Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
Transcript of Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
1/39
Adi
Senin, 22 September 2014
Laki-laki tua yang jangkung dan bermuka keras itu, yang hidup dengan seekor monyet kecil
di sebuah gubuk, bercerita dengan suara yang masih ganas tentang bagaimana ia membunuh.
"Aku tebas buah dada perempuan itu; dari akar putingnya mengalir air susu. Lalu aku potong
lehernya...."
Dokumentasi tentang kekejaman di Indonesia sekitar 1965 bertambah-dan bisa bertambah.
The Look of Silence, film baru Joshua Oppenheimer, semacam sambungan dari filmnya yang
terdahulu, The Act of Killing, kini sudah beredar secara terbatas. Dalam rekaman seperti yang
saya kutip, dari ingatan, Oppenheimer menunjukkan keunggulannya sebagai pembuat film
dokumenter dan keunggulan seseorang yang datang mengusik hati kita dengan pertanyaan.
Tentu ia bukan orang pertama dalam perkara ini. Pada Agustus 1969, majalahHorison
memuat tulisan Usamah, "Perang dan Kemanusiaan". Tulisan ini, nonfiksi, begitu menarik
perhatian hingga diterjemahkan ke dalam jurnal akademik Indonesia dari Cornell University.
Di dalamnya kita baca kesaksian seorang muda, penulis yang antikomunis, yang dengan hati
terbelah terlibat dalam penangkapan, penyekapan, dan pembunuhan orang-orang yang
dituduh komunis-termasuk teman-temannya.
Buat menerbitkan kesaksian seperti ini ketika "Orde Baru" mulai efektif perlu keberaniantersendiri. Tapi waktu ituHorisontampak ingin membuka pintu Indonesia yang luas. Di sana
pula terbit cerita pendek Umar Kayam, "Musim Gugur Kembali di Connecticut", yang
dengan kalimat-kalimat pendek dan tenang menyentuh hati: seorang intelektual kiri yang tak
berbuat apa-apa dibunuh dalam pembasmian yang meluas di tahun 1960-an itu.
Sastra Indonesia tampaknya medium yang memulai pengungkapan sejarah yang tragis
setengah abad yang lalu itu: ada novel Yudhistira A.N.M. MassardiMencoba Tidak
Menyerah, trilogi Ahmad Tohari, dan kemudian, dua tahun lalu,PulangLeila S. Chudori dan
AmbaLaksmi Pamuntjak. Luar sastra menyusul: majalah Tempo1-7 Oktober 2012 merekam
pertemuan dengan para pelaku pembantaian....
Bahwa The Act of Killingyang paling menyentak kita, mudah dipahami: film selalu lebih
menjangkau orang banyak, dan sebuah film dokumenter tentang sejarah yang setengah
terpendam selalu mengejutkan, apalagi datang dari luar. Maka The Act of Killinglebih
menarik perhatian ketimbang Sang Penari, film Indonesia pertama yang, berdasarkan fiksi
Ahmad Tohari,Ronggeng Dukuh Paruk, menampilkan kekerasan "anti-gestapu" tahun 1960-
an.
The Look of Silenceagaknya tak akan kalah kontroversial ketimbang pendahulunya-dan bagi
saya lebih menggugah. Kebuasan yang digambarkannya di Deli Serdang, Sumatera Utara,tidak hanya dilakukan satu orang. Berbeda dengan The Act of Killing, ia tak diselingi khayal
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
2/39
surealistis dengan humor yang seram dan potret-potret preman hari ini; dalam The Look of
Silencetak ada permainan antara imajinasi dan rekonstruksi. Bahan utamanya wawancara,
praktis tanpa intermezo. Kata-kata terus terang, telanjang, brutal.
Sepasang laki-laki tua mendemonstrasikan bagaimana mereka, hampir setengah abad yang
lalu itu, mengerat kemaluan korbannya dari pantat, sebelum menikam merihnya danmenyepak tubuhnya ke sungai. "Aku minum darah orang yang aku potong," kata seseorang
yang lain, "agar aku tidak gila." Darah manusia manis-manis asam, katanya dengan muka
yang selalu tegang. "Aku minum dua gelas. Kuambil dari bagian tenggorokan."
Di manakah selama ini bagian yang terpendam, ganas, dan merisaukan dari sejarah Indonesia
ini? Malukah kita mengakuinya? Atau takut? Atau tak tahu? Atau tak peduli?
Tokoh di pusat The Look of Silenceadalah Adi. Di masa penuh darah itu kakaknya, Ramli,
ditangkap dan dibantai dengan bengis. Adi, yang lahir setelah pembunuhan itu, hanya
mendapat ceritanya dari ibunya yang masih menyimpan dendam yang getir. Pada suatu hariAdi melihat rekaman pengakuan dua laki-laki yang membunuh orang-orang komunis. Kita
tak tahu bagaimana ia mendapatkan video itu, tapi sejak itu laki-laki itu pun mencari jawab,
menemui orang yang terlibat-dan tak mendapatkan apa-apa, selain kisah kebiadaban yang
dilakukan sesamanya.
Adi, seperti kita, menuntut penyesalan para pembunuh. Tapi sia-sia. Dan itulah yang
merisaukan. Bagi kita kekejaman mereka secara universal patut dikutuk, tapi jangan-jangan
antara kita dan mereka tak ada dasar bersama untuk menuntut sesal. Jangan-jangan apa yang
biadab, apa yang beradab, ada di kepala dengan dunia masing-masing.
Film ini tentu tak bertolak dari asumsi itu. Bagi Adi dan Oppenheimer, kebuasan itu sangat
terbuka, sangat terang-benderang, buat dihakimi. Tapi tampaknya tak segampang itu. Ada
dunia lain yang belum tertembus.
The Look of Silenceamat kuat berbicara tentang apa, kapan, dan bagaimana. Tapi film ini tak
cukup menggambarkan mengapa dan siapa. Tak banyak informasi tentang latar sosial Adi
dan Ramli. Penonton yang berbahasa Jawa akan tahu, orang tua Adi datang dari Jawa, tapi
justru akan bertanya mengapa mereka hidup di Deli Serdang dan apa yang mereka lakukan.
Apa yang Ramli lakukan? Adakah ia seorang aktivis komunis-dan apa artinya itu bagi para
pembunuhnya: bagaimana genealogi kebuasan itu? Dari mana datangnya? Hanya karena
perintah dan propaganda aparat kekuasaan? Mungkinkah laku yang sekeji itu-yang terus
mereka banggakan-terbit tanpa kebencian yang bersemai dalam pribadi dan tubuh sosial?
Hari-hari ini kebencian masih berkecamuk dan kita tak tahu kenapa, kebiadaban masih
dibanggakan dan kita tak tahu apa sebabnya. The Look of Silenceakan berjasa besar jika
bersamanya kita ingat, ada pertanyaan yang gawat dan belum terjawab itu. Tak hanya di
Indonesia.
Goenawan Mohamad
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
3/39
Kabinet
Minggu, 21 September 2014
Putu Setia
Kaget juga saya ketika dipanggil Romo Imam untuk membicarakan masalah pekerjaan. Mau
bekerja apa lagi sudah tua begini? Ternyata yang dimaksudkan adalah rencana anaknya yang
akan membuat percetakan kecil-kecilan dan pembuatan papan nama. "Begitu Jokowi dilantik
sebagai presiden, usaha ini akan kebanjiran order," kata Romo.
Saya biarkan Romo menjelaskan lebih gamblang. "Jokowi sudah mengumumkan struktur
kabinetnya. Beberapa kementerian berganti nama dan ada kementerian baru. Semua inimempengaruhi hal-hal kecil tetapi besar biayanya. Papan nama semua sekolah berganti huruf.
Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah. Di Bali ada dua ribuan desa, kalau di setiap desa ada tiga sekolah dasar, itu sudah
berapa ribu papan nama berganti."
"Tapi kantak harus ganti, Romo, tinggal dihapus dan ditulis ulang," kata saya seadanya.
Romo tertawa: "Papan namanya sudah rusak terlalu sering diganti. Dulu Departemen
Pendidikan Nasional, lalu Kementerian Pendidikan Nasional, terus Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan."
Saya baru sadar ada hal sepele begini. "Surat-menyurat pasti diganti pula. Kop surat, amplop,
map, kuitansi, juga kartu nama para guru," kata Romo. "Cetak-mencetak yang kecil ini tak
praktis di percetakan besar. Pasti yang dicari percetakan dengan mesin kecil. Ini baru satu
kementerian. Belum lagi kementerian baru seperti Kementerian Agraria. Berapa juta brosur
akta transaksi tanah harus dibuat ulang untuk mengganti Badan Pertanahan Negara menjadi
Kementerian Agraria. Wow, bisnis yang menguntungkan."
"Apakah Jokowi tak menghitung biaya ini?" saya bertanya. Romo menjawab, "Saya kira
Jokowi terlalu idealis sehingga lupa hal-hal kecil. Bahkan dia juga lupa betapa sulitnya
menyusun kabinet dalam sistem politik di Indonesia di mana partai-partai berjuang untuk
kekuasaan dan bukan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Jokowi boleh berkata: jangan
pisahkan saya dari rakyat, akan menjadi presiden rakyat dan seterusnya. Tapi kenyataan yang
sudah dan akan dia hadapi lain. Dia adalah presidennya partai, karena partai yang
mendukungnya dan partai pula yang menentukan apakah programnya untuk rakyat berjalan
atau tidak. Parlemen itu kanperpanjangan partai."
Karena Romo sudah "berpolitik", saya lebih baik diam. "Jokowi merampingkan kabinet saja
gagal. Koalisi tanpa syarat juga gagal karena partai sudah dijatah 16 menteri. Rangkap
jabatan menteri dengan pengurus partai pun bisa gagal. Muhaimin Iskandar dan Puan
Maharani sudah jelas menolak. Mau melawan Muhaimin ya pasti riskan, kalau dia ngambek,
kekuatan Jokowi di parlemen makin ambruk. Justru Jokowi harus merangkul partai di
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
4/39
seberang untuk memperkuat parlemen dan untuk itu iming-imingnya apalagi kalau bukan
kursi menteri. Bagaimana bisa bilang tanpa syarat? Di negeri ini, syarat dan ketentuan
berlaku."
