Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

download Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

of 39

Transcript of Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    1/39

    Adi

    Senin, 22 September 2014

    Laki-laki tua yang jangkung dan bermuka keras itu, yang hidup dengan seekor monyet kecil

    di sebuah gubuk, bercerita dengan suara yang masih ganas tentang bagaimana ia membunuh.

    "Aku tebas buah dada perempuan itu; dari akar putingnya mengalir air susu. Lalu aku potong

    lehernya...."

    Dokumentasi tentang kekejaman di Indonesia sekitar 1965 bertambah-dan bisa bertambah.

    The Look of Silence, film baru Joshua Oppenheimer, semacam sambungan dari filmnya yang

    terdahulu, The Act of Killing, kini sudah beredar secara terbatas. Dalam rekaman seperti yang

    saya kutip, dari ingatan, Oppenheimer menunjukkan keunggulannya sebagai pembuat film

    dokumenter dan keunggulan seseorang yang datang mengusik hati kita dengan pertanyaan.

    Tentu ia bukan orang pertama dalam perkara ini. Pada Agustus 1969, majalahHorison

    memuat tulisan Usamah, "Perang dan Kemanusiaan". Tulisan ini, nonfiksi, begitu menarik

    perhatian hingga diterjemahkan ke dalam jurnal akademik Indonesia dari Cornell University.

    Di dalamnya kita baca kesaksian seorang muda, penulis yang antikomunis, yang dengan hati

    terbelah terlibat dalam penangkapan, penyekapan, dan pembunuhan orang-orang yang

    dituduh komunis-termasuk teman-temannya.

    Buat menerbitkan kesaksian seperti ini ketika "Orde Baru" mulai efektif perlu keberaniantersendiri. Tapi waktu ituHorisontampak ingin membuka pintu Indonesia yang luas. Di sana

    pula terbit cerita pendek Umar Kayam, "Musim Gugur Kembali di Connecticut", yang

    dengan kalimat-kalimat pendek dan tenang menyentuh hati: seorang intelektual kiri yang tak

    berbuat apa-apa dibunuh dalam pembasmian yang meluas di tahun 1960-an itu.

    Sastra Indonesia tampaknya medium yang memulai pengungkapan sejarah yang tragis

    setengah abad yang lalu itu: ada novel Yudhistira A.N.M. MassardiMencoba Tidak

    Menyerah, trilogi Ahmad Tohari, dan kemudian, dua tahun lalu,PulangLeila S. Chudori dan

    AmbaLaksmi Pamuntjak. Luar sastra menyusul: majalah Tempo1-7 Oktober 2012 merekam

    pertemuan dengan para pelaku pembantaian....

    Bahwa The Act of Killingyang paling menyentak kita, mudah dipahami: film selalu lebih

    menjangkau orang banyak, dan sebuah film dokumenter tentang sejarah yang setengah

    terpendam selalu mengejutkan, apalagi datang dari luar. Maka The Act of Killinglebih

    menarik perhatian ketimbang Sang Penari, film Indonesia pertama yang, berdasarkan fiksi

    Ahmad Tohari,Ronggeng Dukuh Paruk, menampilkan kekerasan "anti-gestapu" tahun 1960-

    an.

    The Look of Silenceagaknya tak akan kalah kontroversial ketimbang pendahulunya-dan bagi

    saya lebih menggugah. Kebuasan yang digambarkannya di Deli Serdang, Sumatera Utara,tidak hanya dilakukan satu orang. Berbeda dengan The Act of Killing, ia tak diselingi khayal

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    2/39

    surealistis dengan humor yang seram dan potret-potret preman hari ini; dalam The Look of

    Silencetak ada permainan antara imajinasi dan rekonstruksi. Bahan utamanya wawancara,

    praktis tanpa intermezo. Kata-kata terus terang, telanjang, brutal.

    Sepasang laki-laki tua mendemonstrasikan bagaimana mereka, hampir setengah abad yang

    lalu itu, mengerat kemaluan korbannya dari pantat, sebelum menikam merihnya danmenyepak tubuhnya ke sungai. "Aku minum darah orang yang aku potong," kata seseorang

    yang lain, "agar aku tidak gila." Darah manusia manis-manis asam, katanya dengan muka

    yang selalu tegang. "Aku minum dua gelas. Kuambil dari bagian tenggorokan."

    Di manakah selama ini bagian yang terpendam, ganas, dan merisaukan dari sejarah Indonesia

    ini? Malukah kita mengakuinya? Atau takut? Atau tak tahu? Atau tak peduli?

    Tokoh di pusat The Look of Silenceadalah Adi. Di masa penuh darah itu kakaknya, Ramli,

    ditangkap dan dibantai dengan bengis. Adi, yang lahir setelah pembunuhan itu, hanya

    mendapat ceritanya dari ibunya yang masih menyimpan dendam yang getir. Pada suatu hariAdi melihat rekaman pengakuan dua laki-laki yang membunuh orang-orang komunis. Kita

    tak tahu bagaimana ia mendapatkan video itu, tapi sejak itu laki-laki itu pun mencari jawab,

    menemui orang yang terlibat-dan tak mendapatkan apa-apa, selain kisah kebiadaban yang

    dilakukan sesamanya.

    Adi, seperti kita, menuntut penyesalan para pembunuh. Tapi sia-sia. Dan itulah yang

    merisaukan. Bagi kita kekejaman mereka secara universal patut dikutuk, tapi jangan-jangan

    antara kita dan mereka tak ada dasar bersama untuk menuntut sesal. Jangan-jangan apa yang

    biadab, apa yang beradab, ada di kepala dengan dunia masing-masing.

    Film ini tentu tak bertolak dari asumsi itu. Bagi Adi dan Oppenheimer, kebuasan itu sangat

    terbuka, sangat terang-benderang, buat dihakimi. Tapi tampaknya tak segampang itu. Ada

    dunia lain yang belum tertembus.

    The Look of Silenceamat kuat berbicara tentang apa, kapan, dan bagaimana. Tapi film ini tak

    cukup menggambarkan mengapa dan siapa. Tak banyak informasi tentang latar sosial Adi

    dan Ramli. Penonton yang berbahasa Jawa akan tahu, orang tua Adi datang dari Jawa, tapi

    justru akan bertanya mengapa mereka hidup di Deli Serdang dan apa yang mereka lakukan.

    Apa yang Ramli lakukan? Adakah ia seorang aktivis komunis-dan apa artinya itu bagi para

    pembunuhnya: bagaimana genealogi kebuasan itu? Dari mana datangnya? Hanya karena

    perintah dan propaganda aparat kekuasaan? Mungkinkah laku yang sekeji itu-yang terus

    mereka banggakan-terbit tanpa kebencian yang bersemai dalam pribadi dan tubuh sosial?

    Hari-hari ini kebencian masih berkecamuk dan kita tak tahu kenapa, kebiadaban masih

    dibanggakan dan kita tak tahu apa sebabnya. The Look of Silenceakan berjasa besar jika

    bersamanya kita ingat, ada pertanyaan yang gawat dan belum terjawab itu. Tak hanya di

    Indonesia.

    Goenawan Mohamad

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    3/39

    Kabinet

    Minggu, 21 September 2014

    Putu Setia

    Kaget juga saya ketika dipanggil Romo Imam untuk membicarakan masalah pekerjaan. Mau

    bekerja apa lagi sudah tua begini? Ternyata yang dimaksudkan adalah rencana anaknya yang

    akan membuat percetakan kecil-kecilan dan pembuatan papan nama. "Begitu Jokowi dilantik

    sebagai presiden, usaha ini akan kebanjiran order," kata Romo.

    Saya biarkan Romo menjelaskan lebih gamblang. "Jokowi sudah mengumumkan struktur

    kabinetnya. Beberapa kementerian berganti nama dan ada kementerian baru. Semua inimempengaruhi hal-hal kecil tetapi besar biayanya. Papan nama semua sekolah berganti huruf.

    Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan

    Menengah. Di Bali ada dua ribuan desa, kalau di setiap desa ada tiga sekolah dasar, itu sudah

    berapa ribu papan nama berganti."

    "Tapi kantak harus ganti, Romo, tinggal dihapus dan ditulis ulang," kata saya seadanya.

    Romo tertawa: "Papan namanya sudah rusak terlalu sering diganti. Dulu Departemen

    Pendidikan Nasional, lalu Kementerian Pendidikan Nasional, terus Kementerian Pendidikan

    dan Kebudayaan."

    Saya baru sadar ada hal sepele begini. "Surat-menyurat pasti diganti pula. Kop surat, amplop,

    map, kuitansi, juga kartu nama para guru," kata Romo. "Cetak-mencetak yang kecil ini tak

    praktis di percetakan besar. Pasti yang dicari percetakan dengan mesin kecil. Ini baru satu

    kementerian. Belum lagi kementerian baru seperti Kementerian Agraria. Berapa juta brosur

    akta transaksi tanah harus dibuat ulang untuk mengganti Badan Pertanahan Negara menjadi

    Kementerian Agraria. Wow, bisnis yang menguntungkan."

    "Apakah Jokowi tak menghitung biaya ini?" saya bertanya. Romo menjawab, "Saya kira

    Jokowi terlalu idealis sehingga lupa hal-hal kecil. Bahkan dia juga lupa betapa sulitnya

    menyusun kabinet dalam sistem politik di Indonesia di mana partai-partai berjuang untuk

    kekuasaan dan bukan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Jokowi boleh berkata: jangan

    pisahkan saya dari rakyat, akan menjadi presiden rakyat dan seterusnya. Tapi kenyataan yang

    sudah dan akan dia hadapi lain. Dia adalah presidennya partai, karena partai yang

    mendukungnya dan partai pula yang menentukan apakah programnya untuk rakyat berjalan

    atau tidak. Parlemen itu kanperpanjangan partai."

    Karena Romo sudah "berpolitik", saya lebih baik diam. "Jokowi merampingkan kabinet saja

    gagal. Koalisi tanpa syarat juga gagal karena partai sudah dijatah 16 menteri. Rangkap

    jabatan menteri dengan pengurus partai pun bisa gagal. Muhaimin Iskandar dan Puan

    Maharani sudah jelas menolak. Mau melawan Muhaimin ya pasti riskan, kalau dia ngambek,

    kekuatan Jokowi di parlemen makin ambruk. Justru Jokowi harus merangkul partai di

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    4/39

    seberang untuk memperkuat parlemen dan untuk itu iming-imingnya apalagi kalau bukan

    kursi menteri. Bagaimana bisa bilang tanpa syarat? Di negeri ini, syarat dan ketentuan

    berlaku."

