Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
Transcript of Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
1/40
Princip
Senin, 14 Juli 2014
Seratus tahun yang lalu, seorang pemuda berumur 19 tahun menembakkan pistol semi-
otomatisnya ke sepasang suami-istri di sebuah sudut jalan di Sarajevo.
Yang dibunuh Franz Ferdinand, pewaris takhta Imperium Austro-Hungaria yang sedang
berkunjung ke kota taklukannya itu; istrinya, Sophie, ikut tewas. Si pembunuh Gavrilo
Princip, anggota gerakan nasionalis Serbia yang ingin mengenyahkan kekuasaan imperial itu
di wilayahnya.
Kedua tokoh ini seakan-akan melambangkan sejarah yang sedang terjadi satu abad yang lalu.Franz Ferdinand, yang duduk di dalam mobil dengan pakaian kemaharajaan itu, bagian dari
kekuasaan lama. Princip, yang berada di jalan di depan sebuah toko makanan dekat sebuah
jembatan, adalah unsur kekuatan baru yang sedang menyeberang ke masa depan.
Pada akhirnya mereka salah sangka. Masa depan tak bisa ditebak. Penembakan 28 Juni 1914
itu disusul perubahan zaman dengan entakan-entakan besar yang tak lurus arahnya.
Ketika tembakan menembus nadi dekat lehernya, Franz Ferdinand tak tahu bahwa istrinya,
yang perutnya ditembus peluru, tak ada harapan untuk hidup. "Sophie, Sophie, jangan mati!"
katanya. "Bertahanlah, untuk anak-anak kita!"
Anak-anak mereka hidup selamat nun jauh di istana, di Wina. Tapi tak lama setelah Sophie
dan suaminya mati, berpuluh ribu istri dan suami dan anak-anak juga mati. Sebuah perang
besar meletus dan meluas. Orang Jerman menyebutnya Weltkrieg, dari mana kata "Perang
Dunia" berasal, meskipun pada dasarnya konflik ini adalah sengketa negeri-negeri Eropa.
Perang Dunia I, dimulai dengan serbuan Austria ke Serbia, akhirnya melibatkan pasukan
pelbagai negeri, terutama Jerman dan Prancis, sampai dengan Selandia Baru. Delapan juta
prajurit mati dan sejarah pelbagai bangsa berubah: Mekah dan Madinah direbut dari Daulat
Usmani oleh tentara Arab yang dibantu Inggris-dan kekuasaan Saudi bertahan hingga hari ini.
Imperium Austro-Hungaria dipecah dan lahir negeri Cekoslovakia dan Yugoslavia. Di Rusia,pemerintahan berganti: 1917 Lenin menegakkan sebuah negeri sosialis pertama yang
bertahan selama lebih dari 70 tahun dan ketakutan Amerika terhadapnya menyebabkan
Perang Dingin berlarat-larat, dengan sisa yang masih hadir di abad ini.
Nothing comes from violence and nothing ever could.
Lirik Sting itu, sebagaimana umumnya puisi, bukanlah pernyataan yang berniat akurat; ia
lebih merupakan cetusan empati. Sebab banyak hal lahir dari kekerasan-tak semuanya buruk.
Tindakan Princip membunuh penerus kekuasaan Austro-Hungaria 100 tahun yang lalu itu
terbukti mengubah sejarah-termasuk memerdekakan banyak bangsa di dunia. Di pengadilan,anak muda Serbia itu berkata, "Saya seorang nasionalis Yugoslavia, bertujuan menyatukan
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
2/40
semua orang Yugoslav." Tujuannya tercapai. Sekitar empat tahun kemudian, Yugoslavia
yang merdeka dimaklumkan.
Tapi sebagaimana kekuasaan imperium Austro-Hungaria salah sangka tentang masa
depannya sendiri, juga Princip dan nasionalismenya. Austro-Hungaria roboh setelah Perang
Dunia I; persatuan Yugoslavia berakhir sebelum abad ke-21 datang.
Princip akan menangis seandainya ia menyaksikan itu. Tapi ia mati di penjara karena
tuberkulosis-dan mungkin tak menyadari bahwa kekerasan punya jejak yang panjang.
Tomorrow's rain will wash the stains away
but something in our minds will always stay
Ketika para pengawal bertanya kepada Franz Ferdinand yang tertembak itu apakah ia
kesakitan, sang hertog menjawab, gagah: "Ini bukan apa-apa." Itu kata-katanya yang
penghabisan. Kemudian, hanya beberapa jam setelah ia dan istrinya mati, penguasa Austria diSarajevo membalas dendam kolektif. Mereka kobarkan bara permusuhan terhadap orang-
orang Serbia di kota itu dan kemudian di kota-kota lain. Golongan Kroasia dan muslim
Bosnia digalakkan menghantam tetangga mereka; sebuah militiayang umumnya terdiri atas
orang muslim Bosnia dibentuk, disebut Schutzkorps, buat meneror. Sebagian orang Serbia
dipenjarakan dan 460 dihukum mati.
Tak mengherankan ketika Yugoslavia ditegakkan dan dipimpin Tito, politik divide et impera
penguasa Austria itu diganti dengan kampanye melawan "nasionalisme"-dalam arti
"golonganisme". Kadang-kadang dengan tangan besi, yang pada gilirannya membuat
perlawanan terhadap itu jadi terasa adil.
Memang "something in our minds will always stay", seperti nyanyi Sting dalamFragile.
Kekerasan membiakkan dendam, dan dendam dengan cepat berbaur kebencian, dan tanpa
disadari, seseorang berubah ketika kebencian kian jadi bagian kejiwaannya.
Yugoslavia runtuh karena orang-orang yang semacam itu. Manusia runtuh bersamanya.
Goenawan Mohamad
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
3/40
Euforia
Sabtu, 12 Juli 2014
Putu Setia
Yang saya cintai, segenap anak bangsa. Pekan lalu, di kolom Cari Angin ini, saya mendapat
kiriman sepucuk surat yang baru pada alinea terakhir saya ngehbahwa surat itu ditujukan
kepada saya. Perkenankan saya membalasnya saat ini.
Inisial nama saya memang PS. Tentu saja bukan Prabowo Subianto, calon presiden yang kini
menunggu pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum. Tak ada hubungan saya denganbeliau sekecil apa pun, bahkan serambut dibelah tujuh pun tak ada. Prabowo seorang jenderal
dan kebetulan pula kaya raya. Modal yang cukup untuk menjadi seorang calon presiden.
Saya pernah berpikir untuk mencoblos pada pemilu presiden, semata menghormati orang
yang mau repot jadi calon presiden. Tapi saya diingatkan oleh istri, niat mencoblos itu-siapa
pun yang dicoblos-harus diurungkan. Sejak pemilu 1971, saya mencoblos dengan berdarah-
darah-ini bukan kiasan-kenapa Pemilu 2014 ini saya harus golput? Saya diingatkan, pemilu di
Indonesia-negeri saya tercinta-masih primitif dengan syarat mencelupkan jari ke tinta.
Tujuannya, agar pemilih tidak curang, mencoblos berkali-kali.
Sekarang saya jadi makhluk ajaib, di mana setiap benda yang mau melekat atau masuk ke
tubuh saya harus dalam wujud suci sesuai dengan keyakinan agama saya. Ini merepotkan
kalau saya mencoblos. Tentu saya ditertawai jika datang ke TPS membawa sesajen untuk
"menyucikan tinta" itu. Lagi pula, dengan aturan bahwa saya harus mencelupkan jari ke tinta,
berarti kejujuran saya diragukan-jangan-jangan saya berniat curang nyoblos di tempat lain
lagi.
Saya membatin: "Siapa pun presidennya, pemilu nanti harus lebih modern, misalnya dengan
sistem e-voting. Minimal administrasi kependudukan diperketat sehingga orang bisa memilih
tanpa harus mencelupkan jari ke tinta." Belum sempat pikiran ini dirumuskan sebagai usul,
tiba-tiba anak saya sudah memamerkan kedua jarinya yang bertoreh tinta ungu. Cucu saya
usia empat tahun juga ikut-ikutan jarinya berisi tinta sambil teriak: "Salam dua jari, Kakek."
Astaga, ada euforia baru pada pemilu presiden sekarang. Orang yang dulu cuek ramai-ramai
mencoblos dan memamerkan jari bertinta termasuk meng-uploaddi media sosial. Tinta itu
tiba-tiba jadi lambang dukungan.
Teman yang saya cintai. Inisial nama saya memang PS, tapi bukan Prabowo Subianto. Saya
orang sederhana dan bahkan pada dasarnya pelit. Saking pelitnya saya bertanya kepada anak
saya, untuk apa pulang kampung hanya mencoblos dua kertas-bersama istrinya-padahal harus
membeli bensin Rp 150 ribu, belum lagi makanan? "Untuk Jokowi, presiden yang bukan
siapa-siapa. Kalau dia menjadi presiden maka anak-anak desa terbuka peluangnya menjadi
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
4/40
presiden, meski ayahnya bukan jenderal, bukan pengusaha minyak, bukan berdarah keraton."
Jawaban anak saya ini terganggu oleh teriakan cucu saya: "Salam dua jari, Kakek."
Entah anak saya bergurau atau serius. Tapi kata-kata yang mirip seperti itu menjadi magnet
berbondong-bondongnya orang mendukung Jokowi, padahal mereka tak pernah disapa partai
banteng moncong putih. Megawati boleh saja menangis menyambut kemenangan (versihitung cepat) Jokowi, tetapi saya kira ia harus secepatnya membenahi partainya. Surya Paloh,
Wiranto, Muhaimin Iskandar, juga harus memperbaiki pengkaderan di partainya. Lima tahun
lagi, belum tentu ada "wabah relawan" seperti euforia orang yang mendukung Jokowi saat
ini. Apalagi sistem pemilu diserentakkan antara legislatif dan presiden. Kalau saat itu mesin
partai mandek, jangan diharapkan calon presidennya terpilih
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
5/40
Putusan Soal Syarat Pemenang
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai syarat pemenang pemilihan presiden amatdisesalkan. Hakim konstitusi bersikap pragmatis sekaligus menghilangkan roh konstitusi. Tak
selayaknya syarat sebaran suara dihapuskan untuk pemilihan yang diikuti hanya oleh dua
calon presiden.