Romo tertawa dan saya hanya tersenyum. "Jokowi lebih baik bicara soal penghematan yang
riil. Misal, enggak usah beli mobil baru untuk menteri, memangkas perjalanan dinas dan rapatmenteri. Iritlah bicara soal figur menteri, nanti bisa jadi bumerang. Untuk bicara profesional
pun saya pikir tak usah diteruskan. Kriterianya sulit. Ada bankir sukses ternyata insinyur
elektro. Ada wartawan profesional ternyata lulusan institut pertanian dengan skripsi tahi
kambing untuk pupuk. Apalagi profesional partai, ini istilah mengada-ada. Jokowi lebih baik
membangun komunikasi dibanding terjebak istilah-istilah sesaat."
Saya terus diam dan menduga Romo lupa kenapa saya datang.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
5/39
Hari Peringatan Ini dan Itu
Senin, 22 September 2014
Antyo Rentjoko, Bekas Narablog, @PamanTyo
September ini ada 14 hari peringatan; menjadi 15 kalau ditambah Hari Peringatan Gerakan 30
September 1965. Ya, dua hari sekali ada hari peringatan. Apakah semua orang ingat setiap
hari peringatan? Apakah kaum yang diperingati oleh si hari juga ingat dan peduli--apa pun
maknanya bagi setiap kaum?
Rabu, 24 September, adalah Hari Tani. Oh, Hari Tani Indonesia atau Hari Tani Nasional?Yang muncul dalam arsip kabar, dan ternyatakan dalam Wikipedia Indonesia, adalah Hari
Tani Nasional. Para petani mungkin tak hirau, kecuali yang aktif di kelompok tani dan
berjejaring dengan rekan sekaum lintas wilayah.
Tentu sudah sepantasnya jika pemerhati pertanian mengingatkan akan sejumlah hal untuk
menyambut Hari Tani Nasional. Mereka tak hanya punya data, tapi juga timbunan kognisi
disertai perangkat analitis sehingga dapat menyodorkan perspektif. Misalnya Khudori yang
kerap menulis diKoran Tempo.
Hari Tani akan menarik jika diisi seliweran pendapat bernas tentang ketahanan pangan,
menanggapi politik pangan pemerintahan Jokowi-Kalla. Masyarakat umum, terutama yang
pemakan nasi, diharapkan dapat becermin kenapa bergantung pada beras sehingga harus
mengimpornya.
Akan lebih menarik jika ada paparan dari ahli gizi Dokter Tan Shot Yen yang menganggap
obat adalah racun sehingga dia tak ringan tangan meresepkannya. Tan berpandangan kritis
terhadap asupan nasi, terigu, dan pati (singkong, kentang, ubi, jagung, talas) karena dapat
menjadi sumber penyakit, misalnya diabetes.
Tentang hari peringatan apa pun, sebenarnya untuk apa diperingati? Jawaban paling mudah,
serupa logika anak SD, adalah supaya tidak lupa. Adakah ruginya jika sampai lupa, bahkan
tak pernah tahu? Jawabannya bisa panjang, apalagi bila dari pihak yang berkepentingan.
Bingkai kesadaran historis pasti dikedepankan.
Jika suatu hari peringatan itu berlingkup nasional, dapatlah diandaikan bahwa yang
berkepentingan bukan hanya pihak yang merayakannya. Misalnya 1 September sebagai Hari
Polisi Wanita. Ini bukan soal istilah apa bedanya "wanita polisi", "perempuan polisi", dan
"polwan"--apakah itu sebentuk dengan perbedaan "wanita pelukis" dan "pelukis wanita"? Ini
soal apakah maknanya bagi masyarakat. Boleh saja ternyata survei mengatakan masyarakat
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
6/39
(pria) banyak butuh tambahan polisi cantik.
Baiklah, itu tadi hari peringatan kedinasan. Anggap saja itu kemauan pemerintah dan korps
instansi. Ada juga hari peringatan karena kesadaran adab gaul mondial, misalnya Hari Aksara
Internasional pada 8 September. Bagaimana dengan 4 September sebagai Hari PelangganNasional? Apakah semua orang peduli dan merayakannya, terutama sebagai pelanggan?
Ada pula yang ditetapkan sepihak dan disambut hangat oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, lalu setelah lima tahun kurang bergema. Itulah Hari Blogger Nasional bulan
depan, yang dulu ditetapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI Muhammad Nuh
dalam Pesta Blogger 27 Oktober 2007.
Apakah sebuah hari peringatan harus merujuk ke pemerintah atau pejabat? Pada 7 September
lalu, khalayak ramai memperingati satu dasawarsa hari wafatnya pejuang hak asasi manusia,
Munir Said Thalib, yang meninggal dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam. Publik punya
kalender sendiri.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
7/39
Melestarikan Kebudayaan
Senin, 22 September 2014
Mustafa Ismail, Pegiat Kebudayaan, @musismail
Ada sebuah kalimat menarik yang saya lupa siapa yang mengucapkannya. Isinya: ketika
Anda mencari sebuah buku dan tidak menemukannya, Andalah yang harus menuliskan. Saya
suka kalimat itu.
Saya pernah kalang-kabut mencari buku, yakni tentang PMTOH--sebuah seni tutur tradisi
Aceh yang dipopulerkan oleh Teungku Adnan--untuk referensi tugas akhir kuliahpascasarjana beberapa tahun lalu. Tak ada buku yang secara khusus membahas tentang
kesenian ini sekaligus senimannya, kecuali beberapa esai yang saya temukan di internet dan
buku kumpulan esai seni.
Ada informasi bahwa beberapa mahasiswa pernah menulis tugas akhir tentang topik itu, tapi
tidak terlacak mahasiswa mana. Saya juga menemui salah seorang putra Teungku Adnan
Pmtoh di Banda Aceh, tapi ia juga tidak memiliki buku tentang kesenian yang dipopulerkan
ayahnya. Beberapa kawan seniman asal Aceh, baik yang tinggal di Aceh maupun di luar
Aceh, juga tidak memilikinya.
Pada kondisi inilah kalimat di atas begitu menohok: sayalah yang harus menulis buku itu.
Sebab, jika sumber-sumber yang bisa menjelaskan tentang kesenian itu telah tiada, makin
sulit bagi siapa pun untuk mencatatnya, apalagi mempelajarinya. Maka, kesenian itu pun
terancam hanya menjadi sejarah tanpa catatan. Kalaupun ada yang menulis tugas akhir studi,
mungkin hasilnya teronggok di perpustakaan kampus.
Ini hanya salah satu kasus. Persoalan ini bisa terjadi di daerah mana pun. Buku-buku yang
mencatat kebudayaan lokal tidak mudah diperoleh. Boleh jadi ada yang mencatat dan menulis
secara mendalam tentang karya-karya budaya itu, namun entah di mana buku-buku danreferensi itu berada. Saya juga pernah melakukan riset tentang budaya provinsi lain
menemukan fakta yang sama: tak mudah menemukan buku-bukunya.
Beberapa informasi tersedia di internet, tapi sering tak ada sumber rujukannya. Dengan
demikian, secara akademis, tulisan-tulisan itu tidak bisa dikutip kecuali sekadar memperkaya
informasi. Tulisan-tulisan pendek di internet atau media sering tidak dihadirkan dalam
kerangka mendokumentasikan karya budaya sebagai referensi ilmiah, yang mensyaratkan
kelengkapan, kedalaman, akurasi, pengujian informasi dan data, hingga metodologi yang
benar. Catatan-catatan itu lebih sebagai penglihatan sepintas yang hanya memotret
permukaan.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
8/39
Dan sering kali seseorang "memotret" sebuah kekayaan budaya sekadar mengabarkan. Ia
lebih sebagai catatan subyektif. Tapi bukan berarti tulisan-tulisan pendek itu tidak berguna. Ia
tetap memberikan sumbangan dalam dunia keaksaraan, sekaligus kebudayaan. Tulisan-tulisan
itu tetap penting untuk memajukan budaya Nusantara.
Namun yang lebih penting adalah pencatatan kekayaan budaya lokal yang dilakukan secara
sungguh-sungguh, dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini,
pemerintah--lewat instansi bidang kebudayaan dari tingkat kementerian hingga dinas-dinas di
daerah--bisa berperan lebih nyata. Misalnya dengan membiayai riset-riset budaya dan
menerbitkan hasil riset itu secara luas sehingga mudah diakses siapa saja. Begitu pula
lembaga-lembaga dan komunitas kesenian, yang selama ini lebih sibuk dengan pertunjukan,
juga bisa mulai memikirkan bagaimana menulis kesenian itu.
Pencatatan dan penulisan adalah salah satu cara melestarikan dan mempromosikan
kebudayaan. *
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
9/39
Kabinet Nirpartai, Lagi
SENIN, 22 SEPTEMBER 2014
Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
Setelah ditunggu-tunggu, presiden terpilih Joko Widodo akhirnya mengumumkan rencana
kabinetnya (15 September 2014). Setidaknya ada 34 kementerian dan lembaga yang
disiapkan. Sebanyak 18 kursi menteri akan diisi kalangan profesional. Sisanya, 16 kursi,
berasal dari partai politik.
Pernyataan Jokowi tersebut sungguh di luar dugaan. Pasalnya, sebelumnya diyakini bahwa ia
bakal merampingkan postur kementeriannya. Harapan untuk menggeser dominasi partai
politik dalam pengisian jabatan menteri masih jauh panggang dari api. Kedudukan partai
masih utama. Padahal santer diberitakan bahwa pemerintahan 2014-2019 akan mulai bersih
dari unsur partai politik.
Sebulan yang lalu (13 Agustus 2014) saya menulis di koran ini perihal kabinet nirpartai,
sebuah kabinet yang mengeliminasi pengaruh dan kepentingan partai politik. Nyatanya,
memang sulit mendudukkan partai jauh dari kekuasaan eksekutif. Sebab, keberadaan
pengaruh partai secara tidak langsung dijamin oleh konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI1945 adalah landasan hukum bagi partai untuk ikut serta dalam urusan pasang-bongkar
kandidat menteri.