    Romo tertawa dan saya hanya tersenyum. "Jokowi lebih baik bicara soal penghematan yang

    riil. Misal, enggak usah beli mobil baru untuk menteri, memangkas perjalanan dinas dan rapatmenteri. Iritlah bicara soal figur menteri, nanti bisa jadi bumerang. Untuk bicara profesional

    pun saya pikir tak usah diteruskan. Kriterianya sulit. Ada bankir sukses ternyata insinyur

    elektro. Ada wartawan profesional ternyata lulusan institut pertanian dengan skripsi tahi

    kambing untuk pupuk. Apalagi profesional partai, ini istilah mengada-ada. Jokowi lebih baik

    membangun komunikasi dibanding terjebak istilah-istilah sesaat."

    Saya terus diam dan menduga Romo lupa kenapa saya datang.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    5/39

    Hari Peringatan Ini dan Itu

    Senin, 22 September 2014

    Antyo Rentjoko, Bekas Narablog, @PamanTyo

    September ini ada 14 hari peringatan; menjadi 15 kalau ditambah Hari Peringatan Gerakan 30

    September 1965. Ya, dua hari sekali ada hari peringatan. Apakah semua orang ingat setiap

    hari peringatan? Apakah kaum yang diperingati oleh si hari juga ingat dan peduli--apa pun

    maknanya bagi setiap kaum?

    Rabu, 24 September, adalah Hari Tani. Oh, Hari Tani Indonesia atau Hari Tani Nasional?Yang muncul dalam arsip kabar, dan ternyatakan dalam Wikipedia Indonesia, adalah Hari

    Tani Nasional. Para petani mungkin tak hirau, kecuali yang aktif di kelompok tani dan

    berjejaring dengan rekan sekaum lintas wilayah.

    Tentu sudah sepantasnya jika pemerhati pertanian mengingatkan akan sejumlah hal untuk

    menyambut Hari Tani Nasional. Mereka tak hanya punya data, tapi juga timbunan kognisi

    disertai perangkat analitis sehingga dapat menyodorkan perspektif. Misalnya Khudori yang

    kerap menulis diKoran Tempo.

    Hari Tani akan menarik jika diisi seliweran pendapat bernas tentang ketahanan pangan,

    menanggapi politik pangan pemerintahan Jokowi-Kalla. Masyarakat umum, terutama yang

    pemakan nasi, diharapkan dapat becermin kenapa bergantung pada beras sehingga harus

    mengimpornya.

    Akan lebih menarik jika ada paparan dari ahli gizi Dokter Tan Shot Yen yang menganggap

    obat adalah racun sehingga dia tak ringan tangan meresepkannya. Tan berpandangan kritis

    terhadap asupan nasi, terigu, dan pati (singkong, kentang, ubi, jagung, talas) karena dapat

    menjadi sumber penyakit, misalnya diabetes.

    Tentang hari peringatan apa pun, sebenarnya untuk apa diperingati? Jawaban paling mudah,

    serupa logika anak SD, adalah supaya tidak lupa. Adakah ruginya jika sampai lupa, bahkan

    tak pernah tahu? Jawabannya bisa panjang, apalagi bila dari pihak yang berkepentingan.

    Bingkai kesadaran historis pasti dikedepankan.

    Jika suatu hari peringatan itu berlingkup nasional, dapatlah diandaikan bahwa yang

    berkepentingan bukan hanya pihak yang merayakannya. Misalnya 1 September sebagai Hari

    Polisi Wanita. Ini bukan soal istilah apa bedanya "wanita polisi", "perempuan polisi", dan

    "polwan"--apakah itu sebentuk dengan perbedaan "wanita pelukis" dan "pelukis wanita"? Ini

    soal apakah maknanya bagi masyarakat. Boleh saja ternyata survei mengatakan masyarakat

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    6/39

    (pria) banyak butuh tambahan polisi cantik.

    Baiklah, itu tadi hari peringatan kedinasan. Anggap saja itu kemauan pemerintah dan korps

    instansi. Ada juga hari peringatan karena kesadaran adab gaul mondial, misalnya Hari Aksara

    Internasional pada 8 September. Bagaimana dengan 4 September sebagai Hari PelangganNasional? Apakah semua orang peduli dan merayakannya, terutama sebagai pelanggan?

    Ada pula yang ditetapkan sepihak dan disambut hangat oleh pihak-pihak yang

    berkepentingan, lalu setelah lima tahun kurang bergema. Itulah Hari Blogger Nasional bulan

    depan, yang dulu ditetapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI Muhammad Nuh

    dalam Pesta Blogger 27 Oktober 2007.

    Apakah sebuah hari peringatan harus merujuk ke pemerintah atau pejabat? Pada 7 September

    lalu, khalayak ramai memperingati satu dasawarsa hari wafatnya pejuang hak asasi manusia,

    Munir Said Thalib, yang meninggal dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam. Publik punya

    kalender sendiri.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    7/39

    Melestarikan Kebudayaan

    Senin, 22 September 2014

    Mustafa Ismail, Pegiat Kebudayaan, @musismail

    Ada sebuah kalimat menarik yang saya lupa siapa yang mengucapkannya. Isinya: ketika

    Anda mencari sebuah buku dan tidak menemukannya, Andalah yang harus menuliskan. Saya

    suka kalimat itu.

    Saya pernah kalang-kabut mencari buku, yakni tentang PMTOH--sebuah seni tutur tradisi

    Aceh yang dipopulerkan oleh Teungku Adnan--untuk referensi tugas akhir kuliahpascasarjana beberapa tahun lalu. Tak ada buku yang secara khusus membahas tentang

    kesenian ini sekaligus senimannya, kecuali beberapa esai yang saya temukan di internet dan

    buku kumpulan esai seni.

    Ada informasi bahwa beberapa mahasiswa pernah menulis tugas akhir tentang topik itu, tapi

    tidak terlacak mahasiswa mana. Saya juga menemui salah seorang putra Teungku Adnan

    Pmtoh di Banda Aceh, tapi ia juga tidak memiliki buku tentang kesenian yang dipopulerkan

    ayahnya. Beberapa kawan seniman asal Aceh, baik yang tinggal di Aceh maupun di luar

    Aceh, juga tidak memilikinya.

    Pada kondisi inilah kalimat di atas begitu menohok: sayalah yang harus menulis buku itu.

    Sebab, jika sumber-sumber yang bisa menjelaskan tentang kesenian itu telah tiada, makin

    sulit bagi siapa pun untuk mencatatnya, apalagi mempelajarinya. Maka, kesenian itu pun

    terancam hanya menjadi sejarah tanpa catatan. Kalaupun ada yang menulis tugas akhir studi,

    mungkin hasilnya teronggok di perpustakaan kampus.

    Ini hanya salah satu kasus. Persoalan ini bisa terjadi di daerah mana pun. Buku-buku yang

    mencatat kebudayaan lokal tidak mudah diperoleh. Boleh jadi ada yang mencatat dan menulis

    secara mendalam tentang karya-karya budaya itu, namun entah di mana buku-buku danreferensi itu berada. Saya juga pernah melakukan riset tentang budaya provinsi lain

    menemukan fakta yang sama: tak mudah menemukan buku-bukunya.

    Beberapa informasi tersedia di internet, tapi sering tak ada sumber rujukannya. Dengan

    demikian, secara akademis, tulisan-tulisan itu tidak bisa dikutip kecuali sekadar memperkaya

    informasi. Tulisan-tulisan pendek di internet atau media sering tidak dihadirkan dalam

    kerangka mendokumentasikan karya budaya sebagai referensi ilmiah, yang mensyaratkan

    kelengkapan, kedalaman, akurasi, pengujian informasi dan data, hingga metodologi yang

    benar. Catatan-catatan itu lebih sebagai penglihatan sepintas yang hanya memotret

    permukaan.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    8/39

    Dan sering kali seseorang "memotret" sebuah kekayaan budaya sekadar mengabarkan. Ia

    lebih sebagai catatan subyektif. Tapi bukan berarti tulisan-tulisan pendek itu tidak berguna. Ia

    tetap memberikan sumbangan dalam dunia keaksaraan, sekaligus kebudayaan. Tulisan-tulisan

    itu tetap penting untuk memajukan budaya Nusantara.

    Namun yang lebih penting adalah pencatatan kekayaan budaya lokal yang dilakukan secara

    sungguh-sungguh, dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini,

    pemerintah--lewat instansi bidang kebudayaan dari tingkat kementerian hingga dinas-dinas di

    daerah--bisa berperan lebih nyata. Misalnya dengan membiayai riset-riset budaya dan

    menerbitkan hasil riset itu secara luas sehingga mudah diakses siapa saja. Begitu pula

    lembaga-lembaga dan komunitas kesenian, yang selama ini lebih sibuk dengan pertunjukan,

    juga bisa mulai memikirkan bagaimana menulis kesenian itu.

    Pencatatan dan penulisan adalah salah satu cara melestarikan dan mempromosikan

    kebudayaan. *

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    9/39

    Kabinet Nirpartai, Lagi

    SENIN, 22 SEPTEMBER 2014

    Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM

    Setelah ditunggu-tunggu, presiden terpilih Joko Widodo akhirnya mengumumkan rencana

    kabinetnya (15 September 2014). Setidaknya ada 34 kementerian dan lembaga yang

    disiapkan. Sebanyak 18 kursi menteri akan diisi kalangan profesional. Sisanya, 16 kursi,

    berasal dari partai politik.

    Pernyataan Jokowi tersebut sungguh di luar dugaan. Pasalnya, sebelumnya diyakini bahwa ia

    bakal merampingkan postur kementeriannya. Harapan untuk menggeser dominasi partai

    politik dalam pengisian jabatan menteri masih jauh panggang dari api. Kedudukan partai

    masih utama. Padahal santer diberitakan bahwa pemerintahan 2014-2019 akan mulai bersih

    dari unsur partai politik.

    Sebulan yang lalu (13 Agustus 2014) saya menulis di koran ini perihal kabinet nirpartai,

    sebuah kabinet yang mengeliminasi pengaruh dan kepentingan partai politik. Nyatanya,

    memang sulit mendudukkan partai jauh dari kekuasaan eksekutif. Sebab, keberadaan

    pengaruh partai secara tidak langsung dijamin oleh konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI1945 adalah landasan hukum bagi partai untuk ikut serta dalam urusan pasang-bongkar

    kandidat menteri.