Penghapusan syarat sebaran suara itu dilakukan dalam uji materi Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Hakim konstitusi mengabulkan permohonan yang
diajukan oleh Muhammad Asrun dan kawan-kawan. Dengan putusan ini, pemilihan presiden
mendatang dipastikan hanya berlangsung satu putaran. Syarat sebaran suara tidak
diperhitungkan lagi.
Isi Pasal 159 ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Presiden yang diuji itu sebetulnya amat
gamblang. Bunyinya: pasangan calon terpilih adalah yang memperoleh suara lebih dari 50
persen dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia. Nah, hakim konstitusi kemudian menyatakan bahwa
aturan ini hanya berlaku bagi pemilihan dengan lebih dari dua calon presiden.
Putusan itu aneh karena pasal tersebut sebenarnya hanya disalin persis dari ketentuan dalam
Pasal 6A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, mengoreksi pasal itu sama saja dengan
mengoreksi konstitusi. Benar, hakim konstitusi berwenang menafsirkan UUD. Tapi
penafsiran kali ini amat gegabah dan bertentangan dengan semangat konstitusi.
Syarat sebaran suara dibuat bukan tanpa tujuan. Konstitusi ingin memastikan presiden dan
wakil presiden terpilih memiliki legitimasi yang kuat dan merata di seluruh Tanah Air.
Bagaimanapun, presiden mencerminkan dan mewakili keragaman penduduk Indonesia.
Pasangan yang tampil diharapkan pula memperoleh dukungan luas dan merata.
Putusan MK berimplikasi jauh. Syarat pemenang dalam pemilihan yang diikuti hanya dua
kandidat presiden kini jauh lebih ringan dibanding yang diikuti oleh lebih dari dua kandidat.
Dalam kondisi terakhir, putaran kedua harus digelar bila kandidat yang memperoleh suara
terbanyak tak memenuhi syarat sebaran suara.
Akibat putusan itu, kelak kalangan partai politik bisa menempuh jalan pintas. Mereka tak
perlu repot lagi mencari pasangan yang bisa meraup dukungan luas. Cukup mengumpulkan
suara sekitar 80 persen dari tujuh provinsi gemuk-Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
DKI Jakarta, Sumatera Utara, Banten, dan Sulawesi Selatan-pasangan calon presiden dan
wakil presiden akan menang.
Pendapat dua hakim konstitusi yang menyampaikan dissenting opinionjustru lebih masuk
akal. Salah satu hakim konstitusi itu, Wahiduddin Adams, bahkan dengan tegas menolak
permohonan uji materi tersebut. Menurut dia, penghapusan syarat sebaran akan membuka
kemungkinan pemenang pemilihan hanya populer di segelintir provinsi.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
6/40
Mahkamah Konstitusi seharusnya tak membuat putusan yang mengingkari ketentuan
konstitusi, sekaligus memunculkan masalah baru.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
7/40
Modus Serangan Israel ke Gaza
Senin, 14 Juli 2014
Muhammad Ja'far, Pengamat Politik Timur Tengah
Baru sebulan yang lalu, asa perdamaian Israel-Palestina merekah melalui inisiatif Paus
Fransiskus mempertemukan Presiden Palestina Mahmud Abbas dengan Presiden Israel di
Vatikan. Melalui pertemuan 25 Mei 2014 tersebut, Paus ingin membangkitkan kembali spirit
persaudaraan agama sebagai landasan perintisan kembali perundingan damai. Namun, kini,
asa itu sudah layu lagi oleh aksi militer sepihak Israel ke Gaza.
Aksi militer, terutama terhadap Gaza, menjadi modus yang digunakan Israel untuk beberapa
tujuan. Setidaknya ada tiga modus aksi militer ini, yaitu:
Pertama, aksi militer kerap digunakan oleh Israel sebagai strategi untuk mendelegitimasi
sebuah perundingan damai yang sebenarnya berjalan konstruktif. Tentunya, aksi ini inisiasi
kelompok konservatif yang cukup dominan dan berpengaruh dalam perpolitikan Israel,
terutama parlemen (Knesset), untuk meluluskan sebuah kebijakan militer.
Kedua, aksi militer juga menjadi modus Israel untuk menarik mundur sebuah hasil
perundingan dengan Palestina, agar kembali ke titik "netral" yang dikehendaki Israel. Ketika
sebuah proses perundingan menyepakati klausul kesepakatan yang tidak dikehendaki oleh
faksi konservatif di Israel, aksi militer kerap digunakan untuk mendelegitimasi klausul
tersebut. Perundingan mundur satu langkah secara sekejap, padahal dirintis dalam tempo
yang cukup lama.
Ketiga, selain dua modus tersebut, aksi militer menjadi strategi Israel untuk menekan faksi
politik di lingkup internal Palestina. Aksi militer Israel sering kali ditujukan sebagai simbol
sekaligus alat tekanan politik terhadap Hamas sebagai salah satu faksi di Palestina. Dengan
modus tekanan ini pula Israel berupaya mengantisipasi terjadinya rekonsiliasi politik antarafaksi yang berival di lingkup internal Palestina. Terutama antara Hamas dan Fatah. Dalam
beberapa bulan terakhir, Hamas dan Fatah sedang menjajaki proses rekonsiliasi yang
menargetkan terbentuknya pemerintahan bersatu di antara keduanya. Ini langkah maju bagi
kalangan internal Palestina, namun bisa menjadi langkah mundur bagi kepentingan sepihak
Israel. Rekonsiliasi Hamas-Fatah akan menyolidkan daya tawar politik negara tersebut di
hadapan Israel.
Selama ini, Israel banyak diuntungkan oleh, sekaligus memanfaatkan secara manipulatif,
friksi politik yang terjadi di antara keduanya untuk melemahkan posisi tawar politik Palestina
di meja perundingan. Israel sering menekan Fatah untuk memilih antara dua opsi: berdamai
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
8/40
dengan Hamas atau Israel. Terakhir, pernyataan semacam ini dilontarkan Perdana Menteri
Israel Benyamin Netanyahu pada April lalu, menanggapi rencana rekonsiliasi Hamas-Fatah.
Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Liberman juga mengatakan secara keras bahwa prospek
rekonsiliasi Hamas-Fatah tersebut membuat kesepakatan damai Israel-Palestina menjadi
"tidak mungkin". Meski proses rekonsiliasi Hamas-Fatah masih butuh waktu, komitmen, dankonsistensi di antara kedua faksi tersebut, prospek itu setidaknya telah menjadi lampu kuning
bagi beberapa faksi di Israel.
Aksi militer Israel ke Gaza saat ini mendekati pola modus yang kedua dan ketiga, yaitu
semakin menarik mundur perkembangan perundingan dan mengantisipasi prospek
rekonsiliasi Hamas-Fatah. Terbuka kemungkinan, dua hal ini berkelindan dan saling
mempengaruhi. Di tengah upaya pemerintahan Obama untuk mencapai perkembangan
impresif perundingan damai melalui tangan dingin Kerry, Israel justru melakukan langkah
sebaliknya: menarik mundur. Aksi militer ke Gaza ini juga dapat dibaca sebagai strategi
Israel untuk memberikan tekanan politis tidak langsung kepada Hamas dan Fatah, terkait
dengan proses rekonsiliasi keduanya. Israel memutuskan untuk menangguhkan proses
perundingan pasca-perintisan rekonsiliasi Hamas-Fatah.
Setidaknya ada lima isu yang selama ini menjadi materi perundingan damai Israel-Palestina
selama ini, yaitu status teritori Yerusalem, garis perbatasan negara, permukiman, pengungsi,
dan jaminan keamanan kedua negara. Pada kelima poin tersebut, Palestina selalu berada di
bawah angin dan tidak pada posisi sejajar secara politis. Dalam hal pembangunan
permukiman dan pengungsi, Israel selalu menunjukkan superioritas dan arogansinya.
Dorongan Obama agar Israel menghentikan proses pembangunan permukiman tidakdihiraukan oleh Israel. Dalam hal jaminan keamanan negara, Israel menuntut kadar yang
tinggi untuk negaranya, namun sebaliknya kepada Palestina. Aksi militer ke Gaza saat ini
salah satu bukti rendahnya pemenuhan Israel terhadap jaminan keamanan rakyat Palestina.
Mereka melakukannya secara sporadis terhadap warga sipil Palestina.
Aksi militer Israel ke Gaza menjadi tantangan bersama bagi Fatah dan Hamas, terkait dengan
realisasi rencana rekonsiliasi keduanya. Persatuan di antara keduanya akan menguatkan
Palestina secara politis, baik soliditas di dalam negeri maupun di dunia internasional.
Momentum rekonsiliasi keduanya sudah mulai tercipta. Butuh komitmen dan konsistensi
keduanya untuk merealisasinya.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
9/40
Amangkurat
Senin, 14 Juli 2014
Kartono Mohamad, Dokter
Sebagai pengganti Amangkurat II, Raja Mataram di Kartasura, ditunjuk putranya dengan
gelar Amangkurat III. Karena selain cacat fisik dan kelakuannya yang brangasan, banyak
keluarga raja yang tidak setuju. Termasuk salah satu pangeran yang bernama Pangeran Puger,
yang didukung keluarga kerajaan. Perselisihan soal suksesi itu memicu perang saudara yang
terkenal dengan sebutan Geger Kartasura.
Diceritakan bahwa Amangkurat II juga mengerahkan kekuatan gaib dan hitam untuk
menindas lawannya. Pangeran Puger kemudian menyingkir ke Semarang, yang sudah
menjadi salah satu pangkalan VOC. Mengetahui perselisihan tersebut, VOC melihat
kesempatan. Maka, kepada Pangeran Puger dijanjikan bantuan pasukan untuk menyerbu
Kartasura dan menjadi raja Mataram yang baru. Tentu saja tidak gratis. Harus ada imbal balik
berupa konsesi dan monopoli. Itulah pertama kalinya VOC ikut campur dalam perselisihan
suksesi raja-raja di Nusantara dengan imbalan akses pangkalan dan monopoli perdagangan
hasil bumi. Raja-raja yang sudah dibantu itu tidak boleh lagi berdagang dengan Portugis atau
Inggris, yang menjadi pesaing Belanda.