Lagi pula, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Kementerian Negara tidak secara
tegas melarang calon menteri dari unsur partai politik. Artinya, partai politik sah-sah saja
mengajukan orang yang dianggap sebagai bagian dari partai menjadi bakal calon menteri
dalam kabinet Jokowi.
Meski demikian, membiarkan begitu saja anasir partai masuk dalam kekuasaan eksekutif
adalah hal yang berbahaya. Lagi-lagi, salah satu sumber masalahnya berasal dari peraturanperundang-undangan, yakni UU No. 2 Tahun 2008junctoUU No. 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan, "Keuangan partai politik bersumber dari
iuran anggota" Klausul pasal inilah yang menjadi titik api pemicu penolakan calon menteri
dari partai politik.
Asumsinya, apabila calon menteri merupakan simpatisan, kader, anggota, apalagi pengurus
teras partai politik, ia tetap harus membayar iuran kepada partai. Iuran itu bisa berbentuk
langsung ataupun tidak langsung. Dari sinilah petaka lahir. Iuran yang bentuknya tidak
langsung kemungkinan besar diserupakan dengan pengerjaan program dan proyek di
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
10/39
kementerian masing-masing. Uang akan mengalir dari anggaran kementerian ke kantong
partai politik. Akibatnya, orientasi yang dituju adalah penyejahteraan partai, bukan rakyat.
Ketika partai sudah mencengkeramkan tentakelnya, akan susah bagi menteri atau
kementerian itu sendiri untuk melepaskan diri. Sudah ada tiga contoh menteri dalam Kabinet
Indonesia Bersatu periode 2009-2014 yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan
kebetulan semuanya berasal dari unsur partai politik.
Bagaimanapun, pilihan membentuk kabinet nirpartai seharusnya tak lagi menjadi kewajiban,
melainkan sebuah kebutuhan. Apa lacur, Jokowi-JK sudah mengumumkan ada 16 kursi
menteri yang nantinya diperuntukkan bagi partai politik. Meski demikian, tanpa bermaksud
melawan Undang-Undang tentang Kementerian Negara untuk menghindarkan petinggi atau
anggota partai berdiri dalam kabinet, pemimpin pilihan rakyat itu harus membuat prosedur
dan filter yang ketat bagi setiap bakal calon menteri.
Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM dalam laporan risetnya mengenai kecenderungan korupsi
(Trend of Corruption Report) semester pertama tahun 2014 mendorong agar Presiden
memberikan, setidaknya, tiga syarat bagi setiap bakal calon menteri-khususnya yang berasal
dari partai politik. Ini adalah kebijakan jalan tengah.
Pertama, syarat integritas. Ukurannya syarat ini jelas. Siapa saja yang tersangkut kejahatan
dengan ancaman lima tahun atau lebih tidak dapat maju sebagai bakal calon menteri. Hal
demikian juga berlaku bagi mereka yang disangkutpautkan-meski belum secara hukum
dibuktikan-dengan setiap kejahatan, misalnya korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotik,
kejahatan hak asasi manusia, dan kejahatan perdagangan manusia.
Kedua, syarat akseptabilitas. Bakal calon menteri harus diterima oleh publik. Setelah
pembukaan bakal calon menteri, Presiden harus membukapollingpenilaian rakyat terhadap
semua bakal calon. Mereka yang pernah dipidana, disangka melakukan tindakan asusila,
ditengarai terlibat pelanggaran hak asasi manusia, yang menyebabkan khalayak umum
menolaknya, harus pula dieliminasi oleh Presiden.
Ketiga, syarat kapabilitas. Kemampuan memimpin lembaga atau kementerian bisa dilacak
dari catatan pengalaman setiap bakal calon menteri. Presiden harus berani menolak mereka
yang didorong kuat oleh partai tapi tak cakap dan tak memiliki jiwa kepemimpinan(leadership), apalagi tak menguasai bidang kementerian. Sebab, para menteri akan bekerja
bersama Presiden, bukan bersama elite partai.
Syarat integritas, akseptabilitas, dan kapabilitas adalah bentuk negosiasi paling sederhana
untuk memfasilitasi interestpartai dan tuntutan rakyat. Terakhir, komitmen presiden-di
samping janjinya kepada rakyat-sejatinya menjadi tapal batas antara usaha mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan memenuhi kepuasan partai politik atas dahaga kekuasaan. *
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
11/39
Dua Jempol untuk MA
Selasa, 23 September 2014
Joko Riyanto,Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Keputusan mengejutkan datang dari Mahkamah Agung (MA). MA memperberat hukuman
mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi
18 tahun penjara. Bukan itu saja, majelis kasasi yang dipimpin oleh Ketua Kamar Pidana MA
Artidjo Alkostar juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
Menurut Artidjo, perbuatan Luthfi merupakan ironi demokrasi. Ironi karena anggota DPRyang mestinya memperjuangkan rakyat malah melakukan korupsi dengan menggunakan
kekuasaannya untuk mendapat imbalan ataufeedari perusahaan pemasok daging sapi,
sehingga MA mencabut hak politik Luthfi, yakni tidak boleh dipilih sebagai pejabat publik.
Misalnya, jadi anggota DPR atau menteri atau jabatan lainnya. Itu hukuman atas korupsi
politik.
Putusan MA melalui majelis hakim kasasi yang diketuai oleh Artidjo Alkostar itu layak
mendapat acungan jempol dua. Keputusan MA menjawab harapan masyarakat yang sejak era
Reformasi menginginkan hukuman terberat bagi pelaku korupsi. Dampak lainnya dari vonis
Luthfi, citra lembaga pengadilan akan semakin positif di mata masyarakat. Ketegasan
putusan Artidjo yang tidak bisa dimanipulasi dengan apa pun bisa menjadi spirit bagi para
penegak hukum dan proses peradilan semua tingkat. Sebab, salah satu titik lemah yang
meruntuhkan semangat perang melawan korupsi sejauh ini adalah rendahnya vonis hukuman
terhadap para koruptor, obral remisi, dan "hak-hak istimewa" di dalam penjara yang
mendiskriminasi proses hukum.
Sikap dan tindakan Artidjo sesuai dengan kata-kata Prof Taverne, "berikan kepadaku jaksa
dan hakim yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun saya dapat membuat putusan
yang baik". Independensi hakim Artidjo dalam membuat putusan dibuktikan dengan"memadukan" antara sistem civil lawdan common lawsehingga tercipta kepastian dan
penegakan hukum yang berkeadilan.
Sosok Artidjo layak disandingkan dengan hakim legendaris Cina, Bao Zheng. Dalam
menjatuhkan putusan, Artidjo tidak hanya menjadi corong undang-undang. Setidaknya, dia
memiliki pandangan dan pemikiran progresif dalam penegakan hukum. Almarhum Prof
Satjipto Rahardjo memberikan istilah, penegakan hukum yang baik adalah penegakan hukum
yang dijalankan dengan akal sehat dan hati nurani, sebagai pola penegakan hukum responsif
dan progresif. Penegakan hukum yang hanya menerapkan teks undang-undang, tanpa
memperhatikan realitas senyatanya dalam kehidupan masyarakat akan mengalami disfungsi
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
12/39
dan penolakan karena terjadi kesenjangan pemahaman atas hukum. Penegakan hukum
menuntut kerja keras, hati, pikiran, dan keberanian menguji batas kemampuan hukum. Jaksa
dan hakim adalah aparat utama yang perlu secara progresif berani menguji batas kemampuan
UU.
Hukuman terhadap Luthfi Hasan Ishaaq diharapkan akan menjadi efek berantai yang terus
menjadi cambuk dan yurisprudensi bagi hakim-hakim pengadilan tipikor untuk memperberat
hukuman para koruptor lainnya. Negeri ini membutuhkan lebih banyak hakim yang memiliki
pikiran progresif, sikap tegas-berani, mampu menerobos kebuntuan hukum, dan tindakan
yang menguatkan agenda pemberantasan korupsi. Vonis Luthfi tersebut setidaknya bisa ikut
memacu aparat penegak hukum untuk tidak pandang bulu dan "bermain-main" dengan kasus-
kasus korupsi.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
13/39
Angkringan
Selasa, 23 September 2014
Heru Priyatmoko, Pengamat Sejarah Solo
Kalau perut warga Jakarta diselamatkan oleh kehadiran warung tegal, perut masyarakat
Yogyakarta dan Solo dibuat aman berkat adanya angkringan atau hik. Di warung jenis inilah
penghuni Kota Gudeg dan Kota Bengawan bisa makan secukupnya dengan merogoh kocek
kurang dari sepuluh ribu rupiah.
Menurut riwayatnya, penyebutan "angkringan" bermula dari kata "nangkring", yaitu pantatduduk di kursi panjang di depan gerobak, tubuh menghadap ke aneka rupa jajanan, dan kaki
berayun sembari nglaras(santai). Sedangkan istilah "hik" berasal dari suara penjajanya yang
menawarkan dagangan sewaktu berkeliling. Dulu, sebelum beralih memakai gerobak dan
mangkal di pinggir jalan, hikdibawa oleh penjualnya dengan cara dipikul dan keluar-masuk
kampung menyapa pembeli.
Angkringan, seperti halnya warteg bagi orang Jakarta, adalah elemen kota yang tidak boleh
dipandang sebelah mata. Di tengah ramainya restoran dan rumah makan internasional,
semacam KFC, McDonald, dan Pizza Hut, angkringan dengan segala jenis jajanannya yang
sederhana tetap mampu berkontribusi terhadap perkembangan kota. Angkringan berhasil
menggeliatkan perekonomian di level bawah. Malahan, ia menjadi juru selamat warga yang
berkantong cekak. Dengan kocek terbatas, kita dapat menikmatisego kucingyang menjadi
ciri khas angkringan. Hidangan tersebut mirip dengan nasi yang disorongkan untuk kucing,
baik segi kuantitas maupun kualitasnya. Nasinya hanya sekepal, berlauk ikan bandeng
disertai sambal secuil (sak ndulit).
Kenyataan yang menggembirakan, belakangan ini, hik makin merebak laksana rumput kala
musim hujan. Ditinjau dari perspektif ekonomi, angkringan bagus untuk dijadikan solusi
pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, menimbang usaha tersebut tidak memerlukan ijazah,skillberlebihan, dan modal uang sekarung.
