Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

download Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

of 44

Transcript of Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    1/44

    The Tank Man

    Senin, 16 Juni 2014

    Ia disebut "The Tank Man": seorang berbaju putih yang berdiri sendirian di tengah jalan,

    menghadang empat tank yang bergerak ke Tiananmen, Beijing.

    Hari itu 5 Juni 1989.

    Siapa dia? Tak ada yang tahu. Bisa jadi ia warga biasa yang tiba-tiba tak bisa menahan marah

    melihat tentara datang lagi setelah membunuh puluhan demonstran di Lapangan Tiananmen40 jam sebelumnya. Mungkin ia hendak berseru: "Kembalilah kalian! Korban sudah cukup!"

    Kita tak tahu itukah yang dikatakannya. Tapi sejak itu, dunia mengenangnya: sosok

    pemberani yang diabadikan kamera dari jauh, tubuh yang bagaikan sebatang tiang yang

    tegak--tiang putih yang menyangga hal-hal yang tak kasatmata: keinginan bebas dari takut

    dan kekerasan, keberanian bersikap, dan tekad yang mempercayai dialog, bahkan dialog

    dengan pasukan infanteri yang siap tempur.

    Orang bisa mengatakan, "The Tank Man" menghendaki apa yang mustahil. Sebab,

    Pemerintah begitu kuat. Penguasa di Beijing itu bisa dengan mudah mematikan suara yang

    menuntut kemerdekaan bersuara dan mematikan mereka yang tak disukai bersuara.

    Juga: mematikan ingatan tentang semua kematian itu.

    Ada seorang ibu bernama Xu Jue. Dalam sebuah tulisan di The New York Review of Books, 5

    Juni lalu, Ian Johnson menulis tentang wanita ini, yang anaknya mati ditembak tentara dan

    suaminya meninggal dirundung sedih. Tiap musim semi, di hari raya Qingming, Xu Jue

    bermaksud mengunjungi makam anak dan suaminya. Tapi polisi mencegahnya datang tepat 5

    April, ketika festival menghormati para mendiang itu dirayakan. Ibu itu boleh datang kemakam anaknya, tapi beberapa hari sebelum itu. Dan polisi akan menyertainya-meskipun

    harus membaca tulisan di nisan itu: "4 Juni, 1989".

    Seorang ibu lain, Ding Zilin, ingat tanggal yang agak berbeda: 3 Juni, 1989. Hari itu anaknya

    juga ditembak tentara yang memadamkan demonstrasi di Tiananmen. Dalam

    perkabungannya, ibu ini menghubungi keluarga yang juga kehilangan anak mereka di Juni

    yang berdarah itu. Ding Zilin membentuk satu jaringan ("Para Ibu Tiananmen") yang

    mencoba menemukan informasi tentang mereka yang tak pulang. Ia beberapa kali menjadi

    tahanan rumah, tapi ia tak menyerah. Sampai Agustus 2011, jaringan ini mencatat 202

    korban.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    2/44

    Tangan yang berdarah (dan berkuasa) harus mematikan ingatan seperti itu. Yang dihadapi

    bukan sekadar catatan tentang masa lalu. Ingatan itu juga sebuah tuntutan keras ke masa

    depan. Membungkam kenangan tentang kekejaman penting, sebab berkuasa harus siap

    dengan alasan bagi kekejaman baru.

    Sejarah politik Tiongkok penuh dengan kekejaman itu. Juga ingatan dan represi atas ingatan.

    Penyair dan penulis prosa dokumenter, Liao Yiwu, punya masa lalu yang terapung-apung

    antara hidup dan mati. Di pertengahan 1960-an, ayahnya, seorang guru, dituduh

    "kontrarevolusioner" oleh Pengawal Merah selama Revolusi Kebudayaan yang digerakkan

    Mao Zedong. Si ayah dipecat dan dikucilkan masyarakat. Si ibu terpaksa menceraikannya

    agar bisa hidup dengan anaknya. Tapi, pada suatu hari, untuk dapat membeli makanan,

    perempuan itu menjual kupon jatah pakaian yang dibagikan Negara. Si ibu ditangkap dan

    diarak bersama sejumlah penjahat di panggung Gedung Opera Kota Sichuan, kota

    kelahirannya.

    Liao Yiwu, yang beberapa kali disekap dan sajaknya diharamkan, memandang dengan pahit

    masa lalu yang dibangun dan dihancurkan Mao. Seperti ditulisnya dalam The New York

    Review of Books, Mao tak pernah minta maaf.

    Mao tak minta maaf dan kekerasan dilakukan kembali. "Revolusi bukan jamuan makan

    malam," itu ucapannya yang termasyhur. Harus ada pengorbanan untuk kemenangan

    Revolusi buruh dan tani, harus dibenarkan tindakan yang brutal jika hanya itu yang mungkin.

    Tiap laku politik, juga yang revolusioner, tampaknya mengamini dalil Bismarck di Jerman di

    abad ke-19, yang mengembangkan kekuasaan dengan "darah dan besi": Die Politik ist die

    Lehre vom Maglichen. Politik hanya bisa bertolak dari apa yang mungkin, dan sebab itu ia

    kiat memainkan apa yang mungkin.

    Berdiri di tengah Avenue Chang'an, "The Tank Man" tak mengikuti dalil itu. Hari itu ia

    contoh aksi politik yang digerakkan apa yang tak mungkin. Ia tak mengatakan, "Karena aku

    mustahil menang, aku lebih baik diam; kalaupun keadaan tak bisa hapuskan kekejaman,

    biarlah, tak ada rotan akar pun jadi."

    "The Tank Man" adalah isyarat: mereka yang mengatakan "tak ada rotan, akar pun jadi"lama-kelamaan bisa lupa bahwa rotan ada, tak mustahil, meskipun bukan di hari ini.

    Goenawan Mohamad

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    3/44

    Jenuh

    Sabtu, 14 Juni 2014

    Putu Setia

    ROMO Imam datang ke kampung saya di lereng Batukaru yang dingin. Saya suguhi teh

    bunga rosela kering hasil tanaman di kebun sendiri. "Di sini adem dan tenang," katanya,

    "Tentu saja, Romo. Juga tak dipusingkan oleh riuhnya kampanye capres," kata saya.

    Romo tersenyum. "Ya, saya tak melihat ada baliho dan spanduk calon presiden. Yang adamalah bendera Belanda, Italia. Prancis, Jerman," Romo menunjuk bendera yang berjejer di

    jalan. Saya mengangguk: "Itu bendera dijahit sendiri di kampung. Warga juga menjagokan

    Brasil dan Spanyol, tapi benderanya sulit dibuat. Untung ada hiburan Piala Dunia."

    Romo minum. "Di kota jenuh dengan capres-capresan. Apalagi kalau menonton televisi

    berita. Yang satu jagoannya pasti menang, presiden pilihan rakyat. Yang satu lagi presiden

    kita, selalu disambut di mana-mana. Bingung dan lama-lama jenuh."

    "Romo menonton televisi partisan. Keberpihakan stasiun itu sudah kebablasan. Komisi

    penyiaran sudah merekomendasikan supaya izinnya dicabut. Televisi dan radio, menurutundang-undang, harus netral. Kan siarannya membutuhkan frekuensi, dan itu milik publik.

    Terbatas adanya. Bukan milik nenek moyangnya yang seenaknya bisa dipakai. Cuma,

    rekomendasi komisi penyiaran macet di Menteri Komunikasi, entah berani menteri menutup

    televisi itu atau takut."

    "Jadi, soal keberanian?" Romo menyela. "Ya dong, masalah pokoknya berani atau tidak

    menegakkan aturan," kata saya. "Kasusnya sama dengan tabloid Obor Rakyat. Orang resah,

    tapi polisi belum berani melakukan pengusutan. Alasan polisi, kan tidak ada yang

    melaporkan tabloid itu. Tapi, ketika Bawaslu melaporkan, tidak diterima polisi. Dalih polisi,Bawaslu bukan pihak yang berwenang melaporkannya."

    "Yang membuat tabloid itu orang kuat, mungkin," lagi Romo menyela. "Tidak juga.

    Darmawan Sepriyossa, yang membuat tabloid itu, sudah memberikan pernyataan terbuka di

    media onlinetempatnya bekerja, dikutip juga di Facebook. Kalau mau mengusut, ya, panggil

    saja, nama dan alamatnya juga jelas. Alasan membuat tabloid pun dibeberkan."

    "Apa alasannya?" Romo antusias sampai mendekatkan duduknya ke arah saya.

    "Keberpihakan juga," jawab saya. "Darmawan merasa Jokowi perlu diingatkan karena semua

    media memujinya. Lalu, ia meracik bahan dari Internet, terutama Facebook dan Twitter yangmemojokkan Jokowi, ia masukkan ke Obor.Alasannya, toh bahan-bahan itu sudah dibaca

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    4/44

    ribuan atau jutaan orang di media maya. Kalau Darmawan tidak memihak salah satu capres,

    kenapa yang jelek-jelek tentang Jokowi dimasukkan ke Obor,sementara yang jelek-jelek soal

    Prabowo tidak ada?"

    Romo diam. Barangkali dia bingung soal begitu mudahnya membuat tabloid yang tak

    membutuhkan frekuensi seperti membuat stasiun televisi. Saya terus menjelaskan:

    "Pokoknya, kalau polisi punya niat baik mengusut kasus ini, mudah sekali. Tapi ujung-

    ujungnya yang disalahkan bisa penulis di Facebook, yang kebanyakan nama palsu.

    Pengusutan bisa bertele-tele, lalu pemilihan presiden selesai, kasusnya pun mengambang dan

    dilupakan."

    Tiba-tiba Romo bertanya kasus lain: "Panglima TNI mau mengusut siapa pembocor surat

    keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang memeriksa Prabowo. Itu serius apa tidak?" Saya

    langsung menjawab: "Surat yang dibocorkan itu sudah dikonfirmasi, asli bukan palsu. Lha,

    kalau sudah asli, apa perlu diusut siapa pembocornya? Didiamkan juga berhenti sendiri."

    Romo minum teh. "Ruwet juga, ya?" keluhnya. Saya bilang: "Hal gampang diruwet-

    ruwetkan, makanya orang jenuh dengan keriuhan yang diakibatkan oleh pemihakan

    kebablasan ini."

    FREE!

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    5/44

    Kampanye Kreatif

    Senin, 16 Juni 2014

    Ali Rif'an, Peneliti Poltracking, @alirifan

    Menyaksikan model kampanye hari-hari ini, saya merasa ada sesuatu yang unik. Salah

    satunya adalah munculnya beragam kampanye kreatif. Misalnya, pendukung Prabowo-Hatta

    yang mengatasnamakan Sahabat Prabowo membuat video berjudulHappyyang diunggah di

    YouTube. Begitu pula pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang tergabung dalam Jogja

    Hip-Hop Foundation menciptakan sebuah lagu berjudulBersatu Padu Coblos Nomor 2yangbisa didengarkan di situs www.soundcloud.comdan dapat diunduh secara gratis melalui situs

    www.mediafire.com.

    Memang harus diakui, dalam literatur ilmu politik, istilah kampanye kreatif masih terasa

    asing karena jenis kampanye yang kita kenal selama ini ada tiga: kampanye positif,

    kampanye negatif, dan kampanye hitam.

    Dalam kampanye positif, masyarakat biasanya disuguhi "narasi-narasi ala malaikat" dengan

    tujuan untuk mempengaruhi persepsi dan preferensi pemilih. Tak jarang, kampanye model ini

    kerap menampilkan narsisisme politik yang kadang justru membuat publik jenuh. Sedangkan

    dalam kampanye negatif, masyarakat dicekoki berita atau informasi miring ihwal pasangan

    capres-cawapres.

    Kampanye hitam tentu lebih parah lagi. Dalam kampanye ini, masyarakat disuguhi berita

    yang berisi isu dan fitnah. Orientasi kampanye hitam adalah menghasut masyarakat dengan

    cara-cara yang menabrak aturan sekaligus etika.