    Lagi pula, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Kementerian Negara tidak secara

    tegas melarang calon menteri dari unsur partai politik. Artinya, partai politik sah-sah saja

    mengajukan orang yang dianggap sebagai bagian dari partai menjadi bakal calon menteri

    dalam kabinet Jokowi.

    Meski demikian, membiarkan begitu saja anasir partai masuk dalam kekuasaan eksekutif

    adalah hal yang berbahaya. Lagi-lagi, salah satu sumber masalahnya berasal dari peraturanperundang-undangan, yakni UU No. 2 Tahun 2008junctoUU No. 2 Tahun 2011 tentang

    Partai Politik. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan, "Keuangan partai politik bersumber dari

    iuran anggota" Klausul pasal inilah yang menjadi titik api pemicu penolakan calon menteri

    dari partai politik.

    Asumsinya, apabila calon menteri merupakan simpatisan, kader, anggota, apalagi pengurus

    teras partai politik, ia tetap harus membayar iuran kepada partai. Iuran itu bisa berbentuk

    langsung ataupun tidak langsung. Dari sinilah petaka lahir. Iuran yang bentuknya tidak

    langsung kemungkinan besar diserupakan dengan pengerjaan program dan proyek di

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    10/39

    kementerian masing-masing. Uang akan mengalir dari anggaran kementerian ke kantong

    partai politik. Akibatnya, orientasi yang dituju adalah penyejahteraan partai, bukan rakyat.

    Ketika partai sudah mencengkeramkan tentakelnya, akan susah bagi menteri atau

    kementerian itu sendiri untuk melepaskan diri. Sudah ada tiga contoh menteri dalam Kabinet

    Indonesia Bersatu periode 2009-2014 yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan

    kebetulan semuanya berasal dari unsur partai politik.

    Bagaimanapun, pilihan membentuk kabinet nirpartai seharusnya tak lagi menjadi kewajiban,

    melainkan sebuah kebutuhan. Apa lacur, Jokowi-JK sudah mengumumkan ada 16 kursi

    menteri yang nantinya diperuntukkan bagi partai politik. Meski demikian, tanpa bermaksud

    melawan Undang-Undang tentang Kementerian Negara untuk menghindarkan petinggi atau

    anggota partai berdiri dalam kabinet, pemimpin pilihan rakyat itu harus membuat prosedur

    dan filter yang ketat bagi setiap bakal calon menteri.

    Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM dalam laporan risetnya mengenai kecenderungan korupsi

    (Trend of Corruption Report) semester pertama tahun 2014 mendorong agar Presiden

    memberikan, setidaknya, tiga syarat bagi setiap bakal calon menteri-khususnya yang berasal

    dari partai politik. Ini adalah kebijakan jalan tengah.

    Pertama, syarat integritas. Ukurannya syarat ini jelas. Siapa saja yang tersangkut kejahatan

    dengan ancaman lima tahun atau lebih tidak dapat maju sebagai bakal calon menteri. Hal

    demikian juga berlaku bagi mereka yang disangkutpautkan-meski belum secara hukum

    dibuktikan-dengan setiap kejahatan, misalnya korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotik,

    kejahatan hak asasi manusia, dan kejahatan perdagangan manusia.

    Kedua, syarat akseptabilitas. Bakal calon menteri harus diterima oleh publik. Setelah

    pembukaan bakal calon menteri, Presiden harus membukapollingpenilaian rakyat terhadap

    semua bakal calon. Mereka yang pernah dipidana, disangka melakukan tindakan asusila,

    ditengarai terlibat pelanggaran hak asasi manusia, yang menyebabkan khalayak umum

    menolaknya, harus pula dieliminasi oleh Presiden.

    Ketiga, syarat kapabilitas. Kemampuan memimpin lembaga atau kementerian bisa dilacak

    dari catatan pengalaman setiap bakal calon menteri. Presiden harus berani menolak mereka

    yang didorong kuat oleh partai tapi tak cakap dan tak memiliki jiwa kepemimpinan(leadership), apalagi tak menguasai bidang kementerian. Sebab, para menteri akan bekerja

    bersama Presiden, bukan bersama elite partai.

    Syarat integritas, akseptabilitas, dan kapabilitas adalah bentuk negosiasi paling sederhana

    untuk memfasilitasi interestpartai dan tuntutan rakyat. Terakhir, komitmen presiden-di

    samping janjinya kepada rakyat-sejatinya menjadi tapal batas antara usaha mewujudkan

    kesejahteraan rakyat dan memenuhi kepuasan partai politik atas dahaga kekuasaan. *

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    11/39

    Dua Jempol untuk MA

    Selasa, 23 September 2014

    Joko Riyanto,Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

    Keputusan mengejutkan datang dari Mahkamah Agung (MA). MA memperberat hukuman

    mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi

    18 tahun penjara. Bukan itu saja, majelis kasasi yang dipimpin oleh Ketua Kamar Pidana MA

    Artidjo Alkostar juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.

    Menurut Artidjo, perbuatan Luthfi merupakan ironi demokrasi. Ironi karena anggota DPRyang mestinya memperjuangkan rakyat malah melakukan korupsi dengan menggunakan

    kekuasaannya untuk mendapat imbalan ataufeedari perusahaan pemasok daging sapi,

    sehingga MA mencabut hak politik Luthfi, yakni tidak boleh dipilih sebagai pejabat publik.

    Misalnya, jadi anggota DPR atau menteri atau jabatan lainnya. Itu hukuman atas korupsi

    politik.

    Putusan MA melalui majelis hakim kasasi yang diketuai oleh Artidjo Alkostar itu layak

    mendapat acungan jempol dua. Keputusan MA menjawab harapan masyarakat yang sejak era

    Reformasi menginginkan hukuman terberat bagi pelaku korupsi. Dampak lainnya dari vonis

    Luthfi, citra lembaga pengadilan akan semakin positif di mata masyarakat. Ketegasan

    putusan Artidjo yang tidak bisa dimanipulasi dengan apa pun bisa menjadi spirit bagi para

    penegak hukum dan proses peradilan semua tingkat. Sebab, salah satu titik lemah yang

    meruntuhkan semangat perang melawan korupsi sejauh ini adalah rendahnya vonis hukuman

    terhadap para koruptor, obral remisi, dan "hak-hak istimewa" di dalam penjara yang

    mendiskriminasi proses hukum.

    Sikap dan tindakan Artidjo sesuai dengan kata-kata Prof Taverne, "berikan kepadaku jaksa

    dan hakim yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun saya dapat membuat putusan

    yang baik". Independensi hakim Artidjo dalam membuat putusan dibuktikan dengan"memadukan" antara sistem civil lawdan common lawsehingga tercipta kepastian dan

    penegakan hukum yang berkeadilan.

    Sosok Artidjo layak disandingkan dengan hakim legendaris Cina, Bao Zheng. Dalam

    menjatuhkan putusan, Artidjo tidak hanya menjadi corong undang-undang. Setidaknya, dia

    memiliki pandangan dan pemikiran progresif dalam penegakan hukum. Almarhum Prof

    Satjipto Rahardjo memberikan istilah, penegakan hukum yang baik adalah penegakan hukum

    yang dijalankan dengan akal sehat dan hati nurani, sebagai pola penegakan hukum responsif

    dan progresif. Penegakan hukum yang hanya menerapkan teks undang-undang, tanpa

    memperhatikan realitas senyatanya dalam kehidupan masyarakat akan mengalami disfungsi

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    12/39

    dan penolakan karena terjadi kesenjangan pemahaman atas hukum. Penegakan hukum

    menuntut kerja keras, hati, pikiran, dan keberanian menguji batas kemampuan hukum. Jaksa

    dan hakim adalah aparat utama yang perlu secara progresif berani menguji batas kemampuan

    UU.

    Hukuman terhadap Luthfi Hasan Ishaaq diharapkan akan menjadi efek berantai yang terus

    menjadi cambuk dan yurisprudensi bagi hakim-hakim pengadilan tipikor untuk memperberat

    hukuman para koruptor lainnya. Negeri ini membutuhkan lebih banyak hakim yang memiliki

    pikiran progresif, sikap tegas-berani, mampu menerobos kebuntuan hukum, dan tindakan

    yang menguatkan agenda pemberantasan korupsi. Vonis Luthfi tersebut setidaknya bisa ikut

    memacu aparat penegak hukum untuk tidak pandang bulu dan "bermain-main" dengan kasus-

    kasus korupsi.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    13/39

    Angkringan

    Selasa, 23 September 2014

    Heru Priyatmoko, Pengamat Sejarah Solo

    Kalau perut warga Jakarta diselamatkan oleh kehadiran warung tegal, perut masyarakat

    Yogyakarta dan Solo dibuat aman berkat adanya angkringan atau hik. Di warung jenis inilah

    penghuni Kota Gudeg dan Kota Bengawan bisa makan secukupnya dengan merogoh kocek

    kurang dari sepuluh ribu rupiah.

    Menurut riwayatnya, penyebutan "angkringan" bermula dari kata "nangkring", yaitu pantatduduk di kursi panjang di depan gerobak, tubuh menghadap ke aneka rupa jajanan, dan kaki

    berayun sembari nglaras(santai). Sedangkan istilah "hik" berasal dari suara penjajanya yang

    menawarkan dagangan sewaktu berkeliling. Dulu, sebelum beralih memakai gerobak dan

    mangkal di pinggir jalan, hikdibawa oleh penjualnya dengan cara dipikul dan keluar-masuk

    kampung menyapa pembeli.

    Angkringan, seperti halnya warteg bagi orang Jakarta, adalah elemen kota yang tidak boleh

    dipandang sebelah mata. Di tengah ramainya restoran dan rumah makan internasional,

    semacam KFC, McDonald, dan Pizza Hut, angkringan dengan segala jenis jajanannya yang

    sederhana tetap mampu berkontribusi terhadap perkembangan kota. Angkringan berhasil

    menggeliatkan perekonomian di level bawah. Malahan, ia menjadi juru selamat warga yang

    berkantong cekak. Dengan kocek terbatas, kita dapat menikmatisego kucingyang menjadi

    ciri khas angkringan. Hidangan tersebut mirip dengan nasi yang disorongkan untuk kucing,

    baik segi kuantitas maupun kualitasnya. Nasinya hanya sekepal, berlauk ikan bandeng

    disertai sambal secuil (sak ndulit).

    Kenyataan yang menggembirakan, belakangan ini, hik makin merebak laksana rumput kala

    musim hujan. Ditinjau dari perspektif ekonomi, angkringan bagus untuk dijadikan solusi

    pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, menimbang usaha tersebut tidak memerlukan ijazah,skillberlebihan, dan modal uang sekarung.