Bagi kalangan wong cilik, angkringan merupakan peluang kerja baru yang cukup
menggiurkan. Bahkan kini banyak pengusaha yang mengembangkan bisnis angkringan yang
dikemas menjadi kafe di dalam rumah. Konsumennya ialah kelas menengah ke atas, dan
tentunya dengan harga yang berbeda dengan angkringan yang asli.
Di angkringan, kita menemukan kebebasan. Dari tukang becak, kuli bangunan, sopir truk,
mahasiswa, sampai juragan memakan camilan kacang goreng, klepon, jadah, dan menyeruput
wedang teh yangginastel(manis-panas-kental). Tiada yang bakal menegur meski mereka
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
14/39
mengenakan sarung, sandal jepit, dan celana kolor.
Beda dengan di mal atau restoran. Orang berpakaian seperti itu pasti "dihadiahi" tatapan aneh
oleh pengunjung lainnya. Mereka yang nangkringdi angkringan juga tak perlu risih meski
baru bangun dari tidur dan rambut tanpa disisir. Bersantap di hiktak memerlukan formalitas,atribut, atau aturan yang macam-macam sebagaimana di mal.
Bukan hanya itu, suasana yang ditawarkan hikacap bikin pengunjung betah. Kendati wedang
mereka sudah dingin, hati masih terasa hangat untuk ngobrol ngalor-ngidul, dari urusan
politik sampai problem rumah tangga. Demikianlah, angkringan berfungsi sebagai ruang
publik bagi masyarakat kota lintas kelas. Juga menjadi identitas kota. Melalui angkringan,
wong cilikbergerak menjadi aktor sejarah dan dinamo penggerak ekonomi di tingkat lokal.
Dan pantaslah mereka diabadikan dalam album sejarah kota!
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
15/39
Jokowi-JK dan Go Organic
Selasa, 23 September 2014
Khudori,Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
Presiden-wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, berjanji menempatkan pertanian
di posisi penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Salah satunya dilakukan dengan
mencanangkan program Indonesia Go Organic. Caranya, membuat proyek percontohan 1.000
desa organik dari program reformasi agraria sebagai sentra penghasil pangan organik hingga
2019, dan tambahan 1.000 desa lagi hingga 2024. Apa pentingnya program ini?
Kinerja produksi aneka pangan strategis Indonesia naik-turun. Dalam beberapa tahun
terakhir, ada kecenderungan produksi stagnan, bahkan menurun. Produksi pangan tidak
mampu mengejar pertumbuhan permintaan. Impor menjadi solusi instan. Ada banyak
penyebab instabilitas produksi pangan, salah satunya adalah degradasi kualitas tanah.
Akar masalah berawal dari adopsi teknologi produksi padi pada 1970-an: Revolusi Hijau.
Ibarat pisau bermata dua, Revolusi Hijau berdampak ganda: positif dan negatif. Lewat adopsi
paket usaha tani, produksi beras bisa dilipatgandakan sehingga ramalan penganut Malthusian
tak terbukti. Produksi padi naik dari 1,8 ton per hektare menjadi 3,01 ton per hektare hanya
dalam tempo 14 tahun (1970-1984) dan kita berswasembada beras pada 1984.
Revolusi Hijau adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang cepat memunculkan
kekaguman, tapi diakhiri dengan kekecewaan di kemudian hari. Ini juga terjadi di negara lain.
Paket-paket Revolusi Hijau, terutama adopsi pupuk (kimia) dan pestisida, terbukti merusak
tanah dan lingkungan, sehingga menyulitkan kontinuitas produksi. Pemakaian pupuk
anorganik yang terus-menerus dan takarannya yang selalu ditingkatkan membuat kualitas
tanah terdegradasi. Akibatnya, pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil.
Varietas unggul yang ditanam ternyata rakus hara dan mineral sehingga tanah harus terus-menerus diberikan inputhara dan mineral dalam jumlah besar. Pestisida yang digunakan
bertubi-tubi tanpa pandang bulu menciptakan generasi hama dan penyakit yang kebal.
Varietas unggul yang selalu dimunculkan tiap kali ada hama/penyakit yang kian tangguh
telah membuat erosi varietas milik petani yang menghasilkan nasi pulen dan wangi. Varietas-
varietas lokal yang tidak rakus hara tidak hanya tersingkir, tapi juga mulai punah.
Dampak dari pemakaian pupuk anorganik adalah kian tidak responsifnya tanaman terhadap
pemupukan. Meskipun takaran diperbesar, tingkat produktivitas tidak sebanding dengan
penambahan inputpupuk. Berlakulah hukum besi: the law of diminishing return. Ini terjadi
karena tanah sudah jenuh dan keletihan (fatigue soil), bahkan sakit (sick soil).
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
16/39
Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, sekitar 73 persen lahan sawah
(sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-
organik 3 persen). Tanah dengan kandungan C-
organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Biladibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C organik > 3 persen,
kondisi itu sudah sangat kritis (Simarmata, 2012). Untuk mendongkrak produktivitas,
kesuburan lahan harus dipulihkan.
Didasari oleh kondisi itu, Kementerian Pertanian pada 2008 mencanangkan gerakan Go
Organic. Sesuai dengan skenario, Go Organic direncanakan dicapai pada 2010. Program Go
Organic meliputi pengembangan teknologi pertanian organik, kelompok tani organik,
pengembangan perdesaan melalui pertanian organik, dan strategi pemasaran pertanian
organik. Namun, karena rendahnya komitmen, program itu jauh dari tercapai, bahkan bisa
dikatakan gagal. Pada akhir pemerintahan Presiden SBY, Go Organic nyaris tak terdengar.
Jika dibedah, tidak banyak hal yang dilakukan pemerintah dalam komitmen Go Organic.
Salah satu yang bisa dicatat adalah subsidi pupuk organik. Itu pun jumlahnya kecil. Secara
nomenklatur, subsidi pupuk organik termasuk dalam program Pemulihan Kesuburan Lahan
Sawah Berkelanjutan (PKLSB). Program ini dimulai pada 2010 dengan subsidi pupuk
organik senilai Rp 300 miliar. Pada 2011, subsidi pupuk organik tidak mengucur karena
tersandung dugaan korupsi. Pada 2014, dari 7,78 juta ton pupuk bersubsidi, 0,8 juta ton di
antaranya pupuk organik, turun dibanding 2013 (0,9 juta ton).
Hasil evaluasi program PKLSB oleh Balai Besar Litbang Pertanian pada 2011 di delapan
provinsi pada 30 titik sampel menunjukkan, terdapat perbaikan signifikan pada sifat biologis
tanah. Termasuk kenaikan kandungan C-organik dan nilai tukar kation. Kenaikan itu tidak
memiliki perbedaan nyata dengan sebelum pengaplikasian pupuk organik. Ini bisa dipahami
karena aplikasi kompos jerami dan pupuk hayati baru sekali dilakukan. Padahal, secara
teoretis, kesehatan dan kesuburan tanah baru pulih setelah enam musim tanam berturut-turut
(Simarmata, 2012). Langkah Jokowi-JK yang melanjutkan program ini patut didukung.
Mendorong terwujudnya 1.000 desa organik tak hanya membuat petani mandiri (karena tak
bergantung pada pabrik pupuk anorganik), tapi produktivitasnya bisa ditingkatkan dan
keberlanjutan ekologi lebih terjamin.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
17/39
Menggadaikan Kemandirian BPK
Rabu, 24 September 2014
Reza Syawawi, Periset Transparency International Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih lima anggota Badan Pemeriksa Keuangan
periode 2014-2019 melalui pemungutan suara. Dua orang merupakan anggota DPR periode
2009-2014, yaitu Achsanul Qosasi (Partai Demokrat) dan Harry Azhar Azis (Partai Golkar).
Keterpilihan politikus dalam jajaran anggota BPK tersebut layak dipersoalkan karena
berpotensi besar mengganggu prinsip "bebas dan mandiri" yang seharusnya dianut lembagaBPK. Konstitusi secara tegas menganut prinsip tersebut dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945:
"untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu
Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri".
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, regulasi sangat jelas
memberikan keleluasaan terhadap anggota partai politik untuk dapat menjadi anggota BPK.
Prinsip "bebas dan mandiri" sama sekali diakomodasi dalam undang-undang ini yang terkait
dengan syarat untuk menjadi anggota BPK.
Sebagai salah satu lembaga negara yang disebutkan di dalam konstitusi, fakta ini cukup
mengejutkan dan seolah hilang dari pantauan publik. Undang-Undang BPK yang telah ada
sejak 2006 tetap digunakan dan tidak dipersoalkan, padahal berpotensi besar merusak daya
kerja BPK.
Konstitusi memang mengatur bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tapi syarat untuk menjadi anggota BPK
tidak diatur dalam konstitusi dan diserahkan kepada undang-undang untuk mengaturnya, tapi
syarat tersebut juga harus menjamin dan memastikan kebebasan dan kemandirian BPK.
Untuk membandingkan esensi dalam prinsip "mandiri" menurut konstitusi, sangat relevan
jika membaca kembali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Putusan
Nomor 81/PUU-IX/2011). Perbandingan ini cukup beralasan untuk dijadikan rujukan ke
depan, setidaknya dengan dua alasan. Pertama, BPK dan lembaga penyelenggara pemilu
(KPU, Bawaslu, DKPP) sama-sama diatur dalam konstitusi sebagai lembaga yang mandiri.
Kedua, materi pengujian atas Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum sama
dengan substansi yang dipermasalahkan di dalam Undang-Undang BPK, yaitu menyangkut
anggota partai politik yang menjadi anggota penyelenggara pemilu dan anggota BPK.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
18/39
Menurut putusan MK (pertimbangan 3.14), istilah "mandiri" merujuk pada latar belakang
historis proses perubahan UUD 1945 terkait erat dengan konsep non-partisan. Atas
pertimbangan ini, MK kemudian memutuskan untuk merumuskan syarat "non-partisan"
tersebut: "syarat mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik harus dimaknai sekurang-
kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon".