    Karena itu, hadirnya kampanye kreatif bisa menjadi oase di tengah kepenatan masyarakat

    menyaksikan tiga model kampanye di atas. Sebab, salah satu ciri kampanye kreatif adalahdapat menghibur. Kampanye kreatif menjadi penting karena di dalamnya mengandung dua

    unsur sekaligus: gagasan dan hiburan.

    Lock dan Harris (1996) pernah mengatakan, di dalam kampanye, ada dua hubungan yang

    harus dibangun: hubungan internal dan eksternal. Hubungan internal adalah hubungan yang

    berkaitan dengan kader partai, organisasi-organisasi sayap partai, ataupun lembaga-lembaga

    pendukung partai. Sedangkan hubungan eksternal adalah hubungan yang berkaitan dengan

    masyarakat luas-di luar kader dan simpatisan.

    Jika mengacu pada dua bangunan kampanye tersebut, dalam prakteknya, model kampanyekreatif biasanya lebih efektif digunakan untuk menarik simpati pemilih non-kader dan non-

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    6/44

    partisan (eksternal). Sebagai contoh, saat Jokowi maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta

    pada 2012, nyaris bahwa dukungan pasangan Jokowi-Ahok saat itu sangat sedikit dibanding

    pesaingnya, Foke-Nara, yang didukung banyak partai koalisi.

    Waktu itu, Jokowi-Ahok hanya didukung dua partai (PDI Perjuangan dan Partai Gerindra),

    sementara Foke-Nara didukung Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PKB, PAN, dan PPP.

    Namun menariknya, yang unggul justru pasangan yang didukung partai sedikit, yakni

    Jokowi-Ahok. Usut punya usut, salah satu faktor yang tak boleh dilupakan adalah pengaruh

    kampanye kreatif saat itu. Video-video dan lagu-lagu yang berisi tentang dukungan terhadap

    Jokowi-Ahok ketika itu banyak beredar di berbagai media sosial, bahkan menyelusup ke

    berbagai kampus dan kantor.

    Karena itu, munculnya beragam kampanye kreatif ini tak boleh dianggap sepele. Apalagi

    dalam studi Gelman dan King (1993) disebutkan bahwa preferensi pemilih terhadap

    kontestan telah ada jauh hari sebelum kampanye dimulai. Artinya, kampanye yang biasa-biasa saja akan sulit mempengaruhi preferensi pemilih. Sebaliknya, kampanye kreatif-selain

    berfungsi menghibur-bisa digunakan sebagai strategi untuk membidik pemilih yang masih

    ragu-ragu atauswing voter. *

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    7/44

    Slogan

    Minggu, 15 Juni 2014

    Muhidin M Dahlan, kerani @warungarsip

    Tiga puluh dua negara yang berlaga di Piala Dunia Brasil 2014 membawa serta 32 slogan

    yang mereka ciptakan. Slogan itu secara mencolok terpacak di kaca samping masing-masing

    bus tim. Ke mana pun bus besar itu membawa tim, ke situ pula slogan mengikuti.

    Slogan-atau menurut definisi sederhana KBBI adalah kalimat singkat-mirip jimat yang terusdikepit dalam perjalanan meraih cita-cita tertinggi. Mungkin doa untuk sebuah harapan

    berakhir di Maracana.

    Kata-kata slogan itu diramu sedemikian rupa untuk menggambarkan seperti apa sebuah

    hasrat yang terbayangkan menjadi kenyataan. Baca saja slogan tim Brasil, "Preparem-Sel O

    Hexa Esta Chegando!", yang yakin sekali mereka bakal merengkuh gelar juara untuk keenam

    kalinya. Atau slogan tim Swiss, yang seperti sudah memastikan mereka berada di puncak

    pagelaran: "End Station: 13 Juli 2014, Maracana!".

    Mungkin slogan paling santai dan nyaris tanpa beban adalah tim Korea Selatan: "Enjoy it,

    Reds!". Bagi Korea Selatan, Piala Dunia mesti ditempatkan sebagai permainan yang

    mengalirkan kesenangan, dan bukan ketegangan, apalagi sengketa politik yang kerap muncul

    saat Argentina kontra Inggris.

    Bandingkan dengan tiga negara yang mewakili Asia lainnya yang rata-rata datang untuk

    bertarung mengubah arus sejarah dan/atau memundaki harga diri. Slogan Jepang: "Samurai,

    The Time Has Come to Fight!". Sedangkan Australia: "Socceroos: Hopping Our Way Into

    History". Dan Iran: "Honour of Persia".

    Slogan Korea Selatan itu seakan menyempal dari diktum klasik bahwa pagelaran kejuaraan

    reguler empat tahunan menjadi urusan bangsa, urusan negara. Setidaknya bagi Argentina,

    yang membentangkan slogan tegas: "No Samos Un Equipo, Somos un Pais(Bukan Sekadar

    Tim, Kami Adalah Negara)". Dan Honduras dengan slogan seperti sebuah sumpah: "Samos

    Un Pueblo, Un Nacion, Cinco Estellas De Corazon(Kami Satu Negara, Satu Bangsa, Lima

    Bintang di Hati)".

    Yang menarik adalah hanya tiga negara yang meminjam amsal hewan untuk mewakili

    semangat mereka. Bosnia-Herzegovina, yang menjadi pendatang baru, menggambarkandirinya serupa naga: "Zmajevi U Scru Zmajevi Na Terenul(Naga di Hati, Naga di

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    8/44

    Lapangan)". Kamerun menggambarkan diri mereka sebagai singa: "Un Lion Demeure Un

    Lion(Sekali Singa Tetap Singa)". Sementara itu, slogan Pantai Gading agak ganjil tapi

    sekaligus menandaskan keperkasaan. Mereka mengidentikkan diri dengan gajah: "Les

    Elephants a la Conquete du Bresil (Gajah-gajah Menyerang Brasil)".

    Slogan adalah cara mengikat keinginan besar dan bersama dalam satu perasaan bahasa yang

    ringkas dan cergas. Tapi slogan juga menyimpan ambiguitasnya. Slogan adalah produk

    bahasa yang sangat rapuh. Kekuatannya bergantung pada kenyataan. Ketika slogan

    berbenturan vis a visdengan kenyataan, slogan atau moto berubah makna menjadi cibiran

    sinis: sloganistis! Kata tanpa makna.

    Slogan menjadi tuntunan bila diikuti tindakan-tindakan rasional dalam kenyataannya.

    Sebaliknya, slogan menjadi kata cemoohan jika tak memiliki rujukan dalam realitas.

    "Menolak Korupsi" adalah kata-kata kuat; namun menjadi sampah ketika kenyataan justru

    menunjukkan hal sebaliknya.

    Karena itu, dalam urusan slogan, mungkin bisa meniru Prancis di Piala Dunia tahun ini yang

    mengusung moto sederhana: "Impossible N'Est Pas Francis(Tak Ada Kata Tidak Mungkin

    dalam Bahasa Prancis)". Slogan tim Prancis ini seperti memberi tahu, sepak bola pada

    akhirnya juga urusan bahasa, urusan literasi. Mungkin.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    9/44

    Krisis, fakta atau fatamorgana

    Senin, 16 Juni 2014

    Metta Dharmasaputra, Co Founder katadata, Penulis Buku saksi kunci

    Washington, DC., 18 September 2008

    Nancy Pelosi, Ketua Kongres Amerika Serikat, bergegas mengumpulkan para sejawatnya

    dari Partai Demokrat. Kondisi keuangan AS sedang remuk diamuk badai krisis, setelah

    Lehman Brothers dibiarkan bangkrut.

    Menjelang sore, diteleponnya Menteri Keuangan AS Henry Paulson, yang dimintanya datang

    keesokan harinya untuk memberikan paparan. Tapi, sungguh mengagetkan jawaban Paulson.

    Esok pagi sudah sangat terlambat. Perekonomian AS di lembah neraka.

    Melihat tanda-tanda gawat, Pelosi merencanakan rapat lanjutan dengan mengundang

    Gubernur the Fed Ben Bernanke. Di malam harinya, pertemuan dihadiri oleh para pimpinan

    kongres dan senat dari fraksi Demokrat dan Republik.

    Kepada mereka Paulson menggambarkan kondisi perekonomian AS yang sedang meleleh.Ketika dimintai pendapat oleh Pelosi, jawaban Bernanke tak kalah mengejutkan. Jika kita

    tak bertindak cepat, tidak akan ada lagi perekonomian pada hari Senin. Dan ini sudah Kamis

    malam.

    Seisi ruangan sontak terkejut. Untuk menanggulanginya, Paulson menyodorkan solusi berupa

    rencana pemerintah membeli aset-aset bermasalah dari berbagai institusi keuangan. Nilainya

    tak tanggung-tanggung: US$ 700 miliar!

    * * *

    Jakarta, 21 November 2008

    Ketika warga Jakarta terlelap, sebuah rapat penting berlangsung di kantor Kementerian

    Keuangan. Rapat konsultasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) semalam suntuk itu

    mendadak digelar, lantaran kondisi Bank Century sudah sekarat.

    Dana Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang dikucurkan Bank Indonesia tak

    mampu menopang kelangsungan hidup Century. Penarikan dana oleh nasabah terus

    berlangsung. Akibatnya, seperti dituturkan Gubernur BI Boediono, Century ditetapkan

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    10/44

    sebagai bank gagal karena rasio kecukupan modalnya (CAR) sudah minus. Uang tunai di

    brankasnya pun tinggal Rp 20 juta.

    Celakanya, kejatuhan bank ini di kala krisiskendati asetnya terbilang kecilditengarai

    berdampak sistemik. Karena itulah, nasib bank ini harus segera ditentukan sebelum bank dan

    pasar modal mulai beroperasi pada Jumat pagi.

    Di tengah himpitan waktu ini, akhirnya keputusan sulit dibuat oleh Menteri Keuangan Sri

    Mulyani Indrawati, yang juga Ketua KSSK, bersama Gubernur BI Boediono: Century

    diselamatkan. Sebuah keputusan yang setahun kemudian menuai kontroversi, bahkan kini

    berujung ke meja pengadilan.

    * * *

    Dua kisah penyelamatan ekonomi ini boleh dibilang mirip. Para pengambil keputusandihadapkan pada situasi darurat. Mereka tak punya kemewahan waktu. Padahal, keputusan

    harus diambil dengan sangat cepat, meski informasi yang dimiliki relatif terbatas dan jauh

    dari sempurna.

    Pemerintah Amerika saat itu tentu tak mau salah langkah dua kali. Keputusan mereka

    membiarkan Lehman Brothers bangkrut, ternyata menimbulkan badai besar. Akibatnya,

    ongkos pemulihan ekonominya pun menjadi sangat mahal.

    Itu sebabnya, dalam buku terbarunya Stress Test, Timothy Geithner, mantan Menteri

    Keuangan AS yang menggantikan Paulson, menyatakan penyesalannya. Menurut Geithner,yang kala itu menjabat Presiden Bank Sentral New York, sebuah kesalahan besar

    membiarkan Lehman Brothers bangkrut.

    Jika saja dimungkinkan, dia akan mencegahnya. Tapi sayangnya, Kementerian Keuangan dan

    the Fed tidak memiliki kewenangan penuh untuk itu.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah berseloroh di awal-awal krisis AS berkecamuk. Dulu

    kita yang terus dipertanyakan di forum-forum internasional. Tapi kini, negara-negara maju

    yang perlu belajar dari Indonesia, tuturnya. Pengalaman pahit negeri ini saat dihantam badai

    krisis ekonomi Asia pada 1997/1998, memberikan pelajaran berharga.

    Masih segar dalam ingatan Boediono, yang kala itu menjabat Direktur BI, masa-masa kelam

    itu. Oleh karenanya, ketika ia kembali dihadapkan pada situasi ancaman kolaps Bank Century

    di tengah terjadinya krisis likuiditas perbankan dan tidak adanya penjaminan penuh dana

    nasabah (blanket guarantee), ia tak mau berspekulasi dan memilih menyelamatkannya.

