caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

download caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

of 42

Transcript of caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    1/42

    Universitas

    Senin, 24 Februari 2014

    Selama lebih dari setengah abad, mungkin tak lebih dari 50 orang yang pernah datang ke

    ruang di Pod vodrenskou vezi 4 di Kota Praha itu.

    Sejak tahun 1958, di sana tersimpan 315 jilid kitab suci dari Tibet, bagian dari perpustakaan

    Pusat Studi Dunia Timur di Republik Cek itu. Tapi sebenarnya tak jelas adakah di sana

    Tibetologi diminati secara luas, dan apa pula manfaatnya bagi bangsa yang jutaan kilometer

    terpisah dari Asia itu.

    Tapi "manfaat" adalah kata yang tak selamanya pantas dipakai. Seorang filosof Cina tigaabad sebelum Masehi pernah dikutip mengatakan, "Orang semua tahu manfaatnya hal yang

    bermanfaat, tapi mereka tak tahu manfaatnya hal yang tak bermanfaat." Simon Leys

    mengingatkan kita akan kearifan Zhuang Zi itu dalam kumpulan esainya yang asyik dan

    pintar yang ia beri judul (tentu saja) The Hall of Uselessness.

    Leys berbicara tentang universitas-sebuah lembaga yang di mana saja didirikan dengan

    pengharapan yang muluk. Tapi, bagi Leys, itu juga lembaga yang seharusnya bebas dari kata

    "manfaat". "Kegunaan yang tertinggi dari universitas," tulis Leys, "terletak pada apa yang

    oleh dunia dianggap sebagai ketidakbergunaannya."

    Bisa kita bayangkan Menteri Pendidikan, para anggota parlemen yang mengurus anggaran

    sekolah tinggi, serta orang tua yang mengidamkan anaknya lulus dan punya karier yang tajir

    di perusahaan ternama akan terenyak merenungkan paradoks itu: universitas itu penting

    untuk dilihat sebagai sesuatu yang tak berguna.

    Soal ini soal lama, sebab Leys bukan orang pertama yang mengemukakannya. Lebih terkenal

    lagi Kardinal Newman. Rohaniwan ini pada 1854 menjadi Rektor Catholic University of

    Ireland. Empat tahun kemudian, setelah pensiun, ia menerbitkan kuliah-kuliahnya dalam The

    Idea of a University: sebuah karya klasik yang mempertahankan prinsip bahwa "pengetahuanmampu menjadi tujuannya sendiri". Dengan itu, Newman menegaskan universitas sebagai

    dunia keilmuan yang tak dilecut prinsip "semua-mesti-mengandung-guna", semangat

    utilitarianisme yang menganggap bahwa yang "tak berguna" sama dengan "tak bernilai".

    Kita ingat 315 jilid kitab suci kuno dari Tibet yang dirawat terus di perpustakaan yang tak

    mencolok di Kota Praha itu: benda-benda yang tak pernah digugat buat apa, tapi selalu bisa

    ditelaah oleh seorang dua orang yang dalam kesendirian mereka mengerti, ada sebuah nilai

    lain dalam hidup.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    2/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    3/42

    Dalam tulisannya yang saya kutip di atas, Leys mengambil sikap. Ketika universitas tempat

    ia mengajar menyebut mahasiswa sebagai "konsumen", ia tahu itu saatnya ia harus

    mengundurkan diri. Universitas memang akan guyah ketika ia jadi mall.

    Goenawan Mohamad

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    4/42

    Mahkamah

    Minggu, 23 Februari 2014

    Putu Setia

    Romo Imam sedang mengajari cucunya berhitung ketika saya datang. "Dua kali dua hasilnya

    sama dengan dua ditambah dua, empat," kata Romo sambil menepuk cucunya. Romo

    mengerling saya, lalu berkata, "Tapi dua kali dua bisa jadi enam kalau Mahkamah Konstitusi

    memutuskan begitu." Anak kecil itu tampak bingung dan berlari ke arah ibunya. Ia takut

    melihat tampang saya yang berjenggot.

    "Romo mengajarkan hal yang salah," saya nyeletuk. Setelah kami duduk, barulah Romo

    menjawab: "Salah dan benar di negeri ini sekarang ditentukan oleh delapan hakim konstitusi.Apa pun yang mereka putuskan, itulah kebenaran yang mutlak, tak bisa dibantah. Mantan

    Ketua MK Mahfud MD, berkali-kali bilang, apa pun keputusan MK harus dihormati,

    diterima, final, dan tak bisa didebat."

    "Tapi itu hanya berkaitan dengan konstitusi, Romo, bukan masalah matematika," potong

    saya. Romo menjawab, "Siapa tahu ada yang memohon uji coba ke MK, dua kali dua harus

    enam, agar tidak bertentangan dengan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 hasil amendemen yang

    berbunyi: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan seterusnya. Kalau hakim MK

    menganggap untuk memajukan ilmu pengetahuan harus ada revisi soal perkalian, kan harusdihormati."

    Saya tertawa. "Romo mengada-ada. Etika dari mana itu?" Romo makin serius: "Apa sekarang

    hakim MK tak mengada-ada dan punya etika? Pemerintah capek membuat Perpu untuk

    menyelamatkan MK, DPR sibuk bersidang mengesahkan Perpu menjadi UU. Ini melibatkan

    banyak orang, kok delapan orang hakim itu bisa membatalkan? Etikanya, tentu, janganlah

    mengadili diri sendiri untuk menguntungkan kedudukan sendiri." "Mungkin maksud hakim

    MK agar undang-undang tentang MK itu yang direvisi," saya memotong. Romo menjawab,

    "Kalau revisi undang-undang itu dibuat, lalu ada lagi yang mengajukan uji coba, ditolak lagi

    oleh MK jika dianggap merugikan dirinya, bisa pula kan?"

    Saya kehabisan argumentasi. Romo meneruskan, "Satu-satunya cara memperbaiki MK hanya

    mengamendemen lagi UUD 1945, menambah ayat lebih rinci di pasal 24C yang mengatur

    hakim konstitusi. Tapi perlu waktu panjang, dan selama rentang waktu itu, hakim MK tak

    bisa diutak-atik dan, kalau ada yang pensiun, syarat penggantinya memakai undang-undang

    lama. Lihat saja sekarang, politikus ramai-ramai mencalonkan diri. Padahal politikus itu

    bukan negarawan, tapi itu sah karena belum diatur konstitusi. MK akan terus dikuasai orang-

    orang partai."

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    5/42

    "Kok orang partai nafsu betul jadi hakim MK?" tanya saya polos. Romo yang kini tertawa:

    "Jelas dong, sengketa pemilu dan pilkada akan banyak, dan hakim dari partai pasti membela

    partainya. Kalaupun motifnya bukan itu, ya, sabetan dari sengketa itu, contohnya ya Akil."

    "Romo berprasangka," kata saya. "Saya pakai akal sehat," jawab Romo cepat. "Sidang pleno

    untuk vonis di MK itu dihadiri seluruh hakim. Apakah di era Akil Mochtar jadi Ketua MK,

    ke delapan hakim lainnya cuma manggut-manggut saja dengan keputusan Akil yang

    dibayangi suap miliaran? Apakah delapan hakim lainnya dihipnotis oleh Akil atau dihipnotis

    oleh sesuatu?"

    Saya tak bisa menjawab. Romo berkata datar: "Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 menyebutkan,

    hakim MK haruslah negarawan. Mestinya negarawan itu bebas dari kepentingan partai, bebas

    dari godaan harta benda, bebas dari perbedaan suku agama, dan sebagainya. Negarawan kok

    masih terima suap, silau dengan kemewahan. Dan negarawan kok masih sibuk

    mempertahankan jabatannya."

    Saya hanya melongo. Tapi saya tetap cinta Indonesia, meski sebuah negeri dengan

    mahkamah yang ngeri-ngeri sedap.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    6/42

    Empati Sosial

    Senin, 24 Februari 2014

    Fauzi Sukri,Penulis

    "Ora butuh difoto, butuhe bantuan." Saya mendapatkan kata-kata itu dalam foto headlinedi

    harian Kompas (18/02/2014) -yang ditulis pada papan tripleks berlatar rumah warga yang

    terkena dampak erupsi Gunung Kelud dan dipasang di pinggir jalan yang penuh abu vulkanis.

    Warga Desa Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tampaknya sudah begitu paham akan

    aktivitas sosial kita saat terjadi bencana, kecelakaan, atau tindak kriminal: kita lebih suka

    melihat-lihat atau memotret daripada melakukan tindakan penyelamatan, mengorganisasikanpengumpulan derma, ataupun berempati.

    Pola komunikasi atau keterlibatan dan kepedulian sosial kita dengan orang lain lebih banyak

    mengarah ke ekshibisionisme dan narsisisme asosial. Di depan bencana, kecelakaan, atau

    kriminalitas, terkadang kita lebih suka mengedepankan mata daripada rasa, apalagi tindakan.

    Mata seakan haus akan hal-hal yang sensasional, mengejutkan, dan luar biasa, tapi rasa

    empati sering kali disurutkan ke belakang.

    Majalah Tempo edisi 24 Juli 1982 pernah secara khusus memuat headlinesampul ini: "OrangIndonesia Memotret". Pada tahun itu, sebelum kamera digital murah dikenal dan "hape" yang

    berkamera belum ada, "Lebih seperempat juta kamera diimpor Indonesia tiap tahun." Dan

    pada tahun itu, "Jebret! Bunyi itu kini terdengar di mana-mana di Indonesia." Ini terjadi

    sekitar 31 tahun silam dan sekarang pasti sangat berbeda juga jauh lebih gemebyar, apalagi

    mendapat sokongan dan tambahan tenaga jejaring sosial.