Sekalipun syarat anggota BPK di dalam Undang-Undang tentang BPK belum diuji di MK,
pertimbangan dan putusan MK terkait dengan lembaga negara yang "mandiri" harus
dijadikan rujukan untuk menilai konstitusionalitasnya. Sayangnya, pembentuk undang-
undang tidak responsif terhadap perkembangan hukum yang terjadi seusai putusan MK
tersebut.
Jika dibaca secara cermat, Undang-Undang tentang BPK sesungguhnya jauh lebih buruk,
Pasal 13 yang memuat syarat-syarat untuk menjadi anggota BPK sama sekali tidak
mencantumkan syarat untuk mengundurkan diri bagi calon yang berasal dari partai politik.
Kondisi itulah yang kemudian membuat terpilihnya anggota BPK yang secara faktual masih
menjadi anggota partai politik.
Bagi penyelenggara pemilu, prinsip "mandiri" ditujukan agar mampu bersikap adil dan netral
terhadap peserta pemilu. Bagi BPK, prinsip "mandiri" ditujukan agar daya kerja BPK tidak
dirusak oleh afiliasi politik anggota BPK terhadap pemerintah (termasuk pemerintah daerah)
dan lembaga lain yang mengelola keuangan negara (termasuk DPR/D). Potensi
"perselingkuhan" kepentingan sangat mungkin terjadi lantaran mayoritas pemimpin politik,
baik di pusat maupun di daerah, juga berasal dari partai politik.
Sebagai lembaga audit negara yang dijamin oleh konstitusi, BPK seyogianya diisi oleh orang-
orang yang bukan hanya memiliki kapabilitas, tapi juga wajib hukumnya untuk menjamin
kemandirian lembaga tersebut. Keterpilihan anggota partai politik dalam jajaran anggota
BPK semakin menambah panjang deretan lembaga-lembaga independen yang kemudian
dimasuki oleh partai politik.
Perbaikan regulasi terkait dengan syarat anggota BPK sangat penting untuk segera dilakukan
dengan merujuk pada putusan MK yang telah ada. Jika tidak, agak sulit rasanya berharap
adanya perbaikan terhadap kinerja BPK jika diisi oleh kelompok partisan.
Dengan fakta yang terjadi saat ini, agak sulit untuk tidak mengatakan bahwa memang "BPK
Cap Politikus". Inilah situasi di mana DPR sebagai lembaga yang diamanahkan oleh
konstitusi untuk meneguhkan kemandirian BPK justru menjadi aktor yang "menggadaikan"
kemandirian tersebut.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
19/39
Nostalgia
Rabu, 24 September 2014
Bandung Mawardi, Esais
Joko Widodo sedang menjahit nostalgia-nostalgia saat masih bocah. Sabtu, 13 September
2014, Joko Widodo ke Solo dengan misi nostalgia. Si lelaki kurus berjalan di pinggiran
Kalianyar, sebelah utara Terminal Tirtonadi, Solo. Kalianyar adalah "sungai kenangan". Di
sungai, Joko Widodo menjalani masa bocah dengan berenang dan mandi. Dulu, sungai berair
bening. Sungai terletak di belakang rumah. Joko Widodo saat bocah tentu mengakrabi sungai,
tempat untuk mengalirkan impian.
Sungai pun menjadi acuan membentuk diri dan menempa kesadaran atas nasib. Joko Widodo
berfilsafat sungai, bermula dari episode hidup di lingkungan sungai. Orang berhak becermin
dalam air. Suara gemericik air mengandung pesan semesta. Di sungai, filsafat hidup bisa
mengalir dan memberi keinsafan atas diri. Herman Hesse, dalam novel Siddharta,
menampilkan tokoh bereferensi sungai. Pengisahan Siddharta: "Dia belajar dari sungai itu
terus-menerus. Dia belajar dari sungai cara mendengarkan, mendengarkan dengan hati
bening, dengan jiwa terbuka, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, tanpa pendapat."
Joko Widodo bukan tokoh dalam novel, tapi mengabarkan pengesahan sungai sebagai
referensi nostalgia.
Dulu, Sukarno bernostalgia masa kecil untuk menjelaskan posisi diri saat menggerakkan
Orde Lama. Sukarno mengisahkan diri lahir dan tumbuh di keluarga miskin. Dalam buku
Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat(C. Adams, 1966) dituturkan bahwa Sukarno adalah
bocah berusia enam tahun saat menjalani kehidupan melarat di Mojokerto. Sukarno mengaku:
"Kami tinggal di daerahjang melarat Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa
makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan ialah ubi kaju, djagung tumbuk
dengan makanan lain."
Nostalgia kemalaratan juga mengikutkan doa sang ibu. Doa dalam kemelaratan: " kelak
engkau akan mendjadi orang jang mulia, engkau akan mendjadi pemimpin dari rakjat kita,
karena ibu melahirkanmu djam setengah enam pagi disaat fadjar mulai menjingsing."
Sukarno memiliki nostalgia bergelimang harapan. Doa sang ibu dikabulkan Tuhan. Sukarno
adalah pemimpin Indonesia, bermula dari nostalgia kemelaratan.
Nostalgia dramatis juga dimiliki Soeharto, penguasa pada masa Orde Baru. "Soeharto
ditakdirkan di masa kecil menjalani kehidupan pahit getir dan penuh dengan penderitaan,"
begitu O.G. Roeder menuliskan dalam bukuAnak Desa: Biografi Presiden Soeharto(1976).
Tempat paling menentukan untuk biografi Soeharto adalah sawah. Rumah keluarga Soeharto
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
20/39
ada di dusun, dikelilingi sawah-sawah. Soeharto mengenang saat bocah senang mencari belut
di sawah. Soeharto juga membentuk diri melalui peran sebagai penggembala kambing dan
kerbau, sebelum puluhan tahun kemudian menjadi "penggembala" Indonesia. Masa bocah
terus mempengaruhi pandangan dan aksi politik Soeharto. Kita pasti ingat foto-foto dramatis
Soeharto berlatar sawah demi memberi pesan swasembada pangan.
Para tokoh memiliki biografi-biografi dramatis. Masa bocah adalah nostalgia, awalan dari
takdir sebagai pemimpin. Sukarno dan Soeharto telah mengisahkan diri sejak lama kepada
publik, memberi pengesahan atas ketokohan. Sekarang, Joko Widodo bernostalgia di sungai,
sebelum dilantik menjadi presiden periode 2014-2019. Nostalgia diperlukan agar ada
referensi untuk insaf dan bersahaja. Di sungai, impian dan pengharapan mengalir menuju
istana.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
21/39
Urgensi Kementerian Kependudukan
Rabu, 24 September 2014
Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik
Jokowi-JK mewacanakan pembentukan sebuah kementerian baru, yakni Kementerian
Kependudukan. Sesuai dengan namanya, kementerian ini direncanakan bakal berfokus pada
persoalan kependudukan. Bila direalisasi, hal ini dapat memberikan solusi atas salah satu
permasalahan mendasar negeri ini: lemahnya kualitas data kependudukan.
Tak bisa ditampik, selama ini data kependudukan yang ada masih memiliki sejumlahkelemahan, antara lain ihwal ketepatan waktu (timelines) serta ketersediaan data individu
yang lengkap dan mutakhir. Akibatnya, perencanaan kebijakan acap kali tak maksimal.
Pelaksanaan pembangunan juga tidak efisien dan efektif, serta banyak program pemerintah
yang meleset dari sasaran (Razali Ritonga, 2009). Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) yang
selalu berulang menjelang pemilihan umum, dan kebocoran (salah sasaran) yang terjadi pada
program Bantuan Langsung Tunai (BLT), adalah buktinya.
Ditengarai, salah satu sumbu persoalannya adalah tidak adanya satu instansi khusus yang
benar-benar berfokus mengurusi data kependudukan. Seperti diketahui, hingga kini data
kependudukan tersebar dan ditangani oleh banyak instansi, seperti Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Sosial, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Selama ini, data kependudukan juga terkesan diabaikan. Hal ini tecermin dari karut-marutnya
pelaksanaan registrasi penduduk. Padahal, jika dilakukan dengan benar, registrasi penduduk
merupakan sumber utama data kependudukan-selain sensus dan survei-yang memenuhi
standar ketepatan waktu dan kelengkapan data individu. Fakta di lapangan menunjukkan,
pelaksanaan registrasi penduduk-yang semestinya mencatat tiap kejadian yang dialami
penduduk (lahir, mati, dan pindah) secara real time-kurang mendapat perhatian.
Pembentukan Kementerian Kependudukan juga merupakan hal yang sangat urgen untuk saat
ini karena Indonesia sedang menikmati "bonus demografi". Suatu kondisi kependudukan
yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan
menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan 65+ tahun). Struktur
penduduk yang menguntungkan ini berdampak pada mengecilnya rasio ketergantungan atau
angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk usia produktif.
Hasil proyeksi BPS memperlihatkan, kondisi tersebut akan berlangsung hingga dua dekade
mendatang. Setelah 2031, angka beban tanggungan akan kembali naik, dan Indonesia akan
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
22/39
memasuki periode "utang demografi", yang ditandai dengan struktur penduduk yang
didominasi kelompok penduduk usia tua (65+ tahun).
Bonus demografi merupakan jendela peluang (opportunity window) bagi Indonesia. Jika bisa
dimanfaatkan dengan baik, hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengandemikian, kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Karena itu, agar tidak kehilangan
momentum dan terhindar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), sejumlah
kebijakan strategis, utamanya investasi modal manusia, harus diambil oleh pemerintah
mendatang. Dan, hal ini bakal sulit dilakukan tanpa dukungan data kependudukan yang
berkualitas sebagai pijakan.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
23/39
Lagu Ini Ciptaan Siapa?
Kamis, 25 September 2014
Denny Sakrie, Pengamat Musik
Beberapa waktu lalu, saya menyambangi sebuah gerai musik di Plaza Senayan, Jakarta.
Perhatian saya tertumbuk pada sebuah album bertajuk Symphonic Tales of Indonesiakarya
pianis jazz Tjut Nja Deviana, yang isinya menginterpretasi ulang lagu-lagu tradisional
Indonesia.