    Aset bank bobrok ini memang cuma sekitar 0,7 persen dari perbankan nasional. Tapi, perlu

    dicatat, aset 16 bank yang ditutup pada 1997 pun hanya 2,3 persen alias 0,14 persen setiap

    bank.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    11/44

    Pengalaman ini mengajarkan, penutupan bank sekecil apa pun dalam situasi krisis ibarat

    memantik api di jerami yang kering. Apalagi banyak fakta menunjukkan bahwa kondisi

    ekonomi Indonesia saat itu tidak dalam kondisi sehat-walafiat. Likuiditas di pasar uang antar-

    bank pada November 2008saat Century diselamatkansangat kering, seperti pada 1997.

    Menurut catatan BI, saat itu ada 18 bank setara Century plus 5 Bank Pembangunan Daerah

    (BPD) yang berpotensi kesulitan likuiditas. Bahkan tiga bank BUMN raksasa, yaitu Mandiri,

    BRI, dan BNI, juga meminta tambahan dana likuiditas ke pemerintah hingga Rp 45 triliun,

    meski yang disetujui akhirnya hanya Rp 15 triliun.

    Besarnya tekanan terhadap perbankan nasional ini terekam dalam grafik Banking Pressure

    Index Danareksa Research Institute. Titik dalam grafik BPI pada November 2008 sudah di

    atas ambang batas aman. Bahkan sudah lebih tinggi dari masa-masa awal krisis moneter

    Indonesia pada Maret 1997.

    Itu sebabnya, BI pada 29 Oktober 2008 sudah membunyikan alarm siaga satu Crisis

    Management Protocol, yang memantau ketat kondisi moneter dari jam ke jam. Dalam situasi

    rawan seperti inilah beragam peraturan diubah dan dilahirkan untuk meredam krisis.

    Salah satu yang diributkan hingga kini, yaitu perubahan peraturan BI tentang persyaratan

    pemberian FPJP, yang akhirnya dinikmati Century. Sebagian curiga ada persekongkolan jahat

    di baliknya. Kecurigaan kian besar karena dibumbui oleh berbagai rumor. Salah satunya,

    rumor penggelontoran dana bailout Century secara tunai, senilai triliunan rupiah, di hari

    Sabtu dan Mingguseperti juga dilansir oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Padahal

    faktanya, dana itu pertama kali dikucurkan via transfer pada Senin pagi, 24 November 2008,

    pukul 07.42.

    Kesesatan persepsi lainnya, yaitu seolah-olah jika Century ditutup tak ada biayanya alias

    gratis. Padahal, biaya penutupan ditaksir mencapai Rp 6,4 triliununtuk penggantian dana

    nasabah yang dijaminyang berarti tak jauh beda dengan nilai bailoutRp 6,7 triliun. Biaya

    penutupan bahkan pada akhirnya bisa lebih mahal, jika bank ini tahun ini bisa dijual dengan

    harga bagus.

    Menurut Guru Besar hukum pidana UGM Prof. Eddy Hiariej (Kompas, 23/5), bukti adanyasituasi krisis sebetulnya sudah terjawab dengan dilansirnya tiga Peraturan Pemerintah

    Pengganti UU (Perppu) pada Oktober 2008. Sebab, seperti dinyatakan dalam pasal 22 UUD

    1945, lahirnya Peppu terkait dengan hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dua dari tiga

    Perpu itu pun sudah disahkan oleh DPR menjadi UU.

    Ketika terjadi keadaan darurat, Prof. Eddy menggarisbawahi, berlakulah asas necessitatis non

    hebetlegemyang berarti dalam keadaan darurat tak berlaku hukum (Kompas, 23/5). Dengan

    kata lain, kebijakan bailoutCentury untuk penyelamatan ekonomi tak bisa dipidanakan, kalau

    pun ada berbagai kekurangsempurnaan di sana-sini.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    12/44

    Pendapat Prof. Eddy diperkuat oleh tiga guru besar hukum lainnya, yakni Prof. Hikmahanto

    Juwana (UI), serta kesaksian Prof. Komariah Sapardjaja (Unpad) dan mantan hakim

    Mahkamah Konstitusi Prof. Mohamad Laica Marzuki di persidangan.

    Permakluman ini pulalah yang disampaikan oleh Ketua KPK Antasari Azhar dalam rapat

    yang digelar oleh Presiden untuk menghadapi krisis global pada 9 Oktober 2008. Presiden

    Yudhoyono menyatakan bahwa dalam situasi krisis, bisa saja ditempuh langkah-langkah

    darurat penyelamatan perekonomian nasional kendati perangkat hukumnya belum sempurna.

    Antasari menyambut baik ajakan Presiden. Ada yurisprudensi bahwa hilanglah sifat

    melawan hukum jika kepentingan umum terlayani, katanya seperti tertuang dalam notulen

    rapat.

    Di rapat yang sama, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution bahkan memuji

    langkah cepat Presiden SBY. Saya sependapat sekali, dan saya kirayou handled it well, pakPresiden, katanya. Ia terkesan dengan kisah pertemuan Pelosi, Bernanke dan Paulson, yang

    disebutnya sebagai sebuah langkah cepat yang dilandasi kebersamaan untuk menghadapi

    krisis ekonomi.

    Persoalannya, kebijakan tanggap-darurat inilah yang kini justru sedang diadili dalam perkara

    Century. Namun, berbeda dengan Geithner, Boediono menyatakan tak pernah menyesali

    keputusannya. Sebab, di matanya, krisis saat itu bukanlah fatamorgana, tapi sebuah fakta.

    Dan terbukti, dengan bailoutCentury, perekonomian Indonesia pun selamat dari krisis.

    -http://katadata.co.id/opini/2014/06/17/krisis-fakta-atau-fatamorgana#sthash.Xc8Ok3h0.oM591dUr.dpuf

    FREE!

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    13/44

    Kuasa Angka

    Selasa, 17 Juni 2014

    M. Nafiul Haris, Peneliti

    Survei dan hasil hitung cepat belakangan menjadi bisnis yang tumbuh subur menjelang dan

    saat pemilu. Keduanya menjadi penentu kebijakan dan terkadang menentukan nasib seorang

    calon presiden ataupun badan legislatif. Tak ayal, meski dibutuhkan, survei dan hitung cepat

    kerap menjadi momok menakutkan bagi partai dan para kadernya.

    Membandingkan budaya politik yang terbangun di Indonesia, di negara demokrasi mapan

    seperti Amerika Serikat, survei bukanlah tolok ukur utama dalam menentukan kebijakan.

    Survei yang dilakukan lebih bersifat kualitatif, bukan persentase elektabilitas. Warga

    Amerika lebih percaya issues, telaah kualitatif.

    Dalam Pemilu 1955, ketika parpol masih berpanglimakan ideologi, kemampuan berpidato

    serta menyusun propaganda dan mesin politik mobilisasi sangat menentukan. Tapi ini zaman

    kapitalisme mutakhir. Jadi, urusan politik pun menjadi urusan angka-angka. Kenyataan

    politik telah direduksi menjadi statistik, angka-angka hasil survei, dan jajak pendapat.

    Persepsi politik rakyat cukup dipandang sebagai "indeks kepuasan dan ketidakpuasan

    publik". Preferensi politik rakyat dituntun bukan lagi dengan program perjuangan, melainkan

    oleh survei dan politik pencitraan. Jangan merasa heran, orang lebih percaya kepada seorang

    artis tampan ketimbang aktivis partai yang sudah puluhan tahun bekerja di lapangan politik.

    Sikap merakyat seorang calon pemimpin, misalnya, digambarkan dengan kedatangan calon

    pemimpin tersebut ke perkampungan kumuh dan berbincang-bincang dengan rakyat

    setempat, seraya memobilisasi media massa agar bisa meliput aksinya. Mungkin ini yang

    disebut oleh Jean Baudrillard sebagaisimulacra: tiruan, imitasi, tidak nyata, tidak

    sesungguhnya. Selain media massa, lembaga survei banyak memainkan peran dalammembentuk "politik penuh kedangkalan ini".

    Hal itu berkontribusi merusak demokrasi. Pertama, kecenderungan survei semacam itu

    berfungsi untuk menggiring opini rakyat mengenai kandidat terkuat. Dengan begitu, calon

    pemilih mengambang-yang jumlahnya sangat besar-cenderung memilih kandidat yang

    terkuat. Kedua, survei tersebut terkadang bias dan tidak sesuai dengan kenyataan di tengah-

    tengah rakyat, bahkan bergerak atas sponsor atau kelompok kepentingan yang mendanai

    surveinya. Dalam banyak kasus, metode dan teknik survei bisa dimodifikasi sesuai dengan

    kepentingan lembaga survei.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    14/44

    Ketiga, pertanyaan dan kategori yang dipergunakan lembaga survei mengerdilkan aspirasi

    dan sikap politik rakyat yang sangat beragam. Survei kandidat, misalnya, terkadang

    mengunci pilihan rakyat pada figur-figur yang ada. Padahal, belum tentu mereka

    mencerminkan atau sesuai dengan figur yang diinginkan oleh rakyat.

    Terakhir, kecenderungan memunculkan "sosok pemenang" sebelum pemilu sangat membuka

    peluang terjadinya kecurangan masif dalam pemilu. Dengan adanya nama pemenang sebelum

    pemilu, pemilih pun tidak akan terlalu mempersoalkan kenapa dan bagaimana ia bisa

    menang. Padahal, bisa saja si pemenang ala lembaga survei ini menggunakan kecurangan dan

    memanipulasi hasil pemilu.

    Akibatnya, politik semakin jauh dari realitas. Realitas politik makin tergantikan oleh indeks,

    statistik, dan angka-angka. Akibatnya, kebiasaan membaca persentase ini membuat seorang

    pemimpin mengabaikan rakyatnya. Kalau indeks ketidakpuasan masih di bawah 50 persen,

    hal itu dianggapnya masih normal. Padahal, sebagai negara ber-Pancasila dan ber-UUD 1945,tak seorang pun warga negara yang boleh diabaikan di negeri ini.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    15/44

    Rumor dalam Pilpres 2014

    17 Juni 2014

    M Jamiluddin Ritonga, Dosen Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta

    Rumor atau desas-desus seputar calon presiden-calon wakil presiden marak bermunculan di

    berbagai media. Kehadirannya tanpa diundang, nyelonong begitu saja melalui berbagai arah.

    Kehadirannya sulit dicegah oleh siapa pun juga. Tanpa permisi, rumor seputar capres-

    cawapres nyelonong ke rumah, kantor, kantin, bus, halte, bahkan ke ruang intel yang paling

    disegani di negeri ini.

    Berbagai rumor itu paling marak mengemuka di media sosial. Pihak-pihak yang terlibat

    dalam dukungan terhadap capres-cawapres intens memunculkan rumor, baik yang positif

    maupun yang negatif. Rumor positif umumnya ditujukan bagi capres-cawapres yang

    didukungnya. Sebaliknya, rumor negatif terus-menerus diarahkan kepada capres-cawapres

    yang tidak didukungnya.

    Kekhawatiran terhadap rumor negatif tentu beralasan. penyebabnya, rumor pada umumnya

    berisi informasi selentingan yang dikomunikasikan tanpa jaminan adanya bukti nyata. Bagimasyarakat Indonesia yang masih kental budaya lisan, menjalarnya rumor tentang capres-

    cawapres dimungkinkan lebih cepat lagi. Budayagethok tularkiranya dapat mempercepat

    bertebarannya rumor tersebut dalam masyarakat.

    Bertebarannya rumor juga dapat dimulai dari minat. Bila inti persoalan rumor tentang capres-

    cawapres tidak selaras dengan minat seseorang, ia tidak memiliki alasan untuk

    mengembuskan rumor tersebut. Namun, bila informasi itu sesuai dengan minat, ia akan

    tergoda untuk meneruskan rumor sesuai dengan versinya.

    Jadi, informasi yang dikandung rumor cenderung berubah saat beredar dari orang ke orang.

    Walaupun tema umumnya tetap dipertahankan, rinciannya biasanya sudah bertambah atau

    berkurang. Muatan informasinya bahkan kerap disaring dengan menyusutkannya menjadi

    beberapa rincian pokok yang dapat diingat dan diteruskan kepada orang lain. Hal itu terjadi

    karena orang per orang memilih rincian rumor yang sesuai dengan minat dan pandangan

    mereka sendiri tentang obyek yang dirumorkan.

