Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

download Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

of 42

Transcript of Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    1/42

    Babi Yar

    Senin, 02 Juni 2014

    Pada 1961, Yevgeny Yevtushenko menulis sajak tentang orang-orang yang terbunuh di

    jurang panjang yang suram di timur laut Sungai Dnieper:

    Akulah tiap orang tua

    yang di sini

    ditembak mati

    Akulah tiap anak

    yang di sini

    ditembak mati

    Dua puluh tahun sebelumnya, di jurang di Ukraina itu, di Babi Yar, hampir 34 ribu orang

    Yahudi-termasuk anak-anak, orang tua, perempuan-dibunuh pasukan Jerman hanya dalam

    waktu dua hari, 29-30 September 1941.

    Yevtushenko bukan Yahudi; sajak itu, "Babi Yar", menyatakan, "dalam diriku tak ada darah

    Yahudi." Tapi ia menggugat apa yang terjadi di tempat itu sebagai kebuasan yang sedang

    dilupakan-dan dengan demikian juga kebuasan lain di masa lalu yang tak diakui. Penyair

    Rusia ini menuliskan sajaknya setelah Stalin mangkat dan orang bisa membacanya sebagai

    pengingat kekejaman yang pernah terjadi di masa lalunya sendiri-sebagaimana kita di

    Indonesia akan bisa membacanya dengan ingatan yang mirip.

    Tentu, pembantaian Jerman terhadap orang Yahudi tak terbandingkan-karena tiap kekejaman

    sebenarnya tak bisa dibandingkan. Seperti yang di Babi Yar itu. Seorang sopir truk pasukan

    Jerman yang berada di tempat itu menceritakan kesaksiannya:

    Setelah ditelanjangi, orang-orang Yahudi itu digiring ke dalam jurang, melalui dua atau tiga

    celah masuk. Ketika mereka sampai di dasar, para petugas Schutzpolizei mendorong mereka

    agar berbaring di atas mayat orang-orang yang baru saja ditembak. Semua terjadi dengan

    cepat. Mayat itu berlapis-lapis. Seorang polisi datang dan menembak leher tiap orang Yahudi

    di tempat ia terbaring dengan senapan semi-otomatis. Begitu satu orang Yahudi tewas, si

    penembak akan berjalan melintasi tubuh orang mati itu untuk menembak korban yang lain.

    Ini berlangsung tanpa henti, dan semua-laki-laki, perempuan, anak-anak-dihabisi. Anak-anakdibaringkan dekat ibu mereka dan ditembak bersama-sama.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    2/42

    Tapi, dengan kekejaman yang membunuh hampir 34 ribu orang dalam dua hari, yang tak

    terbandingkan itu tetap memergoki kita dengan pertanyaan tentang manusia pada umumnya:

    sebuas itukah makhluk ini?

    Dari sejarah Jerman, jawabnya bisa bermacam-macam. Ada kebencian rasial kepada mereka

    yang berbeda, dan sejak sekian abad yang lalu yang berbeda itu berarti Yahudi. Ada perasaan

    bangsa yang terhina dan rakyat yang menderita setelah kekalahan dalam Perang Dunia I,

    disertai kerinduan akan negara kuat, pemimpin yang kuat, dengan dendam yang berkobar.

    Tapi, dengan sebab-musabab yang khas Jerman seperti itu, Hitler dan rezimnya tetap ingin

    diakui sebagai bagian dari sesuatu yang universal. Sang Fuehrer percaya bahwa kehidupan

    pada dasarnya bengis: "Hukum kehidupan di dunia," kata Hitler dalam sebuah jamuan siang

    10 Oktober 1941, "mengharuskan pembunuhan yang terus-menerus, agar mereka yang

    mutunya lebih baik bisa hidup."

    Yang merisaukan adalah bahwa pembunuhan memang terjadi di tempat lain, dilakukan

    bangsa lain-seakan-akan sejarah tak bisa berubah, manusia pada dasarnya bengis, dan Hitler

    membawakan tata normatif yang benar: "hukum"-nya layak sebagai hukum, bersifat kekal,

    dan berlaku di mana saja.

    Tapi kita ingat: ia menyebut "kehidupan". Kehidupan berubah. Beberapa kekejaman yang

    terjadi bukanlah sekadar versi baru dari thema yang itu-itu juga. Hitler sendiri berada dalam

    zaman yang lain dari zaman Genghis Khan, misalnya, dengan ambisi dan hasrat yang lain dan

    cara-cara melaksanakan hasrat yang lain pula.

    Maka ketika ia mengemukakan bahwa pembunuhan adalah "hukum kehidupan", ia

    sesungguhnya mencoba menghalalkan kekejaman dan pembinasaan yang dirancang dan

    dilaksanakannya. Ia seperti hendak mengatakan, "Aku tak bersalah, aku hanya menjalankan

    apa yang sudah ada dan akan ada terus dalam sejarah manusia."

    Yang tak diakuinya ialah bahwa ia perlu mengajukan apologi itu (atas nama "hukum

    kehidupan") karena ada sesuatu yang lain, yang berada di luar "kehidupan" yang dilihatnya:

    ada suatu tata normatif yang berbeda, sesuatu yang belum ditaklukkannya.

    Dan itulah yang kemudian terbukti. Tata normatif Hitler tak bisa bertahan, bukan hanya

    karena ia kalah perang. Sajak Yevtushenko menuturkan: bila kekejaman menemukan

    sekutunya di masa lain, di tempat lain, demikian juga sang korban. Sang "aku" yang merasa

    senasib dengan mereka yang dibantai di jurang Babi Yar juga melihat dirinya di tempat

    pembunuhan yang jauh, di sebuah hari yang jauh:

    Dan di sini, pada salib, aku mereka musnahkan dalam siksa,

    Dan sisa paku itu di tubuhku masih ada

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    3/42

    Dengan kata lain, kepada kekejaman baru akan selalu ada gugatan baru. Juga orang-orang

    yang berkata "tidak" secara baru.

    Goenawan Mohamad

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    4/42

    Dolly

    Minggu, 01 Juni 2014

    Putu Setia

    Mari lupakan sejenak soal capres-cawapres. Meski segera memasuki masa kampanye, urusan

    copras-capresyang riuh selayaknya diselingi urusan lain. Saya tawarkan Dolly. Bukan kisah

    Dolly Parton dan juga tak menelusuri Tante Dolly yang mewariskan Gang Dolly itu. Ini

    cerita tebak-tebakan apakah upaya Ibu Tri Rismaharini berhasil menutup lokalisasi Dolly.

    Gang Dolly begitu populer. Lokalisasi yang berada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan

    Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, ini akan ditutup oleh Wali Kota Surabaya Risma pada 19

    Juni nanti, 10 hari sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Apakah Risma, wali kota dengan

    seabrek penghargaan, berhasil menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu? Apa pun

    hasilnya, ini berita penting, sepenting berita Piala Dunia di Brasil, dan jauh lebih penting dari

    kampanye capres yang bikin bodoh rakyat itu.

    Bisnis esek-esekdi Dolly dilayani lebih dari seribu wanita pelacur. Mau angka lebih pasti, ini

    catatan bulan lalu: ada 1.187 pelacur dengan 311 muncikari. Angka itu melonjak dibanding

    akhir 2012 sebesar 1.022 pelacur dan 292 muncikari. Jadi, pertumbuhannya meyakinkan

    setiap tahun. Wali kota sebelum Risma gagal terus menutup Dolly. Wali kota Bambang Dwi

    Hartono, misalnya, hanya berhasil menahan pertumbuhan Dolly dengan membatasi jumlah

    pelacur di tiap wisma.

    Kini Risma tegas menutup Dolly, tapi tidak kejam, apalagi melanggar HAM. Tak ada wanita

    penghibur ataupun muncikari yang diculik. Risma melakukan dialog berkali-kali dan

    menjanjikan modal usaha kepada setiap pelacur setelah melakukan serangkaian pembinaan.

    Tak ada janji-janji untuk jabatan atau lapangan pekerjaan tertentu bagi yang lain, seperti

    tukang parkir, muncikari, dan para preman. Tak ada janji, misalnya, kalau Dolly berhasilditutup, tukang parkir itu akan ditampung di tempat lain dengan status "tukang parkir utama".

    Langkah Risma tidak mulus. Muncul koalisi penentang penutupan Dolly dari ormas dan LSM

    dadakan. Koalisi ini adalah gabungan masyarakat sekitar yang sehari-hari mencari nafkah di

    gang yang kini sudah tak mirip gang itu. Alasannya, rezeki terganggu, bahkan menjadi

    pengangguran lantaran sulit mencari kerja. Jadi, koalisi yang semata-mata urusan cari makan.

    Hebatnya, koalisi ini didukung juga oleh sejumlah "intelektual" yang mungkin sakit hati

    kepada Risma dengan alasan yang "ilmiah". Misalnya, kalau Dolly ditutup, bagaimana jika

    pelacur itu bergentayangan ke jalan-jalan, bukankah lebih sulit mengontrol kesehatannya?

    Penutupan Dolly hanya membikin resah kota lain yang akan menampung wanita yang terusir

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    5/42

    itu. Dan mereka pun menyebut Lamongan, Tuban, juga Bali, akan terkena dampak sistemik

    dari tutupnya Dolly.

    Risma tetap konsisten, ora mikirdengan alasan itu. Ibu yang dijuluki Singa Kota itu punya

    alasan lebih manusiawi: memutus generasi yang merendahkan harga diri dengan menjual

    tubuh. Risma mengulang senjatanya yang terkenal ampuh, mengaku menangis dan miris

    ketika menyaksikan kehidupan di Gang Dolly, melihat anak-anak kecil dan usia remaja

    berada dalam "kawah prostitusi". Dan Risma pun bicara dalam bahasa agama yang

    sederhana: mbokmencari nafkah di jalan yang halal, jadilah wanita terhormat.