Kebiasaan seperti itu agaknya masih terus berlangsung hingga kini. Perseteruan politik untuk
merebut kekuasaan selalu menjadi peluang bagi pihak ketiga untuk memanfaatkannya, demi
konsesi di kemudian hari. Bantuannya tentu tidak lagi berupa militer, melainkan dana yang
berlimpah dan berbagai strategi non-fisik seperti fitnah dan pembohongan supaya rakyat
tidak mendukung lawan. Petarung yang kurang percaya diri akan mudah terjebak oleh
rayuan. Demi kekuasaan, dia bersedia menjual diri dan kekayaan negeri.
Rakyat toh tidak tahu dan biasanya lupa akan janji para petarung yang diucapkan ketika
merayu suara mereka. Yang menjadi VOC juga tidak harus kekuatan asing yang kasatmata.Bisa saja yang berbaju warga negara Indonesia, tapi tujuannya tidak berbeda dengan VOC.
Akan menuntut konsesi jika petarung yang dibantunya menang kelak. Maka, dengan cara apa
pun dia harus menang dan dibuat menang. Dana bukan masalah. Kekuatan hitam dan "gaib"
pun dikerahkan. Pokoknya harus menang.
Bagi "VOC" modern itu, akibat jangka panjang bagi rakyat Indonesia tidak menjadi
persoalan. Ia toh bisa melesat meninggalkan negeri ini kapan saja. Mungkin ia tidak sadar,
atau mungkin juga ia bahkan sengaja, agar rakyat ini terbelah dan saling bermusuhan. Rakyat
pun ikut terbius. Tidak sadar lagi akan janji persatuan yang diucapkan ketika membentuk
negara. Saling mendendam dan saling menanamkan kebencian menjadi kebiasaan. Saling
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
10/40
menumpahkan sumpah-serapah dan penghinaan serta fanatisme kelompok akan dikobarkan.
Benar atau salah tidak lagi jadi pertimbangan, yang penting merebut kekuasaan. Malu kalau
sampai kalah. Dan "VOC modern" itu akan siap menampung janji konsesi dari pemenang
yang ia dukung.
Peristiwa Geger Kartasura akan terjadi lagi, meskipun tidak tampak ada tentara VOC. Geger
Kartasura telah menimbulkan rangkaian perang saudara yang berkepanjangan. Dan setelah
tenang, peristiwa serupa terjadi di tempat lain. VOC mengambil keuntungan. Maka Belanda,
yang pada waktu itu hanya berpenduduk belasan juta orang serta sibuk berperang dengan
Inggris dan Portugis, mampu menundukkan Nusantara dan menikmati monopoli hasil bumi
dari wilayah yang berpenduduk sekitar 50 juta dan yang sangat luas. Dengan menempatkan
tentara yang tidak sampai 100 ribu jumlahnya.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
11/40
Pelacuran Intelektual
Selasa, 15 Juli 2014
Endang Suryadinata, penulis
Sudah sering publik mencela ulah para pelacur, bahkan lokalisasinya pun kerap terancam
hendak ditutup, seperti yang terjadi di Gang Dolly, Surabaya. Maklum, mereka hanya
mengandalkan tubuhnya demi mendapat uang. Memang definisi pelacuran atau prostitusi
adalah penjualan jasa seksual demi uang.
Para pelacur yang menjual tubuhnya demi uang mungkin lebih mudah dideteksi. Yang sulitdilacak justru mereka yang mungkin melacurkan profesinya demi uang, seperti para
konsultan politik di berbagai lembaga survei pemilu. Kita tahu bahwa demokrasi modern
yang terlihat dalam pemilu membuka peluang bisnis guna merancang dan menentukan
sebuah strategi politik, termasuk membuat hitung cepat (quick count).
Seharusnya, para konsultan politik, apalagi yang berlatar belakang akademis, bisa menjaga
kehormatan profesi itu untuk tidak tergelincir menjadi "pelacur" intelektual dan mampu
menjaga independensi dengan tidak melayani semua keinginan klien.
Tapi ternyata setelah pilpres 9 Juli 2014 ada pelacur intelektual sehingga mengacaukan
demokrasi yang tengah kita bangun. Mereka jelas telah melakukan pembohongan publik
dengan merilis hasil hitung cepat yang mengabaikan etika, profesionalisme, dan
mengkhianati kebenaran.
Seperti kita ketahui, ada perbedaan hasil hitung cepat yang begitu mencolok. Sebagian besar
lembaga survei memenangkan pasangan capres-cawapres nomor dua. Lembaga itu yakni
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Lingkaran Survei Indonesia (LSI), CSIS
Cyrus, Populi Center, Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia, Radio Republik
Indonesia, dan Poltracking.
Sedangkan empat lembaga survei yang memenangkan pasangan capres-cawapres nomor satu,
yakni Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei
Nasional (LSN), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Indonesia Research Centre (IRC).
Akibat hasil itu, terjadi rebutan klaim kemenangan. Ucapan selamat di televisi atau spanduk
ucapan selamat pun bertebaran. Publik pun terbelah, masing-masing pihak merasa yakin akan
kemenangan jagoan mereka dengan merujuk hasil hitung cepat.
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia konon hendak menindak tegas lembaga survei
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
12/40
yang menjadi anggotanya dan telah melakukan kebohongan. Malah, bila perlu, kebohongan
mereka yang sudah masuk kategori kejahatan ini, perlu mendapat hukuman setimpal.
Kebohongan mereka jelas mencoreng dan mengotori pelaksanaan pilpres yang relatif
berlangsung baik dan aman. Padahal selama ini hitung cepat merupakan satu manifestasi daridemokrasi modern untuk mengontrol hasil resmi pemilu. Dalam pileg dan pilpres 2004 dan
2009, banyak lembaga survei melakukan hitung cepat dengan hasil relatif sama, baik dengan
sesama lembaga survei maupun dengan hasil penghitungan suara oleh KPU.
Kini, akibat kebohongan mereka, kita harus menanti hasil hitung cepat resmi dari KPU.
Hingga 22 Juli mendatang, segala kemungkinan bisa terjadi. Adalah bencana jika politik
kotor ala Machiavelli atau Sangkuni mencoba mencari pembenaran. Kini kita berharap
pergerakan kotak suara terus dikawal dan para komisioner KPU bisa tetap netral dan tak
tergiur untuk menjadi pelacur intelektual, agar "vox populi" sungguh menjadi "vox Dei".
Jangan mengkhianati suara rakyat, apalagi hendak memanipulasi.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
13/40
Epilog Pemilihan Presiden
Selasa, 15 Juli 2014
Firman Venayaksa, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
Dalam pemilihan calon presiden kini, peperangan politik tidak hanya didominasi oleh
kalangan elite partai. Semua orang memiliki hak untuk bersuara walaupun terkadang bising
dan berisik. Kita menjadi sulit untuk mendeteksi apakah suara-suara itu penuh makna atau
hanya sekadar gema.
Jika dulu para pengamat politik dan lembaga survei bisa dijadikan sebagai dasar seseoranguntuk memilih calon presiden, sekarang sulit untuk mendapatkan netralitas obyektif itu.
Begitu pun dengan peran media. Kenapa? Karena hanya ada dua pilihan. Jika Anda
mengkritik capres tertentu, seobyektif apa pun, Anda akan diposisikan sebagai pendukung
capres lainnya, dan begitu pun sebaliknya. Alih-alih membuka ruang obyektif, Anda akan
selalu disudutkan karena membuka ruang negatif capres yang lain. Padahal, jika kita
mengkritik, salah satu poin yang tak bisa dihindari adalah menilai dan mengevaluasi. Namun
ada hal yang tak terbantahkan. Kita menjadi begitu peduli pada pilpres kali ini.
Begitulah jika kita berada pada dua pilihan. Hal itu pun terlihat dari lembaga survei yang
sekarang ini ramai digunjingkan bahkan dijadikan sebagai parameter keberhasilan dua
pasangan capres. Dua-duanya mengklaim berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) bahwa
mereka memenangi pertarungan tersebut, sehingga di jejaring sosial banyak yang berceloteh
bahwa kini Indonesia memiliki dua presiden yaitu presiden quick count. Candaan pun
berlanjut, "Sebaiknya dibuat duashift saja, ada presiden siang dan ada presiden malam, biar
adil."
Di dalam tulisan ini, saya tak hendak menjustifikasi persoalan hasil lembaga survei tersebut.
Kredibilitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan. Siapa yang bermain-main dengan
data, akan dihukum dengan sendirinya. Saya ingin lebih berfokus pada ruang lain yang lebihmenarik dan menjadi fenomena baru.
Dalam perhelatan pilpres yang lalu, mesin partai sangat mendominasi. Partai-partai yang
meraih suara mayoritas lebih diunggulkan menjadi pemenang pilpres dan tidak membuka
ruang kerelawanan seperti masyarakat nonpartai. Begitu pun dari sisi pendanaan. Masyarakat
tidak diberi peluang untuk ikut menyumbang kepada calon presiden yang diminatinya.
Konsep klasik ini membuat jarak yang cukup menganga di antara masyarakat dan para elite
politik. Padahal perubahan mekanisme demokrasi memungkinkan terjadinya terobosan-
terobosan baru. Rakyat rindu dilibatkan.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
14/40
Sayangnya, konsep klasik ini masih dipakai oleh pasangan Prabowo-Hatta. Slogan "Presiden
Pilihan Rakyat" mengindikasikan ada konstruksi hierarki yang dipertahankan, yaitu presiden-
rakyat. Sedangkan di kubu nomor urut dua, dengan slogan "Jokowi-JK adalah kita", telah
mendekonstruksi kemapanan klasikal yang dibangun elite politik. Dengan demikian, rakyat
menjadi bagian yang integral dengan Jokowi-JK. Citraan lain dari kubu Prabowo-Hatta yangmengajak Indonesia menjadi Macan Asia lalu "dipaksa" bernostalgia ke masa Orde Baru
dengan menjual stabilitas keamanan dan harga-harga murah hanyalah utopia belaka. Orde
Baru bagi sebagian rakyat mungkin masa keemasan, tapi di sisi lain yang cenderung
dilupakan adalah mereka telah membuka luka lama bangsa ini.