    Laku hidup di depan kamera adalah perilaku yang berjarak, bahkan menjauh dari obyek agar

    obyek bisa diintai, dibidik, dan difoto. Foto-juga alat perekam lainnya-dibuat agar

    menghasilkan efek statis, tak bergerak. Dan, walaupun manusia pemegang kamera ada di

    tempat kejadian, kamera tetap membuatnya harus berjarak. Kamera tak pernah bisa menyatu

    dengan obyeknya, selalu harus diberi jarak. Hadir tapi tetap berjarak, tak hendak terlibat,

    seakan semuanya tidak bisa menimpa diri kita semua, seperti kamera di hadapan obyeknya.

    Maka, pola komunikasi atau keterlibatan sosial ala kamera ini sering kali tak simpatik dan tak

    membawa rasa empati-dalam beberapa kasus seperti kejadian di area yang sangat terpencil

    atau terisolasi, tentu saja kamera terkadang mampu membawa empati.

    Seperti abu vulkanis yang menimpa kita yang berada sekian ribu kilometer dari Gunung

    Kelud, hidup kita selalu dalam keterlibatan, keterkaitan, dan ketergantungan pada alam dan

    orang lain. Empati menjadi sesuatu yang sudah seharusnya, bahkan barangkali sudah menjadinaluri hidup kita. Maka, dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    7/42

    lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain.

    Setidaknya, berempati berarti membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang

    lain. Dengan empati, kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti

    orang lain merasakannya (Jalaluddin Rakhmat (1992: 132).

    Dengan ini, akan timbul gerak dalam hati dan pikiran kita, berempati dalam tubuh-batin.

    Gerak ini kemudian akan mengerahkan saraf-saraf kita untuk ikut serta dalam bentuk

    tindakan, berderma, atau berdoa. Berempati memberi rasa aman kepada orang lain dan

    membuat orang merasa tidak sendirian dalam bencana. Ada kita bersama mereka. *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    8/42

    Tabur Bunga dan Sejarah yang

    Membebaskan

    Senin, 24 Februari 2014

    Moeldoko,Panglima TNI

    Empat dekade silam, tepatnya pada 28 Mei 1973, pemimpin dan Perdana Menteri Singapura

    Lee Kuan Yew dengan hikmat melangkah memasuki Taman Makam Pahlawan Kalibata, di

    Jakarta Selatan. Hari itu ia menabur bunga di pusara dua prajurit KKO, Usman Haji

    Mohamed Ali dan Harun Said.

    Lima tahun sebelumnya, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun menjalani hukuman

    gantung yang dijatuhkan pemerintah Singapura. Sejarah mencatat bahwa keduanya tak

    menampik meledakkan bom di MacDonald House, Orchard Road, pada 10 Maret 1965.

    Peledakan itu memang menjatuhkan korban penduduk sipil yang tak disangka, dan salah satu

    permintaan Usman serta Harun sebelum eksekusi adalah, mereka bisa dipertemukan dengan

    keluarga korban dan memohon maaf.

    Peristiwa Usman dan Harun memang harus dilihat dalam kerangka konfrontasi. Konfrontasi

    di sini bukan hanya berupa perang dingin, yang menularkan demam ke berbagai belahan

    dunia, tapi juga konfrontasi antara ide besar tentang pelaksanaan tugas yang diemban oleh

    abdi negara dan kedaulatan bangsa yang harus ditegakkan. Ide-ide besar seperti ini bisa

    memancing reaksi yang sangat emosional dan berskala luas. Dan kebesaran seorang

    negarawan akan ditentukan oleh bagaimana ia menghadapi reaksi emosional itu sambil tetap

    menjunjung ide pelaksanaan tugas dan kedaulatan sebuah bangsa.

    Jatuhnya korban sipil memang layak disesali. Pemerintah serta rakyat Singapura berhak

    merasa terluka dan wajib menegaskan kedaulatannya. Tapi, pada 28 Mei 1973 itu, Lee Kuan

    Yew bersedia mengatasi luka tersebut. Dengan menabur bunga, ia ikut mengukuhkantindakan pemerintah Indonesia yang mengangkat martabat Usman dan Harun sebagai

    pahlawan nasional. Langkah khidmat dan taburan bunga tersebut menunjukkan betapa Lee

    Kuan Yew bersedia melepaskan diri dari sejarah masa silam yang sedih untuk menyiapkan

    masa depan yang kian mengukuhkan kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsanya.

    Jika kita mengenang taburan bunga Bapak Pendiri Singapura Modern Lee Kuan Yew di

    Kalibata itu, kita memang bisa agak tersentak oleh reaksi rekan-rekan di Singapura berkaitan

    dengan penyematan nama "Usman Harun" di salah satu fregat Indonesia. Penyematan itu

    sungguh sejajar dengan taburan bunga: penghormatan kepada mereka, termasuk prajuritkecil, yang telah melaksanakan tugas negara sebaik-baiknya. Penyematan itu sama sekali

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    9/42

    bukan tanda untuk menyerbu tetangga terdekat.

    Kita sudah hidup di abad ke-21, dan abad ini berlimpah dengan pelajaran sejarah yang

    menunjukkan bahwa niat menyerbu secara militer ke negara tetangga bukanlah niat yang

    patut dan beradab. Saya sepakat bahwa perang fisik bukanlah kelanjutan dari diplomasi yangbuntu, melainkan buah pahit dari kegagalan inteligensi (failure of intelligence). Operasi

    militer hanya absah jika lawan sudah berhenti menggunakan inteligensinya.

    Kegagalan inteligensi selalu bermula dari kegagalan membebaskan diri dari kungkungan

    sejarah, dan dari ketakmampuan menghargai harkat hidup orang lain, bangsa lain. Indonesia

    tidak mungkin lagi menyerbu Singapura. Indonesia bahkan berkepentingan agar Singapura,

    dan negara tetangga lain, berada dalam keadaan damai dan stabil. Sebab, hanya dalam

    perdamaian yang kukuh Indonesia bisa menegaskan kedaulatan negara dan kesejahteraan

    rakyatnya.

    Betapapun juga, Indonesia dan Singapura adalah dua dari lima negara pendiri ASEAN.

    Perhimpunan kawasan yang semakin dihormati ini, kita tahu, didirikan untuk meningkatkan

    pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara

    anggotanya. Juga, tentu saja, untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regional

    serta meningkatkan kesempatan untuk membahas perbedaan di antara para anggotanya

    dengan damai.

    Sejak didirikan, ASEAN secara formal telah menyediakan ruang bagi para anggotanya untuk

    membicarakan perbedaan-perbedaan dan membereskannya dengan damai. Ada yangmengatakan bahwa itulah cara Timur, tepatnya Asia modern, untuk menyelesaikan

    konfliknya. Ruang seperti ini mungkin tak memuaskan semua pihak, tapi ia terbukti dapat

    menopang upaya mendorong pembangunan dan perdamaian di kawasan ASEAN.

    Ruang seperti ini tak mungkin lahir jika para negarawan pendiri ASEAN membiarkan diri

    mereka terkungkung dalam sejarah yang membuat kita semua kehilangan kemampuan untuk

    merespons secara wajar kejadian-kejadian di sekitar kita. Kita memang tak dapat

    membiarkan masa silam memenjarakan masa depan kita. Di Kalibata, PM Lee Kuan Yew,

    yang mengikuti syarat yang diajukan Presiden Soeharto, berhasil menunjukkan bahwa

    pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa memperlakukan sejarah secara bijak untuk bisa

    membebaskan masa depan bangsanya. *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    10/42

    Plagiat

    Senin, 24 Februari 2014

    Amarzan [email protected]

    Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan "plagiat" sebagai "pengambilan karangan

    (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri,

    misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri". Pemahaman apa yang

    bisa ditarik dari penjelasan ini?

    Pertama, plagiat adalah perbuatan lancung. Karangan yang merepresentasikan pendapatatawa buah pikiran melekat pada hak individual sang pengarang yang, sesungguhnya,

    dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Plagiator, dengan demikian, sudah menginjak-

    injak hak individual itu.

    Kedua, plagiat menunjukkan kemiskinan intelektual. Di kolong langit ini, kata Julius Caesar,

    "Tak ada hal yang tidak menarik; yang ada ialah orang-orang yang tidak tertarik." Tugas

    intelektual adalah mengangkat masalah-masalah yang luput dari ketertarikan awam, dan

    menjadikannya bahan rujukan yang mencerahkan dan menginspirasi-tanpa mencederai

    martabat intelektualitasnya.

    Ketiga-dan ini yang paling berat-plagiat merupakan "kejahatan terencana". Tidak ada

    tindakan spontan dalam proses plagiarisme. Sang plagiator (penjiplak) pastilah membaca

    lebih dulu karangan yang akan dijiplaknya, sebelum merasa tertarik mencaplok karangan itu

    dan mengakuinya sebagai karangan sendiri. Dalam proses "ambil alih" itu, sebetulnya

    plagiator masih berusaha menghapus jejak dengan mengubah satu-dua kalimat, atau satu-dua

    alinea, atau mengubah susunan alinea. Tapi biasanya mereka gagal karena-dan ini juga

    merupakan kejahatan-memandang rendah khalayak sasarannya.

    Pada tingkat apakah sebuah karangan bisa disebut plagiat? Ada berbagai jenjang yang

    sekaligus bisa digunakan untuk "menentukan" derajat plagiat. Jenjang pertama adalah yang

    biasa disebut "copy paste", ketika lebih dari 70 persen karangan, alinea demi alinea dan

    secara berurutan, sama dengan karya yang diplagiat.