    Bagi kalangan wong cilik, angkringan merupakan peluang kerja baru yang cukup

    menggiurkan. Bahkan kini banyak pengusaha yang mengembangkan bisnis angkringan yang

    dikemas menjadi kafe di dalam rumah. Konsumennya ialah kelas menengah ke atas, dan

    tentunya dengan harga yang berbeda dengan angkringan yang asli.

    Di angkringan, kita menemukan kebebasan. Dari tukang becak, kuli bangunan, sopir truk,

    mahasiswa, sampai juragan memakan camilan kacang goreng, klepon, jadah, dan menyeruput

    wedang teh yangginastel(manis-panas-kental). Tiada yang bakal menegur meski mereka

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    14/39

    mengenakan sarung, sandal jepit, dan celana kolor.

    Beda dengan di mal atau restoran. Orang berpakaian seperti itu pasti "dihadiahi" tatapan aneh

    oleh pengunjung lainnya. Mereka yang nangkringdi angkringan juga tak perlu risih meski

    baru bangun dari tidur dan rambut tanpa disisir. Bersantap di hiktak memerlukan formalitas,atribut, atau aturan yang macam-macam sebagaimana di mal.

    Bukan hanya itu, suasana yang ditawarkan hikacap bikin pengunjung betah. Kendati wedang

    mereka sudah dingin, hati masih terasa hangat untuk ngobrol ngalor-ngidul, dari urusan

    politik sampai problem rumah tangga. Demikianlah, angkringan berfungsi sebagai ruang

    publik bagi masyarakat kota lintas kelas. Juga menjadi identitas kota. Melalui angkringan,

    wong cilikbergerak menjadi aktor sejarah dan dinamo penggerak ekonomi di tingkat lokal.

    Dan pantaslah mereka diabadikan dalam album sejarah kota!

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    15/39

    Jokowi-JK dan Go Organic

    Selasa, 23 September 2014

    Khudori,Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)

    Presiden-wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, berjanji menempatkan pertanian

    di posisi penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Salah satunya dilakukan dengan

    mencanangkan program Indonesia Go Organic. Caranya, membuat proyek percontohan 1.000

    desa organik dari program reformasi agraria sebagai sentra penghasil pangan organik hingga

    2019, dan tambahan 1.000 desa lagi hingga 2024. Apa pentingnya program ini?

    Kinerja produksi aneka pangan strategis Indonesia naik-turun. Dalam beberapa tahun

    terakhir, ada kecenderungan produksi stagnan, bahkan menurun. Produksi pangan tidak

    mampu mengejar pertumbuhan permintaan. Impor menjadi solusi instan. Ada banyak

    penyebab instabilitas produksi pangan, salah satunya adalah degradasi kualitas tanah.

    Akar masalah berawal dari adopsi teknologi produksi padi pada 1970-an: Revolusi Hijau.

    Ibarat pisau bermata dua, Revolusi Hijau berdampak ganda: positif dan negatif. Lewat adopsi

    paket usaha tani, produksi beras bisa dilipatgandakan sehingga ramalan penganut Malthusian

    tak terbukti. Produksi padi naik dari 1,8 ton per hektare menjadi 3,01 ton per hektare hanya

    dalam tempo 14 tahun (1970-1984) dan kita berswasembada beras pada 1984.

    Revolusi Hijau adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang cepat memunculkan

    kekaguman, tapi diakhiri dengan kekecewaan di kemudian hari. Ini juga terjadi di negara lain.

    Paket-paket Revolusi Hijau, terutama adopsi pupuk (kimia) dan pestisida, terbukti merusak

    tanah dan lingkungan, sehingga menyulitkan kontinuitas produksi. Pemakaian pupuk

    anorganik yang terus-menerus dan takarannya yang selalu ditingkatkan membuat kualitas

    tanah terdegradasi. Akibatnya, pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil.

    Varietas unggul yang ditanam ternyata rakus hara dan mineral sehingga tanah harus terus-menerus diberikan inputhara dan mineral dalam jumlah besar. Pestisida yang digunakan

    bertubi-tubi tanpa pandang bulu menciptakan generasi hama dan penyakit yang kebal.

    Varietas unggul yang selalu dimunculkan tiap kali ada hama/penyakit yang kian tangguh

    telah membuat erosi varietas milik petani yang menghasilkan nasi pulen dan wangi. Varietas-

    varietas lokal yang tidak rakus hara tidak hanya tersingkir, tapi juga mulai punah.

    Dampak dari pemakaian pupuk anorganik adalah kian tidak responsifnya tanaman terhadap

    pemupukan. Meskipun takaran diperbesar, tingkat produktivitas tidak sebanding dengan

    penambahan inputpupuk. Berlakulah hukum besi: the law of diminishing return. Ini terjadi

    karena tanah sudah jenuh dan keletihan (fatigue soil), bahkan sakit (sick soil).

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    16/39

    Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, sekitar 73 persen lahan sawah

    (sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-

    organik 3 persen). Tanah dengan kandungan C-

    organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Biladibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C organik > 3 persen,

    kondisi itu sudah sangat kritis (Simarmata, 2012). Untuk mendongkrak produktivitas,

    kesuburan lahan harus dipulihkan.

    Didasari oleh kondisi itu, Kementerian Pertanian pada 2008 mencanangkan gerakan Go

    Organic. Sesuai dengan skenario, Go Organic direncanakan dicapai pada 2010. Program Go

    Organic meliputi pengembangan teknologi pertanian organik, kelompok tani organik,

    pengembangan perdesaan melalui pertanian organik, dan strategi pemasaran pertanian

    organik. Namun, karena rendahnya komitmen, program itu jauh dari tercapai, bahkan bisa

    dikatakan gagal. Pada akhir pemerintahan Presiden SBY, Go Organic nyaris tak terdengar.

    Jika dibedah, tidak banyak hal yang dilakukan pemerintah dalam komitmen Go Organic.

    Salah satu yang bisa dicatat adalah subsidi pupuk organik. Itu pun jumlahnya kecil. Secara

    nomenklatur, subsidi pupuk organik termasuk dalam program Pemulihan Kesuburan Lahan

    Sawah Berkelanjutan (PKLSB). Program ini dimulai pada 2010 dengan subsidi pupuk

    organik senilai Rp 300 miliar. Pada 2011, subsidi pupuk organik tidak mengucur karena

    tersandung dugaan korupsi. Pada 2014, dari 7,78 juta ton pupuk bersubsidi, 0,8 juta ton di

    antaranya pupuk organik, turun dibanding 2013 (0,9 juta ton).

    Hasil evaluasi program PKLSB oleh Balai Besar Litbang Pertanian pada 2011 di delapan

    provinsi pada 30 titik sampel menunjukkan, terdapat perbaikan signifikan pada sifat biologis

    tanah. Termasuk kenaikan kandungan C-organik dan nilai tukar kation. Kenaikan itu tidak

    memiliki perbedaan nyata dengan sebelum pengaplikasian pupuk organik. Ini bisa dipahami

    karena aplikasi kompos jerami dan pupuk hayati baru sekali dilakukan. Padahal, secara

    teoretis, kesehatan dan kesuburan tanah baru pulih setelah enam musim tanam berturut-turut

    (Simarmata, 2012). Langkah Jokowi-JK yang melanjutkan program ini patut didukung.

    Mendorong terwujudnya 1.000 desa organik tak hanya membuat petani mandiri (karena tak

    bergantung pada pabrik pupuk anorganik), tapi produktivitasnya bisa ditingkatkan dan

    keberlanjutan ekologi lebih terjamin.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    17/39

    Menggadaikan Kemandirian BPK

    Rabu, 24 September 2014

    Reza Syawawi, Periset Transparency International Indonesia

    Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih lima anggota Badan Pemeriksa Keuangan

    periode 2014-2019 melalui pemungutan suara. Dua orang merupakan anggota DPR periode

    2009-2014, yaitu Achsanul Qosasi (Partai Demokrat) dan Harry Azhar Azis (Partai Golkar).

    Keterpilihan politikus dalam jajaran anggota BPK tersebut layak dipersoalkan karena

    berpotensi besar mengganggu prinsip "bebas dan mandiri" yang seharusnya dianut lembagaBPK. Konstitusi secara tegas menganut prinsip tersebut dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945:

    "untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu

    Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri".

    Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, regulasi sangat jelas

    memberikan keleluasaan terhadap anggota partai politik untuk dapat menjadi anggota BPK.

    Prinsip "bebas dan mandiri" sama sekali diakomodasi dalam undang-undang ini yang terkait

    dengan syarat untuk menjadi anggota BPK.

    Sebagai salah satu lembaga negara yang disebutkan di dalam konstitusi, fakta ini cukup

    mengejutkan dan seolah hilang dari pantauan publik. Undang-Undang BPK yang telah ada

    sejak 2006 tetap digunakan dan tidak dipersoalkan, padahal berpotensi besar merusak daya

    kerja BPK.

    Konstitusi memang mengatur bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan

    pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tapi syarat untuk menjadi anggota BPK

    tidak diatur dalam konstitusi dan diserahkan kepada undang-undang untuk mengaturnya, tapi

    syarat tersebut juga harus menjamin dan memastikan kebebasan dan kemandirian BPK.

    Untuk membandingkan esensi dalam prinsip "mandiri" menurut konstitusi, sangat relevan

    jika membaca kembali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian

    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Putusan

    Nomor 81/PUU-IX/2011). Perbandingan ini cukup beralasan untuk dijadikan rujukan ke

    depan, setidaknya dengan dua alasan. Pertama, BPK dan lembaga penyelenggara pemilu

    (KPU, Bawaslu, DKPP) sama-sama diatur dalam konstitusi sebagai lembaga yang mandiri.

    Kedua, materi pengujian atas Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum sama

    dengan substansi yang dipermasalahkan di dalam Undang-Undang BPK, yaitu menyangkut

    anggota partai politik yang menjadi anggota penyelenggara pemilu dan anggota BPK.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    18/39

    Menurut putusan MK (pertimbangan 3.14), istilah "mandiri" merujuk pada latar belakang

    historis proses perubahan UUD 1945 terkait erat dengan konsep non-partisan. Atas

    pertimbangan ini, MK kemudian memutuskan untuk merumuskan syarat "non-partisan"

    tersebut: "syarat mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik harus dimaknai sekurang-

    kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon".