Dalam pilpres sekarang, diakui atau tidak, kubu Jokowi-JK telah membangun konstruksi
demokrasi yang lebih modern. Jokowi-JK menekankan pada slogan "Indonesia Bisa" yang
mengajak ke ruang visioner yang lebih konstruktif. Rakyat dibuka peluangnya untuk ikut
terlibat menjadi relawan mereka. Bahkan dengan durasi yang tidak terlalu lama, pasangan ini
membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut menyumbang dalam pilpres ini. Sebanyak Rp
120 miliar lebih yang dihimpun dari sumbangan masyarakat bukanlah dana yang sedikit.
Pada tulisan ini, saya tidak menampik bahwa ada kerja-kerja partai yang ikut membangun
kontestasi pilpres. Namun yang membedakan pilpres sekarang dengan pilpres sebelumnya
terletak pada pendulum ini: relawan. Kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh para relawan
dari pelbagai dimensi telah membuka mata para politikus di Indonesia bahwa kekuatan para
relawan jauh lebih segar dan tak terbantahkan. Jika hanya mengandalkan suara yang
dibangun partai yang mendukung Jokowi-JK, tidak akan cukup mengimbangi kubu Prabowo-
Hatta yang didukung oleh mayoritas partai di republik ini. Jadi, elektabilitas capres bukanlahsatu-satunya modal dalam pilpres kali ini. Keikhlasan para relawan untuk mendukung
Jokowi-JK-lah yang membuat mereka bisa kuat. Wajar jika setelah pemilihan umum, yang
pertama kali dilakukan Jokowi adalah mendatangi komunitas-komunitas relawan, karena ia
mafhum betul bahwa ia memiliki "utang budi" kepada para relawannya.
Namun demikian, saya yakin bahwa kedua capres ini, baik dari kubu Jokowi-JK maupun
Prabowo-Hatta, menginginkan hal terbaik untuk bangsa ini: bangsa yang merindukan
perubahan yang berarti, tidak hanya slogan dan pencitraan semata. Selepas pemilu ini, masih
banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama merealisasi janji-janji mereka.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
15/40
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
16/40
saat Lebaran, sehingga hatinya luas dan terbuka. Benih prasangka yang menyiksa inklusivitas
pergaulan membuka peluang untuk saling bertoleransi.
Akhirnya, pada suatu saat nanti di sekitar Arasy, ada menara-menara yang tersusun oleh
partikel cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajahmereka pun berpendar memancarkan cahaya. Mereka bukan para nabi atau syuhada, hingga
para nabi dan syuhada kagum pada mereka. Ketika sahabat bertanya, Rasulullah SAW
menjawab: Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, bersahabat
karena Allah, bersilaturahmi karena Allah, dan saling memaafkan karena Allah. Inilah inti
sesungguhnya dalam memaknai religiositas mudik.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
17/40
Arah Koalisi Pasca-Pilpres
Rabu, 16 Juli 2014
Paulus Mujiran, Penulis
Hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel menempatkan pasangan Joko Widodo-
Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai pemenang Pemilihan Umum Presiden 2014. Meski sifatnya
masih sementara, hitung cepat ini dapat dipergunakan untuk membaca arah koalisi.
Selama ini pasangan Jokowi-JK diusung oleh PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI
dengan total suara di parlemen 27 persen. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-HattaRajasa yang diusung oleh Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PAN, PKS, PBB menguasai 63
persen suara di parlemen. Prabowo mengakui kuatnya Koalisi Merah Putih dengan
kemenangan dalam rapat paripurna pengesahan Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor
27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Namun Pilpres 2014, baik versi hitung cepat maupun pengumuman resmi Komisi Pemilihan
Umum (KPU) pada 22 Juli, berpotensi mengubah peta koalisi.
Pertama, dari internal koalisi pendukung Jokowi-JK, tambahan anggota koalisi sangat
diperlukan untuk lima tahun ke depan. Meski Jokowi-JK sudah menyatakan koalisi yang
dibangun bukanlah koalisi bagi-bagi kekuasaan, pragmatisme politik tidak terhindarkan.
Jokowi-JK tentu tidak ingin dikerjai oleh parlemen, seperti halnya pengesahan RUU MD3
yang menutup peluang PDIP menjadi pemimpin DPR. Jokowi-JK harus realistis, keputusan
strategis, seperti pengesahan anggaran, membutuhkan persetujuan DPR.
Kedua, beberapa partai pendukung Prabowo selama ini tidak berpengalaman menjadi oposisi,
kecuali Gerindra yang pernah bersama-sama PDIP di luar pemerintahan. Tapi Golkar, PPP,
PAN, PKS, Demokrat, dan PBB adalah partai pendukung pemerintah. Apakah partai
sebanyak itu tidak terbuai oleh daya tarik manisnya kursi kekuasaan? Apalagi sebagian kaderGolkar sudah menyuarakan agar menerima hasil hitung cepat dan membicarakan arah
koalisi.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menko Kesra, Agung Laksono, sudah
menyatakan Golkar dibentuk untuk mendukung pemerintah. Dan jika Jokowi-JK yang
ternyata mendapatkan mandat rakyat, Golkar harus mendukung. Beberapa sinyal
bergabungnya sebagian partai pendukung Prabowo-Hatta ke kubu Jokowi-JK sebenarnya
sudah terlihat dengan "membelotnya" sebagian kader Golkar.
Sikap mendukung Prabowo-Hatta dari Partai Demokrat yang hanya dilakukan Ketua Harian
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
18/40
DPP Partai, bukan oleh Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono, patut dibaca sebagai
strategi politik dua kaki yang juga dilakukan kubu Yudhoyono. Di kubu PPP, sikap bekas
wapres dan Ketua Umum PPP Hamzah Haz juga dapat dibaca strategi PPP, apalagi setelah
Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dinyatakan sebagai tersangka korupsi dana haji.
Dalam konteks ini, kita membaca ada kebutuhan di kubu Jokowi-JK untuk memperkuat
barisan koalisi, terutama di parlemen. Sementara itu, ada kebutuhan di sebagian partai
pendukung Prabowo-Hatta untuk bergabung di pemerintahan. Belajar dari pengalaman
pengesahan UU MD3, apakah kubu Jokowi-JK akan bertahan dengan koalisi ramping, tapi
selalu kalah di parlemen?
Dengan demikian, pilpres pun pada akhirnya tak lebih sebagai politik dagang sapi yang
menguntungkan elite politik ketimbang rakyat yang sudah susah payah memberikan
suaranya. Ketegaran Jokowi-JK untuk tetap prorakyat, dengan tidak membagi-bagikan kursi
menteri ke partai yang tidak berkeringat, dinantikan.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
19/40
Kompetisi Pemilihan Presiden 2014
Rabu, 16 Juli 2014
Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute
Pemungutan suara pemilu presiden telah usai, tapi masih menyisakan dua isu besar:
perbedaan hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga dan deklarasi pemenang
pemilihan presiden oleh masing-masing kandidat. Dua isu besar ini menciptakan pertanyaan
tunggal bagi publik: siapa sebenarnya pemenang pemilihan presiden?
Terlepas dari polemik perihal siapa yang benar dengan hasil hitung cepat, kontestasipasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK pada pemilu presiden 2014 ini berlangsung dengan
sangat dinamis. Hasil hitung cepat yang dirilis oleh Poltracking menunjukkan pasangan
Jokowi-JK (53,70 persen) unggul terhadap Prabowo-Hatta (46,30 persen) dengan total data
masuk 99,75 persen dari 2.000 TPS sampel terpilih di seluruh Indonesia.
Tidak bisa dimungkiri, hasil hitung cepat ini menunjukkan stagnasi, bahkan penurunan, suara
Jokowi dari survei Poltracking Maret 2014 dengan 54,9 persen. Sebaliknya, angka hitung
cepat menunjukkan kenaikan signifikan suara Prabowo jika melihat survei elektabilitas
Poltracking pada Juni 2014 dengan 27,9 persen. Riwayat survei di beberapa lembaga lain
menunjukkan Prabowo-Hatta lebih unggul.
Telah menjadi rahasia umum bahwa setidaknya ada sembilan provinsi yang mempunyai
jumlah pemilih besar di mana tiga provinsi di antaranya menyumbang masing-masing lebih
dari 15 persen suara dari total pemilih nasional.
Singkat cerita, peta kompetisi pada 9 provinsi ini menentukan perolehan suara nasional
karena total sumbangannya mencapai lebih dari 70 persen suara. Hitung cepat Poltracking
menunjukkan bahwa Jokowi-JK unggul di 7 provinsi gemuk, seperti di Sumatera Selatan
(50,64 persen), Sumatera Utara (58,48 persen), Lampung (52,40 persen), DKI Jakarta (54,03persen), Jawa Timur (58,23 persen), dan Sulawesi Selatan (70,45 persen). Sementara itu,
Prabowo-Hatta unggul di dua provinsi gemuk, seperti Jawa Barat (59,19 persen) dan Banten
(58,23 persen).
Sekalipun sempat menjadi polemik antara Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan
Umum, hasil perolehan suara versi hitung cepat ini tentu juga harus mempertimbangkan
kemenangan kandidat di minimal 50 persen provinsi dari total 34 provinsi yang ada. Terkait
dengan hal ini, hasil hitung cepat Poltracking menunjukkan pasangan Jokowi-JK unggul di
22 provinsi, sedangkan Prabowo-Hatta unggul di 10 provinsi lainnya dengan interval selisih
suara yang bervariasi.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
20/40
Singkat cerita, berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan Jokowi-JK berpotensi menjadi
presiden selanjutnya menggantikan SBY-Boediono.
Secara teoretis, hasil hitung cepat pemilu presiden ini sekali lagi menunjukkan cakupan dualsplit-ticket voting yang jamak terjadi hampir di seluruh pemilih Indonesia. Bahwa pilihan
publik tidak linier dengan pilihan partai (baik secara horizontal maupun vertikal). Pun
demikian dengan pilihan publik dengan preferensi tokoh yang diidolakan.
Pertama, suara partai yang berkoalisi dengan pasangan kandidat-59,12 persen untuk
Prabowo-Hatta dan 40,88 persen untuk Jokowi-JK-tidak menunjukkan perolehan suara
kandidat yang linier. Hal itu memberikan konfirmasi hasil survei yang menunjukkan Party
ID-tingkat kedekatan/asosisasi diri pemilih terhadap partai-yang rendah di Indonesia, berkisar
17-25 persen.