Sebagian besar lagu yang ditampilkan dalam album tersebut memang tidak menyertakankredit penciptaan lagu. Sebab, sebagian besar lagu tradisonal memang tak diketahui siapa
penciptanya. Penggagas album ini hanya mencantumkan kode copyright controlsebagai
pengganti nama pencipta lagu yang tak diketahui, termasuk lagu berbahasa Makassar
Anging Mammiri. Padahal, lagu yang sejak dulu kerap dianggap mewakili kultur Sulawesi
Selatan itu sebetulnya diciptakan oleh Borra Daeng Ngirate.
Jadi sangat tidak beretika jika karya yang diketahui penciptanya hanya mencantumkan tulisan
NN atau copyright control. Ini menunjukkan perilaku malas dari penggagas album ini-dari
pemusik hingga label yang merilisnya-untuk mencari info tentang lagu-lagu yang akan
dibawakan dalam sebuah produksi rekaman. Karena tidak semua lagu yang lazimnya
dianggap lagu tradisional itu tak memiliki kredit penciptaan sama sekali. Misalnya, lagu
Manuk Dadalikarya Sambas, Rek Ayo Rekkarya Is Haryanto, Tul Jaenakkarya Yok
Koeswoyo, atau Warung Pojokkarya H Abdul Ajib.
Seringkali kita menemukan album rekaman yang merilis lagu-lagu yang saya sebut tadi tanpa
menyebutkan nama pencipta lagunya sama sekali. Dengan gampang, kolom pencipta lagu
hanya diisi dengan tulisan NN. Demikian pula para pengelola acara televisi yang seringkali
tak menyertakan nama pencipta lagu. Mereka hanya menuliskan lagu ini dipopulerkan oleh...
Contohnya, lagu Andeca Andeci, yang dipopulerkan oleh Warkop DKI. Padahal, jikamereka memang mempunyai iktikad baik dan mau bersusah-payah mencari tahu siapa
pencipta lagu tersebut, niscaya akan ditemukan bahwa Andeca Andeciadalah lagu karya
almarhum Oslan Husein yang terdapat dalam albumsoundtrackfilmKasih Tak Sampai
(1968).
Penulisan nama pencipta lagu dianggap hal remeh yang tak penting oleh kebanyakan pelaku
di dunia hiburan, seperti pemusik, perusahaan rekaman, film, televisi, hingga pengelola
tempat karaoke. Memang tak semuanya berperilaku seperti itu. Sheila Timothy, produser film
Tabularasa, yang banyak menggunakan lagu-lagu Indonesia lama era 1950-an dan 1960-an,
berkukuh mencari informasi mengenai penyanyi, pencipta lagu, dan perusahaan rekaman
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
24/39
yang terkait dengan lagu Iseng Bersamadan Mak Inang Pulau Kampaiuntuk kemudian
meminta izin penggunaan lagu-lagu tersebut dalam filmnya. Tentunya ini sebuah iktikad baik
yang patut diteladani. Karena seyogianyalah lagu tidak menjadi barang yang jatuh begitu saja
dari langit tanpa ada yang menciptakan.
Seperti yang kita ketahui, revisi Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
yang terdiri atas 19 bab dan 126 pasal, baru saja disahkan sebagai undang-undang pada 16
September lalu. Semestinya kita tak lagi serampangan dalam menggunakan karya-karya seni,
terutama lagu, dalam pelbagai keperluan dan kepentingan. Perlindungan hak cipta adalah
sebuah kebutuhan yang mesti diwujudkan.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
25/39
Kantor Pos dan Distribusi Buku Ajar
Kamis, 25 September 2014
Muhidin M Dahlan, Kerani @warungarsip
Inilah solusi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim
untuk menyelesaikan urusan distribusi buku ajar Kurikulum 2013 (K-13): gandeng Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian
Keuangan.
Sekilas ini terlihat seperti solusi yang komprehensif, tapi justru tidak menyelesaikan masalah.Pangkal soal distribusi buku ajar adalah rantai pengiriman barang. Mestinya hal pertama yang
dilakukan pemerintah setelah perusahaan percetakan menyelesaikan tugasnya adalah
menunjuk lembaga yang kompeten dalam menyebarkan buku di seluruh wilayah Indonesia.
Ketimbang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri serta Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan untuk menekan percetakan dan pemerintah daerah, mengapa
tidak menghadirkan PT Pos Indonesia sebagai mitra kerja distribusi buku? Apalagi Pos
adalah badan usaha milik negara. Menekan percetakan untuk segera mengirim buku ke
seluruh pelosok daerah hanya mengulangi kesalahan-kesalahan distribusi pada masa lalu
yang berujung pada keluhan tahunan yang akut.
Mula-mula distribusi buku ajar ini dilakukan lewat rantai birokrasi, lalu diganti dengan
distribusi berbasis penerbit swasta dan toko buku. Setelah dievaluasi, distribusi buku ajar
diubah dan dilakukan secara online, sekaligus menandai hadirnya e-bookdi Indonesia.
Karena tak efektif lantaran infrastruktur internet di Indonesia masih timpang, diputuskan
bahwa perusahaan percetakan buku ajar itu sendirilah yang mengirimkan buku.
Hasilnya, heboh. Buku ajar tak tepat waktu datang ke sekolah pada 1976, sama dengan
kehebohan pada tahun ini. Bayangkan, hampir empat dekade kita tak punya solusi apa-apatentang distribusi massal buku ajar. Dan selama hampir empat dekade itu pula kita melupakan
adanya armada distribusi barang milik pemerintah yang paling luas jangkauan dan
cakupannya. Perkenalkan: PT Pos Indonesia. Saya kira, menunjuk Pos sebagai distributor
buku ajar K-13 akan menyelesaikan banyak masalah.
Pertama, menghidupkan kegiatan bisnis pengiriman Pos Indonesia yang tengah lesu darah
karena berhadapan dengan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Kedua,
menghidupkan fungsi baru kantor Pos Indonesia yang ada di hampir seluruh kecamatan di
seluruh Indonesia. Bukan hanya sebagai halte surat, tapi juga pusat informasi dan buku di
kecamatan.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
26/39
Ketiga, Pos Indonesia memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang terlatih. Unit
kerjanya bukan hanya mendistribusikan buku ajar K-13, tapi juga menjadi distributor
terdepan buku-buku dari lembaga penerbitan swasta di Indonesia untuk kebutuhan sekolah di
desa-desa terpencil yang jauh dari akses literasi.
Warga di daerah yang mengeluhkan ketiadaan akses bacaan yang berkualitas bisa dibantu
pemerintah dengan mengikat kerja sama dengan Pos Indonesia untuk membuka lini baru:
toko buku. Kehadiran toko buku di tingkat kecamatan ala Pos Indonesia akan mengurai
kutukan lama. Warga tak mesti ke kota besar hanya untuk mendapatkan buku cerita
berkualitas atau buku ilmu pengetahuan yang bagus. Soal kemampuan membeli, jangan
pernah meremehkan warga kampung.
Fungsi ketiga inilah yang membawa angin baru bagi Pos Indonesia sebagai bagian penting
agen literasi Indonesia dan sekaligus menyelesaikan masalah distribusi buku yang sejak
empat dekade silam tak pernah serius ditangani. *
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
27/39
Nama-nama yang Baik
Jum'at, 26 September 2014
EH Kartanegara, Wartawan
Betapa terkejut Annemarie Schimmel ketika, suatu pagi, ketika membaca judul berita koran
Pakistan Times, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbunyi: "Pertolongan
Allah Tewas Kecelakaan di Jalan." Muncul bisikan dalam hati: bagaimana mungkin
"Pertolongan Allah" mengalami kecelakaan?
Dalam buku tentang nama-nama yang baik,Islamic Names: An Introduction-Islamic Surveys(Edinburgh University Press, England, 1995), profesor bahasa Arab dan studi-studi Islam itu
menulis: "Pertolongan dari Allah" ternyata nama seorang lelaki yang rupanya dicomot secara
acak oleh orang tuanya dari sebaris ayat Al-Quran.
Teks aslinya diambil dari potongan surat Ash-Shaff ( 61 ): 13 berbunyi nashrun min Allah
(pertolongan dari Allah), yang jika dilafalkan menjadi nashrum minallah. Ya, Nashrun itulah
yang mati akibat kecelakaan.
Tentang nama-nama yang baik, menurut riset mendalam Schimmel di sepanjang Jazirah
Islam, menunjukkan keunikan yang sangat khas Islam, sekaligus menunjukkan ketaatan dan
keyakinan kaum terhadap Al-Quran dan hadis. Lewat kitab suci itu Tuhan menyediakan
ribuan nama yang bukan hanya sangat indah, tapi juga bermakna, filosofis, bermuatan doa,
harapan, dan ajaran kebaikan bagi manusia.
Tuhan sendiri menyebut diri-Nya dengan nama-nama yang mencerminkan sifat-sifat-Nya
yang serba baik; Asma' Al-Husna. Nama-nama itu-Rahman, Rahim, 'Aziz, Ghaffar, dan
seterusnya-sekaligus bisa dijadikan himpunan doa Al-Asma' Al-Husna. M. Quraish Shihab
menyusun doa-doa itu dalam sebuah buku yang laris,Doa Al-Asma' Al-Husna (Doa yang
Disukai Allah).
Dengan meminjam nama-nama itu, nama seorang anak keluarga Islam yang terlebih dulu
disematkan melalui upacara akikah-lengkap dengan menyembelih kambing segala-
merupakan ibadah sakral sebagaimana dituntunkan Rasulullah. Nama-nama yang baik, nama-
nama sakral dari langit, menggemakan keagungan dan kemuliaan Sang Pencipta bagi
peradaban luhur manusia di bumi.
Dalam pandangan Schimmel, selalu ada makna besar, agung, dan mulia di balik nama-nama
yang baik itu. Alasan itu pula yang sering menggetarkan hatinya saat menelaah sekian ribu
nama islami, yang dalam rentetan sejarahnya telah bercampur-baur dengan berbagai kata dan
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
28/39
dialek lokal, dari Mesir, Turki, Pakistan, India, Maroko, Arab Saudi, Yaman, Iran, hingga
Afganistan. Dari sini bisa diketahui manusia pada hakikatnya bersaudara bukan hanya karena
hubungan darah-bukankah sama-sama keturunan Adam-tapi juga kesamaan nama.