    Jenjang kedua meliputi "pilihan kata", yang diikuti penempatan kata dalam pengkalimatan.

    Seorang pengarang yang sudah terbiasa mempublikasikan karya tulisnya di media massa

    mudah dikenali kekayaan-atau sebaliknya, kemiskinan- kosakatanya. Kesamaan kosakata,

    apalagi menyangkut kata yang unik, khas, dan tidak biasa, layak dicurigai sebagai bentuk

    plagiat yang berada setingkat di bawah "copy paste".

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    11/42

    Jenjang ketiga meliputi "gaya", sesuatu yang sesungguhnya sulit dipakai sebagai bahan

    pembuktian plagiat. Kecenderungan kesamaan gaya lebih mudah dikategorikan sebagai

    "keterpengaruhan"-sesuatu yang dianggap biasa-biasa saja dalam dunia tulis-menulis.

    Jenjang keempat meliputi kesamaan penggunaan metafora, termasuk pepatah-petitih dantamsil ibarat. Jika dalam dua karangan yang berbeda terdapat lebih dari tiga metafora yang

    sama, sudah selayaknya kedua tulisan itu disimak secara lebih saksama, seraya mencari

    persamaannya yang lain.

    Terakhir adalah kesamaan gagasan, yang bisa dihisabkan kepada bentuk plagiat yang paling

    ringan. Kesamaan gagasan merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi secara kebetulan,

    dan mencari gagasan yang sepenuhnya "orisinal" nyaris mustahil dalam lalu lintas ide yang

    semakin dinamis. Karena itu, menggunakan kategori ini untuk menentukan plagiarisme

    merupakan pekerjaan yang tidak mudah dipertanggungjawabkan.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    12/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    13/42

    sesuai dengan tuntutan pasar. Salah satu syarat mutlak ujian seleksi itu: harus menghibur.

    Syarat lainnya yang bisa jadi nilai tambah: berpenampilan menarik, bersuara bagus, syukur-

    syukur bisa nyambi jadi penyanyi, dan alhamdulillahkalau punya diferensiasi (gaya

    penyampaian yang beda, unik, dan kalau perlu juga punya jargon-jargon antik).

    Kita jadi tahu, jadi ustad-dai itu tak mudah. Sedikit orang yang bisa menyampaikan ajaran

    moral dengan gaya yang disukai banyak orang. Untuk bisa memasarkan dakwahnya, cara-

    cara yang ditempuh para dai tentu tak mudah.

    Itulah cara alternatif pertama untuk berbaik sangka. Opsi dalam berbaik sangka yang kedua,

    mungkin saja ada konspirasi Tuhan yang sedang bermain di sana. Melalui adegan smackdown

    ustad terhadap operatorsound-systemitu, Tuhan sedang ingin agar umat memikirkan kembali

    pengertian mereka tentang ustad.

    Lagi-lagi kita mesti bersyukur, kenyataanya publik masih cukup waras. Ada kesadaran yang

    pelan-pelan kini menyeruak: ustad harusnya begini, bukan begitu. Kejadian itu menjadi

    blessing in disguise, sehingga publik mulai mengarahkan kritiknya kepada cara media

    menyeleksi dai-dainya. *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    14/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    15/42

    antara Napoli dan Diego Maradona di dalamnya dengan AC Milan yang mengandalkan Trio

    Belanda (Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten) lebih layak diikuti ketimbang

    "persaingan" Golkar, PPP, dan PDI (belum pakai "Perjuangan") saat itu.

    Sinisme? Ya, yang syukurlah gugur, karena politik Indonesia kini rupanya sudah bukan"sepakbola gajah" lagi. Persaingannya beneran, meskipun uang masih dipakai juga. Artinya,

    politik Indonesia sudah lebih "layak tonton". Pertanyaannya sekarang, dalam asumsi bahwa

    dengan segala aspek politisnya sepak bola tetap dipandang sebagai hiburan, terlacaknya

    popularitas berita-berita politik menunjukkan gejala apa? Sepak bola tersaingi oleh politik

    sebagai hiburan potensial, ataukah politik sudah lebih dihargai sebagai wacana serius yang

    boleh lebih diperhatikan daripada sepak bola?

    Dapat saya ringkaskan, meskipun konstruksi struktural persaingan politik dan sepak bola itu

    sama, hasil akhirnya mempunyai akibat berbeda: kalah-menangnya Barcelona, Real Madrid,

    Manchester United, Chelsea, dan Manchester City barangkali penting bagi kebahagiaan

    pendukungnya-artinya mempunyai dampak "spiritual", tapi tidak memberi akibat konkret

    dalam kehidupan praktis. Sebab, sepak bola jika dikembalikan kepada "hakikat"-nya (astaga!)

    memang adalah "main bola" (baca: keterampilan memainkan bola dengan kaki) sahaja,

    betapapun telah menjadi fenomena bisnis hiburan (sekali lagi: via media) yang spektakuler.

    Adapun dalam politik, menang-kalahnya Jokowi atau Prabowo agaknya dianggap akan

    memberi akibat langsung bagi kehidupan masing-masing (rumah sakit gratis, sekolah gratis,

    dan tunjangan kemiskinan?), meskipun suka atau tidak suka kepada kepribadiannya yang

    maha-dahsyat (awas, via media!) itu tetap merupakan faktor determinan tak teringkari.Berbeda dengan masa Orde Baru, ketika rakyat begitu apatis terhadap politik "sepak bola

    gajah", politik Indonesia masa kini tak lagi sekadar "layak tonton". Dengan demikian, nama

    Prabowo bisa menyaingi popularitas Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, tapi juga telah

    dihargai dalam harkat politik itu sendiri: hasil akhir yang ikut kita tentukan akan

    mempengaruhi kehidupan kita bersama. Mungkin kesadaran semacam ini akan membuat

    angka golput berkurang dalam Pemilu 2014.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    16/42

    Pesohor

    Selasa, 25 Februari 2014

    Indra Tranggono,Pemerhati Kebudayaan

    Layaknya raja-raja, kini para koruptor pun dikelilingi oleh para perempuan, termasuk pesohor

    (selebritas). Dengan uang yang melimpah, para koruptor mampu membeli kehangatan relasi

    emosional dari para perempuan penghibur (penyanyi, foto model, bintang sinetron, dan

    lainnya), baik yang sudah punya nama atau pendatang baru.

    Motif relasi personal antara pesohor dan koruptor pun bermacam-macam, dari sebatas temanbiasa, hubungan profesional, pacar gelap, sampai istri simpanan yang dinikahi secara siri.

    Perbedaan status itu bisa jadi hanya sekadar predikat untuk konsumsi publik demi

    menghindar dari stigma buram. Misalnya, perselingkuhan atau jual-beli jasa seksual. Namun,

    apa pun statusnya, para pesohor itu mengaku mendapat guyuran uang dalam jumlah besar,

    dari puluhan sampai ratusan juta. Mereka pun mendapatkan barang-barang mewah: mobil,

    perhiasan, alat-alat elektronik, rumah, dan lainnya.

    Dalam proses hukum, selama ini status mereka baru sebatas saksi. Mereka masih aman,

    belum dijerat dengan pasal pencucian uang. Kepada KPK, mereka pun dengan "suka rela"mengembalikan uang dan barang yang pernah mereka terima dari koruptor. Uniknya, sambil

    menyerahkan barang dan uang itu, mereka memberi pernyataan yang gagah: ikut gigih

    melawan korupsi. Tak jarang, layaknya pengkhotbah agama, mereka pun berbicara tentang

    pentingnya moralitas, etika, dan norma.

    Relasi intim antara pesohor dan koruptor bukan hal baru. Dalam masyarakat tradisional, para

    pesohor yang dikenal sebagai ledhek (perempuan penghibur) sudah biasa menjalin relasi

    emosional dengan para penguasa dari kelas demang, tumenggung, adipati, patih, sampai raja.

    Mereka ada yang dijadikan gundik oleh penguasa.

    Tradisi relasi ledhek-penguasa ekonomi dan politik itu mengalami transformasi dalam era

    modern.Ledhekmenjelma menjadi selebritas/pesohor berhabitat dunia industri hiburan

    (budaya pop/massa). Mereka menjadi kelangenanpublik dan para pemilik otoritas di

    berbagai lembaga pemerintah/negara. Mereka memasuki kehidupanjet-set layaknya para

    sosialita. Mereka bisa menjalin hubungan intim dengan orang-orang parlemen, birokrat,

    hakim, jaksa, polisi, dan pengusaha. Otomatis, mereka pun tumbuh dan besar dalam atmosfer

    kelas menengah, akibat cipratan rezeki yang berupa uang dan akses.

    Hedonisme menjadi ideologi yang mengatur dan menentukan langgam hidup mereka.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    17/42

    Gaya hidup serba mewah demi pelampiasan hedonisme akhirnya memakan diri dan integritas

    para pesohor. Biaya hidup yang sangat tinggi mengendurkan prinsip-prinsip moral, sehingga

    mereka menjadi permisif terhadap iming-iming dari para koruptor. Kehormatan pun

    digadaikan demi meraih kemewahan. Mereka dengan sadar memposisikan para koruptor

    sebagai sponsor bagi pemuasan hedonismenya.