    Minat untuk menebarkan rumor muncul karena adanya ketidakpastian dalam situasi tertentu.

    Bila rumor negatif tidak mendapat kepastian dari setiap capres-cawapres, lawan

    pendukungnya akan terdorong untuk menyebarluaskan rumor tersebut. Sebaliknya, parapendukungnya akan merasa bingung atau kurang memahami konteks situasinya karena tidak

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    16/44

    memadainya informasi. Akibatnya, para pendukung melakukan reaksi bertahan agar situasi

    mereka lebih berarti dan aman.

    Cara terbaik mengendalikan rumor biasanya adalah menanggulangi sumbernya atau

    mengungkapkan fakta. Dengan diungkapkannya fakta yang sebenarnya, ketidakpastian

    diharapkan dapat berkurang, sehingga tidak cukup peluang bagi penyebaran rumor. Cara ini

    dapat membantu menjelaskan ketidakpastian dalam pikiran setiap orang. Dan ini biasanya

    lebih disukai oleh orang-orang yang merasa tidak pasti dan mengalami ketegangan jiwa.

    Upaya tersebut bukan berarti penangkal ampuh untuk meniadakan rumor sama sekali. Rumor

    akan kembali muncul kala terjadi ketidakpastian. Karena itu, untuk meminimalkan rumor,

    capres-cawapres idealnya dapat mempertahankan iklim yang kondusif tentang diri mereka

    masing-masing. Iklim demikian biasanya dapat terwujud jika capres-cawapres mau bersikap

    terbuka dan berempati terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Jadi, kata

    kuncinya adalah keterbukaan dan kemampuan berempati.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    17/44

    Psikopatik = Narsistik = Totaliter

    Selasa, 17 Juni 2014.

    Seno Gumira Ajidarma, wartawan

    Benarkah Adolf Hitler (1889-1945) itu psikopat?

    Sejarah mencatat, sebetulnya Hitler ingin menjadi seniman, mendaftar ke Akademi Seni

    Murni di Wina, pada 1907 dan 1908, tetapi tak diterima lantaran tak layak melukis. Jika

    diterima, pembersihan kaum Yahudi itu mungkin bisa di-gambar-kan saja, tak usahdiwujudkan konkret dan efisien: masukkan kamar gas.

    Hitler hanya bisa menggertakkan geraham ketika pada Olympiade Berlin 1936 pemenang lari

    100 meter bukan dari ras Arya, melainkan Jesse Owens dari Amerika Serikat, berkulit hitam.

    Alih-alih sadar atas kepicikan rasis, semakin kuat tercatat dalam agenda tersembunyinya:

    keunggulan ras Arya kudu dibuktikan dengan segala cara, termasuk membasmi kaum yang-

    waktu itu-tak bertanah air, dan tak bernegara tetapi menguasai perekonomian, seperti Yahudi.

    Pertanyaannya: mengapa ada juga, bahkan banyak, mendukung dia, sehingga orang sepertiHitler bisa jadi Kanselir Jerman?

    Pemimpin psikopatik (psychopathic leader) ternyata ditempatkan dalam perbincangan

    narcissistic personality disorder(NPD). Disebutkan, pemimpin semacam itu, kulminasi dan

    perwujudan dari peradaban pada masanya: memang akan menonjol dalam khalayak

    narsisistik.

    Narsisis akan menemukan, membentuk, dan memandang dirinya sendiri dengan keliru,

    sebagai bagian dari dongeng berada dalam pilihan untuk ditakuti atau dikagumi. Semula

    menjaga jarak ketika menggenggam realitas, dirinya menjadi lebih buruk dalam jebakan

    kekuasaan. Delusi diri dan fantasinya atas kebesaran, didukung otoritasnya sendiri dalam

    kenyataan, serta kegemaran narsisis untuk mengelilingi diri dengan para penjilat, hanya akan

    menguburnya (Vaknin, 2013: 47).

    Dalam dunia wayang, raja raksasa memang didukung raksasa, raja monyet didukung monyet,

    dan raja manusia didukung manusia. Bukankah tokoh-tokoh pendukung tertentu, terhadap

    seorang pemimpin tertentu, tampak sejenis alias karakternya mirip-mirip pemimpin

    tersebut?

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    18/44

    Perbincangan tentang Stalin dalam buku karya Robert Conquest, The Great Terror: A

    Reassessment (1968), menempatkan psikopati seorang pemimpin sebagai penyebab langsung

    totaliterisme (Moscovici: 2011/06/29).

    Adapun dalam totaliterisme, ideologi menjelaskan segalanya berdasarkan tujuan, melakukan

    rasionalisasi atas segala halangan yang mungkin muncul ataupun segala daya yang mungkin

    merupakan tantangan terhadap negara. Dukungan rakyat mengizinkan negara memperluas

    wilayah tindakan dalam berbagai bentuk pemerintahan. Segala perbedaan pendapat dicap

    sebagai kejahatan dan perbedaan politik internal tidak diizinkan (www.britannica.com:

    2014/6/9).

    Terdapatnya lebih dari satu partai dan diselenggarakannya pemilu bukanlah jaminan suatu

    negeri tak jadi-dan tak akan menjadi-totaliter. Jangan kaget jika sejumlah pemikir

    memasukkan pula Amerika Serikat, setelah menyebut Nasional-sosialisme Jerman, Uni

    Soviet, dan Kuba, seperti dilakukan Marcuse (1964) dan Reich (1971), meski ada juga yangmembatasi diri hanya pada Italia-nya Mussolini (Orr dalam DeCrespigny & Cronin, 1975:

    134).

    Ideologi yang begitu populer seperti nasionalisme bahkan tak kurang-kurangnya menjadi

    contoh kasus bagi praktek totaliterisme [Ward, 1982 (1966): 37-41]. Begitu juga tentunya

    dengan ideologi bernuansa keagamaan yang tampak antihama,suci-murni, bersih, dan

    tanpa noda.

    Bagaimana khalayak terkibuli? Dengan mesin propaganda yang efisien, totalitarisme berhasil

    memberlangsungkan transformasi kelas-kelas sosial menjadi massa, sehingga partai-partai

    bukan dilebur ke dalam partai tunggal, melainkan dijadikan gerakan massa.

    Seorang pemimpin fanatik akan menciptakan massa merasa selalu dibohongi, diperlakukan

    tak adil, dan berada di dalam sistem sosial-politik keliru. Hal ini membuat pemimpin macam

    apa pun berjanji menggantikan sistem lama-membuat nasib mereka sungguh malang-akan

    didukung.

    Pendukung seperti ini lantas menjadi fanatik juga, sehingga ketika mengetahui betapa

    segenap retorika hanyalah semu, justru semakin bangga, karena tahu segalanya memangkebohongan sahaja.

    Massa ini akan dibuat berdaya melalui suatu tujuan agresif, antara lain memberinya musuh

    obyektif, yakni berciri tertentu: dari cara rasis sampai sentimen kelas. Sentimen keagamaan

    jelas bukan pengecualian.

    Rezim totaliter dalam sejarah tak ada bertahan, tapi saat itu korban sudah terlalu besar dan

    berlebihan, karena segenap tujuan ideologis yang mengingkari kehidupan nyata jelas

    melemahkan keberdayaan sosial.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    19/44

    Di atas semua itu, pemusatan ekonomi yang didukung teror hanya akan membawa dirinya

    sendiri menuju kebangkrutan, ketika kesadaran sudah sangat terlambat [Magnis-Suseno

    dalam Arendt,1995 (1979): viii-xxii].

    Sejarah selalu berulang? Yang satu ini jangan.

    !

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    20/44

    Politik Virtual Capres

    Rabu, 18 Juni 2014FREE

    M. Nafiul Haris, Peneliti Pol Tracking Institute

    Kehadiran situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, serta media sosial lain yang terus

    bermunculan, kini memberikan ruang kreatif bagi tim sukses pasangan capres-cawapres yang

    akan berlaga pada 9 Juli nanti. Melalui fasilitas yang tersedia, mereka mendukung penuh

    penampilan diri pasangan capres-cawapres yang dijagokannya lewat dunia maya agar meraih

    kemenangan.

    Tak mengherankan bila para anggota tim sukses, pendukung, dan relawan pasangan capres

    tertentu memanfaatkan adanya situs jejaring sosial ini secara maksimal. Belakangan juga

    diketahui muncul situs ayovote.com, juga orangbaik.org, di mana kedua situs tersebut

    bermaksud memfasilitasi para calon pemilih supaya bisa mengetahui sepak-terjang pasangan

    capres-cawapres yang layak pilih.

    Selain itu, media sosial diyakini mampu membawa perubahan pola konsumsi konten (calon

    pemilih) pasangan capres tertentu untuk memilih pasangan yang lain. Pada sisi lain, juga

    mampu membawa arah baru dari produksi konten (capres). Melalui fasilitas "Status"

    Facebook, tim sukses Jokowi maupun Prabowo dimungkinkan untuk mengkonstruksikan

    identitas diri kedua calon di ruang virtual. Apa yang sedang dipikirkan oleh Jokowi maupun

    Prabowo, kondisi fisik apa yang sedang ia alami, keadaan di sekitar dirinya, hingga

    bagaimana tanggapannya terhadap situasi, dapat diikuti di media sosial ini.

    Namun patut dicatat, relasi menjadi bagian terpenting dari suatu sistem ini. Mereka

    melakukan komunikasi, membangun, dan sebenarnya sedang mendefinisikan hubungan di

    antara mereka. Dan, setiap individu yang berada dalam suasana komunikatif ini selalu

    menciptakan sekumpulan harapan, memperkuat harapan-harapan lama, atau mengubahsebuah pola interaksi yang sudah ada. Hal tersebut jelas memberi ruang bagi para pasangan

    capres-cawapres untuk mengkonstruksikan ide-ide politik virtual mereka.

    Wajar bila kemudian tim sukses, pendukung, relawan capres dan cawapres, banyak

    melakukan sosialisasi mengenai program, visi, dan misinya melalui Facebook. Mereka tahu

    Internet jauh bisa melampaui kekuatan peraga-peraga kampanye di tepi jalan atau media

    cetak. Facebook dengan sifatnya yang bisa berinteraksi, dan ini dilakukan secara real time,

    menjadi poin penting tersendiri bagi tim sukses pasangan capres-cawapres untuk dijadikan

    media kampanye.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    21/44

    Selanjutnya, Facebook sebagai situs jejaring sosial juga merupakan medium yang bisa

    digunakan oleh audiens untuk melakukan pengungkapan diri. Audiens dapat mengungkapkan

    informasi personalnya kepada publik, sekaligus bisa menetapkan beragam kriteria caleg yang

    diinginkan bagi mereka. Pengungkapan diri ini dianggap penting karena munculnya perilaku

    positif mengenai diri sendiri maupun terhadap orang lain menegaskan arti penting dari atautelah adanya hubungan yang sedang terjalin dengan orang lain.

    Era digital ini telah membawa perubahan dalam model kampanye para capres. Di sana ada

    transformasi politik virtual yang terjadi dalam individu modern, dan mereka mencoba

    melepaskan diri dari tradisi maupun struktur (sosial lama) yang selama ini dianggap sudah

    tidak sesuai dengan zaman.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    22/44

    Membayangkan Sosok Ibu Negara

    Rabu, 18 Juni 2014

    Sudirman Nasir, Dosen dan peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat UniversitasHasanuddin, Makassar; peneliti di ReachOut Consortium, Eijkman Institute, Jakarta. Artikelini adalah pendapat pribadi penulis.

    Di tengah hiruk-pikuk kampanye pemilu presiden saat ini, tak banyak di antara kita yang

    sempat memikirkan secara serius sosok ibu negara kita mendatang. Memang di media-media

    sosial sempat muncul pembicaraan-pembicaraan sekilas, lelucon-lelucon mengenai sosokbakal ibu negara kita. Ini terjadi karena kebetulan salah seorang calon presiden, yakni

    Prabowo Subianto, kini berstatus duda cerai.