Kedua, logika bahwa Party ID yang rendah menyebabkan pemilih terombang-ambing
mengikuti pendulum pilihan para figur/tokoh idola atau patron partai ternyata tidak
sepenuhnya benar. Preferensi pilihan SBY yang direpresentasikan oleh Partai Demokrat tak
sepenuhnya berdampak, sekalipun SBY memperoleh 60,80 persen satu kali putaran pilpres
dengan tiga kandidat.
Dualisme politik elite pada masing-masing partai juga menjadi penyebab, seperti Golkar.
Suara Jokowi-JK versi hitung cepat yang mencapai 70,45 persen di Sulawesi Selatan, yang
dikenal sebagai basis Golkar, tentu adalah "Golkar-Jusuf Kalla". Tentu, sekali lagi, hasilhitung-cepat yang menjadi dasar analisis ini bisa bergesar ke atas 1 persen dan ke bawah 1
persen karena margin error1 persen dengan 95 persen tingkat kepercayaan.
Alhasil, pemilu presiden 2014 adalah babak baru politik Indonesia, di mana semua kekuatan
politik terkanalisasi hanya pada dua kutub. Artinya, cara mengukur demokratisasi tidak
sekadar terletak pada proses dan hasil pemilu, tapi juga seusai pemilu, di mana salah satu
kandidat ditetapkan sebagai pemenang. Respons publik, elite, dan kandidat terhadap hasil
penetapan pemenang oleh KPU beberapa hari ke depan adalah ukuran.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
21/40
Keruhkan Air, Lalu Mengail
Rabu, 16 Juli 2014
Seno Gumira Ajidarma, Wartawan
Semua orang lagi asyik makan sahur di warung Mang Diman, ketika Sukab datang-datang
membanting pecinya ke atas meja.
"Coba lihat di tivi itu? Apa mungkin?"
"Soal apa, nih?"
"Pilpreslah! Apalagi?!"
"Kenape tuhpilpres?"
"Jelas soal itungan cepetitulah! Gua dari tadi bolak-balikinajatuhsaluran tivi, masak dua
stasiun tivi bisa siarannya beda-bedagitu? Barang yang diitungsama, kan? Mana mungkin
hasilnya kayakbumi dan langit, stasiun yang kiri pemenangnya pasangan Paijo-Parno, stasiun
yang kanan pemenangnya pasangan Paimo-Ngatiyo. Mana mungkin?"
"Kenapeenggak mungkin?"
"Ibarat ngitungayam, taruhlah jumlah ayamnya 1.000, boleh aja kagaksama. Yang satu
itungannyeayam item 600, ayam putih 400, lainnya ayam item650, ayam putih 350, pasti
salah satunya salah, tapi itu biasa! Kalau terbolak-balik abis, itu kesalahan yang disengaja!"
Orang-orang tertegun, tapi tetap melanjutkan makan sahurnya.
"Wah, ati-atiluKab, salah-salah dituduh memfitnah, lo!"
Mata Sukab masih menyelusuri wajah-wajah di warung Mang Diman. Mereka semua
memang sering makan di situ karena Mang Diman selalu berjiwa besar terhadap utang!
Tampaknya tidak ada wartawan, dan juga intel.
"Kenapa disebut kesalahan yang disengaja? Karena ini memang siasat, dijalankan kalau-
kalau dalam pilpres tidak menang."
"Kenapa begitu Kab?" ujar Hasan sambil mencomot tempe, "Bukannya yang menentukan
kalah dan menang itu rakyat?"
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
22/40
Sukab menarik napas panjang.
"Orang itu lain-lain San, ada yang meskipun berjuangnyapoltetap patuh kepada aturan main.
Ada yang mengusahakan segala cara untuk menang karena aturan main yang ada cumabagian saja dari permainan doi."
"Permainan?"
"Yo-i, politik itu permainan! Dalam permainan ini yang dicarinya adalah kemenangan demi
kemenangan itu sendiri. Jadi, aturan permainan yang berlaku hanyalah tahap pertama dalam
permainannya, menang syukur, kalah tetap berjuang untuk menang. Langkah-langkahnya: (1)
mengaburkan dulu hasil kemenangan dengan hitung cepat tandingan, yang diharapkan
didukung seluruh pemilih setia ataupun yang berkepentingan; (2) hasil langkah pertama:
kekeruhan, sebisa mungkin dikeruhkan lagi dengan daya dorong media massa. Meski KPI
sudah melarang siaran, tetap bisa jadi modal menyambut hasil resmi dengan (3) ilmu ngeyel,
yakni menolak hasil resmi, yang dengan dukungan para pemilihnya berpotensi dikembangkan
ke segala arah, syukur-syukur menciptakan keadaan darurat yang membuat hasil pilpres tidak
berlaku."
Semua orang ternganga.
"Omong-omong, ini nyang maneKab?"
"Apenye?"
"Nyangmau menang sendiri itu?"
Sukab tersenyum sok tahu.
"Ada, deh!" *
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
23/40
Pagar Api Lembaga Survei
Kamis, 17 Juli 2014
Agus Sudibyo, Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
Untuk pertama kalinya, pelaksanaan hitung cepat (quick count) pemilu berujung pada
perselisihan yang meruncing. Lembaga survei terbelah menjadi dua. Ada yang
mendeklarasikan kemenangan Jokowi-JK, ada yang mendeklarasikan kemenangan Prabowo-
Hatta. Dua kandidat presiden pun sama-sama mengklaim kemenangan masing-masing
berdasarkan proses hitung cepat yang berbeda itu. Kontroversi berlangsung berlarut-larut
sehingga masyarakat terombang-ambing dalam kebingungan.
Kontroversi tersebut menyingkap masalah serius dalam praktek lembaga survei di Indonesia.
Masalah tersebut menunjukkan bahwa kegiatan riset sering tumpang-tindih dengan kegiatan
pemenangan pemilu. Lembaga survei bukan hanya menangani pekerjaan survei dan hitung
cepat, tapi juga pengadaan atribut-atribut kampanye, media relations, pencitraan,
pemasangan iklan, hingga kegiatan mobilisasi pemilih. Kegiatan survei atau hitung cepat
tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian integral dari "jasa" yang disediakan lembaga
survei untuk klien politik: kandidat bupati, wali kota, gubernur, caleg, partai politik, serta
calon presiden.
Tentu tidak semua lembaga survei terjebak dalam praktek tumpang-tindih ini, tapi pasti
cukup banyak lembaga survei yang diam-diam mempraktekkannya. Proyek pemenangan
pemilu jauh lebih menjanjikan secara ekonomi dan politik daripada sekadar proyek penelitian
terhadap opini publik. Persoalannya, hasil survei kemudian bukan hanya diperlakukan
sebagai data tertutup untuk merancang strategi kampanye dan pemenangan, tapi juga data
yang diumumkan kepada masyarakat. Para klien politik bukan hanya membutuhkan data dan
pemetaan, tapi juga menuntut publisitas yang kondusif bagi pencalonan mereka.
Yang terjadi kemudian adalah pengabaian prinsip etis bahwa survei-survei pesanansemestinya tidak dipublikasikan secara terbuka. Survei pesanan sesungguhnya bukan "barang
haram" bagi lembaga survei. Lembaga survei umumnya adalah perseroan terbatas yang hidup
dari jasa penelitian dan konsultasi yang mereka tawarkan. Namun semestinya hasil survei
pesanan hanya diberikan kepada klien dan tidak dipublikasikan secara terbuka. Masalah
menjadi semakin serius ketika klien tidak sekadar menginginkan publisitas, tapi juga
publisitas yang positif tentang pencalonannya. Maka angka elektabilitas yang kurang
mendukung pun sering diminta untuk diubah-ubah sebelum dipublikasikan.
Ketika kegiatan survei tumpang-tindih dengan kerja pemenangan pemilu, bukan perkara
mudah untuk mengelak dari permintaan yang tidak rasional seperti ini. Demikian juga ketika
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
24/40
kegiatan hitung cepat menjadi bagian dari proyek pemenangan kandidat, patlugipat hasil
hitung cepat mungkin saja terjadi, baik karena tuntutan klien politik maupun inisiatif
penyelenggara guna menstimulasi proyek-proyek selanjutnya.
Analog dengan pagar api dalam jurnalisme yang memisahkan secara tegas urusan berita(ruang publik) dengan urusan iklan dansponsorship(ruang privat), dan garis tegas yang
memisahkan survei opini publik sebagai kegiatan ilmiah dengan kegiatan pemenangan
pemilu, adalah suatu kemutlakan. Pagar api ini akan menjaga independensi lembaga survei
sekaligus informasi yang mereka hasilkan.
Persoalan berikutnya adalah transparansi penyandang dana kegiatan survei atau hitung cepat.
Rata-rata lembaga survei di Indonesia enggan mengatakan secara jujur siapa penyandang
dana mereka. Ambil contoh, beberapa lembaga survei mengklaim mendanai sendiri kegiatan
hitung cepat pada pilpres kemarin. Padahal kegiatan hitung cepat pilpres membutuhkan dana
besar, yakni Rp 1,3-2 miliar. Ini tak rasional dan justru bisa menimbulkan kecurigaan. Tentu
dengan pengecualian lembaga seperti Litbang Kompas atau RRI, yang biaya hitung cepatnya
didanai oleh perusahaan dan institusi resmi.
Transparansi pendanaan kegiatan survei atau hitung cepat adalah suatu keharusan, kecuali
jika hasilnya tidak dipublikasikan secara luas. Yang tidak kalah penting adalah transparansi
tentang metode penelitian dan mekanisme kerja. Transparansi ini penting untuk memastikan
bahwa survei atau hitung cepat telah dilakukan dengan benar oleh pihak yang kompeten,
berpengalaman, dan bertanggung-jawab. Namun persoalannya, sebagaimana transparansi
pendanaan tadi, transparansi metode penelitian dan mekanisme kerja ini juga belumterlembaga di Indonesia.
Yang tidak kalah penting adalah kehati-hatian media dalam mempublikasikan hasil survei.
Tanpa publikasi media, tak akan ada kontroversi tentang survei dan hitung cepat.