    Mereka baru kaget dan malu ketika para pemberi uang dan barang yang selama ini dikenal

    sebagai orang baik itu ternyata tak lebih dari pemangsa uang negara. Mereka pun sibuk cuci

    nama dengan berbagai pernyataan yang intinya menjelaskan bahwa, terhadap para koruptor,

    hubungan mereka netral tanpa kepentingan. Namun, hukum dan penegak hukum (KPK) tidak

    gampang dibohongi. Hukum mestinya tidak meletakkan mereka sebagai korban, melainkan

    pihak atau orang yang turut menikmati hasil perampokan uang negara. Jika, terbukti bersalah,

    para pesohor hitam ini layak dihukum. *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    18/42

    Monorel Bukan Angkutan Massal

    Rabu, 26 Februari 2014

    Agus Pambagio,Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

    Dalam beberapa tulisan atau komentar di berbagai media, saya sering menyampaikan bahwa

    monorel bukanlah alat transportasi massal yang layak dipakai di kota sebesar Jakarta, seperti

    layaknya bus kota, kereta api, MRT, dan sebagainya.

    Monorel merupakanpeople moveratau alat angkut terbatas berbasis rel yang biasanya

    dioperasikan di antara terminal di bandara atau di taman wisata, dan daerah perbelanjaan,seperti di Bandara Changi Singapura, Disneyland di AS, serta pusat belanja George Street di

    Sydney.

    Untuk kota sebesar dan sepadat Jakarta, monorel sangat tidak cocok karena investasinya

    mahal dengan penumpang terbatas, dan akan menghasilkan tarif per orang yang sangat

    mahal. Apalagi monorel Jakarta adalah investasi swasta, jadi tidak berhak atas subsidi

    pemerintah. Artinya, kerugian bagi pengelola ada di depan mata.

    Proyek monorel Jakarta ini awalnya memang sudah penuh masalah setelah TemasekSingapura, yang semula akan membangunnya, mundur pada 2004/2005. Setelah itu sempat

    bergonta-ganti investor, akhirnya proyek PT Jakarta Monorel (JM) ini mangkrak pada masa

    Foke menjadi Gubernur DKI Jakarta. Padahal pembangunannya dipayungi oleh Keputusan

    Presiden (Kepres).

    Pada masa awal Gubernur Joko Widodo (JKW) pada 2013, penulis sempat diundang ke Balai

    Kota untuk mendengarkan paparan dari Proyek Jakarta Monorel yang seyogianya akan

    dibangun oleh Konsorsium BUMN. Namun tiba-tiba muncul rombongan PT JM, yang

    katanya datang atas undangan JKW. Panitia sempat bingung, begitu pula Tim Monorel

    Konsorsium BUMN yang dipimpin oleh PT Adhi Karya Persero Tbk (AK). Mereka berniat

    hengkang dari pertemuan tersebut.

    Di sini sudah terlihat betapa kencangnya PT JM melobi Gubernur JKW. Pada akhirnya

    memanggreen linedan blue linediserahkan kembali ke PT JM oleh Pemerintah Provinsi

    DKI Jakarta dengan investor Ortus Holdings milik Edward Soeryajaya. Mereka akhirnya

    berhasil melakukangroundbreakingbersama Gubernur JKW di Kuningan pada 16 Oktober

    2013.

    Ternyata, eh ternyata, upaya PT JM bersama Ortus Holdings kali ini juga kembali bermasalahdan "mangkrak", yang ditengarai disebabkan oleh adanya kemacetan pembayaran ganti rugi

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    19/42

    dari PT JM ke PT AK karena adanya perbedaan nilai pembayaran tiang-tiang monorel yang

    dibangun oleh PT AK. Maka Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT JM dan Pemprov DKI

    Jakarta sampai hari ini belum bisa ditandatangani.

    Sebagai informasi, kontrak antara PT JM dan PT AK untuk pembangunan monorel dilakukandalam mata uang dolar Amerika (US$). Berdasarkan due diligenceBPKP Provinsi DKI

    Jakarta No. LAP-3178/PW.09/5/2010 tertanggal 21 April 2010, biaya pembangunan,

    termasuk PPN 10 persen, adalah US$ 14.887.252,10 atau Rp 233.188.159,00.

    Kemudian, berdasarkan hasil laporan Kantor Jasa Penilai Publik Amin-Nirwan-Alfiantori dan

    Rekan tertanggal 7 Februari 2013, nilainya adalah Rp 193.662.000,00. Sedangkan

    berdasarkan Minute of Meeting (MoM) antara PT JM dan PT AK tertanggal 18 Maret 2013,

    disepakati angka final Rp 190.000.000.000, termasuk PPN 10 persen.

    Namun ternyata, sampai hari ini, PT JM masih ingkar janji dengan menyatakan bahwa utang

    PT JM ke PT AK hanya Rp 130 miliar. PT JM melalui Presiden Komisarisnya menyatakan

    bahwa angka Rp 190 miliar itu termasuk Rp 50 miliar untuk biaya pembuatan stasiun yang

    tidak pernah ada wujudnya. Karena itu, PT JM hanya mau membayar Rp 130 miliar.

    Berdasarkan penjelasan Dirut PT AK: "Yang dimaksud dengan stasiun adalah hitungan

    fondasi dan tiang di lokasi stasiun yang berbeda dengan lokasi yang non-stasiun, bukan

    bangunan stasiun, yang memang belum pernah dibangun." Menurut saya, PT JM memang

    mencari-cari masalah karena sejak awal saya ragu perusahaan ini mempunyai dana sebesar

    Rp 16 triliun untuk membangun monorel.

    Keraguan saya diperkuat oleh pencantuman ridership(penumpang) di brosur mereka, yang

    menurut saya "lebay". Dalam brosur dinyatakan bahwa per gerbong monorel dapat

    mengangkut 253 penumpang (lebih besar daripada MRT dan KRL). Patut diduga bahwa

    jumlah ridershipdigelembungkan supaya mendapatkan angka tarif per penumpang yang

    terjangkau, misalnya Rp 9.000 per penumpang.

    Menurut hitung-hitungan bodo saya, jika angka ridership-nya wajar, tarif sekali naik monorel

    bisa mencapai lebih dari Rp 30 ribu per penumpang. Ini tarif yang tidak akan terjangkau oleh

    publik, dan pasti JKW juga tidak akan setuju.

    Saran saya untuk Gubernur, batalkan saja Proyek Jakarta Monorel ini karena, selain monorel

    bukan angkutan umum, PT JM tampaknya tidak akan sanggup membangunnya. Apalagi

    ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tidak akan memberikan fasilitas apa-apa kepada

    investor.

    Masalah utang-piutang sebaiknya segera diselesaikan saja. Jika PT JM menolak hitung-

    hitungan yang sudah disepakati (Rp 190 miliar), gunakan saja angka resmi dari BPKP dalam

    mata uang dolar Amerika, yaitu US$ 14.887.252,10. Ini angka sah, bukan angka hasilnegosiasi.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    20/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    21/42

    Warren Buffett Versus Singkong Emas

    Rabu, 26 Februari 2014

    Burhan [email protected]

    Siapa yang tak ingin kaya mendadak? Bahkan konglomerat-konglomerat dunia, syekh-syekh

    asal Timur Tengah, atau taipan dari Cina pun masih bermimpi bisa melipatgandakan

    kekayaannya dalam tempo singkat. Cara mereka macam-macam. Ada yang menyerbu lantai

    bursa Wall Street, ada juga yang menyuntikkan modal ke perusahaan baru seperti Facebook.

    Zhao Danyang, seorang pemilik perusahaan investasi dari Hong Kong, punya cara lain lagi.Pada 2010, dia rela merogoh kocek dalam-dalam dan membayar US$ 2,6 juta (Rp 31,2

    miliar) untuk mencari ilmu kaya lewat acara Dinner with Warren Buffettt. Zhao ingin makan

    malam sambil berguru kepada Buffettt, yang sering disebut manusia setengah dewa di dunia

    investasi. Bertahun-tahun Buffett memang selalu menempati posisi teratas sebagai orang

    terkaya sejagat.

    Mimpi menjadi kaya instan itu meracuni hampir semua kalangan di seluruh kolong jagat, tak

    terkecuali di Indonesia. Dulu, orang berbondong-bondong ke Gunung Kawi untuk mencari

    pesugihan. Namun kini, orang menyerbu pelatihan-pelatihan untuk kaya secara kilat. "Kayaadalah hak setiap orang," begitu kata mereka. Jangan heran, pelatihan-pelatihan seperti "Beli

    properti tanpa modal, tanpa DP (down payment)" selalu laris-manis. Ada lagi tawaran

    pelatihan yang sedang ramai: "Berkebun Emas".

    Demam berinvestasi itu menjadi makanan empuk para penipu ulung. Tahun lalu, misalnya,

    ada investasi bodong PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) dan investasi emas

    Raihan Jewellery. GTIS membawa kabur Rp 2 triliun duit masyarakat.

    Kini, dugaan penipuan investasi bodong juga muncul lagi. Kali ini modusnya adalah titip

    modal untuk budi daya singkong, ayam super, dan budi daya lainnya. Menjadi heboh ripuh

    karena kasus ini melibatkan sebuah perusahaan perencana keuangan yang sedang ngetren.

    Dugaan investasi bodong itu dilakukan CV Panen Mas asal Sukabumi. Tawarannya sangat

    menggoda. Titip modal Rp 47 juta untuk tanam singkong, pada bulan ke-11 akan

    menghasilkan Rp 99 juta. Investasi ini menghasilkan 110,6 persen dalam sebelas bulan.

    Dahsyat!

    Para insinyur pertanian pasti ternganga melihat tawaran yang musykil itu. "Itu singkong

    emas?" Hanya orang yang terhipnotis yang percaya investasi di singkong, atau produk

    pertanian lain, bisa menghasilkan duit sebanyak itu. "Hukum rimba" di Indonesia membuatmargin laba petani nyaris tak pernah di atas angka 15-20 persen dari harga produk. Dengan

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    22/42

    harga singkong cuma Rp 700 per kilogram, sungguh mustahil investasi itu bisa menghasilkan

    laba 110 persen dalam 11 bulan.