    Di Amerika Serikat, ibu negara tidak selalu diperankan oleh istri presiden. Pada saat Presiden

    AS dijabat oleh seseorang yang tidak memiliki istri, seperti Thomas Jefferson, ibu negara

    diperankan oleh salah seorang kerabatnya, yakni Martha Jefferson Randolph.

    Ibu negara memang tidak memiliki tugas atau peran formal, namun punya pengaruh cukup

    besar. Lisa Burns, dalamFirst Ladies and the Fourth Estate: Press Framing of Presidential

    Wives(2008), menyebutkan empat peran ibu negara di AS, yaitu "tokoh publik" (publicwoman), "pesohor politik" (political celebrity), "aktivis politik" (political activist), dan

    "sosok yang berpengaruh secara politik" (political interloper).

    Dalam kenyataannya, batas-batas antara peran-peran di atas sebenarnya tidaklah terlalu jelas.

    Ibu Negara Edith Wilson, misalnya, berperan mengisi banyak acara suaminya setelah

    Presiden Wilson terkena stroke. Demikian pula Ibu Negara Eleanor Roosevelt, yang

    suaminya mengalami kelumpuhan.

    Namun para ibu negara selanjutnya, seperti Jacqueline Kennedy, Lady Bird Johnson, PatNixon, Betty Ford, Rosalyn Carter, Nancy Reagan, Barbara Bush, Hillary Clinton, Laura

    Bush, dan Michelle Obama, menjadi pesohor sekaligus aktif mendukung program-program

    penting; seperti lingkungan hidup; kesehatan, termasuk kesehatan jiwa, kesehatan

    perempuan, kesehatan ibu dan anak; penyalahgunaan narkotik; serta literasi dan minat baca.

    Ibu Negara Michelle Obama saat ini, misalnya, sangat aktif mengkampanyekan peningkatan

    kesejahteraan keluarga para tentara AS dan juga program-program mengurangi kegemukan

    (obesitas) yang memang merupakan masalah-masalah penting yang kini dihadapi AS .

    Di Tanah Air, salah satu masalah utama yang kita hadapi saat ini adalah kesehatan ibu,

    seperti jelas terlihat pada angka kematian ibu yang masih tinggi. Kesehatan ibu yang

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    23/44

    merupakan salah satu komponen MDGs (Millenium Development Goals) juga merupakan

    investasi yang sangat penting bagi generasi mendatang. Target kita menurunkan AKI dari

    359 per 100 ribu kelahiran hidup menjadi 102 per 100 ribu pada 2015 tampaknya sulit kita

    capai. Namun kita tak boleh menyerah.

    Sosok ibu negara yang memilikipassiondan komitmen pada masalah ini akan sangat

    berperan meningkatkan semangat dan kinerja para tenaga kesehatan di lini terdepan dan para

    pemangku kepentingan. Dalam iklim masyarakat kita yang masih cenderung paternalistik,

    sosok ibu negara yang memiliki komitmen pada bidang ini berpotensi menggerakkan istri

    menteri, istri gubernur, istri wali kota, istri bupati, istri camat, dan istri kepala desa untuk

    mendorong program-program kesehatan ibu. Termasuk tentu saja mendorong suami mereka

    untuk lebih berkomitmen pada bidang strategis namun sering terabaikan ini.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    24/44

    Koalisi Presidensial atawa Parlementer

    Rabu, 18 Juni 2014

    Oce Madril, Dosen Fakultas Hukum UGM, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM

    Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan dua pasangan calon yang akan mengikuti

    Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Keduanya

    diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu legislatif 2014. Tidak adanya partai

    politik yang memenuhi syaratpresidential threshold--memperoleh suara nasional minimal 25

    persen atau kursi parlemen sebesar minimal 20 persen--membuat partai-partai bergabung(berkoalisi) untuk memunculkan calon presiden. Publik menyaksikan bagaimana alotnya

    pembicaraan dan negosiasi antar-partai politik untuk mengusung salah satu calon. Perolehan

    suara dan kursi di parlemen menjadi salah satu pertimbangan utama.

    Koalisi yang mendukung Jokowi-JK terdiri atas empat partai politik: PDIP (109 kursi), PKB

    (47 kursi), Nasional Demokrat (35 kursi), dan Hanura (16 kursi). Total perolehan kursi

    parlemen pendukung koalisi Jokowi-JK adalah 207 kursi. Sedangkan koalisi Prabowo-Hatta

    didukung oleh lima partai politik: Gerindra (73 kursi), Golkar (91 kursi), PAN (49 kursi),

    PKS (40 kursi), dan PPP 39 kursi). Total perolehan kursi parlemen pendukung koalisi

    Prabowo-Hatta adalah 292 kursi. Hanya Partai Demokrat (61 kursi) yang tidak secara resmi

    menjadi pengusung capres dan cawapres.

    Koalisi yang dibangun oleh masing-masing calon menunjukkan satu hal: kekuatan dukungan

    di parlemen sangat diperhitungkan. Selain sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon,

    dukungan partai di parlemen berguna untuk meloloskan kebijakan-kebijakan penting presiden

    terpilih. Meskipun konstitusi Indonesia menganut sistem presidensial, besarnya kekuasaan

    parlemen membuat setiap presiden harus "menjaga hubungan baik" dengan parlemen. Hal

    inilah yang sering disebut oleh akademisi hukum tata negara sebagai fenomena "presidensial

    citarasa parlementer".

    Walaupun UUD 1945 tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara

    yang menganut sistem presidensial, ciri-ciri utama sistem itu dapat ditemukan dalam

    konstitusi. Misalnya penegasan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara,

    adanya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, dan presiden hanya dapat dijatuhkan

    melalui prosedur hukum jika melanggar konstitusi. Tapi sistem presidensial Indonesia

    ditandemkan dengan sistem multipartai yang tidak sederhana. Di sinilah letak persoalannya,

    sistem multipartai tersebut membuat praktek pemerintahan seolah-olah menjadi parlementer.

    Menguatnya karakter parlementer dalam sistem presidensial Indonesia juga disebabkan oleh

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    25/44

    besarnya kekuasaan yang dimiliki parlemen (DPR). Konstitusi UUD 1945 pasca-amendemen

    memberi fondasi yang kokoh bagi kewenangan DPR. Penguatan parlemen tidak terlepas dari

    sejarah kelam pemerintahan Orde Baru yang memiliki kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol

    (executive heavy).

    DPR pasca-amendemen berkuasa penuh atas fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

    Tanpa persetujuan DPR, sebuah rancangan Undang-Undang (RUU) mustahil dapat

    diberlakukan. Juga, walaupun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Badan

    Anggaran DPR tidak bisa terlibat dalam pembahasan rancangan anggaran dan belanja negara

    (RAPBN) secara lebih detail, tetap saja pemerintah membutuhkan persetujuan DPR agar

    RAPBN dapat diterapkan.

    Selain itu, DPR saat ini memiliki kewenangan pengawasan yang jauh lebih kuat daripada

    sebelumnya. DPR dapat dengan mudah meloloskan hak interpelasi, hak angket, bahkan hak

    menyatakan pendapat yang dapat berujung pada pemakzulan presiden dan atau wakil

    presiden. Kebijakan nasional yang kontroversial (tidak populer) dapat menjadi amunisi DPR

    untuk menyerang presiden. Pengawasan DPR tidak hanya pada presiden, tapi juga pada

    kementerian dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Menteri dan pejabat pemerintahan

    bisa disibukkan oleh berbagai rapat dengan komisi terkait di DPR, baik soal program,

    kebijakan, maupun anggaran.

    Menguatnya karakter parlementer diperparah oleh model koalisi pemerintahan. Pasca-

    reformasi, tidak ada partai politik yang mayoritas dan dominan yang dapat membentuk

    pemerintahan sendiri. Kekuatan partai politik terbagi hampir merata. Kondisi ini memaksasetiap presiden untuk membentuk koalisi partai politik yang mendukung pemerintah.

    Sebenarnya, presiden bisa saja membentuk pemerintahan sendiri tanpa melibatkan partai

    politik lain. Hal ini dimungkinkan karena presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan

    oleh partai politik. Namun apakah presiden siap dengan konsekuensi akan diganggu terus-

    menerus oleh partai-partai yang ada di DPR? Sebagaimana pengalaman pemerintahan mantan

    presiden Abdurrahman Wahid, yang hanya didukung oleh minoritas partai di DPR dan

    akhirnya berujung pada pemakzulan.

    Tujuan utama pembentukan pemerintahan koalisi adalah demi stabilitas dukungan politik di

    parlemen. Sebab, pertama, partai yang tidak bergabung bisa membentuk poros oposisi di

    parlemen. Kedua, sulitnya menjaga komitmen koalisi partai-partai pengusung pemerintah.

    Secara formal, boleh jadi ada koalisi. Namun, dalam prakteknya, partai koalisi bisa saja

    menyeberang ke poros oposisi dalam isu-isu tertentu di parlemen. Hal ini tentu akan

    menyulitkan pemerintah.

    Lebih jauh, situasi ini dapat membentuk apa yang disebut oleh Morris P. Fiorina dalam

    Divided Government in the American States (1994) sebagai pemerintahan yang terbelah

    (divided government), di mana pemerintah dan parlemen dikuasai oleh partai (koalisi) yangberbeda, sehingga menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    26/44

    Sistem multipartai yang tidak sederhana, besarnya kekuasaan DPR, dan rapuhnya koalisi

    akan membuat presiden terpilih tersandera secara politik, baik oleh partai politik maupun

    oleh parlemen. Solusinya, presiden terpilih harus dapat membentuk pemerintahan koalisi

    yang efektif, baik di pemerintahan maupun di parlemen. Koalisi efektif bukan berartimengakomodasi semua partai, tapi minimal menguasai 50 persen +1 kursi di parlemen.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    27/44

    Pemimpin dan Kedaulatan Sumber Daya

    Kamis, 19 Juni 2014 | 00:30 WIB

    Muliawan Margadana, Ketua Bidang Pertambangan dan Dewan Pengurus Harian AsosiasiPengusaha Indonesia

    Dalam dua dekade terakhir, paradigmashareholder valueyang dianut perusahaan mineral

    dan energi kini berkembang menjadistakeholder valuedengan berbagai pendekatan, seperti

    clean energy,good mining practices,green mining, dan sebagainya. Sedangkan di sisi lain,

    perundang-undangan terkadang dinilai tidak menciptakan lingkungan yang kondusif bagipelaku usaha tambang, baik penambang lokal maupun asing. Misalnya, penerapan aturan

    perundang-undangan mineral yang baru, UU Nomor 4 Tahun 2009, yang mulai secara tegas

    dijalankan sejak 12 Januari lalu. Meski dari sisi nasionalisme UU ini memberikan harapan

    baru bagi peningkatan kualitas jual produk mineral dalam negeri, di sisi lain tambang-

    tambang yang tidak memiliki kesiapan, baik dari sisi biaya maupun teknis, terpaksa harus

    menghentikan operasi yang mengakibatkan gelombang PHK massal di berbagai wilayah

    tambang di Indonesia.

    Dalam rangka transformasi natural resources productivitymenjadi human productivity,semua pihak perlu mendorong nilai tambah melalui hilirisasi industri pertambangan dengan

    mewajibkan perusahaan tambang membangunsmelter. Namun hal ini tidak dapat dilepaskan

    dan dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha. Pemerintah perlu menyiapkan paket

    regulasi yang mendorong pertumbuhan tersebut dan menyediakan infrastruktur yang

    memadai. Karena, bila hal ini tidak dilakukan, hampir mustahil mineral hasil pengolahan dan

    pemurnian tersebut dapat bersaing dengan negara lain, seperti Cina dan Jepang.