Masalahnya, media sering tidak kritis terhadap apa yang disampaikan lembaga survei. Media
cenderung asal kutip dan asal cepat tanpa memperhatikan kelayakan metodologi dan
kemungkinan konflik kepentingan dari lembaga survei. Kutipan media atas hasil survei juga
sering tak akurat atau hiperbolis sehingga mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Begitu
kontroversi muncul, media kemudian berlagak seakan-akan mereka tidak berkontribusi sama
sekali atas kontroversi tersebut.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
25/40
RRI dan Pilar Kebudayaan
Kamis, 17 Juli 2014
Heri Priyatmoko,Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
Publik ramai-ramai membela Radio Republik Indonesia (RRI) yang diduga ditekan politikus
DPR gara-gara menyelenggarakan hitung cepat. Hasil hitung cepat (quick qount) RRI
menunjukkan pasangan Prabowo-Hatta mengantongi 47,51 persen suara dan Jokowi-JK
52,49 suara. Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq berencana memanggil RRI dalam kaitan
dengan kegiatan itu.
Elite politik kembali mempertontonkan sikap kekanak-kanakan. Mereka tidak tahu balas
budi. DPR seharusnya berterima kasih kepada institusi penyiaran negara ini. RRI telah
bekerja keras, blusukansampai desa terpencil. Buahnya adalah mengobati kebingungan
warga yang dicekoki data yang penuh rekayasa oleh beberapa lembaga survei abal-abal.
Selain ikut menyukseskan pemilu presiden 2014, siasat RRI berhasil: publik kembali melirik
lembaga ini layaknya puluhan tahun silam. Di kala umurnya kian menua-lebih dari 67 tahun-
RRI dikalahkan oleh media televisi dan radio swasta yang menjadi pesaing kuatnya.
Pada masa silam, RRI merupakan pilar kebudayaan. Masyarakat memahami orok merah
Indonesia yang tengah tertatih-tatih mencari bentuk kebudayaannya lewat RRI. Pemerintahmemakai RRI sebagai media politik dan budaya. Warga terbantu saat mendalami
pengetahuan budaya meski dengan cara nguping(mendengarkan). Di RRI Surakarta,
misalnya, warga dapat belajar karawitan gaya Surakarta via siaran gending Jawa. RRI periode
1970-an membangun identitas sendiri dan menjelma menjadi sumber dalam garap karawitan
Jawa Surakarta.
Menurut Darsono (2002), masyarakat pencinta seni senang bukan kepalang lantaran leluasa
menimba pengetahuan, tata krama (aturan nabuh), serta informasi tentanggarap gendingdan
garap instrumen, yang di dalamnya terdapat cengkok dan wiledanyang lazim digunakan dikeraton. Sebaliknya, pengrawit keraton yang merangkap pegawai RRI merasa puas
menularkan kemampuannya yang bernilai tinggi itu kepada warga.
Pemerintah sengaja melibatkan para empu seni. Sebab, mereka adalah patron masyarakat
dalam bidang kesenian, dengan umur yang menuju senja sehingga diharapkan bisa
menyebarkan keahliannya kepada publik secara maksimal. Pada 1970-1978, RRI berhasil
membuat kehidupan karawitan sangat semarak dan menyihir suasana kota semakin ayem
tentrem.
Selain karawitan, RRI mengumandangkan secara langsung pergelaran wayang kulit saban
Sabtu malam. Suguhan kesenian tradisional yang dibuka untuk umum dan berhasil memikat
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
26/40
banyak penonton ini bahkan menjadi salah satu mata acara yang paling populer. Penduduk di
pelosok turut menikmati hiburan gratis tersebut. Siaran lainnya, pertunjukan wayang wong
dan sandiwara berbahasa Jawa sebagai program acara pendukung pelestarian, pengembangan,
dan penyebarluasan kebudayaan Jawa. DPR harus tahu bahwa RRI menyemaikan nilai-nilai
luhur budaya Jawa kepada generasi muda lewat ragam acara itu.
Jika melihat peran historis RRI sekaligus mencermati siasatnya untuk menarik kembali
perhatian publik, mestinya elite politik mengacungi jempol, bukan malah menekan.
Penyelenggaraan hitung cepat (quick qount) merupakan terobosan bagus yang dikerjakan
RRI. Membela RRI memang sudah seharusnya dilakukan. Selain sebagai ucapan terima
kasih, kita membuat masyarakat Indonesia melek akan sejarah RRI. Kita kadung banyak
berutang budi kepadanya, termasuk dalam pilpres 2014.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
27/40
Ngabuburit
Kamis, 17 Juli 2014
Asep Purnama Bahtiar, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Setiap Ramadan tiba, kosakata ngabuburit sering dipakai dalam wacana publik dan
perbincangan sehari-hari. Saking populernya istilah ngabuburit ini, penggunaannya menjadi
kehilangan makna dan konteks waktu.
Kosakata ngabuburit-mempunyai sandingan kata ngabeubeurang, diambil dari bahasa
Sunda-berasal dari kata burityang berarti sore hari; petang hari; atau senja hari. Sedangkankata ngabeubeurangberasal dari kata beurang(bukan berang atau berang-berang), yang
artinya siang hari. Dalam penggunaannya, ngabuburitmenjadi lebih populer daripada
ngabeubeurang,setidaknya karena mengacu pada sore hari, yang akhir waktunya adalah saat
magrib dan berbuka, yang ditunggu-tunggu oleh orang yang berpuasa.
Ngabuburit dalam konteks ibadah puasa memiliki latar sejarah yang menarik. Paling tidak
pada sekitar 1970-an, masa kanak-kanak penulis, ibadah puasa pada Ramadan senantiasa
bersamaan dengan masa liburan sekolah, sehingga suasana ibadah puasa betul-betul bisa
dinikmati sedemikiran rupa dalam kondisi yang bebas-merdeka dari rutinitas sekolah dan
tugas-tugas terkait. Ramadan yang identik dengan liburan sekolah waktu itu memberikan
ruang belajar baru bagi anak-anak, yaitu belajar berpuasa yang selalu diiringi dengan
ngabuburitdan ngabeubeurang.
Istilah ngabuburit termasuk local geniusdan tacit knowledgeumat Islam di tanah Sunda,
khususnya yang berada di area pedesaan dan perkampungan, untuk mendidik dan melatih
anak-anak belajar berpuasa pada Ramadan. Anak-anak yang masih berusia 5-8 tahun dilatih
berpuasa, biasanya dengan tambahan motivasi akan diberi hadiah "penganan dan sajian
istimewa" saat waktu berbuka puasa tiba, atau dirapel nanti saat Lebaran (Idul Fitri) dalam
wujud uang yang banyak atau pakaian, sarung, dan peci baru yang bagus.
Nah, agar anak-anak yang masih di bangku TK atau SD itu berhasil tamat puasanya sampai
magrib, dibuatlah skenario waktu pengalih yang bisa melenakan rasa lapar dan haus bocah-
bocah kecil yang berpuasa itu, yaitu istilah ngabuburit, yang sebelumnya diawali dengan
ngabeubeurang. Mirip dengan ngabuburit, kosakata ngabeubeurang, yang berasal dari kata
beurang (waktu siang hari), berarti menunggu waktu siang yang dilakukan dengan berbagai
aktivitas permainan kreatif khas anak-anak kampung selepas salat subuh sampai jam 10-an.
Akhir-akhir ini, kosakata ngabuburitkhususnya tidak hanya berlaku bagi anak-anak kecil
yang sedang belajar berpuasa. Tanpa pandang umur dan strata sosial atau aktivitas, siapa pun
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
28/40
ketika berada di suatu tempat pada waktu senja, kalau ditanya pasti jawabannya hampir pasti
sama: lagi ngabuburit. Seperti yang bisa disaksikan sekarang, orang (berpuasa atau tidak)
kebanyakan ngabuburit di mal, pusat belanja, dan arena hiburan, sehingga kosakata
ngabuburit menjadi kehilangan makna dan konteks aslinya.
Begitulah, ngabeubeurangdan ngabeubeuritsekarang hanyalah waktu yang diluangkan padabulan puasa yang tidak jelas batasan masa dan fungsi edukatifnya, juga tidak jarang sekadar
dipakai sebagai kamuflase agar dikira sedang berpuasa.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
29/40
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
30/40
mempunyai potensi mengurangi ketimpangan adalah program Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Program KJP atau yang secara resmi disebut program Pemenuhan Kebutuhan Biaya Personal
Siswa Miskin (BPSM) menggelontorkan dana Rp 804 miliar per tahun (2013) untuk
mensubsidi pengeluaran kebutuhan siswa miskin di Ibu Kota. Subsidi ini dapat digunakan
oleh siswa miskin untuk belanja kebutuhan transportasi, buku dan alat tulis, baju, sepatu,bahkan tambahan makanan dan minuman.
Dari segi besarannya, program KJP ini cukup masif karena ditargetkan untuk diberikan
kepada 332.465 siswa miskin atau 20 persen dari seluruh siswa sekolah dasar dan menengah
di Jakarta. Nilai nominalnya pun relatif cukup besar. Belanja bulanan kelompok rumah
tangga 20 persen termiskin di Jakarta, misalnya, mencapai Rp 1,4 juta per bulan (SUSENAS,
2012). Jika mereka mempunyai dua anak yang bersekolah di SD, berarti program KJP
mengurangi beban sebesar Rp 360 ribu atau 26 persen dari pengeluaran totalnya.
Dengan kondisi ketimpangan yang tinggi di Jakarta, program KJP sangat berpotensi
mengurangi ketimpangan tersebut. Namun, dampak program ini terhadap ketimpangan,
sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah diestimasi. Tulisan ini mencoba untuk
melakukan penghitungan tersebut.
Dengan menggunakan data SUSENAS 2012, yaitu data baselinedi mana program KJP
belum diimplementasikan, penulis melakukan simulasi program KJP dan menghitung
dampak program tersebut terhadap indikator ketimpangan, yaitu indeks Gini DKI Jakarta.
Hasil pengurangan ketimpangan yang akan dihitung merupakan potensi pengurangan
ketimpangan yang pada realisasinya bergantung pada banyak hal, seperti kebocoran danketidaksempurnaan lainnya.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa program KJP berpotensi mengurangi ketimpangan
(indeks Gini) sebesar 1,6 persen. Mengingat rata-rata setiap tahun indeks Gini Jakarta naik 3
persen, pengurangan 1,6 persen itu bisa dikatakan spektakuler. Ini artinya, besarnya kenaikan
ketimpangan per tahun di Jakarta, setengahnya, bisa diredam oleh program KJP. Dalam
memperhitungkan kebocoran pun (seperti hasil studi ICW sebesar 19 persen), dampak
pengurangan ketimpangannya tetap terasa signifikan.