    Sudah banyak contoh investasi bodong, tapi masyarakat tak jera juga. Bahkan Stephen

    Spielberg dan perusahaan raksasa di Wall Street pun pernah dibodohi oleh Bernard Madoff.Madoff meraup keuntungan US$ 65 miliar (Rp 78 triliun) lewat skema Ponzi. Skema yang

    berasal dari nama mafia Italia itu menjanjikan imbal hasil yang tinggi, yang duitnya dibayar

    dari investor yang datang belakangan. Investasi bodong model Panen Mas memakai cara

    seperti itu.

    Tawaran laba yang luar biasa kerap membuat mata investor hijau dan lupa akan logika

    sederhana: masuk akal tidak tawarannya?

    Apa pun yang instan-kopi, bubur, apalagi investasi-terasa kurang sedap. Jika ingin kaya, kata

    Warren Buffett, pahami bisnisnya. *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    23/42

    Politik Minus Kebajikan

    Rabu, 26 Februari 2014

    Buni Yani,Peneliti dari Universitas Leiden, Belanda

    Politikus-politikus busuk sedang merancang siasat untuk melumpuhkan Komisi

    Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak lagi efektif memberantas korupsi. Yang paling

    sistematis dan tentu saja konstitusional adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.

    Apakah mereka orang-orang tua dan berasal dari partai Orde Baru? Bukan. Mereka termasuk

    anak-anak muda yang menikmati kebebasan politik akibat runtuhnya Soeharto yang duludilawan karena korupsi.

    Logika politik ini absurd dan gila, tak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin

    menentang sesuatu yang dulu diperjuangkan, lalu bergabung dengan penjahat dan menistakan

    diri ke dalam kubangan politik yang kotor?

    Anak-anak SD Banten menyeberang jembatan bambu yang bergoyang di atas sungai yang

    airnya deras bertaruh nyawa, sementara gubernurnya mengoleksi barang-barang mewah

    berharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang dibeli di luar negeri dengan uang korupsi.

    Harapan menyehatkan anak bangsa dengan mengkonsumsi protein jadi kandas karena harga

    daging sapi setinggi langit, bahkan lebih tinggi daripada negara-negara Barat karena suap dan

    korupsi penyelenggara negara yang diotaki oleh parpol. Kisruh pilkada bisa meledak di

    mana-mana karena sengketa yang diputuskan MK didasarkan pada siapa yang berani

    membayar lebih tinggi. Daftar keculasan dan penderitaan yang diakibatkannya ini bisa

    diperpanjang, dan semuanya disebabkan oleh korupsi.

    Pertanyaannya, apakah politikus-politikus yang tidak terhormat ini ingin bangsanya

    terbelakang, bodoh, miskin, dan diremehkan bangsa lain karena tak punya harga diri?

    Kini sebagian besar ruang publik politik dan ekonomi dikangkangi mereka yang sedang

    menikmati keistimewaan melalui korupsi. Sesedikit apa pun langkah masyarakat madani

    untuk mengubah kondisi ini merupakan ancaman yang akan ditanggapi secara reaksioner

    oleh mereka.

    Bagi para politikus busuk ini, politik bukanlah kebajikan yang akan menuntun mereka kelak

    menuju surga di akhirat. Politik bukanlah ibadah yang ketika setiap kali datang rapat,

    menemui konstituen, dan membuat undang-undang sama nilainya dengan pengabdian kepadaTuhan.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    24/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    25/42

    Bencana versus Sabda Alam

    Kamis, 27 Februari 2014

    Sujiwo Tejo,Dalang

    Sudah saatnya kita tak terus-terusan kurang ajar kepada alam. Menyebut letusan gunung

    berapi, tanah longsor, banjir bandang, tsunami, dan sejenisnya sebagai bencana alam adalah

    bentuk kekurangajaran itu. Dengan istilah bencana alam, sadar atau tidak, terkandung

    kemarahan atau minimal kekesalan kita kepada alam.

    Bukankah letusan gunung, hujan abu, dan sebagainya hanyalah peristiwa fisika-kimia biasaagar alam secara keseluruhan senantiasa mencapai keseimbangan baru? Hal yang sudah

    niscaya dalam hukum alam seperti itu, sama halnya dengan pemuaian, penguapan, gravitasi,

    dan sebagainya, kok dengan sepihak dan sewenang-wenang kita tuding sebagai bencana?

    Dengan istilah yang mengandung unsur penyalahan alam, aktivitas memindahkan manusia

    terkesan sebagai kegiatan mengungsikan orang-orang dari ruang dan waktu milik mereka

    sebelumnya yang kemudian direnggut oleh alam. Padahal, kesibukan itu hanyalah bahu-

    membahu bagi sesama untuk sementara guna mengembalikan ruang dan waktu yang mereka

    pinjam dari alam sebagai nyonya ruang dan waktu.

    Saat letusan gunung, angin topan, dan semacamnya terjadi, selalu mengharukan melihat

    polisi dan tentara rukun dalam membantu warga-pemandangan yang langka untuk "job-job"

    lain. Sayang, pada saat serentak, selalu membuat sedih. Sedihnya, pekerjaan yang guyub-

    sentosa itu sejatinya didorong oleh niat mengungsikan manusia dari hak milik ruang dan

    waktunya. Yang dipindahkan pun mempunyai rasa serupa. Adegan lantas tak ubahnya

    dengan pemandangan mengungsikan warga dari hak milik ruang dan waktunya yang

    terenggut oleh peperangan.

    Padahal, peperangan jelas-jelas berbeda dengan letusan gunung. Peperangan itu bencana.

    Letusan gunung, seperti halnya angin puting-beliung dan sejenisnya, adalah sabda alam.

    Mereka adalah keniscayaan-keniscayaan yang berlangsungnya tidak bergantung pada nafsu,

    hasrat, cita-cita, dan lain-lain manusia.

    Ini sama halnya sabda alam yang terucap dalam hukum gravitasi bumi. Buah apel akan jatuh

    bila dilepas. Tak peduli apa harapan Galileo maupun Newton terhadap nasib buah tersebut.

    Apakah jatuhnya apel adalah bencana? Rasanya semua akan sepakat untuk mengatakannya

    tidak. Herannya, dalam musyawarah tata nilai, sadar maupun tidak, semua masih mufakatbahwa letusan gunung adalah bencana alam.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    26/42

    Buntut lain dari penggunaan idiom bencana alam masih banyak. Di antaranya, kegiatan yang

    dianggap sebagai pemulihan dari akibat letusan gunung dan semacamnya disebut

    penanggulangan. Lahirlah, misalnya, lembaga yang dinamai Badan Nasional Penanggulangan

    Bencana. Konsisten dengan anggapan sebagai bencana, letusan gunung pun dianggap sebagaimasalah. Masalah, sebagaimana lilitan utang, skripsi yang tak kunjung rampung, dan

    sebagainya, harus ditanggulangi.

    Padahal, sejatinya, yang bermasalah itu siapa? Yang mencari perkara, ya, kita. Kita semua

    termasuk saya. Yang berkehendak tinggal di atas ribuan kilometer tapal kuda api. Kita sudah

    berkehendak menjadi perkara itu sendiri jauh sebelum gunung meletus.

    Alam tak demikian. Tanah yang labil lantaran tak ditahan oleh akar-akar maupun talut akan

    tunduk pada sabda alam untuk mencari kestabilan baru dengan cara longsor. Gunung, sungai,

    hutan, lautan, dan sebagainya tak punya kehendak. Mereka hanya tunduk pada hukum alam

    untuk selalu mencapai, itu tadi, keseimbangan baru.

    Konsekuensi menamai sabda alam terhadap semua itu termasuk gempa, sebagai ganti

    bencana alam, tentu banyak. Antara lain, tak ada lagi nama Badan Nasional Penanggulangan

    Bencana. Adanya Badan Nasional Penyelarasan Sabda Alam.

    Sabda alam tak perlu ditanggulangi, tak perlu diatasi, apalagi dilawan. Sabda alam hanya

    perlu diselarasi. Ini klop dengan doa agama-agama leluhur untuk tak minta apa-apa kecuali

    memohon agar kita senantiasa sanggup menyelaraskan diri dan tunduk dalam harmoni hukumsemesta.

    Harmonisasi terhadap hukum alam itu bisa ditempuh melalui jalan pengetahuan. Selama

    tinggal di atas tapal kuda api itu, yang percaya ilmu pengetahuan model sekarang biarlah

    menyimak petunjuk-petunjuk Mbah Rono dan sejawatnya.

    Yang percaya ilmu pengetahuan model baheula biarlah menyimak petuah-petuah Mbah

    Maridjan dan para sejawat serta penggantinya, yang melanggengkan cerita-cerita tentang

    gegunung. Jangan sampai 129 gunung berapi di Nusantara ini kehabisan kisah. Jangan

    sampai orang-orang berpikir bahwa Gunung Karangetang, Gunung Lokon, dan Gunung

    Rokatenda sebentar lagi mungkin akan meletus. Tidak! Mereka tak akan pernah meletus.

    Mereka, bahkan menurut Mbah Rono, hanya akan menepati janji-janjinya.

    Ya, senantiasa mencari keseimbangan baru dan senantiasa menepati janji-janjinya.

    Demikianlah sabda alam dalam dua cita rasa ilmu pengetahuan.

    Soal penggantian bencana alam dengan sabda alam, atau dengan istilah lain kalau ada yang

    lebih tepat, tidak susah. Mengafkir papan-papan nama departemen menjadi kementerian saja

    bisa kok. Apalagi mengganti nama-nama yang kuat terkait dengan tata-krama kita terhadapalam. *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    27/42

    Memahami Megawati

    Kamis, 27 Februari 2014 | 00:25 WIB

    Flo. K. Sapto W.,Praktisi Pemasaran

    Desakan kepada Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP untuk segera mengumumkan

    kandidat RI-1 semakin kuat. Kristalisasi kandidat-seturut hasil sejumlah lembaga survei dan

    desakan arus bawah-agaknya menguat pada sosok Jokowi. Namun agaknya Megawati masih

    bergeming tidak hendak mengumumkannya. Apakah ini sebuah sikap politis yang strategis?

    Dalam kajian pemasaran, produsen umumnya saling berlomba untuk merilis produknyasecepat mungkin. Tidak jarang, bahkan dilakukan dengan agak bombastis. Terlebih lagi jika

    produk itu adalah inovasi terbaru. Semakin cepat produk dengan fitur-fitur terbaru

    dikeluarkan, akan semakin berpeluang menguasai pangsa pasar. Itu sebuah iklim kompetisi

    yang wajar. Namun apakah selalu pemenang bursa adalah yang lebih cepat melepas

    produknya ke pasar?

    Seturut pemahaman berdasarkan kategori outputyang dihasilkan, partai politik sebetulnya

    adalah pemainsingle industry. Sebab, jenis produknya hanya satu, yaitu kader partai politik

    (man power). Produk-produk hasil kaderisasi kemudian dijual ke publik dalam bursapemilihan umum. Sebagai bagian dari mekanisme pasar, tentu akhirnya ada kategori produk

    yang sangat laku, cukup laku, dan kurang laku. Tidak jarang juga sebagian partai politik

    justru memilih produk dari partai lain untuk dijual. Bisa karena terhambat regulasi (20 persen

    perolehan suara legislatif), bisa juga karena tidak cukup yakin akan produk sendiri. Mungkin

    pula karena kurang memiliki jaringan distribusi di semua segmentasi sehingga dikhawatirkan

    tidak akan bisa menjangkau pangsa konsumen secara luas.

    Di dalam perspektif inilah agaknya sikap Megawati bisa dipahami. Memaksakan sebuah

    launchingsebelum lulus thresholdadalah sebuah keputusan politis yang tidak taktis. Sebab,

    hanya akan menempatkan partai politik sebagai pecundang, jika kelak tidak melewati ambang

    batas minimal itu. Meskipun wacana ini sebetulnya diterima dengan enggan oleh para elite

    PDIP sendiri, terutama para calon legislator. Sebab, dengan adanya pencalonan Jokowi,

    justru bisa mengangkat keterpilihan mereka dalam bursa pemilihan legislatif. Namun, sekali

    lagi, Megawati bukanlah politikus kemarin sore. Optimalisasi kinerja mesin partailah yang

    lebih diharapkan menentukan posisi PDIP. Bukan semata-mata karena faktor Jokowi. Jelas

    bahwa pemikiran ini akan mendorong PDIP melangkah sebagai sebuah organisasi modern

    karena lebih mengutamakan mekanisme organisasional daripada ketergantungan figural.

    Di samping itu, siapa juga yang akan kehilangan kalau pencalonan prematur Jokowi malahberisiko adanya sebuah konspirasi pembunuhan terhadapnya? Fakta lain yang terlihat adalah

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    28/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    29/42

    Peluang Kudeta Konstitusional Pemilu

    2014

    Jum'at, 28 Februari 2014

    Soleman B. Ponto,Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI 2011-2013

    Pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang

    Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan

    dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

    Namun, aneh tapi nyata, undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK dinyatakan masih

    dapat dipakai dalam pelaksanaan Pemilu 2014.

    Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan

    Pemilu 2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya

    inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden,

    Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk

    hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang

    mengikat.

    Akibat inkonstitusional Pemilu 2014, sangat mungkin pihak terkait, baik para pendukung

    status quo maupun yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para

    pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling

    klaim kemenangan dan kebenaran. Dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan

    politik yang hampir seimbang. Maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah

    kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaosbisa terjadi karena alamiah atau

    bisa pula rekayasa oleh pihak yang mau mengambil atau mendapat keuntungan oleh kondisi

    ini.

    Dalam kondisi chaosinilah, apalagi kalau sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata,

    posisi TNI menjadi sangat penting. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan

    bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan

    UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI

    menyebutkan, "Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan

    keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap

    bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan

    bangsa dan negara."

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    30/42

    Sudah sangat jelaspositioningTNI. Pertama, TNI akan dan harus berpihak kepada pihak

    yang mendukung pelaksanaan UUD45. Kedua, TNI harus tunduk kepada hukum, sehingga ia

    harus menjaga keutuhan bangsa. Bila keutuhan bangsa Indonesia terancam oleh chaos, TNI

    wajib melaksanakan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi pemberontakan

    bersenjata, seperti yang tertulis pada pasal 7 ayat 2 titik 2 Undang-Undang No. 34/2004.

    Di sisi lain, dari aspek hukum humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaosyang

    mengarah ke perang saudara, karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori

    konflik bersenjata internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum

    humaniter. Ini artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal

    ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi chaosberada

    di tangan TNI.

    Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai

    pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban.

    Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana para perwira TNI yang bertugas di Timor-Timur

    dituduh sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran sehingga menyebabkan

    perang saudara setelah jajak pendapat. Apalagi saat ini sangat jelas perintah undang-undang

    kepada TNI agar menegakkan kedaulatan negara yang berdasarkan UUD 1945 serta menjaga

    keutuhan bangsa. Dan, yang tidak kalah penting, setiap anggota TNI akan dikutuk Tuhan

    apabila tidak melaksanakan sumpahnya.

    Memang, dalam UU TNI Pasal 17 ayat (1) disebutkan, "(1) Kewenangan dan tanggung jawab

    pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden." Juga dalam Pasal 7 ayat 3 disebutkanbahwa ketentuan tentang operasi militer untuk perang maupun selain perang dilaksanakan

    berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Pertanyaan besarnya, bagaimana TNI

    harus tunduk ketika posisi presiden maupun DPR dianggap tidak berdasarkan UUD 1945?

    Dengan demikian, sangatlah jelas keputusan MK--yang membenarkan penggunaan undang-

    undang yang bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

    dalam Pemilu 2014--akan mengakibatkan chaos, baik terjadi secara alamiah maupun

    memang dengan sengaja direkayasa oleh pihak-pihak yang diuntungkan. Bila chaosterjadi,

    terbuka peluang TNI melakukan "kudeta" konstitusional atau kudeta yang diperintah oleh

    undang-undang.

    Nah, supaya hal ini tidak terjadi, pelaksanaan pemilu serentak harus dilaksanakan pada

    Pemilu 2014 ini. Karena itulah yang konstitusional. Lebih baik tertunda daripada tidak

    legitimated.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    31/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    32/42

    bergelimang imajinasi, seperti dongeng, cerita binatang, dan legenda, tidak masuk daftar

    buku untuk belajar. Buku-buku ini tidak akan menghuni meja belajar. Pun tidak akan

    menambah prestasi sekolah atau sekadar naik pangkat menjadi hadiah untuk menggantikan

    buku tulis. Tidak dapat disangkal bahwa buku memang menjadi salah satu produk kemajuan

    zaman. Dulu, anak-anak dikelilingi oleh cerita-cerita lisan dan tembang-tembang dolananyang dinyanyikan orang tua. Namun kini, anak-anak semakin kehilangan keduanya.

    Pada abad ke-21, buku dan cerita-cerita lisan tertinggal jauh. Petuah dan nasihat tersegel

    tanpa terbaca. Sedangkan produk percepatan dan teknologi berkejaran mendapat perhatian

    dari anak-anak. Dan, apa yang dikatakan oleh Joko Pinurbo (1999) tak akan teralami oleh

    anak-anak dan imajinasinya. "Masa kecil kau rayakan dengan membaca. Kepalamu

    berambutkan kata-kata." *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    33/42

    Mengkritisi Jokowi

    Jum'at, 28 Februari 2014

    Tulus Abadi,Anggota Pengurus Harian YLKI

    Gaya kepemimpinan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) hingga detik ini masih menjadi

    idola sebagian publik. Terbukti elektabilitas Jokowi bertengger pada posisi tertinggi versi

    hasil survei calon presiden. Aktivitas blusukan Jokowi menjadi trademarkbahkan menjadi

    kosakata baru dalam ranah bahasa Indonesia. Mimik dan bahasa tubuh yang terkesan ndeso

    juga menjadi oasis di tengah sikap jumawa para politikus yang duduk asyik di singgasana

    kekuasaan.

    Namun, khususnya warga Jakarta, seyogianya sudah mulai kritis terhadap performa (kinerja)

    Jokowi dalam mengelola kompleksitas permasalahan di Jakarta. Memori warga Jakarta harus

    dibangunkan, mengingat usia politik Jokowi sudah hampir 1,5 tahun (16 bulan) dalam

    memimpin DKI Jakarta, apalagi jika dikaitkan dengan janji Jokowi saat berkampanye sebagai

    calon gubernur (2012). Misalnya Jokowi dengan tegas menyatakan "tak ada lagi kemacetan"

    dan "tak ada lagi banjir" di Jakarta.

    Dalam konteks janji kampanye "tak ada kemacetan di Jakarta...", ini nyaris belum tersentuh.Hingga detik ini, Jokowi belum menelurkan kebijakan apa pun untuk mengatasi kemacetan di

    Jakarta. Memang, pada awal kepemimpinannya, Jokowi sempat menelurkan wacana

    pemberlakuan sistem ganji- genap. Wacana ini tak sempat menguat, bak hilang ditelan bumi,

    hingga sekarang. Ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya (kepolisian) menjadi alasan

    utama gagalnya implementasi ganjil-genap.

    Bahkan electronic road pricing(ERP), yang secara konsep dan regulasi lebih siap, pun tak

    jelas juntrungannya. Potret pelayanan angkutan umum juga belum ada perubahan apa pun:

    ngetem sembarangan, sopir ugal-ugalan, memutar sebelum tujuan akhir; masih menjadi

    pemandangan sehari-hari. Metro Mini berkarat pun masih berseliweran di seantero Jakarta.

    Janji Jokowi untuk mendatangkan 1.000 bus sedang hingga kini belum nongol satu pun.

    Bahkan jadi atau tidak pun tidak diketahui.

    Paling konyol adalah kasus impor bus baru Transjakarta (dari Cina) yang terbukti sudah

    berkarat. Jokowi pun belum mampu menambah jalur/koridor baru Transjakarta. Standar

    pelayanan minimal (SPM), yang drafnya sudah ada sejak Gubernur Fauzi Bowo, belum juga

    diratifikasi. Akibatnya, kendati Transjakarta menjadi sistem BRT (bus rapid transit)

    terpanjang di dunia (191 km), toh di sisi lain Transjakarta menjadi satu-satunya sistem BRT

    yang beroperasi tanpa SPM.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    34/42

    Rencana membangkitkan kembali pembangunan monorel juga terancam gagal akibat tidak

    akuratnya penghitungan jumlah modal dan jumlah penumpang. Bahkan, sejak awal,

    pembangunan monorel--jika diestimasikan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta--tak banyak

    mendulang dukungan. Sebaliknya, Jokowi justru merestui pembangunan dua ruas tol dalam

    kota di area Jakarta Utara, dan ini merupakan pemantik untuk melanjutkan pembangunanenam ruas tol dalam kota.

    Sekali lagi, sudah 16 bulan Jokowi memimpin Jakarta, tapi janji untuk mewujudkan "Jakarta

    Baru" belum tampak, khususnya jika diukur dengan parameter manajemen transportasi dan

    mengatasi banjir. Apalagi, jika Jokowi benar-benar turut berkompetisi dalam pilpres

    mendatang (seandainya terpilih), semangat mewujudkan Jakarta Baru hanya akan menjadi

    dongeng belaka. Apakah ini yang akan diwariskan oleh Jokowi untuk warga Jakarta? *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    35/42

    Negarawan

    Kamis, 27 Februari 2014

    Putu Setia,@mpujayaprema

    Ada 12 calon hakim konstitusi yang sudah mendaftarkan diri di Komisi Hukum Dewan

    Perwakilan Rakyat. Mereka akan bersaing untuk mengisi dua kursi yang ditinggal Akil

    Mochtar dan Harjono. Akil kini sedang diadili dalam perkara suap, sedangkan Harjono akan

    segera pensiun.

    Dari 12 calon hakim itu, sembilan orang adalah dosen yang mengajar di fakultas hukum,seorang pensiunan di Kementerian Hukum, seorang notaris, dan seorang lagi anggota DPR

    dari fraksi PPP, Dimyati Natakusumah. Gembar-gembor sebelumnya menyebutkan, ada

    empat anggota DPR yang akan "melamar pekerjaan" sebagai hakim MK, tiga yang tidak jadi

    itu adalah Benny Kabur Harman dari Fraksi Demokrat, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan

    Taslim Chaniago dari Fraksi PAN.

    Hakim konstitusi adalah negarawan, UUD 1945 menyebutkan demikian. Apakah mereka

    negarawan? Menarik ketika Dimyati, dalam sebuah tayangan di televisi, menyebutkan dirinya

    seorang negarawan. Alasannya, pernah menjadi pejabat negara, yakni bupati dua periode diKabupaten Pandeglang dan menjadi wakil rakyat. Bagi dia, itulah negarawan, seperti halnya

    sastrawan adalah pengarang sastra dan dermawan adalah orang yang suka bederma.

    Kalau negarawan seperti itu, camat dan lurah pun bisa disebut negarawan. Dimyati sepertinya

    tak bisa membedakan antara negarawan dan orang yang bekerja untuk negara. Yang terakhir

    ini umum disebut pegawai negeri. Padahal negarawan bisa juga tokoh yang tak pernah

    menjadi pegawai negeri.

    Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Negarawan adalah ahli dalam

    kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin yang secara taat asas

    menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah

    negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.

    Ada beberapa unsur di sini: ahli, taat asas, bijaksana, dan berwibawa. Beda dengan sastrawan,

    yang dalam kamus disebut: (1) ahli sastra dan (2) pengarang prosa dan puisi. Tak disebutkan

    apakah mereka harus taat asas dalam menulis puisi, apalagi dikaitkan dengan wibawa.

    Wartawan dalam KBBI disebut: orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, juru

    warta. Apakah sudah ahli dalam jurnalistik dan punya kewibawaan? Tak dipersoalkan.

    Dermawan dalam KBBI disebut: pemurah hati, orang yang suka bederma. Bahkan dramawanhanya dengan dua kata: pemain drama.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    36/42

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    37/42

    Pelukis Tamu Agung

    Sabtu, 01 Maret 2014

    Agus Dermawan T.,Pengamat Budaya dan Seni

    Beberapa hari lalu saya mendapatkan berita yang memprihatinkan. I.B. Said, 80 tahun, sang

    Pelukis Tamu Agung (Tamu Negara), yang selama 46 tahun bekerja untuk Istana

    Kepresidenan, sedang sakit keras, bahkan terkena stroke. Pelukis itu dirawat di rumah

    anaknya, setelah beberapa minggu tergolek di rumah sakit sederhana di kawasan Jakarta

    Selatan. Kondisi ekonominya yang relatif lemah menyebabkan ia tersengal-sengal untuk

    merawat dirinya sendiri. Biaya perawatan dirasakan sungguh mahal bagi seorang Said, yangselama hidupnya bermukim di rumah kontrakan di bilangan Haji Ung, Kemayoran, Jakarta

    Pusat.

    Dari situ lalu muncullah rentengan keheranan lewat SMS. Misalnya: "Ganjil rasanya seorang

    Pelukis Tamu Agung Istana Presiden harus merana di hari-tuanya. Padahal ia telah membantu

    negara dalam tempo begitu lama". "Di luar negeri, seorang Pelukis Tamu Agung adalah ikon

    Istana Kepresidenan yang harus dijamin penuh kehidupannya".

    Namun SMS-SMS itu cuma berujung sebagai gumam kekecewaan. Lantaran, dalamkenyataannya, selama empat setengah dekade bekerja keras untuk Istana Presiden, Said

    hanya diganjar honorarium ala kadarnya, yang sangat kecil dibanding kerja keras dan

    kemampuannya. Upah yang berpatuh pada administrasi negara itu terhitung menyedihkan

    apabila dikomparasi dengan perintah kerja yang nyaris selalu mendadak dan serba tergesa-

    gesa.

    Menengok masa silam, alkisah, setelah belajar seni di Malang, Yogyakarta, dan Bandung,

    Said lantas ke Jakarta pada 1960. Di sini ia bergabung dengan Panitia Negara pimpinan Henk

    Ngantung yang tugasnya memperindah kota. Dua tahun kemudian kariernya sebagai Pelukis

    Tamu Agung dimulai. "Saya mengawali dengan melukis kancing-kancing baju Presiden

    Sukarno dan busana tamu agung yang akan hadir di Jakarta," ujarnya.

    Lalu jalan hidup kepelukisannya semakin jelas. Potensinya dalam melukis potret mengangkat

    dirinya dipilih Sekretariat Negara sebagai "pelukis tetap" tamu agung. Lukisan itu mirip

    baliho berukuran 5 x 4 meter, yang difungsikan sebagai potret penyambutan di beberapa jalan

    protokol. Semua itu disertai lukisan berukuran 90 x 70 sentimeter, yang dipajang di Istana

    Negara tatkala sang tamu agung dijamu. Tentu prestasi yang tiada dua di dunia ketika

    diketahui bahwa Said telah melukis lebih dari 220 tamu agung. Pekerjaan ini dilakoni dengan

    setia dari 1962 sampai 2008.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    38/42

    Dan, sesuai dengan aturan, lukisan-lukisan tamu agung itu selalu didampingi lukisan potret

    presiden Indonesia dan ibu negara, yang juga ciptaannya. Lalu era Orde Baru pun

    memunculkan realitas yang luar biasa: Said harus melukis potret Presiden Soeharto dan Ibu

    Tien sebanyak hampir 500 kali! Hitungannya, dalam setahun ia melukis sepasang penguasa

    ini sekitar 16 kali. Jumlah ini dikali dengan masa Pak Harto menjabat presiden, 32 tahun.Alhasil, ketika Pak Harto lengser, prestasi Said ini diceritakan oleh berbagai media massa

    Indonesia dan internasional, seperti CNBC, Reuters, dan AFP. Bahkan ada yang

    mengusulkan agar Said diganjar "Soeharto Award". Namun, ha-ha-ha!, jangankan "Soeharto

    Award". Ganjaran paling mendasar seperti "Kecukupan Award" saja belum sempat ia terima.

    Tampaknya dedikasi Said sebagai Pelukis Tamu Agung Istana Presiden (sejak dulu) tidak

    dianggap istimewa oleh pemerintah. Atau jangan-jangan, nasib Said adalah potret nasib

    semua seniman pengabdi negara Indonesia.

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    39/42

    Sikap Risma, Kebisuan Mega

    Sabtu, 01 Maret 2014

    Bawono Kumoro,Peneliti Politik The Habibie Center

    Satu lagi kepala daerah mencuri perhatian publik. Setelah Gubernur DKI Jakarta Joko

    Widodo, kini nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mencuat menjadi bahasan utama

    berbagai pemberitaan di media massa. Beberapa hari belakangan, Risma-sapaan akrab

    Rismaharini--memang tengah mendapatkan sorotan publik terkait dengan isu rencana

    pengunduran dirinya dari jabatan Wali Kota Surabaya. Rencana itu menjadi isu nasional

    lantaran berembus kabar adanya tekanan-tekanan politik terhadap Risma.

    Harus diakui, sejak terpilih sebagai Wali Kota Surabaya atas sokongan Partai Demokrasi

    Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilukada 2010, Risma segera mencuri perhatian

    publik. Berbagai kebijakan dan langkah berani diambil Risma demi membenahi wajah Kota

    Pahlawan. Sejumlah kebijakan dan langkah berani itu antara lain menutup lokalisasi

    prostitusi Dolly dan menolak pembangunan ruas jalan tol dalam kota atas alasan

    pembangunan sarana transportasi massal. Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, tanpa rasa

    canggung, Risma turun langsung ke lapangan melayani masyarakat, seperti membagikan

    masker kepada masyarakat ketika terjadi erupsi Gunung Kelud.

    Tidak kalah penting catatan positif lain dari Risma adalah bersih dari tindak pidana korupsi,

    kolusi, dan nepotisme. Risma pernah dengan tegas menolak titipan sejumlah nama camat dan

    lurah untuk dipromosikan di jajaran birokrasi Pemerintah Kota Surabaya, meski titipan nama-

    nama itu berasal dari PDIP.

    Berbagai catatan positif kinerja Risma di atas tentu menjadi nilai plus tersendiri bagi PDIP.

    Belum lagi catatan positif yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta sekaligus bekas Wali Kota

    Solo Joko Widodo. Alhasil, PDIP pun berpeluang menuai dukungan elektoral terbesar dalam

    pemilu legislatif 2014.

    Apresiasi positif publik dengan segala puja-puji terhadap kedua kepala daerah asal PDIP

    tersebut tentu merupakan berkah tersendiri menjelang pelaksanaan pemilu legislatif April

    mendatang. Untuk itu, sudah semestinya PDIP "menjaga" mereka dengan cara selalu

    memberikan dukungan politik terhadap segala langkah dan kebijakan yang diambil oleh

    kedua kepala daerah tersebut.

    Dengan selalu memberikan dukungan terhadap Joko Widodo dan Risma, PDIP akan

    tercitrakan sebagai partai politik yang memperjuangkan kepentingan publik luas danmemiliki semangat antikorupsi. Namun kesempatan untuk memperoleh citra positif itu

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    40/42

    perlahan mulai menjauh seiring dengan keputusan PDIP mengajukan Ketua DPC PDIP Kota

    Surabaya Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota menggantikan Bambang Dwi Hartono

    yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur.

    Segera setelah Wisnu ditunjuk sebagai wakil wali kota, Risma langsung bereaksimenunjukkan rasa ketidaksukaan dengan tidak menghadiri pelantikan sang wakil. Sudah

    menjadi rahasia umum bila secara politik Risma dan Wisnu cenderung berseberangan dan

    bertolak belakang. Saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

    Kota Surabaya, Wisnu merupakan salah satu inisiator hak interpelasi terhadap Risma. Hak

    interpelasi diajukan sebagai respons terhadap kebijakan Risma menaikkan pajak papan

    reklame. Selain itu, Wisnu dikenal sebagai pendukung pembangunan ruas jalan tol dalam

    kota yang ditolak Risma. Dari sini kemudian berembus kabar bahwa Risma memiliki rencana

    untuk mengundurkan diri.

    Di tengah dukungan publik Kota Pahlawan dan sejumlah pihak, termasuk Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono (SBY), agar Wali Kota Terbaik Dunia Februari 2014 versi The City

    Mayors Foundation tersebut tidak mengundurkan diri, PDIP justru terlihat pasif. Bahkan,

    sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pun terlihat membisu.

    Wajar jika kemudian muncul sejumlah pertanyaan di benak publik. Mengapa PDIP bersikap

    pasif terhadap kegelisahan Risma? Apa maksud politik PDIP mengajukan Wisnu

    mendampingi Risma sebagai wakil wali kota, padahal mereka mengetahui kedua tokoh itu

    sangat berseberangan dalam sikap politik?

    Sikap pasif PDIP dan kebisuan Megawati hanya akan mengundang kecurigaan publik bahwa

    PDIP tidak tulus mendukung Risma sebagai wali kota dalam pemilukada empat tahun lalu.

    Lebih dari itu, rasa curiga publik terhadap sikap pasif PDIP juga dapat berujung pada

    penilaian bahwa Risma sesungguhnya memang tengah dinantikan untuk segera

    mengundurkan diri oleh partai berlambang moncong putih tersebut.

    Jika langkah pengunduran diri diambil oleh Risma, maka Wisnu, yang dinilai lebih mudah

    dikendalikan, dapat didorong untuk menduduki kursi wali kota. Apabila kelak hal itu

    memang benar terjadi, akan menjadi sebuah blunder politik serius bagi PDIP menjelang

    pelaksanaan pemilu legislatif April mendatang.

    Keberpihakan PDIP terhadap Wisnu dalam konflik politik dengan Risma akan berpotensi

    membawa dampak buruk terhadap pencapaian elektoral PDIP di Kota Pahlawan atau bahkan

    juga di tingkat nasional. Hal itu tidak mustahil terjadi mengingat selama ini Risma--bersama

    Joko Widodo--telah mengukuhkan (kembali)positioningpolitik PDIP sebagai partai wong

    cilik. *

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    41/42

    Sertifikasi Halal

    Sabtu, 01 Maret 2014

    Benni Setiawan,Dosen Universitas Negeri Yogyakarta

    Memalukan. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan "jual-beli" sertifikasi halal oleh

    oknum Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI, sebagai kumpulan orang alim (berilmu) dan

    menjadi corong umat Islam, ternyata belum mampu membentengi diri terhindar dari "urusan

    dunia". Mereka seakan tidak ada bedanya dengan manusia lain yang culas dan korup. Mereka

    hidup bergelimang kemewahan dan kedudukan yang diraih tanpa kerja keras dan

    menggadaikan idealisme. Ironisnya, dalam sertifikasi halal, mereka menjual ayat-ayat Tuhandengan harga murah.

    Terungkapnya "jual-beli" sertifikasi halal ini mengingatkan saya akan perkataan Profesor M.

    Amin Abdullah enam tahun lalu. Saat perkuliahan "Pendekatan dalam Pengkajian Islam",

    mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga itu menyatakan, sertifikasi halal selayaknya diberikan

    kepada universitas (perguruan tinggi). Guru besar bidang filsafat Islam itu beralasan, melalui

    pengkajian berbasis integratif-interkoneksi, labelisasi/sertifikasi halal/haram dapat

    dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

    Lebih lanjut, ia menyatakan sertifikasi halal bukan hanya domain ilmu agama. Tapi juga

    berhubungan dengan ilmu-ilmu lain. Pasalnya, dalam menyatakan bahwa daging babi itu

    haram tidak hanya berdasar pada narasi besar dalam teks Al-Quran. Tapi juga perlu

    pengkajian tentang ilmu biologi, kimia, dan gizi. Pengkajian ilmu itu tentu menjadi

    keseharian akademisi di perguruan tinggi.

    Pendapat tersebut tentu sangat beralasan. Pasalnya, jika sertifikasi halal mutlak hanya

    menjadi milik MUI, yang terjadi adalah "monopoli fatwa". Artinya, perspektif kehalalan

    hanya muncul dari satu bidang ilmu. Padahal ilmu tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan

    bidang ilmu lain.

    Monopoli fatwa ini pun cenderung menyeret oknum di dalamnya bersikap tidak independen.

    Mereka akan mudah tergoda oleh banyaknya uang yang digelontorkan pengusaha demi

    mendapatkan stempel halal.

    Uang pun kembali menunjukkan kuasanya. Ia dapat membeli kehendak seseorang. Uang

    mengendalikan alam bawah sadar dan kesalehan menuju pengingkaran keimanan dan

    kemaslahatan (kepentingan orang banyak).

    Oleh karena itu, sudah selayaknya sertifikasi halal tidak hanya menjadi pekerjaan utama

  • 8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014

    42/42

    MUI. MUI seyogianya menyerahkan pengkajian kehalalan kepada perguruan tinggi.

    Sertifikasi halal yang dilakukan oleh perguruan tinggi pun dapat menjauhkan ulama dari

    kepentingan duniawi. Kedudukan ulama dikembalikan sebagai lentara umat. Ia senantiasa

    menerangi dan menyatu dalam nadi kehidupan bermasyarakat.

    Labelisasi ulamasuu'(buruk) pun akan lenyap dengan sendirinya. Pasalnya, ulama jauh dari

    "pekerjaan" yang dapat menyeret mereka ke dalam lembah kenistaan.

    Lebih dari itu, sertifikasi halal merupakan pintu masuk ketenteraman batin umat Islam. Guna

    menjamin itu, meminjam istilah Imam al-Ghazali (w. 1111 M)-dalam merumuskan tujuan

    adanya syariat (maqasid syariah)--aktivitas penghalalan selayaknya juga mencerminkan kerja

    intelektual yang menjamin pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs) dan menjamin optimalisasi kerja

    akal (hifz al-aql).

    Pada akhirnya, dugaan "jual-beli" sertifikasi halal oleh oknum MUI selayaknya menyadarkan

    semua pihak bahwa kehalalan bukan hanya menjadi ranah keagamaan an sich, tapi juga

    berkaitan erat dengan produk keilmuan lain (hajat hidup orang banyak).