    Target pemerintah mencapai 100 juta ton ekspor base metalpada 2050 patut didukung,

    namun "kebijakan" pelarangan ekspor mineral mentah sebaiknya ditinjau ulang. Menurut

    data Apemindo, sudah 585.527 karyawan dari 1.954 perusahaan tambang dan kontraktornya

    yang sudah berstatus clear and clean(perizinan tidak bermasalah) melakukan pemutusan

    hubungan kerja (PHK), belum lagi adanya kemungkinan menempatkan karyawan dalam

    statusstandbydi rumah (bukan PHK, tapi ditempatkan di rumah dengan tidak bekerja dan

    dikurangi pendapatannya) seperti yang akan dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dan PT

    Newmont Nusa Tenggara kepada karyawannya. Statusstandbyini tentunya hanya dapat

    dilakukan untuk sementara waktu. Jika perusahaan tidak dapat beroperasi optimal terus-

    menerus, akhirnya akan berujung pada PHK juga. PHK ini akan membawa dampak ganda

    karena banyak masyarakat di daerah terpencil penghasil tambang yang hidupnya bergantung

    pada komoditas ini, dari penjaja makanan, guru, dan berbagai profesi lainnya. MisalnyaTimika, Soroako, Sumbawa, dan Kutai Timur yang lebih dari 80 persen pendapatan asli

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    28/44

    daerahnya dihasilkan dari sektor pertambangan.

    Agar masalah lonjakan pengangguran ini dapat dituntaskan, paling tidak harus dibuka 3,7 juta

    peluang kerja setiap tahun, yang merupakan tugas tidak mudah mengingat pada 2013

    lembaga pemeringkat investasi internasional Standard & Poor's (S&P) merevisi outlookperekonomian Indonesia dari positif menjadi stabil. S&P kini menempatkansovereign credit

    ratingIndonesia di peringkat BB+ untuk jangka panjang dan B untuk jangka pendek.Rating

    tersebut satu tingkat di bawah BBB- atau biasa disebut investment grade rating(layak

    investasi). Dengan kata lain, Indonesia makin menjauh dari peringkat investment gradedi

    mata para investor.

    Untuk itu, rencana relaksasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sangatlah bijak.

    Karena, bila industri yang menopang pendapatan nasional maupun daerah ini kolaps,

    dampaknya akan luar biasa bagi rakyat di daerah maupun reputasi Indonesia di mata

    internasional.

    Dampak negatif ikutan dari kebijakan seperti ini sebenarnya haruslah dikelola dengan

    memperhatikan risk control mechanismterlebih dulu sehingga tidak menimbulkan distorsi

    sosial dan politik yang berkepanjangan dan mengganggu produktivitas bangsa. Industri

    pertambangan memiliki ciri khas, yaitu high risk, long term, and capital intensive. Karena itu,

    pemerintah baru nantinya perlu melakukan serangkaian pendekatan, yaitu satu, menjaga

    konsistensi kebijakan; dua, mengganti secara bertahap semua regulasi yang menimbulkan

    dampak negatif; tiga, melakukan perampingan birokrasi guna meningkatkan iklim investasi;

    empat, memperbaiki mekanisme otonomi daerah di bidang pertambangan.

    Pada akhirnya pelaku usaha dan pemerintah haruslah mengambil kebijakan yang

    mengutamakansalus populi suprema lex estoatau the welfare of the people shall be the

    supreme law. The peopleyang dimaksud di sini haruslah juga termasuk rakyat yang

    bermukim dan bekerja pada perusahaan-perusahaan tambang dan berada di lokasi tempat

    tambang-tambang itu beroperasi. *

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    29/44

    Ahok, Monas, dan PRJ

    Kamis, 19 Juni 2014

    JJ Rizal, Sejarawan, @JJRizal

    Jakarta Fair Kemayoran dianggap "murtad" dari raison d'etreatau alasan menjadinya ketika

    dibuat oleh Ali Sadikin pada 1968 di Monas. Sebab itu, pemda Jakarta pun bikin

    tandingannya. Bukan hanya menyediakan 2.000 stan lebih untuk industri kecil, tapi juga

    ruang bagi kaki lima. Tiket masuk gratis. Untuk menguatkan ruh aslinya, pelaksanaannya pun

    dilakukan di Monas. Tapi, apakah suara kritis Jokowi-Ahok cerminan dari pikiran AliSadikin tentang PRJ? Apakah hasrat Jokowi-Ahok itu juga mencerminkan fungsi yang

    dikonsepsikan Sukarno sebagai "arsitek bangsa Indonesia" sekaligus arsitek Monas?

    Di dalam biografiBang Ali Demi Jakarta, dinyatakan PRJ diniatkan menjadi "wadah

    menghidupkan produksi kita yang kuat maupun yang lemah". Sekaligus usaha pemda DKI

    menambah tempat-tempat hiburan serta rekreasi murah bagi warga Jakarta. Dalam konteks

    ini, keluhan Jokowi-Ahok kepada JIExpo sebagai penyelenggara Jakarta Fair tepat.

    Tapi keliru memindahkannya dan atau bikin lagi yang baru di Monas. Sebab, Bang Ali tidak

    pernah mengangankan PRJ atau kegiatan bisnis apa pun di Monas. Kalau PRJ pernah di

    Monas, itu sementara. Bang Ali telah menyiapkan lahan permanen 41 hektare di area Ancol.

    Sebab, ia sadar betul ide Sukarno, bahwa Monas adalah pusat Jakarta sekaligus Indonesia.

    Sukarno mewanti-wanti, di sekeliling Monas tak boleh dijadikan tempat bisnis. Sebab, di

    sana, menurut Bang Ali sebagaimana dipesankan oleh Sukarno, "Seharusnya terdapat

    bangunan-bangunan yang jadi kebanggaan provinsi dan pemerintah Indonesia. Monas harus

    hijau dan dikelilingi gedung kebudayaan nasional, meliputi galeri juga teater, museum

    nasional dan lokal Jakarta."

    Pernyataan Bang Ali itu mengingatkan kembali pesan Sukarno tentang Monas sebagai bagiantujuan pembangunan Jakarta, Ibu Kota yang memikul tugas nation and character building.

    Monas, sebagaimana disampaikan Sukarno kepada Gubernur Jakarta Henk Ngantung, adalah

    bagian dari ibu kota yang merupakan manifestasi tujuan "perjuangan kita (Revolusi,

    Proklamasi, Pergerakan Nasional)". Sebagaimana Jakarta, maka Monas bagian dari "Lima P"

    (perut, pakaian, perumahan, pergaulan, dan pengetahuan) yang menjadi "kebutuhan absolut

    rakyat". Monas memainkan fungsi pergaulan dan pengetahuan yang "di dalam itu

    termasuklah pula 'pembudayaan',zin voor hogere cultuur(minat untuk kebudayaan yang

    tinggi)". Sukarno pun menyatakan, "kebahagiaan hidup karena tercukupi perut, pakaian,

    perumahan, in een omgeving van schoonheid(dalam lingkungan yang indah) Sebab, untukmakan dan minum sesudah lima menit orang puas, tapi apakah itugeluk(bahagia)?" Jadi,

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    30/44

    Monas bagian dari "polaschoonheid, taman yang indah" untuk kota yang cantik yang

    mengesankan ontroering van de zielatau keharuan jiwa di tengah modernitasnya.

    Keharuan jiwa itulah yang dinyatakan Sukarno sebagai inti dari Monas. Sebab, ia adalah

    ruang permenungan besar. Sukarno ingin setiap orang yang keluar dari Monas bangkitkeharuan jiwanya, betapa Indonesia bangsa yang hebat. Inilah fungsi Museum Nasional di

    Monas, patung-patung pahlawan yang diangankan sebagai Garden of National Heroes, jalan

    yang diberi nama Merdeka. Monas wahana belajar setiap anak bangsa yang hendak menjadi

    manusia Indonesia. Sebab, menjadi manusia Indonesia bukan sesuatu yang alamiah, tapi

    sesuatu yang diciptakan sejarah modern yang menuntut tekad, solidaritas, kerelaan

    berkorban, dan harapan. *

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    31/44

    Faktor Islam pada Pilpres

    Jum'at, 20 Juni 2014

    Arfanda Siregar, Dosen Politeknik Negeri Medan

    Faktor umat Islam masih menjadi kunci kemenangan dalam pemilihan presiden (pilpres)

    2014. Tim sukses pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dan

    Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menjadikan umat Islam sebagai sasaran utama untuk

    menaikkan elektabilitas keduanya.

    Tak usah heran, kedua capres mengklaim bahwa dirinyalah yang paling merepresentasikan

    umat Islam dan ini membuat mereka percaya diri menggunakan simbol Islam yang biasanya

    tak pernah mereka kenakan dalam aktivitas sehari-hari. Efektifkah?

    Penggunaan simbol Islam tersebut bukan cakap kosong. Hanya demi membuktikan bahwa

    seorang Joko Widodo (Jokowi) beragama Islam, sekarang, setiap kali putra Solo tersebut

    berpidato selalu diawali dengan pengucapan salawat Nabi yang panjang. Padahal tak

    biasanya beliau seperti itu. Namun kampanye hitam yang menuduhnya bukan muslim

    membuat Jokowi harus menghafal salawat dan menggunakannya ketika mulai berpidato.

    Lain lagi dengan Prabowo Subianto. Mantan menantu Presiden Soeharto tersebut percaya diri

    mengatakan hubungannya dengan ulama sudah sangat dekat sejak bertugas sebagai prajurit.

    Sudah lazim dia meminta restu kepada ulama setiap kali menjalankan tugas di lapangan. Bagi

    Prabowo, ulama adalah tempat dia memohon restu agar selamat di medan pertempuran.

    Jokowi maupun Prabowo sebenarnya tak punya rekam jejak yang panjang sebagai salah satu

    tokoh yang dekat dengan umat Islam. Belum ada satu pun catatan yang mengindikasikan

    keduanya adalah pentolan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

    Mereka juga tak terbiasa dengan kegiatan-kegiatan keislaman selama karier politiknya.

    Yang jelas, menjelang kontestasi pilpres 2014, umat Islam memegang peranan signifikan

    mengangkat harkat dan derajat mereka menjadi orang nomor satu di negeri ini sehingga perlu

    diambil hatinya.

    Pertama, Islam masih menjadi agama dengan jumlah penganut terbesar di Indonesia,

    sehingga suara pemilih muslim sangat diperhitungkan. Semua capres selalu menggunakan isu

    Islam sebagai "daya sedot" suara. Bahkan dua ormas Islam terbesar, NU dan

    Muhammadiyah, diseret-seret dalam arus dukung mendukung capres, sehingga secarainternal terbelah dalam dua poros dukungan: ada yang mendukung Jokowi dan ada yang

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    32/44

    mendukung Prabowo.

    Semuanya dilakukan demi mendapatkan dukungan dari massa kedua ormas tersebut. Lihat

    saja tokoh NU, seperti KH Hasyim Muzadi, Alwi Shihab, dan Salahuddin Wahid, yang

    terang-terangan mendukung Jokowi. Sedangkan tokoh NU yang lain, seperti KH Said AqilSiradj dan Mahfud Md., malah mendukung Prabowo. Begitu juga Muhammadiyah. Meskipun

    tidak terang-terangan seperti tokoh NU, tokoh di tubuh ormas Islam tersebut terpecah antara

    mendukung kubu Jokowi dan Prabowo.

    Inilah daya tarik suara umat Islam yang diwakili banyak ormas Islam, yang pada gilirannya

    membuat para capres berlomba mencari simpati dengan menggunakan simbol Islam agar

    mendapatkan dukungan nyata dari anggota ormas Islam itu.

    Kedua, suara partai politik Islam, seperti PKS dan PPP, yang akan terpecah ke dua pasang

    capres karena tak adanya kader dari dua parpol Islam tersebut yang maju sebagai capres

    ataupun cawapres. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia ( LSI) pada 1-9

    Mei 2014 terhadap 2.400 responden di 33 provinsi dengan metode acak bertingkat mencatat

    bahwa 32,69 persen pemilih PKS mendukung Jokowi-JK dan 33 persen memilih Prabowo-

    Hatta. Meskipun secara legal formal kedua partai mendukung capres Prabowo, bukan berarti

    akan diikuti secara mutlak oleh konstituennya. Inilah keunikan konstituen partai Islam.

    Melabuhkan pilihan kepada partai Islam bukan berarti akan taklid buta mendukung pilihan

    capres kedua partai Islam tersebut.