Makna besar, agung, dan mulia itu pula rupanya yang luput (atau dilalaikan?) daripemahaman banyak orang. Seseorang bernama 'Ali atau sering ditulis Ali, misalnya, boleh
jadi tak paham bahwa nama itu sesungguhnya sematan keagungan Tuhan. Nama ini berasal
dari kata dasar 'Ala ("Yang Maha Tinggi" ), yang semestinya diucapkan dengan bibir gemetar
dalam sujud saat seseorang khusyuk salat. Bagaimana mungkin "Yang Maha Tinggi" ternyata
justru terlibat tindak pidana korupsi?
Annemarie Schimmel akan terkejut berkali-kali membaca koran di Indonesia yang memuat
sederet panjang nama koruptor yang semuanya tak ada nama yang buruk. Pemberian nama
yang baik, menurut Schimmel, adalah sebentuk anugerah Tuhan. Segala tindakan buruk yang
dilakukannya itu mau disebut apa kalau bukan pengingkaran terhadap anugerah Tuhan? *
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
29/39
Sejarah dan Restrukturisasi KementerianAgama
Jum'at, 26 September 2014
Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI
Penghapusan Kementerian Agama hampir mustahil bila didasarkan pada Undang-Undang
Kementerian Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Sebab, pembubarannya
harus dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Belakangan ada rumor
bahwa akan ada penggantian namanya menjadi Kementerian Urusan Haji, Zakat, dan Wakaf,
yang itu pun sudah dibantah oleh presiden terpilih Joko Widodo.
Walaupun demikian, pembicaraan tentang fungsi dan cakupan tugas tetap perlu, karena
struktur kementerian yang sekarang memberi kesan adanya "pembagian kaveling agama-
agama besar" saja di Indonesia. Sebelumnya akan diuraikan sejarah Kementerian Agama
sebagai latar belakang artikel ini.
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus 1945 tentang
pembentukan kabinet, usul tentang Kementerian Agama ditolak oleh Johannes Latuharhary.
Namun dalam perkembangannya, seperti ditulis Wahid Hasjim, "Setelah berjalan dariAgustus hingga November tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam
prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak
dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di
dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan)
dari soal-soal lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang
pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya
adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama
dan negara."
Dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25-27 November 1945,
pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia
Daerah Keresidenan Banyumas, "Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini
janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan
tersendiri."
Usul itu didukung oleh tokoh Masyumi di antara Mohammad Natsir dan diterima secara
aklamasi. Presiden Sukarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bung
Hatta langsung berdiri dan mengatakan, "Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
30/39
perhatian pemerintah." Pada mulanya terjadi diskusi apakah kementerian itu dinamakan
Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama. Tapi akhirnya diputuskan nama
Kementerian Agama.
Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan oleh pemerintah melalui siaran RadioRepublik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai
Menteri Agama RI pertama. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam
modern (ia memperoleh gelar doktor di Prancis) dan pada kemudian hari dikenal sebagai
pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.
Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada
beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri (masalah perkawinan, peradilan
agama, kemasjidan, dan urusan haji), Kementerian Kehakiman (Mahkamah Islam Tinggi),
dan Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (masalah pengajaran agama di
sekolah-sekolah).
Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato
yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama
bertujuan memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Dewasa ini, Kementerian Agama memiliki tujuh Direktorat Jenderal (Dirjen), yakni 1)
Pendidikan Agama Islam; 2) Penyelenggaraan Haji dan Umroh; 3) Bimbingan Masyarakat
Islam; 4) Bimbingan Masyarakat Katholik; 5) Bimbingan Masyarakat Kristen; 6) Bimbingan
Masyarakat Hindu; 7) Bimbingan Masyarakat Buddha. Belum ada Dirjen BimbinganMasyarakat Konghucu. Dewasa ini, Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan Tradisi merupakan direktorat tersendiri pada Dirjen Kebudayaan Kementerian
Pendidikan.
Sebaiknya kementerian ini tidak dibuat berkotak-kotak berdasarkan agama besar di Tanah
Air, tapi berdasarkan fungsinya, seperti Dirjen Pendidikan Agama, Dirjen Kerukunan
Beragama, Dirjen Prasarana dan Fasilitas Agama, dan Dirjen Penyelenggaraan Haji/Umroh.
Bisa ditambah dengan Dirjen Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Kaharingan,
Parmalim, Sunda Wiwitan, dan seterusnya).
Pada Direktorat Jenderal Kerukunan Beragama terdapat pejabat berbagai agama yang
bertugas melestarikan perdamaian dan menyelesaikan konflik di antara umat beragama.
Terserah apakah urusan haji tetap merupakan wewenang Dirjen Kementerian Agama atau
badan tersendiri yang berada langsung di bawah presiden. *
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
31/39
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
32/39
Pada tahun ini, lahir Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini
pada dasarnya menegaskan pengakuan negara terhadap keberadaan desa dan sistem hukum
adat di kampung. Dari titik inilah UU ini secara signifikan memberi ruang perencanaan,
penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Kampung tidak lagi dimaknai sebagai lumbung
ekonomi dan politik yang menguntungkan penguasa. Di tangan Jokowi, kampung diberiperhatian, kebijakan, dan bantuan yang memungkinkan lahirnya manusia-manusia cerdas
yang mampu melahirkan komoditas kreatif. Bagaimana wajah kampung selanjutnya? Sejarah
yang akan menulisnya. *
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
33/39
Politik Hukum Kasus Anas
Sabtu, 27 September 2014
Joko Riyanto,Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan mantan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum terbukti melakukan korupsi secara berlanjut dan pencucian
uang secara berulang-ulang. Anas divonis dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp
300 juta subsider 3 bulan kurungan. Mantan anggota DPR itu juga dijatuhi hukuman
membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar dan US$ 5,22 juta atau subsider 2 tahun kurungan
(Koran Tempo, 25/9/2014).
Bagi Anas, vonis tersebut tidak adil karena tidak sesuai dengan fakta persidangan. Bahkan,
Anas mengajak majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk melakukan sumpah kutukan
(mubahalah). Menurut Anas, dengan sumpah tersebut, siapa pun yang tidak berlaku adil
harus siap menerima kutukan.
Terlepas dari itu, sisi politik hukum Anas patut dicermati. Selama proses hukum oleh KPK,
Anas menuduh KPK melakukan konspirasi politik jahat dengan SBY. Anas beranggapan dia
adalah korban (dikorbankan) politik jahat tertentu. Kasus Hambalang yang membelitnya
diyakini buah campur tangan SBY. Anas juga mempertanyakan kenapa KPK memeriksanya
namun tidak berani memeriksa Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono
(Ibas/putra SBY), selaku ketua panitia penyelenggara, dan SBY selaku penanggung jawab
kongres Partai Demokrat di Bandung, 2010 lalu. Padahal, KPK selalu menekankan
pemberantasan korupsi tidak tebang pilih dan menyatakan semua orang sama di depan
hukum.
Dalam menilai dan menganalisis kasus Anas, kita yakin KPK tidak bekerja atas dasar
pesanan siapa pun atau berada dalam tekanan serta pengaruh kekuasaan tertentu. KPK tak
akan sembarang memanggil seseorang tanpa ada fakta yang jelas. Kita juga yakin KPK sudahbekerja keras menyidik secara intensif semua data dan informasi yang masuk. KPK juga telah
melakukan uji silang terhadap semua informasi guna mendapatkan bukti-bukti yang konkret.
KPK juga melakukan kajian lebih mendalam mengenai info, mengkonstruksi, dan
menyimpulkan informasi soal kasus korupsi secara hukum.
Proses hukum Anas didasarkan pada fakta-fakta hukum, seperti kesaksian dan putusan
Pengadilan Tipikor atas terdakwa Muhammad Nazaruddin, keterangan saksi Neneng Sri
Wahyuni soal pembayaran satu unit mobil Harrier, dan dakwaan Deddy Kusdinar yang
menyebut Anas menerima aliran dana dari proyek Hambalang. Bahkan, Presiden SBY
mempersilakan KPK memeriksa Ibas kalau memang ada bukti kuat keterlibatan dalam
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
34/39
proyek Hambalang.
Boleh saja Anas dan barisannya membangun opini publik serta mengeluarkan argumentasi
politik, tapi KPK juga tidak boleh surut dan terpengaruh oleh semua itu. Bukan hanya yang
berkaitan dengan Anas, bahkan KPK harus membuka banyak kemungkinan lewat sinyal-sinyal yang disampaikan oleh Anas dan loyalisnya. Langkah banding KPK atas vonis Anas
sudah tepat untuk memaksimalkan hukuman.
Jika Anas memang yakin tidak bersalah, bukalah halaman-halaman berikutnya dari kasus
Hambalang dan proyek-proyek lainnya! Dan forum pengadilanlah tempat untuk mengungkap
semua itu supaya kasus Hambalang menjadi terang-benderang dan mengungkap aktor utama
lainnya yang belum tersentuh hukum. Syaratnya, halaman-halaman yang akan dibuka Anas
harus disertai bukti dan dalil hukum kuat, bukan ocehan politik balas dendam kepada pihak
tertentu.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
35/39
Ramuan Tradisional
Minggu, 28 September 2014
Heri Priyatmoko,Anggota Tim Pusaka Kota Surakarta
"Wong Jawa kuwi sugih tamba." Demikianlah ungkapan leluhur kita yang nyaris tenggelam
berbarengan dengan tersingkirnya ramuan klasik Nusantara akibat ekspansi obat-obatan
asing. Idiom tersebut pernah membuat antropolog termasyhur Clifford Geertz terkejut
sewaktu mengadakan riset di Jawa Timur. Dalam karyanya yang menjadi klasik,Abangan,
Santri, Priyayi(1983), Geertz mengungkapkan bahwa dokter-dokter hanya punya dua obat
(pil dan suntikan), sementara orang Jawa punya ribuan.