    Sekalipun syarat anggota BPK di dalam Undang-Undang tentang BPK belum diuji di MK,

    pertimbangan dan putusan MK terkait dengan lembaga negara yang "mandiri" harus

    dijadikan rujukan untuk menilai konstitusionalitasnya. Sayangnya, pembentuk undang-

    undang tidak responsif terhadap perkembangan hukum yang terjadi seusai putusan MK

    tersebut.

    Jika dibaca secara cermat, Undang-Undang tentang BPK sesungguhnya jauh lebih buruk,

    Pasal 13 yang memuat syarat-syarat untuk menjadi anggota BPK sama sekali tidak

    mencantumkan syarat untuk mengundurkan diri bagi calon yang berasal dari partai politik.

    Kondisi itulah yang kemudian membuat terpilihnya anggota BPK yang secara faktual masih

    menjadi anggota partai politik.

    Bagi penyelenggara pemilu, prinsip "mandiri" ditujukan agar mampu bersikap adil dan netral

    terhadap peserta pemilu. Bagi BPK, prinsip "mandiri" ditujukan agar daya kerja BPK tidak

    dirusak oleh afiliasi politik anggota BPK terhadap pemerintah (termasuk pemerintah daerah)

    dan lembaga lain yang mengelola keuangan negara (termasuk DPR/D). Potensi

    "perselingkuhan" kepentingan sangat mungkin terjadi lantaran mayoritas pemimpin politik,

    baik di pusat maupun di daerah, juga berasal dari partai politik.

    Sebagai lembaga audit negara yang dijamin oleh konstitusi, BPK seyogianya diisi oleh orang-

    orang yang bukan hanya memiliki kapabilitas, tapi juga wajib hukumnya untuk menjamin

    kemandirian lembaga tersebut. Keterpilihan anggota partai politik dalam jajaran anggota

    BPK semakin menambah panjang deretan lembaga-lembaga independen yang kemudian

    dimasuki oleh partai politik.

    Perbaikan regulasi terkait dengan syarat anggota BPK sangat penting untuk segera dilakukan

    dengan merujuk pada putusan MK yang telah ada. Jika tidak, agak sulit rasanya berharap

    adanya perbaikan terhadap kinerja BPK jika diisi oleh kelompok partisan.

    Dengan fakta yang terjadi saat ini, agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa memang "BPK

    Cap Politikus". Inilah situasi di mana DPR sebagai lembaga yang diamanahkan oleh

    konstitusi untuk meneguhkan kemandirian BPK justru menjadi aktor yang "menggadaikan"

    kemandirian tersebut.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    19/39

    Nostalgia

    Rabu, 24 September 2014

    Bandung Mawardi, Esais

    Joko Widodo sedang menjahit nostalgia-nostalgia saat masih bocah. Sabtu, 13 September

    2014, Joko Widodo ke Solo dengan misi nostalgia. Si lelaki kurus berjalan di pinggiran

    Kalianyar, sebelah utara Terminal Tirtonadi, Solo. Kalianyar adalah "sungai kenangan". Di

    sungai, Joko Widodo menjalani masa bocah dengan berenang dan mandi. Dulu, sungai berair

    bening. Sungai terletak di belakang rumah. Joko Widodo saat bocah tentu mengakrabi sungai,

    tempat untuk mengalirkan impian.

    Sungai pun menjadi acuan membentuk diri dan menempa kesadaran atas nasib. Joko Widodo

    berfilsafat sungai, bermula dari episode hidup di lingkungan sungai. Orang berhak becermin

    dalam air. Suara gemericik air mengandung pesan semesta. Di sungai, filsafat hidup bisa

    mengalir dan memberi keinsafan atas diri. Herman Hesse, dalam novel Siddharta,

    menampilkan tokoh bereferensi sungai. Pengisahan Siddharta: "Dia belajar dari sungai itu

    terus-menerus. Dia belajar dari sungai cara mendengarkan, mendengarkan dengan hati

    bening, dengan jiwa terbuka, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, tanpa pendapat."

    Joko Widodo bukan tokoh dalam novel, tapi mengabarkan pengesahan sungai sebagai

    referensi nostalgia.

    Dulu, Sukarno bernostalgia masa kecil untuk menjelaskan posisi diri saat menggerakkan

    Orde Lama. Sukarno mengisahkan diri lahir dan tumbuh di keluarga miskin. Dalam buku

    Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat(C. Adams, 1966) dituturkan bahwa Sukarno adalah

    bocah berusia enam tahun saat menjalani kehidupan melarat di Mojokerto. Sukarno mengaku:

    "Kami tinggal di daerahjang melarat Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa

    makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan ialah ubi kaju, djagung tumbuk

    dengan makanan lain."

    Nostalgia kemalaratan juga mengikutkan doa sang ibu. Doa dalam kemelaratan: " kelak

    engkau akan mendjadi orang jang mulia, engkau akan mendjadi pemimpin dari rakjat kita,

    karena ibu melahirkanmu djam setengah enam pagi disaat fadjar mulai menjingsing."

    Sukarno memiliki nostalgia bergelimang harapan. Doa sang ibu dikabulkan Tuhan. Sukarno

    adalah pemimpin Indonesia, bermula dari nostalgia kemelaratan.

    Nostalgia dramatis juga dimiliki Soeharto, penguasa pada masa Orde Baru. "Soeharto

    ditakdirkan di masa kecil menjalani kehidupan pahit getir dan penuh dengan penderitaan,"

    begitu O.G. Roeder menuliskan dalam bukuAnak Desa: Biografi Presiden Soeharto(1976).

    Tempat paling menentukan untuk biografi Soeharto adalah sawah. Rumah keluarga Soeharto

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    20/39

    ada di dusun, dikelilingi sawah-sawah. Soeharto mengenang saat bocah senang mencari belut

    di sawah. Soeharto juga membentuk diri melalui peran sebagai penggembala kambing dan

    kerbau, sebelum puluhan tahun kemudian menjadi "penggembala" Indonesia. Masa bocah

    terus mempengaruhi pandangan dan aksi politik Soeharto. Kita pasti ingat foto-foto dramatis

    Soeharto berlatar sawah demi memberi pesan swasembada pangan.

    Para tokoh memiliki biografi-biografi dramatis. Masa bocah adalah nostalgia, awalan dari

    takdir sebagai pemimpin. Sukarno dan Soeharto telah mengisahkan diri sejak lama kepada

    publik, memberi pengesahan atas ketokohan. Sekarang, Joko Widodo bernostalgia di sungai,

    sebelum dilantik menjadi presiden periode 2014-2019. Nostalgia diperlukan agar ada

    referensi untuk insaf dan bersahaja. Di sungai, impian dan pengharapan mengalir menuju

    istana.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    21/39

    Urgensi Kementerian Kependudukan

    Rabu, 24 September 2014

    Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik

    Jokowi-JK mewacanakan pembentukan sebuah kementerian baru, yakni Kementerian

    Kependudukan. Sesuai dengan namanya, kementerian ini direncanakan bakal berfokus pada

    persoalan kependudukan. Bila direalisasi, hal ini dapat memberikan solusi atas salah satu

    permasalahan mendasar negeri ini: lemahnya kualitas data kependudukan.

    Tak bisa ditampik, selama ini data kependudukan yang ada masih memiliki sejumlahkelemahan, antara lain ihwal ketepatan waktu (timelines) serta ketersediaan data individu

    yang lengkap dan mutakhir. Akibatnya, perencanaan kebijakan acap kali tak maksimal.

    Pelaksanaan pembangunan juga tidak efisien dan efektif, serta banyak program pemerintah

    yang meleset dari sasaran (Razali Ritonga, 2009). Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) yang

    selalu berulang menjelang pemilihan umum, dan kebocoran (salah sasaran) yang terjadi pada

    program Bantuan Langsung Tunai (BLT), adalah buktinya.

    Ditengarai, salah satu sumbu persoalannya adalah tidak adanya satu instansi khusus yang

    benar-benar berfokus mengurusi data kependudukan. Seperti diketahui, hingga kini data

    kependudukan tersebar dan ditangani oleh banyak instansi, seperti Kementerian Dalam

    Negeri, Kementerian Sosial, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Kependudukan dan

    Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

    Selama ini, data kependudukan juga terkesan diabaikan. Hal ini tecermin dari karut-marutnya

    pelaksanaan registrasi penduduk. Padahal, jika dilakukan dengan benar, registrasi penduduk

    merupakan sumber utama data kependudukan-selain sensus dan survei-yang memenuhi

    standar ketepatan waktu dan kelengkapan data individu. Fakta di lapangan menunjukkan,

    pelaksanaan registrasi penduduk-yang semestinya mencatat tiap kejadian yang dialami

    penduduk (lahir, mati, dan pindah) secara real time-kurang mendapat perhatian.

    Pembentukan Kementerian Kependudukan juga merupakan hal yang sangat urgen untuk saat

    ini karena Indonesia sedang menikmati "bonus demografi". Suatu kondisi kependudukan

    yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan

    menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan 65+ tahun). Struktur

    penduduk yang menguntungkan ini berdampak pada mengecilnya rasio ketergantungan atau

    angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk usia produktif.

    Hasil proyeksi BPS memperlihatkan, kondisi tersebut akan berlangsung hingga dua dekade

    mendatang. Setelah 2031, angka beban tanggungan akan kembali naik, dan Indonesia akan

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    22/39

    memasuki periode "utang demografi", yang ditandai dengan struktur penduduk yang

    didominasi kelompok penduduk usia tua (65+ tahun).

    Bonus demografi merupakan jendela peluang (opportunity window) bagi Indonesia. Jika bisa

    dimanfaatkan dengan baik, hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengandemikian, kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Karena itu, agar tidak kehilangan

    momentum dan terhindar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), sejumlah

    kebijakan strategis, utamanya investasi modal manusia, harus diambil oleh pemerintah

    mendatang. Dan, hal ini bakal sulit dilakukan tanpa dukungan data kependudukan yang

    berkualitas sebagai pijakan.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    23/39

    Lagu Ini Ciptaan Siapa?

    Kamis, 25 September 2014

    Denny Sakrie, Pengamat Musik

    Beberapa waktu lalu, saya menyambangi sebuah gerai musik di Plaza Senayan, Jakarta.

    Perhatian saya tertumbuk pada sebuah album bertajuk Symphonic Tales of Indonesiakarya

    pianis jazz Tjut Nja Deviana, yang isinya menginterpretasi ulang lagu-lagu tradisional

    Indonesia.