    Saya tak tahu siapa nanti yang menang, seperti juga saya sulit menebak siapa yang menang di

    Brasil, serta siapa yang menang menjadi presiden, Jokowi atau Prabowo. Tapi, kalau Tuhan

    memihak kebenaran, orang-orang jujur, ikhlas dan sederhana, bekerja sesuai dengan perintah

    agama, dialah yang lebih besar menang. Dolly mungkin berhasil ditutup seperti Kramat

    Tunggak di Jakarta, lenyap tanpa bekas.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    6/42

    Teknologi dan Keamanan Pangan

    Senin, 02 Juni 2014

    Clive James, Pendiri the International Service for the Acquisition for Agri-biotech

    Applications

    Pada 2050, populasi dunia diperkirakan akan mencapai lebih dari 9 miliar jiwa, di mana 60

    persen dari total tersebut, atau sekitar 5 miliar jiwa, berada di Asia. Ini berarti, Asia-sebagai

    benua dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia-akan menghadapi tantangan terbesar

    dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Sayangnya, komoditas makanan pokokmasyarakat, seperti beras, gandum, dan jagung, jumlah produksinya masih berada jauh di

    bawah yang seharusnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, negara-

    negara di Asia harus mampu meningkatkan produksi pertanian secara signifikan.

    Kenyataannya, pemenuhan permintaan atas kebutuhan makanan yang berkelanjutan semakin

    sulit. Air dan lahan subur dinilai semakin langka. Area tanah lebih banyak digunakan untuk

    industri ketimbang pertanian. Investasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian juga

    terkesan lamban, belum lagi kondisi pemanasan global yang menyulitkan proses untuk

    menghasilkan makanan. Semua hal ini menjadikan keamanan pangan sebagai prioritas

    agenda kebijakan pemerintah di negara-negara Asia.

    Bioteknologi dipandang sebagai salah satu solusi paling tepat untuk mengatasi masalah

    tersebut. Selain mampu meningkatkan produktivitas, bioteknologi dapat menyokong produksi

    tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim seperti yang dialami oleh sebagian besar

    negara di Asia, termasuk Indonesia. Hal ini karena bioteknologi memiliki dua keuntungan-

    ketelitian serta kecepatan-sehingga menjadikannya salah satu metode paling efektif untuk

    mengidentifikasi gen dengan karakteristik berbeda dalam waktu singkat, seperti gen untuk

    meningkatkan produktivitas atau toleransi terhadap penyakit tanaman.

    Berdasarkan laporan terbaru International Service for the Acquisition of Agri-Biotech

    Applications (ISAAA), jumlah daerah yang mengadopsi tanaman biotek secara global

    meningkat lebih dari 100 kali lipat dari 1,7 juta hektare pada 1996 menjadi lebih dari 175 juta

    hektare pada 2013. Angka ini menjadi bukti tingkat ketahanan serta manfaat dari penerapan

    bioteknologi bagi petani dan konsumen.

    Pada 2013, jumlah petani yang menanam tanaman biotek di negara berkembang telah

    mencapai 18 juta. Angka ini meningkat dibanding pada 2012, yaitu 17,3 juta, dengan lebih

    dari 90 persen di antaranya, atau kurang dari 16,5 juta, merupakan petani miskin. Selainkeuntungan ekonomis, petani memperoleh dampak positif lain, yaitu dari berkurangnya

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    7/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    8/42

    Kecamuk dalam Damai

    Senin, 02 Juni 2014

    Achmad Fauzi, Alumnus UII Yogyakarta

    Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X baru saja

    menerima penghargaan dari Jaringan Antariman Indonesia sebagai tokoh peduli kebebasan

    beragama (23/5). Sebagai kepala daerah, Sultan dinilai memiliki komitmen besar melindungi

    hak asasi kaum minoritas melalui program non-diskriminatif dan menunjang terciptanya

    kondisi kebebasan beragama. Kebijakan Sultan seolah menjadi antitesis dari menjamurnyaperaturan daerah di beberapa tempat yang cenderung diskriminatif dan menindas kelompok

    agama tertentu. Misalnya ihwal pendirian tempat ibadah, pengusiran kelompok tertentu yang

    difasilitasi pemda, dan sebagainya.

    Yogyakarta juga dianggap sebagai miniatur kota perdamaian karena keberhasilannya

    mengelola konflik horizontal secara adil serta memberi jaminan konstitusional bagi seluruh

    penganut agama dan kepercayaan untuk melaksanakan ibadah, tanpa intimidasi. Dua kepala

    daerah lainnya yang turut memperoleh penghargaan antara lain Gubernur Kalimantan Selatan

    Rudy Ariffin dan Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif.

    Namun, tak berselang lama, iklim toleransi di DIY terusik oleh peristiwa penyerangan rumah

    Direktur Penerbitan Galang Press, Julius Felicianus, di Kecamatan Ngaglik, Sleman (29/5).

    Ikatan kebinekaan terberai. Sekelompok preman berjubah secara membabi-buta menyerang

    jemaah yang sedang melakukan doa rosario menggunakan potongan besi dan alat setrum.

    Beberapa anggota jemaah terluka, wartawan, termasuk Julius Felicianus.

    Kejadian ini mengindikasikan bahwa di zona yang notabene memiliki tingkat toleransi dan

    kesantunan berbudaya tinggi juga tersimpan bara intoleransi yang siap meledak setiap saat.

    Ada kecamuk dalam damai. Hal inilah yang dikhawatirkan Sultan ketika menerimapenghargaan di Sentani, Papua, beberapa waktu lalu. Sultan mengatakan multikultularisme

    adalah fenomena yang alami di Indonesia. Sehingga jangan hanya dipahami dari aspek

    positifnya. Sisi gelap reformasi, yaitu munculnya kelompok masyarakat yang cenderung

    intoleran dan antidemokrasi, juga harus diwaspadai segenap unsur pimpinan dan masyarakat.

    Kini, Sri Sultan ditantang menunjukkan peran dan keberpihakannya kepada pihak-pihak yang

    menjadi korban kekerasan. Penegak hukum perlu terus didorong untuk menangkap pelaku,

    mengungkap motif, serta menghukum seberat-beratnya agar peristiwa serupa tak terjadi lagi.

    Sebagai tokoh dan pemimpin karismatik yang memiliki legitimasi kultural di Yogyakarta,Sultan diharapkan mampu meredam gejolak sosial yang bermuara pada penggunaan

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    9/42

    kekerasan.

    Tak ada agama mana pun yang membenarkan kekerasan sebagai jalan lurus menuju surga.

    Kekerasan adalah neraka bagi kehidupan. Barangsiapa menaklukkan kelompok lain dengan

    cara tuna adab dan mengalpakan etika kemanusiaan, maka baginya semua kutukan, dosa, dankenistaan. Tapi kenapa kekerasan berbau agama selalu muncul?

    Terus berulangnya penyerangan terhadap kelompok yang sedang beribadah menandakan

    bahwa masyarakat belum mampu menerjemahkan diri di tengah kehidupan beragama yang

    berbeda. Budaya ketertutupan masih dipelihara meski menyimpan sejuta prasangka. Karena

    curiga, maka setiap kegiatan suatu agama dipersepsikan sebagai ancaman bagi agama lain.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    10/42

    Anak-anak

    Senin, 02 Juni 2014

    Bagja Hidayat,@hidayatbagdja

    Anak-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua. Tuhan

    mengedutkan rabu tiap janin sebagai sebuah pesan. Ia belum jera dengan manusia. Tapi di

    titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pilihan,

    sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Dan ini "bulan anak-anak" di abad

    ke-21, sebuah masa yang kian rumit dan tak terduga-masa depan tak cukup hanyadirencanakan.

    Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18 tahun, meski ia sendiri

    kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang

    akan memelencengkannya jadi orang suci. Tak aneh jika istrinya menolak cara Gandhi

    mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orangzuhudsebelum waktunya.

    Anak-anak melihat pertentangan-pertentangan yang diciptakan para orang tua. Mereka

    melihat bagaimana orang tua-orang tua membentuk dunia yang mereka inginkan. Orang-orang dewasa menciptakan mainan, seolah anak-anak adalah bentuk orang dewasa yang lebih

    kecil. Mereka membuat miniatur traktor, mobil truk, pesawat, dengan harapan anak-anak

    berimajinasi tentang dunia orang dewasa. Anak-anak tak didorong mencipta mainan-mainan

    sesuai dengan imajinasinya.

    Pilihan, harapan, kebutuhan yang diciptakan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para

    cerdik-cendikia membuat pepatah: hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula

    hidup yang dahsyat. Betapa ganjil kalimat ini. Mimpi itu bukankah justru akan membatasi

    kita membuat hidup menjadi dahsyat? Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.

    Ia khawatir Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan

    melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan

    anaknya yang mustahil, meski ia toh ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya.

    Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu angsa, lalu merakitnya. Dengan gagal dan coba-

    coba, sayap itu jadi juga.

    Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan

    ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa

    akan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayap angsanya merotolsatuper satu. Ikarus jatuh dan tak tahu jalan pulang. Maka, dalam mitos ini, kecemasan orang tua

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    11/42

    terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.

    Di titik itulah konflik dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di

    luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi

    logikanya sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutanDaedalus. Sejarah logika manusia pun turun-temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah

    menjadi logika Ikarus. Dan, barangkali, mitos ini juga diciptakan oleh-dan memakai

    kacamata-Daedalus, para orang tua.

    Karena itu, sejarah sering kali terasa berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang

    sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga. Pertanyaan paling purba yang terus-

    menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau

    manusia yang menciptakan sejarah? Jawabannya mungkin datang dari anak-anak, mereka

    yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    12/42

    Membangkitkan Kembali Sukarno

    Selasa, 03 Juni 2014

    Arif Novianto, Peneliti Politik di Bulaksumur Empat, Yogyakarta

    Sumbangsih Sukarno terhadap negara dan bangsa Indonesia tidak lagi dapat terhitung

    nilainya. Sukarno tidak hanya dikagumi oleh bangsa Indonesia semata, tapi juga masyarakat

    internasional. Pemikiran Sukarno tentang penolakan terhadap neo-imperialisme dan neo-

    kolonialisme yang digelorakan di berbagai forum internasional telah membuatnya menjadi

    salah satu pionir perjuangan bangsa terjajah dalam merebut kemerdekaan. Selain itu, Sukarnoadalah penggali ideologi negara Indonesia: Pancasila. Karismanya yang begitu besar telah

    membuatnya disegani. Keberaniannya telah membuat negara-negara lain gentar.

