 119

Elektrolit

Natrium 142 mmol/L 135-145 mmol/L

Kalium 2,8 mmol/L 3.8-5.0 mmol/L

Chlorida 111 mmol/L 98-106 mmol/L

Tanggal 22 November 2015

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hemoglobin 12.6 gr/dL 12-14 gr/dL

Leukosit 7600 u/L 5.000 – 10.000 u/L

Hematokrit 38 % 37-43 %

Trombosit 226.000 150.000-400.000 u/L

Tanggal 22 November 2015

13

Page 14: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Cholesterol total 197 mg/dL < 200 mg/dL

Cholesterol HDL - direk 34 mg/dL 35-55 mg/dL

Cholesterol LDL- indirek 122 mg/dL < 160 mg/dL

Trigliserida 120 mg/dL < 200 mg/dL

Asam urat 3.3 mg/dL 3.4 – 7.0 mg/dL

Ureum 20 mg/dL 10-50 mg/dL

Kreatinin 0,8 mg/dL 0,5-1,5 mg/dL

2. Pencitraan

Rontgen Thorax :

Kesan : Cor dan Pulmo dalam batas normal

CT-Scan :

14

Page 15: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

- Tak tampak lesi hipo/hiperdens abnormal pada parenkim otak

- Sistem ventrikel dilatasi

- Sulci/gyri lebar dan dalam

- Air cell dan mastoid normal

Kesan : Brain Atrofi

3. Lain-lain : -

II.5 Resume

Seorang pasien wanita, berusia 53 tahun, datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 21 November

2015 dengan keluhan bibir mencong sebelah kanan sejak 1 jam sebelum datang ke rumah sakit.

Malam hari sebelum serangan terdapat rasa kesemutan disekitar bibir dan terpapar udara dingin.

Pusing berputar disangkal, nyeri kepala (+). Tidak ada riwayat trauma, lemah dibagian tubuh

lainnya disangkal, sulit menelan dan bicara pelo disangkal, BAB dan BAK baik.

15

Page 16: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Pada pemeriksaan fisik ditemukan lagoftalmus OS, dan kesan parase wajah sebelah kiri.

Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan foto

Rontgen paru dan jantung dalam batas normal dan pada pemeriksaan CT scan didapatkan kesan

Brain Atrophy

II.6 Diagnosis

Diagnosis klinis : Bell’s Palsy, Hipertensi grade II, Hipokalemia

Diagnosis etiologi : Idiopatik

Diagnosis topis : Paralisis N.VII perifer sinistra

Diagnosa patologis : proses inflamasi

Diagnosis Banding : Lyme disease

II.7 Penatalaksanaan:

1. Non medikamentosa

o Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan pengobatan yang

diberikan.

o Kompres air hangat pada bagian yang sakit +/- 20 menit

o Massage wajah kearah atas.

o Dianjurkan untuk menjalani fisioterapi.

o Mata ditutup saat tidur

16

Page 17: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

2. Medikamentosa :

Anti Hipertensi : Captopril 3 x 25 mg

Saraf : Meticobalamin 1 x 1

Citicholin 3 x 500 mg

Vitamin : Asam Folat 2 x 400 mg

II.8 Prognosis

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad fungsionam : Dubia ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam

17

Page 18: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis

Saraf fasialis merupakan saraf kranial terpanjang didalam tulang, sehingga sebagian

besar kelainan nervus fasialis terletak didalam tulang temporal. Perjalanan saraf ini dimulai

dari area motorik korteks serebri yang terletak pada girus pre-sentralis dan post-sentralis.

Sinyal yang berasal dari neuron pada area motorik korteks serebri dihantarkan melalui

fasikulus-fasikulus jalur kortikobulbar menuju kapsula interna kemudian melewati bagian

atas midbrain menuju batang otak bagian bawah untuk bersinapsis pada nukleus saraf fasialis

di pons.2,6

Perjalanan saraf fasialis dimulai dari intrakranial dari area motorik korteks serebri yang

terletak pada girus pre-sentralis dan post-sentralis. Saraf fasialis mempunyai dua nukleus

yaitu nukleus superior dan inferior. Nukleus superior dipersarafi korteks motoris secara

bilateral sedangkan nukleus inferior hanya disarafi dari satu sisi. Kedua serabut nukleus

berjalan mengitari nukleus saraf abdusen lalu meninggalkan pons bersama-sama dengan saraf

vestibulo-koklearis dan intermedius (Whrisberg) melewati sudut cerebelopontin kemudian

masuk kedalam tulang temporal melalui porus akustikus internus. Setelah berada didalam

tulang temporal, saraf fasialis akan berjalan dalam suatu saluran yang disebut kanal falopi

yang kemudian masuk ke os mastoid. Kemudian ia keluar dari tengkorak melalui foramen

stilomastoideus dan kemudian mempersarafi otot-otot wajah2,7

Saraf fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu6 :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae

(N.III), stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).

2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut

saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan

glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

18

Page 19: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian

depan lidah.

Gambar 1. Saraf kanial ketujuh (Fasialis)8

(cabang motorik biru, cabang aferen otonom hijau, eferen otonom jingga)

Nervus fasialis propius yaitu nervus tujuh murni mempersarafi otot-otot wajah, stapedius

ditelinga tengah, otot postaurikular dan posterior digastrikus. Nervus fasialis intermedius

(Whirsberg) merupakan nervus yang lebih tipis yang membawa saraf aferen otonom dan eferen

otonom. Aferen otonom mengantar impuls dari alat pengecap di 2/3 depan lidah. Sensasi

pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan

kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius. Eferen otonom

datang dari nucleus salivatorius superior yang terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson

dari nukleus ini berpisah di ganglion genikulatum dan diperjalanannya akan bercabang dua yaitu

ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke

kaudal dan menyertai korda timpani serta nervus lingualis ke ganglion submandibularis. Dari

19

Page 20: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

sana impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis yang akan merangsang

salivasi.9

Nervus fasialis dibagi menjadi 6 segmen10:

1. Intrakranial : cabang frontalis dari nervus fasialis menginervasi traktur kortikonuklear

kiri dan kanan. Sebelum nervus fasialis meninggalkan batang otak, serabut motorik

melingkar di nucleus abdusen dan membentuk genu internal saraf. Setelah melewati

batang otak, nervus fasialis memasuki porus akustikus internus dengan nervus

vestibulokoklearis.

2. Intrameatal : bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki porus akustikus

internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior melalui foramen meatal.

Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga disana saraf-saraf sering terperangkap

karena proses inflamasi.

3. Labirin : setelah melewti dan meninggalkan nervus pertrosal mayor, yang juga

merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula lakrimalis dan glandulua mumosa

nasalis. Nervus fasialis turun secara tajam di ganglion genikulatum membentuk genu

pertama.

4. Timpanik : segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga tengah.

Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis semisirkular. Segmen

timpanik dilapisi selunung tulang tipis.

5. Mastoid : di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu sekunder oleh aditus

ad antrum, membelok secara vertical kebawah membentuk sudut 90 derajat. Kemudian

menuju mastoid dan saluran bertulang ke foramen stilomastoid. Sebelum meninggalkan

foramen, nervus fasialis meninggalkan korda timpani, yang berjalan kembali ke telinga

tengah dan kemudian melewati foramen yang mengandung serabut sensoris pengecapan.

6. Ekstrakranial : setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki glandula parotis.

20

Page 21: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Gambar 2. Komponen serabut nervus fasialis10

III.2 Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut.

Didunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar

23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai sisi wajah kanan. Penderita diabetes mempunyai

resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita

dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda, yang berumur 10-19 tahun lebih

rentan terkena daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama. Penyakit ini mengenai

semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga

dan 2 minggu pasca persalinan, kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita

tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1

III.3 Etiologi

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh inflamasi pada nervus fasialis di ganglion

genikulatum. Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan kemungkinan bisa

menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Ganglion ini terletak di kanalis fasialis, persimpangan

segmen labirin dan timpani, dimana nervus fasialis berbelok ke foramen stilomastoideus. Secara

21

Page 22: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

umum, Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan

penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11

1. Infeksi Virus

Banyak kemiripan antara Bell’s palsy dengan neuropati lainnya yang disebabkan oleh

virus. Polio, mumps, Epstein-Barr dan rubella mempunyai manifestasi neuritik yang

progresif.

Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya Bell’s palsy

selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada nasofaring orang yang terkena

Bell’s palsy dalam fase akut. Virus ini predileksinya di ganglion sel sensoris dalam fase laten.

Nervus fasialis yang mengandung saraf sensoris terletak di ganglion genikulatum, dimana

apabila terjadi infeksi di nervus fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang dapat

mendasari terjadinya Bell’s palsy.3

Virus herpes simplex yang bereplikasi di sel ganglion akan menimbulkan kerusakan

setempat dan menyebabkan hipofungsi pada saraf tersebut. Kemudian hal ini dapat

diteruskan ke axon yang dapat menyebabkan radikulitis. Virus ini kemudian menginfeksi sel

schwann yang menyebabkan terjadi inflamasi dan reaksi imunologik. Infiltrasi limfositik

akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi pada mielin, demielinisasi dan kromatolisis.

Ketika inflamasi dan reaksi imunologik teratasi, maka terjadilah proses remielinisasi.12

2. Vaskular iskemik

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus fasialis. Nervus

fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri meningeal media

(sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan bahwa

terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis

menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis

dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang

disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12

22

Page 23: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari arteri stilomastoid

dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit

tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder

merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi

kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang

mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi

menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan

nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori

mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan

permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi

hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses

iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan efek

strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada Bell’s palsy.12

3. Herediter

Variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan terjadinya kelumpuhan

fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya kelumpuhan fasialis yang

rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus. Iskemik primer yang

terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa menyebabkan terjadinya

Bell’s palsy yang pemanen apabila tidak segera diatasi.12

23

Page 24: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Gambar 3. Etiologi Bell’s Palsy12

III.4 Patofisiologi

Patofisiologi pasti dari Bell’s palsy belum jelas. Nervus fasialis yang melewati tulang

temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori, proses edema dan iskemi dihasilkan

dari kompresi oleh nervus fasialis yang berada di tulang kanalis. Bagian pertama dari kanalis

fasialis, segmen labirin, merupakan bagian yang paling sempit, foramen meatal hanya

berdiameter 0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering dari terjadinya kompresi nervus

fasialis pada Bell’s palsy. Mengingat ketatnya batas kanalis fasialis, sangat logis sekali

bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau proses kompresi dapat menghambat konduksi

pada nervus fasialis.1

Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan

penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11

Infeksi virus atau kerusakan pembungkus myelin ke nervus kranialis tujuh dapat

menyebabkan gangguan konduksi. Infeksi virus dapat menyebabkan inflamasi yang

biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan mengakibatkan kompresi atau

penekanan pada kanal falopi pada segmen labirin yang akan mengakibatkan terjadinya

24

Page 25: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

infark. Kerusakan pada pembungkus myelin dapat menyebabkan gangguan seperti

terhambatnya penghantaran sinyal dari otak ke otot-otot fasialis. Gangguan ini dapat juga

disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti Lyme Disease, diabetes mellitus, tumor, HIV,

chickenpox atau trauma di wajah yang dekat dengan nervus fasialis.12

Bell’s palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus fasialis.

Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri meningeal

media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan bahwa

terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis

menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis

dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang

disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12

Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari arteri stilomastoid

dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit

tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder

merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi

kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang

mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi

menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan

nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori

mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan

permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi

hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses

iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan efek

strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada Bell’s palsy.12

Selain itu, variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan terjadinya

kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya kelumpuhan

fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus.