    Sebagian besar lagu yang ditampilkan dalam album tersebut memang tidak menyertakankredit penciptaan lagu. Sebab, sebagian besar lagu tradisonal memang tak diketahui siapa

    penciptanya. Penggagas album ini hanya mencantumkan kode copyright controlsebagai

    pengganti nama pencipta lagu yang tak diketahui, termasuk lagu berbahasa Makassar

    Anging Mammiri. Padahal, lagu yang sejak dulu kerap dianggap mewakili kultur Sulawesi

    Selatan itu sebetulnya diciptakan oleh Borra Daeng Ngirate.

    Jadi sangat tidak beretika jika karya yang diketahui penciptanya hanya mencantumkan tulisan

    NN atau copyright control. Ini menunjukkan perilaku malas dari penggagas album ini-dari

    pemusik hingga label yang merilisnya-untuk mencari info tentang lagu-lagu yang akan

    dibawakan dalam sebuah produksi rekaman. Karena tidak semua lagu yang lazimnya

    dianggap lagu tradisional itu tak memiliki kredit penciptaan sama sekali. Misalnya, lagu

    Manuk Dadalikarya Sambas, Rek Ayo Rekkarya Is Haryanto, Tul Jaenakkarya Yok

    Koeswoyo, atau Warung Pojokkarya H Abdul Ajib.

    Seringkali kita menemukan album rekaman yang merilis lagu-lagu yang saya sebut tadi tanpa

    menyebutkan nama pencipta lagunya sama sekali. Dengan gampang, kolom pencipta lagu

    hanya diisi dengan tulisan NN. Demikian pula para pengelola acara televisi yang seringkali

    tak menyertakan nama pencipta lagu. Mereka hanya menuliskan lagu ini dipopulerkan oleh...

    Contohnya, lagu Andeca Andeci, yang dipopulerkan oleh Warkop DKI. Padahal, jikamereka memang mempunyai iktikad baik dan mau bersusah-payah mencari tahu siapa

    pencipta lagu tersebut, niscaya akan ditemukan bahwa Andeca Andeciadalah lagu karya

    almarhum Oslan Husein yang terdapat dalam albumsoundtrackfilmKasih Tak Sampai

    (1968).

    Penulisan nama pencipta lagu dianggap hal remeh yang tak penting oleh kebanyakan pelaku

    di dunia hiburan, seperti pemusik, perusahaan rekaman, film, televisi, hingga pengelola

    tempat karaoke. Memang tak semuanya berperilaku seperti itu. Sheila Timothy, produser film

    Tabularasa, yang banyak menggunakan lagu-lagu Indonesia lama era 1950-an dan 1960-an,

    berkukuh mencari informasi mengenai penyanyi, pencipta lagu, dan perusahaan rekaman

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    24/39

    yang terkait dengan lagu Iseng Bersamadan Mak Inang Pulau Kampaiuntuk kemudian

    meminta izin penggunaan lagu-lagu tersebut dalam filmnya. Tentunya ini sebuah iktikad baik

    yang patut diteladani. Karena seyogianyalah lagu tidak menjadi barang yang jatuh begitu saja

    dari langit tanpa ada yang menciptakan.

    Seperti yang kita ketahui, revisi Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

    yang terdiri atas 19 bab dan 126 pasal, baru saja disahkan sebagai undang-undang pada 16

    September lalu. Semestinya kita tak lagi serampangan dalam menggunakan karya-karya seni,

    terutama lagu, dalam pelbagai keperluan dan kepentingan. Perlindungan hak cipta adalah

    sebuah kebutuhan yang mesti diwujudkan.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    25/39

    Kantor Pos dan Distribusi Buku Ajar

    Kamis, 25 September 2014

    Muhidin M Dahlan, Kerani @warungarsip

    Inilah solusi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim

    untuk menyelesaikan urusan distribusi buku ajar Kurikulum 2013 (K-13): gandeng Badan

    Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian

    Keuangan.

    Sekilas ini terlihat seperti solusi yang komprehensif, tapi justru tidak menyelesaikan masalah.Pangkal soal distribusi buku ajar adalah rantai pengiriman barang. Mestinya hal pertama yang

    dilakukan pemerintah setelah perusahaan percetakan menyelesaikan tugasnya adalah

    menunjuk lembaga yang kompeten dalam menyebarkan buku di seluruh wilayah Indonesia.

    Ketimbang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri serta Badan Pengawasan

    Keuangan dan Pembangunan untuk menekan percetakan dan pemerintah daerah, mengapa

    tidak menghadirkan PT Pos Indonesia sebagai mitra kerja distribusi buku? Apalagi Pos

    adalah badan usaha milik negara. Menekan percetakan untuk segera mengirim buku ke

    seluruh pelosok daerah hanya mengulangi kesalahan-kesalahan distribusi pada masa lalu

    yang berujung pada keluhan tahunan yang akut.

    Mula-mula distribusi buku ajar ini dilakukan lewat rantai birokrasi, lalu diganti dengan

    distribusi berbasis penerbit swasta dan toko buku. Setelah dievaluasi, distribusi buku ajar

    diubah dan dilakukan secara online, sekaligus menandai hadirnya e-bookdi Indonesia.

    Karena tak efektif lantaran infrastruktur internet di Indonesia masih timpang, diputuskan

    bahwa perusahaan percetakan buku ajar itu sendirilah yang mengirimkan buku.

    Hasilnya, heboh. Buku ajar tak tepat waktu datang ke sekolah pada 1976, sama dengan

    kehebohan pada tahun ini. Bayangkan, hampir empat dekade kita tak punya solusi apa-apatentang distribusi massal buku ajar. Dan selama hampir empat dekade itu pula kita melupakan

    adanya armada distribusi barang milik pemerintah yang paling luas jangkauan dan

    cakupannya. Perkenalkan: PT Pos Indonesia. Saya kira, menunjuk Pos sebagai distributor

    buku ajar K-13 akan menyelesaikan banyak masalah.

    Pertama, menghidupkan kegiatan bisnis pengiriman Pos Indonesia yang tengah lesu darah

    karena berhadapan dengan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Kedua,

    menghidupkan fungsi baru kantor Pos Indonesia yang ada di hampir seluruh kecamatan di

    seluruh Indonesia. Bukan hanya sebagai halte surat, tapi juga pusat informasi dan buku di

    kecamatan.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    26/39

    Ketiga, Pos Indonesia memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang terlatih. Unit

    kerjanya bukan hanya mendistribusikan buku ajar K-13, tapi juga menjadi distributor

    terdepan buku-buku dari lembaga penerbitan swasta di Indonesia untuk kebutuhan sekolah di

    desa-desa terpencil yang jauh dari akses literasi.

    Warga di daerah yang mengeluhkan ketiadaan akses bacaan yang berkualitas bisa dibantu

    pemerintah dengan mengikat kerja sama dengan Pos Indonesia untuk membuka lini baru:

    toko buku. Kehadiran toko buku di tingkat kecamatan ala Pos Indonesia akan mengurai

    kutukan lama. Warga tak mesti ke kota besar hanya untuk mendapatkan buku cerita

    berkualitas atau buku ilmu pengetahuan yang bagus. Soal kemampuan membeli, jangan

    pernah meremehkan warga kampung.

    Fungsi ketiga inilah yang membawa angin baru bagi Pos Indonesia sebagai bagian penting

    agen literasi Indonesia dan sekaligus menyelesaikan masalah distribusi buku yang sejak

    empat dekade silam tak pernah serius ditangani. *

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    27/39

    Nama-nama yang Baik

    Jum'at, 26 September 2014

    EH Kartanegara, Wartawan

    Betapa terkejut Annemarie Schimmel ketika, suatu pagi, ketika membaca judul berita koran

    Pakistan Times, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbunyi: "Pertolongan

    Allah Tewas Kecelakaan di Jalan." Muncul bisikan dalam hati: bagaimana mungkin

    "Pertolongan Allah" mengalami kecelakaan?

    Dalam buku tentang nama-nama yang baik,Islamic Names: An Introduction-Islamic Surveys(Edinburgh University Press, England, 1995), profesor bahasa Arab dan studi-studi Islam itu

    menulis: "Pertolongan dari Allah" ternyata nama seorang lelaki yang rupanya dicomot secara

    acak oleh orang tuanya dari sebaris ayat Al-Quran.

    Teks aslinya diambil dari potongan surat Ash-Shaff ( 61 ): 13 berbunyi nashrun min Allah

    (pertolongan dari Allah), yang jika dilafalkan menjadi nashrum minallah. Ya, Nashrun itulah

    yang mati akibat kecelakaan.

    Tentang nama-nama yang baik, menurut riset mendalam Schimmel di sepanjang Jazirah

    Islam, menunjukkan keunikan yang sangat khas Islam, sekaligus menunjukkan ketaatan dan

    keyakinan kaum terhadap Al-Quran dan hadis. Lewat kitab suci itu Tuhan menyediakan

    ribuan nama yang bukan hanya sangat indah, tapi juga bermakna, filosofis, bermuatan doa,

    harapan, dan ajaran kebaikan bagi manusia.

    Tuhan sendiri menyebut diri-Nya dengan nama-nama yang mencerminkan sifat-sifat-Nya

    yang serba baik; Asma' Al-Husna. Nama-nama itu-Rahman, Rahim, 'Aziz, Ghaffar, dan

    seterusnya-sekaligus bisa dijadikan himpunan doa Al-Asma' Al-Husna. M. Quraish Shihab

    menyusun doa-doa itu dalam sebuah buku yang laris,Doa Al-Asma' Al-Husna (Doa yang

    Disukai Allah).

    Dengan meminjam nama-nama itu, nama seorang anak keluarga Islam yang terlebih dulu

    disematkan melalui upacara akikah-lengkap dengan menyembelih kambing segala-

    merupakan ibadah sakral sebagaimana dituntunkan Rasulullah. Nama-nama yang baik, nama-

    nama sakral dari langit, menggemakan keagungan dan kemuliaan Sang Pencipta bagi

    peradaban luhur manusia di bumi.

    Dalam pandangan Schimmel, selalu ada makna besar, agung, dan mulia di balik nama-nama

    yang baik itu. Alasan itu pula yang sering menggetarkan hatinya saat menelaah sekian ribu

    nama islami, yang dalam rentetan sejarahnya telah bercampur-baur dengan berbagai kata dan

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    28/39

    dialek lokal, dari Mesir, Turki, Pakistan, India, Maroko, Arab Saudi, Yaman, Iran, hingga

    Afganistan. Dari sini bisa diketahui manusia pada hakikatnya bersaudara bukan hanya karena

    hubungan darah-bukankah sama-sama keturunan Adam-tapi juga kesamaan nama.