    Setelah Sukarno dilengserkan dari tampuk kekuasaan dan digantikan oleh Soeharto sebagai

    presiden pada 1966, proses desukarnoisasi pun dijalankan oleh pemerintah Orde Baru ini

    secara masif selama 32 tahun. Semua yang berbau Sukarno pun dikebiri. Bahkan, pemikiran

    Sukarno tentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme yang menginspirasi perjuangan

    masyarakat dunia dihilangkan paksa dari diskursus ilmu sosial dan politik di lingkungan

    pendidikan.

    Kini simbolisasi politik Sukarno kembali berusaha dibangkitkan oleh dua kandidat presiden

    Indonesia dalam kampanye pemilihan presiden pada tahun ini, yaitu Prabowo Subianto dan

    Joko Widodo. Prabowo bahkan menasbihkan diri sebagai Sukarno Kecil. Simbolisasi politik

    Sukarno dengan tendensius diselipkan dalam penampilannya di depan publik. Hal ini dimulai

    dari mikrofon era 1950-an seperti yang sering digunakan Sukarno saat pidato kenegaraan,

    model pakaian ala pejuang kemerdekaan, hingga gaya pidatonya di depan publik.

    Selain itu, pemikiran Sukarno tentang sikap nasionalisme serta penolakan terhadap neo-

    imperialisme dan neo-kolonialisme sering digelorakan oleh Prabowo. Bahkan, seperti halnya

    Sukarno, Prabowo mengkritik demokrasi liberal dan neoliberalisme. Padahal, bila merujuk

    sejarahnya, Prabowo adalah bagian dari Orde Baru yang sangat anti terhadap Sukarnoisme.

    Aktivisme yang dijalankan oleh Prabowo pun sangat bertolak belakang dengan sikap

    Sukarnoisme yang berusaha dibawakannya akhir-akhir ini.

    Adapun Jokowi tidak menggunakan simbol pembawaan dari Sukarno seperti yang dilakukan

    oleh Prabowo. Kedekatannya dengan Megawati (Ketua PDIP), yang merupakan putri sulung

    dari Sukarno, telah turut mempengaruhi program politik yang ditawarkannya.

    Konsep Trisakti yang merupakan visi-misi utama dari Jokowi ini di dalam mengarungi proses

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    13/42

    pemilihan presiden nantinya merupakan konsep yang dicetuskan oleh Sukarno pada 1963.

    Hal ini menegaskan pandangan politiknya untuk membawa perjuangan Indonesia

    menghadapi neo-imperialisme dan neo-kolonialisme. Trisakti ini bagian dari paham

    Marhaenisme Sukarno, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan

    berkepribadian dalam budaya.

    Melihat berbagai upaya untuk membangkitkan kembali simbolisasi dan pemikiran Sukarno

    ini dapat dilihat sebagai dua hal. Pertama, sebagai alat politik, yaitu digunakannya Sukarno

    hanya sebagai "alat" semata untuk dapat mendompleng suara. Dan kedua sebagai idiologi

    politik, yaitu sebuah pegangan hidup yang berusaha dicapai melalui berbagai komitmen,

    program kerja, dan tindakan. Untuk itu, semoga kita cerdas di dalam memilih agar tak tertipu.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    14/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    15/42

    Juni 1945. Ingat, lirik mengandung pesan besar: "Pancasila dasar negara, rakyat adil makmur

    sentosa" Lihatlah, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa

    melantunkan dengan semangat. Mereka mesti bisa mewujudkan pesan dalam lagu Garuda

    Pancasila.

    Pemilihan presiden 2014 tak cuma pameran foto, slogan, baju, simbol, angka, dan peci.

    Persaingan meraih jabatan presiden tak bisa ingkar lagu. Kita sejenak mengartikan agenda

    demokrasi menggunakan referensi lagu. Kemauan untuk melantunkan lagu-lagu nasional dan

    kebangsaan dalam pelbagai acara tentu membuktikan ingatan atas sejarah pergerakan bangsa

    dan penghormatan bagi para komponis. Politik memerlukan lagu. Hasrat berkuasa mesti

    bernada. Lantunan lagu pun mengartikan kehendak memuliakan Indonesia, dari masa ke

    masa. Ingat, lagu tak melulu bagian dari upacara! Lagu adalah ekspresi berbangsa dan

    bernegara secara beradab.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    16/42

    Lawanlah Permulaannya!

    Selasa, 03 Juni 2014

    Seno Gumira Ajidarma, wartawan

    Mengapa militerisme yang diterapkan ke dalam dunia politik perlu mendapat pengawasan?

    Bagaimanakah faktor kekerasan, sebagai unikum dalam militerisme, akan (dapat)

    dihilangkan? Jawabannya terdapat dalam perbincangan totaliterisme.

    Seperti diketahui, totaliterisme merupakan monster, yang dalam sejarah telah dipraktekkanoleh Nasional-sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di

    Kamboja. Apakah bedanya pemerintahan totaliterisme dengan despotisme, tirani,

    kediktatoran, dan otokrasi?

    Suatu usaha teoretisasi atas totaliterisme berikut memang nyaris seperti menyamakannya: (1)

    ideologi totalistik; (2) partai diperkuat polisi rahasia dalam fungsi teror; (3) kontrol monopoli

    atas: (a) komunikasi massa; (b) persenjataan operasional; (c) organisasi rencana ekonomi

    terpusat (Friedrich dalam Barber, 1969: 126).

    Meskipun perumusan itu tampak sudah seperti totaliterisme, tetap saja mendapat kritik seperti

    ini: (1) hanya merupakan konsep relatif, yakni bisa sama saja dengan kediktatoran totaliter,

    yang seperti gejala politik lain, tidak merupakan istilah absolut; (2) masih mirip dengan

    konsep para tetangganya: otokrasi, kediktatoran, dan tirani, ketika seharusnya berbeda; (3)

    meskipun obyek teoretisasinya adalah pemerintahan dan rezim, perumusannya terlalu umum,

    sehingga bisa diterapkan bagi khalayak luas dan pemerintah aktual mana pun; (4) terbangun

    dalam formulasi sentimen moral, karena istilah "teror" dan "negara polisi" jelas

    mengimbaskan ketidaksetujuan (Orr dalam DeCrespigny & Cronin, 1975: 138-9).

    Jadi, apa yang luput dari teoretisasi itu, setelah polemik seru antara Hayes, Brzezinski,

    Friedrich, dan Schapiro, dalam diskusi khusus tentang totaliterisme, yang dianggap begitu

    perlu setelah melahirkan makhluk-makhluk mengerikan seperti Hitler, Stalin, dan Pol Pot?

    Hannah Arendt (1906-1975) memang telah mengusut asal-usul totaliterisme sebagai ideologi

    dalam sejarah, dimulai dari kasus antisemitisme, yang sangat menarik sebagai esai, tapi

    belum juga menjadi jawab atas pertanyaan: mengapa suatu rezim bisa menjadi totaliter?

    Penyelidikan dari sudut bahasa ternyata menemukan asal-usul yang relevan: istilah totaliter

    digunakan pertama kali di Jerman pada 1930, oleh Ernst Juenger, bagi pengertian mobilisasi

    militer! (Schapiro, 1972: 13). Dengan referensi ini, terbangun suatu "dalil": totaliter =mobilisasi militer. Apabila dalil ini dipertimbangkan bagi gagasan khalayak termobilisasi

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    17/42

    (mobilized society), ternyata hasil perumusannya mampu memisahkan pemerintahan totaliter

    dari sindroma sentralisasi rezim, seperti despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi.

    Dengan kata lain, sumber empirik totaliterisme adalah pengalaman perang modern. Dalam

    teoretisasi berikut, terlacak bagaimana militerisme telah menjadi sumbernya: (1) partaimonopolistik, tempat para perwira memiliki komando eksklusif; (2) khalayak massa sebagai

    bawahannya; (3) keterpisahan partai dan massa dikurangi sampai menjadi hubungan setara

    berdasarkan tujuan-dan penolakan atas "sesuatu"-bersama; (4) tujuan dan penolakan bersama,

    menghadirkan "musuh", baik eksternal maupun internal, kepada siapa "perang" dilancarkan,

    dimulai dari negara lain, revisionis, sampai kemiskinan; (5) suatu ideologi diperlukan untuk

    melakukan identifikasi kawan dan lawan, untuk memuji maupun mengutuknya; (6) arah

    ekonomi terpusat, sesuai dengan standar perang modern.

    Nah, ke manakah terserapnya kekerasan dalam militerisme? Disebutkan bahwa khalayak

    totaliter bukanlah tentara, tapi dipahami sebagai seperti tentara yang siaga. Tentu lantas

    menjadi rancu, mana tentara termobilisasi, mana khalayak sipil (Orr, ibid.:142).

    Itu teorinya, adapun prakteknya, sejarah mencatat bahwa totaliterisme akan selalu

    berkecenderungan: (1) berusaha menaklukkan dunia; (2) tidak peduli hukum dan tanpa

    merasa bersalah melanggar hak asasi manusia; (3) mendirikan kamp tahanan kolosal; (4)

    tidak menghitung jumlah korban demi ideologinya; (5) melaksanakan kejahatan nyata yang

    lebih kreatif dari imajinasi awam; (6) atas nama utopia, hak-hak sipil-bahkan hak-hak

    manusia-secara sistematik dilecehkan [Ballestrem/Magnis-Suseno dalam Arendt, 1995

    (1979): xiii].

    Harap diperhatikan, rezim totaliter tumbuh dari situasi non-totaliter. Memang terdapat

    kondisi sosial ekonomi yang mendukungnya. Situasi mematangkan itu ada, bahkan dibuat

    seperti tampak matang melalui agitasi, propaganda, dan kampanye hitam!

    Akan halnya tendensi-tendensi totaliter, orang Romawi kuno memberi jalan untuk

    mencegahnya:principiis obsta!-lawanlah permulaannya! (Magnis-Suseno, ibid.: viii-xxii).

    Jangan sampai ada rezim totaliter (lagi!) di negeri ini.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    18/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    19/42

    Namun, di negara-negara Islam, peran agama sebagai penyatu sosial terasa masih sangat

    kental. Banyak umat Islam, termasuk mereka di Indonesia, kecewa atas keterpurukan negara-

    negara muslim sekarang, dan kekecewaan ini berakhir pada sebuah kerinduan akan kejayaan

    masa lampau. Dalam pandangan mereka, Islam, sebagai identitas, haruslah dimiliki oleh

    pemimpin negara muslim.