Iskemik primer yang terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa

menyebabkan terjadinya Bell’s palsy yang oemanen apabila tidak segera diatasi.12

25

Page 26: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

III.5 Manifestasi klinis

Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam, nyeri dibelakang

telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini muncul secara tiba-tiba atau

akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah setelah bangun tidur. Rata-rata setengah dari

kasus ini, kelumpuhan dirasakan hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya

seluruh kasus kelumpuhan dirasakan selama 5 hari.13

Gambar 4. Manifestasi

klinis Bell’s palsy1

Manifestasi motorik13 :

Bell’s palsy biasanya mengalami kelemahan pada satu wajah. Kelemahan bersifat luas,

mulai dari tidak bisa menutup sebelah mata.

Alis turun

Ektropion pada kelopak bawah

Synkinesis

Manifestasi sensorik:

Gangguan mengecap

Nyeri dibelakang telinga

26

Page 27: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Manifestasi parasimpatik:

Penurunan produksi air mata

Hipersalivasi

Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks, kerusakan

atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah. Penyakit

ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala

yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup

dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu

bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya hiperakusis

(sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan

melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari.

Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap

sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi

menghilang, Tampak seperti orang letih, Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit

berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang

berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air

liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif

terhadap cahaya.13

Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada

awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok

gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis,

kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak

matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau

meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh.13

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi14 :

a. Lesi di luar foramen stylomastoideus

27

Page 28: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan

gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan kulit dahi

menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur

mata akan keluar terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, ditambah

dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi

yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya

nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana

korda timpani bergabung dengan nervus fasialis (N.VII) di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di

kanalis fasialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi di kanalis

fasialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.

Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.

e.Lesi di daerah meatus acusticus interna

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di kanalis

fasialis, lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih tinggi lagi,

ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus vagus (N.X).

f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis (N.VII) dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya

nervus trigeminal (N.V), nervus vagus (N.X), dan kadang-kadang juga nervus abdusen

(N.VI), nervus aksesorius (N.XI), dan nervus hipoglosal (N.XII).14

28

Page 29: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis dilakukan beberapa

pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius, tes gustometri dan tes

salivaasi.

Tes Schirmer

Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus dengan menilai

fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal menunjukkan kerusakan pada

Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialisdi proksimal ganglion

genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat menybabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada

kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.

Pemeriksaan Refleks Stapedius

Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf fasialis.

Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis

lainnya. Pada pasien Bell’s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal

menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.

Tes Gustometri

Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani dengan menilai

pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin. Tes ini sangat

subjektif. Disamping fungsi pengecapan, korda timpani juga berperan pada fungsi

salivasi. Kita dapat menilai fungsi dari duktus wharton’s dengan mengukur produksi

saliva dalam 5 menit.

Tes Salivasi

Produksi saliva berkurang dapat diprediksi korda timpani tidak berfungsi dengan

baik. Menurut beberapa literatur, pada kasus Bell’s palsy sering terdapat kesenjangan

topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi lakrimasi

sedangkan refleks stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi

lakrimasi dan refleks stapedius mengalami gangguan namun fungsi salivasinya normal.

Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demielinisasi disepanjang

perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer.

29

Page 30: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Blink Reflex

Blink reflex merupakan tehnik elektrofisiologi untuk mengevaluasi pasien dengan

keterlibatan nervus trigeminal dan fasialis, demielinisasi polineuropati dan lesi sentral di

batang otak.15

Sama dengan refleks cornea.

Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut motorik.

Stimulasi saraf supraorbital15 :

Pasien berbaring pada sebuah tempat tidur dengan mata tertutup.

Elektroda yang aktif diletakan dibagian lateral dari m. Orbikularis okuli atau

ditempelkan pada hidung dan dagu

Elekteroda dasar diletakkan dileher atau dahi

Respon dari refleks:

Komponen R1à Periodenya lebih dari 13 ms disebut abnormal. Perbedaan antara

sisi periodenya harus kurang dari 1,2 ms.

Komponen R2 à Jika periode ipsilateral dan kontralateral lebih dari 14 ms

dikatakan tidak normal.

Respon dari R1 : Adanya ketiadaan atau perlambatan mengindikasikan adanya gangguan

dari nervus trigeminus atau fasialis.

Respon dari R2 : Keterlibatan dari R2 mengindikasikan tempat dari lesi ketika R1

abnormal. Lesi saraf trigeminus memiliki ciri adanya keterlambatan bilateral atau

kelemahan dari R2 ketika terjadi stimulasi dari sisi wajah yang terpengaruh. Lesi saraf

fasialis memiliki ciri adanya keterlambatan pada R2 pada sisi yang terkena, biarpun

adanya rangsangan dari sisi kiri atau kanan jika lesinya ada dikanan tetap kanan yang

terkena.15

30

Page 31: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Gambar 5.

Respon blink normal15

III.6 Pemeriksaan penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan

untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis

dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis

tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis,

atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan

penyengatan kontras saraf fasialis.15

Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai

prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan

dekompresi elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan

elektroneurografi (ENOG). Selain itu pemeriksaan pada Bell’s palsy dapat pula dilakukan

pemeriksaan uji stimulasi maksimal.17

3. Elektromiografi (EMG)

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk

menentukan perjalanan respon reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai

31

Page 32: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan

suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah

paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial

denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukan kepulihan sebagai

serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.17

3. Elektroneuronografi

ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan

stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.

Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila

dibandingkan dengan sisi lainnya dama sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang

secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat

penyembuhan tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu

mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.17

3. Uji stimulasi maksimal

Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakan sonde ditekankan pada wajah di

daerah nervus fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 mA, atau sampai

pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi dan bibir bawah diuji

dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan didaerah-daerah ini menunjukan

suatu respon normal. Perbedaan respon yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang

lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi

kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25% dari arus yang digunakan pada sisi

yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari 92% persen menderita Bell’s palsy kembali dapat

melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami

pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bntuk pengujian yang

paling dapat diandalkan adalah uji funsgi saraf secara langsung.17

III.7 Penatalaksanaan

A. Medikamentosa

2. Agen antiviral.Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya

pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena

32

Page 33: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.1

Nama obat Acyclovir (Zovirax)–menunjukkan aktivitas hambatan langsung

melawan HSV-1, HSV-2 dan sel yang terinfeksi secara selektif.

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat

memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas

acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah

dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau menggunakan obat yang bersifat

nefrotoksik.

Tabel 1. Obat Bell’s palsy antiviral1

2. Kortikosteroid.

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu kontroversi.

Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian

steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk

memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus

segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/

hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya

dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang

kesembuhan pasien.18

33

Page 34: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek

farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya,

yang menurunkan kompresi nervus fasialis di kanalis

fasialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,

jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler;

penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit

gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan

klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat

menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;

fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan

metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis

pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian

bersama dengan obat diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat

memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat

menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,

osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung,

hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia

gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul

dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

34

Page 35: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Tabel 2. Obat Bell’s palsy kortikosteroid18

B. Non-medikamentosa

1. Perawatan mata

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy. Sehingga pada mata

beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air

mata pengganti dan pelindung mata.18

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata yang kurang

atau tidak ada.

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi kekeringan

dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung dengan kornea.18

2. Fisioterapi

Fisioterapi biasa dilakukan pada Bells palsy stadium akut atau bersamaan dengan

pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang

lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan

jarak 2 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi

aktif dari otot dan sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Disamping itu dapat

dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.

3. Operatif

Terapi pembedahan seperti dekompresi saraf hanya dilakukan pada kelumpuhan yang

komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurografi menunjukan penurunan amplitudo lebih dari

90%. Karena lokasi lesi saraf ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan

dilakukan melalui pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat

pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.