    Hal ini juga menandakan bahwa suara pemilih muslim akan tersebar ke dua capres tanpamemandang terlalu serius platform keislaman dan identitas keislaman capres. Atau, dengan

    kata lain, keislaman seorang capres tak lagi menentukan pilihan umat Islam. Umat Islam

    lebih melihat kualitas gagasan dan visi capres dalam menakhodai negeri ini. Sementara itu,

    simbol-simbol Islam yang sering dijadikan "daya tarik" capres dan partai Islam dalam

    menggaet suara umat Islam sama sekali tidak efektif lagi. Jadi, tak perlulah capek-capek

    menghafal doa dalam bahasa Arab ataupun menggunakan jubah ulama. Tampil apa adanya

    saja.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    33/44

    Risma, Islam, dan Logika Publik

    Kamis, 19 Juni 2014

    Husein Ja'far Al Hadar, Penulis

    Kompleks pelacuran Dolly akan ditutup Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Rencana

    penutupannya (kebetulan) menjelang Ramadan. Kebetulan itu mengingatkan penulis pada apa

    yang kerap dilakukan Front Pembela Islam (FPI) setiap menjelang Ramadan:sweeping

    minuman keras dan lokasi hiburan malam.

    Walaupun kita mengenal Risma sebagai perempuan berkerudung dan religius, tentu

    penutupan Dolly bukan karena pertimbangan Islam. Sebab, Risma tahu bahwa Indonesia

    bukan negara Islam. Upaya Risma itu memang islami, tapi alasannya karena

    mempertimbangkan kemanusiaan yang itu diatur oleh undang-undang.

    Menurut penulis, ada pelajaran penting yang patut dipetik oleh FPI dari Risma. Apa yang

    dilakukan Risma relatif sama dengan apa yang selama ini dilakukan FPI. Perbedaannya ada

    pada landasannya: Risma berlandaskan undang-undang, FPI selama ini berlandaskan Islam.

    Karena itu, Risma didukung oleh berbagai pihak, termasuk Gubernur Soekarwo dan Komnas

    HAM. Sedangkan FPI selalu ditentang dan dikecam.

    Islam adalah aturan yang bersifat privat. Sedangkan undang-undang adalah aturan yang

    bersifat publik. Menurut penulis, kesalahan FPI adalah karena seolah memposisikan Islam

    sebagai undang-undang atau menarik sesuatu yang bersifat privat ke ranah publik. Padahal,

    sebagaimana ditegaskan Quran, tak ada paksaan dalam agama. Karena itu, dalam ranah

    publik, FPI seharusnya tidak mendoktrin, apalagi memaksa, masyarakat kita untuk taat dan

    patuh pada dogma Islam. Namun FPI harusnya melakukan penyadaran masyarakat bahwa

    aturan Islam itu baik dan layak untuk diadopsi menjadi aturan negara, tanpa harus mengubah

    negara ini menjadi negara Islam.

    Sebab, seperti dikatakan ulama Mesir, Muhammad Abduh, "Aku melihat Islam di Paris,

    meski tidak ada orang Islam. Aku melihat orang Islam di Kairo, tapi tak melihat Islam di

    sana." Apa yang dikatakan Abduh itu juga telah dibuktikan secara ilmiah oleh akademikus

    Iran, Hossein Askari, yang dari hasil penelitiannya pada November 2013 itu justru

    menempatkan Irlandia sebagai negara paling islami, sedangkan Arab Saudi justru berada di

    posisi ke-91.

    Logika FPI seharusnya bukan islamisasi, tapi sebaliknya: mengajukan ketentuan Islam untukdiuji oleh publik dan negara sesuai dengan logika publik dan ketentuan negara. Logika itu

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    34/44

    harus didasarkan pula pada keyakinan seperti yang dikemukakan filsuf Murtadha

    Muthahhari, bahwa Islam itu bisa dan patut selalu dikontekstualisasi dengan ruang dan waktu

    yang melingkupinya, tanpa harus mengubah substansinya (Islam dan Tantangan Zaman,

    1996). Justru, menurut penulis, uji publik dan negara itu penting untuk kontekstualisasi nilai

    Islam dengan konteks ke-Indonesia-an dan kekinian kita.

    Karena itu, yang perlu dilakukan FPI saat ini adalah mengkaji dan membangun basis

    argumentasi formal untuk mengajukan apa yang diyakininya agar bisa diterima oleh logika

    publik dan ketentuan negara sebagai sesuatu yang baik dan penting bagi publik dan negara

    ini. "Pertarungan" dilakukan di tingkat logis dan formal, bukan dengan paksaan dan

    kekerasan. Cita-citanya bukan membentuk negara Islam, tapi negara yang islami dengan

    tegaknya nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Dengan begitu, seperti Risma, FPI

    akan didukung oleh rakyat dan negara. *

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    35/44

    Pentingnya Revolusi Mental

    Jum'at, 20 Juni 2014

    Buni Yani, Peneliti Universitas Leiden Belanda

    Gagasan calon presiden Jokowi mengenai "revolusi mental" mendesak dilaksanakan dilihat

    dari sudut pandang antropologi. Jika melihat transformasi demokrasi di Indonesia selama 16

    tahun dan di Filipina selama 28 tahun terakhir, perubahan sistem politik belum berbuah

    menjadi kesejahteraan karena tidak dibarengi perubahan sikap mental dan perilaku nyata

    sehari-hari.

    Di kedua bangsa, perubahan sistem dan institusi telah terjadi, tapi perilaku dan sikap mental

    kolektif warga negara masih tetap sama. Yang berubah adalah orang, sistem, dan institusi,

    tapi sikap mental dan perilaku korup, tidak disiplin, serta etos kerja yang rendah masih tetap

    sama yang masih bisa ditemukan di hampir semua lini birokrasi.

    Sebagai perbandingan, Korea Selatan, yang kondisinya sama dengan Indonesia pada 1960-an,

    kini menjadi negara industri maju karena sikap mental serta etos kerja dan disiplin yang

    tinggi.

    Di banyak kantor pemerintah di Indonesia dan Filipina, masih bisa kita saksikan para

    pegawai yang tidak disiplin. Proyek dilakukan melalui tender yang dimainkan yang

    menyebabkan banyaknya korupsi. Proyek diberikan bukan kepada bidder, yang bisa memberi

    harga paling rendah, melainkan kepada yang bisa memberikan sogokan paling tinggi.

    Etos kerja rendah menghasilkan kinerja buruk dan berakibat pelayanan publik yang

    terbengkalai. Kalaupun ada perbaikan di sana-sini atas inisiatif tokoh tertentu yang

    menumbuhkan harapan, gerakan ini rentan dikalahkan oleh sikap mental lama yang belum

    beranjak dari kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging.

    Birokratisasi yang dasarnya adalah rasionalisasi untuk mempermudah urusan publik seperti

    diidealkan Weber justru yang terjadi sebaliknya. Sikap mental "kalau bisa dipersulit kenapa

    harus dipermudah" masih ditemukan di mana-mana, karena sistem birokrasi yang diperumit

    ini adalah sumber korupsi yang menggiurkan.

    Setiap usaha perbaikan ke arah birokrasi modern yang bersih dan berdisiplin tinggi akan

    dilawan oleh kekuatan lama yang lahannya hilang. Bagi aparat lama yang sudah membusuk

    ini, justru sistem yang kotor dan korup inilah yang menguntungkan mereka.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    36/44

    Dalam kondisi birokrasi yang suram inilah lalu gagasan tentang revolusi mental menjadi ide

    yang cemerlang yang dinanti-nantikan rakyat, yang mendambakan perubahan nyata. Revolusi

    mental menyiratkan kesediaan mengoreksi kebiasaan lama yang buruk dan keinginan

    berbenah menuju tata nilai baru demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

    Revolusi mental haruslah mencakup koreksi terhadap seluruh kesalahan mental masa lalu

    yang merugikan bangsa secara kolektif. Di tengah arus globalisasi, gerakan ini harus

    memberi perhatian pada cinta budaya, produk, dan hasil karya bangsa sendiri serta berhenti

    mendewa-dewakan segala sesuatu yang berbau asing. Sebab, sebuah bangsa hanya bisa

    menjadi maju kalau mencintai budaya sendiri (ethnocentric), bukan mencintai budaya asing

    (xenocentric).

    Siapa pun yang terpilih kelak, Prabowo atau Jokowi, dia haruslah memberi perhatian lebih

    pada perbaikan mental bangsa ini melalui revolusi yang harus disebarkan virusnya ke seluruh

    anak bangsa. Tanpa hal itu, reformasi hanya akan menjadi perpindahan dari satu sistem ke

    sistem lain yang tak bermakna apa pun bagi perubahan bangsa. Pengalaman di Indonesia dan

    Filipina dalam 28 tahun terakhir ini telah menunjukkan hal itu.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    37/44

    Pemilu Bukan Tes Kepribadian

    Jum'at, 20 Juni 2014

    Geger Riyanto, Esais, @gegerriy

    Homo non intelligendo fit omnia. Manusia, dalam ketidaktahuannya akan hidup, menjalani

    kehidupan. Pernyataan ini-dari filsuf Gianbattista Vico, bila Anda ingin mengetahuinya-tak

    punya momen yang lebih tepat lagi ketimbang saat ini. Lima tahun berikutnya atau bisa jadi

    seterusnya, siapa yang tahu, Anda akan diperintah oleh sosok yang Anda pilih sendiri dan,

    lucunya, tak pernah Anda kenal kecuali dari citra-citra menyeharinya.

    Anda akan memilih nomor satu untuk alasan tegas. Tegas untuk? Untuk membagi-bagikan

    kursi pemerintahan dengan banyak partai yang, dalam pengalaman 10 tahun terakhir,

    menggembosi kebijakan yang merupakan jatah publik untuk kepentingan masing-masing?

    Anda akan memilih nomor dua untuk alasan merakyat. Merakyat untuk? Untuk

    memenangkan partai yang mengecer murah BUMN dan tak ada jaminan tak akan melakukan

    hal serupa ke depan bila leluasa memegang pemerintahan?

    Tetapi apa boleh buat. Bukan hal-hal teknis dan membosankan barusan yang paling penting,bukan? Yang terpenting, sang calon yang akan menerima mandat kita punya keunggulan

    pribadi yang akan memuluskan kebijakan-kebijakan pro-rakyatnya. Wataknya, yang kita

    tangkap dari mesin pencitraan sang calon ataupun lawannya, adalah yang terpenting!

    Kerumitan-kerumitan urusan para intelektual akan beres dengan sendirinya sepanjang kita

    memperoleh pemimpin yang lulus tes kepribadian kita. Serahkan semua kepada sang

    pemimpin yang, kita yakin, lantaran karakter eksepsionalnya, komitmennya untuk rakyat tak

    akan terpatahkan.

    Hanya, ada baiknya kita mengingat baik-baik apa yang terjadi lima belas dan sepuluh tahun

    silam. Siapa yang, pada waktu-waktu tersebut, akan meragukan komitmen kepemimpinan

    Megawati kepada rakyat? Siapa yang bisa menyangsikan kemampuan SBY-yang tampil

    begitu meyakinkan, cerdas, dan gagah-untuk menggodok kebijakan-kebijakan yang akan

    membongkar kemandekan Indonesia pasca-reformasi? Siapa yang kuasa menahan godaan

    untuk tak terpesona oleh tokoh-tokoh ini pada waktu-waktu itu?

    Sayangnya, pribadi kuat, kalaupun sosok-sosok ini benar-benar memilikinya, tak benar-benar

    punya arti selepas pemilihan.

    Mendistribusikan kekuasaan atau, dalam ungkapan populer dan kelirunya, menjadi boneka,adalah hal yang sebenarnya sama sekali wajar. Yang tidak wajar, kini, adalah ekspektasi

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    38/44

    muluk-muluk bahwa seluruh persoalan akan beres bertumpu pada ketangguhan pribadi satu

    pucuk kepala (yang terjebak di antara) birokrasi yang ruwet. Hal yang, sialnya, merupakan

    konsekuensi dari demokrasi atau sistem di mana semua bisa memilih pejabat kepala idolanya.