    Isu agama ini semakin mencuat menjelang pemilu presiden 2014 dan, menurut saya, masih

    menjadi faktor signifikan saat memutuskan siapa calon yang dipilih.

    Keputusan memilih presiden, sebagaimana keputusan lain dalam hidup manusia, didasari

    pertimbangan rasional dan emosional. Pertimbangan rasional dapat berwujud dari analisis

    visi dan misi kedua calon presiden. Sedangkan pertimbangan emosional bisa berwujud

    kecintaan kepada partai pengusung, rasa kagum terhadap calon presiden, dan lain-lain.

    Meskipun rasio dan emosi saling bekerja sama untuk membuat sebuah keputusan, pastilah

    ada yang lebih dominan di antara keduanya.

    Mengingat kebanyakan rakyat Indonesia tidak melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi,

    dan mengingat para calon presiden kita mengusung visi dan misi yang normatif, saya ragu

    bahwa akan banyak warga Indonesia menggunakan analisis rasional dalam pilpres nanti.

    Kebanyakan pasti akan menggunakan jalan pintas (short cut) dalam memilih. Jalan pintas ini

    merupakan analisis emosional di mana sikap keagamaan (religious behavior) bermain dan

    menjadi dominan.

    Dengan memanfaatkan sifat manusiawi ini, banyak dari politikus kita menggunakan agamauntuk menyetir kontroversi politik melalui kampanye hitam. Mereka memanfaatkan sifat

    natural manusia, yang cenderung memihak agamanya untuk menyerang kandidat lain. Apa

    yang akan terjadi setelah kampanye hitam ini?

    Profesor Darren Scheiber, dalam komunikasinya dengan penulis, mengatakan: "Jika seorang

    politikus atau partai ingin sukses menggunakan agama untuk tujuan politik mereka, mereka

    haruslah terlihat 'ikhlas', bukan 'politis' (memiliki maksud tertentu). Bagaimanapun, para

    politikus hanya merepotkan diri sendiri jika mereka terlalu bersekutu dengan figur atau

    kelompok agama tertentu. Hal ini karena mereka bisa membentuk koalisi yang terlalu

    terbatas. Keterbatasan semacam ini akan mematikan bagi mereka."

    Banyak informasi di media sosial mengenai keagamaan kandidat yang terlihat sangat politis.

    Alih-alih ikhlas, masyarakat melihat ibadah mereka sebagai aksi politik. Dan, menurut

    Darren, hal itu justru tidak menguntungkan bagi mereka.

    Pilpres Juli mendatang akan menunjukkan kesahihan argumen Darren dan Sosis. Apakah

    rakyat Indonesia benar-benar sedang menggunakan agama sebagai penyatu sosial?

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    20/42

    Menolak Godaan Kekerasan

    Selasa, 03 Juni 2014

    Sumiati Anastasia, Alumnus University of Birmingham untuk Relasi Islam-Kristen

    Sejarah kita masih saja diwarnai kekerasan di semua lini. Bahkan, dalam lini interaksi antar-

    umat beragama, kekerasan tampak menonjol dibanding kelemah-lembutan dan kasih sayang.

    Simak wajah negeri ini yang kembali dinodai ulah sekelompok preman berjubah yang

    menyerang umat Katolik yang tengah berdoa Rosario. Ketika penyerangan dilakukan, juga

    ada anak disetrum. Direktur sebuah penerbitan dan jurnalis juga terluka (Tempo.co, 30 Mei2014).

    Kita pasti setuju, Islam telah dibajak oleh segerombolan pelaku kekerasan di Sleman itu

    untuk menjadi alat legitimasi bagi aksi-aksi mereka yang sangat bertentangan dengan akal

    sehat dan nilai-nilai kemanusiaan, serta mencederai semangat berbangsa dan bernegara kita

    yang berdasarkan Pancasila.

    Tentu saja aksi itu harus dikutuk sendiri oleh umat Islam yang cinta damai, karena sungguh

    bertentangan dengan teladan dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Umat Islam hanya dipanggiluntuk menebarkan kebaikan, kedamaian, dan rahmat bagi semesta. "Kami mengutus kamu

    untuk menjadi rahmat bagi semesta alam" (QS 21:107).

    Islam itu aslamaatau damai. Sayang, kini ungkapan ini konon sudah menjadi retorika, karena

    maraknya kelompok takfirisme, yang mengusung paham radikal serta gemar menebar bom

    dan kebencian, seperti tampak pada berbagai ledakan bom bunuh diri yang merenggut nyawa

    banyak orang, mulai dari Suriah, Irak, Afganistan, Pakistan, hingga negeri kita (bom Bali).

    Kaum takfiris itu tak hanya gemar mengkafirkan umat agama lain, tapi juga umat Islam yang

    berbeda mazhab dengan mereka. Jelas sesungguhnya kaum pemuja takfirisme ini sangat

    membahayakan ajaran Islam yang cinta damai sekaligus membahayakan keutuhan Indonesia

    yang terdiri atas banyak suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Berulang kali presiden

    pertama kita, Sukarno, berpidato bahwa negeri kita dibangun oleh perjuangan, pengorbanan,

    bahkan darah banyak pejuang yang berasal dari berbagai latar belakang agama maupun

    mazhab.

    Maka, demi penguatan posisi Islam yang rahmatan lil alamin, mari kita dengar ajakan Karen

    Armstrong. Mantan biarawati Katolik yang terkenal dengan magnum opus-nya yang berjudul

    A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam(1993), itumemang punya pendapat memikat ihwal kekerasan dalam agama-agama samawi.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    21/42

    Setelah melakukan pengembaraan spiritual dalam berbagai agama samawi, Karen sampai

    pada kesimpulan bahwa memang tidak ada agama yang membenarkan kekerasan. Kekerasan

    terjadi karena orang keliru dalam menafsirkan atau memahami pesan-pesan mulia agama.

    Maka, Karen tegas menolak jika agama, khususnya Islam, dicap sebagai agama kekerasan.

    Sekarang Karen memang dikenal getol menjadi pembawa pesan cinta ketiga agama samawi

    di tengah umat manusia yang beragam latar belakangnya. Pesan cinta itu terangkum dalam 12

    butir pesan dalam karyanya, Twelve Steps to A Compassionate Life(2004). Bahkan, sejak

    2009, ia membentuk gerakan global bernama Charter for Compassion.

    Maka, agar Islam yang cinta damai itu tidak jatuh menjadi retorika, mari kita berani

    menebarkan pesan cinta dan damai dalam tindakan kita. Pesan ini juga sangat relevan di

    tengah suhu politik yang memanas menjelang pemilu presiden 9 Juli 2014. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    22/42

    Rakyat Jelata

    Selasa, 03 Juni 2014

    Idrus F. Shahab, [email protected]

    Sebuah gelas beling di atas piring kecil. Seseorang telah menuangkan kopi ke dalamnya. Dan

    manakala gelas terisi separuh, seorang lelaki setengah tua terbatuk-batuk. Ia tersedak, tapi

    kemudian menitipkan pesan kepada seorang kawannya di kota: kalau ada yang ke kota esok

    pagi, tolong sampaikan salam rindunya. Desa kecil ini, demikian si lelaki melanjutkan, siap

    menyambutnya dengan batang-batang padi yang terkembang, dan roda-roda giling yangberputar-putar, siang-malam.

    Ia Leo Kristi. Ada batuk dan gelas kopi yang perlahan menggiring panorama padesan dalam

    Salam dari Desa. Leo Kristi terus menyanyi. Tambur di belakangnya dan gitar di tangannya

    mengisi irama pada setiap jengkal musik yang mengalir dalam ketukan dua perempat itu.

    Dan ketika block flutemengalunkan potongan-potongan melodi, panorama desa, panorama

    yang amat dikenalnya, semakin jelas tergambar. Desa kecil yang tengah menyambut panen

    raya, ritual yang paling ditunggu-tunggu tiap-tiap tahun. Musik riang, dan semua berlangsungseperti waktu-waktu sebelumnya. Kecuali pada setiap akhir bait, suaranya yang berat

    membawakan ironi: sawah-sawah itu bukan lagi milik mereka.

    Leo tidak menunjuk penyebabnya, tidak menawarkan solusi. Ia tidak menyerukan

    perlawanan, tidak menuntut land reformyang memang tak kunjung menjadi kenyataan di

    republik ini. Ia hanya menyodorkan sebuah potret kenyataan kepada lawan bicaranya, seperti

    seorang pedagang kaki lima meletakkan barang dagangannya di atas alas koran.

    Indonesia, di mata Leo, bukan negeri yang gampang menyerah. Dalam Sayur Asam Kacang

    Panjang, ia berkisah tentang seorang nelayan yang bergulat mencari ikan di tengah laut.

    Hidup memang berat, harapan-harapan harus disederhanakan, dan nelayan yang berjuang itu

    seakan berbisik kepadanya: setumpuk ikan di perahu sudah cukup untuk mengusir segenap

    kecemasan di hatinya. Ia akan pulang ke darat dan memperpanjang hidupnya sekeluarga

    sehari lagi. Adanya setumpuk ikan di perahu berarti banyak: selalu ada cahaya harapan di

    ujung perjuangan ini.

    Sayur Asam Kacang Panjangmusik yang sederhana. Nada-nadanya pentatonis, mengandung

    repetisi layaknya mantra.

    Tak seperti kandidat pemilihan presiden 2014 yang di atas podium dan di hadapan kamera

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    23/42

    televisi senantiasa menjanjikan perubahan dan keberpihakannya kepada rakyat; dalam musik-

    musiknya Leo Kristi melupakan slogan dan tangan-tangan yang terkepal. Cukup

    memperlihatkan keakrabannya dengan kebersahajaan, kemiskinan, kenaifan, dan

    kesederhanaan, baladeerini sudah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat jelata.

    Seorang calon pemimpin memang diharapkan dapat menangkap aspirasi dan memenuhi

    angan-angan para pemilih. Ya, mula-mula kedua kandidat menampilkan dirinya sebagai

    antitesis dari pemimpin lama yang dinilai peragu dan tidak teguh pendirian. Kemudian, sesuai

    dengan angan-angan para pemilih, kita menyaksikan dua kandidat presiden 2014-2019

    bergantian menegaskan visinya tentang Indonesia yang hebat dan disegani kawan-lawan,

    serta bagaimana "hijrah" ke kondisi ideal tersebut.

    Mereka berbicara dalam skala makro. Padahal, ketika membahas seorang petani yang

    kehilangan sawah, atau nelayan pulang ke darat dengan setumpuk ikan, kita menggunakan

    skala mikroseperti yang disampaikan Leo dalam lagunya.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    24/42

    Karna dan Kumbakarna

    Rabu, 04 Juni 2014

    Putu Setia, @mpujayaprema

    Kedua kesatria ini berbeda zamannya. Karna pada zaman Mahabharata, sedangkan

    Kumbakarna di zaman Ramayana. Namun keduanya punya ilmu tinggi. Dan keduanya

    terlibat dalam perang.

    Karna lahir dari rahim Kunti, ibu para Pandawa. Kunti, saat remaja, mendapat ilmu dariseorang maharesi, kelak, jika sedang bercinta, berdoalah kepada dewa tentang sifat anak yang

    diinginkan. Saat Kunti bercinta dengan pacarnya, ia membayangkan Dewa Surya. Lahir

    seorang bayi tampan sebelum Kunti menikah.

    Heboh di kerajaan. Kunti adalah putri bangsawan akan dinikahkan dengan Pandu. Maka, bayi

    lelaki itu dibuang ke Sungai Gangga. Namun Kunti mengawasi anaknya sampai ada orang

    yang memungutnya. Di telinga anak itu dipasang anting-anting sebagai tanda. Anak itu kelak

    dipanggil Karna, yang artinya telinga.

    Namun, Atiratha-kusir dokar yang memungut bayi itu-memberi nama Radheya untuk sang

    bayi. Istri Atiratha, seorang perajut benang bernama Radha, mengasuh sang bayi dengan

    telaten. Maklum, dia tak punya anak.

    Syahdan, Radheya remaja tumbuh dengan kekar. Tapi dia ditolak belajar di pedepokan Guru

    Drona karena status sosialnya rendah. Ia berkasta Sutha, kasta terendah saat itu. Radheya tak

    putus asa, ia mencari guru lain, Bagawan Bhargawa. Bahkan ia membanggakan kastanya

    yang rendah dengan menyebut namanya Radheya Suthaputra.

    Sementara itu, Kunti menikah dengan Pandu, lalu melahirkan tiga putra: Yudistira, Bima,

    Arjuna. Istri Pandu yang kedua, Madri, melahirkan anak kembar: Nakula dan Sahadewa.

    Ketika Pandu meninggal dunia, Madri memilih ritual satya (menceburkan diri pada api yang

    membakar Pandu). Imbalannya, Kunti mengasuh kelima anak lelaki itu tanpa pilih kasih.

    Itulah Panca Pandawa.

    Nah, ketika Radheya menginjak dewasa dan tahu asal-usulnya bahwa dia adalah anak Kunti

    yang pertama, dia pun menuntut haknya. Koalisi kelima Pandawa menolak. Bahkan sempat

    Pandawa meragukan Radheya sebagai kakak sulungnya. Kunti serba salah, karena ia

    membenarkan bukti anting-anting yang dibawa Radheya. Dan Radheya berang, lalumemperkenalkan nama Karna.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    25/42

    Kekesalan Radheya, yang sudah populer bernama Karna, didengar oleh pihak Kurawa.

    Duryodana membujuk Karna agar bergabung ke Kurawa dengan janji jabatan di atas menteri,

    waktu itu disebut Adipati. Karna setuju dan siap berlaga untuk membalas sakit hatinya

    ditolak Pandawa. Jadi, Adipati Karna memihak Kurawa bukan karena senang kepadaKorawa, tapi semata-mata untuk membalas sakit hati dan memamerkan kedudukannya yang

    tinggi.

    Bagaimana dengan Kumbakarna? Ia tak setuju dengan kakaknya, Rahwana, yang menculik

    Dewi Sinta. Alengka menjadi morat-marit dan tercela gara-gara sifat kakaknya yang

    sombong dan doyan cewek. Tapi saat ia dibangunkan untuk berperang melawan pasukan

    Rama, Kumbakarna siap bertempur. "Saya bertempur tidak untuk membela kakak saya, tidak

    membela pemimpin yang congkak, tapi saya membela tanah air saya," katanya. Jadi,

    Kumbakarna ingin negerinya aman dan damai, rakyat tidak menderita, dan untuk itu dia

    berperang. Bukan berperang membela pemimpin kerajaan.

    Pada akhirnya, kita semua tahu, Karna dan Kumbakarna kalah dalam peperangan. Perang

    berbekal sakit hati karena ditolak bergabung dan perang dengan sikap idealis tinggi tanpa

    mempertimbangkan sosok pemimpinnya, sama-sama berbuah buruk. Rupanya, untuk berlaga

    atau sekadar berpihak, perlu akal sehat. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    26/42

    Sang Jenderal

    Rabu, 04 Juni 2014

    Munawir Aziz, Peneliti

    Sejarah militer Indonesia dibangun dari kecemasan dan kegelapan. Narasi panjang sejarah

    militer seolah merupakan tumpukan dokumen senyap yang belum selesai dimaknai. Militer

    menjadi senjata ampuh untuk melanggengkan sekaligus meringkus kekuasaan. Historiografi

    Indonesia tidak lepas dari sejauh mana sang pemimpin menempatkan diri sebagai jenderal,

    sebagai pijakan komando. Dan, panggung politik di negeri ini ibarat papan catur, denganbidak yang siap digerakkan menggunakan strategi, isu, dan kepentingan.

    Pada titik ini, militer menempati ruang utama dalam panggung politik negeri ini. Pada kisaran

    dua abad lalu, awal abad XIX menjadi panggung utama di mana militer menjadi basis utama

    untuk melawan kolonialisme. Pangeran Diponegoro, dengan barisan laskar santri,

    tumenggung, danjanissarypribumi, berhasil mengacaukan "tatanan politik-ekonomi"

    Belanda. Periode perang Jawa (1825-1830) menjadi fase di mana kekuatan imperial dilawan

    dengan strategi jihad berbasis gerilya. Diponegoro, bersama Kiai Maja, Sentot Ali Basah,

    Pangeran Sasradilaga, dan sejumlah pasukan tempur, berhasil membuat bangkrut kekuasaanKompeni.

    Kemudian, lebih dari satu abad kemudian, pada paruh pertama abad XX, Jenderal Soedirman

    menjelma menjadi sosok penting, di mana kekuatan rakyat dipadukan dengan basis

    perlawanan gerilya. Raden Soedirman (1916-1950) menjadi referensi kekuatan militer negeri

    ini di masa transisi antara perjuangan melawan Belanda, Jepang, dan agresi militer untuk

    mempertahankan kemerdekaan.

    Jika dirunut, Diponegoro dan Soedirman masing-masing menggunakan kekuatan militer yang

    hampir sama, dengan peta dan konteks zaman yang berbeda. Racikan militer antara kultur

    kiai-santri, karisma bangsawan, dan kekuatan tempur rakyat menjadi bagian dari skema yang

    dipakai oleh Diponegoro dan Soedirman. Inilah referensi historis yang melahirkan peta

    kekuatan militer saat ini. Dari periode zaman yang memanggungkan kisah Diponegoro dan

    Soedirman inilah, Indonesia belajar menggunakan siasat militernya.

    Menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014, rakyat Indonesia membutuhkan referensi tentang

    masa depan negara dan komando politiknya. Kultur warga negeri ini masih menempatkan

    simbol kepemimpinan sebagai instrumen penting. Pada titik ini, Diponegoro dan Soedirman

    menjadi simbol kuasa politik. Prabowo Subianto menautkan silsilah sebagai transformasisimbolik pasukan Pangeran Diponegoro Sayyidin Panatagama, sedangkan Joko Widodo

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    27/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    28/42

    Mengapa Masyarakat Sipil Berpolitik?

    Rabu, 04 Juni 2014

    Agus Sudibyo, Direktur Eksekutif Matriks Indonesia

    Ada perbedaan yang cukup mencolok pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 ini. Pada

    pilpres sebelumnya, kalangan masyarakat sipil (civil society) umumnya mengambil jarak dari

    pertarungan politik memperebutkan kursi presiden, dan lebih memposisikan diri sebagai

    "pendamping" masyarakat. Namun, pada pilpres kali ini, sangat banyak kalangan masyarakat

    sipil yang terang-terangan atau setengah terbuka menerjunkan diri sebagai bagian darisimpatisan, bahkan tim pemenangan kandidat capres-cawapres, khususnya pasangan Jokowi-

    Jusuf Kalla.

    Bagaimana menjelaskan perkembangan ini, dan apa implikasinya? Sejauh ini, kita telah

    terbiasa dengan analisis yang memperlawankan sistem politik formal versus gerakan

    masyarakat sipil, negara vs NGO, gerakan politik vs gerakan kultural. Dikotomi ini jelas

    perlu ditelaah ulang dengan kondisi seperti di atas. Masyarakat sipil dalam perkembangannya

    tidak lagi secara konsisten menempatkan diri sebagai pengontrol gerakan-gerakan politik dan

    penyelenggaraan kekuasaan. Masyarakat sipil tidak hanya memperjuangkan platform, tapijuga secara aktif memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemegang kekuasaan.

    Perkembangan ini tentu seperti sebuah penyimpangan jika kita bertolak dari pengertian

    standar tentang gerakan masyarakat sipil dalam wacana sosial-politik di Indonesia dewasa ini.

    Pengertian yang merujuk kepada gerakan kritis-oposisional terhadap sistem penyelenggaraan

    kekuasaan, sebagaimana terepresentasikan dalam gerakan lembaga swadaya masyarakat,

    mahasiswa, pers, dan aktivis demokrasi untuk mengoreksi atau menentang kebijakan-

    kebijakan negara yang dinilai tidak berkeadilan sosial atau tidak berperspektif "kemanusiaan

    yang adil dan beradab".

    Namun perkembangan di atas justru seperti mengembalikan gerakan masyarakat sipil kepada

    khittah-nya (pijakan dasar) jika kita merujuk kepada asbabun-nuzul(latar belakang) konsep

    masyarakat sipil. Katakanlah merujuk kepada pemikiran John Locke, masyarakat sipil adalah

    gagasan tentang penciptaan tatanan masyarakat yang beradab nir-kekerasan dan penindasan.

    Problem masyarakat sipil pada mulanya bukanlah negara atau sistem pemerintahan,

    melainkan tatanan yang tidak beradab, benturan antarastate of naturedan individualitas,

    serta kehidupan bersama yang penuh kekerasan dan penyerobotan hak.

    Terciptanya negara dan sistem pemerintahan justru menjadi tujuan dari masyarakat sipil.Negara yang otoriter memang menjadi musuh masyarakat sipil. Namun pemerintahan yang

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    29/42

    demokratis justru menjadi tanda-tanda eksisnya masyarakat sipil. Meminjam istilah Richard

    Hooker, masyarakat sipil justru ditandai dengan adanya komunitas politik, pemerintahan, dan

    hukum. Esensi dari masyarakat sipil adalah ketaatan pada hukum, kontrak sosial, kesetaraan,

    dan penyelenggaraan pemerintahan. Lawan masyarakat sipil adalah kondisi-kondisi tidak

    adanya hukum, pemerintahan, dan komunitas politik.

    Untuk mewujudkan pemerintahan demokratis atau tatanan hukum itu, masyarakat sipil harus

    bertindak secara riil, membantu orang-orang terbaik untuk memimpin pemerintahan, bahkan

    mengambil bagian dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dengan menduduki posisi-posisi

    strategis.

    Dalam konteks ini, keputusan kalangan masyarakat sipil untuk terjun ke gelanggang

    perebutan kursi presiden menemukan pembenaran historisnya. Masyarakat sipil seperti

    kembali kepada khittah-nya sebagai masyarakat politik. Konsekuensinya, batas antara aktivis

    sosial dan aktivis politik akan melebur, dan kalangan masyarakat sipil harus siap menghadapi

    perubahan pandangan masyarakat. Tak perlu dirisaukan jika gambaran tentang aktivis,

    pengamat, atau intelektual yang netral, kritis, dan tidak berkubu perlahan-lahan memudar.

    Aktivis LSM, pengamat, dan intelektual mungkin juga akan semakin lekat dengan julukan

    "makhluk politik" yang berpihak, meskipun kemudian dapat dijelaskan bahwa keberpihakan

    itu memang tidak dapat dihindari. Masyarakat sipil harus memastikan presiden mendatang

    adalah orang yang mumpuni dalam hal pemberantasan korupsi, perwujudangood

    governance, pelembagaan HAM, dan perlindungan kebebasan pers.

    Persoalan selanjutnya, jika capres yang dijagokan masyarakat sipil akhirnya menang,bagaimana langkah berikutnya? Kembali menjadi pengamat dan akademikus, atau akan ikut

    dalam gerbong kekuasaan? Kalau ternyata tak kebagian tempat duduk juga, bagaimana

    antisipasi agar tidak lahir "barisan sakit hati" yang akan terus merecoki presiden terpilih?

    Sama problematisnya adalah jika capres yang dijagokan ternyata kalah, bagaimana

    masyarakat sipil kemudian harus bersikap kepada presiden yang menang? Bukankah

    masyarakat sipil harus tetap menjalin kontak dan memberikan masukan kepada pemerintah

    yang akan datang? Hal ini yang menurut penulis perlu dipikirkan masak-masak.

    Bagaimanapun, seharusnya tetap ada unsur masyarakat sipil yang berada di "poros tengah".

    Tidak ke mana-mana, tidak mencari kawan, dan tidak mencari lawan, senantiasa

    mendampingi masyarakat agar mampu menggunakan hak pilih secara benar dan rasional.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    30/42

    Seleksi Masuk Mahasiswa dan Rekayasa

    Sosial

    Kamis, 05 Juni 2014

    Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan

    Sistem penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur undangan terus berlanjut. Sistem ini

    dilaksanakan sejak awal dekade 1980-an melalui program Proyek Perintis II (PP II). Pada

    periode berikutnya, sistem tersebut diadopsi menjadi PMDK (Penelusuran Minat danKemampuan). Bedanya, pada PP II, pesertanya terbatas hanya beberapa perguruan tinggi

    negeri (PTN) terkemuka. Sedangkan pada PMDK diikuti oleh semua PTN, tapi jumlah calon

    mahasiswa yang diterima melalui jalur PMDK sekitar 10 persen saja. Sedangkan jalur

    undangan ini menjaring 60 persen dari total calon mahasiswa baru.

    Sistem penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur undangan ini patut dicermati karena

    akan memiliki dampak sosial dan budaya yang amat luas, terutama terkait dengan formasi

    sosial yang akan terbentuk di masyarakat pada masa mendatang. Hal ini terkait dengan salah

    satu kriteria penerimaan calon mahasiswa baru yang didasarkan pada track recordsekolah.

    SMA-SMA yang memiliki track recordlulusannya banyak diterima di PTN terkemuka, sebut

    saja SMA favorit, akan mendapat porsi lebih banyak dibanding SMA-SMA yang tidak

    memiliki track recordyang bagus atau tidak favorit. Akhirnya, meskipun yang satu memiliki

    nilai rapor rata-rata 9 tapi berasal dari SMA yang tidak favorit, dan satu lagi memiliki nilai

    rapor rata-rata 8,5 tapi berasal dari SMA favorit, maka yang memiliki peluang besar untuk

    diterima adalah justru yang nilainya 8,5.

    Berdasarkan hasil penelusuran data alumnus SMA-SMA negeri favorit di beberapa kota

    menunjukkan bahwa mereka cukup mendominasi penerimaan calon mahasiswa baru di PTN

    melalui jalur undangan. Sebagai contoh, lulusan SMAN 8 Jakarta, yang cukup populer, pada2014 ini ada 99 dari 359 (27,57 persen) lulusannya lolos melalui jalur undangan di ITB, UI,

    UNS, UNPAD, dan IPB. Hal yang sama dialami SMAN 3 Bandung, SMAN 5 dan 11

    Surabaya, serta SMAN 1 dan 3 Yogyakarta. Rata-rata alumnus mereka yang diterima di PTN

    terkemuka melalui jalur undangan mendekati angka 100 atau bahkan lebih. SMAN 1

    Yogyakarta, misalnya, pada 2013 mencapai 167 murid dan 2014 mencapai 121 murid. Bila

    dikombinasikan dengan ujian masuk melalui seleksi bersama, alumnus dari SMA negeri

    favorit yang diterima di PTN mencapai 80-100 persen, ibarat pindah kelas saja.

    Dilihat dari penyebaran wilayah geografisnya, daerah-daerah yang memiliki murid diterimamelalui jalur undangan berkisar 10-15 ribu adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    31/42

    Sedangkan Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan DKI Jakarta

    berjumlah 5.000-10.000 murid. Daerah-daerah lain, termasuk DIY, jumlah lulusan SMA

    yang diterima melalui jalur undangan di bawah 5.000 murid.

    Data di atas memperlihatkan adanya pengelompokan golongan tertentu saja di PTN-PTNkita, baik secara mikro (asal sekolah) maupun makro (asal daerah). PTN terkemuka (di Jawa)

    akan dihuni oleh mayoritas dari SMA tertentu yang dikenal favorit dan dari daerah-daerah

    yang mampu mengantarkan warganya lolos ke jalur undangan lebih dari 10 ribu orang setiap

    tahunnya.

    Bila PTN, terlebih yang berbentuk universitas, dihuni hanya oleh kelompok masyarakat

    tertentu, sesungguhnya kurang sehat. Karena itu, berarti akan melahirkan satu jenis golongan

    masyarakat tertentu juga yang sifatnya elitis. Dan, dengan didukung oleh budaya geng-

    gengan (mafia) yang berbasis alumnus pada saat bekerja, PTN memiliki andil besar dalam

    membentuk formasi sosial yang timpang dan kurang sehat. Ini jelas kurang baik untuk

    kepentingan integrasi bangsa dan integrasi sosial. Formasi sosial yang demikian amat rapuh

    karena mudah digoyang dengan isu ketidakadilan dan kedaerahan.

    Keberadaan SMA favorit itu memang perlu diperhitungkan. Tapi mengabaikan yang tidak

    favorit juga merupakan kesalahan besar karena, secara individual, mereka yang bersekolah di

    SMA yang tidak favorit belum tentu berkualitas buruk. Ambil saja contoh figur nasional yang

    muncul saat ini. Jokowi. Capres dari PDIP itu lulusan SMAN 6 Solo yang, pada saat dia

    masuk, merupakan sekolah yang baru berdiri. Demikian pula Anies Baswedan, bukan

    alumnus sekolah favorit SMAN 1 atau 3 Yogyakarta, melainkan SMAN 2 Yogyakarta, yangranking-nya di bawah SMAN 1 atau 3.

    Betul bahwa berdasarkan pengalaman para pengelola PTN, mahasiswa yang masuk melalui

    jalur undangan memiliki prestasi akademik yang konsisten dengan nilai rapor dan ujian

    nasional (UN) mereka. Tapi ini tidak berarti harus menjadi pembenaran untuk memberikan

    kuota lebih besar pada jalur undangan karena jalur ini dirasakan tidak adil bagi para murid

    dari SMA-SMA yang tidak favorit. Kuota terbesar (70 persen) semestinya diberikan pada

    seleksi melalui jalur ujian tertulis bersama secara nasional. Betul bahwa hasil akhirnya,

    mereka yang lolos masuk ke PTN terkemuka itu dari SMA-SMA favorit, tapi prosesnya jauh

    lebih adil karena setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperebutkannya.

    Semoga kebijakan ini dapat ditinjau kembali sebelum dampak sosialnya yang luas muncul di

    masyarakat. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    32/42

    Akhlak versus Intoleransi

    Kamis, 05 Juni 2014

    Husein Ja'far Al Hadar, Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta

    Kasus penyegelan, penutupan, hingga penyerangan rumah ibadah kerap kali dilakukan

    oknum umat Islam di Indonesia terhadap umat minoritas di negeri ini, seperti Kristen dan

    Ahmadiyah. Yang terbaru terjadi di Sleman, Yogyakarta.

    Kasus serupa di negara lain, dengan umat Islam sebagai korbannya dalam posisinya sebagaiumat minoritas, juga kerap terjadi. Seperti Geert Wilders (politikus Belanda), yang dalam

    KTT Konservatif Barat di Amerika Serikat (AS) pernah menyampaikan agar AS melarang

    pembangunan masjid di Negeri Abang Sam. Atau sebagian politikus Partai Republik di AS

    yang pernah menentang rencana pembangunan masjid di dekat Ground Zero, lokasi bekas

    WTC. Artinya, penulis hendak menegaskan bahwa pada dasarnya ini tentang oknum yang

    berpikiran dan bersikap ekstremis serta logika eksklusif kalangan mayoritas beragama. Di

    mana pun itu, dan apa pun agamanya.

    Sebenarnya, pada tingkat ajaran, Islam justru menekankan tentang signifikansi penghormatanterhadap peribadahan setiap umat beragama. Bahkan, dalam kondisi perang pun, peribadahan

    merupakan salah satu nilai yang patut dijunjung dan dihormati, sehingga selalu ada jeda

    untuk mempersilakan musuh beribadah saat waktunya tiba. Sebab, Islam tak pernah

    memerangi umat lain karena ibadah atau imannya, melainkan karena sikapnya yang

    menyerang umat Islam. Dan perang pun tetap dilancarkan dalam bingkai akhlak (etika).

    Selain itu, menurut penulis, ibadah sebenarnya bukan perkara tempat ibadah. Namun ibadah

    adalah aktualisasi keimanan. Sedangkan iman sejati pada dasarnya terletak dalam hati. Ia

    takkan pernah bisa ditekan, dipaksa, diruntuhkan, apalagi dirampas. Para oknum muslim itu

    mungkin tak sadar bahwa jika jemaah Ahmadiyah atau umat Kristen itu tak bisa

    menghampiri Tuhan dalam ibadahnya di rumah ibadah, mereka bisa melakukannya di mana

    saja dalam hati mereka. Justru Tuhan yang akan "menghampiri" mereka dalam

    ketertindasannya, jika mereka dilarang menghampiri Tuhan melalui rumah ibadah. Karena

    itu, sufi Jalaluddin Rumi mengingatkan bahwa Tuhan sejati tak "bersemayam" di rumah

    ibadah agama mana pun, melainkan dalam hati setiap hamba-Nya yang beriman.

    Tentu sikap intoleransi itu patut dilawan. Sebab, beragama, berkeyakinan, dan beribadah

    merupakan hak setiap warga negara yang diatur oleh undang-undang kita dan diagungkan

    oleh setiap agama, terlebih Islam. Dan Tuhan pun telah memfirmankan agar hamba-Nya takpernah takut. Namun mereka juga patut sadar akan letak keimanan yang berada di hati itu.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    33/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    34/42

    Masjid Gedhe dan Toleransi

    Kamis, 05 Juni 2014

    Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM

    Yogyakarta, kota yang disebut-sebut sebagai ruang sosial yang plural dan menjunjung tinggi

    toleransi, terkoyak. Dua aksi kekerasan bernuansa agama pecah di Kota Gudeg dalam rentang

    tempo yang dekat. Penyerangan di kota tua warisan dinasti Mataram Islam tersebut jelas

    merusak kerukunan kehidupan beragama.

    Bicara agama Islam, toleransi, dan kota kuno di Jawa segera yang membayang adalah Masjid

    Gedhe. Bangunan masjid memang tidak pernah luput ditempatkan dalam tata ruang istana

    Mataram Islam, kendati pusat pemerintahan kerajaan acap kali mengalami perpindahan lokasi

    lantaran berbagai hal. Di ibu kota kerajaan, seperti Demak, Pajang, Kota Gedhe, Pleret,

    Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta, selalu melekat situs Masjid Gedhe. Sekalipun

    artefaknya sudah roboh dan tak ditemukan jejak fisiknya, toponimi (asal-usul nama tempat)

    masjid masih dirawat warga dalam memori kolektif.

    Dalam pandangan Islam-Jawa yang mengedepankan toleransi, masjid tergolong sebagai"pusaka" yang tak ternilai di seluruh tanah Jawa. Karena itu, maklum jika dijadikan pedoman

    para penguasa dinasti Mataram Islam. Sumber klasikBabad Tanah Jawamerekam

    bagaimana Paku Buwana I melukiskan kesakralan Masjid Gedhe dan makam sewaktu dia

    mengenang pusaka-pusaka keraton: "Betapa sedihnya hati saya bahwa semua pusaka telah

    diambil oleh putera saya raja (Amangkurat Mas). Tetapi, saya tahu bahwa sekalipun semua

    barang pusaka yang lain pun diambil, namun kalau saja Masjid Demak dan Makam Adilangu

    tetap ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati tanah

    Jawa."

    Bentuk toleransi dan upaya menjaga warisan leluhur adalah halaman masjid dipakai untuk

    gelaran upacara tradisional Grebeg Sekaten. Sebab, melalui cara itulah proses islamisasi bisa

    diterima masyarakat Jawa. Tidak harus lewat pemaksaan fisik dan penutupan tempat ibadah.

    Fakta berharga lainnya adalah Masjid Gedhe sangat terbuka bagi siapa pun. Masjid Gedhe di

    Kota Solo, misalnya, sejak dulu dikenal tidak "berideologi", alias bukan untuk kalangan

    Islam tertentu. Hal tersebut tidak lepas dari terobosan Paku Buwana X (1893-1939), yang

    memanfaatkan bahasa Jawa untuk komunikasi dalam acara khotbah di Masjid Gedhe.

    Bahasa Jawa menjadi penyatu pemeluk Islam lokal yang baru, dan mereka bertatap muka di

    masjid kendati hanya seminggu sekali. Dengan begitu, Masjid Gedhe menjelma menjadipusat dari kesatuan sosial muslim. Kesatuan sosial muslim itu beragam bentuknya. Ada

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    35/42

    kesatuan sosial dengan rukun kampung, komunitas abdi dalem, komunitas bangsawan, dan

    bentuk kesatuan lainnya. Saban Jumat mereka berhimpun, waktu di mana ulama

    mengucapkan khotbahnya di muka berbagai kesatuan sosial itu.

    Saat itu, dalam lingkungan kerajaan hidup pemikiran bahwa agama Islam ataupunkebudayaan Jawa merupakan inti pendidikan moral dan etika untuk anak-anak pribumi.

    Agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan budaya Jawa adalah falsafah

    kehidupan yang diyakini masyarakat Jawa dan mengutamakan rasa. Tak ayal, toleransi terus

    dipupuk, dan kerukunan sosial senantiasa dijaga. Demikianlah, situs Masjid Gedhe

    menyimpan kisah apik islamisasi dan kearifan masa lalu dalam mengelola toleransi tanpa

    memakai kekerasan. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    36/42

    Dampak Kampanye Hitam

    Sabtu, 07 Juni 2014

    Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu

    Menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014, isu sentral yang menimbulkan keprihatinan kita

    bersama adalah maraknya kampanye hitam, khususnya di dunia maya. Yang kita maksudkan

    dengan kampanye hitam adalah semua model atau perilaku atau cara berkampanye yang

    dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut, atau menyebarkan

    berita bohong yang dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politikatau pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya.

    Negara demokrasi yang sehat tidak mungkin memblokir aktivitas warganya di dunia maya

    untuk menghilangkan aktivitas kampanye hitam tersebut. Karena itu, kampanye hitam bisa

    kita katakan sebagai keniscayaan negatif dari kehidupan demokrasi.

    Kajian empiris di negara dengan kehidupan demokrasi yang matang menunjukkan bahwa

    kampanye negatif itu tidak efektif dalam meningkatkan elektabilitas calon yang didukung

    atau menekan elektabilitas calon lawan. Anda bisa melihat temuan itu pada kajian Lipsitzet.al(2005) untuk kasus pemilu gubernur di Negara Bagian California, Amerika Serikat, atau

    Lau et.al(2007) untuk konteks pemilihan presiden AS.

    Lalu, bagaimana dalam konteks negara kita? Dengan menggunakan pendekatan teori

    bounded rationalitydalam perilaku memilih, kita bisa memprediksi efektivitas "kampanye

    hitam" dalam konteks pilpres tahun ini.

    Bounded rationalityadalah teori tentang perilaku manusia yang memilih karena dihadapkan

    pada keterbatasan kognitif, khususnya karena keterbatasan informasi tentang hal yang akan

    dipilih. Faktor yang menentukan adalah apa yang dinamakan dengan perilaku heuristics.

    Dalam konteks bounded rationality, kampanye hitam dilakukan untuk menghadirkan perilaku

    heuristic(menyelidiki sendiri), yang disebut dengan affect referral. Perilaku affect referral

    (rujukan pengaruh) terjadi ketika para pemilih memilih kandidat yang menurut mereka paling

    menarik secara emosional. Perilaku inilah yang coba dipengaruhi oleh kampanye hitam.

    Dengan mengungkapkan rumor, disinformasi tentang kelemahan-kelemahan lawan

    diharapkan hadir "ketidaksukaan" emosional dari pemilih kepada kandidat yang dijadikan

    target kampanye hitam.

    Tapi, yang harus diingat, kampanye hitam dengan tujuan yang sedemikian ini tidak akan

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    37/42

    efektif jika calon yang diserang mampu menghadirkan perilaku heuristicsberikut ini.

    Pertama, endorsement,pemilih akan memilih kandidat berdasarkan hasil rekomendasi dari

    orang atau tokoh yang mereka percayai, seperti kerabat dekat, atau hubungan patron-klien

    lainnya, ataupun kelompok-kelompok sosial yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain,

    individu membiarkan orang lain di luar dirinya yang memutuskan pilihannya. Artinya, calonpresiden yang banyak memilikisocial capitaldansocial networkingyang kuat di tingkat akar

    rumput bukan hanya akan tahan terhadap segala bentuk kampanye hitam, tapi juga bisa

    memetik keuntungan dari kampanye negatif yang dilancarkan lawan politik kepada pihaknya.