4. Konsul

Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.

Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai

pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah

sebagai berikut18:

35

Page 36: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan tanda-tanda

yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.

Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang abnormal pada

pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.

Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot wajah yang

lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.

Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus fasialis kadang dianjurkan untuk pasien

dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus fasialis atau

paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.18

III.8 Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas

kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh

pasien.19

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.

Bagian terbesar dari nervus fasialis terdiri dari serabut saraf eferen yang merangsang otot-otot

ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat

terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.

Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air mata berlebihan), dan

(3) obstruksi nasal.

b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.

Dysgeusia (gangguan rasa).

Ageusia (hilang rasa).

Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus normal).

c. Reinervasi aberan dari nervus fasialis.

Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus fasialis dimulai dengan regenerasi dan proses

perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat berhubungan dengan

serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak

normal.

36

Page 37: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan involunter (seperti gerakan

menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan

involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebut synkinesis.

III.9 Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko

yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah1:

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam

waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau

lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.

Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen

antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan,

maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang

spasme hemifasial.20

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita

nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus

Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita.

Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar

parotis.20

37

Page 38: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

BAB IV

KESIMPULAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan

idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan

iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan

inspeksi. Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam, nyeri dibelakang

telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini muncul secara tiba-tiba atau akut, dan

kelumpuhan diwajah sebelah setelah bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus ini, kelumpuhan

dirasakan hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh kasus kelumpuhan

dirasakan selama 5 hari.

Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan antiviral

dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s

palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

38

Page 39: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

DAFTAR PUSTAKA

1. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 8 Juni 2015. Terdapat pada:

www.emedicine.medscape.com/article/1146903-overview .

2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus fasialis perifer.

Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. 7 th ed. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.

3. Myers EN. Operative Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 2nd ed. London:

Saunders; 2008.p.1257-69.

4. Finsterer J. Management of peripheral facial palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol

2008;265:743-52.

5. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174.

6. May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR. editors. The

facial nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.

7. Patel AA. Facial Nerve Anatomy. Diakses 9 juni 2015. Terdapat pada:

www.emedicine.medscape.com/article/835286-overview .

8. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy diagnosis dan tatalaksana dilayanan primer. J Indon

Med Assoc. 2012:62;32-7.

9. Pereira C, Santos E, Monteiro J, Morais A, Santos CT . Peripheral F.ial Palsy: Anatomy

And Physiology. An Update. The Internet Journal of Neurosurgery. 2004.

10. Probs R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology A step-by-step learning guide.

New York: Thieme. p.290-2.

11. Tiemstra JD. Khatkhate N. Bells palsy: Diagnosis and management. Am Fam Physician.

2007: 1;76(7):997-1002.

12. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee; 2012.p.30-45.

13. Herkovitz S, Scelsa S, Schaumburg H. Peripheral Neuropathies in Clinical Practice.

USA: Oxford University Press;2010.p.340-1.

39

Page 40: Case Report Bell's Palsy by Hilya Jaehee

14. Lalwani AK. Current diagnosis and treatment otolaryngology-head and neck surgery. 2nd

edition. New York: McGraw-Hill. 2007.

15. Preston DC. Shapiro BE. Electromiography and neuromuscular disorder: Clinical

electrophysiologic correlations. London: Saunders; 2012.p.643.

16. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of electroneurography

and electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 2008;118:394-7.

17. Maisel R, Levine S. Gangguan saraf fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT 6 th

ed. Jakarta: EGC, 1997.

18. Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and antivirals for

Bell palsy: Report of the Guideline Development Subcommittee of the American

Academy of Neurology. Neurology. Nov 7 2012;[Medline].

19. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Rugierro DA. Cranial nerves and chemical

senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and function. 6th

ed. New Jersey: Human press; 2005. p. 253.

20. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George

Thieme Verlag: German, 2003. p.98-99.

40