Perlu juga untuk dicatat bahwa dampak tersebut sifatnya hanyalah immediate impact, yaitu
dampak yang dirasakan melalui peningkatan daya beli dari masyarakat miskin. Dampak tidak
langsungnya melalui peningkatan kualitas sumber daya insani (human capital) dari
masyarakat miskin tentunya juga akan mengurangi ketimpangan ekonomi di masa
mendatang.
Contoh tersebut merupakan best practicespengelolaan anggaran yang berorientasi keadilan.
Rasanya, satu contoh cukup untuk membuktikan bahwa dengan kepemimpinan yang
konsisten dan gigih memihak kepada rakyat, Indonesia tidak hanya bisa lebih makmur, tapi
juga lebih adil pada masa mendatang.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
31/40
Seniman, Apresiasi, Salam Dua Jari
Kamis, 17 Juli 2014
Agus Dermawan T., Pengamat Budaya
"Seniman adalah pengetuk hati politikus. Negara banyak berutang kepada seniman. Negara
harus memberikan penghargaan kepada seniman," kata Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Apa yang dikatakan SBY berbuntut. Sejak beberapa tahun lalu negara berupaya memberikan
penghargaan kepada para seniman yang memiliki kontribusi spesial. Lewat PanitiaPenghargaan, nama-nama besar pun diusulkan. Sejumlah piagam dan medali pun diserahkan.
Meskipun demikian, tak berarti pengusulan nama-nama kandidat selalu memperoleh jalan
lempang. Musababnya, seleksi ternyata tidak sepenuhnya menjadi otoritas para penilai yang
memahami jagat kesenian. Tapi hal ini juga menjadi otoritas politikus, yang berlindung di
bawah atap birokrasi. Persoalan semakin bengkok ketika semuanya diimbuhi pasal-pasal
formal, yang berkaitan dengan nomenklatur lembaga negara. Akibatnya, banyak seniman
hebat yang gugur dalam proses pengajuan. Kasus pelukis tamu agung I.B. Said (80 tahun)
adalah salah satu amsalnya.
Atas permintaan negara, pelukis ini menggubah potret suami-istri presiden atau perdana
menteri sekitar 220 negara. Dan karyanya menghiasi Jakarta dan Istana Presiden sejak 1960
sampai 2005. Karena itu, muncul usul agar Istana Negara memberi anugerah kepada Said.
Namun pihak Istana mengatakan bahwa penghargaan itu seharusnya datang dari DKI Jakarta.
Sementara itu, pihak DKI Jakarta menimbang: betapa itu lebih cocok diberikan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun pihak Kemendikbud menyebut: adalah
lebih pas apabila Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang menganugerahkan.
Nama I.B. Said lalu saya bawa ke Kemenparekraf lima bulan lalu. Ditolak, karena itu
dianggap kewajiban Istana Negara.
Dari perkara lempar-melempar tersebut akhirnya tersimpul bahwa sesungguhnya negara
masih setengah hati untuk memberikan bintang jasa kepada seniman. Atas ihwal ini seniman
bisa saja kecewa, meski sesungguhnya mereka tidak terlalu memikirkannya.
"Seniman tak usah mengharap penghargaan dari negara, yang notabene ditentukan oleh
politikus," kata budayawan dan mantan menteri Daoed Joesoef. Sebab, pada hakikatnya,
seniman bekerja dengan kemurnian gerak hati-pikirnya sendiri, yang oleh Marshall McLuhan
diyakini sebagai antena sosial, penangkap sinyal keluhuran. Seniman bekerja tanpa pamrih,
meski yang dihasilkan akhirnya bisa berdampak besar terhadap medan sosial serta hutan
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
32/40
politik.
Gerakan seniman yang menggagas konser "Salam Dua Jari" guna mendukung calon presiden
Joko Widodo pada 5 Juli adalah contohnya. Dengan antena sosialnya, para seniman bekerja
spontan, disertai spirit untuk mengobarkan kecerahan harapan. Hasilnya, konser itumenggerakkan jiwa jutaan orang Indonesia. Gema konser menghaturkan magma politik yang
luar biasa. Para seniman "Salam Dua Jari" sungguh tak mengharapkan imbalan apa pun.
Namun, meski tidak meminta penghargaan apa-apa, negara yang bakal dipimpin oleh
Presiden Joko Widodo tak boleh melupakan gerakan "Salam Dua Jari". Sepanjang masa!
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
33/40
Menatap Gaza dari Anak-anaknya
Kamis, 17 Juli 2014
Husein Ja'far Al Hadar, Esais
Gaza juga adalah tentang anak-anak. Yang pertama, tentu tentang keprihatinan kepada anak-
anak Gaza yang tak luput dari serangan Israel. Padahal, dalam ketentuan seluruh agama
maupun International Humanitarian Law, anak-anak (bersama wanita dan warga sipil) adalah
golongan yang harus dilindungi dalam perang, alih-alih diserang secara membabi buta tanpa
mempertimbangkan keberadaan mereka.
Kedua, tentang kejernihan dan keberanian anak-anak Gaza. Setidaknya ada nama populer,
Ahed Tamimi (13 tahun, yang hendak memukul tentara Israel) dan Faris Audah (11 tahun,
yang menghadang tank Israel), anak-anak Gaza yang memandang masalah Palestina-Israel
secara jernih, serta melawan Israel dengan berani. Anak-anak itu memandang persoalan
Palestina-Israel dengan imajinasinya, bukan dengan rasionya.
Mereka mengimajinasikan tentang Palestina yang damai, tanpa ada lagi darah yang tumpah
atau nyawa yang melayang. Mereka dengan jernih meletakkan hal itu di atas segalanya,
apalagi sekadar politik. Dengan demikian, mereka dengan tulus dan berani melawan tentara
Israel itu, sebisa mereka. Tak ada ketakutan dan keraguan sedikit pun. Sebab, imajinasi
mereka tak menerima penjajahan dan kekejaman di tanah airnya sendiri itu. Dengan begitu,
tak mengherankan jika Henry Corbin, filsuf eksistensialis Prancis, menyebut imajinasi
sebagai rasio yang terspiritualitaskan atau spiritualitas yang terasionalisasikan. Hal ini
berlawanan dengan Israel, yang berdiri di atas apa yang disebut filsuf Herbert Marcuse
sebagai rasio bermasalah (rasio instrumental), yakni rasio yang dibangun secara manipulatif
untuk melegitimasi kepentingan imperialisnya.
Ketiga, saat penulis berbincang dengan Prof Izzeldin Abuelaish, dokter asal Palestina, dalam
kunjungannya ke Indonesia pada akhir 2011, ia yang kehilangan tiga putri kecilnya karenaserangan rudal Israel justru menyebut anak-anaknya dan anak-anak Palestina sebagai sumber
inspirasi. Ketiga putrinya adalah sumber inspirasinya dalam menatap masalah Palestina-Israel
yang diabadikannya dalam karyanya,I Shall Not Hate(2011). Karena itu, ia mengabadikan
foto ketiga putrinya dalam sampul bukunya tersebut.
Sebagaimana terangkum dalam judulnya, dalam karya itu secara umum ditulis bahwa ia tak
pernah dan tak boleh marah, apalagi membenci. Sebab, selain karena kemarahan dan
kebencian hanya akan menjadi celah bagi Israel untuk terus memojokkan Palestina, ia juga
menilai kemarahan dan kebencian bukanlah perasaan dan sikap yang eksistensial. Sebab,
keduanya tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Islam pun tak pernah
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
34/40
mengajarkannya.
Nelson Mandela justru menyebut penjara sejati adalah kebencian dan kemerdekaan sejati
adalah cinta kasih. Izzeldin menginginkan agar rakyat Palestina sudah cukup terpenjara
secara fisik oleh penjajahan Israel, tapi jangan sampai juga terpenjara secara mental danspiritual oleh kebencian dalam hati dan jiwanya. Ia menginginkan agar rakyat Palestina tak
membangun cita-cita perdamaian dengan berbasis dan berkonsentrasi pada rasa benci
terhadap Israel, melainkan kecintaan kepada saudara dan tanah airnya sendiri. Sebab,
sebagaimana dilakukan Mahatma Gandhi atas imperialisme Inggris di India, kecintaan itulah
yang nantinya diharapkan menumbuhkan kedamaian dalam hati rakyat Palestina dan secara
tak langsung menginspirasi gerakan yang akan sukses mengusir imperialisme Israel.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
35/40
Wong Cilik
Sabtu, 19 Juli 2014
Bandung Mawardi, Esais
Siapa pemilih Joko Widodo-Jusuf Kalla? Fitri Hari dari Lingkaran Survei Indonesia memberi
jawaban: wong cilik. Janji-janji untuk program pendidikan dan kesehatan menjadi pemicu
dukungan wong cilik(rakyat kecil) bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Koran Tempo, 9 Juli
2014). Jargon wong cilikmasih bertahan sampai sekarang. Megawati Soekarnoputri semakin
menguatkan pengaruh jargon wong ciliksaat memimpin PDI Perjuangan. Sekarang, Joko
Widodo dianggap ikon pemimpin bagi wong cilik.
Jargon politik muncul di kalangan pergerakan politik untuk menumbuhkan nasionalisme dan
imajinasi dalam membentuk Indonesia. Sejak awal abad ke-20, para tokoh pergerakan politik
akrab dengan istilah kromo.Tjipto Mangoenkoesoemo menjuluki diri sebagai "anak si
kromo" alias anak dari "rakjat djelata" (M. Balfas, 1952). Julukan ini mengacu kepada
pengabdian Tjipto Mangoenkoesoemo bagi kesehatan kaum jelata dan pendidikan politik.
Predikat sebagai dokter Jawa menjadi modal untuk berbaur dan membela kaum kromo dalam
represi kolonialisme dan arogansi feodalisme.