Belum lama ini, di Kota Surakarta, digelar acara Solo Festival Jamu. Acara minum ramuan
klasik secara massal dan pameran stan jamu dari berbagai kelurahan itu berupaya
membangkitkan kepedulian publik terhadap ramuan tradisional sebagai produk kebudayaan
Nuswantara. Setiap kelurahan bebas menampilkan ramuan tradisional kreasi sendiri. Usaha
memasyarakatkan ramuan pribumi mendesak dilakukan karena obat-obat dari negeri
seberang kini membanjiri Indonesia bak tanggul jebol.
Nenek moyang kita, baik yang berada di lingkungan keraton maupun pedesaan,
meninggalkan warisan agung berupa aneka jenis ramuan tradisional disertai bahan yang
berlimpah. Sayang bila ramuan yang sejatinya produk intelektual bangsa ini sekarang kerap
menjadi bahan cemooh. Pemikiran Barat yang mengedepankan nalar mempengaruhi manusia
Indonesia modern untuk tiada lagi mempercayai local geniusyang dibungkusgugon tuhon
atau mitos, sebuah cara leluhur kita menyembunyikan fakta.
Gugon tuhondalam dunia pengobatan tradisional sejak periode kerajaan telah menjadi bahan
perdebatan, dan diberitakan oleh jurnalis di masa itu. KoranDarmo Kondoedisi 25 Maret
1907 menginformasikan pentingnya orang Jawa percayagugon tuhon, dan kepercayaan ini
diprediksi tak akan hilang ditelan zaman. Dikisahkan, di Surakarta terdapat pohon Gom.Pakubuwono VIII pernah duduk di sekitar pohon itu, dan bersabda bahwa pohon ini sudah
ditakdirkan Gusti Allah bisa menyembuhkan orang yang terkena penyakit sariawan. Caranya,
tangkainya dipotong dengan sebilah keris atau sabit seraya mengucapkan mantra: "tidak
motong doerinja pohoen Gom, tetapi motong penyakit gom".
Ternyata, tangkai itu terbukti mujarab. Akhirnya, banyak warga memakai tangkai pohon
Gom untuk ramuan mengobati sariawan. Bahkan mereka juga takut menempati di bekas
tempat duduk raja lantaran dianggap wingit. Tafsir kritisnya adalah ke-wingit-an tersebut
diciptakan supaya penduduk tidak merusak pohon dan batu. Pesan tersirat raja juga dapat kita
tangkap bahwa Tuhan memang menciptakan obat untuk manusia dari berbagai bahan alam
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
36/39
yang ada di sekitarnya.
Kala itu, sebenarnya sudah beredar obat atau pil di toko. Akan tetapi, harganya belum tentu
terjangkau oleh wong cilik. Seperti yang diberitakanDarmo Kondoedisi 27 Mei 1923, telah
muncul iklan Pil Slamet yang dikabarkan bisa mengobati aneka penyakit.
Harus diingat bahwa mayoritas masyarakat Jawa periode kerajaan ialah kaum petani miskin
dan buruh. Juga dengan corak pemikirannya yang pramodern dan hunian dekat alam
pedesaan-pegunungan, maka mereka memilih memakai ramuan tradisional guna mencegah
atau mengusir penyakit yang mendera. Suatu kenyataan historis bahwa di wilayah pedesaan
terdapat mantri umum yang bertugas memberi penyuluhan, dan mantri spesialis jenis
penyakit. Tapi, mantri ini muncul kala tertentu, saat di mana wabah penyakit merebak yang
dinilai merawankan keselamatan orang-orang Eropa di kota. Kaum wong cilikjarang ikut
merasakan keahlian mantri, mereka cukup mengandalkan ramuan klasik.
Berbekal ilmu titendan teknik takaran manual (sejimpit, sejumput, sekilan, sekepel, dan
segelas), leluhur kita menjaga kesehatan dengan ramuan kuno seperti jamu. Kemudian,
munculnya usaha penerbitan buku cukup membantu membumikan sekaligus melestarikan
kekayaan budaya itu. Pengetahuan tentang ramuan berkhasiat yang bersifat lisan ditulis dan
dicetak menjadi buku, lalu disebarluaskan. Misalnya, Serat Primbon Jampi Jawiyang
tersimpan di perpustakaan Reksopustoko, Mangkunegaran. Dalam naskah tersebut, ada dua
jenis pengobatan, yaitu pengobatan tradisional dengan ramuan obat serta pengobatan
tradisional spiritual/kebatinan karena atas dasar kepercayaan dan atas dasar agama (membaca
Surat Al-Ikhlas dan mantera Sunan Kalijaga).
Dalam pemahaman orang Jawa, kuasa ilahi meresapi seluruh alam raya, termasuk manusia,
hewan, tumbuhan, dan benda-benda. Mungkin wajar bila pembaca bingung menelaah
mentah-mentah isi naskah klasik, apalagi menggunakan kacamata modern. Sistem
penyembuhan tradisional yang tersurat dalam serat semestinya ditempatkan pada suatu posisi
dalam konstelasi budaya dan masyarakat di mana sistem itu berjalan. Guna menilai sistem ini
kududikaitkan dengan cara manusia Jawa memandang alam sekitarnya dan dirinya.
Ramuan kuno jangan cepat-cepat dituding musyrik dan klenik. Kita semestinya paham bahwa
banyak negara di dunia yang punya sistem medis kuno dan tidak tertulis, termasuk di
Indonesia. Masyarakat pendukungnya berhasrat meningkatkan sistem medis asli itu pada
status "terpisah tapi sederajat" dengan kedokteran Barat, dilandasi argumen mengenai segi
kekunoan pengetahuan medis negara yang bersangkutan atau kemasyhuran efektivitas
pengobatan tradisional itu.
Dari paparan historis ini, diketahui bahwa, dari waktu ke waktu, ramuan kuno telah
memainkan peran penting dalam dunia kesehatan Indonesia. Juga melambangkan masa silam
negeri ini dan tingkat peradaban Nusantara yang tinggi di masa lalu. Ramuan berbahan
tumbuhan yang berasal dari alam raya merupakan ilmu pengobatan asli rakyat Indonesia,yang sudah dikenal berabad-abad lamanya. Apakah kita tega membiarkan kearifan lokal ini
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
37/39
hilang, dan lebih memilih berkiblat pada obat-obatan Cina dan Barat? Jika demikian adanya,
berarti kita adalah bangsa yang tak mandiri dan gagal mengelola pusaka leluhur yang
berharga itu. Obat saja harus impor.
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
38/39
Jilbooty danJilboobs
Sabtu, 27 September 2014
Musyafak, Staf di Balai Litbang Agama Semarang
Baru-baru ini di linimaya ramai perbincangan menyoal cara berjilbab yang masih
menampakkan sembulan-sembulan tubuh yang sensual. Dalam perbincangan yang penuh
cemoohan itu tercetus dua istilah yang setidaknya merepresentasikan fenomena berjilbab
yang paradoksal, yaitujilbootydanjilboobs.
Istilah yang pertama merupakan akronim dari jilbab dan booty(pantat).Jilbootymenunjukcara berjilbab yang mengabaikan bagian bawah tubuh, sehingga lekukan bokong atau bahkan
sebagian bokong jelas terpapar. Adapun istilah yang kedua adalah akronim dari jilbab dan
boobs (dada).Jilboobsjuga menjadi istilah cemoohan bagi mereka yang berjilbab mini dan
berbaju ketat sehinga sembulan dadanya tampak jelas.
Baikjilbootymaupunjilboobsmemaparkan paradoks perempuan muslim dalam mengurus
syariat danfashion. Dalam satu waktu, seseorang memutuskan untuk menutup kepalanya
dengan jilbab, namun sebagian tubuhnya yang sensual justru ditonjolkan. Fenomena itu
mengisyaratkan bahwa seseorang tidak mau mati gaya, dalam arti kehilangan kesan seksi,
ketika mengenakan jilbab.
Secara ideologis, ada nalar keagamaan yang tersembunyi di balik jilbab. Ada alasan-alasan
syariah yang melatarbelakangi orang berjilbab, semisal perintah agama untuk menutup aurat
di sebagian kepala-meski batasan-batasannya juga masih longgar untuk didebatkan.
Namun, dalam konteks sosiologis, tidak semua perempuan muslim yang berjilbab serta-merta
menuruti ajaran agama. Sebagian mereka tak ubahnya "korban" dari proyek politik identitas
kaum muslim di Indonesia yang hendak mengukuhkan identitas kemusliman di ruang publik
dengan simbol-simbol agama seperti jilbab. Di tengah gelombang proyek identitas itu paraperempuan "dipaksa" melakukan konformitas (penyesuaian) sosial dengan sesama muslim
perempuan yang sudah dominan berjilbab.
Secara historis, bentuk jilbab yang sekarang digunakan oleh perempuan-perempuan muslim
di Indonesia baru muncul pada 1990-an ketika proyek identitas kaum muslim Indonesia
sedang digulirkan. Sebelumnya, tradisi menutup kepala dilakukan dengan sejenis kerudung
(Jawa) atau a'bongong(Makassar) yang tidak menutup semua bagian rambut atau kepala.
Kini, jilbab telah mengalami komodifikasi sedemikian rupa oleh industri fashion. Jilbab tidak
semata-mata diletakkan sebagai titah agama, tapi juga kebutuhan mode yang fleksibel dan
-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 21.9.2014-27.9.2014
39/39
dinamis yang bisa diperbarui sewaktu-waktu. Komodifikasi ini ditautkan dengan industri
hiburan yang mudah diakses masyarakat muslim melalui media massa. Akhirnya, para artis
yang kini malah menjadi "panutan" dalam berjilbab.
Ketika Syahrini mengenakan jilbab model baru, misalnya, segera akan booming"jilbabSyahrini". Anganan berjilbab yang modis itu juga tampak dari munculnya komunitas-
komunitasjilbabers yang mengajari para perempuan untuk berjilbab semisal dengan gaya
lipat-lilit yang bermacam-macam. Dari kalangan inilah kemudian muncul buku-buku
panduan berjilbab.
Fenomenajilbooty danjilboobstak sesederhana urusan syariah ataupun gaya hidup. Di
baliknya tersembunyi ketegangan, atau sebaliknya, pembauran yang manis antara tafsir
keagamaan, kapitalisme, dan proyek identitas keislaman. *