    Sebabnya, akar rumput mengidentikkan kampanye hitam tersebut sebagai bentuk

    ketidakadilan yang bahkan akan meningkatkan simpati dan empati.

    Kedua,familiarity(keakraban), di mana pemilih merasa ada kesamaan atau hubungan yang

    akrab dengan kandidat karena perilaku kandidat yang dinilai identik dengan mereka. Seorang

    calon presiden yang mampu menghadirkan jenis heuristicini di kalangan pemilihnya juga

    akan imun terhadap kampanye hitam.

    Yang harus kita sadari, figur yang mampu hadir sebagai seorang capres atau cawapres

    pastilah seorang yang mempunyai kemampuan menggalang kekuatan-kekuatan sosial-politik-

    ekonomi yang signifikan di luar dirinya. Mereka juga tentunya telah berhasil melakukan

    investasi sosial-politik yang bermakna. Tanpa itu semua rasanya tidak mungkin seorang bisa

    dihadirkan untuk berkontestasi dalam pemilihan presiden pada negara yang sangat besar

    keragaman sosialnya seperti Indonesia ini.

    Artinya, kampanye hitam hampir mustahil bisa efektif meruntuhkan bangunan investasi,jaringan, serta modal sosial yang telah diakumulasi oleh seorang figur selama karier

    kehidupan sosial-politiknya.

    Sesungguhnya, yang lebih kita khawatirkan dari kampanye hitam tersebut adalah timbulnya

    bentrokan di tingkat akar rumput karena pembelaan yang tidak proporsional dari masing-

    masing pendukung calon, khususnya ketika kandidat yang didukungnya kalah. Kekalahan itu

    dianggap karena perilaku tidak adil yang diterima kandidat yang mereka dukung oleh pihak

    lawan.

    Karena itu, kita mengingatkan kembali, khususnya kepada tim sukses dan pendukung para

    capres-cawapres, hendaknya tidak menjadikan kampanye hitam sebagai strategi pemenangan

    pemilu, kalau benar kita menginginkan hadirnya demokrasi yang substantif dan berorientasi

    publik. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    38/42

    Ekoteologi

    Sabtu, 07 Juni 2014

    Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St. Vincent de Paul

    Ada yang menyebut kerusakan lingkungan hidup saat ini terparah dalam sejarah umat

    manusia. Sayangnya, agama atau teologi "monoteisme" konon malah punya andil dalam

    penghancuran lingkungan karena ajarannya yang menempatkan manusia sebagai pusat

    ciptaan. Ajaran yang antroposentris ini kerap dijadikan legitimasi bagi para pelaku kerusakan

    lingkungan hidup di mana pun.

    Ayu Utami, dalam novelBilangan Fu(KPG, Jakarta, 2008), mencoba mengkritisi pandangan

    agama atau teologi monoteisme yang justru menjerumuskan ekologi dalam kerusakan.

    Monoteisme hanya mengajarkan agar manusia memperbaiki akhirat, tapi merusak dunia.

    Novel ini mengapresiasi ajaran agama tradisional, seperti "sakralisasi alam". Dalam ajaran

    ini, setiap unsur di alam, seperti gunung, hutan, pohon, atau danau, memiliki penghuni yang

    harus dihormati. Tanpa disadari, ajaran animistis ini justru menghindarkan gunung, hutan,

    pohon, atau danau dari destruksi.

    Sedangkan teolog feminis, Rosemary Radford Ruether, mengecam budaya patriarki.

    Sebabnya, kata dia, budaya ini memberikan kontribusi negatif bukan hanya terhadap

    kemanusiaan perempuan, tapi juga terhadap perusakan lingkungan di sepanjang sejarah.

    Syukurlah, agama atau teologi monoteisme mau menerima kritik seperti yang dilontarkan

    Ayu Utami atau Ruether. Kini sudah muncul apa yang disebut dengan ekoteologi, yang

    mencoba menata ulang posisi manusia. Manusia bukan sebagai pusat (antroposentris) lagi di

    alam semesta. Citra palsu manusia sebagai tuan atas ciptaan-ciptaan lain harus dilepas atau

    ditanggalkan karena manusia adalah mitra Tuhan atau sahabat Sang Pencipta guna

    menyelamatkan dunia dari kerusakan ekologi yang lebih parah. Dosa-dosa ekologis manusia

    modern yang mengeksploitasi bumi dan merasa memiliki keunggulan dibanding ciptaan lain

    perlu terus dikoreksi dan dikritisi.

    Ekoteologi menawarkan ajaran atau ekologi baru bahwa segenap penganut agama monoteis

    kini hanya menjadi pendatang belakangan di dunia dan punya tugas menghindarkan

    lingkungan hidup dari destruksi (David G.Hallman, "Beyond 'North/South Dialogue'", dalam

    David G. Hallman, Ed.,Ecotheology: Voices from South and North(Maryknoll, New York:

    OrbisBooks, 1994, p 6)).

    Sayang, gema dari ekoteologi ini baru mulai muncul di negeri kita beberapa tahun

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    39/42

    belakangan ini. Tidak mengherankan jika destruksi terhadap lingkungan hidup di negeri ini

    justru terus dilakukan di tengah alpanya kaum politikus dan pengambil kebijakan akibat

    ingar-bingar perpolitikan menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014.

    Kalau politik yang diusung para politikus kita sungguh bervisi lingkungan (green politic),jelas kita tidak perlu cemas. Tapi, sayang, politik yang diusung lebih mengutamakan politik

    bagi-bagi kekuasaan. Isu-isu ekologi pun tersisih. Kita sudah melihat betapa memuakkannya

    ketika para anggota parlemen justru turut berandil dalam kejahatan ekologi, seperti kasus alih

    fungsi hutan di Sumatera yang merusak lingkungan hidup.

    Kita berharap presiden dan pemerintahan baru kelak serta segenap komponen bangsa lainnya

    di negeri ini sungguh akan punya kepedulian sejati pada lingkungan hidup. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    40/42

    Merah Putih

    Sabtu, 07 Juni 2014

    Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni

    Pada pekan-pekan penuh gelora pemilihan presiden, mitos merah-putih kembali berkelindan

    dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ketika deklarasi calon presiden-wakil presiden,

    misalnya, Jokowi dan JK tampak mencium bendera Merah Putih. Sementara itu, koalisi

    gemuk pendukung Prabowo-Hatta dengan bangga menamakan diri mereka Koalisi Merah-

    Putih.

    Semua tahu bahwa merah-putih disanjung sebagai ikon nasional sejak Proklamasi

    Kemerdekaan Indonesia 1945. Tapi bahwa merah-putih telah termitos di masyarakat

    Nusantara sejak dulu kala, dokumen prasejarah siap menuturkannya. Catatan-catatan kuno

    menyebut bahwa merah-putih adalah presentasi bayangan dari matahari dan rembulan yang

    melintas di khatulistiwa. Orang-orang Nusantara masa lalu memang sangat mempercayai dua

    bulatan jagat raya itu sebagai pemberi tuah kesaktian. Yang merah tentulah matahari:

    lambang kejantanan, semangat keberanian dan bertindak. Sedangkan putih adalah rembulan:

    lambang kelembutan, keagungan, dan kesucian.

    Walmiki, dalam kisah Ramayana yang ditulis pada 400 SM, menyinggung ihwal tanah sekitar

    Asia Selatan dengan sebutan Nusa Emas dan Nusa Perak, alias Kepulauan Merah dan Putih.

    Gugusan pulau yang ditafsirkan sebagai Nusantara ini konon kekayaannya telah terdengar

    sampai Cina dan Mesir. Pada perkembangan lanjut, penduduk Nusantara mengembangkan

    mitos merah-putih ini dengan membuat metafora getih dan getah. Getih, atau darah, yang

    semula untuk menyimbolkan zat kehidupan, diangkat sebagai wakil dari warna merah.

    Sedangkan getah adalah cairan yang keluar dari tumbuh-tumbuhan (sumber kesejahteraan

    hidup), sebagai wakil dari warna putih. Pilihan simbol ini mengisyaratkan bahwa manusia

    dan tumbuh-tumbuhan adalah dua sekawan yang tak boleh terpisahkan.

    Itu sebabnya, pada era Majapahit, merah-putih dijadikan warna untuk sebagian umbul-umbul.

    Pada sisi belakang, di dunia kuliner, mereka menciptakan bubur bang-putih (bubur sumsum

    merah-putih), yang mengkomposisikan gula merah (dari kelapa dan aren) di atas bubur putih

    yang dibuat dari beras. Bubur bernilai ritual ini, setelah ditegaskan keberadaannya oleh Syekh

    Siti Jenar pada masa setelah Majapahit, tampak terus diolah sampai sekarang.

    Dalam perang Jawa yang memakan waktu lima tahun sejak 1825, pasukan Diponegoro

    berkali-kali mengibarkan merah-putih sebagai "tanda kemuliaan". Sedangkan diMinangkabau, pada zaman Perang Paderi (1818-1838), merah-putih tumbuh sebagai simbol

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    41/42

    sosial. Merah di sini disebut sebagai warna hulubalang. Sedangkan putih sebagai warna

    petinggi alim ulama. Ini di samping junjungan atas warna hitam, yang disebut sebagai warna

    penghulu atau kepala adat.

    Merah-putih pada era Indonesia modern secara simbolik-seremonial terwujud dalam benderakebangsaan, untuk kemudian diaplikasikan dalam berbagai tanda yang menyatakan

    keindonesiaan.

    Namun bukan hanya Indonesia yang meluhurkan merah dan putih. Masyarakat di kepulauan

    Hawaii, misalnya, juga menjunjung dua warna itu dengan puitis dan demografis. Pulau

    Hawaii memuliakan merah (ulaula) lewat kembang lehua, sedangkan Oahu dan pulau lain

    memuliakan warna putih (keokeo) lewat bungapupu. Begitu pula negara Polandia, Austria,

    serta Kerajaan Monako yang mengerek bendera merah-putihnya sejak 1861. Meski tentu

    hanya Merah Putih Indonesia yang selalu diikuti teriakan: Merdeka! *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 1.6.2014-7.6.2014

    42/42