    Dan maksud dengan semua bisa memilih: termasuk-sebagian besar di antaranya-mereka yang

    tak punya waktu dan akses untuk menelaah sang idola selain dari impresi sekilasnya.

    Barangkali ini pun sebuah masukan yang sia-sia. Tetapi, saya kira, kita dapat selalu

    mengambil faedah dari satu ungkapan yang sudah menjadi pelajaran di mana-mana. Ini

    bukan soal siapa yang bisa mengemban harapan naif kita. Ini soal siapa kandidat-dan

    rombongan kepentingan yang menumpangi gerbongnya tentu!-yang paling kurang

    keburukannya di antara dua pilihan buruk. Pada saat kita menjadi realistis, setidaknya kita tak

    perlu terlalu kecewa nantinya.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    39/44

    Kontroversi Lambang Garuda

    Sabtu, 21 Juni 2014

    Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

    Dalam pemilihan presiden 2014, pasangan Prabowo-Hatta menggunakan lambang Garuda

    berwarna merah di dada mereka. Mahfud Md. membolehkan pemakaiannya karenajudicial

    reviewtelah diputuskan Mahkamah Konstitusi pada 2013. Apakah konteks pemakaian

    lambang tersebut sama, dulu (untuk timnas PSSI) dengan sekarang (untuk pilpres)?

    Pada pertengahan Desember 2010, pemakaian lambang negara Garuda Pancasila di dada

    kostum PSSI dipermasalahkan seorang pengacara publik, David Tobing. Saya menolak

    gugatan tersebut dan mengatakan, "Dengan menggunakan Garuda Pancasila, rasa bangga

    para pemain justru akan semakin bertambah, apalagi kalau sampai menang." (detik.com,

    14/12/2010). Saya menilai penggunaan lambang itu di dada tim nasional tidak bertentangan

    dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara,

    dan Lagu Kebangsaan.

    Namun persoalannya tentu berbeda dengan kasus Giorgio Armani, yang pernah membuatdesain kaus dengan logo burung mirip lambang negara Garuda Pancasila dan jelas bertujuan

    komersial.

    David Tobing mengajukan gugatan citizen lawsuitke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

    terhadap Menteri Pemuda dan Olahraga, PSSI, dan perusahaan Nikki, yang membuat kaus

    untuk tim nasional. Saya menjadi saksi ahli yang membela pemakaian kaus berlambang

    Garuda oleh PSSI. Hakim menolak gugatan tersebut, tapi tidak sampai menyentuh substansi

    perkara. Hakim menilai legal standingDavid Tobing tidak memenuhi syarat.

    Bulan Juli 2011, saya kembali menjadi saksi ahli di Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa

    Barat. Pasalnya, dua anggota Serikat Buruh Metal diadili karena menggunakan stempel

    lambang Garuda dalam surat undangan pemilihan pengurus. Saya memang tidak

    menyarankan logo Garuda Pancasila dipakai sebagai stempel panitia. Namun saya menilai

    kedua buruh tersebut tidak bertujuan melecehkan lambang negara. Akhirnya keduanya

    dihukum percobaan selama tiga bulan.

    Pada Januari 2012, sejumlah warga memohon pengujian UU No. 24/2009 Pasal 57 huruf C

    dan D yang mengatur larangan penggunaan lambang negara. Di antara para pemohon

    terdapat Erwin Agustian dan Eko Santoso, dua orang yang pernah diadili karenamenggunakan lambang Garuda untuk stempel organisasi di Purwakarta. Saya juga diminta

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    40/44

    menjadi ahli dalam perkara di MK tersebut.

    Keputusan MK adalah "Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, Pasal 57

    huruf D dan Pasal 69 huruf C UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan

    Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidakmemiliki kekuatan hukum mengikat".

    Dalam UU No. 24/2009 memang diatur dalam acara resmi apa saja lambang negara itu boleh

    digunakan. Namun pasal 57-D berbunyi "Menggunakan lambang negara untuk keperluan

    selain yang diatur dalam Undang-Undang ini", sementara pasal 69-A menetapkan sanksi

    hukumannya. MK berpendapat larangan penggunaan lambang negara dalam Pasal 57-D tidak

    tepat karena tidak memuat rumusan yang jelas. Apalagi larangan itu diikuti dengan ancaman

    pidana. Menurut Mahkamah, ancaman pidana seharusnya memenuhi rumusan yang bersifat

    jelas dan tegas (lex certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta). Selain itu, MK

    menyatakan pembatasan penggunaan lambang negara oleh masyarakat adalah bentuk

    pengekangan ekspresi yang dapat mengurangi rasa memiliki dan mengurangi kadar

    nasionalisme. Terlebih, lambang Garuda Pancasila mutlak menjadi milik bersama seluruh

    masyarakat.

    Di Provinsi DIY, menurut penelitian seorang dosen Institut Seni Indonesia, terdapat lebih dari

    100 gapura yang menggunakan patung atau gambar burung Garuda Pancasila, yang

    bentuknya tidak persis sama dengan lambang Garuda yang resmi. Gapura itu dibangun

    biasanya menjelang peringatan ulang tahun kemerdekaan. Bung Karno, dalam sebuah

    pidatonya pada 1950-an, mengatakan hal itu semata-mata menunjukkan kecintaan rakyatyang tulus terhadap Indonesia. Sama halnya dengan penggunaan logo Garuda di kaus tim

    nasional sepak bola Indonesia.

    Namun, menurut saya, kontraproduktif bila dalam pemilihan umum atau pemilihan presiden,

    satu kontestan atau pasangan calon menggunakan lambang Garuda untuk mencitrakan bahwa

    mereka lebih nasionalis daripada calon yang lain. Lambang negara itu dapat berfungsi

    sebagai pemersatu bangsa, misalnya dalam penggunaannya untuk kaus tim nasional PSSI

    ketika bertanding melawan Malaysia. Atau untuk menunjukkan kecintaan kepada Tanah Air,

    seperti terlihat pada gapura yang dibuat anggota masyarakat menjelang 17 Agustus. Tetapi

    lambang negara seyogianya tidak memecah-belah bangsa.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    41/44

    Calon Presiden dan Literasi

    Sabtu, 21 Juni 2014

    Agus M. Irkham,Pegiat Literasi

    Dua kali debat calon presiden digelar. Pertama tentang tata kelola pemerintahan, sedangkan

    yang kedua menyoalkan kebijakan perekonomian. Kedua hal tersebut tentu saja penting

    untuk dibedah. Sejauh mana calon presiden dan calon wakil presiden yang ada mampu

    menawarkan konsep yang tidak melulu me tooalias copy pastesaja, tapi juga memiliki

    terobosan baru serta harus memenuhi dimensi pembangunan dan perbaikan sistem.

    Di luar persoalan tata kelola birokrasi dan kebijakan pembangunan ekonomi, ada satu tema

    lagi yang tidak boleh luput, yakni tentang pengembangan budaya membaca (literasi) dalam

    konteks desain kebijakan pendidikan di Indonesia. Bahwa aktivitas membaca itu penting, dan

    perpustakaan menjadi jantung bagi pendidikan, saya kira sudah kita ketahui bersama. Tapi,

    dalam kenyataannya, masih jauh panggang dari api.

    Belum semua sekolah kita, terutama SD, memiliki perpustakaan. Kita belum memiliki

    undang-undang perbukuan. Padahal draf atas UU tersebut sudah ada sejak 2006. Melalui UUtersebut diharapkan dunia penerbitan buku di Tanah Air bisa bertumbuh subur. Bukan apa-

    apa, tidak perlu jauh-jauh membandingkannya dengan Jepang. Sebab, di tingkat Asia

    Tenggara saja, misalnya dibanding Malaysia dan Vietnam, jumlah per kapita buku kita masih

    di bawah mereka. Akibatnya, dibanding Malaysia, publikasi karya ilmiah di jurnal

    internasional serta peringkat perguruan tinggi juga kalah jauh.

    Dalam kurikulum pendidikan, baik di SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi, juga tidak

    ada kegiatan pembelajaran yang bersifat built-indengan upaya mengembangkan budaya baca

    ini. Misalnya, mewajibkan minimal jumlah buku yang harus sudah tamat dibaca sebagai salah

    satu syarat kelulusan. Atau pada pagi hari, sebelum pelajaran dimulai, ada waktu sekian

    menit yang harus digunakan para siswa dan guru untuk membaca buku.

    Maka, jangan heran jika ternyata kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun di bidang

    matematika, sains, dan membaca ketimbang anak-anak lain di dunia masih rendah. Hasil

    Programme for International Student Assessment 2012, Indonesia berada di peringkat ke-64

    dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru

    yang berada di peringkat terbawah.

    Dalam kegaduhan tema diskusi perdebatan dan obrolan capres-cawapres, baik di televisimaupun di media sosial, sejauh pengamatan saya persoalan literasi ini masih dilupakan.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    42/44

    Kurang seksi, barangkali. Padahal, ihwal literasi ini menjadi kunci bagi upaya membangun

    bangsa dan negara ini. Salah satu perangkat lunak terpenting bagi perwujudan cita-cita itu

    adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan itu sangat erat kaitannya dengan sistem

    pendidikan, di mana literasi menjadi salah satu titik sentralnya.

    Saya berharap persoalan pendidikan ini, terutama masalah literasi, akan menjadi salah satu

    tema debat capres-cawapres. Dengan begitu, publik luas akan semakin tahu dan dapat

    memperkirakan akan seperti apa kelak kondisi budaya baca bangsa ini jika dipimpin oleh

    kedua kandidat capres-cawapres tersebut. Dengan begitu, akan menjadi satu tambahan

    pertimbangan lagi saat memilih salah satunya.

  • 7/27/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 15.06.2014-21.06.2014

    43/44

    Kerukunan Semu

    Sabtu, 21 Juni 2014

    Achmad Fauzi,Aktivis Multikulturalisme

    Mungkinkah kerukunan sejati antarumat beragama pada masa mendatang sekonyong-

    konyong bisa tercipta melalui peranti regulasi formal? Saya katakan, tidak! Sebab, muatan

    regulasi, entah berbentuk undang-undang maupun perda, berpotensi menciptakan sekat yang

    menghambat ruang interaksi kultural umat beragama. Alih-alih melahirkan suasana

    kerukunan yang berbasis kejujuran dan kesadaran sejati, kerangka filosofis dari istilahkerukunan justru semakin sumir karena masyarakat terfragmentasi oleh formalitas yang

    stagnan. Pola hubungan antarumat beragama hanya akan bersumbu pada pasal-pasal mati,

    bukan pada etika, ajaran, dan kearifan lokal.

    Ini berarti kita sedang bicara kesadaran yang tumbuh. Sesuatu yang lebih sulit diciptakan

    daripada sekadar merumuskan draf hukum. Padahal, watak kerukunan yang lahir dari proses

    regulasi formal cenderung menghasilkan kesadaran koersif dan semu. Proses akomodasi

    kerukunan koersif dilaksanakan melalui beleiddengan kekuatan daya paksanya, sehingga

    salah satu pihak (baca: minoritas) yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibanding

    pihak mayoritas.

    Salah satu ancaman yang menghambat agenda kerukunan adalah soal regulasi pendirian

    rumah ibadah. Di banyak tempat, terdapat temuan beleidpendirian tempat ibadah yang harus

    disetujui, salah satunya oleh pemuka agama setempat. Aturan ini menyulitkan kelompok

    minoritas karena pemberi stempel izin pendirian adalah tokoh agama mayoritas.

    Karena itu, menciptakan kerukunan secara organik dalam aturan diskriminatif hanya akan

    melahirkan persoalan baru. Ruang masyarakat sipil untuk turut serta membangun interaksi

    antarumat beragama semakin sempit, sehingga mereka kehilangan kapasitas yang dalamjangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaannya. Umat beragama juga semakin

    jauh dari spirit persatuan karena terfragmentasi oleh batasan-batasan peraturan yang kaku.

    Karena itu, lebih baik negara memberikan mandat kepercayaan kepada para pemuka agama

    dan tokoh masyarakat untuk menggunakan kapasitasnya meretas budaya kerukunan yang

    berbasis pada kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal