caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

download caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

of 31

Transcript of caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    1/31

    Takhta

    Senin, 20 Oktober 2014

    Takhta kelihatan gilang-gemilang, tapi kekuasaan adalah sebuah dilema. Catatan tertua

    tentang itu agaknya bisa dibaca dari kisah Hakim Samuel.

    Dalam Perjanjian Lama, disebutkan bagaimana orang tua ini menyaksikan pengikutnya,

    bangsa Israel, mencoba memilih sebuah sistem politik yang lain setelah sebuah

    penyelewengan terjadi.

    Mereka semula hidup bersama dengan dipimpin penghulu yang disebut "hakim-hakim".

    Samuel adalah hakim penghabisan. Ketika usianya makin lanjut, ia mengangkat dua anaknyayang lelaki menggantikannya. Tapi Yoel dan Abia ternyata mengecewakan. "Mereka

    mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan."

    Mengetahui kejahatan itu, berkumpullah parapinisepuh. Mereka datang kepada Samuel di

    Rama, menyatakan niat untuk mencoba sebuah sistem yang lain: mereka tak ingin lagi

    dipimpin para hakim, mereka ingin menjadikan kebersamaan sosial-politik mereka sebuah

    kerajaan.

    Mereka pun mengajukan semacam petisi kepada Samuel, orang yang mereka hormati tapi

    telah mengecewakan: "Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka

    angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala

    bangsa-bangsa lain."

    Samuel kesal. Tapi ia tak menjawab. Ia mengutarakan isi hatinya kepada Tuhan dalam doa.

    Yang menarik, dalam cerita ini, Tuhan menyatakan Ia tahu ada yang salah dalam permintaan

    bangsa Israel itu, tapi Ia tak hendak mencegahnya. Sebagaimana disebutkan dalam Alkitab,

    Tuhan mengeluarkan firman, menyuruh Samuel meluluskan permintaan itu. "Sebab bukan

    engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak. Mereka tidak menghendaki Aku

    lagi sebagai raja mereka."

    Tak mudah, bahkan tak mungkin, menerka kenapa permintaan perubahan tata kekuasaan itu

    harus dikabulkan. Yang jelas Samuel, hakim tua itu, tahu bahwa hidup tak akan jadi lebih

    mudah.

    Itu juga yang dikemukakannya, mungkin dengan sedikit gerutu, kepada orang-orang Israel

    itu: dengan diangkatnya seseorang jadi raja, penguasa ini akan punya hak memberi titah dan

    orang banyak harus tunduk. Raja itu akan memaksa anak-anak lelaki membajak ladangnya,

    mengumpulkan hasil panennya, membuat senjata-senjatanya dan perkakas kereta perangnya,

    sementara anak-anak perempuan akan dijadikan pembuat minyak wangi atau bekerja sebagai

    tukang masak dan tukang roti baginda. Hidup bersama yang sama rata sama rasa akanberakhir.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    2/31

    Bahkan juga kesetaraan dalam hak milik akan hilang. Raja akan mengambil 10 persen hasil

    gandum dan anggur yang dipanen dan akan diberikannya kepada para pegawai istana.

    Bahkan raja "akan mengambil budakmu, ternakmu yang terbaik, dan keledaimu."

    Betapapun kerasnya peringatan Samuel, bangsa Israel tetap mengangkat seorang raja dan tak

    lagi mengakui otoritas hakim. Mungkin mereka ingat (satu hal yang tak dikatakan pak tua itu)bahwa para hakim juga, seperti terbukti dengan Yoel dan Abia, tak lepas dari kemungkinan

    berbuat sewenang-wenang.

    Namun gagasan mereka untuk mengganti para hakim dengan raja-raja memang bukan sebuah

    reformasi yang radikal. Dalam sejarah bangsa Israel, bahkan Raja Daud (yang dalam tradisi

    Islam dianggap "nabi") terbukti melakukan hal-hal yang cela, hanya berbeda sekian derajat

    dari yang digambarkan Samuel.

    Tapi mungkin malah sebelum Samuel, manusia selalu di persimpangan itu: kedaulatan, atau

    kekuasaan, yang dilambangkan dengan takhta, adalah keniscayaan yang tak membawakepastian. Ia perlu didirikan. Tapi ia mencemaskan. Di luar tata dan takhta itu, selalu

    membayang sesuatu yang Entah.

    Pertanyaan yang tak mudah dijawab: jika ada kesadaran seperti itu, mengapa orang tak

    kembali saja kepada Tuhan, yang menurut Alkitab pernah jadi "raja" mereka?

    Dikatakan bahwa memang kontrak kekuasaan itu tak mereka perpanjang lagi. Bisa diduga

    karena bagi mereka Tuhan yang memberikan hukum adalah Tuhan yang tak terjangkau.

    Sejak mula, bahkan di depan Musa, Ia tak hendak memperlihatkan wajah-Nya. Orang banyak

    itu tak bisa bertanya, apalagi menggugat. Hukum Tuhan senantiasa hanya ditafsirkan orang-

    orang tertentu, yang andai kata lurus hati pun tetap memandang dunia dari seginya yang

    terbatas.

    Dalam hubungan itu tampak bahwa takhta raja-raja--sebuah bangunan kekuasaan pasca-

    Tuhan--mengandung sebuah pengakuan yang tersirat: hukum para raja, yang selalu

    menghendaki pemaksaan, bukan datang bersama apa yang disebut Walter Benjamin sebagai

    "kekerasan ilahiat",gttliche Gewalt. Takhta raja-raja membawa serta "kekerasan

    mithologis", kekerasan untuk menegakkan hukum, sedangkan "kekerasan ilahiat"

    menghancurkan hukum--khususnya hukum yang dianggap berhala dan menuntut ketaatan

    kita. "Kekerasan mithologis" adalah ketika hukum yang dibangun manusia sendiri

    wibawanya ditopang pelbagai mithos buat menunjukkan ia adalah titisan Keadilan yang

    melintasi ruang dan waktu.

    Pengakuan yang tersirat bahwa ia memang tak ada kaitannya dengan Tuhan membuka pintu

    bagi perjuangan keadilan. Pada akhirnya, keadilan adalah sesuatu yang dipergulatkan

    manusia di dunia yang rumit dan fana, bukan tertib yang dihadiahkan dari luar bumi.

    Di dalam proses itu, takhta yang gilang-gemilang itu akan tampak seperti kursi di kedai.

    Posisinya ditentukan dari saat ke saat. Tak istimewa.

    Goenawan Mohamad

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    3/31

    Ruwatan

    Sabtu, 18 Oktober 2014

    Putu Setia

    Mereka datang dengan seragam khas Jawa. Membawa kembang setaman, membawa dua ekor

    ayam: hitam dan putih. Di depan rumah Amien Rais di Condongcatur, Yogyakarta, mereka

    melaksanakan ruwatan. Mbah Sukir berdoa dalam bahasa Jawa, kurang-lebih artinya:

    "Semoga Bapak Amien Rais lepas darisandikolodan kembali bersih. Semoga bangsa ini

    terhindar dari bencana dan segala hal yang tidak baik. Semoga rakyat Indonesia bisa

    sejahtera."

    Saya yang menonton lewat televisi sangat terharu. Apa yang dilakukan Paguyuban

    Masyarakat Tradisi (Pamatri) Yogyakarta ini sungguh mulia. Mendoakan seseorang kembali

    bersih dan mendoakan bangsa terhindar dari bencana. Tetapi kenapa ada polisi, kenapa tak

    ada Amien Rais, tokoh yang diruwat?

    Dari pemberitaan media, saya akhirnya tahu ruwatan itu semacam "aksi demo" untuk Amien

    Rais. Tapi saya mengesampingkan hal itu. Bagi saya, yang sesekali melakukan ruwatan versi

    Bali, ritual itu adalah sakral. Apakah ada hal-hal yang sakral dijadikan guyonan?

    Mendoakan Amien Rais kembali bersih dan lepas darisandikolotentu baik. Sandikolo

    aslinya dari bahasa Jawa Kuno: Sandyakala.Adalah waktu pergantian antara siang dan

    malam yang sering diganggu setan, karena itu wajib memanjatkan doa supaya selamat.

    Sebagai manusia yang masih bergerak di dunia dengan segala aktivitas, tentu kadang bisa

    "kotor", baik dalam berucap maupun bertingkah. Diruwat menjadi "kembali bersih"

    bukankah sesuatu yang agung?

    Doa Mbah Sukir, "bangsa ini terhindar dari segala hal yang tidak baik", saya kira langsung

    disetujui Gusti Allah. Tak sampai 24 jam, presiden terpilih Joko Widodo bisa bertemu

    dengan calon presiden yang kalah, Prabowo Subianto. Prabowo menghormat secara militer,

    sesuai dengan latar belakang hidupnya. Jokowi membungkuk dengan tulus, teladan santun

    para leluhur. Mereka bersalaman, saling dukung, Prabowo memberi ucapan selamat, bahkan

    meminta pendukungnya untuk ikut mendukung Jokowi. Saya berpendapat kejadian ini

    termasuk hasil ruwatan Mbah Sukir--untuk yang berbeda pendapat silakan menertawakan

    saya.

    Saya sering merenung--terutama di kala baterai handphonelemah dan tak bisa nge-tweet--

    bangsa ini perlu melakukan ruwatan secara massal dan berjadwal. Katakanlah setahun sekali,

    pilih hari yang sudah disaktikan, semisal Hari Pahlawan, Hari Kemerdekaan, Hari

    Kebangkitan Nasional, atau memang diadakan Hari Ruwatan. (Ide terakhir itu mohon tak

    disebut sinting). Tentu ruwatan itu dicarikan esensinya, yakni merenungi kekotoran kita

    selama ini, misalnya, apakah benar kita memihak rakyat sementara kita berebut jabatan

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    4/31

    dengan mengorbankan hak rakyat. Apakah benar kita mendirikan partai yang modern,

    padahal yang jadi pengurus inti adalah anak-anak kita. Dan contohnya bisa banyak.Nah,

    kekotoran itu kita bersihkan dengan jalan ruwatan. Tak perlu ayam hitam dan ayam putih.

    Cukup duduk bersama dalam sebuah dialog yang tulus. Siapa tahu ruwatan bisa

    mempertemukan dua tokoh yang selama sepuluh tahun tak pernah ngobrol.Gaya Jokowi adalah ciri khas "peruwat sejati". Dengan kebersihan hati, dia temui "lawan-

    lawannya" memakai baju putih, tanpa membawa ayam putih. Ternyata "setan-setan

    sandikolo" bisa kabur. Prabowo yang selama ini dikesankan kaku, marah melulu, tak

    menghormati tamu, ternyata lain. Jangan-jangan memang dari dulu kesantunan Prabowo

    ditutupi "setansandikolo".

    Besok Jokowi dilantik sebagai presiden. Mari momentum ini kita jadikan ruwatan massal,

    berpikir jernih hanya untuk kesejahteraan masyarakat, seperti doa Mbah Sukir di rumah

    Amien Rais. Amin.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    5/31

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    6/31

    hadapan dengan kebijakan pemerintah Australia bila kedaulatan direndahkan dan dilanggar.

    Keempat, pemerintah Jokowi-JK harus mewujudkan janjinya agar negara hadir ketika warga

    menghadapi masalah hukum. Pemerintah Jokowi-JK harus berkonsentrasi dalam memberi

    perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia. Namun, dalam memberi perlindungan, pemerintahJokowi-JK harus proporsional. Sebagai contoh, pembayaran diyat oleh negara harus

    dihentikan. Pembayaran diyatoleh negara, di samping menguras APBN, justru menyuburkan

    mafia diyat.

    Pembayaran diyatbukanlah tanggung jawab negara, melainkan TKI yang menjadi pelaku

    pembunuhan atau keluarganya. Pemerintah, sesuai dengan tugasnya, hanya memfasilitasi

    agar terjadi pertemuan antara keluarga korban dan pelaku.

    Berikutnya, pemerintah Jokowi-JK harus dapat mengimplementasikan ide diplomat sebagai

    pemasar produk asal Indonesia. Di sini dibutuhkan upaya untuk mengubah kerangka berpikir

    para diplomat. Para diplomat, selain menjalankan tugas rutinnya, harus memiliki kemampuan

    untuk menjadikan perwakilan Indonesia sebagai unit perdagangan luar negeri. Pengalaman

    Jepang dapat dijadikan rujukan.

    Perekonomian Jepang, yang sangat bergantung pada pasar luar negeri, telah lama membentuk

    unit yang ada di hampir semua negara, yaitu Japan External Trade Organisation (JETRO).

    JETRO memfasilitasi para pelaku usaha Jepang untuk melakukan penetrasi pasar di

    mancanegara dan membantu mereka mendapatkan mitra lokal.

    Sebagai pemasar produk asal Indonesia, perwakilan diharapkan dapat melakukan fungsi

    layaknya JETRO. Mereka diharapkan dapat membantu pelaku usaha dan badan usaha milik

    negara (BUMN) dalam menggarap pasar luar negeri.

    Peran perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai unit yang memasarkan produk asal

    Indonesia diharapkan berdampak dua hal. Pertama, pelaku usaha Indonesia dapat

    menghasilkan produk yang berstandar internasional. Kedua, penetrasi pasar luar negeri atas

    produk asal Indonesia akan membuka lapangan pekerjaan di Indonesia, di samping

    menyumbang devisa negara.

    Keenam, pemerintah Jokowi-JK harus berupaya keras mendukung proses kemerdekaan

    Palestina. Dukungan atas Palestina merdeka disampaikan oleh Jokowi saat debat calon

    presiden. Dukungan ini mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia.

    Terakhir, kebijakan luar negeri harus disinergikan untuk mewujudkan visi Poros Maritim,

    yang telah dicanangkan oleh Jokowi-JK. Implementasi visi Poros Maritim bersinggungan

    dengan banyak sektor. Poros Maritim tak semata urusan luar negeri. Di sinilah pentingnya

    sinergi kebijakan luar negeri dengan sektor lain dalam mewujudkan visi besar Poros Maritim.

    Dalam menjalankan kebijakan luar negeri, pemerintah Jokowi perlu ditopang dengan

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    7/31

    anggaran yang memadai. Bila tidak, kebijakan luar negeri sulit diimplementasikan.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    8/31

    Mengantisipasi Masyarakat EkonomiASEAN

    Senin, 20 Oktober 2014

    Lana Soelistianingsih, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Kepala Ekonom PT

    Samuel Aset Manajemen

    Per 1 Januari 2015 mendatang, jika tidak ada perubahan, Indonesia memasuki era

    perdagangan yang semakin bebas dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

    Indonesia sudah menandatangani perjanjian bebas dalam ASEAN-China Free Trade

    Agreement (ACFTA) pada 1 Januari 2010. Namun, dalam MEA ini, aliran bebas tidak hanya

    untuk perdagangan barang, tapi juga aliran jasa, tenaga kerja, investasi, modal, dan

    perbankan. Perbankan secara khusus mulai merasakannya pada 2020. Layaknya kerja sama

    regional, MEA bermanfaat bagi konsumen melalui variasi serta volume barang yang semakin

    besar dan persaingan harga.

    Meski demikian, di sisi produsen, persaingan yang meningkat membuat margin keuntungan

    perusahaan turun dan memicu bangkrutnya perusahaan. Peta Indonesia dalam MEA sangat

    penting dari sisi luasnya pasar. Dengan jumlah penduduk 245 juta orang, dengan angka kelas

    menengah yang terus meningkat, ditambah penduduk usia produktif yang mencapai 70 persendari total penduduk, Indonesia menjadi potensi permintaan yang besar. Tapi, jika dilihat dari

    sisi produksi, produsen Indonesia tidak mempunyai daya saing tinggi yang siap berkompetisi

    dengan produk sejenis asal ASEAN.

    Indonesia menjadi negara dengan inflasi tertinggi di ASEAN 5. Pada Agustus 2014, inflasi

    Indonesia mencapai 3,99 persenyear-on-year(yoy). Sedangkan inflasi Thailand 2,09 persen,

    Malaysia 3,3 persen, Singapura 0,9 persen, dan Filipina 4,9 persen. Tingginya inflasi

    mencerminkan tingginya biaya produksi. Infrastruktur yang belum memadai membuat biaya

    distribusi barang dari dan menuju pabrik menjadi mahal. Menurut Bank Dunia, biaya logistik

    di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, mencapai 17 persen dari biaya produksi.

    Biaya peminjaman juga mahal. Rata-rata suku bunga pinjaman di Indonesia 11,7 persen.

    Bandingkan dengan suku bunga pinjaman di Thailand yang sebesar 7 persen, Malaysia 4,6

    persen, Singapura 5,4 persen, dan Filipina 5,8 persen. Ekonomi biaya tinggi masih menjadi

    kendala sektor produksi di Indonesia.

    World Economic Forum dalam survei Doing Business menyebutkan lima kendala yang

    mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Kelima kendala itu adalah tingginya korupsi,

    inefisiensi birokrasi, infrastruktur yang tidak memadai, tumpang-tindihnya kebijakan pusat

    dan daerah, serta mahalnya biaya peminjaman. Kelima kendala tersebut juga terjadi dalam

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    9/31

    proses produksi.

    Selain sektor barang, sektor jasa dan aliran bebas lainnya akan terseok-seok saat menghadapi

    persaingan dalam MEA. Yang menjadi pertanyaan: Apakah Indonesia perlu menetapkan

    keikutsertaan dalam MEA mulai 1 Januari mendatang atau menundanya? PengalamanACFTA menunjukkan neto perdagangan Indonesia-ASEAN yang semula mencatatkan

    surplus untuk Indonesia menjadi defisit mulai 2011 hingga sekarang. Perdagangan bebas

    membuat tekanan impor semakin besar, padahal impor masih menjadi problem struktural

    perekonomian Indonesia.

    Indonesia merupakan salah satu inisiator pembentukan MEA yang disepakati dalam

    Deklarasi ASEAN Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003. Mempersiapkan produsen untuk

    menyambut MEA sekarang sudah terlambat. Namun, menyadari pentingnya persaingan yang

    setara dan masih lemahnya kesiapan produsen, diperlukan strategi "menunda untuk maju".

    Kemungkinan mundur dari keikutsertaan MEA merupakan hal yang lumrah. Ikatan dalam

    MEA bersifat kesukarelaan.

    Kemungkinan menunda keikutsertaan tampaknya sudah menjadi pertimbangan pemerintah

    Jokowi-JK. Baru sekitar 31 persen dari sektor industri manufaktur yang bisa dikatakan

    berdaya saing. Keputusan menunda merupakan hak setiap anggota ASEAN. Saat ini baru dua

    negara yang menyatakan siap, yaitu Malaysia dan Singapura. Penundaan semestinya diikuti

    dengan rencana matang mempersiapkan produsen maju bersaing.

    Rencana program kerja Jokowi-JK untuk merealokasi subsidi BBM dan menjadi sumber

    pembiayaan investasi, khususnya infrastruktur, bisa menjadi langkah awal strategis untuk

    mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perbaikan standardisasi produk-produk yang masuk ke

    Indonesia juga bisa diperluas dengan penggunaan bahasa Indonesia pada label produk.

    Sementara itu, aliran jasa dan ketenagakerjaan dapat disinergikan dengan perbaikan

    kurikulum yang berstandar internasional, atau setidaknya standar ASEAN. Masih banyak

    perbaikan teknis yang bisa dilakukan dalam lima tahun ke depan untuk mempersiapkan

    Indonesia sebagai produsen yang berdaya saing, sehingga MEA akan menjadi potensi

    pengembangan ekonomi, bukan sebagai ancaman.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    10/31

    Presiden Jokowi

    Selasa, 21 Oktober 2014

    Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

    Jokowi adalah suatu perayaan atas terwujudnya kehendak orang banyak, yang dalam bahasa

    eksotis disebut rakyat. Bukan sekadar bagi 50 persen lebih rakyat yang telah mencoblosnya

    dalam pemilihan presiden, melainkan juga rakyat yang kurang dari 50 persen yang telah

    mencoblos calon presiden lain.

    Jika hanya mengacu pada angka, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan besar. Justrukarena itu perayaan yang berlangsung bukanlah perayaan atas kemenangan suatu pihak

    terhadap pihak lain, melainkan kemenangan pihak mana pun--jadi bukan sekadar kedua belah

    pihak--yang menghendaki, mendorong, memberlangsungkan, mengesahkan, maupun

    mendoakan, agar sampai kepada pencapaian pada 20 Oktober 2014 hari ini: pelantikan

    seorang presiden terpilih dalam suatu pemilihan yang diikuti oleh rakyat dengan sangat

    bergairah.

    Sejauh yang bisa diingat, dicatat, dan diperiksa, gairah rakyat terhadap pemimpin tertinggi

    pada awal kepemimpinannya yang seperti ini baru terjadi pada Bung Karno. Saya sebetulnya

    menganggap gairah rakyat terhadap Gus Dur juga tinggi, tapi proses politik yang

    membawanya ke kursi kepresidenan adalah rekayasa tingkat tinggi, dan begitu pula proses

    jatuhnya dari kursi itu, sehingga rakyat hanya bisa berperan sebagai penonton.

    Proses yang menyamakan kehadiran Bung Karno dengan Jokowi adalah momentum sosial-

    historis yang membawa rakyat untuk berperan. Namun posisi rakyat dalam peran keduanya

    sungguh berbeda: Bung Karno adalah pemimpin yang didukung rakyat, Jokowi adalah

    pemimpin yang mendukung rakyat. Bung Karno, dengan segala bakat alamiahnya yang

    spektakuler, memimpin di depan dan diikuti oleh rakyat, Jokowi dengan segala

    kebersahajaannya mengikuti kehendak rakyat dari belakang, dan hanya untuk eksekusinyamaka harus berada di depan.

    Perbedaan keduanya jelas: meski bergelar insinyur, Bung Karno memilih politik; Jokowi juga

    bergelar insinyur, tapi dengan kesadaran sepenuhnya memilih berjualan mebel. Segenap

    riwayat Jokowi yang berhubungan dengan kursi kekuasaan tidak menunjukkan indikasi

    ambisi. Sejak awal, sebetulnya Jokowi adalah orang yang hanya didorong-dorong. Jokowi

    bukanlah jenis pemimpin yang ngibul(baca: piawai menciptakan kesan), melainkan orang

    yang hasil kerjanya mengesankan.

    Perhatikanlah betapa wagu(bahasa Jawa: ganjil) Jokowi itu jika mengenakan jas dan dasi,

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    11/31

    begitu pula jika apa boleh buat harus mengenakan segala "baju kebesaran" sebagai wali kota

    dan gubernur--dan Jokowi tidak pernah berhasil ngibuldi situ: sekali wagu tetap wagu.

    Sebaliknya, bagi saya, betapa mengesankan Jokowi ketika ia berada di lapangan dengan

    "baju biasa" dan lengan bajunya tergulung agar lebih leluasa bergerak.

    Lengan baju yang tergulung ini tidak sekadar bermakna simbolis seperti dalam ungkapan

    bahasa "menggulung lengan baju", melainkan karena bagaimana seorang pemimpin akan

    dapat bekerja secara optimal, jika lebih mementingkan citra diri, sebagai salah kaprah

    pemahaman atas konsep kehormatan, yang telah menjerumuskan bangsa ini dalam korupsi

    moral-mental-material selam berpuluh tahun-yang sungguh terlalu mahal bayarannya.

    Jokowi bukan produk pencitraan kosong, karena citra yang terbentuk sekarang telah teruji

    berkali-kali dalam berbagai usaha penghancurannya. Kita memang tidak bisa mengingkari

    bahwa citra adalah tetap citra, tapi syarat untuk membuatnya tahan uji, yakni lebih banyak

    kecocokan daripada kibul-nya, terpenuhi oleh Jokowi, melalui penanda-penanda yang

    sungguh berbeda sama sekali.

    Bangsa Indonesia akan segera mengalami bagaimana seorang pemimpin itu bisa saja tidak

    usah pura-pura berwibawa, kalau berbicara tidak usah menggunakan bahasa tinggi, karena

    caranya berpikir yang memang lebih cenderung praktis-realistis ketimbang teoretis-idealistis,

    dan seperti selama ini dibuktikannya, akan lebih banyak meminta (bukan minta-minta)

    daripada memerintah. Persuasi, itulah kata kunci keberhasilan Jokowi. Pengalaman sebagai

    pedagang pun membuat ia sulit dikibulipedagang lain.

    Sebagai pemimpin, sudah dibuktikannya bagaimana ia akan menghindari konflik, karena

    memang bukan kemenangan dan apalagi arogansi kekuasaan yang penting, melainkan agar

    tujuan bersama, yakni kebaikan bagi sebanyak mungkin orang, sebisa mungkin tanpa

    merugikan siapa pun, bisa tercapai.

    Apakah ini berarti Jokowi adalah pemimpin lemah yang bisa diinjak-injak? Saya ingat

    komentarnya tentang para aktivis yang hilang: "Tidak bisa hilang begitu saja, harus dicari

    kejelasannya." Sedangkan dari arena debat, saya ingat kalimat: "Jangan dikira saya ini tidak

    bisa tegas. Saya juga bisa tegas." Meski diucapkan dengan nada datar, saya menyarankan

    agar tidak terlalu perlu untuk mencoba-coba mengujinya.

    Peluang Jokowi adalah juga peluang Indonesia, marilah kita mendukungnya dengan segenap

    daya kritis kita. *

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    12/31

    Artis dan Priayi

    Selasa, 21 Oktober 2014

    Heri Priyatmoko,Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM

    Kemarin, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina menikah. Ritual pernikahan mereka ditayangkan

    oleh stasiun televisi Trans TVselama belasan jam. Media yang menyiarkan dinilai telah

    menyalahgunakan kuasanya dalam mengelola frekuensi publik. Banyak pula orang yang sinis

    terhadap acara resepsi mewah pasangan artis itu.

    Dalam prosesi pernikahan khas Jawa tersebut, terpapar dua fakta menarik: pernikahan sesamaartis dan pamer kemewahan. Fenomena ini sebenarnya tidak asing dalam panggung sejarah

    Jawa. Tempo doeloe, tatanan suatu pernikahan menjadi kesepakatan sosial di dalam

    masyarakat Jawa. Terdapat aturan tidak tertulis atau mengarah ke mitos bahwa golongan

    bangsawan dilarang menikah dengan kaum saudagar. Kelas sosial mengatur pasangan hidup

    seseorang sedemikian rupa.

    Hasil riset tesis saya tentang sejarah kehidupan priayi-seniman Kota Solo menunjukkan

    bahwa hubungan pertalian darah antara anggota seniman terbentuk dari hasil perkawinan

    antara sesama keluarga priayi-seniman. Selain menjaga status sosial agar tidak melorot,

    pernikahan endogami sengaja dilakukan demi membatasi kemungkinan keluar dan

    berpindahnya anggota mereka ke komunitas lain. Di samping itu, orang luar sulit bergabung

    dengan kelompok para niyagayang mengabdi pada Keraton Kasunanan ini.

    Mudah ditebak, mereka yang bermukim di lingkungan tersebut secara genealogis masih

    sederek(saudara). Leluhurnya yang hidup pada permulaan abad XVIII sama-sama memiliki

    pertalian darah atau satu trah. Sebagai contoh, keluarga empu karawitan terkemuka

    Mlayawidada punya ikatan persaudaraan dengan keluarga maestro tari tradisional Jawa S.

    Ngaliman. Famili seniman Warsapangrawit ijik waris(masih bersaudara) dengan keluarga

    Turahyo, pengrawit andal Radio Republik Indonesia.

    Dalam peradaban priayi, pernikahan dipandang bukan sekadar urusan membangun rumah

    tangga bagi yang dikawinkan, melainkan juga bertemunya dua buah keluarga. Sedapat

    mungkin pernikahan harus mendukung lapisan sosial yang telah terbangun. Sekeping fakta

    apik termuat dalam bukuBiografi Sadinoekarangan mantan Kepala Taman Budaya

    Surakarta, Murtidjono (2004). Ditulis, "anakpenewuharus berjodoh dengan anakpenewu.

    Syukur kalau mendapat yang lebih bobot! Bukannya aku mau menolak atau sok merasa

    besar, tapi hanya mengikuti petuah nenek-moyang kita: bobot-bibit-bebet."

    Hajatan perkawinan digelar penuh gebyar dan serba wah. Tuan rumah mengundang tamu

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    13/31

    sebanyak mungkin. Mereka dihibur tayuban semalam suntuk dan disuguhi minuman jenewer

    yang memabukkan. Acara tersebut jadi ajang pamer sekaligus tolok ukur seberapa terkenal

    dan terhormat empunya rumah. Tidak masalah meski boros dan modalnya dari hasil utangan

    kantor kerajaan, nanti tinggal potong gaji setiap bulan. Bagi mereka, menjaga kehormatan

    priayi dan gengsi sosial merupakan hal pokok.

    Demikianlah gambaran mental priayi yang tak jauh berbeda dengan artis, kendati waktu telah

    bergulir seabad silam. Celakanya, mental atau gaya hidup priayi yang boros dan suka pamer

    kemewahan ditiru oleh masyarakat umum, juga dalam rangka mencari wah.Sehabis

    mengadakan hajatan, tidak sedikit dari mereka malah jatuh miskin, menanggung utang,

    kehilangan pekarangan, dan mengeluh sewaktu bergantian menyumbang. Kenyataan ini

    diringkas dalam idiom Jawa:gegedhen empyak kurang jagak. *

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    14/31

    Politik Harapan

    Selasa, 21 Oktober 2014

    Munawir Aziz, Peneliti, Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

    Indonesia mencatat sejarah penting dengan tampilnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai

    presiden. Momentum 20 Oktober 2014 menjadi penanda tentang tampilnya nakhoda baru,

    yang akan menjadi dirigen gerak transformasi bangsa ini. Jokowi menjadi presiden kelima

    pada era Reformasi. Ia tidak saja menggenapi dekade kedua masa Reformasi dengan politik

    yang merakyat, tapi juga mengajak warga negeri ini melakukan revolusi mental.

    Lalu, apa sejatinya yang dapat dimaknai dari pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) sebagai

    nakhoda baru pemerintahan Indonesia? Jokowi memang bukan tipikal pemimpin yang

    terbiasa dengan orasi menggebu maupun pidato ilmiah dengan narasi teoretis. Jokowi

    bukanlah sosok seperti itu, ia belum terbiasa dengan gaya diplomasi santun dan berhati-hati,

    yang selama ini dipraktekkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ataupun gaya Presiden

    Gus Dur yang dikenang sepanjang zaman. Jokowi memainkan gaya berbeda, yang sangat

    khas dengan olah rasa dan sapaan hangatnya kepada rakyat kecil.

    Jokowi sejatinya memainkan formasi penting untuk mengakselerasi visi politiknya. Ia dengan

    sekuat tenaga menerjemahkan "politik harapan". Jokowi, dengan latar belakang keluarga

    maupun basis akademiknya, merepresentasikan harapan-harapan politik bagi warga negeri

    ini.

    Kemunculan Jokowi di panggung politik negeri ini mencengangkan banyak pihak. Ia

    sebelumnya, "bukan siapa-siapa" dalam narasi politik Indonesia. Pria kelahiran Solo, 21 Juni

    1961 ini, bahkan tidak tercatat pergerakan dan perannya pada momentum Reformasi 1998.

    Padahal, di Solo, ketika rezim Soeharto runtuh, juga terjadi amuk massa dan kekerasan yang

    menyebabkan orang-orang Tionghoa menjadi korban. Inilah yang sering menjadi pertanyaan

    banyak orang: di mana dan bagaimana kisah Jokowi pada awal masa reformasi?

    Jokowi melesat sebagai pemimpin perubahan ketika ia bersama F.X. Hadi Rudyatmo

    menangani Kota Solo sejak 2005. Di kota yang menyimpan sejarah panjang kekuasaan

    Surakarta, Mataram, dan Pajang ini, Jokowi mampu menyita perhatian publik. Di tangan

    Jokowi, Solo menata diri menjadi kota yang nyaman, ramah pengunjung, dan hijau. Ruang-

    ruang publik di Solo sangat nyaman bagi warga kota ini, maupun bagi pengunjung. Prestasi-

    prestasinya kemudian dicatat dengan beragam penghargaan nasional.

    Kemudian, Jokowi bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi pemimpin di Ibu Kota

    setelah memenangi pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Pasangan Jokowi-Ahok

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    15/31

    mampu memberi harapan bagi warga Jakarta, dengan beragam program kerja cepat: Waduk

    Pluit, Riario, normalisasi sungai, dan pembenahan transportasi. Selain itu, Kartu Jakarta

    Sehat dan Kartu Jakarta Pintar menjadi pendamping dalam mendongkrak kesejahteraan bagi

    warga Jakarta.

    Saat ini, warga Indonesia akan melihat Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemimpin bangsa.

    Visi revolusi mental yang sering dikampanyekan Jokowi sejatinya menjadi pelatuk harapan,

    agar warga negeri ini optimistis kembali terhadap masa depannya. Dengan program dan

    kebijakan strategis, Indonesia akan menjadi lebih baik, kuat di internal warganya dan mampu

    bersaing dengan negara di Asia. Politik Jokowi adalah politik harapan, ia menajamkan

    semangat untuk berkarya. *

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    16/31

    Presiden dan Musik

    Rabu, 22 Oktober 2014

    Denny Sakrie, Pengamat Musik

    Belakangan ini, banyak yang berceloteh bahwa kesukaan Jokowi terhadap musik rock adalah

    skenario pencitraan belaka, seperti yang dilakukan Stan Greenberg, sosok yang menjadi

    konsultan yang memoles sosok Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat yang kerap

    ditampilkan piawai bermain saksofon. Jokowi pun kabarnya dipoles sedemikian rupa oleh

    Greenberg sebagai sosok penggemar musik rock sejati.

    Seperti yang kita ketahui, sesungguhnya, sejak menjabat Bupati Solo, Jokowi memang telah

    sering terlihat dalam berbagai konser rock, baik skala lokal maupun internasional. Jokowi

    terlihat di antara kerumunan penonton konser Lamb of God, Judas Priest, Sting, Guns N

    Roses, dan Metallica.

    Sosok Jokowi sebagai seorang metalheadmerupakan pemandangan baru di Indonesia

    ataupun dunia, karena tak lazim seorang pejabat menyukai musik rock, yang selalu dikaitkan

    dengan kredo kebebasan dan anti-kemapanan. Tak mengherankan, ketika Jokowi dinyatakan

    menang dalam pilpres 2014, ucapan selamat pun berdatangan dari para pemusik rock dunia di

    jejaring sosial, dari Facebook hingga Twitter, seperti Sting, gitaris Guns N Roses Ron Thal,

    band Arkarna, dan banyak lagi.

    Tapi Jokowi tak sendiri. Di belahan dunia sana, ada Perdana Menteri Rusia Dmitri Medvedev

    yang juga menggemari musik rock. Ia menggemari band yang nyaris sama dengan yang

    disukai Jokowi, yaitu Black Sabbath, Deep Purple, dan Led Zeppelin. Kesamaan lain,

    keduanya generasi yang dilahirkan pada era 1960-an, yang kemudian mengisi masa remaja

    pada era 1970-an dengan musik-musik rock 1970-an. Keduanya pun punya tekad yang nyaris

    sama: memberantas korupsi dan ingin melakukan perubahan.

    Sejak duduk di bangku SMP, Jokowi kerap terlihat menyambangi markas Trenchem, band

    rock era 1970-an di Solo. Dalam bukuPemimpin Rakyat Berjiwa Rockeryang ditulis Yon

    Thayrun, Jokowi pun berucap, "Musik rock adalah kebebasan. Musik rock itu liriknya liar,

    tegas semangat, dan mampu mendobrak perubahan."

    Tentunya ada sebersit harapan yang menguak saat Jokowi yang menggemari musik rock ini

    akhirnya terpilih sebagai presiden. Saya sendiri memang menaruh harapan terhadap para

    pemimpin yang memiliki ketertarikan kepada dunia musik. Sebagai cabang seni yang

    merepresentasikan ekspresi, musik boleh jadi akan menginspirasi para pemimpin dalam

    menjalankan konsep dan pola kepimpinannya.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    17/31

    Beberapa presiden Indonesia yang memerintah sebelum Jokowi juga memiliki keterkaitan

    dengan musik. Presiden Sukarno, yang dengan semangat berkobar hendak membangkitkan

    supremasi budaya kita, adalah seorang pianis dan penggubah lagu Bersuka Riadalam

    albumMari Bersuka Ria dengan Irama Lenso(1965) serta membentuk grup musik The

    Lensoist dan melakukan muhibah ke beberapa negara. Presiden Gus Dur menyukai musikklasik dan menggemari ratu blues rock Janis Joplin.

    Dan, yang paling menyita perhatian adalah Presiden SBY, yang di masa pemerintahannya

    masih sempat meluangkan waktu menulis lagu serta menghasilkan lima album rekaman.

    SBY, yang di masa mudanya pernah menjadi pemain bas, kerap menuai kritik karena merilis

    album begitu banyak dalam kondisi yang tidak tepat.

    Lalu bagaimana dengan Jokowi yang oleh para penikmat musik dikukuhkan sebagai seorang

    penggemar musik metal? Harapan memang banyak digantungkan pada pundak Jokowi sesuai

    dengan perangai musik yang digandrungi: tegas, lugas, dan anti-kemapanan.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    18/31

    Lengser Keprabon Madeg Pandhita

    Rabu, 22 Oktober 2014

    Musyafak, Staf di Balai Litbang Agama Semarang

    Tujuh belas tahun silam, tepat pada 20 Oktober 1997, Soeharto, sang prabu Orde Baru,

    menyatakan dirinya hendak lengser keprabon madeg pandhita. Sang prabu bermaksud

    melepaskan jabatannya sebagai presiden, kemudian menjadi seorang pendeta. Keinginan

    makzul itu disampaikan di hadapan pengurus partai beringin yang ditanam dan dirawat sang

    prabu hingga tumbuh besar. Namun sang prabu tetap dicalonkan sebagai presiden oleh

    partainya. Pada 10 Maret 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat menobatkan kembali sangprabu sebagai presiden ketujuh kalinya, meski akhirnya penolakan rakyat terhadapnya kian

    masif, yang memaksanya mundur jabatan pada 21 Mei 1998. Sang prabu itu tak lain adalah

    Pak Harto.

    Ungkapan lengser keprabon mandeg pandhitaitu tak mudah dimaknai, sekalipun oleh orang

    Jawa. Sebab, sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, tak ada pakem yang mengatur kapan

    seorang raja mesti turun takhta. Kecuali keikhlasan untuk mewariskan kekuasaan kepada

    anak-cucu keturunannya, makzulnya sang raja lumrahnya terjadi karena kekerasan, perang,

    atau tipu daya politik. Namun, di masa krisis politik itu, Pak Harto, yang njawani,berupaya

    mendekonstruksi ungkapan lengser keprabonsebagai laku meninggalkan takhta secara

    sukarela untuk kemudian hidup di pertapaan sebagai begawan yang mulia nan bijaksana

    (madeg pandhita). Begawan atau pendeta cuma akan berperan memberi nasihat seperlunya

    kepada penguasa berikutnya.

    Tapi tafsir lain pun muncul di tengah gelombang reformasi penjungkiran Orde Baru. Emha

    Ainun Nadjib, dalam wawancaranya dengan Tempo(Edisi 34/2-25 Oktober 1997),

    menengarai hal itu sebagai sandiwara yang diciptakan Pak Harto agar terkesan bahwa dia

    diminta kembali oleh rakyat melalui MPR untuk memimpin bangsa Indonesia. Adapun

    Golkar, yang mencalonkannya kembali, adalah satu adegan untuk meyakinkan publik bahwaPak Harto masih dikehendaki oleh rakyat.

    Itu riwayat Pak Harto, yang selepasnya lengser keprabonentah dianggap sebagai begawan

    atau tidak. Hari ini tafsir rakyat tentang itu tentu lain-lain.

    Pada 20 Oktober ini, SBY lengser keprabonsecara konstitusional. Joko Widodo naik takhta

    kepresidenan setelah dipilih rakyat pada pilpres 9 Juli lalu. Terlepas dari prestasi dan

    berbagai kritik pedas terhadapnya, rakyat ingin SBY madeg pandhitasetelah lengser

    keprabon.SBY diidamkan menjadi seorang pendeta atau begawan politik untuk memberi

    nasihat-nasihat kepada Joko Widodo supaya mampu memimpin bangsa dengan baik. Bahkan

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    19/31

    SBY dielu-elukan sebagai tokoh yang potensial mencairkan ketegangan antara Koalisi

    Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih (KMP).

    Pengidaman SBY sebagai begawan tentunya tak kalis dari pandangan-pandangan pesimistik.

    Pertama, posisi SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat akan menuntutnya berperan aktifdalam politik. Jabatan kepartaian itu takkan mengizinkan SBY bertapa di "kesunyian" dan

    hanya "turun gunung" ketika keadaan sudah genting. Kedua, selama ini SBY dinilai publik

    kerap melakukan sandiwara politik. Dari pernyataan politik SBY yang netral (tidak berpihak

    kepada KIH ataupun KMP) ketika pemilu, drama walk-outsidang pengesahan UU Pilkada,

    sampai drama Perppu Pilkada langsung di ujung jabatannya.

    Mampukah SBY lengser keprabon madeg pandhita? Waktu yang akan menjawabnya. *

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    20/31

    Evaluasi Kebijakan Perumahan Swadaya

    Rabu, 22 Oktober 2014

    Atantya H. Mulyanto, Pengamat Kebijakan Publik, President & Chief Executive Officer PT

    Survindo Putra Pratama

    Sampai 2014 ini, pemerintah mengakui kesulitan memenuhi kebutuhan hunian bagi

    masyarakat jika distribusi pendapatan dan perekonomian masih terpusat di Jakarta. Hingga

    kini, tingkat kekurangan pasok atau backlogperumahan sedikitnya mencapai 15 juta unit, dan

    hal itu dikhawatirkan membawa Indonesia ke krisis perumahan (Kemenpera, 30/8/2014).

    Indonesia Property Watch (IPW) mencatat jumlah backlogatau kurangnya pasokan rumahjauh di bawah kebutuhan riil, pada 2014 diperkirakan mencapai 21,7 juta unit rumah.

    Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, angka backloghanya mencapai 13,6 juta.

    Indonesia akan terus mengalami backlogperumahan selama pendistribusian pendapatan tidak

    merata, harga tanah tidak bisa dikendalikan, penghasilan masyarakat tidak terjangkau, serta

    perizinan pembangunan perumahan dipersulit oleh pemerintah daerah. Dengan tingkat

    pertumbuhan keluarga baru Indonesia yang rata-rata 800 ribu per tahun, dibutuhkan

    tambahan rumah baru yang setara. Dengan tingkat kemampuan penyediaan rumah oleh

    swasta rata-rata hanya 300-400 ribu unit rumah per tahun, peran pemerintah amat sangat

    diharapkan untuk menutup defisit antara demanddansupplyperumahan ini.

    Terdapat beberapa sebab belum tercapainya penyediaan jumlah rumah sesuai dengan

    kebutuhan. Antara lain, pertama, problem tata kelola pemerintah yang belum optimal, yakni

    dalam hal koordinasi di antara kementerian/lembaga serta terkait dengan kebijakan/program

    skema subsidi, baik yang diwujudkan dalam bentuk rumah tapak maupun rumah susun bagi

    masyarakat berpenghasilan rendah.Backlogbertambah bila pemerintah tidak segera membuat

    terobosan kebijakan yang mampu "merumahkan" masyarakat.

    Kedua, kegagalan dan kesalahan regulasi. Harus diakui, pemerintah selama ini gagalmemenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat. Kegagalan itu terjadi sejak menyusun

    regulasi yang menyulitkan masyarakat memiliki rumah, seperti pasal pembatasan ukuran

    rumah minimal 36 meter persegi (m2) serta lima tahun terakhir mengubah pola subsidi uang

    muka pembelian rumah menjadi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang

    tidak memiliki benchmarking dan best practicedi dunia.

    Sila Kelima Pancasila mendekatkan landasan ideologi kebijakan perumahan seperti yang

    diterapkan di negara-negara kesejahteraan. Negara menjamin terpenuhi kesejahteraan rakyat

    dengan terpenuhinya kebutuhan perumahannya secara layak dan terjangkau. Indonesia sudahmengalami berbagai bentuk kebijakan perumahan, tapi belum berkembang secara memadai

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    21/31

    dan terlembagakan dengan baik.

    Tantangan pemenuhan ragam bentuk kebutuhan perumahan rakyat terus berkembang. Namun

    pasar perumahan tidak kunjung dapat diregulasi secara efektif. Pada 1974, dengan

    dibentuknya Perumnas sebagai pengembang perumahan plat merah (baca sektor publik) danditugaskannya Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bank perumahan, tampaknya

    pemerintah mulai meletakkan kebijakan perumahan umum. Dalam perjalanannya, kebijakan

    perumahan umum di Indonesia tidak berkembang alias bantet.Istilah perumahan umum saja

    pun menjadi aneh terdengarnya.

    Pada 2013, diterbitkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 6/2013 tentang Bantuan

    Stimulan Perumahan Swadaya. Visinya adalah pemerintah memberikan bantuan stimulan

    berupa bahan material kepada MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) untuk membantu

    meningkatkan kualitas rumah dari RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) menjadi RLH (Rumah

    Layak Huni). Adanya peraturan ini memberikan payung hukum agar penyaluran bantuan bisa

    lebih tepat sasaran yang pada gilirannya akan mendorong kemampuan masyarakat untuk

    memiliki rumah layak huni.

    Dalam pelaksanaannya, menurut pengalaman penulis yang mendampingi realisasi program

    ini di lapangan, menemukan beberapa kelemahan. Pertama, banyak penerima bantuan

    stimulan berupa bahan material, yang kemudian menjualnya. Akibatnya, tujuan perbaikan

    rumah tak terealisasi. Kedua, banyak penerima bantuan stimulan yang tidak mampu

    memanfaatkannya untuk perbaikan rumah, karena ketiadaan tukang bangunan yang mampu

    mengerjakannya.

    Artinya, ada kelemahan konsep di belakang SK Menteri Perumahan Rakyat tentang Bantuan

    Stimulan Perumahan Swadaya. Kelemahan itu antara lain konsep perbaikan rumah untuk

    masyarakat berpenghasilan rendah. Konsep ini mengandaikan semua calon penerima bantuan

    mampu memperbaiki rumah, dengan kesiapan tukang dan desainnya. Padahal, jika salah satu

    unsur perbaikan rumah tak terpenuhi, akhirnya tujuan perbaikan rumah akan gagal.

    Atas dasar itu, mengapa pemerintah tidak mengadopsi saja konsep bedah rumah yang populer

    di televisi? Atau konsep Rumah Deret yang sudah diterapkan Jokowi, yang sebelumnya

    Gubernur DKI Jakarta, di beberapa kawasan kumuh? Rumah Deret adalah rumah sederhana

    yang dibuat dari bahan-bahan standar yang kemudian didesain dalam sistem knock-down.

    Rumah ini dibangun dalam satu paket--oleh tukang--dengan memperhatikan aspek

    lingkungan. Contoh Rumah Deret bisa dilihat di kampung Petogogan, Jakarta. *

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    22/31

    Arena Politik Jokowi

    Kamis, 23 Oktober 2014

    Arya Budi, Research Associate Poltracking Institute

    Pelantikan Jokowi sebagai presiden terpilih 2014-2019 memberikan dua otoritas penting

    sebagaisingle-chief-executivedalam sistem presidensial di Indonesia. Pertama, otoritas untuk

    mengendalikan hampir semua alat negara, seperti penegak hukum, militer, intelijen, semua

    level birokrasi, dan alat negara lainnya. Kedua, otoritas Jokowi untuk mengakses sumber

    daya negara melalui perusahaan-perusahaan negara (baca: BUMN) dan kesepakatan-

    kesepakatan perdagangan dengan perusahaan nasional maupun transnasional atas aksessumber daya di Indonesia.

    Tentu adapower exercisesatas kebijakan-kebijakan publik yang berlaku di dalam negeri dan

    sikap-keputusan negara atas isu-isu luar negeri sebagai derivasi dua otoritas penting tersebut.

    Tapi dua otoritas inilah yang menjelaskan Jokowi berpotensi menjadi patron alternatif dalam

    dinamika politik lima tahun ke depan.

    Pada saat yang sama, Jokowi akan berhadapan dengan tiga arena politik yang sama sekali

    baru dibandingkan dengan arena politik pendahulunya, SBY, yang cenderung adem-ayem.

    Pertama adalah politik parlemen yang dikendalikan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai

    koalisi non-pemerintah, jika bukan disebut sebagai koalisi oposisi. Kedua, koalisi politik

    pendukung Jokowi, yang masih terbilang kurus sekalipun, jika akhirnya mendapatkan asupan

    6,96 persen kursi DPR dari PPP. Ketiga, ekspektasi, tuntutan, dan kritik publik terhadap

    Jokowi, baik dari 53 persen pemilihnya, massa mengambang yang memilih Prabowo,

    maupun para pendukung Prabowo.

    Terkait dengan arena politik pertama, studi atas negara-negara presidensial di Amerika Latin

    (Linz 1990, Mainwaring 1993) menunjukkan bahwa minority government--pemerintah

    dengan dukungan partai atau koalisi partai bukan mayoritas di parlemen--berpotensimenemui deadlockantara eksekutif di bawah kendali presiden dan legislatif yang dikuasai

    oleh partai non-pemerintah.

    Dalam divided government, demikian kata Juan Linz untuk menjelaskan asimetrisme

    eksekutif dan legislatif, hampir selalu bertemu dengan kebuntuan relasi eksekutif dan

    legislatif. Pada titik inilah komunikasi politik presiden dengan elit dan patron partai-partai

    non-pemerintah menjadi krusial. Mirip dengan nalar sosial Jawa yang disebutkan Thomar

    Stamford Raffles (1781-1826) sebagai masyarakat yang menghindari amok(perseteruan),

    Jokowi bekerja dengan nalarpolitics in harmonydalam relasi dirinya dengan elite lintas

    partai, terutama partai-partai non-koalisinya.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    23/31

    Gagasan safari politik yang dilakukan Jokowi bertemu para patron KMP mengkonfirmasi

    nalar politik ini. Paling tidak untuk membangun dukungan--jika bukan menggeser atau

    memecah--kekuatan 63 persen kursi KMP (jika PPP masih bergabung dengan Golkar,

    Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN) atas program kebijakan strategis Jokowi yang sudah

    dijanjikan sepanjang kampanye presiden lalu.

    Namun inter-party politicsdi dalam tubuh koalisi partai pendukung Jokowi adalah war in

    silencealias arena tarung yang senyap karena dua musabab penting. Pertama, Jokowi

    bukanlah patron dari partai pemenang PDIP sehingga otoritas politik dirinya dalam koalisi

    selalu dinegosiasikan oleh veto playeryang sesungguhnya: Megawati. Riwayat politik

    Megawati sebagai ketua umum terlama di Indonesia, bahkan Asia, selama hampir dua dekade

    terakhir ini memberinya pengaruh politik yang melampaui struktur partai.

    Pada saat yang sama, coalitional presidentialismhampir di semua desain konstitusi termasuk

    konstitusi Indonesia tidak menjamin loyalitas partai koalisi karena insentif politik antara

    kader partai di kabinet dan di parlemen tak selinear seperti pada sistem parlementer. Sebagai

    misal, bisa saja PKB, yang berkekuatan 8,39 persen kursi di parlemen, bermanuver jika

    Jokowi tak mengakomodasi kepentingan politiknya dalam posisi dan status politik menteri di

    kabinetnya. Dukungan partai hanya dijamin oleh konstitusi dalam pencalonan presiden (UUD

    1945 Pasal 6A ayat 2). Setelah pencalonan selesai itu soal lain.

    Di titik inilah penting bagi Jokowi melembagakan koalisi: struktur pengorganisasian, kontrak

    politik, dan mekanisme kerja. Hingga kini, bahkan nama koalisi partai pendukung Jokowi

    pun belum ada. Jika tidak, Jokowi hanya akan menjadi pelaksana keputusan politik parapatron, terutama untuk isu-isu strategis. Dan, otonomi Jokowi sebagai presiden menjadi

    lemah yang bisa berbuntut pada performa kepemimpinan pemerintahan dan negara.

    Terakhir,supply and demandalias tuntutan dan dukungan publik sepanjang lima tahun

    pemerintahan Jokowi bisa jadi terbelah jika KMP mengkonsolidasikan 47 persen pemilih

    Prabowo. Belajar dari Brasil dengan program Bolsa Familia atau Oportunidades di Meksiko

    dalam usaha menurunkan angka kemiskinan, program insentif bagi masyarakat miskin di

    Indonesia adalah hal paling penting bagi Jokowi untuk mendapatkan dukungan publik. Survei

    opini publik Poltracking (Agustus 2013, Oktober 2013, Desember 2013, Maret 2014)

    menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan adalah hal yang

    paling dibutuhkan publik.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    24/31

    Harapan Baru

    Kamis, 23 Oktober 2014

    Iwel Sastra, Komedian, @iwel_mc

    Sehari setelah pelantikan Jokowi menjadi presiden, seorang anak bertanya kepada ayahnya.

    "Siapa nama Presiden Republik Indonesia?" Dengan mantap dan penuh keyakinan, sang ayah

    menyebut nama Jokowi. Anak tersebut menyalahkan jawaban ayahnya dan mengatakan

    bahwa Presiden Republik Indonesia adalah SBY. Mengetahui jawaban anaknya keliru, sang

    ayah mencoba meluruskan dengan mengatakan SBY sudah digantikan oleh Jokowi.

    Menanggapi ucapan ayahnya, anak itu berkata "Presiden Indonesia adalah SBY, Jokowi itupenggantinya."

    Anekdot di atas menggambarkan bahwa saat ini perbincangan mengenai Jokowi baru sebatas

    sebagai pengganti presiden yang lama. Sebagai presiden yang baru, belum ada yang bisa

    dibahas terkait dengan langkah-langkah yang membedakan Jokowi dengan presiden

    sebelumnya. Langkah pertama yang menjadi pusat perhatian adalah susunan kabinet yang

    dibentuk Jokowi. Beragam nama muncul dalam bursa calon menteri, baik dari kalangan

    akademikus, militer, politikus, hingga aktivis. Dari kalangan komedian, ada beberapa nama

    yang bisa diajukan sebagai menteri, seperti Tarsan sebagai Menteri Kehutanan dan Cak

    Lontong sebagai Menteri Urusan Pangan, he-he-he.

    Ada pemandangan menarik pada Senin lalu. Untuk pertama kalinya, Presiden yang akan

    mengakhiri masa jabatannya duduk berdampingan dengan presiden terpilih yang akan

    dilantik. Menurut saya, ketika duduk berdampingan, SBY dan Jokowi sama-sama salah

    tingkah karena ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka. SBY untuk pertama kalinya

    "benar-benar" pensiun sebagai presiden, sedangkan Jokowi untuk pertama kalinya dilantik

    menjadi presiden. Rakyat untuk pertama kalinya melihat SBY dan Jokowi menjalani hal yang

    pertama kali dilakukan dalam hidup mereka.

    Kehadiran Prabowo dalam pelantikan Jokowi sebagai presiden patut diapresiasi. Ini sekaligus

    membantah rumor yang menyebutkan Koalisi Merah Putih (KMP), yang mengusung

    Prabowo saat pilpres, akan menjegal pelantikan Jokowi. Rumor ini muncul setelah KMP

    berhasil menguasai parlemen dengan menyapu bersih kursi pimpinan DPR dan MPR.

    Semangat KMP untuk menguasai parlemen memang sudah terlihat sejak Jokowi ditetapkan

    secara resmi sebagai presiden terpilih setelah MK menolak gugatan pasangan calon presiden

    Prabowo-Hatta. Dengan menguasai parlemen, KMP bukan sekadar singkatan dari Koalisi

    Merah Putih, juga bisa Koalisi Menguasai Parlemen.

    Sebuah majalah luar negeri pada sampul depannya menyatakan bahwa Jokowi adalah sebuah

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    25/31

    harapan baru. Jokowi sadar, harapan tersebut tidak bisa dipenuhinya sendirian. Melalui pidato

    pelantikannya, Jokowi mengajak semua kalangan, seperti nelayan, buruh, petani, pedagang

    bakso, pedagang asongan, sopir, akademikus, guru, anggota TNI, personel Polri, pengusaha,

    dan serta kalangan profesional untuk bergerak bersama. Jokowi menekankan kata bekerja,

    bekerja, dan bekerja. Ia mengajak semua pihak bekerja sekeras-kerasnya untukmengembalikan Indonesia sebagai negara maritim.

    Pidato Jokowi sangat singkat karena sebagai presiden ketujuh, Jokowi meminta waktu untuk

    berpidato selama tujuh menit. Saya membayangkan dulu sebagai presiden pertama, Soekarno

    meminta waktu berpidato hanya satu menit. Baru mengucapkan salam, waktu sudah habis. *

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    26/31

    Kultur Lebah Pekerja

    Jum'at, 24 Oktober 2014

    Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip

    Sehari setelah Joko Widodo (Jokowi) diambil sumpahnya sebagai presiden ke-7 RI, halaman

    depan media cetak menabalkan sebesar-besarnya judul-kepala dengan frasa "kerja".

    Solo Pos("Ayo Bekerja!"), Suara Merdeka("Selamat Bekerja, Presiden Rakyat!"),Pikiran

    Rakyat("Lupakan Pesta, Saatnya Bekerja"),Kedaulatan Rakyat("Bekerja, Bekerja,

    Bekerja!"),Koran Merapi("Kerja, Kerja, Kerja"), dan Tempo("Kerja, Kerja, Kerja!") adalahsekian media cetak yang secara verbal memilih frasa "kerja" untuk menunjukkan bagaimana

    karakter pemerintahan Jokowi periode 2014-2019.

    Frasa "kerja" adalah cara Jokowi menyorongkan apa yang menjadi ciri khasnya. Tapi banyak

    yang salah paham kemudian bahwa mereka yang bekerja adalah antiwacana dan pemikiran

    yang sifatnya reflektif. Kerja adalah pasase yang dianggap menjauh dari kultur ilmiah.

    Kultur kerja Jokowi ini mengingatkan pada Maurice Maeterlinck, Nobelis sastra 1911 asal

    Belgia yang menulis buku legendaris: The Life of the Bee(1954, 168, hlm). Buku tipis yang

    aslinya terbit dalam bahasa Prancis pada 1928 ini adalah salah satu buku klasik yang

    membedah secara menarik bagaimana kultur kerja lebah yang disebutnya sebagai "the

    foundation of the city".

    Kultur kerja lebah inilah, kata Maeterlinck, yang menjadi cetak biru bagi masyarakat masa

    silam untuk membangun kotanya, seperti Babilonia, Inca di Peru, Madinah di Timur Tengah,

    dan peradaban Nil di Mesir.

    Madu sebagai produk akhir dari kultur kerja lebah bermula dari kerja perbengkelan yang

    dilakukan madu-pekerja. Tugas mereka bukan hanya menentukan di mana sumber daya maduberada (bunga terbaik), tapi juga bagaimana menyiapkan sarang, yang oleh para saintis

    disebut cara kerja jenius dan menjadi gambaran kehadiran "tangan-tangan tak-tampak"

    (invisible hand).

    Arsitektur sarang yang rumit dan sekaligus indah yang dibuat lebah-pekerja bukan sekadar

    adu kelihaian dan kesombongan membangun gedung, tapi dibuat dengan asas kemanfaatan

    besar. Sarang adalah lumbung/laboratori bagi berlangsungnya pengolahan seluruh sari

    mentah yang diubah menjadi madu dengan umur kedaluwarsa yang panjang. Maeterlinck

    menyebut kerja pengolahan ini sebagai kerja agrikultur berbasis pengetahuan.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    27/31

    Sains mempermudah pengelolaan kehidupan, dan bukan memperumitnya. Dari kerja lebah

    membangun peradabannya, kita diberi tahu semestinya anugerah sains memperpanjang usia

    peradaban, dan bukan menghancurkannya lebih cepat.

    Apalagi ciri lain dari lebah-pekerja adalah kesadaran untuk tidak mengeksploitasi habis-habisan sumber daya bunga yang menghidupi sarangnya. Alih-alih menghabiskan, mereka

    justru terlibat aktif melakukan "reboisasi" dengan mengantar serbuk, mengawinkannya

    dengan putik, dan kehidupan bunga pun tetap berlangsung. Lebah tahu mereka bakal pasti

    kembali ke area itu dalam waktu mendatang saat bunga-bunga kembali bermekaran.

    Jokowi adalah kepala lebah-pekerja bagi sarang mahabesar yang terdiri atas 17 ribu sel

    heksagonal yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote.

    Adapun ibu-ratu lebah adalah ibu pertiwi. Transendensi pengabdian dan kultur kerja Jokowi

    tanpa pamrih adalah sepenuh-penuhnya pengabdian kepada keberlangsungan sang ibu pertiwi

    lewat pemanfaatan sumber daya bunga (alam) yang kaya.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    28/31

    Hijrah

    Jum'at, 24 Oktober 2014

    Achmad Fauzi,Aktivis Multikulturalisme

    Pergantian Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah beriringan dengan peristiwa besar

    peralihan orde dari SBY ke Joko Widodo.

    Tafsir temali waktu yang berdekatan antara epos kenabian dan momentum kenegaraan

    tersebut menyiratkan adanya titik singgung spirit agama dalam menjiwai kehidupan

    bernegara. Hal ini relevan dengan kajian sosiologi Donald Smith (1970) yang mengaitkan

    peran agama dalam masyarakat dari perspektif sistem politik.

    Tahun baru Hijriah adalah siklus pengingat peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah

    ke Yatsrib (Madinah). Di kota ini berhasil diletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat

    berkeadaban (civilized). Elemen suku, agama, dan kepentingan disatukan dalam satu wadah

    kebangsaan. Nilai egalitarianisme, keadilan, dan musyawarah menjadi pilar penopang

    tegaknya sendi keadaban. Capaian tatanan politik beradab tersebut tak bisa dilepaskan dari

    ikhtiar politik Nabi dalam melakukan "hijrah paradigma". Suatu proses revolusi mental yang

    membangunkan kesadaran tentang arti keguyuban dan kewargaan.

    Jika demikian, hijrah secara maknawi bukan sekadar perpindahan fisik dari tempat yang

    kacau ke wilayah aman, tapi juga pembaruan kerangka berpikir dari jumud dan beku ke

    tatanan paradigma inklusif dan beradab.

    Bangsa Indonesia perlu banyak menggali nilai filosofis hijrah, khususnya dalam membangun

    keadaban politik. Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik berhasil menyatukan semesta

    kepentingan kaum Muhajirin (kelompok pendatang) dan Anshar (kalangan pribumi) melalui

    cara demokratis dan setara. Tidak ada kesumat abadi karena musyawarah lebih diutamakan

    dalam pengambilan keputusan. Semua ikhtiar kebangsaan tersebut tecermin pada traktat yang

    tertuang dalam butir-butir Piagam Madinah.

    Kondisi terbalik terjadi di republik ini. Musyawarah untuk mencapai mufakat selalu menemui

    jalan buntu. Terlalu banyak kerumunan kepentingan di sekitar kekuasaan yang berjubel

    mencari jatah. Demokrasi dibegal oleh kelompok pemangsa kekuasaan berwatak buas.

    Belum lagi soal tensi politik di kalangan bawah yang belum turun. Sejak panggung suksesi

    pemilihan presiden dihelat, tak dimungkiri elemen masyarakat terpolarisasi dalam faksi-faksi

    yang berlawanan. Suhu politik yang panas kian memantik api permusuhan. Celakanya, fitnah

    dan politik tuna-adab riuh gentayangan merusak akal budi.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    29/31

    Sebagai seorang pemimpin, Jokowi harus mampu merangkul kelompok yang berseberangan

    pilihan politik dalam satu semangat. Istilah politik di meja makan yang mempertemukan

    Jokowi dengan Prabowo Subianto, beberapa waktu yang lalu, adalah langkah besar agar tensi

    ketegangan dua kutub di tataran akar rumput tidak menggumpal menjadi destruksi sosial.

    Sikap kenegarawanan dua tokoh ini harus direspons dengan menghentikan segala bentuksinisme.

    Jejaring sosial hingga kini masih disesaki aroma sinisme terhadap Jokowi. Padahal kebaikan

    tetaplah kebaikan, tak peduli pelakunya berseberangan politik. Berbeda pilihan politik lazim

    terjadi di negara yang menjunjung nilai demokrasi. Tapi menciptakan iklim politik tidak

    sehat untuk meneguhkan afiliasi politik sebagai realitas tunggal tentu tindakan keliru. Sudah

    saatnya bangsa Indonesia tidak lagi melihat siapa presidennya, tapi yang lebih substantif

    adalah apa dan bagaimana janji politik itu ditunaikan.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    30/31

    Swasembada Saja Tidak Cukup

    Jum'at, 24 Oktober 2014

    Bambang Sutrisno, Peneliti Senior pada Indonesia Center for Sustainable Development.

    Sasaran pembangunan pertanian adalah swasembada pangan. Slogan ini telah menjadi azimat

    bagi para pejabat dan didukung oleh rakyat. Seakan-akan, apabila swasembada pangan

    tercapai, pembangunan pertanian pun dinilai telah berhasil.

    Swasembada selalu diartikan sebagai suatu keadaan ketika produksi pangan berhasil

    memenuhi kebutuhan konsumsinya. Swasembada dicapai bila produksi pangan mencapaijumlah konsumsi dalam negeri. Anggaplah total kebutuhan konsumsi beras sebanyak 33,4

    juta ton per tahun. Jika produksi telah mencapai angka tersebut, swasembada tercapai. Bila

    panen jagung telah mencapai 20,4 juta ton, sesuai dengan perkiraan konsumsinya, maka

    swasembada jagung terjangkau.

    Angka perhitungan swasembada seperti ini hanyalah mendekati benar. Penghitungan

    swasembada pangan harus melibatkan penghitungan jumlah persediaan atau stok akhir tahun

    terlebih dulu, untuk kemudian ditambahkan dengan produksi. Bila konsumsi dan stok

    tercukupi, barulah dapat disebut swasembada. Itu pun masih harus dihitung angka

    ekspornya.

    Bila ada produksi pangan yang diekspor, kecukupan persediaan pangan harus dikurangi

    dengan ekspor.Nah,angka-angka ekspor tersebut juga harus diimbangi dengan angka impor.

    Impor pangan berarti produksi dalam negeri tidak mencukupi.

    Persediaan pangan di dalam negeri ini memang sering diperdebatkan. Meskipun semua pihak

    setuju akan pentingnya persediaan, besarnya persediaan ini masih sering dimasalahkan. Ada

    yang mengatakan 5 persen sudah cukup. Namun ada juga yang mengatakan jumlah

    persediaan pangan dalam negeri seharusnya lebih dari 10 persen.

    Mengapa persediaan pangan di dalam negeri harus cukup besar? Pertama, fluktuasi produksi

    pangan. Padi, misalnya, mencapai puncak produksi pada Mei, Juni, dan Juli. Produksi padi

    setelah Juli cenderung menurun. Musim kemarau yang memasuki wilayah Indonesia

    membuat area panen padi pada semester kedua selalu lebih rendah daripada kebutuhan. Tak

    mengherankan bila pemerintah memprediksi, Jawa saja akan kekurangan gabah sebanyak 1,8

    juta ton pada 2014 ini.

    Alasan kedua kebutuhan persediaan adalah bencana alam. Menghadapi situasi bencana yang

    datangnya tidak bisa diprediksi ini, kita harus memiliki persediaan yang cukup.

  • 8/10/2019 caping+Cari angin+Kolom Tempo 19.10.2014-24.10.2014

    31/31

    Alasan ketiga yang juga tidak kalah penting adalah perubahan iklim atau pergeseran jadwal

    tanam. Musim hujan dapat saja lebih lama atau lebih pendek daripada perkiraan, dan musim

    kemarau bisa datang lebih cepat. Pergeseran jadwal tanam membuat produksi pangan di

    bawah perkiraan. Padi yang dipanen di musim hujan cenderung produksinya lebih rendah,

    karena proses penyerbukan dan pembentukan biji terganggu oleh air hujan. Demikian pulapenanaman yang dilakukan di musim kemarau, yang biasanya terhambat oleh ketersediaan

    air. Akibatnya, produksi pangan yang ditargetkan meleset.

    Beberapa riset menunjukkan terjadinya perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia.

    Pranata mangsa, yang dulunya menjadi pegangan petani, telah menurun akurasinya. Di

    samping itu, terjadi perbedaan iklim mikro antara satu daerah dan daerah lainnya. Contohnya

    sering terjadi cuaca cerah di Malioboro, namun di Sleman hujan turun dengan lebatnya.

    Persediaan juga penting untuk stabilisasi harga. Harga pangan sangat besar pengaruhnya

    terhadap inflasi. Kenaikan harga pangan akan memicu inflasi. Menghadapi kemungkinan

    kenaikan harga yang dapat meresahkan, Pemerintah mesti memiliki stok pangan yang

    memadai. Adanya persediaan yang cukup dan mudah dimobilisasi akan menurunkan

    spekulasi dan menstabilkan harga pangan.

    Alasan lain yang jarang diperhitungkan adalah adanya masalah di negara lain. Banjir dan

    topan yang melanda Filipina, misalnya. Kejadian kemanusiaan ini tidak boleh membuat

    Indonesia berdiam diri. Bantuan kemanusiaan terbaik yang dapat diberikan, salah satunya,

    adalah mengirim bantuan pangan. Sejarah mencatat Indonesia pernah dibantu India

    menangani kelangkaan beras beberapa puluh tahun lampau. Namun Indonesia pun telahsering mengirim bantuan pangan ke negara-negara lain yang membutuhkan.

    Dalam konteks perdagangan internasional juga patut diperhitungkan bahwa perubahan musim

    di negara lain dapat mengganggu situasi di Indonesia. Kemarau panjang di Amerika beberapa

    tahun lalu telah menurunkan produksi kedelai dan menyebabkan harga kedelai internasional

    naik. Kita pun terkena dampak kenaikan harga tersebut.

    Karena itu, manajemen stok dan persediaan pangan di dalam negeri sangat penting dan

    strategis. Ketercukupan pangan Indonesia tidak boleh terombang-ambing oleh pasar

    internasional. Itulah makna kedaulatan pangan. Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri,

    bahkan menjadi faktor penting dalam penyediaan pangan dunia.

    Jadi, swasembada pangan saja tidak cukup. Indonesia harus memproduksi pangan dalam

    jumlah, jenis, dan kualitas yang lebih banyak dan lebih baik. Makna kedaulatan pangan akan

    berarti bila ada kecukupan dalam negeri dan mampu memberikan sumbangan kepada

    kebutuhan pangan dunia.