    Makna besar, agung, dan mulia itu pula rupanya yang luput (atau dilalaikan?) daripemahaman banyak orang. Seseorang bernama 'Ali atau sering ditulis Ali, misalnya, boleh

    jadi tak paham bahwa nama itu sesungguhnya sematan keagungan Tuhan. Nama ini berasal

    dari kata dasar 'Ala ("Yang Maha Tinggi" ), yang semestinya diucapkan dengan bibir gemetar

    dalam sujud saat seseorang khusyuk salat. Bagaimana mungkin "Yang Maha Tinggi" ternyata

    justru terlibat tindak pidana korupsi?

    Annemarie Schimmel akan terkejut berkali-kali membaca koran di Indonesia yang memuat

    sederet panjang nama koruptor yang semuanya tak ada nama yang buruk. Pemberian nama

    yang baik, menurut Schimmel, adalah sebentuk anugerah Tuhan. Segala tindakan buruk yang

    dilakukannya itu mau disebut apa kalau bukan pengingkaran terhadap anugerah Tuhan? *

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    29/39

    Sejarah dan Restrukturisasi KementerianAgama

    Jum'at, 26 September 2014

    Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

    Penghapusan Kementerian Agama hampir mustahil bila didasarkan pada Undang-Undang

    Kementerian Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Sebab, pembubarannya

    harus dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Belakangan ada rumor

    bahwa akan ada penggantian namanya menjadi Kementerian Urusan Haji, Zakat, dan Wakaf,

    yang itu pun sudah dibantah oleh presiden terpilih Joko Widodo.

    Walaupun demikian, pembicaraan tentang fungsi dan cakupan tugas tetap perlu, karena

    struktur kementerian yang sekarang memberi kesan adanya "pembagian kaveling agama-

    agama besar" saja di Indonesia. Sebelumnya akan diuraikan sejarah Kementerian Agama

    sebagai latar belakang artikel ini.

    Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus 1945 tentang

    pembentukan kabinet, usul tentang Kementerian Agama ditolak oleh Johannes Latuharhary.

    Namun dalam perkembangannya, seperti ditulis Wahid Hasjim, "Setelah berjalan dariAgustus hingga November tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam

    prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak

    dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di

    dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan)

    dari soal-soal lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang

    pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya

    adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama

    dan negara."

    Dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25-27 November 1945,

    pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia

    Daerah Keresidenan Banyumas, "Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini

    janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan,

    Pengajaran, dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan

    tersendiri."

    Usul itu didukung oleh tokoh Masyumi di antara Mohammad Natsir dan diterima secara

    aklamasi. Presiden Sukarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bung

    Hatta langsung berdiri dan mengatakan, "Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    30/39

    perhatian pemerintah." Pada mulanya terjadi diskusi apakah kementerian itu dinamakan

    Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama. Tapi akhirnya diputuskan nama

    Kementerian Agama.

    Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan oleh pemerintah melalui siaran RadioRepublik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai

    Menteri Agama RI pertama. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam

    modern (ia memperoleh gelar doktor di Prancis) dan pada kemudian hari dikenal sebagai

    pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.

    Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada

    beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri (masalah perkawinan, peradilan

    agama, kemasjidan, dan urusan haji), Kementerian Kehakiman (Mahkamah Islam Tinggi),

    dan Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (masalah pengajaran agama di

    sekolah-sekolah).

    Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato

    yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama

    bertujuan memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.

    Dewasa ini, Kementerian Agama memiliki tujuh Direktorat Jenderal (Dirjen), yakni 1)

    Pendidikan Agama Islam; 2) Penyelenggaraan Haji dan Umroh; 3) Bimbingan Masyarakat

    Islam; 4) Bimbingan Masyarakat Katholik; 5) Bimbingan Masyarakat Kristen; 6) Bimbingan

    Masyarakat Hindu; 7) Bimbingan Masyarakat Buddha. Belum ada Dirjen BimbinganMasyarakat Konghucu. Dewasa ini, Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

    dan Tradisi merupakan direktorat tersendiri pada Dirjen Kebudayaan Kementerian

    Pendidikan.

    Sebaiknya kementerian ini tidak dibuat berkotak-kotak berdasarkan agama besar di Tanah

    Air, tapi berdasarkan fungsinya, seperti Dirjen Pendidikan Agama, Dirjen Kerukunan

    Beragama, Dirjen Prasarana dan Fasilitas Agama, dan Dirjen Penyelenggaraan Haji/Umroh.

    Bisa ditambah dengan Dirjen Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Kaharingan,

    Parmalim, Sunda Wiwitan, dan seterusnya).

    Pada Direktorat Jenderal Kerukunan Beragama terdapat pejabat berbagai agama yang

    bertugas melestarikan perdamaian dan menyelesaikan konflik di antara umat beragama.

    Terserah apakah urusan haji tetap merupakan wewenang Dirjen Kementerian Agama atau

    badan tersendiri yang berada langsung di bawah presiden. *

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    31/39

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    32/39

    Pada tahun ini, lahir Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini

    pada dasarnya menegaskan pengakuan negara terhadap keberadaan desa dan sistem hukum

    adat di kampung. Dari titik inilah UU ini secara signifikan memberi ruang perencanaan,

    penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Kampung tidak lagi dimaknai sebagai lumbung

    ekonomi dan politik yang menguntungkan penguasa. Di tangan Jokowi, kampung diberiperhatian, kebijakan, dan bantuan yang memungkinkan lahirnya manusia-manusia cerdas

    yang mampu melahirkan komoditas kreatif. Bagaimana wajah kampung selanjutnya? Sejarah

    yang akan menulisnya. *

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    33/39

    Politik Hukum Kasus Anas

    Sabtu, 27 September 2014

    Joko Riyanto,Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

    Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan mantan Ketua Umum Partai

    Demokrat Anas Urbaningrum terbukti melakukan korupsi secara berlanjut dan pencucian

    uang secara berulang-ulang. Anas divonis dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp

    300 juta subsider 3 bulan kurungan. Mantan anggota DPR itu juga dijatuhi hukuman

    membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar dan US$ 5,22 juta atau subsider 2 tahun kurungan

    (Koran Tempo, 25/9/2014).

    Bagi Anas, vonis tersebut tidak adil karena tidak sesuai dengan fakta persidangan. Bahkan,

    Anas mengajak majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk melakukan sumpah kutukan

    (mubahalah). Menurut Anas, dengan sumpah tersebut, siapa pun yang tidak berlaku adil

    harus siap menerima kutukan.

    Terlepas dari itu, sisi politik hukum Anas patut dicermati. Selama proses hukum oleh KPK,

    Anas menuduh KPK melakukan konspirasi politik jahat dengan SBY. Anas beranggapan dia

    adalah korban (dikorbankan) politik jahat tertentu. Kasus Hambalang yang membelitnya

    diyakini buah campur tangan SBY. Anas juga mempertanyakan kenapa KPK memeriksanya

    namun tidak berani memeriksa Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono

    (Ibas/putra SBY), selaku ketua panitia penyelenggara, dan SBY selaku penanggung jawab

    kongres Partai Demokrat di Bandung, 2010 lalu. Padahal, KPK selalu menekankan

    pemberantasan korupsi tidak tebang pilih dan menyatakan semua orang sama di depan

    hukum.

    Dalam menilai dan menganalisis kasus Anas, kita yakin KPK tidak bekerja atas dasar

    pesanan siapa pun atau berada dalam tekanan serta pengaruh kekuasaan tertentu. KPK tak

    akan sembarang memanggil seseorang tanpa ada fakta yang jelas. Kita juga yakin KPK sudahbekerja keras menyidik secara intensif semua data dan informasi yang masuk. KPK juga telah

    melakukan uji silang terhadap semua informasi guna mendapatkan bukti-bukti yang konkret.

    KPK juga melakukan kajian lebih mendalam mengenai info, mengkonstruksi, dan

    menyimpulkan informasi soal kasus korupsi secara hukum.

    Proses hukum Anas didasarkan pada fakta-fakta hukum, seperti kesaksian dan putusan

    Pengadilan Tipikor atas terdakwa Muhammad Nazaruddin, keterangan saksi Neneng Sri

    Wahyuni soal pembayaran satu unit mobil Harrier, dan dakwaan Deddy Kusdinar yang

    menyebut Anas menerima aliran dana dari proyek Hambalang. Bahkan, Presiden SBY

    mempersilakan KPK memeriksa Ibas kalau memang ada bukti kuat keterlibatan dalam

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    34/39

    proyek Hambalang.

    Boleh saja Anas dan barisannya membangun opini publik serta mengeluarkan argumentasi

    politik, tapi KPK juga tidak boleh surut dan terpengaruh oleh semua itu. Bukan hanya yang

    berkaitan dengan Anas, bahkan KPK harus membuka banyak kemungkinan lewat sinyal-sinyal yang disampaikan oleh Anas dan loyalisnya. Langkah banding KPK atas vonis Anas

    sudah tepat untuk memaksimalkan hukuman.

    Jika Anas memang yakin tidak bersalah, bukalah halaman-halaman berikutnya dari kasus

    Hambalang dan proyek-proyek lainnya! Dan forum pengadilanlah tempat untuk mengungkap

    semua itu supaya kasus Hambalang menjadi terang-benderang dan mengungkap aktor utama

    lainnya yang belum tersentuh hukum. Syaratnya, halaman-halaman yang akan dibuka Anas

    harus disertai bukti dan dalil hukum kuat, bukan ocehan politik balas dendam kepada pihak

    tertentu.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    35/39

    Ramuan Tradisional

    Minggu, 28 September 2014

    Heri Priyatmoko,Anggota Tim Pusaka Kota Surakarta

    "Wong Jawa kuwi sugih tamba." Demikianlah ungkapan leluhur kita yang nyaris tenggelam

    berbarengan dengan tersingkirnya ramuan klasik Nusantara akibat ekspansi obat-obatan

    asing. Idiom tersebut pernah membuat antropolog termasyhur Clifford Geertz terkejut

    sewaktu mengadakan riset di Jawa Timur. Dalam karyanya yang menjadi klasik,Abangan,

    Santri, Priyayi(1983), Geertz mengungkapkan bahwa dokter-dokter hanya punya dua obat

    (pil dan suntikan), sementara orang Jawa punya ribuan.