Penggunaan jargon kromo masih bertahan sampai masa 1930-an. Sukarno dalam pidato dan
tulisannya masih menggunakan jargon kromo, selain mempropagandakan penggunaan jargon
marhaen. RisalahIndonesia Menggugat(1930) garapan Sukarno memuat penjelasan: "Di
dalam tangannja kaum kromo dan kaum marhaen itulah terutama letaknja nasib Indonesia."
Sukarno pun memberi tuduhan bagi gerakan politik berpamrih elitisme. Sukarno berkata:
"siapa jang mendjalankan politiek 'salon-salonan' atau 'menak-menakan', siapa jang tidak
memperusahakan marhaenisme atau kromoisme - walaupun ia seribu kali sehari berteriak
tjinta bangsa, tjinta rakjat, ia hanjalah mendjalankan politiek jang tjuma 'politiek-politiekan'
belaka!"
Kesejarahan jargon politik menjadi referensi pembelajaran politik mutakhir. Joko Widodo
(2014) mengakui bahwa Sukarno adalah mentor dalam berpolitik. RisalahIndonesia
Menggugat dianggap mengandung relevansi dengan situasi sekarang. Sejarah bersambung
melalui kesadaran untuk membela dan memartabatkan kromo,marhaen, wong cilik.
Sekarang, jargon paling akrab adalah wong cilikketimbang kromodan marhaen. Jargon
selalu memuat situasi zaman dan efek bahasa politik. Zaman untuk jargon kromodan
marhaen sudah berlalu, kita mengingatnya sebagai sejarah.
Pendokumentasian jargon marhaen pernah dilakukan oleh Sanoesi Pane melalui gubahan
puisi berjudulMarhaen. Sanoesi Pane menulis:Kami berdjalan berabad-abad/ Dalam
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
36/40
djoerang jang gelap goelita/ Tidak berharap tidak berhadjat/ Tidak berpikir tidak bertjinta//
Dewata loepa kepada kami/ Kaoem marhaen anak sengsara/ Kami berkerdja setengah mati/
Orang bersenang tertawa-tawa.Sekarang, Joko Widodo semakin memberi pengesahan atas
kebermaknaan wong ciliksebagai "sambungan" dari produksi bahasa politik sejak awal abad
ke-20: kromodan marhaen. Kita menganggap ada kesetaraan makna jika menempatkanpemimpin sebagai pembela bagi rakyat.
Joko Widodo justru mengimbuhi perspektif dari pengaruh penggunaan jargon politik,
mengacu ke pemahaman agama. Joko Widodo menganggap marhaen, wong cilik, dan kaum
duafa menunjuk pada lapisan sosial sama: kalangan tak berdaya secara ekonomi. Kita
menantikan Joko Widodo membuktikan pengharapan kromo, marhaen, wong cilik, dan kaum
duafa sesudah mendapat amanat melalui peristiwa dramatis berdalih demokrasi, 9 Juli 2014.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
37/40
Nadine, Sastra, dan Politik
Sabtu, 19 Juli 2014
Anton Kurnia, Penulis
Nadine Gordimer mungkin tak terlalu populer bagi khalayak awam kita. Dia sastrawan
Afrika Selatan pemenang hadiah Nobel Sastra 1991 yang baru saja wafat pada 13 Juli 2014 di
Johannesburg dalam usia 90 tahun.
Dia menulis cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya itu diterbitkan sebagai lebih dari 30
buku yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Karyautamanya antara lain novel The Conservationistyang memenangi Booker Prize 1974.
Perempuan kulit putih ini terutama dikenal karena menulis tentang anti-rasisme dan
ketidakadilan sosial di Afrika Selatan akibat politik apartheid. Banyak karyanya mengambil
tema politis tentang penindasan orang kulit putih atas mayoritas kulit hitam di negaranya
sebelum naiknya Nelson Mandela sebagai presiden Afrika Selatan kulit hitam pertama pada
1994. Karena kecenderungan politik dan kritik keras dalam karyanya, sejumlah buku Nadine
pernah dilarang beredar oleh rezim apartheidAfrika Selatan, termasuk novel The Late
Bourgeois World(1966) danBurger's Daughter(1979).
Dalam pidato penyerahan hadiah Nobel Sastra 1991 di Stockholm, "Writing and Being",
Nadine menegaskan pendiriannya bahwa tugas seorang penulis adalah menyuarakan
pembelaan terhadap mereka yang tertindas di bagian dunia mana pun. Hal itu tecermin dalam
karya-karyanya.
Dunia begitu menghargai karya Nadine. Selain mendapat Nobel dan Booker Prize, dia meraih
W. H. Smith Literary Award (1961), James Tait Black Memorial Prize (1971), hadiah sastra
Grand Aigle d'Or dari Prancis (1985), Premio Malaparte dari Italia (1985), hadiah Nelly
Sachs dari Jerman (1986), Primo Levy Literary Award dari Italia (2002), dan Mary McCarthyAward dari Amerika Serikat (2003).
Sebagai penulis yang punya kepedulian sosial, Nadine tak hanya angkat pena, tapi juga
berpolitik aktif melalui African National Congress (ANC) bersama Nelson Mandela. Mereka
berkawan akrab. Nadine menyunting pidato pembelaan terkenal Mandela yang menggetarkan
saat diadili oleh penguasa apartheidkulit putih pada 1962, "I Am Prepared To Die". Sebagai
penghargaan kepada Nadine atas aktivitas politik dan komitmen sastranya, dia termasuk salah
seorang yang pertama kali ditemui Mandela selepas pejuang hak asasi manusia itu bebas dari
penjara 27 tahun.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
38/40
Terkait dengan wafatnya Nadine, Nelson Mandela Foundation dalam pernyataan resminya
menandaskan, "Kita kehilangan seorang penulis hebat, seorang patriot, dan pembela
persamaan hak serta demokrasi kelas dunia."
Tak hanya rekan sebangsanya, kalangan sastra internasional pun menyatakanberbelasungkawa atas kepergiannya. Pengarang Kanada yang juga sesama peraih Booker
Prize, Margaret Atwood, menyatakan, "Sangat bersedih mendengar wafatnya Nadine
Gordimer. Dia salah satu juru bicara terbesar hak-hak asasi manusia yang tak kenal rasa
takut."
Bagi yang pernah hidup dalam tindasan rezim otoriter, rasa takut dalam perjuangan yang
berisiko nyawa serta pembungkaman paksa oleh negara bukan paranoia semata. Namun, bagi
Nadine, bukan itu benar yang membuatnya ngeri. Dalam sebuah wawancara, dia pernah
berkata, "Yang amat mengerikan adalah kesunyian dalam menulis. Jalan sunyi seorang
penulis amat dekat dengan kegilaan." Nadine telah pergi menyusul sahabatnya, Mandela,
yang wafat akhir tahun lalu.
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
39/40
-
8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 13.7.2014-19.7.2014
40/40
Yang dilakukan Slamet adalah sewajarnya: mengarang musik, belajar, dan membagi seluruh
pengetahuannya kepada masyarakat. Namun, dari "gerakan-gerakannya" yangsluman-slumun
bak siluman di dalam lintas pergaulan seniman ataupun akademik, Slamet hingga kini telah
berhasil membumikan paradigma baru atas penciptaan musik yang tidak harus berangkat darihal baku sebatas do-re-mi-fa-so-la-si-do. Musik bisa dari apa saja.
Slamet berhasil membuat masyarakat awam di dusun Trawas, Jawa Timur, menjadi tergila-
gila dengan musik, yang tadinya tak tahu apa-apa. Sebanyak 100 ABG pernah pula
mementaskan karyanya, ABG BaBu, yang bermedium kentongan-dan telah sukses
dipentaskan dalam Jak@Art Festival. Siapa pun bisa dibuat Slamet menjadi suka musik:
sopir becak, petani, pembantu rumah tangga, sopir, sipil, dan seterusnya. Usaha seperti ini
tidak intens dilakukan oleh komponis-komponis lain yang hidup semasa dengan Slamet
ataupun sesudahnya hingga saat ini.
Untuk itu, jika dipaparkan secara singkat, jasa Slamet yang paling konkret untuk musik
adalah menumbuhkan kepekaan dan nilai keindahan pada diri manusia. Sebab, dengan musik,
perasaan akan menjadi lebih peka dan orang akan mampu menghargai keindahan sebagai
sesuatu yang paling dibutuhkan manusia, tapi sering dianggap sepele. Jasa Slamet ini
kedengarannya memang remeh dan klise, tapi apakah kita sanggup berkata bahwa musik itu
tidak penting artinya bagi hidup kita?
Beberapa waktu lalu pada Juni, terselenggara hajatan sederhana untuk menghormati sosok
yang juga anggota Akademi Jakarta dan Masyarakat Bebas Bising ini. Acara bertajuk"Sluman-Slumun-Slamet" ini berlangsung di Perpustakaan Bank Indonesia dan STKW
Surabaya. Ceramah sehari disajikan oleh Suka Hardjana, sarasehan oleh Hanafi, Natalini
Widhiasi, Iwan Gunawan, dan Gatot Sulistiyanto, dan ditutup dengan pementasan karya-
karya Slamet Abdul Sjukur dari berbagai kurun dan formasi:Kabut(1960), Tobor(1961),
Tetabeuhan Sungut(1975), Gelandangan(1998), dan GAME-Land 1(2003). Diluncurkan
pula buku kumpulan esai Slamet Abdul Sjukur yang bertolak dari tulisan-tulisannya di media
massa pada periode 1976-2013. Sebagai seorang seniman, Slamet juga berpikir dan menulis
dengan ketajaman dan kejujuran yang tegas, serta informasi yang mencerahkan.
Tuhan menciptakan orang hebat sungguh sedikit jumlahnya. Slamet hanyalah secuil seniman
yang pantas untuk menjadi potret ideal sebuah kesungguhan dan keikhlasan dalam
pengabdian tanpa punya kepentingan pribadi-kita pun tak kuasa menemukan sosok langka ini
di tengah perhatian pada dunia televisi dan politik yang mengabadikan kecurangan. Slamet
adalah realitas masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, yang luwes dan bertahan dalam
rupa-rupa kondisi.
Di tengah plus-minusnya sebagai manusia dan seniman, nyatanya ia tetap dikagumi,
pemikirannya diikuti, dan semangatnya menular hingga ke generasi musikus jazz belasan