    Belum lama ini, di Kota Surakarta, digelar acara Solo Festival Jamu. Acara minum ramuan

    klasik secara massal dan pameran stan jamu dari berbagai kelurahan itu berupaya

    membangkitkan kepedulian publik terhadap ramuan tradisional sebagai produk kebudayaan

    Nuswantara. Setiap kelurahan bebas menampilkan ramuan tradisional kreasi sendiri. Usaha

    memasyarakatkan ramuan pribumi mendesak dilakukan karena obat-obat dari negeri

    seberang kini membanjiri Indonesia bak tanggul jebol.

    Nenek moyang kita, baik yang berada di lingkungan keraton maupun pedesaan,

    meninggalkan warisan agung berupa aneka jenis ramuan tradisional disertai bahan yang

    berlimpah. Sayang bila ramuan yang sejatinya produk intelektual bangsa ini sekarang kerap

    menjadi bahan cemooh. Pemikiran Barat yang mengedepankan nalar mempengaruhi manusia

    Indonesia modern untuk tiada lagi mempercayai local geniusyang dibungkusgugon tuhon

    atau mitos, sebuah cara leluhur kita menyembunyikan fakta.

    Gugon tuhondalam dunia pengobatan tradisional sejak periode kerajaan telah menjadi bahan

    perdebatan, dan diberitakan oleh jurnalis di masa itu. KoranDarmo Kondoedisi 25 Maret

    1907 menginformasikan pentingnya orang Jawa percayagugon tuhon, dan kepercayaan ini

    diprediksi tak akan hilang ditelan zaman. Dikisahkan, di Surakarta terdapat pohon Gom.Pakubuwono VIII pernah duduk di sekitar pohon itu, dan bersabda bahwa pohon ini sudah

    ditakdirkan Gusti Allah bisa menyembuhkan orang yang terkena penyakit sariawan. Caranya,

    tangkainya dipotong dengan sebilah keris atau sabit seraya mengucapkan mantra: "tidak

    motong doerinja pohoen Gom, tetapi motong penyakit gom".

    Ternyata, tangkai itu terbukti mujarab. Akhirnya, banyak warga memakai tangkai pohon

    Gom untuk ramuan mengobati sariawan. Bahkan mereka juga takut menempati di bekas

    tempat duduk raja lantaran dianggap wingit. Tafsir kritisnya adalah ke-wingit-an tersebut

    diciptakan supaya penduduk tidak merusak pohon dan batu. Pesan tersirat raja juga dapat kita

    tangkap bahwa Tuhan memang menciptakan obat untuk manusia dari berbagai bahan alam

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    36/39

    yang ada di sekitarnya.

    Kala itu, sebenarnya sudah beredar obat atau pil di toko. Akan tetapi, harganya belum tentu

    terjangkau oleh wong cilik. Seperti yang diberitakanDarmo Kondoedisi 27 Mei 1923, telah

    muncul iklan Pil Slamet yang dikabarkan bisa mengobati aneka penyakit.

    Harus diingat bahwa mayoritas masyarakat Jawa periode kerajaan ialah kaum petani miskin

    dan buruh. Juga dengan corak pemikirannya yang pramodern dan hunian dekat alam

    pedesaan-pegunungan, maka mereka memilih memakai ramuan tradisional guna mencegah

    atau mengusir penyakit yang mendera. Suatu kenyataan historis bahwa di wilayah pedesaan

    terdapat mantri umum yang bertugas memberi penyuluhan, dan mantri spesialis jenis

    penyakit. Tapi, mantri ini muncul kala tertentu, saat di mana wabah penyakit merebak yang

    dinilai merawankan keselamatan orang-orang Eropa di kota. Kaum wong cilikjarang ikut

    merasakan keahlian mantri, mereka cukup mengandalkan ramuan klasik.

    Berbekal ilmu titendan teknik takaran manual (sejimpit, sejumput, sekilan, sekepel, dan

    segelas), leluhur kita menjaga kesehatan dengan ramuan kuno seperti jamu. Kemudian,

    munculnya usaha penerbitan buku cukup membantu membumikan sekaligus melestarikan

    kekayaan budaya itu. Pengetahuan tentang ramuan berkhasiat yang bersifat lisan ditulis dan

    dicetak menjadi buku, lalu disebarluaskan. Misalnya, Serat Primbon Jampi Jawiyang

    tersimpan di perpustakaan Reksopustoko, Mangkunegaran. Dalam naskah tersebut, ada dua

    jenis pengobatan, yaitu pengobatan tradisional dengan ramuan obat serta pengobatan

    tradisional spiritual/kebatinan karena atas dasar kepercayaan dan atas dasar agama (membaca

    Surat Al-Ikhlas dan mantera Sunan Kalijaga).

    Dalam pemahaman orang Jawa, kuasa ilahi meresapi seluruh alam raya, termasuk manusia,

    hewan, tumbuhan, dan benda-benda. Mungkin wajar bila pembaca bingung menelaah

    mentah-mentah isi naskah klasik, apalagi menggunakan kacamata modern. Sistem

    penyembuhan tradisional yang tersurat dalam serat semestinya ditempatkan pada suatu posisi

    dalam konstelasi budaya dan masyarakat di mana sistem itu berjalan. Guna menilai sistem ini

    kududikaitkan dengan cara manusia Jawa memandang alam sekitarnya dan dirinya.

    Ramuan kuno jangan cepat-cepat dituding musyrik dan klenik. Kita semestinya paham bahwa

    banyak negara di dunia yang punya sistem medis kuno dan tidak tertulis, termasuk di

    Indonesia. Masyarakat pendukungnya berhasrat meningkatkan sistem medis asli itu pada

    status "terpisah tapi sederajat" dengan kedokteran Barat, dilandasi argumen mengenai segi

    kekunoan pengetahuan medis negara yang bersangkutan atau kemasyhuran efektivitas

    pengobatan tradisional itu.

    Dari paparan historis ini, diketahui bahwa, dari waktu ke waktu, ramuan kuno telah

    memainkan peran penting dalam dunia kesehatan Indonesia. Juga melambangkan masa silam

    negeri ini dan tingkat peradaban Nusantara yang tinggi di masa lalu. Ramuan berbahan

    tumbuhan yang berasal dari alam raya merupakan ilmu pengobatan asli rakyat Indonesia,yang sudah dikenal berabad-abad lamanya. Apakah kita tega membiarkan kearifan lokal ini

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    37/39

    hilang, dan lebih memilih berkiblat pada obat-obatan Cina dan Barat? Jika demikian adanya,

    berarti kita adalah bangsa yang tak mandiri dan gagal mengelola pusaka leluhur yang

    berharga itu. Obat saja harus impor.

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    38/39

    Jilbooty danJilboobs

    Sabtu, 27 September 2014

    Musyafak, Staf di Balai Litbang Agama Semarang

    Baru-baru ini di linimaya ramai perbincangan menyoal cara berjilbab yang masih

    menampakkan sembulan-sembulan tubuh yang sensual. Dalam perbincangan yang penuh

    cemoohan itu tercetus dua istilah yang setidaknya merepresentasikan fenomena berjilbab

    yang paradoksal, yaitujilbootydanjilboobs.

    Istilah yang pertama merupakan akronim dari jilbab dan booty(pantat).Jilbootymenunjukcara berjilbab yang mengabaikan bagian bawah tubuh, sehingga lekukan bokong atau bahkan

    sebagian bokong jelas terpapar. Adapun istilah yang kedua adalah akronim dari jilbab dan

    boobs (dada).Jilboobsjuga menjadi istilah cemoohan bagi mereka yang berjilbab mini dan

    berbaju ketat sehinga sembulan dadanya tampak jelas.

    Baikjilbootymaupunjilboobsmemaparkan paradoks perempuan muslim dalam mengurus

    syariat danfashion. Dalam satu waktu, seseorang memutuskan untuk menutup kepalanya

    dengan jilbab, namun sebagian tubuhnya yang sensual justru ditonjolkan. Fenomena itu

    mengisyaratkan bahwa seseorang tidak mau mati gaya, dalam arti kehilangan kesan seksi,

    ketika mengenakan jilbab.

    Secara ideologis, ada nalar keagamaan yang tersembunyi di balik jilbab. Ada alasan-alasan

    syariah yang melatarbelakangi orang berjilbab, semisal perintah agama untuk menutup aurat

    di sebagian kepala-meski batasan-batasannya juga masih longgar untuk didebatkan.

    Namun, dalam konteks sosiologis, tidak semua perempuan muslim yang berjilbab serta-merta

    menuruti ajaran agama. Sebagian mereka tak ubahnya "korban" dari proyek politik identitas

    kaum muslim di Indonesia yang hendak mengukuhkan identitas kemusliman di ruang publik

    dengan simbol-simbol agama seperti jilbab. Di tengah gelombang proyek identitas itu paraperempuan "dipaksa" melakukan konformitas (penyesuaian) sosial dengan sesama muslim

    perempuan yang sudah dominan berjilbab.

    Secara historis, bentuk jilbab yang sekarang digunakan oleh perempuan-perempuan muslim

    di Indonesia baru muncul pada 1990-an ketika proyek identitas kaum muslim Indonesia

    sedang digulirkan. Sebelumnya, tradisi menutup kepala dilakukan dengan sejenis kerudung

    (Jawa) atau a'bongong(Makassar) yang tidak menutup semua bagian rambut atau kepala.

    Kini, jilbab telah mengalami komodifikasi sedemikian rupa oleh industri fashion. Jilbab tidak

    semata-mata diletakkan sebagai titah agama, tapi juga kebutuhan mode yang fleksibel dan

  • 8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014

    39/39

    dinamis yang bisa diperbarui sewaktu-waktu. Komodifikasi ini ditautkan dengan industri

    hiburan yang mudah diakses masyarakat muslim melalui media massa. Akhirnya, para artis

    yang kini malah menjadi "panutan" dalam berjilbab.

    Ketika Syahrini mengenakan jilbab model baru, misalnya, segera akan booming"jilbabSyahrini". Anganan berjilbab yang modis itu juga tampak dari munculnya komunitas-

    komunitasjilbabers yang mengajari para perempuan untuk berjilbab semisal dengan gaya

    lipat-lilit yang bermacam-macam. Dari kalangan inilah kemudian muncul buku-buku

    panduan berjilbab.

    Fenomenajilbooty danjilboobstak sesederhana urusan syariah ataupun gaya hidup. Di

    baliknya tersembunyi ketegangan, atau sebaliknya, pembauran yang manis antara tafsir

    keagamaan, kapitalisme, dan proyek identitas keislaman. *